Anda di halaman 1dari 8

Nama: Ahmad Bagus Karimuddin

NIM: 2041012010043
Kelas: HK 3
Ketentuan Warisan Bagian Kakek Beserta Saudara Perempuan

Kakek menjadi ahli waris bila ayah sudah tidak ada. Kewarisannya ditetapkan sendiri
dalam sunnah Nabi sebagai furudh dan juga tercakup dalam sunnah Nabi yang membicarakan
ahli waris sisa harta. Di samping itu kakek tertampung pula dalam perluasan kata abb (ayah)
yang terdapat dalam Al-Qur’an. Kedudukannya sebagai pengganti ayah dalam hal memperoleh
hak baik sebagai furudh atau ashabah telah disepakati oleh ulama. Dalam hal kedudukannya
sebagai penghijab saudara seibu juga disepakati oleh para lama.

Dalam pembicaraan tentang hadirnya kakek bersama saudara dalam satu kelompok ahli
waris timbul masalah. Masalah ini timbul karena melihat kedudukan masing-masing dalam
kewarisan. Di satu sisi terlihat kedudukan saudara lebih tinggi dari kakek dengan melihat
sumber hukum yang menetapkannya. Saudara ditetapkan berdasarkan dalil yang qath’i dari Al-
Qur’an, sedangkan kakek melalui sunnah Nabi yang belum diyakini kebenarannya.
Diterimanya hadits ini oleh ulama adalah karena sejalan dengan pengembangan kata “ayah”
kepada “kakek” secara penggunaan bahasa. Para ulama menempatkan kakek itu sebagai
pengganti ayah kalau sudah tidak ada ayah, sedangkan ayah sendiri menurut kesepakatan
hampir semua ulama meng-hijab saudara yang atas dasar pemikiran ini tentunya kakek meng-
hijab saudara.

Segolongan ulama yang dipelopori oleh Abu Bakar dan juga diikuti oleh Ibnu Abbas, Abdullah
ibn Zubeir, Usman, Aisyah, Ubay bin Ka’ab, Muaz bin Jabal, Abu Musa dan lainnya dari
kalangan sahabat yang kemudian diikuti oleh Abu Hanifah, al-Muzanni, Daud dan Ibnu Munzir
berpendapat bahwa kakek menutup hak saudara baik laki-laki maupun perempuan dalam ketiga
hubungannya (saudara seayah, seibu dan kandung). Golongan ini mengemukakan argumennya
sebagai berikut:

a. Sabda Nabi dalam hadisnya yang berbunyi:

“Berikan furudh itu kepada yang berhak menerima dan selebihnya berikan kepada yang
terdekat dari laki-laki dalam garis laki-laki.”

Dalam urutan kekerabatan kakek berada di atas saudara oleh karenanya menutup
saudara.
b. Dalam pengertian Al-Qur'an “kakek” termasuk dalam kata ayah . Dengan demikian
maka ia mewarisi dengan menggantikan kedudukan ayah dalam kondisi tidak adanya
ayah. la menutup anak dari ayah sebagaimana yang berlaku untuk ayah.

Golongan kedua dipelopori oleh Ali, Zaid ibn Tsabit, Ibru Mas‘ud yang kemudian
diamalkan oleh Malik, Syafi’i, Ahmad, Abu Yusuf dan Muhammad al-Syaibani dari kalangan
Hanafiyah, al-Auza’i berpendapat hahwa saudara dapat bersama dengan kakek tanpa kakek
dapat meng-hijabnya. Yang dapat meng-hijabnya selain dari anak lak-laki atau cucu laki-laki
hanya ayah. Alasan yang dikemukakan oleh golongan ini ialah:

A. Bahwa saudara-saudara itu hak kewarisannya ditetapkan dengan nash yang sharih
(jelas dan pasti) dan tidak mungkin ia di-hijab kecuali bila dinyatakan oleh nash atau
ijma’. Tidak ditemukan keterangan dari keduanya yang menyatakan ter-hijabnya
saudara oleh kakek.
B. Bahwa mereka memiliki kedudukan yang sama dalam faktor yang menyebabkan
mereka mendapatkan hak waris dan oleh karena itu, ia juga berhak mendapatkannya.
Ia dihubungkan kepada pewaris melalui ayah sebagaimana juga kakek dihubungkan
kepada pewaris melalui ayah. Ia hanya akan ter-hijab oleh ayah yang
menghubungkannya kepada pewaris dan tidak ter-hijab oleh kakek.

Golongan ulama yang berpendapat bahwa saudara kandung dan seayah dapat mewaris
bersama dengan kakek berbeda pendapat tentang cara pewarisannya. Ali bin Abi Thalib
berpendapat bahwa bila ahli waris hanya terdiri dari saudara perempuan dan kakek, maka
saudara mendapat hak warisan berdasarkan furudhnya dan sisanya adalah untuk kakek, kecuali
bila dalam keadaan ashabah kakek menerima kurang dari 1/6. Dalam keadaan ini kakek akan
menerima berdasarkan furudhnya yang 1/6 itu. Bila bersamanya ada saudara laki-laki dan
saudara perempuan maka ditentukan furudh saudara perempuan dan sisanya dibagi rata antara
kakek dan saudara laki-laki, kecuali bila dalam pembagian tersebut kakek menerima kurang
dari 1/6. Dalam keadaan ini kakek menerima sebagai furudh.

Golongan kedua dipelopori oleh Zaid ibn Tsabit yang kemudian diikuti oleh Ahmad,
Ahli Medinah, Ahli Syam, al-Syafi’i, Malik, al-Awza’i Abu Yusuf dan Muhammad al-Syaibani.
Golongan ini berpendapat bahwa hak kakek adalah yang paling menguntungkan dalam segala
kemungkinan. Bila ahi waris hanya terdiri dari kakek dan saudara laki-laki dan perempuan;
maka kakek menerima yang paling menguntungkan antara 1/3 dan dibagi rata dengan saudara
laki-laki.
Dalam contoh ahli waris adalah saudara perempuan dan kakek, bagian-bagian kakek
dalam keadaan berbagi dengan saudara mendapat 2,3. Hal ini lebih banyak dari hanya
mendapat 1/3.

Dalam contoh ahli waris adalah 2 orang saudara laki-laki, 1 saudara perempuan dan
kakek, dalam keadaan berbagi dan berkedudukan sebavai saudara laki-laki, bagian kakek
adalah 2/7. Dengan demikian bagian 1/3 lebih menguntungkan untuk kakek.

Kalau ada bersama mereka ahli waris furudh lain maka kakek akan menerima yang
paling menguntungkan antara 1/6 atau 1/3 sisa sesudah diberikan kepada dzaul furudh yang
lain itu atau berbagi sesamanya dalam kedudukan sebagai saudara laki-laki.

Dalam contoh ahli waris adalah kakek, saudara perempuan dan istri bagian kakek
adalah:

Kalau kakek menerima 1/3 sisa, yang diperoleh kakek adalah:

 1/3x(4/4-1/4)=3/12

Kalau kakek berbagi dengan saudara yang diperoleh kakek adalah:

 2/3x(4/4-1/4)=6/12

Dalam contoh seperti ini yang menguntungkan kakek adalah berbagi bersama saudara
atas sisa harta.

Dalam contoh ahli waris adalah istri, 3 saudara laki-laki, 2 saudara perempuan dan
kakek, maka kemungkinan bagian yang diterima oleh kakek:

Kalau kakek menerima 1/3 sisa harta yang diperoleh kakek adalah:

 1/3x(4/4-1/4)=1/4

Kalau kakek berbagi atas sisa harta, yang diperoleh kakek adalah:

 2/10x(4/4-1/4)=6/40

Dengan demikian dalam keadaan seperti ini yang menguntungkan kakek adalah 1/3 sisa harta.

Dalam contoh ahli waris adalah 2 anak perempuan, 2 saudara lakiJaki, 1 saudara
perempuan dan kakek, maka kemungkinan bagian yang diterima kakek adalah:

Kalau menerima 1/3 sisa harta, yang diperoleh kakek adalah:


 1/3x(3/3-2/3)=1/9

Kalau kakek berbagi dengan saudara atas sisa harta:

 2/7x(3/3-2/3)=2/21

Dengan begitu yang paling menguntungkan bagi kakek adalah menerima furudhnya yaitu 1/6.

Ibnu Mas‘ud memilih jalan tengah yaitu dia melakukan pembagian terhadap kakek
sebagaimana yang dilakukan oleh Ali bila ahli waris hanya kakek bersama dengan saudara dan
bila di samping kakeksaudara ada ahli waris furudh lainnya maka hak kakek adalah
sebagaimana yang dikemukakan oleh Zaid ibn Tsabit.

Meski pada mulanya hak kakek begitu sederhana terutama menurut pandangan
Hanafiyah, namun karena banyaknya pertimbangan maka masalahnya menjadi begitu rumit.
Pertimbangan pertama ialah bahwa ia dapat mewarisi bersama yang lain dalam kedudukan
sebagai seorang saudara laki-laki. Kalau jumlah ahli waris sedikit yang akan diperoleh kakek
mungkin lebih dari 1/6. Tetapi, dalam bagi bersama itu mungkin dalam kasus tertentu kakek
akan mendapat kurang dari 1/6. Bila terjadi kenyataan ini maka timbul pemikiran lain bahwa
sebagai dzaul furudh kakek haknya sudah pasti yaitu 1/6. Karena itu setidaknya ia harus
menerima sebanyak furudh tersebut. Adanya dua kemungkinan kedudukan kakek, yaitu
sebagai furudh dan ashabah menjadikan masalah ini rumit.

Masalah kakek bersama saudara ini menjadi semakin rumit dan penyelesaiannya
semakin meluas bila di samping kakek-saudara itu terdapat ahli waris furudh lainnya yaitu ibu.
Terlalu banyak pertimbangan yang muncul dalam masalah ini yang menyebabkan masalah
meluas. Kerumitan dan perluasan tersebut begitu terasa dalam masalah ahli waris yang terdiri
dari kakek, saudara perempuan dan ibu, Di antara pertimbangan itu adalah; Pertama, kakek itu
menempati ke. dudukan ayah, oleh karenanya kakek tidak mungkin menerima lebih sedikit dari
ibu. Kedua, dalam berbagai rata bersama saudara ia berkedudukan sebagai saudara laki-laki;
oleh karena itu bagiannya tidak mungkin kurang dari saudara perempuan. Ketiga bahwa
saudara perempuan dan ibu sudah jelas furudhnya dan tentunya tidak mungkin menerima
jumlah yang berbeda dari yang telah ditetapkan. Ketiga pertimbangan ini saling berbenturan
dan menyebabkan sangat banyaknya perbedaan pendapat para ulama sahabat dalam hal ini
sehingga masalah ini dinamakan al-Kharqa’. Perbedaan pendapat tersebut sebagai berikut:

Abu Bakar tidak menganggap ini sebagai masalah karena itu penyelesaiannya baginya
begitu ringkas. Ibu sebagai yang berhak atas furudh menerima 1/3 karena pewaris tidak
meninggalkan anak. Dengan ter-hijabnya saudara perempuan oleh kakek, ahli waris yang
masih tersisa adalah kakek. Kakek sebagai satu-satunya laki-laki mendapat sisanya yaitu 2/3.

Zaid ibn Tsabit dalam kasus ini memberikan hak furudh kepada ibu sebanyak 1/3. Sisa
harta adalah untuk kakek dan saudara perempuan, dengan pembagian dua banding satu.
Pembagian selanjutnya adalah:

 Kakek menerima 2/3x2/3=4/9.


 Saudara perempuan menerima 1/3x2/3=2/9.

Di samping bagian kakek itu adalah yang terbanyak antara 1/6 atau 1/3 sisa dan berbagi,
kakek juga sudah menerima lebih banyak dari ibu dan juga lebih banyak dari saudara
perempuan. Persoalan sudah terpecahkan.

Ali ibn Abi Thalib menetapkan untuk furudh ibu 1/3 sesuai dengan ketentuan furudh
untuk saudara perempuan juga menerima furudhnya sesuai dengan yang ditentukan. Jumlah
furudh adalah 1/2+1/3=3/6+2/6=5/6. Kakek menerima hak kewarisannya sebagai ashabah
yaitu 1/6. Bahwa kakek menerima 1/6 sesuai dengan teori Ali di atas dan sudah sama pula
dengan furudh yang akan diterimanya. Hanya di sini Ali tidak terpengaruh oleh pertimbangan
bahwa kakek harus menerima lebih banyak dari saudara perempuan dan juga dari ibu; karena
dalam hal ini bagian kakek lebih kecil dari hak yang diterima keduanya. Tampaknya Ali lebih
mementingkan prinsip kesesuaian hukum lebih utama dari tuntutan perasaan yang tidak
berdasar.

Umar bin Khattab menetapkan saudara perempuan hak furudhnya yaitu 1/2. Untuk ibu
ditetapkannya 1/3 dari sisa harta dan untuk kakek adalah sisa akhir dari harta yaitu 1/3. Bahwa
saudara perempuan menerima 1/2 adalah sewajarnya karena demikianlah yang tersebut dalam
Al-Qur'an. Ditetapkannya ibu menerima 1/3 sisa dan bukan 1/3 dari seluruh harta adalah untuk
menghindari bagian kakek lebih kecil dari hak ibu. Agaknya kebijakan Umar di sini masih
terpengaruh oleh kebijakannya dalam menghadapi masalah Umariyah sebagaimana disebutkan
di atas. Dalam satu segi, kasus ini memang memiliki persamaan dengan kasus Umariyah yaitu
bahwa selain dari kakek dan ibu, ahli waris menerima 1/2; perbedaannya adalah dalam kasus
pertama adalah suami dan dalam kasus ini adalah saudara perempuan. Bahwa kakek di sini
menerima lebih kecil dari saudara perempuan kelihatannya tidak menjadi pertimbangan Umar.

Ibnu Mas‘ud dinukilkan mempunyai dua pendapat dalam menghadapi masalah ini.
Pertama sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Bakar meskipun pada prinsipnya Ibnu Mas’ud
termasuk golongan yang memberikan kemungkinan kepada saudara untuk mewarisi bersama
kakek. Pendapat keduanya adalah memberikan saudara perempuan 1/2 sesuai dengan
furudhnya dan sisa harta dibagi sama rata antara kakek dan ibu. Bahwa saudara perempuan
mendapat 1/2 hal tersebut karena mengikuti prinsip hukum. Namun untuk memberikan sisa
harta untuk dibagi bersama antara kakek dan ibu tidak ada dasarya sama sekali yang digunakan
Ibnu Mas’ud. Dalam keadaan apa pun tidak pemnah ibu menerima waris dalam perhitungan
sisa harta. Bahwa kakek berbagi sama banyak dengan ibu juga tidak ada argumentasi logis
karena dengan ayah yang digantikan kakek pun tidak pernah terjadi ibu berbagi sama dalam
sisa harta. Dalam kedua pendapat ini kelihatannya Ibnu Mas’ud tidak mempunyai pendirian
yang tetap.

Usman menempuh cara yang paling sederhana dan mudah dalam menghadapi masalah
ini yaitu harta dibagi tiga di antara mereka dan masing-masing mendapat sama banyak yaitu
1/3. Bahwa ibu mendapat sepertiga ada dasarnya yaitu furudh yang harus diterimanya. Bahwa
saudara perempuan dan kakek masing-masing menerima 1/3 sebagai ashabah bi ghairihi juga
tidak mungkin karena semestinya perbandingan keduanya adalah dua banding satu. Mengikuti
prinsip pembagian menurut yang dilakukan jumhur bila kakek bersama saudara dicampuri ahli
waris furudh yang lain ternyata juga tidak. Satu-satunya alasan yang tinggal ialah Usman ingin
menempuh cara yang paling mudah dan sederhana.

c. Masalah Akdariyah

Masalah akdariyah adalah kelanjutan dari masalah bertemunya kakek dan saudara
dalam satu kelompok ahli waris. Bila dalam masalah sebelum ini yaitu susunan ahli waris
terdiri dari kakek, saudara perempuan dan ibu telah menimbulkan begitu rumitnya masalah
yang menyebabkan perpecahan pendapat yang luas di kalangan sahabat. Dalam kasus
akdariyah ini, susunan ahli waris ditambah dengan suami yang menyebabkan bagian bersama
kakek, saudara perempuan dan ibu semakin kecil. Dalam hal ini juga yang dipertimbangkan
adalah hak yang akan diterima oleh kakek jangan sampai ia mendapat sedikit.

Jika diselesaikan menurut yang biasa dilakukan yaitu kakek ditempatkan sebagai
ashabah karena ia satu-satunya kerabat laki-laki maka ia tidak akan dapat apa-apa karena harta
habis terbagi di kalangan dzaul furudh. Suami mendapat 1/2 karena pewaris tidak
meninggalkan anak, ibu menerima 1/3 karena tidak ada anak dan demikian pula seorang
saudara perempuan mendapat 1/2 karena pewaris adalah kalalah. Jumlah furudh akan menjadi
1/2+1/2+1/3=3/6+3/6+2/6=8/6. Kalau kakek diberi hak sebagai furudh 1/6, maka hal ini juga
berbenturan dengan prinsip sebagai pengganti ayah, kakek harus menerima lebih banyak
daripada ibu; sedangkan dalam kedudukan sebagai seorang saudara laki-laki tentu tidak
mungkin ia menerima lebih kecil dari saudara perempuan. Dalam hal ini kakek berada dalam
posisi yang serba tidak enak.

Menurut cara Abu Bakar penyelesaiannya adalah sebagai berikut suami mendapat 1/2
sebagai furudh, ibu menerima 1/3 sebagai furudh dan kakek menerima sisanya yaitu 1/6
sebagai ashabah. Sedangkan saudara perempuan terhalang oleh kakek dan dengan demikian
tidak mendapatkan warisan. Karena kakek sudah menerima kemungkinan terbaik maka
masalah dianggap selesai.

Umar dan Ibnu Mas‘ud memberikan solusi sebagai berikut: suami 1/2, saudara
perempuan 1/2, untuk kakek 1/6 sebagai furudh dan untuk ibu 1/6. Kemudian pembagiannya
diselesaikan secara ‘aul. Ibu diberi 1/6 dengan pertimbangan supaya haknya tidak melebihi hak
kakek. Namun alasan perubahan persentase bagian yang didapat ibu (1/6) dari yang telah
ditetapkan oleh Al-Qur’an, tidak pernah dijelaskan baik oleh Umar maupun Ibnu Mas‘ud.
Dalam kasus ini, berarti keduanya lebih mementingkan perasaan daripada tuntutan hukum.

Zaid bin Tsabit memberikan penyelesaian yang jenius dan memberikan porsi yang lebih
besar kepada kakek meskipun membentur beberapa prinsip lainnya. Metode yang
digunakannya adalah sebagai berikut: Setiap orang ditentukan furudhnya, yaitu:

 suami l/2=3/6
 ibu1/3=2/6
 saudara perempuan1/2=3/6
 kakek1/6=1/6
 Jumlah:9/6.

Setelah dilakukan ‘aul hak masing-masing adalah:

 suami menjadi 3/9


 ibu menjadi 2/9
 Saudara perempuan menjadi 3/9
 kakek menjadi 1/9

Masing-masing ibu dan suami sebagai orang luar yang mendampingi kakek dan saudara
perempuan diberikan haknya; sesudah itu hak saudara perempuan dan kakek digabung menjadi
3/9+1/9=4/9. Jumiah ini dibagikan kepada kakek dan saudara perempuan dengan bandingan
dua banding satu; dengan demikian:

 hak kakek menjadi 2/3x4/9=8/27


 bagian saudara perempuan 1/3x4/9=4/27.

Dari penyelesaian menurut Zaid tersebut di atas memang telah terpenuhi keinginan
untuk menjadikan hak kakek (8/27) lebih besar dari saudara perempuan (4/27) dan ibu; namun
saudara perempuan yang semestinya mendapatkan 1/2 atau setelah di‘aulkan menjadi3/9 atau
9/27 menjadi 4/27. Hal ini berarti saudara perempuan menjadi korban dari kebijakan di atas.
Masalah ini dinamakan akdariyah karena menurut satu pendapat yang mengajukan persoalan
ini bernama Akdar.

Dengan memperhatikan perbincangan ulama dalam menyelesaikan masalah


berkumpulnya kakek dengan saudara-saudara terutama saudara perempuan, timbul dugaan
bahwa para ulama ini terlalu mempertimbangkan hak kakek dan mengusahakan bagian yang
paling menguntungkan untuk kakek. Usaha demikian sebenarnya boleh-boleh saja. Namun
dalam keadaan tertentu tindakan menguntungkan kakek justru menimbulkan kerugian di pihak
lain. Karena pihak yang dirugikan itu justru kebanyakan adalah pihak perempuan timbul pula
dugaan lain bahwa ulama mujtahid itu masih belum dapat melepaskan dirinya dari pengaruh
adat dan budaya lama yang selalu merendahkan perempuan; meskipun Al-Qur’an sendiri sudah
menuntunnya ke arah penyesuaian kedudukan perempuan dengan laki-laki.

Anda mungkin juga menyukai