Anda di halaman 1dari 4

A.

Harta Warisan Minangkabau


Masyarakat adat Minangkabau adalah salah satu masyarakat adat
yang unik dan beragam. Saat ini sistem kekerabatan di Indonesia yang
masih menganut sistem kekerabatan matrilineal adalah masyarakat adat
Minangkabau. Sistem hukum adat Minangkabau yang bercorak matrilineal
ini berfalsafahkan adat basandi syara dan syara basandi kitabullah terus
mengalami dinamika.
Berkaitan dengan itu hukum waris di Kota Pariaman, daerah yang terletak
di pesisir pantai pulau Sumatera ini, saat ini sangatlah heterogen. Walaupun
masih menggunakan sistem kekerabatan matrilineal tetapi dalam
perkembangan saat ini tidak dipungkiri lagi telah terjadi pergeseran dalam
penerapan hukum warisnya. Ada yang menerapkan hukum waris adat,
hukum waris Islam atau hukum waris perdata.
Semua masyarakat adat Minangkabau adalah beragama Islam. Hal ini
dikarenakan ajaran orang Minang dan ketentuan adat yang sudah menjadi
pedoman turun temurun yang berpedoman pada ketentuan bahwa status
orang Minangnya akan dicabut kalau dia tidak beragama Islam. Falsafah
Minang yang menjadi ajaran fundamentalnya adalah adat basandi syara,
syara basandi kitabullah itu dapat diartikan bahwa adat yang berlaku atau
kebiasaan-kebiasaan ditengah masyarakat seperti jual beli, perkawinan,
pembagian waris, dan lain-lain tidak boleh bertentangan dengan yang telah
disyariatkan di dalam Alquran. Konsekuensinya segala sesuatu tindakan
masyarakat di Ranah Minang (sebutan lain untuk daerah Minangkabau) yang
dijadikan kebiasaan yang bertentangan dengan Alquran tidak bisa disebut
adat.

http://tulisantapan.blogspot.co.id/

Kontroversi Hukum Islam[sunting | sunting sumber]


Menurut hukum Islam, harta haruslah diturunkan sesuai
dengan faraidh yang sudah diatur pembagiannya antara pihak perempuan
dan laki-laki. Namun di Minangkabau, seluruh harta pusaka tinggi diturunkan
kepada anggota keluarga perempuan dari garis keturunan ibu. Hal ini
menimbulkan kontoversi dari sebagian ulama.

Ulama Minangkabau yang paling keras menentang pengaturan harta


pusaka tinggi yang tidak mengikuti hukum waris Islam adalah Ahmad AlKhatib Al-Minangkabawi, Syeikh Tahir Jalaluddin Al-Azhari, dan Agus Salim.
[9]
Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, imam dan khatib Masjidil Haram Mekkah,
menyatakan bahwa harta pusaka tinggi termasuk harta syubhat sehingga
haram untuk dimanfaatkan. Dia konsisten dengan pendapatnya itu dan oleh
sebab itulah ia tidak mau kembali ke ranah Minang.[10] Sikap Abdul Karim
Amrullah berbeda dengan ulama-ulama di atas. Dia mengambil jalan tengah
dengan memfatwakan bahwa harta pusaka tinggi termasuk kategori wakaf,
yang boleh dimanfaatkan oleh pihak keluarga namun tidak boleh
diperjualbelikan.
Pada hakikatnya, harta pusaka tinggi merupakan amanah dari leluhur
yang tidak diketahui siapa pemilik aslinya, dan diwasiatkan berdasarkan
garis keturunan ibu. Jika harta ini diwariskan layaknya harta pusaka rendah
atau warisan biasa, tentu harus jelas siapa yang mewariskannya. Itulah
alasan logis harta pusaka tinggi tidak diperbolehkan untuk diwarisi oleh
ayah.
https://id.wikipedia.org/wiki/Budaya_Minangkabau#Kontroversi_Hukum_Is
lam

Sistem kekerabatan matrilineal yaitu sistem kekerabatan yang menarik


garis keturunan pada garis keturunan ibu. Dalam hal ini ibu beserta anakanaknya baik perempuan atau laki-laki dan anak dari anak perempuannya
dan seterusnya kebawah berdasar garis perempuan adalah satu kesatuan
kerabat. Seorang suami bukanlah bagian dari kerabat, dia dipandang
sebagai pendatang. Dalam hal ini sistem perkawinan yang berlaku adalah
sistem perkawinan semendo. Contohnya adalah pada masyarakat
Minangkabau.
http://tulisantapan.blogspot.co.id/

Kawin Semendo
Merupakan perkawinandalam kebudayaan melayu yang dilakukan tanpa
jujur (pembayaran) dari pihak pria kepada pihak wanita. Setelah perkawinan,
suami harus menetap di keluarga pihak isteri dan berkewajiban untuk
meneruskan keturunan dari pihak isteri serta melepaskan hak dan

kedudukannya di pihak kerabatnya sendiri. Kawin Semendo merupakan


bentuk perkawinan yang menjamin garis keturunan matrinial (garis ibu).
Sistem Kawin Semendo merupakan bentuk perkawinan yang lazim dilakukan
pada masyarakat Minangkabau. (Tunggul Tauladan/endi/01/01-2010)
http://melayuonline.com/ind/encyclopedia/detail/283/kawin-semendo

Pendapat Buya Hamka terkait Harta Pusaka sebagai berikut:


Yang pertama Bahwa Islam masuk ke Minangkabau tidak mengganggu
susunan adat Minangkabau dengan pusaka tinggi. Begitu hebat perperangan
Paderi, hendak merubah daki-daki adat jahiliyah di Minangkabau, namun Haji
Miskin, Haji A.Rachman Piobang, Tuanku Lintau, tidaklah menyinggung atau
ingin merombak susunan harta pusaka tinggi itu. Bahkan pahlawan Paderi
radikal, Tuanku nan Renceh yang sampai membunuh uncu-nya (adek
perempuan ibunya) karena tidak mau mengerjakan sembahyang, tidaklah
tersebut, bahwa beliau menyinggung-nyinggung susunan adat Itu, Kuburan
Tuanku Nan Renceh di Kamang terdapat di dalam Tanah Pusako Tinggi.
(IDAM hlm 102 )
Yang kedua : Tetapi Ayah saya DR. Syekh Abdulkarim Amrullah Berfatwa
bahwa harta pusaka tinggi adalah sebagai waqaf juga, atau sebagai harta
musaballah yang pernah dilakukan Umar bin Khatab pada hartanya sendiri di
Khaibar, boleh diambil isinya tetapi tidak boleh di Tasharruf kan tanahnya.
Beliau mengemukan kaidah usul yang terkenal yaitu; Al Adatu Muhak
Kamatu, wal Urfu Qa-Dhin Artinya Adat adalah diperkokok, dan Uruf ( tradisi)
adalah berlaku. (IDAM hlm 103)
Yang ke tiga : Satu hal yang tidak disinggung-singgung, sebab telah begitu
keadaan yang telah didapati sejak semula, yaitu harta pusaka yang turun
menurut jalan keibuan. Adat dan Syarak di Minangkabau bukanlah seperti air
dengan minyak, melainkan berpadu satu, sebagai air dengan minyak dalam
susu. Sebab Islam bukanlah tempel-tempelan dalam adat Minangkabau,
tetapi satu susunan Islam yang dibuat menurut pandangan hidup orang
Minangkabau. (Hamka, Ayahku hlm. 9)
Yang ke empat : Pusaka Tinggi inilah dijual tidak dimakan bali di gadai
tidak dimakan sando (sandra). Inilah Tiang Agung Minangkabau selama ini.
Jarang kejadian pusako tinggi menjadi pusako rendah, entah kalau adat tidak
berdiri lagi pada suku yang menguasainya (Hamka, dalam Naim, 1968:29)
http://blog.umy.ac.id/cahminang/harta-pusaka-tinggi-dan-waris-diminang-kabau/

Anda mungkin juga menyukai