Anda di halaman 1dari 13

 

   BAB I
PENDAHULUAN

1.      Latar belakang


Apabila dalam suatu kasus pembagian warisan, ahli warisnya hanya terdiri dari ashabul al furud
saja, ada tiga kemungkinan yang terjadi yaitu terjadi kekurangan harta, terjadi kekurangan harta, dan
bagian yang diterima ahli waris tepat persis dengan harta warisan yang dibagi. Jika terjadi pembagian
warisan seperti ini disebut dengan masalah ‘adilah . yang terakhir ini tidak menimbulkan persoalan. Oleh
karena itu uraian makalah kami akan difokuskan pada dua masalah yaitu pada kekurangan harta dan
kelebihan harta warisan.
2.      Rumusan masalah
a.       Apa pengertian Radd dan bagaimana cara penyelesaiannya ?
b.      Apa perbedaan pendapat para Ulama dalam menyelesaian harta yang terdapat sisa harta ?
c.       Bagaimana perhitungan pembagian warisan apabila ahli waris terdiri dari Ashhab al-Furudl yang terjadi
kekurangan harta dan bagaimana penyelesaian pembagian warisan yang mengalami kekurangan?
3.      Tujuan
a.       pengertian Radd dan cara penyelesaiannya
b.      Mengetahui  perbedaan pendapat para Ulama dalam menyelesaian harta yang terdapat sisa harta
c.       Mengetahui  perhitungan pembagian warisan apabila ahli waris terdiri dari Ashhab al-Furul yang terjadi
kekurangan harta dan penyelesaianya.
BAB II
PEMBAHASAN

1.      Pengertian Radd dan bagaimana penyelesaiannya


Rad secara harfiyah artinnya mengembalikan, sedangkan menurut istilah adalah kekurangan
dalam pokok masalah dan pertambahan dalam jumlah bagian-bagian yang ditetapkan. masalah ini terjadi
apabila dalam pembagian warisan terdapat kelebihan harta setelah ahli waris ashab al-furud memperoleh
bagianya. Cara radd ini ditempuh bertujuan untuk mengembalikan sisa harta kepada ahli waris yang ada
seimbang dengan bagian yang diterima masing-masing secara proporsional.[1]
Caranya adalah mengurangi angka masalah sehingga besarnya sama dengan jumlah bagian yang
diterima oleh ahi waris. Apabila tidak ditempuh cara radd, akan menimbulkan persoalan siapa yang
berhak menerima kelebihan harta, sementara tidak ada ahli waris yang menerima ‘asabah. Untuk lebih
jelasnya dibawah ini akan dikemukakan beberapa contoh :
a.       Seseorang meninggal dunia ahli warisnya terdiri dari : anak perempuan dan ibu. Harta warisannya
sebesar Rp 12.000.000,- bagian masing-masing adalah:
         Jika tidak ditempuh dengan cara radd :
Ahli waris              bag      AM 6   HW Rp 1.200.000,-                penerimaan
Anak perempuan   1/2       3          3/6 x Rp 12.000.000,-             = Rp 6.000.000,-
Ibu                         1/6       1          1/6 x Rp 12.000.000,-             =Rp2.000.000,-
                                          4                      jumlah                         = Rp 8.000.000,-
Terdapat sisa harta sebesar Rp 12.000.000,- - Rp 8.000.000,- = Rp 4.000.000
         Jika diselesaikan dengan cara radd :
Ahli waris              bag             AM 6-4     HW Rp 12.000.000,-  penerimaan
Anak perempuan   1/2                    3           ¾ x Rp 12.000.000,- = Rp 9.000.000,-
Ibu                         1/6                   1          ¼ x Rp 12.000.000,-  =Rp3.000.000,-
                                                       4         jumlah                         = Rp 12.000.000,-
Anak perempuan yang semula menerima bagian 6.000.000,- berubah mendapat bagian Rp 9.000.000,-
dan ibu yang semula menerima bagian Rp 2.000.000,- mendapat bagian Rp 3.000.000,-
b.      Harta warisan yang ditinggalkan simati sebesar Rp 8.400.000,- ahli warisnya terdiri dari istri dan ibu.
Bagian masing-masing adalah :
         Jika tidak diselesaikan dengan radd :
Ahli waris                        bag      AM 12             HW Rp 8.400.000,-    penerimaan
Istri                      ¼         3                      3/12 x Rp 8.400.000,- = Rp 2.400.000,-
Ibu                       1/3       4                      4/12 x Rp 8.400.000,- =Rp2.800.000,-
                                                                 Jumlah                         Rp 4.900.000
Terdapat sisa harta warisan sebesar Rp 8.400.000,--Rp 4.900.000,- = Rp 3.500.000,-
         Jika diselesaikan dengan radd :
Ahli waris                        bag      AM 12-7         HW Rp 8.400.000,-    penerimaan
Istri                      ¼         3                      3/7 x Rp 8.400.000,-   = Rp 3.600.000,-
Ibu                       1/3       4                      4/7 x Rp 8.400.000,-   =Rp4.800.000
7                      jumlah                         = Rp 8.400.000,-
c.       Seseorang meninggal dunia, ahli warisnya terdiri dari : ibu dan 2 saudara seibu. Harta warisan yang
ditinggalkan sejumlah Rp 3.6000.000,- bagian masing-masing :
         Jika tidak diselesaikan dengan radd :
Ahli waris                        bag      AM 6   HW Rp 3.000.000,-    penerimaan
Ibu                       1/6       1          1/6 x Rp 3.600.000,-   =  Rp 6.00.000,-
2 sdr seibu           1/3       2          2/6 x Rp 3.600.000,-   =Rp1.200.000,-
                                         3          jumlah                         = Rp 1.800.000
Terdapat sisa harta sebanyak Rp 3.600.000,- -Rp 1.800.000,- = Rp 1.800.000,-
          Jika diselesaikan dengan radd :
         Ahli waris                       bag      AM 6-3                       HW Rp 3.000.000,-    penerimaan
        Ibu                       1/6       1                      1/3 x Rp 3.600.000,-   =  Rp 1.200.000,-
        2 sdr seibu           1/3       2                      2/3 x Rp 3.600.000,-   =Rp2.400.000,-
                        3                      jumlah                         = Rp 3.600.000
Ibu yang semula menerima Rp 600.000,- berubah menjadi, mendapat bagian Rp1.200.000,- dan 2 sdara
seibu berubah dari Rp 1.200.000,- menjadi Rp 2.400.000.
Syarat-syarat berlakunya radd :
a.)    Adanya pewaris dengan penentuan.
b.)    Tidak ada ashobah.
c.)    Adanya sisa dari harta peninggalan.
d.)   Apabila tidak dipenuhi syarat-syarat ini, maka tidak berlaku radd.
Para pewaris yang menerima radd :
Semua ashabul furud boleh menerima radd, kecuali suami istri. Radd berlaku untuk 8 asbahul furud :
a.)    Anak perempuan.
b.)    Anak perempuan dari anak laki-laki (cucu perempuan).
c.)    Saudara perempuan seayah seibu.
d.)   Saudara perempuan seayah.
e.)    Ibu.
f.)     Nenek yang shahih.
g.)    Saudara perempuan seibu.
h.)    Saudara laki-laki seibu
Adapun ayah dan kakek- walaupun keduanya termasuk ashabul furudh dalam beberapa keadaan, namun
mereka berdua tidak boleh menerima radd. Karena bila mana terdapat ayah atau kakek, maka tidak
mungkin terjadi radd dalam masalah itu, karena waktu itu keduanya menjadi ashobah dan mengambil
sisanya.
Para pewaris yang tidak boleh menerima radd diantara ashabul furud adalah suami istri saja. Hal ini
disebabkan kekerabatan mereka bukan kekerabatan nasabiyah tapi kekerabatan sababiyah. Sebab ini telah
terputus dengan kematian maka masing-masing dari suami istri hanya mengambil radhunya saja tanpa
tambahan. Adapun sisa harta maka dia dikembalikan lagi kepada ashabul furudh lainya.[2]
2.      Perbedaan pendapat para ulama dalam menyelesaikan harta yang terdapat sisa harta
Terhadap penyelesaian masalah dengan cara radd ini, ternyata ada ulama yang tidak setuju sama
sekali sebagian ada yang setuju dengan syarat, dan sebagian lagi menyatakan dengan tegas menerima.
Dibawah ini akan diuraikan perbedaan pendapat tersebut :[3]
a.       Radd atau pengembalian sisa harta warisan bila dilaksanakan hanya terbatas pada ahli waris nasabiyah.
Jadi, ahli waris sababiyah-suami atau isteri-tidak dapat menerima radd. Demikian pendapat mayoritas
(jumhur) ulama. Mula-mula pendapat ini dikemukakan oleh ali bin abi thalib, kemudian diikuti oleh Abu
Hanifah, Ahmad bin Hanbal, Fuqaha Mutaakhirin dari madzhab syafi’iyah, malikiyah, syi’ah zaidiyah,
dan syi’ah imamiyah. Dasar hukum yang dipedomaninya adalah :
         Firman Allah SWT :
‫ب هللا‬ ٍ ‫ضهُ ْم أَوْ لَى بِبَع‬
ِ ‫ْض فِ ْى ِكتَا‬ ْ ُ‫َواُوْ ل‬
ُ ‫وااالَرْ َح ِام بِ ْع‬
“dan orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak dari pada yang lain
dalam kitab Allah.” (QS Al-Anfal : 75)
Ayat tersebut pada prinsipnya adalah mengatur pembagian warisan kepada ashab al-furud, tetapi
kemudian dijadikan dasar penyelesaian masalah radd. Pertimbangannya adalah mereka yang memiliki
hubungan darah lebih pantas menerima pengembalian harta sisa, dari pada kaum muslimin yang tidak ada
ikatan kekerabatan atau hubungan darah. Karena jika sisa harta itu diserahkan kepada bait al-mal maka
kaum muslimin itulah yang akan memanfaatkannya.
         Praktek yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Ketika pada suatu saat didatangi oleh seorang
perempuan yang menanyakan status budak yang baru saja diserahkan kepada ibunya, dan beberapa hari
kemudian ibunya meninggal dunia. atas pertanyaan itu Nabi SAW menegaskan :
ِ ‫ت اِلَ ْيكَ فِي ْال ِمي َْرا‬
‫ث‬ ْ ‫ك َو َر َج َع‬
ِ ‫ب اَجْ ُر‬
َ ‫َو َج‬
“kamu pantas menerima pahala, dan budak itu kembali kepadamu dengan jalan pewarisan”
Atas dasar penegasan Nabi SAW tersebut dapat dipahami bahwa penyelesaian pembagian warisan dengan
cara radd kepada ahli waris adalah ditunjuk oleh Rosulullah SAW. sebab kalau saja Nabi SAW
menyelesaikannya tidak dengan cara radd, maka anak perempuan tersebut hanya berhak menerima
separohnya saja. Memang dalam hal ini, tidak ada penjelasan melalui contoh harta lain, tetapi penegasan
Rasul bahwa budak itu kembali kepada anak perempuan itu dengan cara pewarisan itu adalah isyarat yang
cukup tegas, bahwa beliau setuju dengan cara radd.
Jadi atas dasar alasan-alasan diatas, ahli waris yang berhak menerima pengembalian sisa harta hanyalah
ashab al wurud nasabiyah. berikut ini akan diselesaikan contoh penyelesaian radd menurut mayoritas
ulama :
a.)    Seseorang meninggal dunia ahli warisnya terdiri dari istri, ibu dan saudara seibu. Harta warisannya
sebesar Rp 10.800.000,- bagian masing-masing adalah:
Ahli waris  bag      AM 12 Rp 10.800.000,-                      penerimaan
Istri            1/4       3          3/12 x Rp 10.800.000,-           = Rp 2.700.000,-
(sisa harta Rp 10.800.000,- - Rp 2.700.000,-= Rp 8.100.000,-)
Ibu             1/3       4          4/6 x Rp 8.100.000,-               = Rp 5.400.000,-
Sdr.seibu   1/6       2          2/6 x Rp 8.100.000,-               =Rp2.700.000,-
                              6          jumlah                                     = Rp 10.800.000
b.)    Seorang meninggal dunia, harta warisan yang ditinggalkan sebesar Rp 4.800.000,- ahli warisnya terdiri
dari suami, saudara perempuan seibu, dan nenek. Bagian masing-masing :
Ahli waris  bag      AM 6   HW Rp 4.800.000,-    penerimaan
Suami        1/2       3          3/6 X Rp 4.800.000,-  = Rp 2.400.000,-
(sisa harta Rp 4.800.000,- - Rp 2.400.000,- = Rp 2.400.000,-)
Sdr seibu   1/6       1          1/2 x Rp 2.400.000,-   = Rp 1.200.000,-
Nenek        1/6       1          1/2 x Rp 2.400.000,-   =Rp1.200.000,-
                              2          jumlah                         = Rp 4.800.000,-
b.      radd dapat dilakukan dengan mengembalikan sisa semua harta warisan kepada ahli waris yang ada, baik
ashab al furud nasabiyah maupun sababiyah. Pendapat ini dikemukakan pleh sahabat ‘Usman bin ‘Affan.
Pertimbangannya, logika dan segi praktis pembagian warisan. Ia mengataklan suami dan istri dalam
masalah ‘aul bagian mereka ikut terkurangi, maka apabila terdapat kelebihan harta, maka sudah
sepantasnya mereka juga diberi hak untuk menerima kelebihan tersebut.
Apabila contoh pada poin (1) menurut pendapat mayoritas ulama. Diselesaikan menurut pendapat ‘Usman
maka dapat dihasilkan pembagian sebagai berikut :
(1)   Angka asal masalah diturunkan 12 menjadi 9 :
Ahli waris  bag AM 12-9   HW Rp 10.800.000,-                          penerimaan
Istri            1/4       3                      3/9 x Rp 10.800.000,-             = Rp 3.600.000,-
Ibu             1/3       4                      4/9 x Rp 10.800.000,-             = Rp 4.800.000,-
Sdr seibu   1/6       2                      2/9 x Rp 10.800.000,-             =Rp2.400.000,-
                              9                      jumlah                                     = Rp 10.800.000,-
Istri yang semula menerima bagian Rp 2.700.000,- berubah mendapat bagian Rp 3.600.000,- kadi
mendapat tambahan sebesar Rp 900.000,-
(2)   Angka asal masalah diturunkan dari 6 menjadi 5
Ahli waris bag      AM 6-5                       HW Rp 4.800.000,-                penerimaan
Suami        1/2       3                      3/5 x Rp 4.800.000,-               = Rp 2.880.000
Sdr.seibu   1/6       1                      1/5 x Rp 4.800.000,-               = Rp 960.000
Nenek        1/6       1                      1/5 x Rp 4.800.000,-               =Rp960.000,-
                              5                      jumlah                                     = Rp 4.800.000,-
Suami yang semula menerima bagian Rp 2.400.000,- mendapat tambahan sebesar Rp 480.000,- hingga
menjadi Rp 2.880.000,-
c.       Pendapat yang menolak secara mutlaq penyelesaian pembagian warisan dengan cara radd. Demikian
pendapat Zaid ibnu Tsabit dan minoritas ulama lainnya. Diantaranya Urwah bin Al Zuhri, Imam Syafi’I,
Ibnu Hazm Al Zahiry Al Andalusy, dan para fuqaha malikiyah dan syafi’iyah.
Menurut pendapat ini apabila dalam pembagian warisan terdapat kelebihan harta, tidak perlu
dikembalikan kepada ahli waris, tetapi diserahkan ke bait al mal. Kaum musliminlah yang berhak
memanfaatkannya. Seperti dikatakan Muhammad Syarbiny, fuqaha Syafi’iyah menegaskan, “baik bait al
mal atau kas perbendaharaan negara berfungsi dengan baik atau tidak , hak terhadap kelebihan harta
warisan itu berada pada kaum muslimin, dan kepala bait al mal itulah sebagai Nadzir atau penanggung
jawab atas kepentingan kaum muslimin”.[4]
Dalam penelitian Fathur Rahman, pendapat tersebut didasarkan pada situasi dan kondisi umat Islam
pada waktu itu yang sangat membutuhkan biaya dan bantuan negara melalui wadah bait al mal.
Perubahan dan dinamika masyarakat dimana fuqaha’ syafi’iyah hidup tampaknya mengalami perubahan
dan kemajuan. Lebih-lebih peranan bait al mal tidak lagi berfungsi secara optimal sehingga dengan
kenyataan sosial semacam ini, fuqaha syafi’iyah mengubah pendapatnya. Menurut mereka dalam rangka
refungsionalisasi kelebihan harta, sebaiknya dikembalikan saja kepada ashab al furud atau zawi arham
jika ada secara proporsional.
Pendapat terakhir cukup praktis dan rasional namun demikian tidak bisa diberlakukan secara mutlak.
Karena apabila pada suatu saat kepentingan kaum muslimin sangat membutuhkan pendanaan, yang salah
satunya harus dipenuhi misalnya melalui sarana bait al mal, maka kelebihan harta perlu disetor ke bait al
mal. Akan tetapi jika kebutuhan umum hanya bersifat subside saja maka cara radd untuk mengembalikan
sisa harta kepada ahli waris merupakan cara yang lebih tepat.
Adapun alasan-alasan para ulama yang menolak cara penyelesaian pembagian warisan dengn cara
radd adalah:
1.)    Allah SWT telah menentukan bagian-bagian tertentu (furud al muqadarah) kepada ahli waris ashab al
furud secara pasti (qat’iy). Besar kecilnya bagian tidak perlu ditambah-tambah atau dikurangi (QS An-
Nisa : 11-12). Menambah bagian ahli waris melebihi ketentuan yang seharusnya diterima menurut nas,
berarti melampaui batas-batas yang digariskan oleh Allah. Padahal terhadap mereka yang melampaui
batas Allah memberi ultimatum dalam firman Nya :
ٌ ‫ْص هَّللا َ َو َرسُولَهُ َويَتَ َع َّد ُحدُو َدهُ يُ ْد ِخ ْلهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا َولَهُ َع َذابٌ ُم ِه‬
‫ين‬ ِ ‫َو َم ْن يَع‬
“dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasulnya dan melanggar ketentuan-ketentuannya, niscaya
Allah akan memasukkannya kedalam api neraka, sedangkan ia kekal didalamnya dan baginya siksa yang
menghinakan” (QS An Nisa : 14)
2.)    Nabi Muhammad SAW telah menegaskan bahwa Allah telah menentukan hak-hak yang dapat diterima
oleh seorang ahli waris. Sabda beliau menyatakan :
)‫ق َحقَّهُ (رواه الترمدي‬
ِّ ‫اِ َّن هللاَ قَ ْداَ ْعطَى ُك َّل ِديْ َح‬
“sesungguhnya Allah SWT telah memberi hak kepada pemegang hak“ (HR Tirmidzi)
hadits diatas dikeluarkan setelah turun ayat 14 surat An Nisa. Artinya hadits tersebut bermaksud untuk
menguatkan hujjah ayat tersebut oleh karena itu siapapun ada kewajiban dan perlu memperhatikannya
didalam melakukan pembagian hartsa warisan
3.)    Para ahli waris yang telah menerima bagian tertentu tidak berhak menerima sisa harta warisan, karena
tidak ada jalan untuk memilikinya. Untuk itu, sisa harta yang ada harus diselesaikan kepada bait al mal.
Seperti halnya harta peninggalan simati yang tidak mempunyai ahli waris sama sekali.
3.      Perhitungan pembagian warisan apabila ahli waris terdiri dari Ashab Al-Furudl yang terjadi kekurangan
harta dan penyelesaiannya.
Terjadi kekurangan harta yaitu apabila ahli waris banyak dalam furud al muqaddarah dilaksanakan apa
adanya. oleh karena itu, cara penyelesaiannya adalah bagian yang diterima oleh masing-masing ahli waris
dikurangi secara proporsional menurut besar kecilnya bagian yang mereka terima. Ini disebut masalah
Aul.
‘Auol secara bahasa mempunyai sejumlah arti, ia bisa berarti kedzaliman, firman Allah :
ْ‫دلِكَ اَ ْدنَى اَاَّل تَعُوْ لُو‬.
“hal itu supaya kamu cenderung tidak berbuat aniaya”
Secara harfiyah ‘aul artinya bertambah atau meningkat. sedangkan Menurut istilah ialah tambahan
dalam seluruh saham yang ditetapkan dan kekurangan pada bagian-bagian para pewaris.[5] Dikatakan
‘aul karena dalam praktek pembagian warisan, angka asal masalah harus ditingkatkan atau dinaikkan
sebesar angka bagian yang diterima oleh ahli waris yang ada. Langkah ini diambil, karena apabila
pembagian warisan diselesaikan menurut ketentuan buku semestinya, maka akan terjadi kekurangan
harta.[6]
Kasus ‘aul pertama kali muncul adalah ketika sahabat Umar bin Khattab ditanya oleh seorang sahabat
tentang penyelesaian pembagian warisan dimana ahli warisnya terdiri dari suami dan 2 orang saudara
perempuan sekandung menerima 2/3. Jika asal masalahnya 6 berarti suami menerima bagian 1/2, berarti
½ x 6 = 3, dan 2 saudara perempuan sekandung 2/3 berarti 2/3 x 6 = 4. Jadi jumlah seluruhnya 7 artinya
kelebihan 1.
Menghadapi pertanyaan tersebut sahabat Umar bimbang. Beliau tidak mengetahui siapa diantara
mereka yang harus didahulukan. Sebab, sekiranya beliau telah mengetahuinya beliau tentu tidak akan
menemui kebimbangan. Kemudian, disampaikanlah masalah ini kepada Zaid ibnu Tsabit dan Abbas ibnu
Abdul muthalib seraya beliau berkata “sekiranya aku memulai dengan memberikan bagian kepadasuami,
maka bagian 2 saudara perempuan sekandung, tentu tidak sempurna baginya, atau sekiranya aku mulai
memberikan bagian kepada 2 saudara perempuan sekandung tentu suami tidak sempurna bagiannya”[7].
Atas dasar pendapat sahabat Abbas bin Abdul Muthalib  tersebut dan disaksikan oleh Zaid ibnu Tsabit,
beliau menyelesaikan kasus diatas dengan cara ‘aul, yaitu menaikkan angka asal masalah sebesar angka
jumlah bagian yang diterima ahli waris semula.[8]
Ahli waris                        bag AM           di aulkan 7      penerimaan
Suami                   1/2       3                      3/6                               3/7
Sdr.pr.skd                        1/3       4                      4/6                               4/7
                                         7                      7/6                               7/7
Pokok-pokok masalah yang mengalami ‘aul dan tidak mengalami ‘aul :
Pokok masalah ada tujuh : tiga diantaranya mengalami ‘aul dan empat tidak mengalami ‘aul. Adapun
tiga pokok yang mengalami ‘aul adalah : enam (6), dua belas (12), dan dua puluh empat (24). Adapun
pokok yang tidak mengalami ‘aul adalah dua (2), tiga (3), empat (4), dan delapan (8). Apabila salah satu
dari pokok-pokok masalah termasuk bilangan ini maka tidak mungkin terjadi ‘aul dalam masalah.
Adapun pokok-pokok yang mengalami ‘aul  sebagai mana kami jelaskan, tiap pokok-pokok itu
mempunyai cara ‘aul tersendiri. Pokok enam (6) bertambah menjadi sepuluh (10), baik ganjil maupun
genap, yakni enam bertambah menjadi tujuh, delapan, Sembilan, dan sepuluh, tidak lebih dari itu. Dua
be;las bertambah menjadi tujuh belas (17), baik ganjil maupun genap, yakni ia bertambah menjadi 13 dan
15 serta 17 maka ia mengalami ‘aul empat kali saja. Dua puluh empat (24) bertambah menjadi dua puluh
tujuh (27) dengan sekali ‘aul dalam masalah yang tersohor bernama “masalah minbariyah”[9].
Dinamakan minbariyah karena Ali karomallohu wajhah memutuskan itu diatas mimbar.
Dibawah ini akan dikemukakan beberapa contoh disertai bagian harta warisannya :
1.)     Seseorang meninggal dunia harta warisannya sebesar Rp 60.000.000,- ahli warisnya terdiri dari: istri,
ibu, 2 saudara perempuan sekandung dan saudara seibu. Bagian masing-masing adalah :
a.       Jika diselesaikan apa adanya :
Ahli waris  bag      AM 12             HW Rp 60.000.000,-              penerimaan
Istri            ¼         3                      3/12 x Rp 60.000.000,-           = Rp 15.000.000,-
Ibu             1/6       2                      2/12 x Rp 60.000.000             = Rp 10.000.000,-
2 sdr pr skd 2/3     8                      8/12 x RP 60.000.000             = Rp 40.000.000,-
Sdr seibu   1/6       2                      2/12 x Rp 60.000.000             =Rp 10.000.000,-
                              15                    jumlah                                     = Rp 75.000.000,-
Hasilnya terjadi kekurangan harta sebesar Rp 75.000.000,- - Rp 60.000.000,- = Rp 15.000.000,-
b.      Apabila diselesaikan dengan cara ‘aul :
Ahli waris  bag      AM 12-15       HW Rp 60.000.000,-              penerimaan
Istri            ¼         3                      3/15 x Rp 60.000.000,-           = Rp 12.000.000,-
Ibu             1/6       2                      2/15 x Rp 60.000.000             = Rp 8.000.000,-
2 sdr pr skd 2/3     8                      8/15 x RP 60.000.000             = Rp 32.000.000,-
Sdr seibu   1/6       2                      2/15 x Rp 60.000.000             =Rp 8.000.000,-
                              15        jumlah                                                 = Rp 60.000.000,-
Angka asal masalah di’aulkan dari 12 menjadi 15, karena apabila tidak di’aulkan akan terjadi kekurangan
harta sebesar Rp 15.000.000,-
2.)     Harta warisan peninggalan si mati sebesar 120.000.000,-  ahli warisnya terdiri dari : suami, 3 anak
perempuan, nenek, dan kakek. Bagian masing-masing adalah :
Ahli waris      bag      AM 12-15 HW Rp 120.000.000,-                   penerimaan
Suami             ¼         3                      3/15 x Rp 120.000.000,-         = Rp24.000.000,-
3 anak pr        2/3       8                      8/15 x Rp 120.000.000,-         = Rp 64.000.000,-
Nenek                        1/6       2                      2/15 x Rp 120.000.000,-         = Rp 16.000.000,-
Kakek                        1/6       2                      2/15 x Rp 120.000.000,-         = Rp 16.000.000,-
                       +’as
                                   15                    jumlah                                     = Rp 120.000.000
Asal masalah di’aulkan dari 12 menjadi 15 karena apabila tidak di’aulkan akan terjadi kekurangan harta
sebesar Rp 30.000.000,-
3.)     Seseorang meninggal dunia ahli warisnya terediri dari : istri, ibu, 2 anak perempuan dan bapak. Harta
warisannya sebesar Rp 64.800.000,- bagian masing-masing adalah :
Ahli waris      bag     AM 24-27      HW Rp 64.800.000,-             penerimaan
Isteri              1/8                   3         3/27 x Rp 64.800.000,-          = Rp. 7.200.000
Ibu                 1/6                   4         4/27 x Rp 64.800.000,-           = Rp 9.600.000,-
2 ank pr          2/3                   16       16/27 x Rp 64.800.000,-         = Rp 38.400.000,-
Bapak                        1/6                  4         4/27 x Rp 64.800.000,-           = Rp 9.600.000,-
+’as
27                                jumlah             = Rp 64.800.000
Angka asal masalah di’aulkan dari 24 menjadi 27. Jika tidak di’aulkan akan terjadi kekurangan harta
sebesar Rp 8.100.000
4.)    Harta warisan yang ditinggalkan simati sebesar Rp 4.800.000,- ahli warisnya terdiri dari: suami, 2
saudara perempuan seayah, dan nenek. Bagian masing0masing adalah :
Ahli waris      bag      AM 6-8
Suami             ½         3                      3/8 x Rp 4.800.000,-   penerimaan
2 sdr pr seay  2/3       4                      4/8 x Rp 4.800.000,-   = Rp 1.800.000,-
Nenek                        1/6       1                      1/8 x Rp 4.800.000,-   = Rp 2.400.000,-
                                   8                                                          = Rp    6.00.000,-
                                                           Jumlah                         = Rp 4.800.000,-
Angka masalah di’aulkan dari 6 menjadi 8. Jika tidak di ‘aulkan maka akan terjadi kekurangan harta
sebesar Rp 1.600.000,-
Perlu diingat :
1.)    Setiap masalah dimana terdapat pewaris yang mendapat separuh harta dan lainnya mendapat sisa atau
dua pewaris yang masing-masing mendapat setengah, maka masalahnya dari dua dan tidak terjadi ‘aul
padanya.
2.)    Setiap masalah dimana pewaris mendapat sepertiga dan yang lain mendapat sisa atau terdapat dua
pewaris, yang satu mendapat sepertiga dan yang lain mendapat dua pertiga, maka masalahnya dari tiga
dan tidak terjadi ‘aul padanya.
3.)    Setiap masalah dimana pewaris mendapat seperempat dan yang lain mendapat sisa atau terdapat dua
pewaris, yang satu mendapat seperempat dan yang lain mendapat setengah maka masalahnya dari empat
dan terjadi ‘aul padanya.
4.)    Setiap masalah dimana pewaris mendapat seperdelapan dan yang lain mendapat sisa atau  terdapat
didalamnya dua pewaris, yang satu mendapat seperdelapan dan yang lain mendapat setengah, maka
masalahnya dari delapan dan tidak terjadi ‘aul padanya.
Terhadap masalah ‘aul ini ada sahabat yang menolaknya yaitu Ibnu Abbas, sayangnya meskupin ia
menentang pendapat ayahnya sendiri ia tidak berani mengungkapkannya pada Umar bin Khattab. Baru
setelah Umar wafat ia mengemukakan fatwanya. Ia mengetakan :
ُّ َ‫ضةٌ ق‬
‫ط‬ ْ َ‫َوأَ ْي ُم هِلّلا لَوْ قُ ِّد َم َم ْن قَ َّد َم هُللا تَ َعا لىى َواُ ِّخ َر َم ْن أَ َّخ َرهللا تَ َعالَى َماعَال‬
َ ‫ت فَ ِر ْي‬
“demi Allah andaikata didahulukan orang yang oleh Allah Ta’ala didahulukan, atau diakhirkan orang
yang olehnya diakhirkan maka tidak ada masalah ‘aul dalam pembagian warisan sama sekali”
Setelah mendengar fatwa Ibn Abbas, seseorang mengajukan pertanyaan: “siapakah orang yang
didahulukan oleh Allah?” beliau menjawab: “orang yang didahulukan dari bagian satu kebagian yang lain
oleh Allah, seperti suami, istri, atau ibu. Mereka itulah yang didahulukan oleh Allah. Orang yang
dipindahkan dari bagian tertentu kepada bagian bukan yang ditentukan-seperti anak dan saudara
perempuan-itulah yang diakhirkan”.
Ketika ibnu abbas didesak pertanyaan: “bagaimana jika masalah itu terjadi masalah ‘aul?” Beliau
menjawab : “kugabungkan yang bahaya-bahaya kepada yang lebih jelek keadaanya, yaitu anak-anak
perempuan dan saudara-saudara perempuan”. Atas dasar penjelasan diatas laki-laki penanya
berkomentar : “fatwamu itu tidak berfaedah bagimu sedikitpun, sebab andaikata kamu meninggal,
sungguh harta peninggalanmu dibagi oleh ahli warismu tanpa mengindahkan fatwamu itu”. Mendengar
bantahan ini, Ibnu Abbas marah sekali seraya mengatakan :
“ katakanlah kepada mereka yang berpendapat ad nya ‘aul sampai nanti kami kami berkumpul, lalu kami
berdo’a kepada Tuhan hingga Allah menimpakan laknat Nya kepada para pembohong. Sungguh zat yang
bisa menghitung butir-butir pasir dipadang alij tidak akan meninggalkan harta peninggalan dua paroan
dan satu pertigaan oleh karena apabila ini telah dikurangi separo dan separo lagi maka dimanakah tempat
yang sepertiga?”[11]
Pendapat Ibnu Abbas tersebut diikuti oleh fuqaha syi’ah imamiyah dan ja’fariyah.[12] Alasan
yang dikemukakan ialah pertama, ketentuan bagian dalam warisan telah diatur dalam Al-Qur’an secara
sempurna. Oleh karena itu setiap pemilik hak atas furud al muqaddarah harus dipenuhi. Apabila ternyata
tidak memungkinkan, maka hak-hak sebagian ahli waris yang dalam keadaan tertentu berubah menjadi
‘asabah seperti anak-anak dan saudara tidak perlu dipenuhi bagiannya. Konsekuensinya sebagai penerima
‘asabah sewaktu-waktu harus menerima bagian kecil atau bahkan tidak menerimanya sama sekali. Kedua,
ahli waris asbab al furud dipandang sebagai ahli waris yang harus didahulukan pemberian hak-haknya.
Jadi apabila kembali pada contoh kasus yang dihadapi oleh sahabat Umar bin Khattab adalah :
                                               AM6
-          Suami                   ½         3
-          2 sdr pr skd          ‘as       3
6
Bagian 2 saudara perempuan sekandung yang sedianya 2/3 bagian menjadi ½ meskipun tidak ada
ahli waris yang lain yang kedudukannya bisa mengubah ketentuan bagian saudara. Jadi, seakan-akan
saudara menerima bagian ‘asabah ma’a al-ghair, karena ada suami. Padahal sesungguhnya ahli waris yang
bisa mengubah hak waris saudara perempuan sekandung adalah anak perempuan atau cucu perempuan
garis laki-laki. Argumentasi yang digunakan adalah bahwa saudara perempuan bisa berubah bagianya
menerima ‘asabah ma’a al-ghair ketika bersama-sama dengan saudara laki-laki.

.             

BAB III
PENUTUP

1.      Kesimpulan
Rad secara harfiyah artinnya mengembalikan, masalah ini terjadi apabila dalam pembagian warisan
terdapat kelebihan harta setelah ahli waris ashab al-furud memperoleh bagianya. Caranya adalah
mengurangi angka masalah sehingga besarnya sama dengan jumlah bagian yang diterima oleh ahi waris.
Mayoritas (jumhur) ulama berpendapat, sisa harta dikembalikan kepada ahli waris ashab al furud
nasabiyah.Usman bin Affan menyatakan bahwa sisa harta secara mutlaq dikembalikan kepada semua ahli
waris yang ada tanpa membedakan status kekerabatanya. Zaid bin Tsabit menolak penyelesaian
pembagian warisan dengan cara radd secara mutlaq, menurutnya sisa harta diserahkan kepada bait al mal.
‘aul artinya bertambah atau meningkat. Dikatakan ‘aul karena dalam praktek pembagian warisan,
angka asal masalah harus ditingkatkan atau dinaikkan sebesar angka bagian yang diterima oleh ahli waris
yang ada. Terhadap masalah ‘aul ini ada sahabat yang menolaknya yaitu Ibnu Abbas.
2.      Kritik dan saran
Demikianlah makalah tentang perkembangan hukum Islam pada masa Sahabat yang telah kami
paparkan. Kami menyadari makalah jauh dari sempurna maka dari itu kritik yang membangun dari
pembaca sangat kami harapkan untuk perbaikan makalah ini. Harapan pemakalah, semoga makalah ini
dapat memberi pengetahuan baru dan bermanfaat bagi kita semua.

DAFTAR PUSTAKA
Rahman, Fatchur.1981. Ilmu Waris. Bandung: Al Ma’rif
Musa, Muhammad Yusuf. Al-Tirkah wa al-Miras fi al islam. Kairo: Dar Al Ma’rifah
Rofiq, Ahmad. 2001. Fiqih Mawaris. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Ali As-Shabuni, Muhammad. 1388. Ilmu Hukum Waris Menurut Ajaran Islam. Surabaya: Mutiara Ilmu.

Anda mungkin juga menyukai