Anda di halaman 1dari 24

PAPER

KONSEP HARTA, HUTANG, DAN MODAL DALAM


PANDANGAN ISLAM

Oleh :

OCTAVIA ERIDA (01031381821085)


MATA KULIAH :
AKUNTANSI SYARIAH

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


AHLI PROGRAM
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
PALEMBANG
2018
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur saya panjatkan kepada tuhan yang maha esa,
karena atas berkat dan limpahan rahmatnyalah maka kami bisa menyelesaikan
paper ini dengan tepat waktu.

Berikut ini penulis mempersembahkan sebuah paper dengan judul


"Konsep Harta, Hutang, dan Modal dalam Pandangan Islam” yang menurut
penulis dapat memberikan manfaat yang besar bagi kita untuk mempelajari
Perekonomian Internasional.

Melalui kata pengantar ini penulis lebih dahulu meminta maaf dan
memohon permakluman bila mana isi paper ini ada kekurangan dan ada tulisan
yang kami buat kurang tepat. Paper ini dibuat untuk pemenuhan tugas mata kuliah
Akuntansi Syariah.

Dengan ini penulis mempersembahkan paper ini dengan penuh rasa terima
kasih dan semoga Allah SWT memberkahi paper ini sehingga dapat memberikan
manfaat.

Palembang, November 2018


Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ 2


DAFTAR ISI....................................................................................................................... 3
BAB I .................................................................................................................................. 5
PENDAHULUAN .............................................................................................................. 5
1.1. Latar Belakang .................................................................................................. 5
1.2. Rumusan Masalah ............................................................................................ 6
1.3. Tujuan ................................................................................................................ 6
BAB II................................................................................................................................. 7
PEMBAHASAN ................................................................................................................. 7
2.1. HARTA .............................................................................................................. 7
2.1.1. Definisi Harta ................................................................................................ 7
2.1.2. Unsur-Unsur Harta ....................................................................................... 8
2.1.3. Pembagian Harta dan Implikasi hukumnya .............................................. 8
2.1.4. Cara Kepemilikan Harta Dalam Islam (Al-milkiyah) ............................. 10
2.1.5. Kedudukan Harta dalam Islam ................................................................. 12
2.2. HUTANG ......................................................................................................... 13
2.2.1. Pengertian Hutang ...................................................................................... 13
2.2.2. Dalil seputar Hutang-Piutang .................................................................... 13
2.2.3. Rukun dan Syarat Hutang-Piutang........................................................... 16
2.2.4. Etika Dalam Transaksi Utang Piutang ..................................................... 17
2.2.5. Berakhirnya Akad Utang Piutang ............................................................. 19
2.3. MODAL ........................................................................................................... 19
2.3.1. Pengertian Modal ........................................................................................ 19
2.3.2. Unsur Modal ................................................................................................ 20
2.3.3. Syarat-syrat ra’sul-maal (modal awal) ..................................................... 20
2.3.4. Prinsip-Prinsip Akuntansi Islam pada Modal Pokok .............................. 20
2.3.5. Ketentuan Hukum Islam Mengenai Modal .............................................. 21
BAB III ............................................................................................................................. 22

3
PENUTUP ........................................................................................................................ 22
3.1. KESIMPULAN............................................................................................ 22
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 23

4
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Hakekatnya manusia bersifat sosial, dimana orang tak dapat hidup sendiri
harus saling membantu baik dalam kesusahan maupun kebaikan. Seperti halnya
pada harta dimana saat melihat saudara semuslim kita kesusahan contohnya dalam
harta dan sangat mendesak alangkah lebih baik jika kita membantu, yaitu dengan
cara menghutangi atau dengan cara memberikan modal.

Harta merupakan kebutuhan inti dalam kehidupan dimana manusia tidak


akan bisa terpisah darinya. Secara umum, harta merupakan sesuatu yang disukai
manusia, seperti hasil pertanian, perak dan emas, ternak atau barang-barang lain
yang termasuk perhiasan dunia.

Hutang adalah memberikan sesuatu yang memiliki nilai yang menjadi hak
milik pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian di kemudian hari
sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama. Contoh, A meminjam emas 10 gram
pada B. Maka B wajib mengembalikan utang tersebut pada A sebanyak 10 gram
emas atau uang senilai itu pada waktu yang telah ditentukan.

Modal yang dalam bahasa Inggrisnya disebut capital mengandung arti


barang yang dihasilkan oleh alam atau buatan manusia, yang diperlukan bukan
untuk memenuhi secara langsung keinginan manusia tetapi untuk membantu
memproduksi barang lain yang nantinya akan dapat memenuhi kebutuhan
manusia secara langsung dan menghasilkan keuntungan.

Berdasarkan uraian diatas maka akan dibahas secara lebih jelas mengenai
konsep harta, konsep hutang, dan konsep modal dalam pandangan islam.

5
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah Konsep Harta Dalam Pandangan Islam?
2. Bagaimanakah Konsep Hutang Dalam Pandangan Islam?
3. Bagaimanakah Konsep Modal Dalam Pandangan Islam?

1.3. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Harta Dalam Pandangan Islam
2. Untuk Mengetahui Hutang Dalam Pandangan Islam
3. Untuk Mengetahui Modal Dalam Pandangan Islam

6
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. HARTA
2.1.1. Definisi Harta

Harta (mal) dari segi bahasa (etimologis) disebut dengan al-mal, yang
berasal dari kata maalayamiilu-mailan yang berarti condong, cenderung dan
miring (Suhendi, 2008, p. 9). Secara terminologis, harta adalah segala sesuatu
yang menyenangkan manusia dan mereka pelihara, baik dalam bentuk materi
maupun dalam manfaat (Hasan, 2003, p. 55). Ada juga yang mengartikan dengan
sesuatu yang dibutuhkan dan diperoleh manusia baik berupa benda yang tampak
seperti emas, perak, binatang, tumbuhan, maupun yang tidak tampak, yakni
manfaat seperti kendaraan, pakaian, dan tempat tinggal. Oleh karena itu, sesuatu
yang tidak dikuasai manusia tidak dapat dinamakan harta, seperti burung di udara,
ikan di lautan lepas, pohon di hutan, dan barang tambang yang ada di bumi
(Syafei, 2000, p. 21).

Adapun secara istilah ahli fiqih, harta yaitu:

1) Menurut Ulama Hanafiyah, Segala sesuatu yang mempunyai nilai dan dapat
dikenakan ganti rugi bagi orang yang merusak dan melenyapkannya.
2) Menurut Ulama Madzhab Maliki, Harta adalah hak yang melekat pada
seseorang yang menghalangi orang lain untuk menguasainya dan sesuatu
yang diakui sebagai hak milik secara ‘uruf (adat).
3) Menurut Ulama Madzhab Syafi’i, Harta adalah sesuatu yang bermanfaat
bagi pemiliknya dan bernilai.
4) Menurut Ulama Madzhab Hambali, Harta adalah sesuatu yang mempunyai
nilai ekonomi dan dilindungi undang-undang.

7
2.1.2. Unsur-Unsur Harta

Menurut fuqaha, harta bersendi kepada dua unsur yaitu :

a) Unsur ‘Aniyah, ialah harta dalam wujud nyata,


b) Unsur ‘Urf, ialah segala sesuatu yang dipandang harta oleh seluruh manusia
atau sebagian manusia, tidaklah manusia memelihara sesuatu kecuali
menginginkan manfaatnya, baik manfaat madiyah maupun manfaat
ma’nawiyah.

2.1.3. Pembagian Harta dan Implikasi hukumnya

Harta terdiri dari beberapa bagian dan tiap-tiap bagian memiliki ciri khusus
dan hukumnya tersendiri. Pembagian jenis harta ini sebagai berikut:

1. Harta Mutaqawwin dan Ghair Mutaqawwin


a. Harta mutaqawwin ialah sesuatu yang boleh diambil manfaatnya
menurut syara’ yaitu semua harta yang baik jenisnya maupun cara
memperoleh dan penggunaanya.
b. Harta ghair mutaqawwin ialah sesuatu yang tidak boleh diambil
menurut syara’ yaitu kebalikan dari harta mutaqawwin, yakni yang
tidak boleh diambil manfaatnya, baik jenisnya, cara memperolehnya,
maupun cara penggunaannya.
2. Harta Mitsli dan Harta Qimi

a. Harta mitsli ialah benda-benda yang ada persamaan dalam kesatuan-


kesatuannya, dalam arti dapat berdiri sebagiannya di tempat yang lain,
tanpa ada perbedaan yang perlu dinilai.

b. Harta qimi ialah benda-benda yang kurang dalam kesatuan-kesatuannya,


karena tidak dapat berdiri sebagian di tempat sebagian yang lainnya
tanpa ada perbedaan

8
3. Harta Istihlak dan Harta Isti’mal
a. Harta istihlak ialah sesuatu yang tidak dapat diambil kegunaan dan
manfaatnya secara biasa, kecuali dengan menghabiskannya. Harta
istihlak dibagi menjadi dua, ada yang istihlak haqiqi dan istihlak huquqi.
1) Harta istihlak haqiqi
2) Harta huquqi
b. Harta isti’mal ialah sesuatu yang dapat digunakan berulang kali dan
materinya tetap terpelihara. Harta isti’mal tidaklah habis sekali
digunakan, tetapi dapat digunakan lama menurut apa adanya.
4. Harta Manqul dan Harta Ghair Manqul
a. Harta manqul ialah segala harta yang dapat dipindahkan (bergerak) dari
satu tempat ke tempat lain.
b. Harta ghair manqul ialah sesuatu yang tidak bisa dipindahkan dan dibawa
dari satu tempat ke tempat yang lain.
5. Harta Mamluk, Mubah, dan Mahjur
a. Harta mamluk ialah sesuatu yang masuk ke bawah milik, milik
perorangan maupun milik badan hukum, seperti pemerintah dan yayasan.
Harta mamluk (yang dimiliki) terbagi manjadi dua macam yaitu:
1) Harta perorangan (mustaqil)
2) Harta perkongsian (masyarakat)

b. Harta mubah ialah sesuatu yang pada asalnya bukan milik seseorang,
seperti air pada mata air, binatang buruan darat, laut, pohon-pohon di
hutan dan buah-buahannya.

c. Harta mahjur ialah sesuatu yang tidak dibolehkan dimiliki sendiri dan
memberikan kepada orang lain menurut syari’at, adakalanya benda itu
benda wakaf ataupun benda yang dikhususkan untuk masyarakat umum.

9
6. Harta yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi
a. Harta yang dapat dibagi (mal qabil li al-qismah) ialah harta yang tidak
menimbulkan suatu kerugian atau kerusakan apabila harta itu dibagi-
bagi.
b. Harta yang tidak dapat dibagi (mal ghair qabil li al-qismah) ialah harta
yang menimbulkan suatu kerugian atau kerusakan apabila harta tersebut
dibagi-bagi.

2.1.4. Cara Kepemilikan Harta Dalam Islam (Al-milkiyah)

Sistem Ekonomi Islam berbeda sama sekali dengan sistem ekonomi kufur
buatan manusia. Sistem ekonomi Islam adalah sempurna karena berasal dari
wahyu, dan dari segi kepemilikan, ia menerangkan kepada kita bahwa terdapat
tiga jenis kepemilikan, yaitu :

1) Hak Milik Umum, meliputi mineral-mineral dalam bentuk padat, cair dan
gas termasuk petroleum, besi, tembaga, emas dan sebagainya yang didapati
sama ada di dalam perut bumi atau di atasnya, termasuk juga segala bentuk
tenaga dan intensif tenaga serta industri-industri berat. Semua ini
merupakan hak milik umum dan wajib diuruskan (dikelola) oleh Daulah
Islamiyah (negara) manakala manfaatnya wajib dikembalikan kepada
rakyat.
Tipe pertama dari hak milik adalah pemilikan secara umum (kolektif).
Konsep hak milik umum pada mulanya digunakan dalam islam dan tidak
terdapat pada masa sebelumnya. Hak milik dalam islam tentu saja memiliki
makna yang sangat berbeda dan tidak memiliki persamaan langsung dengan
dimasud oleh sistem kapitalis, sosialis dan komunis. Maksudnya, tipe ini
memiliki bentuk yang berbeda beda.
2) Hak Milik Negara, meliputi segala bentuk bayaran yang dipungut oleh
negara secara syar’ie dari warganegara, bersama dengan perolehan dari
pertanian, perdagangan dan aktivitas industri, di luar dari lingkungan

10
pemilikan umum di atas. Negara membelanjakan perolehan tersebut untuk
kemaslahatan negara dan rakyat.
Tipe kedua dari kepemilikan adalah hak milik oleh negara. Negara
membutuhkan hak milik untuk memperoleh pendapatan, sumber
penghasilan dan kekuasaan untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya.
Misal, untuk menyelenggarakan pendidikan, memelihara keadilan,
regenerasi moral dan tatanan masyarakat yang terjamin kesejahteraannya.
Menurut Ibn taimiyah, sumber utama kekayaan negara adalah zakat, barang
rampasan perang (ghanimah). Selain itu, negara juga meningkatkan sumber
pengahsilan dengan mengenakan pajak kepada warga negaranya, ketika
dibutuhkan atau kebutuhannya meningkat. Demikian pula, berlaku bagi
kekayaan yang tak diketahui pemiliknya, wakaf, hibah dan pungutan denda
termasuk sumber kekayaan negara.
3) Hak Milik Individu, selain dari kedua jenis pemilikan di atas, harta-harta
lain boleh dimiliki oleh individu secara syar’i dan setiap individu itu perlu
membelanjakannya secara syar’i juga. Proses kepemilikan harus didapatkan
melalui cara yang sah menurut agama Islam.
Imam Al-Ghazali membagi menjadi 6 jenis harta yang dilindungi oleh Islam
(sah menurut agama islam) :
a. Diambil dari suatu sumber tanpa ada pemiliknya, misal: barang
tambang, menggarap lahan yang mati, berburu, mencari kayu bakar,
mengambil air sungai, dll.
b. Diambil dari pemiliknya secara paksa karena adanya unsur halal, misal:
harta rampasan.
c. Diambil secara paksa dari pemiliknya karena ia tidak melaksanakan
kewajiban, misal: zakat.
d. Diambil secara sah dari pemiliknya dan diganti, misal: jual beli dan
ikatan perjanjian dengan menjauhi syarat-syarat yang tidak sesuai
syariat.
e. Diambil tanpa diminta, misal: harta warisan setelah dilunasi hutang-
hutangnya.

11
2.1.5. Kedudukan Harta dalam Islam
1. Harta Sebagai Amanah Dari Allah SWT

Harta merupakan amanah bagi manusia, karena manusia tidak mampu


mengadakan sesuatu benda dari tiada menjadi ada. Sebagaimana yang
dikemukakan oleh Albert Einstein (seorang ahli Ilmu Fisika), manusia tidak
mampu menciptakan energi; yang mampu manusia lakukan adalah mengubah dari
satu bentuk energi ke bentuk energi lain. Jadi pencipta awal segala energi adalah
Allah SWT.

2. Harta Sebagai Perhiasan Hidup Manusia

Manusia memiliki kecenderungan yang kuat untuk memiliki, menguasai,


dan menikmati harta, namun demikian manusia harus sadar bahwa harta yang
dimilikinya hanyalah merupakan perhiasan selama ia hidup di dunia. Sebagai
perhiasan hidup, harta seringkali menyebabkan keangkuhan, kesombongan, serta
kebanggaan diri sebagaimana yang diungkapkan dalam Surah Al ‘Alaq ayat 6-7.

3. Harta Sebagai Ujian Keimanan

Dalam memperoleh dan memanfaatka harta, harus kita perhatikan apakah


telah sesuai atau tidak sesuai dengan ajaran Islam. Dalam Surah An Anfaal ayat
28 dikemukakan bahwa sesungguhnya harta dan anak-anak adalah suatu cobaan
dari Allah SWT.

4. Harta Sebagai Bekal Ibadah

Dengan memiliki harta maka kita dapat melaksanakan perintah Allah SWT
dan melaksanakan muamalah di antara sesama manusia melalui kegiatan zakat,
infak dan sedekah sebagaimana yang dikemukakan dalam Surah At Taubah Ayat
41 & 60 serta Al Imran Ayat 133-134.

12
2.2. HUTANG
2.2.1. Pengertian Hutang

Di dalam fiqih Islam, hutang piutang atau pinjam meminjam telah dikenal
dengan istilah Al-Qardh. Makna Al-Qardh secara etimologi (bahasa) ialah Al-
Qath’u yang berarti memotong. Harta yang diserahkan kepada orang yang
berhutang disebut Al-Qardh, karena merupakan potongan dari harta orang yang
memberikan hutang Qardh secara etimologi merupakan bentuk masdar dari
qaradha asy-syai’- yaqridhuhu, yang berarti dia memutuskanya.

Qardh adalah bentuk masdar yang berarti memutus. Dikatakan qaradhtu


asy-syai’a bil-miqradh, aku memutus sesuatu dengan gunting. Al-Qardh adalah
sesuatu yang diberikan oleh pemilik untuk dibayar.

Adapun qardh secara terminologis adalah memberikan harta kepada orang


yang akan memanfaatkannya dan mengembalikan gantinya dikemudian hari.
Menurut Firdaus at al., qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang
dapat ditagih atau diminta kembali. Dalam literature fikih, qardh dikategorikan
dalam aqad tathawwu’i atau akad saling membantu dan bukan transaksi komersil.

Menurut ulama Hanafiyah:

“Qaradh adalah harta yang diberikan seseorang dari harta mitsil (yang
memiliki perumpamaan) untuk kemudian dibayar atau dikembalikan. Atau dengan
ungkapan yang lain, qaradh adalah suatu perjanjian yang khusus untuk
menyerahkan harta (mal mitsil) kepada orang lain untuk kemudian dikembalikan
persis seperti yang diterimanya.”

2.2.2. Dalil seputar Hutang-Piutang


1) Quran Surat Al-Baqarah 2:282

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu´amalah tidak secara


tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan

13
janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya,
meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu
mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada
Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya.
Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau
dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan
dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki
(di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua
orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa
maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi
keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang
itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian
itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat
kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu´amalahmu itu), kecuali
jika mu´amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka
tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah
apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit
menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu
adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah
mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

2) Dasar Hukum Hadits

Qiradh merupakan salah satu bentuk taqarrub kepada Allah swt., karena qiradh
berarti berlemah-lembut dan mengasihi sesama manusia, memberikan kemudahan
dan solusi dari duka dan kesulitan yang menimpa orang lain. Islam menganjurkan
dan menyukai orang yang meminjamkan (qiradh), dan membolehkan bagi orang
yang diberikan qiradh, serta tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang makruh,
karena dia menerima harta untuk dimanfaatkan dalam upaya memenuhi kebutuhan
hidupnya, dan peminjam tersebut mengembalikan harta seperti semula. Dari Ibnu
Mas’ud, Rasulullah SAW bersabda:

14
“Bukan seorang muslim (mereka) yang meminjamkan muslim (lainnya) dua kali
kecuali yang satunya adalah (senilai) shadaqah.” (HR Ibnu Majah).

Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda:

“Rasulullah SAW pernah meminjam seekor unta muda lalu beliau


mengembalikan unta yang lebih baik usianya dari yang dipinjamnya, dan beliau
bersabda, sebaik-baik kalian adalah yang paling baik dalam mengembalikan
(hutangnya).” (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi, ia menilainya shahih)

3) Dasar Hukum Ijma’

Para ulama telah menyepakati bahwa al-qardh boleh dilakukan.


Kesepakatan ulama ini didasari tabiat manusia yang tidak bisa hidup tanpa
pertolongan dan bantuan saudaranya. Tidak ada seorang pun yang memiliki segala
barang yang dibutuhkan. Oleh karena itu, pinjam-meminjam sudah menjadi satu
bagian dari kehidupan di dunia ini. Islam adalah agama yang sangat
memperhatikan segenap kebutuhan umatnya.

4) . Dasar Hukum Kaidah Fiqh

Adapun dasar hukum utang-piutang (qardh) dalam kaidah fiqh muamalah


adalah:
“Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada
dalil yang mengharamkannya”

“Setiap pinjaman yang menarik manfaat (oleh kreditor) adalah sama dengan riba”.

Pihak yang meminjami mempunyai pahala sunat. Sedangkan dilihat dari


sudut peminjam, maka hukumnya boleh, tidak ada keberatan dalam hal itu. Jadi,
hukum memberi hutang hukumnya sunat malah menjadi wajib, seperti
mengutangi orang yang terlantar atau yang sangat perlu atau berhajat.

15
2.2.3. Rukun dan Syarat Hutang-Piutang

Rukun qardh (hutang piutang) ada tiga, yaitu (1) shighah, (2) ‘aqidain (dua
pihak yang melakukan transaksi), dan (3) harta yang dihutangkan. Penjelasan
rukun-rukun tersebut beserta syarat-syaratnya adalah sebagai berikut.

1. Shighah

Yang dimaksud shighah adalah ijab dan qabul. Tidak ada perbedaan
dikalangan fuqaha’ bahwa ijab itu sah dengan lafal hutang dan dengan semua
lafaz yang menunjukkan maknanya, seperti kata,”aku memberimu hutang” atau
“aku menghutangimu”. Demikian pula qabul sah dengan semua lafal yang
menunjukkan kerelaan , seperti “aku berhutang” atau “aku menerima” atau “aku
ridha” dan lain sebagainya.

2. ‘Aqidain

Yang dimaksud dengan ‘aqidain (dua pihak yang melakukan transaksi)


adalah pemberi hutang dan penghutang. Keduanya mempunyai beberapa syarat
berikut.

a. Syarat-syarat bagi pemberi hutang


Fuqaha’ sepakat bahwa syarat bagi pemberi hutang adalah
termasuk ahli tabarru’ (orang yang boleh memberikan derma), yakni
merdeka, baligh, berakal shat, dan pandai (rasyid, dapat membedakan
yang baik dan yang buruk). Mereka berargumentasi bahwa hutang
piutang adalah transaksi irfaq (memberi manfaat). Oleh karenanya tidak
sah kecuali dilakukan oleh orang yang sah amal kebaikannya, seperti
shadaqah.
b. Syarat bagi penghutang
1) Syafi’iyah mensyaratkan penghutang termasuk kategori orang yang
mempunyai ahliyah al-mu’amalah (kelayakan melakukan transaksi)
bukan ahliyah at-tabarru’ (kelayakan member derma). Adapun

16
kalangan ahnaf mensyaratkan penghutangkan mempunyai ahliyah at-
tasharrufat (kelayakan memberikan harta) secara lisan, yakni merdeka,
baligh, dan berakal sehat.
2) Hanabilah mensyaratkan penghutang mampu menanggung karena
hutang tidak ada kecuali dalam tanggungan. Misalnya, tidak sah
member hutang kepada masjid, sekolah, atau ribath (berjaga
diperbatasan dengan musuh) karena semua ini tidak mempunyai
potensi menanggung.
3) Harta yang dihutangkan
Rukun yang ketiga ini mempunyai beberapa syarat berikut.
a. Harta yang dihutangkan berupa harta yang ada padanannya,
maksudnya harta yang satu sama lain dalam jenis yang sama tidak
banyak berbeda yang megakibatkan perbedaan nilai, seperti uang,
barang-barang yang dapat di takar, ditimbang, ditahan, dan
dihitung.
b. Harta yang dihutangkan disyaratkan berupa benda, tidak sah
menghutangkan manfaat (jasa).
c. Harta yang dihutangkan diketahui

2.2.4. Etika Dalam Transaksi Utang Piutang

Di samping adanya syarat dan rukun sahnya utang piutang, juga terdapat
ketentuan-ketentuan mengenai adab atau etika yang harus diperhatikan dalam
masalah utang piutang (Qard), yaitu:

1. Utang piutang harus ditulis dan dipersaksikan


2. Etika bagi pemberi utang (muqrid)
a. Orang yang menghutangkan wajib memberi tempo pembayaran bagi
yang meminjam agar ada kemudahan untuk membayar.
b. Jangan menagih sebelum waktu pembayaran yang sudah ditentukan.
c. Hendaknya menagih dengan sikap yang lembut dan penuh maaf.

17
d. Memberikan penangguhan waktu kepada orang yang sedang kesulitan
dalam melunasi utangnya setelah jatuh tempo. Sebagaimana firman Allah
dalam surat al Baqarah ayat 280.
“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam keadaan kesukaran, maka
berilah tangguh sampai ia berkelapangan, dan menyedekahkan (sebagian
atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”.
3. Etika bagi orang yang berhutang (muqtarid)
1) Diwajibkan kepada orang yang berutang untuk sesegera mungkin
melunasi utangnya tatkala ia telah mampu untuk melunasinya, Sebab
orang yang menunda-nunda pelunasan utang padahal ia mampu, maka
ia tergolong orang yang berbuat z{alim. Sebagaimana sabda Nabi Saw:
“Melambatkan membayar hutang padahal dia mampu, maka termasuk
zalim”. (HR. Bukhari Muslim).
2) Pemberi utang (muqrid{)} tidak boleh mengambil keuntungan atau
manfaat dari orang yang berutang (muqtarid{) dalam bentuk apapun.
Dengan kata lain, bahwa pinjaman yang berbunga atau mendatangkan
manfaat apapun adalah haram berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah.
Keharaman itu meliputi segala macam bunga atau manfaat yang
dijadikan syarat oleh orang yang memberikan utang (muqrid}) kepada
si penghutang (muqtarid}).
3) Berutang dengan niat yang baik, dalam arti berutang tidak untuk tujuan
yang buruk seperti: berutang untuk foya-foya (bersenangsenang),
berutang dengan niat meminta karena jika meminta tidak diberi, maka
digunakan istilah utang agar mau memberi dan berutang dengan niat
tidak akan melunasinya.
4) Jika terjadi keterlambatan karena kesulitan keuangan, hendaknya orang
yang berutang memberitahukan kepada orang yang memberikan utang,
karena hal ini termasuk bagian dari menunaikan hak yang
menghutangkan. Janganlah berdiam diri atau lari dari si pemberi
pinjaman, karena akan merubah hutang yang awalnya sebagai wujud
tolong menolong menjadi permusuhan.

18
2.2.5. Berakhirnya Akad Utang Piutang

Akad utang piutang (qard) berakhir apabila objek akad (qarad) ada pada
muqtarid (orang yang meminjam) telah diserahkan atau dikembalikan kepada
muqrid (pemberi pinjaman) sebesar pokok pinjaman, pada jatuh tempo atau waktu
yang telah disepakati di awal perjanjian. Dan pengembalian qarad hendaknya
dilakukan di tempat terjadinya akad qard itu berlangsung. Tetapi apabila si muqrid
(kreditur) meminta pengembalian qarad di tempat yang ia kehendaki maka
dibolehkan selama tidak menyulitkan si muqtarid (debitur).

Akad utang piutang (qard) juga berakhir apabila dibatalkan oleh pihak-pihak
yan berakad karena alasan tertentu. Dan apabila muqtarid(orangyang berhutang)
meninggal dunia maka qard atau pinjaman yang belum dilunasi menjadi
tanggungan ahli warisnya. Jadi ahli warisnya berkewajiban melunasi hutang
tersebut. Tetapi qarad dapat dianggap lunas atau berakhir jika si muqrid (pemberi
pinjaman) menghapus hutang tersebut dan menganggapnya lunas.

2.3. MODAL
2.3.1. Pengertian Modal

Modal dalam Islam disebut juga dengan (ras al-mal). Allah swt. berfirman
dalam QS al-Baqarah ayat 279:

“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka


ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu
bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”.

Ras al-mal menurut bahasa adalah pokok harta tanpa laba maupun
tambahan. Dalam hadits diistilahkan juga dengan sulb al-mal. Sebagaimana dalam
hadits riwayat Imam Nasai:

19
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang ke Madinah dan tidak ada
padanya air segar selain sumur Rumah, kemudian beliau bersabda: “Barangsiapa
membeli sumur Rumah kemudian meletakkan padanya embernya bersama dengan
ember orang-orang muslim dengan kebaikan darinya, maka ia akan berada dalam
Surga.” Lalu aku membelinya dari hartaku secara murni”

Dalam al-Mujam al-Wasith Ras al- Mal diartikan dengan sejumlah harta
yang diinvestasikan. Sedangkan Muhammad Qal’azi dan Hamid Shadiq
mengatakan modal adalah kumpulan biaya untuk adanya komoditas = kumpulan
harga dan biaya lain seperti transportasi dan gedung. Sedangkan menurut
Afzalurrahman, modal adalah kekayaan yang membantu menghasilkan kekayaan
selanjutnya.

2.3.2. Unsur Modal


1. uang,
2. barang dagangan, dengan syarat: dimiliki secara penuh dan diniatkan
untuk diperdagangkan

2.3.3. Syarat-syrat ra’sul-maal (modal awal)


1. harta dimiliki secara penuh
2. harta harus memiliki nilai tukar
3. harta harus dimamfaatkan secara sya’i
4. harus ada niat yang dapat membedakan jenis aktivitas, seperti
perdagangan, industri, dan pertanian.

2.3.4. Prinsip-Prinsip Akuntansi Islam pada Modal Pokok


1. Tamwil dan Syumul (Mengandung Nilai dan Universal)
2. Mutaqawwim (bernilai)
3. Pengusaha dan Pemilikan yang sempurna
4. Keselamatan dan Keutuhan Ra’sul-maal

20
2.3.5. Ketentuan Hukum Islam Mengenai Modal

Beberapa ketentuan hukum Islam mengenai modal dikemukakan A. Muhsin


Sulaiman, sebagaimana yang dikutip oleh Rustam Effendi[20], adalah sebagai
berikut:

1. Islam mengharamkan penimbunan modal


2. Modal tidak boleh dipinjam dan meminjamkan dengan cara riba
3. Modal harus dengan cara yang sama dengan mendapatkan hak milik
(dengan cara yang halal misalnya, lihat )
4. Modal yang mencapai nisab, zakatnya wajib dikeluarkan (85 gram emas,
pen)
5. Modal tidak boleh digunakan untuk memproduksi dengan cara boros
6. Pembayaran gaji buruh/pekerja harus sesuai dengan ketentuan gajih dalam
Islam.

21
BAB III

PENUTUP

3.1. KESIMPULAN

Harta Dalam Sudut Pandang Islam dinamakan al-mal mengingat semua


orang, siapa, kapan dan dimanapun pada dasarnya adalah condong, senang, mau
dan cinta pada harta khususnya uang. Menurut istilah syar’i harta diartikan
sebagai segala sesuatu yang dimanfaatkan pada sesuatu yang legal menurut
hukum syara’ (hukum Islam) seperti jual-beli, pinjaman, konsumsi dan hibah atau
pemberian.

Hutang adalah memberikan sesuatu--yang memiliki nilai-- yang menjadi


hak milik pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian di kemudian
hari sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama. Adapun dalil yang
memperkuatnya yaitu QS. Albaqoroh : 282. Konsep hutang dalam islam yaitu
bahwa hutang boleh asalkan dalam keadaan terdesak, dan memberikan utang
memiliki keutamaan yaitu saling tolong menolong.

Modal dalam ilmu Fiqih muamalah disebut ra’sul mal yang merujuk pada
arti uang dan barang. Modal merupakan kekayaan yang menghasilkan kekayaan
lain.

22
DAFTAR PUSTAKA

http://ekisopini.blogspot.com/2009/09/memahami-konsep-uang-dan-modal-
dalam.html

http://file.upi.edu/Direktori/FPEB/PRODI.AKUNTANSI/198201232005012-
ELIS_MEDIAWATI/KONSEP_UTANG_DAN_MODAL.pdf

http://koneksi-indonesia.org/2014/modal-dan-investasi-dalam-islama-hendang/

http://arikathemousleemah.blogspot.com/2014/11/konsep-modal-dan-pasar-
modal-syariah.html

https://www.coursehero.com/file/22284725/makalah-akuntansi-syariah-klmpok-1/

https://slideplayer.info/slide/12082428/

https://www.slideshare.net/Teukupopon/konsep-utang-danmodal

http://www.makalah.co.id/2016/09/makalah-konsep-hutang-dalam-islam.html

https://www.academia.edu/11038036/EKONOMI_SYARIAH_-
_KONSEP_HARTA_DAN_KEPEMILIKAN_DALAM_ISLAM

http://eki-blogger.blogspot.com/2012/09/kepemilikan-dalam-islam.html

http://amrianidris.blogspot.com/2014/06/konsep-harta-dan-kepemilikan-dalam-
islam.html

http://andi-nurhasanah.blogspot.com/2013/05/akuntansi-syariah-konsep-
memelihara.html

https://miswati79.blogspot.com/2016/10/makalah-konsep-harta-dalam-islam.html

23
http://wardahcheche.blogspot.com/2014/01/harta-dalam-perspektif-ekonomi-
islam.html

http://tentangharta.blogspot.com/2014/03/fiqih-muamalah.html

http://zakiyahannisa.blogspot.com/2015/01/konsep-harta-dalam-fiqih-
muamalah.html

http://nurhmakalah.blogspot.com/2016/12/makalah-harta-fiqih-muamalah.html

http://digilib.uinsgd.ac.id/1713/2/2_abstrak.pdf

http://gladieblog.blogspot.com/2014/06/al-qardh-hutang-piutang.html

http://digilib.uinsby.ac.id/3056/5/Bab%202.pdf

24

Anda mungkin juga menyukai