Anda di halaman 1dari 6

RESUME

NIM :

NAMA : ABDUL RAUF

Mata Kuliah :

KELOMPOK 7

KARAKTERISTIK HUKUM ISLAM

Hukum Islam memiliki watak tertentu dan beberapa karakteristik yang membedakannya dengan
berbagai macam hukum yang lain. Karakteristik tersebut ada yang memang berasal dari watak
hukum itu sendiri dari ada pula yang berasal dari proses penerapan dalam lintas sejarah menuju
ridha Allah SWT. Dalam hal ini beberapa karakteristik hukum Islam bersifat sempurna, elastis
dan dinamis, universal, sistematis, dan bersifat ta’abuddi serta ta’aquli.

Dengan sifat dan karakteristik hukum Islam maka hukum dari ajaran al-Qur'an itu mempunyai
kekuatan sendiri yang tidak sepenuhnya tergantung pada adanya suatu kekuasaan sebagai
kekuatan pemaksa dari luar hukum itu. Ide hukum yang diajarkan al-Qur'an berkembang terus
dari masa kemasa melalui jalur ilmu. Seandainya hukum yang diajarkan al-Qur'an itu tergantung
pada suatu kekuasaan maka sudah lama jenis hukum, itu terkubur dalam perut sejarah
KELOMPOK 8

FILSAFAT HUKUM ISLAM

Dalam memahami maqashid al-syari’ah, yakni analisis terhadap lafadz perintah dan larangan,
penelaahan ‘illah perintah dan ‘illah larangan, analisis terhadap sikap diam syari’ dan penetapan
hukum sesuatu dan analisis terhadap tujuan ashliyah Maqashid al-syari’ah. maqashid al-syari’ah
berarti kandungan nilai yang menjadi tujuan penyariatan hokum. Maka dengan demikian
maqashid al-syari’ah adalah tujuan-tujuan yang hendak dicapai dari suatu penetapan hukum.

Maqashid Al-Syariah terbagi menjadi 3 yaitu :

1. Maqashid al-Daruriyaat : Yaitu maslahat yang bersifat primer, dimana kehidupan


manusia sangat tergantung padanya, baik aspek diniyah (agama) maupun aspek duniawi.

2. Hajiyyat : yaitu secara Bahasa berarti kebutuhan-kebutuhan sekunder. Apabila kebutuhan


ini tidak sampai mengancam keselamatan, namun akan mengalami kesulitan. Umtuk
menghilangkan kesulitan tersebut, dalam islam terdapat hukum rukhshah (keringanan)

3. Tahsiniyat : Yaitu secara Bahasa berarti hal-hal penyempurnaan. Tingkat kebutuhan ini
apabila kebutuhan ini tidak dipenuhi maka tidak akan mengancam dan tidak
menimbulkan kesulitan. Tingkat kebutuhan ini berupa kebutuhan pelengkap,

Al-Syatibi menjelaskan ada tiga metode yang digunakan oleh para ulama untuk memahami
maqashid al-syari’ah, antara lain:

• Mempertimbangkan makna dhahir lafadz

•Mempertimbangkan makna batin dan penalaran

•Menggabungkan makna dhahir, makna batin dan penalaran


KELOMPOK 9

FILSAFAT HUKUM DALAM MUNAKAHAT

Perkawinan merupakan salah satu pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan masyarakat
yang sempurna. Oleh karena itu, perkawinan secara filosofis merupakan salah satu asas pokok
hidup yang paling utama dalam pergaulan masyarakat yang sempurna. perkawinan bukan saja
hanya sebagai satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan
keturunan, tetapi juga dapat dipandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara suatu
kaum dengan kaum lain (laki dan perempuan), dan perkenalan itu akan menjadi jalan untuk
menyampaikan pertolongan antara satu dengan yang lainnya.

Dan pernikahan bagi umat manusia adalah sesuatu yang sangat sakral dan mempunyai tujuan
yang sakral pula, dan tidak terlepas dari ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan syariat
agama. Orang yang melangsungkan sebuah pernikahan bukan semata-mata untuk memuaskan
nafsu birahi yang bertengger dalam tubuh dan jiwanya, melainkan untuk meraih ketenangan,
ketentraman dan sikap saling mengayomi di antara suami istri dengan dilandasi cinta dan kasih
sayang.

Ada kalanya di dalam pernikahan terjadi percekcokan antara suami isteri, jika kita kurang
memahami arti dan filosofi dari perkawinan yang membentuk suatu keluarga maka tidak dapat
memperbaiki kembali, tentu kedua pihak akan merasa menderita dengan ikatan yang sedang
mereka jalani karena sudah tidak berlandaskan lagi kepada rasa cinta dan kasih sayang, yang ada
malah kebencian satu sama lain. Maka dalam keadaan genting seperti ini Islam memberikan
solusi yang terakhir yaitu talak. Meskipun ia diperbolehkan tapi ia sangat dibenci oleh Allah,
kalaupun harus terjadi perceraian secra terpaksa, maka setelah ikatan mereka putus hendaknya
sudah tidak ada lagi kebencian dan permusuhan, tapi hubungan yang baik sebagai sesama
muslim

KELOMPOK 10

FILSAFAT HUKUM DALAM PERWAKAFAN

Wakaf adalah menahan harta yang dapat diambil manfaatnya dengan tetap utuhnya barang, dan
barang itu lepas dari penguasaan si wakif serta dimanfaatkan pada sesuatu yang diperbolehkan
oleh Agama. Landasan hukum wakaf di antaranya adalah Q. S. Ali Imron: 92 yang berbunyi
“kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan
sebahagian harta yang kamu cintai”. Bila orang berwakaf mati, wakaf tidak diwariskan sebab
yang demikian itulah yang dikehendaki oleh wakaf karena ucapan Rasulullah Saw. seperti yang
disebut dalam hadits Ibnu Umar, bahwa ‘tidak dijual, tidak dihibbahkan dan tidak diwariskan’.
Namun, jika harta wakaf yang tidak dapat dimanfaatkan lagi dibenarkan atau boleh dijual guna
mendapatkan manfaatnya. Hal ini selain dengan prinsip dasar yang terdapat didalam hukum
islam, bahwa kemaslahatan yang lebih diutamakan dalam menentukan suatu hukum

KELOMPOK 11
FILSAHAT HUKUM DALAM KEWARISAN
Dalam literatur hukum Indonesia sering digunakan kata “waris”atau warisan. Kata tersebut
berasal dari bahasa Arab akan tetapi dalam praktek lebih lazim disebut “Pusaka”. Bentuk kata
kerjanya WarastraYasiru dan kata masdarnya Miras. Masdar yang lain menurut ilmu sasafmasih
ada tiga yaitu wirsan, wirasatan dan irsan. Dalam literatur hukum arab akan ditemukan
penggunaaan kata Mawaris, bentuk kata jamak dari Miras. Namun banyak dalam kitab fikih
tidak menggunakan kata mawaris sedang kata yang digunakan adalah faraid lebih dahulu
daripada kata mawaris.

Intinya, walaupun pada zaman sekarang sudah mengalami pergeseran nilai dalam masyarakat,
misalnya perempuan bekerja atau berkarir, tanggung jawab memberikan nafkah tidak kemudian
beralih begitu saja, karena mereka hanya sebatas membantu meringankan bebas suaminya. Akan
tetapi, peran-peran kunci, seperti memberikan mahar, kepala keluarga dan penanggung jawab
ekonomi keluarga, tetap menjadi tanggung jawab suami (laki-laki). Konsep umum, keadilan
pembagian kewarisan Islam 2:1 antara laki-laki dengan perempuan masih tetap berlaku.
Kalaupun terjadi perubahan sosial, seperti yang dijelaskan sebelumnya, maka persantasenya
kecil dan bersifat kasuistik. Ketentuan ini sesuai dengan kaidah: “al-naḍiru ka al-‘aḍam”
(Sesuatu yang tidak biasa, seperti halnya tidak ada)

Anda mungkin juga menyukai