Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


“ILMU MAWARIS”

DISUSUN OLEH:
LUTHFI IKHWANUSSHOFA – 0219203007
MARCEL FEBIAN – 0219203016
FADIL MOCH SENJA FIRMANSYAH – 0219203023
WILDAN NURDIANA – 0219203020

JURUSAN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI & BISNIS
UNIVERSITAS WIDYATAMA BANDUNG
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI …………………………………………………………..................... v


BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………........ . 1
A. Latar Belakang ……………………………………………………......... 1
B. Rumusan Masalah ……………………………………………………… 1
C. Tujuan Pembuatan Makalah ……………………………………………. 1
BAB II HUKUM WARIS MENURUT ISLAM ………………………………… 2
A. Pengertian Waris …………………………………………...................... 2
B. Dasar Hukum Mawaris ………………………………………………… 3
C. Sebab-Sebab Memperoleh Warisan ……………………………………. 4
1. Adanya hubungan kekerabatan atau hubungan nasab ……………… 4
2. Adanya hubungan pernikahan ……………………………………… 5
3. Karena wala’ ……………………………………………………….. 5
D. Syarat dan Rukun Waris ……………………………………………….. 5
E. Golongan Ahli Waris …………………………………………………... 6
Beberapa hak yang bersangkutan dengan harta waris ……………... 8
F. Jenis-Jenis Pembagian Harta Waris ……………………………………. 8
1. Dzawil furud ……………………………………………………….. 8
2. Ashobah ……………………………………………………………. 10
3. Tirkah ………………………………………………………………. 11
Kewajiban Ahli Waris atas Harta Peninggalan …………………….. 12
G. Sebab-Sebab Tidak Mendapatkan Harta Waris (Hijab) ………………... 13
H. Pengertian Al-‘Aul ……………………………………………………... 14
Radd ………………………………………………………………... 14
I. Hal-Hal yang Menghalangi Waris ……………………………………... 16
J. Pengertian Wasiat ……………………………………………………… 18
BAB III PENUTUP ………………………………………………………………. 20
A. Kesimpulan …………………………………………………………….. 20
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………... 21
PERTANYAAN TERKAIT ILMU MAWARIS ………………………………... 22
JAWABAN DARI PERTANYAAN DIATAS …………………………………... 23

v
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Warisan adalah harta peninggalan seseorang yang telah meninggal kepada
seseorang yang masih hidup yang berhak menerima harta tersebut. Hukum waris
adalah sekumpulan peraturan yang mengatur hubungan hukum mengenai kekayaan
setelah wafatnya seseorang. Seseorang yang berhak menerima harta peninggalan di
sebut ahli waris. Dalam hal pembagian harta peninggalan, ahli waris telah memiliki
bagian-bagian tertentu.
Menurut Prof. T. M. Hasbi Ash Shiddiqi di dalam bukunya Fiqhul Mawaris
menyebutkan bahwa Ilmu mawaris ialah ilmu yang dengan dia dapat mengetahui
orang yang berhak menerima pusaka, orang yang tidak dapat menerima pusaka
kadar yang diterima oleh tiap-tiap waris dan cara membaginya.1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut maka dapat diperoleh rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Pengertian dan istilah waris
2. Dasar hukum waris
3. Sebab-sebab mewarisi/memusakai
4. Jenis-jenis pembagian harta waris
C. Tujuan Pembuatan Makalah
 Untuk mengetahui dan memaparkan hukum waris menurut pandangan agama
Islam.
 Untuk menambah wawan pembaca mengenai hukumwaris menurut pandangan
agama Islam.

1
Dra. Hasaniah Hasan, Hukum Warisan Dalam Islam (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987), cet. I,
hlm. 4.

1
BAB II
HUKUM WARIS MENURUT ISLAM

A. Pengertian Waris
Pengertian waris menurut bahasa ini tidak terbatas hanya pada hal-hal yang
berkaitan dengan harta, akan tetapi mencakup harta benda dan non harta benda.
Sedangkan secara terminologi hukum, kewarisan dapat diartikan sebagai hukum
yang mengatur tentang pembagian harta warisan yang ditinggalkan ahli waris,
mengetahui bagian-bagian yang diterima dari peninggalan untuk setiap ahli waris
yang berhak menerimanya.
Adapun dalam istilah umum, waris adalah perpindahan hak kebendaan dari
orang yang meninggal dunia kepada ahli waris yang masih hidup. Seperti yang
disampaikan oleh Wiryono Projodikoro, definisi waris adalah soal apakah dan
bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan
seseorang pada waktu ia meninggal akan beralih kepada orang lain yang masih
hidup.
Dengan demikian secara garis besar definisi warisan yaitu perpindahan berbagai
hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada orang
lain yang masih hidup dengan memenuhi syarat dan rukun dalam mewarisi.
Selain kata waris tersebut, kita juga menemukan istilah lain yang berhubungan
dengan warisan, diantaranya adalah:
1. Waris, adalah orang yang termasuk ahli waris yang berhak menerima warisan.
2. Muwaris, adalah orang yang diwarisi harta bendanya (orang yang meninggal)
baik secara haqiqy maupun hukmy karena adanya penetapan pengadilan.
3. Al-Irsi, adalah harta warisan yang siap dibagikan kepada ahli waris yang berhak
setelah diambil untuk pemeliharaan jenazah, melunasi hutang dan menunaikan
wasiat.
4. Warasah, yaitu harta warisan yang telah diterima oleh ahli waris.
5. Tirkah, yaitu seluruh harta peninggalan orang yang meninggal dunia sebelum
diambil untuk pemeliharaan jenazah, melunasi hutang, menunaikan wasiat. 2

2
Drs. Ahmad Rofiq, M.A, Fiqih Mawaris (Jakarta: Rajawali Pers, 1993), Cet. I, hlm. 3.

2
Adapun pengertian hukum kewarisan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)
adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan
(tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa
bagiannya (Pasal 171 huruf a KHI).
B. Dasar Hukum Mawaris
Hukum mawaris mengatur hal-hal yang menyangkut harta peninggalan
(warisan) yang ditinggalkan oleh ahli waris atau orang yang meninggal. Ilmu
mawaris dalam Islam mengatur peralihan harta peninggalan dari pewaris kepada
nasabnya atau ahli warisnya yang masih hidup. Adapun dasar-dasar hukum yang
mengatur ilmu mawaris adalah sebagai berikut:
a. QS. Al-Nisa (4):7

“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan
ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah
ditetapkan”. (QS. An-nisa (4): 7)
b. QS. Al-Nisa (4):11

“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anakanakmu.


Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak

3
perempuan3; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua4, Maka bagi
mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang
saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal
itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia
diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika
yangmeninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat
seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang
ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-
anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Bijaksana”.(QS. An-nisa (4): 11)
C. Sebab-Sebab Memperoleh Warisan
Adapun hal hal yang menyebabkan seseorang mendapatkan warisan disebutkan
dalam tiga perkara berikut ini
1. Adanya hubungan kekerabatan atau hubungan nasab
Kekerabatan artinya hubungan antara orang yang Memberi warisan atau
almuwaris dengan orang yang diwarisi dan hal ini disebabkan oleh kelahiran
atau hubungan darah. Kekerabatan atau hubungan darah adalah sebab yang
paling utama dalam menerima warisan karena hubungan darah tidak dapat
dihilangkan. Allah swt berfirman dalam Qur’an Surat Al Anfal

“Orang-orang yang mempunyai hubungan Kerabat itu sebagiannya lebih


berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab
Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Anfal:
75)

3
Bagian laki-laki dua kali bagian perempuan adalah karena kewajiban laki-laki lebih berat dari
perempuan, seperti kewajiban membayar maskawin dan memberi nafkah. (Lihat surat An Nisaa ayat 34).
4
Lebih dari dua Maksudnya: dua atau lebih sesuai dengan yang diamalkan Nabi.

4
2. Adanya hubungan pernikahan
Hubungan pernikahan dalam hal ini adalah sebab mendapatkan warisan dan
hal ini terjadi setelah akad nikah yang sah dilakukan dan terjadi hubungan antara
suami istri meskipun belum terjadi persetubuhan. Adapun suami istri yang
melakukan pernikahan tidak sah tidak menyebabkan adanya hak waris. Istri
yang telah mendapatkan tidak berhak menerima warisan dari mantan suaminya.
3. Karena wala’
Wala’ adalah sebab memperoleh warisan akibat jasa seseorang yang telah
memerdekakan seorang hamba dikemudian hari budak atau hamba sahaya
tersebut menjadi kaya. Jika bekas hamba atau budak tersebut yang
dimerdekakan meninggal dunia, maka orang yang memerdekakannya berhak
mendapatkan warisan.
D. Syarat dan Rukun Waris
Terdapat tiga syarat warisan yang telah disepakati oleh para ulama, tiga syarat
tersebut adalah:
a) Meninggalnya seseorang (pewaris) baik secara haqiqy, hukmy (misalnya
dianggap telah meninggal) maupun secara taqdiri.
b) Adanya ahli waris yang hidup secara haqiqy pada waktu pewaris meninggal
dunia.
c) Seluruh ahli waris diketahui secara pasti baik bagian masing-masing.
Adapun rukun waris dalam hukum kewarisan Islam, diketahui ada tiga macam,
yaitu:
i. Muwaris, yaitu orang yang diwarisi harta peninggalannya atau orang yang
mewariskan hartanya. Syaratnya adalah muwaris benar-benar telah meninggal
dunia. Kematian seorang muwaris itu, menurut ulama dibedakan menjadi 3
macam:
a) Mati Haqiqy (mati sejati).
Mati haqiqy (mati sejati) adalah matinya muwaris yang diyakini tanpa
membutuhkan putusan hakim dikarenakan kematian tersebut disaksikan oleh
orang banyak dengan panca indera dan dapat dibuktikan dengan alat bukti
yang jelas dan nyata.
b) Mati Hukmy (mati menurut putusan hakim atau yuridis)

5
Mati hukmy (mati menurut putusan hakim atau yuridis) adalah suatu
kematian yang dinyatakan atas dasar putusan hakim karena adanya beberapa
pertimbangan. Maka dengan putusan hakim secara yuridis muwaris
dinyatakan sudah meninggal meskipun terdapat kemungkinan muwaris
masih hidup. Menurut pendapat Malikiyyah dan Hambaliyah, apabila lama
meninggalkan tempat itu berlangsung selama 4 tahun, sudah dapat
dinyatakan mati. Menurut pendapat ulama mazhab lain, terserah kepada
ijtihad hakim dalam melakukan pertimbangan dari berbagai macam segi
kemungkinannya.
c) Mati Taqdiry (mati menurut dugaan).
Mati taqdiry (mati menurut dugaan) adalah sebuah kematian (muwaris)
berdasarkan dugaan keras, misalnya dugaan seorang ibu hamil yang dipukul
perutnya atau dipaksa minum racun. Ketika bayinya lahir dalam keadaan
mati, maka dengan dugaan keras kematian itu diakibatkan oleh pemukulan
terhadap ibunya.
ii. Waris (ahli waris), yaitu orang yang dinyatakan mempunyai hubungan
kekerabatan baik hubungan darah (nasab), hubungan sebab semenda atau
perkawinan, atau karena memerdekakan hamba sahaya. Syaratnya adalah pada
saat meninggalnya muwaris, ahli waris diketahui benarbenar dalam keadaan
hidup. Termasuk dalam hal ini adalah bayi yang masih dalam kandungan (al-
haml). Terdapat juga syarat lain yang harus dipenuhi, yaitu: antara muwaris dan
ahli waris tidak ada halangan saling mewarisi.
iii. Maurus atau al-Miras, yaitu harta peninggalan si mati setelah dikurangi biaya
perawatan jenazah, pelunasan hutang, dan pelaksanaan wasiat.
E. Golongan Ahli Waris
Orang-orang yang berhak menerima harta waris dari seseorang yang meninggal
sebanyak 25 orang yang terdiri dari 15 orang dari pihak laki-laki dan 10 orang dari
pihak perempuan.
Golongaan ahli waris dari pihak laki-laki, yaitu:
1) Anak laki-laki.
2) Anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu) dari pihak anak laki-laki, terus
kebawah, asal pertaliannya masih terus laki-laki.
3) Bapak.

6
4) Kakek dari pihak bapak, dan terus ke atas pertalian yang belum putus dari pihak
bapak.
5) Saudara laki-laki seibu sebapak.
6) Saudara laki-laki sebapak saja.
7) Saudara laki-laki seibu saja.
8) Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seibu sebapak.
9) Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sebapak saja.
10) Saudara laki-laki bapak (paman) dari pihak bapak yang seibu sebapak.
11) Saudara laki-laki bapak yang sebapak saja.
12) Anak laki-laki saudara bapak yang laki-laki (paman) yang seibu sebapak.
13) Anak laki-laki saudara bapak yang laki-laki (paman) yang sebapak saja.
14) Suami.
15) Laki-laki yang memerdekakannya (mayat).
Apabila 10 orang laki-laki tersebut di atas semua ada, maka yang mendapat
harta warisan hanya 3 orang saja, yaitu:
1) Bapak.
2) Anak laki-laki.
3) Suami.
4) Golongan dari pihak perempuan, yaitu :
5) Anak perempuan.
6) Anak perempuan dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah, asal pertaliannnya
dengan yang meninggal masih terus laki-laki.
7) Ibu.
8) Ibu dari bapak.
9) Ibu dari ibu terus ke atas pihak ibu sebelum berselang laki-laki.
10) Saudara perempuan seibu sebapak.
11) Saudara perempuan yang sebapak.
12) Saudara perempuan seibu.
13) Istri.
14) Perempuan yang memerdekakan si mayat.
Apabila 10 orang tersebut di atas ada semuanya, maka yang dapat mewarisi dari
mereka itu hanya 5 orang saja, yaitu:
1) Isteri.
2) Anak perempuan.
7
3) Anak perempuan dari anak laki-laki.
4) Ibu.
5) Saudara perempuan yang seibu sebapak.
Sekiranya 25 orang tersebut di atas dari pihak laki-laki dan dari pihak
perempuan semuanya ada, maka yang pasti mendapat hanya salah seorang dari dua
suami isteri, ibu dan bapak, anak laki-laki dan anak perempuan.
Anak yang berada dalam kandungan ibunya juga mendapatkan warisan dari
keluarganya yang meninggal dunia sewaktu dia masih berada di dalam kandungan
ibunya
Beberapa hak yang bersangkutan dengan harta waris
Sebelum di lakukan pembagian harta waris terdapat beberapa hak yang harus di
dahulukan. Ha-hak tersebut adalah:
 Hak yang bersangkutang dengan harta itu, seperti zakat dan sewanya.
 Biaya untuk mengururs mayat, seperti harga kafan, upah menggali tanah kubur,
dan sebagainya. Sesudah hak yang pertama tadi di selesaikan, sisanya barulah di
pergunakan untuk biaya mengurus mayat.
 Hutang yang di tinggalkan oleh si mayat.
 Wasiat si mayat. Namun banyaknya tidak lebih dari sepertiga dari harta
penginggalan si mayat.
F. Jenis-Jenis Pembagian Harta Waris
1. Dzawil furud
Pengertian Dzawil furud
Furudlu menurut istilah fiqih mawarits, ialah saham yang sudah ditentukan
jumlahnya untuk warits pada harta peninggalan, baik dengan nash maupun
dengan ijma’.5
Secara bebas, arti lugowi zawi al-furud adalah orang-orang yang mempunyai
saham (bagian) pasti. Secara istilahi zawi al-furud adalah ahli waris yang
sahamnya telah ditentukan secara terperinci (seperdua, sepertiga, seperempat,
seperenam atau seperdelapan dari warisan).6
Ahli waris
Menurut jumhur ‘ulama, ahli warits yang tergolong adalah:

5
Prof. T.M. Hasbi Ash-Shidieqy. Fiqih Mawaris (Hukum-hukum Warisan dalam Syari’at Islam). Hlm. 74
6
Alyasa Abu Bakar. Ahliwaris Sepertalian Darah. Hal140

8
1) Suami, mendapat ½ jika tidak ada anak (keturunan), dan ¼ jika ada
keturunan.
2) Istri, mendapat ¼ jika tidak ada anak (keturunan), dan 1/8 jika ada
keturunan.
3) Anak perempuan, mendapat ½ jika hanya satu orang dan mendapat 2/3 jika
dua orang atau lebih, menjadi asobah sekiranya ada anak aki-laki bagian
laki-laki dua kali bagian perempuan.
4) Anak perempuan dari anak laki-laki, ½ kalau ia seorang saja, 2/3 kalau ada
dua orang atau lebih, 1/6 kalau ada anak kandung perempuan, ta’shib kalau
ada cucu laki-laki bagian laki-laki dua kali baguian perempuan, dan tertutup
oleh dua orang anak perempuan atau oleh anak laki-laki.
5) Ibu, 1/6 kalau ada anak, 1/3 kalau tidak ada anak atau dua orang saudara, 1/3
sisa ketika ahli warisnya terdiri dari suami-ibu-bapak atau isteri-ibu-bapak.
6) Ayah, 1/6 jika bersama anak laki-laki, 1/6 sisa jika bersama anak
perempuan, ‘ashabah ketika tidak ada anak.
7) Saudara perempuan kandung, ½ kalau ia seorang saja, 2/3 jika dua orang
atau lebih, ta’shib jika bersama saudara laki-laki kandung, ‘ashabah kalau
bersama anak perempuan, tertutup jika ada ayah atau anak laki-laki seayah,
bagiannya laki-laki dua kali bagian perempuan.
8) Saudara perempuan seayah, ½ jika seorang saja, 2/3 jika dua orang atau
lebih, ta’shib jika bersama saudara laki-laki seayah, bagiannya laki-laki dua
kali bagian perempuan, ‘ashabah jika bersama anak perempuan atau cucu
perempuan, 1/6 jika bersama saudara perempuan sekandung, terhalang oleh
ayah atau cucu laki-laki atau saudara laki-laki kandung atau saudara
perempuan kandung yang menjadi ‘ashabah.
9) Saudara perempuan atau laki-laki seibu, 1/6 kalu seorang (laki-laki/
perempuan), 1/3 kalu dua orang atau lebih (laki-laki/ perempuan), terhalang
oleh anak laki-laki/ perempuan, cucu laki-laki, ayah atau nenek laki-laki.
10) Kakek, dibagi sama dengan saudara kalau yang dibagi lebih banyak dari 1/3.
Kalau kurang dari 1/3 maka bagian kakek 1/3 (kalau tidak ada waris lain
dzawil furudh), terhalang jika ada ayah.
11) Nenek, 1/6 untuk seorang atau lebih jika sederajat, terhalang jika ada ibu.

9
2. Ashobah
Pengertian
Ashobah adalah laki-laki dari kerabat si mayait, dimana dalam nisbatnya ke
si mayait, tidak ada perempuan. Menurut al-Jauhari dalam bukunya, ash-
shabhah, disebutkan bahwa ashobahnya laki-laki adalah bapaknya, anaknya, dan
kerabatnya sebapak. Dinamakan ashobah karena mereka mengelilinginya.
Dalam istilah ulama fiqih ashobah berarti ahli waris yang tidak mempunyai
baagian tertentu, baik besar maupun kecil, yang telah disepakati oleh para
ulaama (seperti ash-habul furudh) atau yang belum disepakati oleh mereka
(seperti dzawi al-arham).
Didalam kitab ar-Rahbiyyah, ashobah adalah setiap orang yang
mendaapatkan semua harta waris, yang terdiri dari kerabat daan orang yang
memerdekakan budak, atau yang mendapatkan sisa setelah pembagian bagian
tetap.
Pembagian Ashobah
Para fuqoha telah menyebutkan tiga macam kedudukan ashobah, yaitu:
1) Ashobah binafsihi ialah tiap-tiap kerabat yang leleki yang tidak diselangi
seorang wanita.7 Jumlah mereka adalah: Anak laki-laki, cucu laki-laki dari
anak laki-laki dan generasi dibawahnya, bapak dan kakek serta generasi
diatasnya, saudara kandung, saudara sebapak, anak laki-laki saudara
kandung, anak laki-laki saudara sebapak dan generasi dibawahnya, paman
kandung, paman sebapak, anak laki-laki paman kandung, anak laki-laki
paman sebapak.
2) Ashobah bighairihi ialah tiap waniya yang mempunyai furudh tapi dalam
mawarits menerima ushubah memerlukan orang lain dan dia bersekutu
dengannya untuk menerima ushubah itu. Mereka adalah:
 Satu anak perempuan atau lebih, yang ada bersama anak laki-laki,
 Satu cucu perempuan dari anak laki-laki atau lebih, yang ada bersama
cucu laki-laki dari anak laki-laki.
 Satu orang perempuan kandung atau lebih yang ada bersama saudara
kandung

7
Hasbi Ash-Siddieqy. Fighul Mawarits. Bulan bintang . Jakarta: 1973. Hal: 167

10
 Satu orang saudara perempuan sebapak atau lebih yang ada bersama
saudara laki-laki sebapak.
3) Ashobah ma’a ghairi ialah tiap wanita yang memerlukan orang lain dalam
menerima ushubuah. Sedangkan orang lain itu tidak bersekutu menerima
ushubah tersebut. Mereka adalah:
 Seorang saudara perempuan kadung atau lebih, yang ada bersama anak
perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki.
 Seorang saudara perempuan sebapak atau lebih, yang ada bersama anak
perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki.
3. Tirkah
Pengertian Tirkah (Harta Peninggalan) Lafadz at-tarikah atau at-tirkah ialah
masdar (nominal) bermakna maf’ul (objek) yang berarti matrukah (sesuatu yang
ditinggalkan). Tirkah menurut bahasa, yaitu sesuatu yang ditinggalkan dan
disisakan oleh seseorang. Sedangkan menurut istilah, tirkah adalah seluruh yang
ditinggalkan mayit berupa harta dan hak-hak yang tetap secara mutlak. Dengan
demikian, tirkah mencakup empat hal berikut:
1. Kebendaan, berupa benda-benda bergerak dan benda-benda tetap.
2. Hak-hak yang mempunyai nilai kebendaan, seperti hak monopoli untuk
mendayagunakan dan menarik hasil dari suatu jalan, sumber air minum, dan
lain sebagainya. Termasuk juga hak kemanfaatan, seperti memanfaatkan
barang yang disewa dan dipinjam. Hak yang bukan kebendaan, seperti hak
syuf’ah (hak beli yang diutamakan untuk salah seorang anggota serikat atau
tetangga atas tanah, pekarangan atau lain sebagainya, yang dijual oleh
anggota serikat yang lain atau tetangganya), dan hak khiyar, seperti khiyar
syarat.
3. Sesuatu yang dilakukan oleh mayit sebelum ia meninggal dunia, seperti
khamar yang telah menjadi cuka setelah ia wafat, dan jerat yang
menghasilkan binatang buruan, setelah ia meninggal dunia. Keduanya dapat
diwariskan kepada ahli waris mayit. 13
4. Diyat (denda) yang dibayarkan oleh pembunuh yang melakukan
pembunuhan karena khilaf. Hal ini sesuai dengan pendapat yang lebih kuat,

11
memasukkan diyat ke dalam kepemilikan mayit sebelum matinya. 8
Pengarang kitab al Mawarits fi al Syariat al Islamiyyah ‘ala Dhauil Kitab wa
al Sunnah memberikan definisi tirkah dengan “apa saja yang ditinggalkan
seseorang sesudah matinya. Baik berupa harta, hak-hak maliyah atau ghairu
maliyah. Maka apa saja yang ditinggalkan seseorang sesudah matinya, oleh
jumhur fuqaha diistilahkan dengan tirkah, baik mayat punya utang atau
tidak. Baik utangnya itu berupa utang ‘ainiyah atau syakhshiyyah. 9
Kewajiban Ahli Waris atas Harta Peninggalan
Dalam ketentuan umum Pasal 171 huruf (d) dijelaskan bahwa harta peninggalan
adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang
menjadi miliknya maupun hak-haknya. Dalam terminologi fiqh, harta peninggalan
disebut dengan tirkah. Agar harta peninggalan tersebut dapat dibagi sebagai
warisan, maka perlu diselesaikan kewajiban-kewajiban tertentu.
Maksudnya adalah harta peninggalan (tirkah) ini tentunya masih belum bisa
dipastikan untuk menjadi harta warisan yang akan dibagi-bagi terhadap ahli
warisnya. Karena bisa jadi harta peninggalan itu (ternyata) hanya cukup untuk
membayar/mengeluarkan segala hak yang masih berkaitan dengan tirkah ini, seperti
biaya penyelenggaraaan jenazah (tajhizul mayit), utang, dan wasiat. Sehingga harta
warisan itu dimaksudkan dengan harta peninggalan yang sudah dalam keadaan
bersih. Pasal 171 huruf (e) buku II Kompilasi Hukum Islam (KHI) menjelaskan,
harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama 10 setelah
digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya
pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran utang, dan pemberian untuk kerabat.11

8
Komite Fakultas Syariah Universitas Al Azhar Mesir, Ahkam al Mawarits fi al Fiqhi al Islamy, terj., Addys
Aldizar, dan Fathurrahman, Hukum Waris, (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004), cet. pertama. hal.
67-68.
9
Pengertian utang ‘ainiyah ialah utang-utang yang berkaitan dengan harta benda seperti: gadai yang
berkaitan dengan benda yang digadaikan. Sedang pengertian utang syakhshiyyah adalah utang yang
berkaitan dengan pertanggungan orang yang berutang seperti pinjaman, mas kawin dan sebagainya.
Muhammad Ali Ash Shabuny, dalam kitabnya, alih bahasa oleh Sarmin Syukur, Hukum Waris Islam,
(Surabaya: Al Ikhlas, 1995) cet. ke-1, hal. 49.
10
Harta Bersama itu adalah harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan di luar hibah atau
warisan. Maksudnya adalah harta yang didapat atas usaha suami istri, atau sendiri-sendiri selama masa
ikatan perkawinan. Lihat M. Fahmi Al Amruzi, Harta Kekayaan Perkawinan Studi Komparatif Fiqh, KHI,
Hukum Adat dan KUH Perdata, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2013) cet. I, Juni, hal. 29.
11
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Dilengkapi dengan Kompilasi Hukum Islam, (Surabaya: Arkola),
hal. 239.

12
G. Sebab-Sebab Tidak Mendapatkan Harta Waris (Hijab)
Ahli waris yang telah di sebutkan di atas semua tetap mendapatkan harta waris
menurut ketentuan-ketentuan yang telah di sebutkan, kecuali apabila ada ahli waris
yang lebih dekat pertaliannya kepada si mayit dari pada mereka. Berikut akan di
jelaskan orang-orang yang mendapat harta waris, atau bagiannya menjadi kurang
karena ada yang lebih dekat pertaliannya kepada si mayit dari pada mereka.
i. Nenek (ibu dari ibu atau ibu dari bapak), tidak mendapat harta waris karena ada
ibu, sebab ibu lebih dekat pertaliannya kepada yang meninggal dari pada nenek.
Begitu juga kakek, tidak mendapat harta waris selama bapaknya masih ada,
karena bapak lebih dekat pertaliannya kepada yang meninggal dari pada kakek.
Saudara seibu, tidak mendapatkan harta waris karena adanya orang yang di
sebut di bawah ini :
ii. Anak, baik laki-laki maupun perempuan.
iii. Anak dari anak laki-laki, baik laki-laki maupun perempuan.
iv. Bapak.
v. Kakek.
Saudara sebapak, saudara sebapak tidak mendapat harta waris dengan adanya
salah seorang dari empat orang berikut:
vi. Bapak.
vii. Anak laki-laki.
viii. Anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu laki-laki).
ix. Sudara laki-laki yang seibu sebapak.
Saudara seibu sebapak. Saudara seibu sebapak tidak akan mendapatkan harta
waris apabila terhalang oleh salah satu dari tiga orang yang tersebut di bawah ini:
x. Anak laki-laki.
xi. Anak laki-laki dari anak laki-laki(cucu laki-laki)
xii. Bapak.
Tiga laki-laki berikut ini mendapatkan harta waris namun saudara perempuan
mereka tidak mendapat harta waris, yaitu:
xiii. Saudara laki-laki bapak (paman) mendapatkan harta waris. Namun, saudara
perempuan bapak (bibi) tidak mendapatkan harta waris.
xiv. Anak laki-laki saudara bapak yang laki-laki (anak laki-laki paman dari bapak)
mendapat harta waris. Namun, anak perempuannya tidak mendapatkan harta waris.

13
xv. Anak laki-laki saudara laki-laki mendapatkan harta waris. Namun, anak
perempuannya tidak mendapatkan harta waris.
H. Pengertian Al-‘Aul
Al-‘Aul artinya jumlah beberapa ketentuan lebih banyak daripada satu bilangan,
atau berarti jumlah pembilang dari beberapa ketentuan lebih banyak dari pada
kelipatan persekutuan terkecil dari penyebut-penyebutnya.
Umpamanya ahli waris adalah suami dan dua saudara seibu sebapak, maka
suami mendapat ketentuan 1/2, dua saudara perempuan mendapat 2/3 sedangkan
kelipatan persekutuan terkecil dari 2 dan 3 adalah 6. Kita jadikan 3/6 untuk suami
dan 4/6 untuk kedua saudara perempuan. Jadi jumlah pembilang keduanya adalah 7,
sedangkan penyebut keduanya hany 6. Disini nyata bahwa pembilang lebih banyak
dari penyebut. Apabila terdapat masalah seperti ini, harta hendaknya kita bagi tujuh
bagian: tiga bagian untuk suami dan empat bagian untuk kedua saudara perempuan.
Sebenarnya keduan macam ahli waris ini tidak mengambil seperti ketentuan
masing-masing, tetapi keadilan memaksa menjalankan seperti tersebut.
Contoh yang kedua: Ahli waris adalah istri, ibu, dua saudara perempuan seibu
sebapak atau sebapak, dan seorang saudara seibu (baik laki-laki maupun
perempuan). Ketentuan masing-masing adalah intri mendapar 1/4, ibu mendapat
1/6, dua saudara perempuan mendapat 2/3 dan seorang saudara seibu mendapat 1/6.
Kelipatan persekutuan terkecil dari penyebut beberapa ketentuan tersebut adalah 12,
kita atur sebagai berikut: 1/4+1/6+2/3+1/6 = 3/12+2/12+8/12+2/12 = 15/12. Jadi,
harta perlu di bagi 15 bagian : 3 bagian dari 15 bagian untuk istri, 2 bagian untuk
ibu, 8 bagian untuk dua orang saudara perempuan, 2 bagian untuk saudara seorang
seibu. Berarti tiap-tiap bagian itu di hitung dari 15, bukan dari 12, sedangkan
ketentuan masing-masing hendaknya di ambil dari 12, tetapi dalam masalah ‘aulu
masing-masing hanya mengambil dari 15. Inilah yang dimaksud dengan ‘aulu.
Terjadinya karena banyaknya ahli waris sehingga jumlah ketentuan mereka lebih
banyak dari pada satu bilangan, buktinya pembilang lebih banyak dari penyebut.
Radd
Agar asas keadilan berimbang dapat diwujudkan waktu penyelesaian pembagian
warisan, penyesuaian dapat dilakukan melalui rad yakni mengembalikan sisa
(kelebihan) harta kepada ahli waris yang ada sesuai dengan kadar bagian masing-
masing.

14
Dalam hubungan ini perlu dicatat bahwa terdapat perbedaan pendapat mengenai
siapa yng berhak menerima pengembalian itu. Namun, pada umumnya ulama
mengatakan bahwa yang berhak menerima pengembalian sisa harta itu hanyalah
ahli waris karena hubungan darah, bukan ahli waris karena hubungan
perkawinan. Dalam KHI soal rad ini dirumuskan dalam Pasal 193 KHI yang
berbunyi:
Apabila dalam pembagian harta warisan di antara ahli waris Dzawil furud
menunjukkan bahwa angka pembilang lebih kecil daripada angka penyebut
sedangkan tidak ada ahli waris asabah, maka pembagian harta warisan tersebut
dilakukan secara rad, yaitu sesuai dengan hak masing-masing ahli waris, sedang
sisanya dibagi secara berimbang di antara mereka.
Dalam rumusan tersebut tidak dibedakan antara ahli waris karena hubungan
darah dengan ahli waris karena hubungan perkawinan. Penyelesaian pembagian
warisan dapat dilakukan dengan damai berdasarkan kesepakatan bersama. Di dalam
KHI hal tersebut dirumuskan dalam Pasal 183 KHI yang berbunyi:
Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian
harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya.
Contoh Radd
Sayuti (hal. 120) mencontohkan harta peninggalan yang tidak habis dibagi pada
pembagian pertama. Misalnya pewaris meninggalkan:
1. ibu (a)
2. seorang anak perempuan (b)
3. janda (c)
Maka pembagian warisannya akan seperti:
a. = 1/6
b. = 1/2
c. = 1/8
Jumlah = 4/24 + 12/24 + 3/24 = 19/24
Jadi, masih tersisa 24/24 – 19/24 = 5/24. Sisa ini namanya sisa bagi. Sisa bagi
ini dirad-kan (dikembalikan secara berimbang) kepada a, b dan c, sehingga a, b dan
c masing-masing akan mendapat tambahan dari sisa bagi yang 5/24 itu berimbang
dengan berapa bagian yang telah diperolehnya masing-masing dalam pembagian
pertama tadi.

15
Perbandingan perolehan mereka dalam pembagian pertama adalah 4:12:3
diambil dari perolehan mereka di atas tadi, yaitu 4/24: 12/24: 3/24. Jumlah angka
4+12+3= 19 dijadikan angka pembagi tadi.
Dengan demikian,
1. a mendapat tambahan 4/19 x 5/24 = 20/456
2. b mendapat tambahan 12/19 x 5/24 = 60/456
3. c mendapat tambahan 3/19x 5/24 = 15/456
Jadi pembagian terakhir adalah:
a = 1/6 +20/456 = 76/456 + 20/456 = 96/456
b = ½ +60/456 = 228/456 + 60/456 = 288/ 456
c = 1/8 +15/456 = 57/456 + 15/456 = 72/456
Pengujian perhitungan:
96/456 + 288/456 +72/456 =1
Jadi dapat disimpulkan bahwa apabila harta pewaris tidak habis dibagi
(kelebihan) atau terdapat kekurangan dalam pembagian, maka masalah tersebut
dipecahkan dengan cara aul dan rad. Aul untuk penyelesaian kekurangan dalam
pembagian harta warisan pewaris, sedangkan rad merupakan metode untuk
menyelesaikan kelebihan dalam pembagian harta pewaris 12
I. Hal-Hal yang Menghalangi Waris
Pada umum hal-hal yang bisa menjadi penghalang mewarisi itu ada tiga macam,
yaitu:
1. Pembunuhan.
Pembunuhan adalah sesuatu perbuatan yang mutlak menjadi penghalang
waris, karena adanya dalil yang kuat dari hadis Rasulullah SAW, Yang
Artinya:” Tidak berhak sipembunuh mendapat sesuatupun dari harta warisan
(Hadis Riwayat an-Nasa’i dengan isnad yang sahih)”.
Imam Syafi’i memberikan contoh pembunuhan yang dapat menjadi
penghalang mewarisi sebagai berikut:
i. Hakim yang menjatuhkan hukuman mati, tidak dapat mewarisi harta orang
yang telah dijatuhi hukuman mati.
ii. Algojo yang menjalankan tugas membunuh tidak dapat mewarisi harta orang
peninggalan pesakitan yang dibunuhnya.
12
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt59658753e1272/pengaturan-iaul-i-dan-irad-i-
dalam-kewarisan-islam/

16
iii. Seseorang yang memberikan persaksian (sumpah) palsu, tidak dapat
mewarisi harta peninggalan orang yang menjadi korban persaksian palsunya.
2. Berbeda Agama.
Adapun yang dimaksudkan dengan berbeda agama adalah agama yang
dianut antara waris dengan muwaris itu berbeda. Sedangkan yang dimaksud
dengan berbeda agama dapat menghalangi kewarisan adalah tidak ada hak
saling mewarisi antara seorang Muslim dan kafir (non-Islam), orang Islam tidak
mewarisi harta orang non-Islam demikian juga sebaliknya.
3. Perbudakan.
Secara umum, mayoritas ulama sepakat bahwa seorang budak terhalang
menerima warisan, karena budak (hamba sahaya) secara yuridis tidak cakap
dalam melakukan perbuatan hukum, sedangkan hak kebendaannya dikuasai oleh
tuannya. Sehingga ketika tuannya meninggal, maka seorang budak tidak berhak
untuk mewarisi, karena pada hakekatnya seorang budak juga merupakan “harta”
dan sebagai harta maka dengan sendirinya benda itu bisa diwariskan.
4. Berlainan Negara
Perbedaan negara dilihat dari segi ilmu waris adalah perbedaan negara jika
telah memenuhi 3 kriteria sebagai berikut:
5. Angkatan bersenjata yang berbeda, artinya masing-masing di bawah komando
yang berbeda.
6. Kepala negara yang berbeda.
7. Tidak ada ikatan satu dengan yang lainnya, artinya tidak ada kerjasama
diplomatik yang terjalin antar keduanya.
Sedangkan yang menjadi penghalang mewarisi dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI), yaitu beda agama (pasal 171 huruf c dan pasal 172 KHI), membunuh,
percobaan pembunuhan, penganiayaan berat terhadap pewaris dan memfitnah (pasal
173 KHI). Adapun persoalan agama menjadi sangat esensial sehingga harus ada
penegasan bahwa perbedaan agama akan menghilangkan hak waris, namun hal ini
juga tidak kita temukan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) buku kedua.
Sedangkan pewaris dalam ketentuan hukum kewarisan Islam adalah beragama
Islam, maka secara otomatis ahli waris juga beragama Islam. Sebagaimana Pasal
171 huruf c Kompilasi Hukum Islam (KHI) berbunyi:

17
“Ahli waris ialah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan
darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak
terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.”
Dan sebagai indikasi bahwa ahli waris tersebut beragama Islam, telah dijelaskan
dalam pasal 172 KHI yang berbunyi:
“Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari kartu identitas
atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir
atau anak yang belum dewasa beragama menurut ayahnya atau lingkungannya.”
Sedangkan penghalang mewarisi yang berupa pembunuhan, percobaan
pembunuhan, penganiayaan berat pewaris dan memfitnah telah dijelaskan dalam
pasal 173 KHI yang berbunyi:
“Seseorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang
telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena:
i. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya
berat pada pewaris.
ii. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa bahwa
pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5
tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.”
J. Pengertian Wasiat
Wasiat adalah pesan tentang suatu kebaikan yang akan di jalankan sesudah
seseorang meninggal dunia. Hukum wasiat adalah sunnah.
Rukun wasiat adalah sebagai berikut:
i. Ada orang yang berwasiat.
ii. Ada yang menerima wasiat.
iii. Sesuatu yang di wasiatkan.
iv. Lafadz(kalimat) wasiat, yaitu kalimat yang dapat dipahami untuk wasiat.
Sebanyak-banyak wasiat adalah sepertiga dari harta, tidak boleh lebih kecuali
apaila di izinkan oleh semua ahli waris sesudah orang yang berwasiat meninggal.
Wasiat hanya di tujukan kepada orang yang bukan ahli waris. Adapun kepada
ahli waris, wasiat tidak sah kecuali apabila di ridhoi oleh semua ahli waris yang lain
sesudah meninggalnya yang berwasiat
Syarat orang yang di serahi menjalankan wasiat, yaitu:
i. Beragama Islam.

18
ii. Baligh.
iii. Berakal.
iv. Merdeka.
v. Amanah.
vi. Cakap untuk menjalankan sebagaimana yang di kehendaki oleh yang berwasiat.

19
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dengan penjelasan-penjelasan mengenai hukum waris di atas, maka dapat di
simpukan bahwa:
 Waris adalah perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal dunia
kepada ahli waris yang masih hidup.
 Adapun pengertian hukum kewarisan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)
adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta
peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli
waris dan berapa bagiannya (Pasal 171 huruf a KHI).
 Ahli waris adalah orang-orang mendapatkan hak memperoleh harta peninggalan
orang yang telah meninggal yang masih mempunyai hubungan darah.
 Bagian-bagian yang di peroleh ahli waris telah di tetapkan dalam Al-Qur’an,
sehingga tidak ada kata tidak adil karena Al-Qur’an adalah Firman Allah SWT.
Yang di jamin kebenarannya.
 Sebelum di lakukan pembagian harta waris terdapat beberapa hak yang harus di
dahulukan. Ha-hak tersebut adalah :
a. Hak yang bersangkutang dengan harta itu, seperti zakat dan sewanya.
b. Biaya untuk mengururs mayat, seperti harga kafan, upah menggali tanah
kubur, dan sebagainya. Sesudah hak yang pertama tadi di selesaikan, sisanya
barulah di pergunakan untuk biaya mengurus mayat.
c. Hutang yang di tinggalkan oleh si mayat.
d. Wasiat si mayat. Namun banyaknya tidak lebih dari sepertiga dari harta
penginggalan si mayat.
 Wasiat adalah pesan tentang suatu kebaikan yang akan di jalankan sesudah
seseorang meninggal dunia dan hukum wasiat adalah sunnah.

20
DAFTAR PUSTAKA
Rahman dkk Milik Dep. Agama, Asymuni A., Ilmu Fiqih 3, Jakarta: CV. Yulina, 1986,
Cet. Ke-II.
Hasan, Hasaniah, Hukum Warisan Dalam Islam, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987, cet. I.
Rofiq, Ahmad, Fiqih Mawaris, Jakarta: Rajawali Pers, 1993, Cet. I.
Ismuha, Penggantian Tempat dalam Hukum Waris Menurut KUH Perdata, Hukum
Adat dan Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1978, cet. I.
Syarifuddin, Amir, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Kencana, 2005, cet. Ke-II.
Al-Asqalani, Ibnu Hajar, Terjemah Bulughul Maram, Jakarta: Pustaka Amani, 2000,
Cet. Ke-II.
Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta: Penerbit Lentera, 2008,
Cet. Ke-23.
Abdul Aziz Al-Malibari, Asy-Syekh Zainuddin bin, Terjemah Fat-Hul Mu’in 2,
Surabaya: Al-Hidayah,1993.
Ramulyo, M. Idris, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam: Di Pengadilan Agama dan
Kewarisan Menurut Undang-Undang Hukum Perdata (BW) di Pengadilan Negeri,
Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992.

Rasjid, Sulaiman. 2000. Fiqih Islam, Bandung: PT. Sinar Baru Algensindo.

21
PERTANYAAN TERKAIT ILMU MAWARIS
1. Hal-hal apa saja yang perlu dilakukan sebelum harta warisan dibagikan?
2. Kapan harta warisan dapat dibagi menurut Q.S. an-Nisa’/4:117?
3. Apakah perbedaan antara ashabah binnafsi, bilgair, dan ma’al gair serta berikan
contohnya? Jelaskan!
4. Langkah apa saja yang harus diperhatikan sebelum menghitung pembagian waris?
5. Indonesia memakai beberapa hukum waris. Kemukakan hukum waris menurut adat
Indonesia? Jelaskan!
6. Menurut Anda, prinsip ekonomi manakah yang lebih tampak dilapangan
perekonmian Indonesia selama ini (sistem kapitalisme, sosialisme, komunisme atau
Islam)? Tunjukkan indikator-indikatornya!

22
JAWABAN DARI PERTANYAAN DIATAS
1. Hal-hal yang perlu dilakukan sebelum harta warisan dibagikan adalah :
a) Menyelesaikan urusan jenazah.
b) Menyelesaikan hutang piutang almarhum, baik hutang kepada manusia atau
hutang kepada Allah SWT.
c) Membayar biaya pengobatan/perwatan dan membayar pemakaman almarhum.
d) Memenuhi wasiat sang mayit apabila semasa hidupnya pernah bernadzar.
e) Memisahkan harta bawaan dan harta gono gini

2. Warisan di bagikan setelah memberikan harta yang di wasiatkan dan membayar


hutang.

3. Ashabah adalah ahli waris yang berhak mewarisi seluruh harta warisan atau semua
sisa setelah harta Warisan dikeluarkan untuk ahli waris yang mendapat bagian
tertentu (dzawil furud). Dengan demikian, ada kemungkinan dia akan menerima
seluruh harta Warisan, menerima sisanya, atau tidak sama sekali karena telah
diambil habis Oleh dzawil furud.
Ashabah dibagi 3:
a) Ashabah binnafsi : ahli waris yang menjadi menjadi ashabah karena dirinya
sendiri. Contohnya adalah anak laki-laki, cucu laki laki dari anak laki laki ke
bawah, bapak, Kakek (dari pihak bapak) ke atas, Saudara laki-laki kandung,
saudara laki-laki sebapak, anak lki laki dari saudara laki-laki kandung, anak laki
laki dari saudara laki-laki sebapak, saudara laki-laki Bapak kandung, Saudara
laki-laki Bapak sebapak, anak laki-laki saudara laki-laki Bapak (paman/ua)
kandung, anak laki-laki saudara laki-laki Bapak (Paman/ua) sebapak, anak laki-
laki yang memerdekakan budak.
b) Ashabah bil gair : Ashabah bil gair adalah ahli waris yang menjadi ashabah
karena ditarik oleh ahli waris yang telah menjadi ashabah. Apabila tidak ada
ashabah maka ia tetap menjadi bagian sebagai ashabul furudh. Contohnya: Anak
perempuan yang ditarik anak laki-laki, cucu perempuan yang ditarik cucu laki-
laki, saudara perempuan kandung yang ditarik saudara laki-laki kandung,
saudara perempuan sebapak yang di tarik saudara laki-laki sebapak.

23
c) Ashabah maal gair : ahli waris yang menjadi ashabah karena bersama sma
dengan ahli waris lain yang bukan ashabah. Apabila ahli waris yang lain itu
tidak ada, maka ia tetap mendapatkan bagian sebagai ashabul furudh.
Contohnya : seorang saudara perempuan kandung atau lebih yang bersama
sama dengan seorang anak perempuan atau lebih, atau bersama sama dengan
seorang cucu perempuan atau lebih, seorang saudara perempuan sebapak atau
lebih yang bersama sma dengan seorang cucu perempuan atau lebih, seorang
saudara perempuan kandung atau lebih yang bersama sama dengan seorang anak
perempuan dan seorang cucu perempuan.

4. Langkah yang harus diperhatikan adalah :


a) Biaya pengurusan jenazah (biaya pengafanan dan penguburan)
b) Untuk melunasi hutang (jika ia mempunyai utang)
c) Untuk melunasi zakat(jika harta peninggalan telah memenuhi persyaratan wajib
zakat)
d) Untuk melunasi wasiat (jika ia meninggalkan wasiat)

5. Indonesia memakai Hukum Waris Patrinial yaitu hukum waris berdasarkan garis
keturunan ayah dan Hukum Waris Matrinial yaitu hukum waris berdasarkan garis
keturunan Ibu.

6. Sistem perekonomian yang diterapkan oleh Indonesia adalah sistem perekonomian


pancasila. Maka, secara normatif pancasila dan UUD 1945 adalah landasaan idiil
sistem perekonomian di Indonesia. Dasar politik perekonomian ini diatur dalam
UUD 1945 pasal 33 yang berbunyi :
1. Ayat 1: Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas
kekeluargaan.
2. Ayat 2: Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
3. Ayat 3: Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
4. Ayat 4: Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,

24
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan
kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-
undang.

25

Anda mungkin juga menyukai