Pertemuan ke-1:
Pengantar
Urgensi Belajar Ilmu Waris dan
Problematika Penerapan Hukum
Waris di Indonesia
Oleh:
Muhammad Abdul Wahab, Lc., M.H.
Daftar Isi
1
Bagian Pertama
Konsep Kepemilikan Harta dalam
Islam
َّ َتح ْت
الثر َى َ ض وَم َا بَيْنَهُم َا وَم َا
ِ َات وَم َا فِي الْأَ ْر َّ لَه ُ م َا فِي
ِ السم َاو
4
harta setelah dia wafat bukanlah haknya
melainkan hak Allah SWT. Allah-lah yang berhak
membagi bukan almarhum, bukan kakak tertua,
bukan ustadz, bukan pula pengadilan agama.
Selain itu, akad hibah yang pernah diucapkan
ketika masih hidup tetapi belum ada penyerahan
barang yang dihibahkan pada penerimanya sampai
pemberi hibah meninggal, maka hibah itu batal
demi hukum dan tidak bisa dilaksanakan. Sebab
setelah wafat, Allah-lah yang berhak membagi
hartanya almarhum.
Di sisi lain, pemberi hibah diberi kebebasan
untuk memberikan hibah kepada siapa pun dan
berapa pun tidak terkait dengan hukum waris,
selama penyerahan barang pada penerima hibah
terjadi pada saat pemberi hibah masih hidup.
5
Bagian Kedua
Urgensi Mempelajari Ilmu Waris
8
penafsiran ganda) baik dari segi tsubut (validitas)-
nya karena ayat Al-Quran semuanya pasti sahih
dan mutawatir berbeda dengan hadits Nabi yang
level kesahihannya beragam. Atau pun dari sisi
dilalah (penunjukan lafal terhadap makna) sebab
Allah ﷺmenjelaskan pembagian waris dengan
menyebut angka yang maknanya jelas dan tidak
bisa dipahami di luar dari apa yang disebutkan.
Menegaskan hal ini, Rasulullah ﷺmenyatakan
dalam haditsnya bahwa Allah-lah yang secara
langsung membagi dan memberikan hak masing-
masing ahli waris, bukan berdasarkan keputusan
Rasulullah SAW. Nabi bersabda:
9
B. Menjalankan Perintah Rasulullah ﷺ
Pembagian waris sesuai hukum Allah adalah
salah satu kewajiban agama di mana bukan hanya
melaksanakannya yang diperintahkan tetapi juga
mempelajarinya. Ini yang menjadikannya spesial
dari kewajiban yang lain seperti shalat, puasa, haji
dan sebagainya di mana tidak ada perintah khusus
untuk mempelajarinya.
Bahkan bukan hanya belajarnya yang
diperintahkan tetapi juga mengajarkannya.
Sehingga terkait ilmu waris ini ada tiga hal yang
diperintahkan: pertama, menerapkannya; kedua,
mempelajarinya; dan ketiga, mengajarkannya.
Rasulullah SAW. bersabda:
11
hukum waris ini atau minimal punya kesadaran
yang sama terhadap kewajiban menjalankan
aturan Islam dalam bagi waris.
13
محْك َم َة ٌ أَ ْو سُنَّة ٌ ق َ ِائم َة ٌ أَ ْو
ُ ٌ ل آيَة
ٌ ْك فَه ُو َ ف َض
َ ِ ال ْعِلْم ُ ثَلَاثَة ٌ وَم َا سِو َى ذ َل
14
Abu Hurairah ra. berkata bahwa Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
َّ الله ِ صَلَّى
الله ُ عَلَيْه ِ وَس ََّلم َ ي َا أَ ب َا َّ لُ ل رَسُو
َ قَا: ل
َ ع َنْ أَ بِي ه ُر َي ْرَة َ قَا
15
ilmu faraidh ini kita berharap mudah-mudahan
masa yang disebutkan oleh Rasulullah ﷺdalam
hadits di atas belum terjadi di masa kita sekarang
ini, meskipun tanda-tandanya sudah dekat.
.َالق ُر ْآن
1
ض ف َِإ َّنهَا م ِنْ دِينِك ُ ْم
َ تَع َلَّم ُوا الْف َر َ ِائ
2
ِ و َِإذ َا تَح ََّدث ْتُم ْ فَتَح ََّدثُوا ب ِالْف َر َ ِائ،ِإذ َا لَهَوْتُم ْ فَال ْهَو ْا ب ِالرِم ِْي
ض
1
Al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubro, jilid 6, h. 344
2
Al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubro, jilid 6, h. 344
17
faraidh.!”
علموا القرآن والفرائض فانه يوشك أن يفتقر الناس إلى علم من
3
يعلمها
مثل الذي يقرأ القرآن ولا يحسن الفرائض كمثل لابس برنس ولا
4
رأس له
3
Muhammad ‘Ulaisy, Minah al-Jalil Syarh Mukhtashar Khalil, jilid 9,
h. 593
4
Muhammad ‘Ulaisy, Minah al-Jalil Syarh Mukhtashar Khalil, jilid 9,
h. 593
18
“Perumpamaan orang yang membaca Al-Quran
tapi tidak pandai ilmu faraidh itu seperti orang
yang memakai burnus (baju luar panjang bertutup
kepala) tapi tidak punya kepala.”
5
والأيمان
5
Muhammad ‘Ulaisy, Minah al-Jalil Syarh Mukhtashar Khalil, jilid 9,
h. 593
19
Bagian Ketiga
Problematika Penerapan Hukum
Waris di Indonesia
21
diharapkan dapat mengakomodir kepentingan
Umat Islam dalam menjalankan hukum waris
sesuai syariat Islam.
Tetapi, pada faktanya masih ada pasal-pasal
dalam KHI yang bermasalah karena dianggap
masih belum sesuai dengan hukum Islam yang
seharusnya. KHI dianggap belum bisa sepenuhnya
mewakili hukum Islam yang benar dan sesuai
dengan pemahaman para ulama. Padahal di sisi
lain keberadaan pengadilan agama di Indonesia
sangat diperlukan dalam menyelesaikan
permasalahan waris karena punya legalitas dan
kekuatan hukum.
Seperti pasal Pasal 185 tentang Ahli Waris
Pengganti yang mengatur bahwa Ahli waris yang
meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris maka
kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya.
Hal ini tidak dikenal dalam fiqih Islam sebab
salah satu syarat menerima waris dalam Islam
adalah ahli waris harus hidup pada saat pewaris
wafat. Jika anak sudah meninggal lebih dulu dari
22
bapaknya maka sudah tidak lagi dianggap lagi
sebagai ahli waris dan tidak bisa digantikan dengan
yang lain.
Cucu dapat menjadi ahli waris dari kakeknya
bukan sebagai pengganti tetapi ia memiliki hak
tersendiri ketika terpenuhi syarat-syaratnya, salah
satunya cucu tidak bisa mendapatkan hak waris
jika masih ada ahli waris anak laki-laki meskipun
bukan ayahnya si cucu (paman).
Selain itu juga terdapat Pasal 96 terkait
pembagian harta bersama suami istri yang
menyatakan apabila terjadi cerai mati, maka
separuh harta bersama menjadi hak pasangan
yang hidup lebih lama. Adanya pembagian harta
bersama ini juga tidak dikenal dalam hukum Islam.
Dalam Islam tidak dikenal adanya konsekuensi
percampuran harta karena pernikahan sehingga
ketika salah satu meninggal dunia separuh dari
hartanya harus diserahkan pada pasangannya
terlebih dulu sebelum dibagi waris. Allah SWT
menetapkan istri hanya berhak atas 1/4 atau 1/8
23
dari peninggalan suami dan suami berhak atas 1/2
atau 1/4 dari peninggalan istrinya, berdasarkan
firman Allah SWT dalam surah an-Nisa ayat 12:
ف م َا ت َرَك َ ا َ ْزو َاجُك ُ ْم ا ِ ْن َّل ْم يَكُنْ َّله َُّن وَلَد ٌ فَا ِ ْن ك َانَ لَه َُّن
ُ ْو َل َك ُ ْم ن ِص
ن م ِنْ بَعْدِ وَص َِّية ٍ ُيوْصِيْنَ بِهَا ا َ ْو دَي ْ ٍن و َلَه َُّن ُ ُ وَلَد ٌ فَل َكُم
َ ْالر ب ُ ُع مِمَّا ت َرَك
الر ب ُ ُع مِمَّا ت َرَكْ تُم ْ ا ِ ْن َّل ْم يَكُنْ َّل ك ُ ْم وَلَد ٌ فَا ِ ْن ك َانَ ل َك ُ ْم وَلَد ٌ فَلَه َُّن
ُ
24
Jika kamu mempunyai anak, maka para istri
memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu
tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang kamu
buat atau (dan setelah dibayar) utang-utangmu.
25
Muhammad Syahrur6 mengemukakan teori
limit (batas) dalam memahami ayat ini. Dia
mengatakan bahwa bagian waris 2:1 antara anak
laki-laki dan perempuan bukan berarti anak laki-
laki harus mendapatkan dua kali dari bagian anak
perempuan.
Menurutnya, pembagian 2:1 yang disebut
dalam al-Quran memiliki arti bahwa batas minimal
bagian waris anak perempuan adalah satu bagian
tidak boleh kurang, sedangkan batas maksimal
bagian anak laki-laki adalah dua bagian tidak boleh
lebih.7 Berdasarkan teori ini, bagian waris anak
perempuan dapat disamaratakan dengan anak
6
Muhammad Ibnu Da’ib Syahrur, atau yang dikenal Muhammad
Syahrur, lahir di Damaskus, Suriah, pada 11 Maret 1938. Selama
hidupnya, ia tak pernah dididik di sekolah agama. Tapi, di sekolah
umum di Al-Midan, sebuah wilayah bagian selatan Kota Damaskus.
Usai menamatkan SMA pada tahun 1957, Syahrur terbang ke
Moskow, Rusia. Di sana ia kuliah S1 Teknik Sipil dengan beasiswa dari
pemerintah Suriah. Jenjang master ia selesaikan tahun 1968 dengan
konsentrasi Mekanika Tanah, sedangkan jenjang doktoral ia selesaikan
tahun 1972 dalam bidang Teknik Fondasi. Ilmunya itu kemudian ia
terapkan di Suriah. Bekerja sebagai konsultan teknik bangunan untuk
ribuan bangunan di Damaskus
7
Muhammad Shahrur, Nahwu Usûl Jadîdah Lilfiqhi al-Islâmî, h. 342
26
laki-laki dalam kondisi tertentu dan hal itu
dianggap tidak melanggar ayat al-Quran.
Sayangnya pemikiran yang melenceng dan
menyimpang dari kesepakatan para ulama ini
kemudian disambut baik oleh sebagian hakim
agama di Indonesia dan diterapkan dalam putusan
di pengadilan.
Seperti Putusan Pengadilan Agama Medan
Nomor 92/Pdt.G/2009/PA.Mdn yang di dalam
putusan akhir, hakim memberikan hak bagian
waris kepada masing-masing ahli waris
berdasarkan prinsip pembagian 1:1 atau
pembagian secara proporsional.8 Dalam
pertimbangan hukumnya disebutkan:
“Majelis hakim berijtihad terhadap pembagian
harta warisan sebagaimana yang terjadi di dalam
kasus di atas, baik dalam ayat al-Qurân maupun
Kompilasi Hukum Islam bukanlah harga mati dari
8
Faiqah Nur Azizah, Pembaharuan Dalam Sistem Pembagian Waris
Secara Proporsional, Journal of Legal Research Vol. 3 Issue 4 2021, h.
514
27
sebuah ketentuan yang sama sekali tidak dapat
dirubah lagi, terutama ketika permasalahannya
terkait dengan rasa keadilan para ahli waris, dan
rasa keadilan itu sendiri merupakan ‘illat hukum
(penyebab yang dapat mengakibatkan terjadinya
perubahan hukum).”
28
bukan berdasarkan ‘rasa keadilan’ yang sangat
relatif dan kasuistik bisa berbeda-beda tergantung
dengan penilaian dan perasaan masing-masing
orang.
29
سو ْلَه و َيَتَع ََّد حُد ُ ْود َه ي ُ ْدخِل ْه ُ ن َار ًا خ َالِد ًا فِيْهَا وَلَه ِ ْوَم َنْ َّيع
ُ َ ص الله َ و َر
ٌ ْ َاب ُمهِي
ن ٌ عَذ
31
terjadi ketika pasangan suami-istri telah meninggal
dua-duanya. Dan itu umum terjadi pada sebagai
besar masyarakat kita.
Belum lagi masalah kebiasaan pasangan suami-
istri di sebagian besar masyarakat kita yang
sepertinya tabu dan menganggap bukan hal yang
lumrah untuk membicarakan masalah kejelasan
status harta di antara keduanya, mana harta suami
mana harta istri. Seolah-olah ketika menikah harta
salah satu pasangan menjadi milik bersama
padahal tidak pernah ada kesepakatan dan
pernyataan apa pun dari keduanya. Atau seolah-
olah dianggap perhitungan jika suami atau istri
membahas pemisahan harta di antara keduanya.
Tidak jelasnya status harta suami-istri ini sering
kali memicu permasalahan di kemudian hari
terutama saat ketika terjadi perpisahan baik
karena cerai atau salah satu meninggal dunia dan
harus bagi waris.
D. Kesadaran Masyarakat yang Masih Kurang
Masalah penerapan hukum waris di Indonesia
32
ini juga diperparah dengan kesadaran umat
Islamnya yang masih minim untuk menjalankan
hukum waris sesuai aturan Allah SWT.
Sebagian masyarakat muslim masih
menganggap bahwa hukum waris Islam hanyalah
pilihan dari sekian banyak sistem pembagian waris
yang ada. Mau pakai hukum waris Islam boleh,
hukum adat boleh, hukum negara juga boleh.
Begitu kira-kira asumsinya.
Sebagian umat Islam juga masih beranggapan
bahwa membagi waris itu berdasarkan
musyawarah mufakat, yang penting suka sama
suka, rela sama rela. Tidak perlu ada aturan ini itu
yang penting semua senang dan semua sepakat.
Gagal paham seperti ini sama halnya dengan
gagal pahamnya orang yang mengatakan zina itu
halal asalkan suka sama suka. Tentu ini tidak bisa
dibenarkan sebab haramnya zina bukan
didasarkan pada kerelaan pelakunya tapi
ketentuan Allah yang wajib dipatuhi.
Begitu pun pembagian waris tidak berdasarkan
33
kesepakatan ahli waris atau wasiat almarhum,
semua adalah kewenangan Allah SWT dan hanya
Allah yang berhak menetapkan siapa yang berhak
dan berapa bagiannya.
34