Anda di halaman 1dari 14

AR RAHN (PEGADAIAN) & HIWALAYAH (PENGALIHAN HUTANG)

Dosen Pengampu : Adenisastrawan S.Hi, MH

Disusun Oleh :
KELOMPOK 2:

TITIN (2022010101007)
MONALISA (2022010101030)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN


AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH
DAN ILMU KEGURUAN INSTITUD
AGAMA ISLAM KENDARI
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan yang maha Esa, karena berkat rahmat dan karunia-Nya
kami dapat menyelesaikan makalah ini. Sholawat serta salam kita hanturkan
kepada junjungan agung nabi besar Muhammad SAW, yang telah memberikan
pedoman kepada kita jalan yang sebenar benarnya jalan berupa ajaran agama
islam yang begitu sempurna dan menjadi ramat bagi alam semesta. Adapun
makalah ini kami buat untuk melengkapi tugas matakuliah FIQIH MUAMALAH
dengan judul makalah “ AR RAHN (PEGADAIAN) & HIWALAYAH
(PENGALIHAN HUTANG)

Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam menyelesaikan makalah ini. Dalam pembuatan makalah ini,
kami menyadari bahwa makalah ini teramat jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu semua bentuk perbaikan, saran, kritik, dan masukan dari teman teman dan
dosen sangat kami harapkan untuk meningkatkan kualitas tulisan kami
dikemudian hari. Akhir kata, harapan besar bagi kami semoga makalah ini dapat
membawa manfaat bagi kita semua.

Penyusun

Kelompok 2.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................2
DAFTAR ISI.....................................................................................................................3
BAB I..................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.............................................................................................................4
A. LATAR BELAKANG............................................................................................4
1) RUMUSAN MASALAH.....................................................................................5
2) TUJUAN..............................................................................................................5
BAB II.................................................................................................................................6
PEMBAHASAN................................................................................................................6
1) Gadai (Rahn)..........................................................................................................6
A. Pengertian Gadai (Rahn)......................................................................................6
B. Disyariatkannya Gadai (Rahn).............................................................................6
C. Rukun dan Syarat Gadai......................................................................................8
D. ketetapan-ketetapan dalam transaksi gadai (rahn).............................................10
2) Pengalihan Utang (Hiwalah)...............................................................................11
A. Pengertian Pengalihan Utang (Hiwalah)............................................................11
B. Disyariatkannya Pengalihan Utang....................................................................12
C. Rukun Pengalihan Utang (Hiwalah)..................................................................12
D. Syarat Hiwalah...................................................................................................13
E. Berakhirnya Akad Hiwalah................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................15
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Fiqh muamalah adalah aturan-aturan (hukum) Allah SWT. yang
ditujukan untuk mengatur kehidupan manusia dalam urusan keduniaan atau
urusan yang berkaitan dengan urusan duniawi dan sosial kemasyarakatan.
Fiqh muamalah menekankan keharusan menaati aturan-aturan Allah SWT.
yang telah ditetapkan untuk mengatur hubungan antar manusia dengan cara
memperoleh, mengatur, mengelola, dan mengembangkan harta benda (mal).

Sebagai salah satu disiplin ilmu, fiqh muamalah memiliki beberapa


pembagian yang di dalamnya terdapat ruang lingkup tersendiri. Salah satunya
adalah al-muamalah al-adabiyah mengenai aktivitas manusia dalam
bermasyarakat ditinjau dari segi subjeknya dan al-muamalah al-madiyah
mengenai aktivitas manusia dalam bermasyarakat ditinjau dari segi objeknya.
Di dalam makalah ini sendiri akan membahas salah satu ruang lingkup
pembahasan dalam al-muamalah al-adabiyah yakni tentang pengalihan utang
(hiwalah) dan gadai (rahn).

Pada dasarnya manusia tidak akan bias terlepas dari kegiatan


ekonomi, ekonomi yang sesuai syariat islam. Berbicara tentang fiqih
muamalah yang membahas mengenai hukum-hukum syara’ tentang
melakukan interaksi dengan orang lain dalam jual belidan semacamnya.
Pembahasan tersebut salah satunya membahas al-hawalah, ar-rahn, dan al-
qard yang dimana aplikasinya terterap di perbankan Syariah. Namun tidak
semua orang yang mengetahui tentang jasa perbankan tersebut terutama bagi
kaum awam.
1) RUMUSAN MASALAH

1) Apa yang dimaksud dengan pengalihan utang (hiwalah) dan gadai


(rahn) ?
2) Apa saja rukun dan syarat pengalihan utang (hiwalah) dan gadai (rahn)
?
3) Bagaimana ketetapan hukum dalam pengalihan utang (hiwalah) ?
4) Bagaimana ketetapan-ketetapan hukum dalam transaksi gadai (rahn) ?

2) TUJUAN

1) Memberikan pengetahuan serta wawasan baru mengenai


pengalihan utang (hiwalah) dan gadai (rahn).
2) Membantu pelajar mengerti dan memahami pengalihan utang
(hiwalah) dan gadai (rahn).
3) Mengetahui rukun, syarat dan hukum hiwalah dan gadai (rahn).
4) Untuk bahan diskusi pembelajaran atau perkuliahan.
BAB II

PEMBAHASAN
1) Gadai (Rahn)
A. Pengertian Gadai (Rahn)
Gadai menurut bahasa berasal dari kata ‫ َر َهَن – َيْر َهُن – ُر ْهًنا‬yang berarti
menggadaikan, merungguhkan atau jaminan (borg).
Ar-rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam atas
pinjaman yang diterimanya. Barang yang di tahan tersebut memiliki nilai
ekonomis. Dengan demikian pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk
dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Secara
sederhana dapat dijelaskan bahwa rahn adalah semacam jaminan hutang atau
gadai.
Pemilik barang gadai disebut rahin dan orang yang mengutangkan yaitu
orang yang mengambil barang tersebut serta menahannya disebut murtahin,
sedangkan barang yang di gadaikan disebut rahn.
(Meirani Rahayu Rukmanda, 2020)

Menurut Drs. H. Moh. Rifa’i, gadai adalah menjadikan suatu benda


yang berupa harta dan ada harganya, sebagai jaminan dan akan dijadikan
pembayaran jika utang itu tidak dapat dibayar. Para ulama
mendefinisikannya dengan penetapan sebuah barang yang memiliki nilai
finansial dalam pandangan syariat sebagai jaminan bagi utang di mana utang
tersebut atau sebagian darinya dapat dibayar dengannya.
Dari beberapa pendapat pengertian di atas, maka gadai itu adalah
memberikan barang atau sesuatu yang bermanfaat kepada orang, sebagai
tanda jaminan atau bukti (kepercayaan) bahwa berutang kepada seseorang.

B. Disyariatkannya Gadai (Rahn)


Untuk lebih meyakinkan tentang persoalan gadai ini, dikemukakan ayat
dan hadits yang berkaitan dengannya. Di antaranya surat al-Baqarah ayat 283
dan hadits Anas.
“Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan
seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang.
Tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah dia
bertakwa kepada Allah, Tuhan-nya. Dan janganlah kamu menyembunyikan
kesaksian, karena barang siapa menyembunyikannya, sungguh, hatinya kotor
(berdosa). Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Baqarah
ayat 283)

Sabda Rasulullah SAW.:

“Dari Anas ia berkata, ‘Rasulullah SAW. telah merungguhkan baju besi


beliau kepada seorang Yahudi di Madinah, sewaktu beliau mengutang sya’ir
(gandum) dari seorang Yahudi untuk ahli rumah1 beliau.”(Riwayat Ahmad,
Bukhari dan Ibnu Majah)

Jelaslah dari ayat dan hadits di atas bahwa persoalan gadai itu memang
disyariatkan oleh agama untuk kepentingan bermuamalah. Dan itu
membuktikan agama Islam dalam urusan bermuamalah tidak membedakan
antara pemeluknya dengan pemeluk agama yang lain. Hukum rahn itu sendiri
menurut para ulama dibolehkan, tetapi tidak diwajibkan sebab gadai hanya
jaminan jika kedua pihak tidak saling mempercayai. Sebagaiamana Firman
Allah SWT.:

....‫َأِم َن َبْع ُضُك م َبْع ضًا َفْلُيَؤ ِّد اَّلِذ ي اْؤ ِمُتَن َأَم اَنَتُه‬
Artinya:
“Tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah
yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya)...”
Selain itu, perintah untuk memberikan jaminan sebagaimana dinyatakan
dalam ayat tersebut dilakukan ketika tidak ada penulis yang bisa menjadi
persaksian hutang. (Farid Wajdi, 2021; Nuroh Yuniwati, 2021)

C. Rukun dan Syarat Gadai


Di dalam setiap akad dalam bermuamalah memiliki rukun tersendiri,
begitupun juga dengan gadai. Adapun rukun gadai ada tiga2, yaitu:
1
2
1. ‘Aqid (orang yang melakukan akad), yaitu:
a. Rahin, yaitu orang yang menggadaikan barang (penggadai).
b. Murtahin, yaitu orang yang berpitung, yang menerima barang gadai
sebagai imbalan uang yang dipinjam (penerima gadai).
2. Ma’qud ‘alaih (yang diakadkan), yaitu meliputi:
a. Marhun (barang yang bisa digadaikan atau jaminan)
b. Marhun bih (utang atau tanggungan yang karenanya diadakan
gadai)
3. Shighat (ijab dan qabul), seperti seseorang berkata, “Aku gadaikan
mejaku ini dengan harga Rp 10.000,00” dan yang satu lagi menjawab,
“Aku terima gadai mejamu seharga Rp. 10.000,00”
(Nuroh Yuniwati, 2021)

Selain rukun yang harus terpenuhi, dalam rahn juga memiliki syarat-
syarat yang harus diperhatikan, yaitu:

1. Aqid yaitu rahin (penggadai) dan murtahin (penerima gadai), syaratnya:


a. Keduanya ahli tasharruf (berhak membelanjakan hartanya). Tidak
diperbolehkan wali menggadaikan barang milik anak yatim, orang gila,
dan lainnya.
b. Keduanya memberikan dan menerima gadai adalah dengan kehendak
sendiri, tanpa paksan orang lain.
c. Menurut ulama Syafi’iyah syarat keduanya itu adalah orang yang telah
sah untuk jual-beli, yakni berakal dan mumayyiz, tetapi tidak
disyaratkan harus baligh. Dengan demikian, anak kecil yang sudah
mumayyiz dan orang yang bodoh berdasarkan izin dari walinya
dibolehkan melakukan rahn. Sedangkan menurut ulama selain
Hanafiyah, kedua orang tersebut dalam rahn tidak boleh dilakukan
oleh orang yang mabuk, gila, bodoh, atau anak kecil yang belum
baligh. Begitu pula seorang wali tidak boleh menggadaikan barang
orang yang dikuasainya, kecuali jika dalam keadaan madharat dan
meyakini bahwa pemegangnya yang dapat dipercaya. (Maisara, 2021)
2. Marhun (barang yang digadaikan)
Barang atau harta benda yang digadaikan adalah suatu amanah bagi
orang yang berutang atas orang yang memberikan utang. Syaratnya:
a. Barang yang bisa digadaikan atau dijadikan jaminan (marhun) harus
bisa diperjual-belikan (memiliki nilai ekonomis) menurut tinjauan
syariat.
b. Keadaan barang tidak rusak sebelum sampai janji utang harus dibayar.
Dan apabila tiba-tiba barang itu rusak atau hilang di tangan orang
yang memegangnya, maka ia tidak wajib menggantinya kecuali jika
terjadi kelalaian. Dalam kaitan ini, jika barang yang digadaikan itu
dipelihara dengan baik, usaha yang sungguh-sungguh lalu tiba-tiba
terjadi kerusakan tanpa diketahui sebabnya atau hilang, maka si
penerima gadai tidak menanggung kerugiannya.
c. Golongan Syafi’i berpendapat bahwa hendaklah marhun berupa
barang atau harta kekayaan yang konkret, sehingga tidak
diperbolehkan menggadaikan utang. Selain itu, barang yang
digadaikan tersebut hendaknya tidak menghalangi upaya rahin untuk
menyentuhnya seperti mushaf al-Qur’an. Dan hendaknya zat marhun
itu dapat diperjual-belikan setelah batas akhir pembayarannya.
d. Ulama Hanafiyah mensyaratkan marhun, antara lain: dapat diperjual-
belikan, bermanfaat, jelas, milik rahin, bisa diserahkan, tidak bersatu
dengan harta lain, dipegang (dikuasai) oleh rahin, dan harta yang tetap
atau dapat dipindahkan.
3. Marhun bih (utang atau tanggungan)
Di dalam rukun gadai, sebab adanya barang yang digadaikan adalah
karena adanya utang yang belum mampu dibayar atau dilunasi. Dalam hal
ini, marhun bih (utang atau tanggungan) juga memiliki kriteria atau syarat
dalam transaksi gadai, yaitu:
a. Utang tersebut harus diketahui oleh kedua belah pihak dan sudah sah
ditetapkan sebagai tanggungan tetap.
b. Utang harus lazim pada waktu akad.
c. Utang tersebut harus utang yang tetap dan dapat dimanfaatkan.
D. ketetapan-ketetapan dalam transaksi gadai (rahn)
1. Hak dan kewajiban rahin dan murtahin
Dalam transaksi gadai, murtahin berhak menahan barang gadaian
sampai pihak rahin memenuhi kewajibannya, yaitu membayar utang atau
menebusnya. Apabila rahin tidak memenuhi kewajibannya pada batas akhir
pembayaran, pihak murtahin berhak mengajukannya kepada penguasa.
Setelah itu, baru menjual barang gadaian tersebut dan membaginya menjadi
dua bagian. Hal ini dilakukan apabila pihak rahin tidak menyetujui penjualan
barang itu. Begitu pula apabila rahin tidak jelas tempat tinggalnya.
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa murtahin harus menjaga borg
atau marhun sebagaimana menjaga barang miliknya sendiri, yakni sebagai
barang titipan. Jika rusak atas kelalaiannya, ia harus bertanggung jawab untuk
memperbaiki atau menggantinya. Dan mengenai pembiayaan penjagaan
tersebut, ulama Hanabilah, Syafi’iyah dan Malikiyah berpendapat bahwa
rahin bertanggung jawab atas pembiayaannya. Apabila rahin tidak mau
membiayainya, maka ia dibebani utang atas pembiayaan tersebut jika
memang membutuhkan biaya lebih dalam penjagaannya atau berhubunggan
dengan pemberian keperluan hidup barang gadaian yang hidup.

2. Pemanfaatan gadai
Selama transaksi gadai masih berlaku, disyaratkan bahwa barang
gadaian tidak boleh rusak atau hilang. Maka yang menjadi pertanyaan adalah
bagaimana jika barang gadaian itu hidup atau memiliki nilai ekonomis ? Ini
berkaitan dengan pemanfaatan barang gadaian tersebut. Orang yang
mempunyai barang berhak mengambil manfaat dari barang yang digadaikan,
bahkan semua manfaatnya tetap menjadi kepunyaannya dan kerusakan barang
pun atas tanggungannya. Tetapi ia tidak sah menjual barang yang digadaikan.
Karena itu masih menjadi barang jaminan utangnya.
3. Resiko kerusakan maupun kehilangan marhun
Bila marhun hilang di bawah penguasaan murtahin, maka murtahin
tidak wajib menggantinya, kecuali bila rusak atau hilangnya itu karena
kelalaian murtahin atau karena disia-siakan. Misalnya murtahin bermain-
main api, lalu terbakar barang gadaian itu atau gudang tak dikunci, lalu
barang-barang itu hilang dicuri orang. Intinya, murtahin diwajibkan
memelihara sebagaimana layaknya, bila tidak demikian, ketika ada cacat atau
kerusakan apalagi hilang, menjadi tanggung jawab murtahin.
(Dr. Darwis Harahap, 2022)

2) Pengalihan Utang (Hiwalah)


A. Pengertian Pengalihan Utang (Hiwalah)
Kata “hawalah” atau “hiwalah”, menurut bahasa artinya mengalihkan
yang diambil dari kata tahwil. Sedangkan menurut syara’, hiwalah ialah
memindahkan hak dari tanggungannya orang yang mengalihkan kepada
orang yang dilimpahi tanggungan. (Paoji Adnan, 2022)
Ulama Syafiiah mendefinisikan hawalah adalah:
”Akad yang bertujuan untuk memindahkan suatu hutang, dari tanggung
jawab (satu pihak) menjadi tanggung jawab pihak lain”
B. Disyariatkannya Pengalihan Utang
Islam telah mensyari’atkan pengalihan utang dan membolehkannya
untuk memenuhi kebutuhan terhadapnya.
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW. bersabda:
“Mengulur-ulur pembayaran utang bagi orang kaya adalah kedzaliman.
Dan apabila seorang di antara kalian dialihkan (pembayaran piutangnya)
kepada seorang yang kaya maka hendaklah dia mengikuti.

C. Syarat & rukun Hiwalah


Setiap terjadi sebuah akad, maka otomatis pada saat itu perlu ada
rukun-rukun serta syarat-syarat yang harus terpenuhi. Adapun rukun yang
terdapat pada akad hawalah adalah: (Syafri Muhammad Noor, 2019)

1) Shighat Shighat adalah sebuah pernyataan atau ungkapan serah-terima


diantara pihak-pihak yang terkait, dimana ada prosesi ijab (penawaran)
dari muhil (orang yang mau mengalihkan hutangnya), kemudian disambut
dengan qabul (pernyataan persetujuan) dari muhal ’alaihi (pihak yang
menerima kewajiban atas pengalihan hutang).

2) Pihak-Pihak Terkait Dalam akad hawalah, pihak yang terkait ada tiga:
Muhil (Orang yang berhutang), Muhal (Orang yang mempunyai piutang)
dan Muhal ’Alaihi (orang yang membayarkan hutangnya Muhil).

Masing-masing dari pihak tersebut juga mempunyai syarat-syarat


tertentu yang harus terpenuhi, supaya akad hawalah bisa menjadi sah.

a. Muhil (Orang yang berhutang)

Syaikh Wahbah Zuhaili dalam kitabnya Al-Fiqhu Al-Islamy Wa


Adillatuhu menjelaskan bahwa syarat yang harus terpenuhi dalam diri
seorang muhil adalah:

1) Cakap Hukum Yang dimaksud dengan cakap hukum adalah pelakunya


(Muhil) tersebut merupakan orang yang berakal dan sudah baligh. Oleh
karenanya, jika orang yang mengalihkan hutangnya tersebut adalah orang gila
atau anak kecil yang belum baligh, maka akad hawalah tersebut tidak sah
untuk dilangsungkan.

2) Ridha Orang yang mengalihkan hutangnya harus ridha dengan


keputusannya. Maka, jika pengalihan hutang tersebut dilakukan karena ada
intervensi atau ada keterpaksaan, maka akad hawalah tidak sah untuk
dilangsungkan.

b. Muhal (Pemberi Hutang)

Adapun syarat yang harus terpenuhi pada diri pemberi hutang (muhal) adalah:

1) Cakap Hukum

Sebagaimana syarat yang harus terpenuhi pada diri muhil, maka sang pemberi
hutang (muhal) juga harus berakal dan sudah baligh. Pengalihan hutang
menjadi tidak sah jika keadaan muhal adalah orang yang kehilangan akal
seperti orang gila dan anak kecil yang belum baligh.

2) Ridha

Muhal ‘Alaihi ( Orang yang membayarkan hutangnya muhil) Adapun syarat


yang harus terpenuhi pada diri muhal ’alaihi (orang yang membayarkan
hutangnya muhil) sama dengan syarat-syarat yang terdapat pada diri muhal.
(Syafri Muhammad Noor, 2019)

D. Berakhirnya Akad Hiwalah


Para ulama fiqh mengemukakan bahwa akad hiwalah akan berakhir
antara lain apabila:
a. Salah satu pihak yang sedang melakukan akad itu mem-faskh
(membatalkan) akad hiwalah sebelum akad itu berlaku secara tetap,
dengan adanya pembatalan akad itu, pihak kedua berhak menuntut
pembayaran utang kepada pihak pertama. Demikan pula pihak pertama
kepada pihak ketiga.
b. Pihak ketiga melunasi utang yang dialihkan itu kepada pihak kedua.
c. Pihak kedua wafat, sedangkan pihak ketiga merupakan ahli waris yang
mewarisi harta pihak kedua.
d. Pihak kedua menghibahkan atau menyedekahkan harta yang merupakan
utang dalam akad hiwalah itu kepada pihak ketiga. (Andri Soemitra, 2019)
DAFTAR PUSTAKA
Andri Soemitra. (2019). Hukum ekonomi syariah dan fiqh muamalah di lembaga keuangan
dan bisnis kontemporer. Kencana.

Dr. Darwis Harahap, S. H. I. , M. S. (2022). FIQIH MUAMALAH II. Merdeka Kreasi


Group.

Farid Wajdi. (2021). Hukum Ekonomi Islam. SINAR GRAFIKA.

Maisara, M. S. (2021). Penerapan Akad Ar-Rahn Pada Produk Mulia di PT. Pegadaian
Unit Syariah Sigli. Al Maal: Journal of Islamic Economics and Banking, 3(1), 25.
https://doi.org/10.31000/almaal.v3i1.4637

Meirani Rahayu Rukmanda. (2020). Konsep Rahn Dan Implementasinya Di Indonesia.


Jurnal Ilmiah Ekonomi Dan Keuangan Syariah.

Nuroh Yuniwati. (2021). PEGADAIAN SYARIAH : PENERAPAN AKAD RAHN


PADA PEGADAIAN SYARIAH. Jurnal Perbankan Syariah.

Paoji Adnan. (2022). AKAD HAWALAH (FIQH PENGALIHAN HUTANG).


Azmina: Jurnal Perbankan Syariah.

Syafri Muhammad Noor, L. (2019). Akad Hawalah ( Fiqih Pengalihan Hutang ).


Rumah Fiqih Publishing Jalan Karet Pedurenan no. 53 Kuningan.

Anda mungkin juga menyukai