Anda di halaman 1dari 36

KMK

Kajian Malam Kamis


Membaca Kitab Matan Abi Syuja’
Bab Waris

Pertemuan ke-1:

Pengantar
Urgensi Belajar Ilmu Waris dan
Problematika Penerapan Hukum
Waris di Indonesia

Oleh:
Muhammad Abdul Wahab, Lc., M.H.
Daftar Isi

DAFTAR ISI ...............................................................1


BAGIAN PERTAMA: KONSEP KEPEMILIKAN HARTA
DALAM ISLAM ..........................................................3
BAGIAN KEDUA: URGENSI MEMPELAJARI ILMU
WARIS......................................................................7
A. ILMU YANG DIJELASKAN LANGSUNG DALAM AL-QURAN ....... 7
B. MENJALANKAN PERINTAH RASULULLAH ‫ ﷺ‬..................... 10
C. MENCEGAH PERPECAHAN DI ANTARA KELUARGA .............. 12
D. MEMILIKI KEDUDUKAN TINGGI DALAM SYARIAT ISLAM ....... 13
E. ANJURAN SHAHABAT DAN PARA ULAMA .......................... 17
BAGIAN KETIGA: PROBLEMATIKA PENERAPAN
HUKUM WARIS DI INDONESIA ................................ 21
A. KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI) YANG BERMASALAH ........ 21
B. PEMIKIRAN BARU YANG KELUAR DARI IJMA’ ULAMA .......... 25
C. BENTURAN DENGAN ADAT/TRADISI ................................ 30
D. KESADARAN MASYARAKAT YANG MASIH KURANG ............. 32

1
Bagian Pertama
Konsep Kepemilikan Harta dalam
Islam

Suatu hal yang harus diyakini oleh seorang


muslim adalah bahwasanya pemilik hakiki harta
yang ada di tangannya tiada lain ialah Allah ‫ﷻ‬.
Sebagaimana firman-Nya dalam al-Quran:

َّ َ‫تح ْت‬
‫الثر َى‬ َ ‫ض وَم َا بَيْنَهُم َا وَم َا‬
ِ ‫َات وَم َا فِي الْأَ ْر‬ َّ ‫لَه ُ م َا فِي‬
ِ ‫السم َاو‬

Kepunyaan-Nya-lah semua yang ada di langit,


semua yang di bumi, semua yang di antara
keduanya dan semua yang di bawah tanah. (Q.S.
Thaha: 6).

Manusia hanya bertindak sebagai wakil dari


pemilik harta yang sesungguhnya. Di mana
seorang wakil hanya boleh menggunakan harta
3
tersebut sesuai dengan keinginan sang muwakkil
(pemberi kuasa) yaitu Allah SWT.
Hak untuk memiliki dan menggunakan harta
yang dititipkan Allah pada seorang hamba hanya
berlaku selama dia hidup di dunia. Selama hidup
Allah memberikan kebebasan untuk
mempergunakan harta yang ada di tangannya
asalkan tidak keluar dari aturan syariat.
Tetapi, setelah seseorang wafat meninggalkan
dunia ini, maka harta itu kembali pada Allah.
Almarhum tidak lagi punya kuasa atas harta yang
ditinggalkannya. Sepeninggalnya, harta itu mutlak
menjadi kewenangan Allah, kecuali yang sempat ia
wasiatkan kepada selain ahli warisnya dan
jumlahnya tidak lebih dari sepertiga. Selebihnya,
adalah hak Allah untuk membaginya kepada siapa
yang Ia kehendaki dengan bagian masing-masing
yang telah ditentukan.
Oleh karenanya wasiat yang pernah diucapkan
oleh almarhum selagi masih hidup kepada ahli
warisnya itu batal demi hukum sebab pembagian

4
harta setelah dia wafat bukanlah haknya
melainkan hak Allah SWT. Allah-lah yang berhak
membagi bukan almarhum, bukan kakak tertua,
bukan ustadz, bukan pula pengadilan agama.
Selain itu, akad hibah yang pernah diucapkan
ketika masih hidup tetapi belum ada penyerahan
barang yang dihibahkan pada penerimanya sampai
pemberi hibah meninggal, maka hibah itu batal
demi hukum dan tidak bisa dilaksanakan. Sebab
setelah wafat, Allah-lah yang berhak membagi
hartanya almarhum.
Di sisi lain, pemberi hibah diberi kebebasan
untuk memberikan hibah kepada siapa pun dan
berapa pun tidak terkait dengan hukum waris,
selama penyerahan barang pada penerima hibah
terjadi pada saat pemberi hibah masih hidup.

5
Bagian Kedua
Urgensi Mempelajari Ilmu Waris

Sebelum mulai belajar ilmu waris sebaiknya kita


mengetahui terlebih dahulu apa pentingnya dan
apa keutamaannya agar niat dan tujuan kita lebih
terarah dan lebih semangat dalam
mempelajarinya. Berikut beberapa poin terkait
urgensi mempelajari ilmu waris.
A. Ilmu yang Dijelaskan Langsung dalam Al-Quran
Salah satu keistimewaan ilmu waris adalah al-
quran menjelaskan aturan pembagian waris ini
secara langsung dalam al-Quran. Biasanya untuk
aturan-aturan agama yang lain Allah SWT tidak
menjelaskan secara detail dalam al-Quran,
Rasulullah ‫ ﷺ‬lah yang kemudian menjelaskannya
secara lebih rinci dalam sunnahnya.
Seperti kewajiban shalat lima waktu, Al-Quran
7
tidak menjelaskan secara rinci terkait tata cara
shalat dari mulai takbiratul ihram sampai salam.
Nabi-lah yang kemudian diberi tugas untuk
menjelaskannya lebih lanjut dalam sunnahnya baik
secara lisan (sunnah qauliyyah) mau pun
mencontohkan dengan praktik (sunnah fi’liyyah).
Begitu pun aturan-aturan yang lain seperti
aturan terkait puasa, haji, zakat dan sebagainya Al-
Quran hanya memuat perintahnya saja dan sedikit
ketentuan yang berkaitan. Selebihnya penjelasan
lebih rinci terkait aturan-aturan tersebut menjadi
tugas Rasulullah ‫ﷺ‬.
Dalam Al-Quran Allah SWT telah menetapkan
ketentuan tentang pembagian waris dalam tiga
ayat yaitu surah an-Nisa ayat 11, 12 dan 176. Di
dalamnya telah ditetapkan siapa saja yang berhak
menerima warisan dari almarhum dan berapa
bagian masing-masing secara tegas dan lugas dan
tidak membuka ruang terjadinya multi-tafsir.
Oleh karenanya landasan hukum waris bersifat
qath’iy (mutlak, pasti, tidak memungkinkan

8
penafsiran ganda) baik dari segi tsubut (validitas)-
nya karena ayat Al-Quran semuanya pasti sahih
dan mutawatir berbeda dengan hadits Nabi yang
level kesahihannya beragam. Atau pun dari sisi
dilalah (penunjukan lafal terhadap makna) sebab
Allah ‫ ﷺ‬menjelaskan pembagian waris dengan
menyebut angka yang maknanya jelas dan tidak
bisa dipahami di luar dari apa yang disebutkan.
Menegaskan hal ini, Rasulullah ‫ ﷺ‬menyatakan
dalam haditsnya bahwa Allah-lah yang secara
langsung membagi dan memberikan hak masing-
masing ahli waris, bukan berdasarkan keputusan
Rasulullah SAW. Nabi bersabda:

‫إن الله قد أعطى كل ذي حق حقه فلا وصية لوارث‬

“Sesungguhnya Allah telah memberikan pada


setiap ahli waris haknya, maka tidak ada lagi
wasiat untuk ahli waris.” (H.R. Ahmad, Ashab as-
Sunan dan an-Nasai).

9
B. Menjalankan Perintah Rasulullah ‫ﷺ‬
Pembagian waris sesuai hukum Allah adalah
salah satu kewajiban agama di mana bukan hanya
melaksanakannya yang diperintahkan tetapi juga
mempelajarinya. Ini yang menjadikannya spesial
dari kewajiban yang lain seperti shalat, puasa, haji
dan sebagainya di mana tidak ada perintah khusus
untuk mempelajarinya.
Bahkan bukan hanya belajarnya yang
diperintahkan tetapi juga mengajarkannya.
Sehingga terkait ilmu waris ini ada tiga hal yang
diperintahkan: pertama, menerapkannya; kedua,
mempelajarinya; dan ketiga, mengajarkannya.
Rasulullah SAW. bersabda:

ُ ‫ف ال ْعِلْم ِ و َِإنَّه ُ يُن ْس َى و َه ُو َ أَ َّو‬


‫ل م َا‬ ُ ْ‫ض و َعَل ِم ُوه ُ ف َِإنَّه ُ ن ِص‬
َ ‫تَع َلَّم ُوا الْف َر َ ِائ‬

‫يُنْزَعُ م ِنْ ُأ َّمتِي‬

“Pelajarilah kalian ilmu faraidh dan ajarkanlah


sebab ia merupakan setengahnya ilmu, dan ia
10
akan dilupakan dan akan menjadi hal yang
pertama kali dicabut dari umatku.” (H.R. Hakim
dan al-Baihaqi)

Meskipun para ulama memandang hukum


belajar ilmu waris ini adalah fardhu kifayah bukan
fardu ain, tetapi bukan berarti kita enggan untuk
mempelajarinya dengan alasan toh sudah ada
ustadz atau pengadilan agama yang akan
menyelesaikan nantinya.

Sebab, fakta di lapangan menunjukkan


keawaman muslim dalam ilmu faraidh ini sering
kali menimbulkan masalah terutama dalam
keluarga. Karena ketidaktahuan terhadap hukum
waris ini terkadang ada sebagian anggota keluarga
yang merasa berhak atas warisan padahal dia tidak
termasuk ahli waris. Atau orang tua yang berwasiat
tetapi wasiatnya keliru karena kejahilannya
tentang hukum wasiat.

Oleh karenanya kita harus mengusahakan


semua anggota keluarga kita paham tentang

11
hukum waris ini atau minimal punya kesadaran
yang sama terhadap kewajiban menjalankan
aturan Islam dalam bagi waris.

Ketika semua anggota keluarga punya


pemahaman dan kesadaran yang sama,
diharapkan tidak akan terjadi konflik atau sengketa
pada saat ada yang meninggal yang disebabkan
sebagian anggota keluarga tidak paham hukum
waris yang sesuai syariah.

C. Mencegah Perpecahan di Antara Keluarga


Allah SWT. tidak menyerahkan hak membagi
waris pada siap pun baik itu almarhum sebelum
wafat, kakak tertua, atau berdasarkan
musyawarah mufakat, hikmahnya adalah untuk
mencegah perpecahan di antara keluarga. Sebab
jika Allah tidak mengaturnya secara langsung akan
sangat mungkin terjadi perselisihan sebab setiap
orang dalam satu keluarga bisa punya pemahaman
dan kecenderungan yang berbeda-beda sehingga
tidak ada titik temu dalam mengatur
pembagiannya.
12
Al-Quran mengisyaratkan hal ini dalam al-Quran
surah an-Nisa ayat 11:

َ ِ ‫ءَاب َ ٓا ؤ ُك ُ ْم و َأَ ب ْن َ ٓا ؤ ُك ُ ْم ل َا ت َ ْدر ُونَ أَ ُيه ُ ْم أَ ق ْر َبُ ل َك ُ ْم ن َ ْفع ًا فَرِ يضَة ً م‬


‫ن‬

‫ٱ َّلله ِ ِإ َّن ٱ َّلله َ ك َانَ عَلِيم ًا حَكِيم ًا‬

“(Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu,


kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka
yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini
adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. An-
Nisa: 11)

D. Memiliki Kedudukan Tinggi dalam Syariat Islam


Ilmu waris atau ilmu faraidh punya kedudukan
yang tinggi dalam agama Islam. Dalam sebuah
hadits, Nabi menyebutkan bahwa ilmu faraidh
merupakan bagian dari tiga ilmu utama dalam
agama. Abdullah bin Amr bin al-Ash ra. berkata
bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

13
‫محْك َم َة ٌ أَ ْو سُنَّة ٌ ق َ ِائم َة ٌ أَ ْو‬
ُ ٌ ‫ل آيَة‬
ٌ ْ‫ك فَه ُو َ ف َض‬
َ ِ ‫ال ْعِلْم ُ ثَلَاثَة ٌ وَم َا سِو َى ذ َل‬

ٌ ‫فَرِ يضَة ٌ عَادِلَة‬

“Ilmu itu ada tiga, selain yang tiga hanya


bersifat tambahan (sekunder), yaitu ayat
muhkamah (yang jelas ketentuannya), sunnah
yang tegak, dan faraid yang adil.” (H.R. Abu Daud
dan Ibnu Majah).

Dalam hadits yang lain Nabi menyebut bahwa


ilmu faraidh adalah separuh ilmu agama. Ini
menandakan betapa pentingnya ilmu faraidh
sehingga bobotnya setara dengan separuh ilmu.
Penafsiran lain menyebutkan maksud setengah
ilmu adalah bahwa ilmu-ilmu lain terkait dengan
manusia saat masih hidup, sedangkan ilmu faraidh
berkaitan dengan manusia setelah wafat.

14
Abu Hurairah ra. berkata bahwa Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:

َّ ‫الله ِ صَلَّى‬
‫الله ُ عَلَيْه ِ وَس ََّلم َ ي َا أَ ب َا‬ َّ ‫ل‬ُ ‫ل رَسُو‬
َ ‫قَا‬: ‫ل‬
َ ‫ع َنْ أَ بِي ه ُر َي ْرَة َ قَا‬

َ ‫ف ال ْعِلْم ِ و َه ُو َ يُن ْس َى و َه ُو‬


ُ ْ‫ض و َعَل ِم ُوه َا ف َِإنَّه ُ ن ِص‬
َ ‫ه ُر َي ْرَة َ تَع َلَّم ُوا الْف َر َ ِائ‬

‫ل شَيْءٍ يُنْزَعُ م ِنْ ُأ َّمتِي‬


ُ ‫أَ َّو‬

“Pelajarilah ilmu faraid serta ajarkanlah kepada


orang lain, karena sesungguhnya, ilmu faraid
setengahnya ilmu; ia akan dilupakan, dan ia ilmu
pertama yang akan diangkat dari umatku.” (HR
Ibnu Majah)

Dalam hadits di atas, selain menyebutkan ilmu


faraidh sebagai setengah ilmu, nabi juga
mengatakan bahwa ia akan menjadi ilmu yang
langka di antara umat Islam dan menjadi ilmu yang
pertama kali dicabut dari umatnya.

Dengan terus mempelajari dan mengajarkan

15
ilmu faraidh ini kita berharap mudah-mudahan
masa yang disebutkan oleh Rasulullah ‫ ﷺ‬dalam
hadits di atas belum terjadi di masa kita sekarang
ini, meskipun tanda-tandanya sudah dekat.

Umar bin Khattab pernah memerintahkan umat


Islam untuk mempelajari ilmu faraidh sama seperti
mempelajari al-Quran. Artinya keduanya memiliki
kedudukan yang sejajar dan setara tidak boleh
dibeda-bedakan. Sebab Al-Quran Allah turunkan
bukan hanya untuk dibaca tetapi juga dipahami
dan diamalkan. Salah satu isi kandungan Al-Quran
yang wajib diamalkan dan sudah tertera jelas di
dalamnya adalah hukum waris.

َ‫كم َا ت َت َع َ َّلم ُو ْن‬ َ ‫ ت َع َ َّلم ُوا الف َر َ ِائ‬:‫ل‬


َ ‫ض‬ ُ ‫ أَ َّنه ُك َانَ ي َق ُو‬ ‫اب‬
ِ ‫ن الخ َ َّط‬
ِ ْ ‫ع َنْ ع ُم َر َ ب‬

.َ‫الق ُر ْآن‬

Dari Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu


beliau berkata, "Pelajarilah ilmu faraidh
sebagaimana kalian mempelajari Al-Quran". (HR.
16
Ad-Daruquthuny dan Al-Hakim).

E. Anjuran Shahabat dan Para Ulama


Selain poin-poin di atas, kutipan-kutipan dari
para salafus shalih berikut juga menunjukkan
pentingnya mempelajari ilmu waris bagi seorang
muslim.
Umar bin Khattab r.a:

1
‫ض ف َِإ َّنهَا م ِنْ دِينِك ُ ْم‬
َ ‫تَع َلَّم ُوا الْف َر َ ِائ‬

“Pelajarilah ilmu faraidh karena ia bagian dari


agama kalian!”

2
ِ ‫ و َِإذ َا تَح ََّدث ْتُم ْ فَتَح ََّدثُوا ب ِالْف َر َ ِائ‬،‫ِإذ َا لَهَوْتُم ْ فَال ْهَو ْا ب ِالرِم ِْي‬
‫ض‬

“Jika kalian bermain, bermainlah memanah dan


jika kalian berbincang, berbincanglah tentang

1
Al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubro, jilid 6, h. 344
2
Al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubro, jilid 6, h. 344
17
faraidh.!”

Abdullah bin Mas’ud r.a.:

‫علموا القرآن والفرائض فانه يوشك أن يفتقر الناس إلى علم من‬

3
‫يعلمها‬

Ajarkanlah al-Quran dan faraidh sebab hampir


saja orang-orang tidak lagi mengenal ilmu itu jika
tidak diajarkan.

Abu Musa al-Asy’ari r.a.:

‫مثل الذي يقرأ القرآن ولا يحسن الفرائض كمثل لابس برنس ولا‬

4
‫رأس له‬

3
Muhammad ‘Ulaisy, Minah al-Jalil Syarh Mukhtashar Khalil, jilid 9,
h. 593
4
Muhammad ‘Ulaisy, Minah al-Jalil Syarh Mukhtashar Khalil, jilid 9,
h. 593
18
“Perumpamaan orang yang membaca Al-Quran
tapi tidak pandai ilmu faraidh itu seperti orang
yang memakai burnus (baju luar panjang bertutup
kepala) tapi tidak punya kepala.”

Imam Malik bin Anas:

‫لا يكون الرجل عالما مفتيا حتى يحكم الفرائض والنكاح‬

5
‫والأيمان‬

“Seseorang tidak bisa menjadi ulama dan mufti


sampai dia dapat memutuskan masalah faraidh,
nikah dan sumpah.”

5
Muhammad ‘Ulaisy, Minah al-Jalil Syarh Mukhtashar Khalil, jilid 9,
h. 593
19
Bagian Ketiga
Problematika Penerapan Hukum
Waris di Indonesia

Meskipun masyarakat Indonesia mayoritas


beragama Islam, tapi pelaksanaan hukum waris
yang benar dan sesuai hukum Islam nampaknya
masih belum ideal. Ada banyak tantangan dan
rintangan yang masih menjadi kendala baik dari
sisi aturan formal yang dianggap belum
mendukung penerapan hukum waris yang benar-
benar sesuai dengan ajaran Islam, ataupun dari sisi
adat dan tradisi masyarakat yang sebagian di
antaranya belum sejalan dengan apa yang
dikehendaki dalam hukum waris Islam.
A. Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang Bermasalah
KHI sebagai acuan bagi Pengadilan Agama di
Indonesia dalam menetapkan hukum waris,

21
diharapkan dapat mengakomodir kepentingan
Umat Islam dalam menjalankan hukum waris
sesuai syariat Islam.
Tetapi, pada faktanya masih ada pasal-pasal
dalam KHI yang bermasalah karena dianggap
masih belum sesuai dengan hukum Islam yang
seharusnya. KHI dianggap belum bisa sepenuhnya
mewakili hukum Islam yang benar dan sesuai
dengan pemahaman para ulama. Padahal di sisi
lain keberadaan pengadilan agama di Indonesia
sangat diperlukan dalam menyelesaikan
permasalahan waris karena punya legalitas dan
kekuatan hukum.
Seperti pasal Pasal 185 tentang Ahli Waris
Pengganti yang mengatur bahwa Ahli waris yang
meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris maka
kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya.
Hal ini tidak dikenal dalam fiqih Islam sebab
salah satu syarat menerima waris dalam Islam
adalah ahli waris harus hidup pada saat pewaris
wafat. Jika anak sudah meninggal lebih dulu dari

22
bapaknya maka sudah tidak lagi dianggap lagi
sebagai ahli waris dan tidak bisa digantikan dengan
yang lain.
Cucu dapat menjadi ahli waris dari kakeknya
bukan sebagai pengganti tetapi ia memiliki hak
tersendiri ketika terpenuhi syarat-syaratnya, salah
satunya cucu tidak bisa mendapatkan hak waris
jika masih ada ahli waris anak laki-laki meskipun
bukan ayahnya si cucu (paman).
Selain itu juga terdapat Pasal 96 terkait
pembagian harta bersama suami istri yang
menyatakan apabila terjadi cerai mati, maka
separuh harta bersama menjadi hak pasangan
yang hidup lebih lama. Adanya pembagian harta
bersama ini juga tidak dikenal dalam hukum Islam.
Dalam Islam tidak dikenal adanya konsekuensi
percampuran harta karena pernikahan sehingga
ketika salah satu meninggal dunia separuh dari
hartanya harus diserahkan pada pasangannya
terlebih dulu sebelum dibagi waris. Allah SWT
menetapkan istri hanya berhak atas 1/4 atau 1/8

23
dari peninggalan suami dan suami berhak atas 1/2
atau 1/4 dari peninggalan istrinya, berdasarkan
firman Allah SWT dalam surah an-Nisa ayat 12:

‫ف م َا ت َرَك َ ا َ ْزو َاجُك ُ ْم ا ِ ْن َّل ْم يَكُنْ َّله َُّن وَلَد ٌ فَا ِ ْن ك َانَ لَه َُّن‬
ُ ْ‫و َل َك ُ ْم ن ِص‬

‫ن م ِنْ بَعْدِ وَص َِّية ٍ ُيوْصِيْنَ بِهَا ا َ ْو دَي ْ ٍن و َلَه َُّن‬ ُ ُ ‫وَلَد ٌ فَل َكُم‬
َ ْ‫الر ب ُ ُع مِمَّا ت َرَك‬

‫الر ب ُ ُع مِمَّا ت َرَكْ تُم ْ ا ِ ْن َّل ْم يَكُنْ َّل ك ُ ْم وَلَد ٌ فَا ِ ْن ك َانَ ل َك ُ ْم وَلَد ٌ فَلَه َُّن‬
ُ

ُ ْ ‫ن مِمَّا ت َرَكْ تُم ْ م ِنْ بَعْدِ وَص َِّية ٍ تُو‬


‫صوْنَ بِهَا ا َ ْو دَي ْ ٍن‬ ُ
ُ ُ ‫الثم‬

Dan bagianmu (suami-suami) adalah seperdua


dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika
mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (istri-
istrimu) itu mempunyai anak, maka kamu
mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya setelah (dipenuhi) wasiat yang
mereka buat atau (dan setelah dibayar) utangnya.
Para istri memperoleh seperempat harta yang
kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak.

24
Jika kamu mempunyai anak, maka para istri
memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu
tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang kamu
buat atau (dan setelah dibayar) utang-utangmu.

B. Pemikiran Baru yang Keluar dari Ijma’ Ulama


Selain beberapa pasal dalam KHI yang
bermasalah sebagaimana yang dijelaskan di atas,
kendala penerapan hukum waris Islam juga
ditambah dengan adanya pemikiran-pemikiran
baru dari sebagian cendekiawan muslim di zaman
sekarang yang keluar dari pakem hukum Islam
yang telah disepakati oleh para ulama semenjak
dahulu.
Seperti pendapat yang mengatakan bahwa
hukum waris Islam yang menetapkan anak laki-laki
dua kali dari anak perempuan sebagaimana yang
tertera dalam surah an-nisa ayat 11 itu bukan
harga mati dan bisa berubah sesuai
perkembangan zaman.

25
Muhammad Syahrur6 mengemukakan teori
limit (batas) dalam memahami ayat ini. Dia
mengatakan bahwa bagian waris 2:1 antara anak
laki-laki dan perempuan bukan berarti anak laki-
laki harus mendapatkan dua kali dari bagian anak
perempuan.
Menurutnya, pembagian 2:1 yang disebut
dalam al-Quran memiliki arti bahwa batas minimal
bagian waris anak perempuan adalah satu bagian
tidak boleh kurang, sedangkan batas maksimal
bagian anak laki-laki adalah dua bagian tidak boleh
lebih.7 Berdasarkan teori ini, bagian waris anak
perempuan dapat disamaratakan dengan anak
6
Muhammad Ibnu Da’ib Syahrur, atau yang dikenal Muhammad
Syahrur, lahir di Damaskus, Suriah, pada 11 Maret 1938. Selama
hidupnya, ia tak pernah dididik di sekolah agama. Tapi, di sekolah
umum di Al-Midan, sebuah wilayah bagian selatan Kota Damaskus.
Usai menamatkan SMA pada tahun 1957, Syahrur terbang ke
Moskow, Rusia. Di sana ia kuliah S1 Teknik Sipil dengan beasiswa dari
pemerintah Suriah. Jenjang master ia selesaikan tahun 1968 dengan
konsentrasi Mekanika Tanah, sedangkan jenjang doktoral ia selesaikan
tahun 1972 dalam bidang Teknik Fondasi. Ilmunya itu kemudian ia
terapkan di Suriah. Bekerja sebagai konsultan teknik bangunan untuk
ribuan bangunan di Damaskus
7
Muhammad Shahrur, Nahwu Usûl Jadîdah Lilfiqhi al-Islâmî, h. 342
26
laki-laki dalam kondisi tertentu dan hal itu
dianggap tidak melanggar ayat al-Quran.
Sayangnya pemikiran yang melenceng dan
menyimpang dari kesepakatan para ulama ini
kemudian disambut baik oleh sebagian hakim
agama di Indonesia dan diterapkan dalam putusan
di pengadilan.
Seperti Putusan Pengadilan Agama Medan
Nomor 92/Pdt.G/2009/PA.Mdn yang di dalam
putusan akhir, hakim memberikan hak bagian
waris kepada masing-masing ahli waris
berdasarkan prinsip pembagian 1:1 atau
pembagian secara proporsional.8 Dalam
pertimbangan hukumnya disebutkan:
“Majelis hakim berijtihad terhadap pembagian
harta warisan sebagaimana yang terjadi di dalam
kasus di atas, baik dalam ayat al-Qurân maupun
Kompilasi Hukum Islam bukanlah harga mati dari

8
Faiqah Nur Azizah, Pembaharuan Dalam Sistem Pembagian Waris
Secara Proporsional, Journal of Legal Research Vol. 3 Issue 4 2021, h.
514
27
sebuah ketentuan yang sama sekali tidak dapat
dirubah lagi, terutama ketika permasalahannya
terkait dengan rasa keadilan para ahli waris, dan
rasa keadilan itu sendiri merupakan ‘illat hukum
(penyebab yang dapat mengakibatkan terjadinya
perubahan hukum).”

“Porsi dua untuk anak laki-laki adalah porsi


maksimal yang dapat dikurangi, sedang porsi satu
bagian anak perempuan adalah porsi minimal
yang sewaktu-waktu apabila persyaratan
menghendaki dapat meningkat sama dengan
perolehan anak laki-laki.”

Putusan ini tentunya sudah keluar dari hukum


Islam yang telah disepakati oleh seluruh ulama
bahwa hukum waris yang ditetapkan oleh Allah
SWT di dalam al-Quran berlaku secara mutlak dan
tidak bisa diotak-atik lagi.

Hukum waris bersifat ta’abbudi, aturan dan


ketentuannya tidak didasarkan pada
pertimbangan logika atau akal manusia, juga

28
bukan berdasarkan ‘rasa keadilan’ yang sangat
relatif dan kasuistik bisa berbeda-beda tergantung
dengan penilaian dan perasaan masing-masing
orang.

Allah SWT dalam al-Quran menegaskan berkali-


kali bahwa hukum waris adalah hak prerogatif-Nya
dan tidak bisa diintervensi oleh pertimbangan
manusia. Ayat tentang waris yaitu ayat ke 11 surah
an-Nisa diawali dengan kalimat ُ‫ ي ُْو ِص ْي ُك ُم ّٰللا‬yang
artinya Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepada
kalian. Lalu di akhir ayatnya Allah menegaskan lagi
ِ ٰ َ‫ضةً ِمن‬
dengan kalimat ‫ّللا‬ َ ‫( فَ ِر ْي‬ini adalah ketetapan
Allah).

Di ayat berikutnya Allah SWT mengulang


penegasannya dengan kalimat ‫ّللا‬ ِٰ َ‫ِمن‬ ً‫صيَّة‬
ِ ‫َو‬
(Demikianlah ketentuan Allah). Bahkan di
rangkaian terakhir ayat-ayat waris yaitu surah an-
Nisa ayat ke 14, Allah SWT mengancam orang-
orang yang menentang aturan waris yang telah
ditetapkan-Nya dengan ancaman yang luar biasa:

29
‫سو ْلَه و َيَتَع ََّد حُد ُ ْود َه ي ُ ْدخِل ْه ُ ن َار ًا خ َالِد ًا فِيْهَا وَلَه‬ ِ ْ‫وَم َنْ َّيع‬
ُ َ ‫ص الله َ و َر‬

ٌ ْ ‫َاب ُمهِي‬
‫ن‬ ٌ ‫عَذ‬

Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-


Nya dan melanggar batas-batas hukum-Nya,
niscaya Allah memasukkannya ke dalam api
neraka, dia kekal di dalamnya dan dia akan
mendapat azab yang menghinakan. (Q.S. an-Nisa:
14)

C. Benturan dengan Adat/Tradisi


Tantangan lain pembagian waris di Indonesia
adalah terkait adat atau tradisi. Masyarakat
Indonesia yang majemuk memiliki berbagai
macam adat-istiadat termasuk adat membagi
waris dalam keluarga.
Terkadang Sebagian adat atau tradisi
masyarakat Indonesia tersebut berbenturan
dengan penerapan syariat Islam yang ideal.
Sehingga akan lebih sulit memahamkan hukum
30
waris Islam pada masyarakat yang memiliki tradisi
seperti itu.
Contohnya adalah adat menunda pembagian
harta waris almarhum orang tua yang
pasangannya masih hidup. Seolah tidak sopan dan
kualat membicarakan pembagian waris ayah yang
sudah wafat jika ibu masih hidup atau sebaliknya.
Padahal harta almarhum yang ditinggalkan
harus secepatnya dibagi sebagaimana diatur
dalam syariat. Al-Quran menetapkan jika seorang
suami meninggal dunia dan dia punya anak maka
istri mendapatkan 1/8 dari peninggalannya.
Artinya, 7/8 sisanya adalah hak anak dan ahli waris
yang lain jika ada. Begitu pun sebaliknya, jika
seorang istri wafat dan dia punya anak, suami
hanya berhak mendapatkan 1/4 dari peninggalan
istrinya, 3/4 lainnya adalah hak anak dan ahli waris
yang lain.
Tetapi yang terjadi tidak demikian, harta
almarhum yang ditinggalkan dikuasai semua oleh
pasangannya seolah pembagian warisan baru

31
terjadi ketika pasangan suami-istri telah meninggal
dua-duanya. Dan itu umum terjadi pada sebagai
besar masyarakat kita.
Belum lagi masalah kebiasaan pasangan suami-
istri di sebagian besar masyarakat kita yang
sepertinya tabu dan menganggap bukan hal yang
lumrah untuk membicarakan masalah kejelasan
status harta di antara keduanya, mana harta suami
mana harta istri. Seolah-olah ketika menikah harta
salah satu pasangan menjadi milik bersama
padahal tidak pernah ada kesepakatan dan
pernyataan apa pun dari keduanya. Atau seolah-
olah dianggap perhitungan jika suami atau istri
membahas pemisahan harta di antara keduanya.
Tidak jelasnya status harta suami-istri ini sering
kali memicu permasalahan di kemudian hari
terutama saat ketika terjadi perpisahan baik
karena cerai atau salah satu meninggal dunia dan
harus bagi waris.
D. Kesadaran Masyarakat yang Masih Kurang
Masalah penerapan hukum waris di Indonesia
32
ini juga diperparah dengan kesadaran umat
Islamnya yang masih minim untuk menjalankan
hukum waris sesuai aturan Allah SWT.
Sebagian masyarakat muslim masih
menganggap bahwa hukum waris Islam hanyalah
pilihan dari sekian banyak sistem pembagian waris
yang ada. Mau pakai hukum waris Islam boleh,
hukum adat boleh, hukum negara juga boleh.
Begitu kira-kira asumsinya.
Sebagian umat Islam juga masih beranggapan
bahwa membagi waris itu berdasarkan
musyawarah mufakat, yang penting suka sama
suka, rela sama rela. Tidak perlu ada aturan ini itu
yang penting semua senang dan semua sepakat.
Gagal paham seperti ini sama halnya dengan
gagal pahamnya orang yang mengatakan zina itu
halal asalkan suka sama suka. Tentu ini tidak bisa
dibenarkan sebab haramnya zina bukan
didasarkan pada kerelaan pelakunya tapi
ketentuan Allah yang wajib dipatuhi.
Begitu pun pembagian waris tidak berdasarkan
33
kesepakatan ahli waris atau wasiat almarhum,
semua adalah kewenangan Allah SWT dan hanya
Allah yang berhak menetapkan siapa yang berhak
dan berapa bagiannya.

34

Anda mungkin juga menyukai