Anda di halaman 1dari 13

NORMA NORMA HUKUM DAN FATWA TENTANG IJARAH MUNTAHIYA BI-AL TAMLIK (IMB)

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Makalah

Mata Kuliah Hukum Perbankan

Dosen Pengampu: Dr. Abdul Halim Nasution S.Ag, S.H, M.H

Disusun oleh:

Kelompok 8:

1. Ummi Rahmasari Marina Dalimunthe (09.20.2936)


2. Nurroyan Zannah (09.20.2872)
3. Putri Ayu Nisah (09.20.2882)
4. Putri Wulandari (09.20.2887)
5. Raflin (09.20.2889)

PRODI : PERBANKAN SYARIAH EKSKLUSIF V-B

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM

SYEKH. H. ABDUL HALIM HASAN AL-ISHLAHIYAH BINJAI

T.A 2022/2023

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena telah memberikan kesempatan pada penulis untuk
menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya lah penulis dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul NORMA NORMA HUKUM DAN FATWA TENTANG IJARAH MUNTAHIYA BI-AL TAMLIK
(IMB) tepat waktu. Makalah ini disusun guna memenuhi tugas pada mata pelajaran Manajemen Aset
dan Liabilitas. Selain itu, penulis juga berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi
pembaca.

Kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. Abdul Halim Nasution S.Ag, S.H,
M.H selaku dosen yang telah banyak membantu dalam penulisan makalah ini. Kami juga mengucapkan
terima kasih pada semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun akan kami terima demi kesempurnaan makalah ini.

Binjai, 22 Oktober 2022

Penyusun

ii

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1

A. Latar Belakang .............................................................................................................1

B. Rumusan Masalah .......................................................................................................2

C. Tujuan............................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................3
A. Pengertian Ijarah ..........................................................................................................3

B. Dasar Hukum Ijarah......................................................................................................5

C. Penerapan Norma Hukum Dan Fatwa Tentang IMB..................................................7

BAB III PENUTUP..........................................................................................................9

A. Kesimpulan ...................................................................................................................9

B. Saran..............................................................................................................................9

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................10

iii

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Ijarah merupakan tata cara sewa menyewa dalam Islam. Secara terminologis, Ijarah adalah upah sewa
yang diberikan kepada seseorang yang telah mengerjakan satu pekerjaan sebagai balasan atas
pekerjaannya.Tujuan persewaan ini adalah untuk memperkenalkan nilai dan etika Islam dalam hal sewa
menyewa barang. Secara umum, Ijarah berarti pemindahan manfaat atas suatu barang. Melihat pola
transaksinya, Ijarah menyerupai jual beli, hanya saja apabila jual beli yang menjadi obyek transaksi
adalah barang sedang Ijarah adalah jasa. Jasa yang dimaksud dalam penelitian ini adalah jasa persewaan
alat pesta.

Penyewaan alat pesta yang menjadi fokus kajian adalah persewaan alat alat pesta di JK Sound Sistem
Kecamatan Donorojo Pacitan. Persewaan ini telah ada sejak tahun 2001. Pertanyaannya adalah
bagaimanakah cara pengelolaan yang dilakukan oleh persewaan JK Sound Sistem Kecamatan Donorojo
Pacitan? Apakah sudah sesuai dengan tinjauan hukum Islam? Hal inilah yang hendak diungkap oleh
peneliti.

Peneliti memandang bahwa masyarakat yang ada di daerah tersebut mayoritas adalah beragama Islam,
namun pengetahuan mengenai hukum Islam masih belum begitu mendalam. Hal ini disebabkan
masyarakat di sana lebih mementingkan pendidikan umum dari pada pendidikan agama. Realitas ini
turut memberikan dampak pada cara masyarakat berinteraksi atau bahkan dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya. Salah satunya adalah dari segi sistem sewa menyewa. Fakta yang dapat dijumpai bahwa di
daerah tersebut masih banyak terdapat sistem sewa menyewa dengan menggunakan cara konvensional
yang notabenenya sekular. Melalui persewaan JK Sound Sistem Kecamatan Donorojo Pacitan peneliti
hendak meninjau sistem sewa menyewa yang dilakukannya, yakni dilihat dari sudut pandang syariah.
Melalui latarbelakang inilah penelitian ini dilakukan. Adapun persoalan yang hendak diungkap disajikan
dalam sub bab rumusan masalah berikut ini.

B. Rumusan Masalah
Latar belakang persoalan yang telah dipaparkan di atas mejadi dasar disusunya rumusan masalah.
Adapun, secara lebih spesifik persoalan-persoalan yang hendak diungkap dalam penelitian ini tersusun
dalam bentuk pertanyaan berikut ini.

1. Apa pengertian Ijarah?

2. Apa dasar hukum ijarah?

3. Bagaimana Penerapan Norma Hukum dan Fatwa IMB?

4. Ulama fiqih siapa saja dalam ijarah?

5. Sebutkan solusi yang di tawarkan!

C. Tujuan

1. Untuk Mengetahui Tentang Ijarah.

2. Untuk Mengetahui Tentang Dasar Hukum Ijarah.

3. Untuk Mengetahui Tentang Penerapan Norma Hukum dan Fatwa Tentang IMB

4. Untuk Mengetahui Tentang Ulama Fiqih.

5. Untuk Mengetahui Tentang Solusi Yang Ditawarkan.

BAB II

Pembahasan
A. Pengertian Ijarah
Menurut Etimologi, Ijarah adalah (Menjual manfaat). Demikian pula artinya menurut Terminologi
Syara‟. Untuk lebih jelasnya, akan dikemukakan beberapa definisi ijarah menurut pendapat beberapa
ulama fiqih.
Ulama Hanafiyah:¹
Artinya “Akad Atas suatu kemanfaatan dengan pengganti”
Ulama Asy-syafi‟iyah:²

Artinya “Akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima
pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu.”
Ulama Malikiyah: ³ Dan Hanabilah: ⁴

Artinya “Menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti”.
Ada yang menerjemahkan, Ijarah sebagai jual beli jasa (upahmengupah),yakni mengambil manfaat
tenaga manusia,ada pula yang menerjemahkan sewa-menyewa, yakni mengambil manfaat dari barang.
Jumhur ulama fiqih berpendapat bahwa ijarah adalah menjual manfaat dan yang boleh disewakan
adalah manfaatnya bukan bendanya. Oleh karena itu, mereka melarang menyewakan pohon untuk
diambil buahnya, Domba untuk diambil susunya, sumur untuk diambil airnya, dan lain-lain, sebab semua
itu bukan manfaatnya, tetapi bendanya .

Menangggapi pendapat di atas bahwa manfaat sebagai asal ijarah sebagaimana ditetapkan ulama
fiqih adala asal fasid (rusak )sebab tidak ada landasannya, baik dari Al-Quran, As-Sunah, Ijma‟ maupun
qiyas yang sahih. Menurutnya benda yang mengeluarkan suatu manfaat sedikit demi sedikit, asalnya
tetap ada, misalnya pohon yang mengeluarkan buah, pohonya tetap ada dan dapt dihukumi manfaat,
sebagaimana di bolehkan dalam waqaf untuk mengambil manfaat dari sesuatu atau sama juga dengan
barang pinjaman yang diambil manfaatnya. Dengan demikian, sama saja antara arti manfaat secara
umum dengan benda yang mengeluarkan suatu manfaat sedikit demi sedikit, tetapi asalnya tetap ada.⁶

Salah satu bentuk kegiatan manusia dalam lapangan muamalah ialah ijarah. Menurut bahasa, ijarah
berarti “upah” atau “ganti” atau “imbalan”. Karena itu, lafaz ijarah mempunyai pengertian umum yang
meliputi upah atas pemanfaatan sesuatu benda atau imbalan sesuatu kegiatan, atau upah karena
melakukan sesuatu aktifitas. Kalau sekiranya kitab-kitab fiqih selalu menerjemahkankata ijarah dengan
“sewa-menyewa”, maka hal tersebut janganlah diartikan menyewa sesuatu barang untuk diambil
manfaatnya saja, tetapi harus dipahami dalam arti yang luas.

Dalam arti luas, ijarah bermakna suatu akad yang berisi penukaran manfaat sesuatu dengan jalan
memberikan imbalan dalam jumlah tertentu. Hal ini sam artinya dengan menjual manfaat sesuatu
benda, bukan menjual, ain dari benda itu sendiri. Kelompok Hanafiah mengartikan ijarah dengan dengan
akad yang berisi pemilikan manfaat tertentu dari suatu benda yang diganti dengan pembayaran dalam
jumlah yang disepakati. Dengan istilah lain dapat pula disebutkan bahwa ijarah adalah salah satu akad
yang berisi pengambilan manfaat sesuatu dengan jalan penggantian.⁷
Suatu rumah milik , umpamanya, dimanfaatkan oleh B untuk di tempati. B membayar kepada A
dengan sejumlah bayaran sebagai imbalan pengambilan manfaat itu, hal itu disebut ijarah(sewa-
menyewa). Adanya seseorang, seperti C, bekerja pada D dengan perjanjian bahwa D akan membayar
sejumlah imbalan, itu juga disebut ijarah.

Bila dilihat uraian diatas, rasanya mustahil manusia bisa hidup berkecukupan Tanpa hidup berijarah
dengan manusia lain. Karena itu, boleh dikatakan bahwa pada dasarnya ijarah itu adalah salah satu
bentuk aktifitas antara dua pihak yang berakad guna meringankan salah satu pihak atausaling
meringankan, serta termasuk salah satu bentuk tolong menolong yang di ajarkan agama. Ijarah
merupakan salah satu jalan untuk memenuhi hajat manusia. Oleh sebab itu, para ulama menilai bahwa
ijarah ini merupakan suatu hal yang boleh dan bahkan kadang- kadang perlu di lakukan. Walaupun ada
pendapat yang melarang ijarah, tetapi oleh jumhur ulama pandangan yang ganjil itu dipandang tidak
ada.⁸

Suatu manfaat, terkadang berbentuk manfaat atas barang, seperti rumah untuk ditempati, mobil
untuk dikendarai. Kadangkala dalam bentuk karya seperti karya seorang arsitek, tukang tenun, penjahit.
Transaksi ijarah dilandasi adanya perpindahan manfaat (hak guna), bukan perpindahan kepemilikan
(hak milik). Pada ijarah objek transaksinya adalah barang maupun jasa. Prinsip ini secara garis besar
terbagi kepada tiga jenis:

a. Ijarah, sewa murni. Dalam teknis perbankan, bank dapat membeli dahulu equipment yang dibutuhkan
nasabah kemudian menyewakan dalam waktu dan hanya yang telah disepakati kepada nasabah.
b. Bai al takjiri atau ijarah al muntahiya bit tamlik merupakan penggabungan sewa dan beli, di mana si
penyewa mempunyai hak untuk memiliki barang pada akhir masa sewa (finansial lease)

c. Musyarakah Mutanaqisah/Descreasing Participation. Jenis ini adalah kombinasi antara Musyarakah


dengan Ijarah (perkongsian dengan sewa).⁹

B. Dasar Hukum Ijarah


Al-ijarah dalam bentuk sewa menyewa maupun dalam bentuk upah mengupah merupakan
muamalah yang telah disyariatkan dalam Islam.
Hukum asalnya menurut Jumhur Ulama adalah mubah atau boleh bila dilaksanakan sesuaidengan
ketentuan yang ditetapkan oleh syara‟ berdasarkan ayat al-Qur'an, hadis hadis Nabi dan ketetapan Ijma
Ulama.

Adapun dasar hukum tentang kebolehan al-ijarah dalam al-Quran terdapat dalam beberapa ayat
diantaranya firman Allah antara lain:

1. Surat at-Thalaq ayat 6:

“Jika mereka telah menyusukan anakmu, maka berilah upah mereka”

2. surat al-Qashash ayat 26:

“Salah seorang dari wanita itu berkata: wahai bapakku, upahlah dia, sesungguhnya orang yang engkau
upah itu adalah orang yang kuat dan dapat dipercaya”.

Adapun dasar hukum dari hadits Nabi diantaranya adalah:

1. Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Nabi saw. bersabda: “Rasulullah saw
berbekam, kemudian beliau memberikan upah kepada tukang-tukang itu”.

2. Riwayat Ibnu Maajah, Rasulullah bersabda:


”Berikanlah upah atau jasa kepada orang yang diupah sebelum kering keringatnya”.

Adapun dasar hukum ijarah berdasarkan ijma‟ ialah semua umat sepakat, tidak ada seorang ulama
pun membantah kesepakatan (ijma‟) ini, sekalipun ada beberapa orang diantara mereka yang berbeda
pendapat, tetapi hal itu tidak dianggap. Umat Islam pada masa sahabat telah berijma‟ bahwa ijarah
dibolehkan sebab bermanfaat bagi manusia.

Akad sewa menyewa ini disyariatkan berdasarkan Alqur‟an,al-Sunnah dan al-Ijma‟.Firman Allah
dalam QS al-Thalāq sebagai berikut:Yang Artinya: Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu
bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk
menyempitkan (hati) mereka. Jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka
berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin. Jika mereka menyusukan (anak-anak)mu,
maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu)
dengan baik dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu)
untuknya. (Q.S. Al-Talaq: 65: 6).

Ayat tersebut diatas menjelaskan tentang perintah memberi upah bagi para ibu yang telah diceraikan
suaminya kemudian menyusui anak dari hasil perkawinan sebelumnya. Tradisi bangsa Arab pada zaman
dahulu adalah menyusukan anaknya kepada orang lain, dari sini muncul istilah saudara satu susuan atau
ibu susu. Sebagaimana Rasulullah SAW yang disusukan kepada Halimah al-Sa‟diyah.
Rasulullah SAW dalam hadis yang berasal dari Abu Hurairah bersabda:

Artinya: Dari Abi Hurairah ra, dari Rasulullah SAW bersabda: Allah SWT berfirman :Tiga golongan
manusia yang menjadi musuhku dihari kiamat nanti, yaitu seseorang yang memberi kemudian ia
menghianatinya dan seseorangyang menjual sesuatu tetapi ia memakan harganya dan seseorang yang
menyewa seseorang untuk dipekerjakan, ia memanfaatkannya tetapi belum membayar upahnya.

Hadis diatas menjelaskan betapa Rasulullah menghargai seseorang yang telah memberikan
tenaganya untuk dimanfaatkan oleh orang lain, sehingga beliau mengecam orang yang memanfaatkan
tenaga pekerja dan tidak memberinya upah, dengan ancaman menjadi salah satu musuh Rasulullah SAW
dihari akhir kelak.

Fuqaha mengutip hadis Rasulullah SAW yang lain sebagai berikut:

Yang artinya: Berikanlah upah (jasa) pada orang yang kamu pekerjakan sebelum kering keringat mereka.

6
Yang artinya: Rasulullah SAW bersabda: Dahulu kami menyewa tanah dengan jalan membayar dengan
tanaman yang tumbuh, lalu Rasulullah SAW melarang kami cara itu dan memerintahkan kami agar
membayarnya uang emas atau uang perak.

Ayat Al-Qur'an dan dua hadis tersebut di atas menjadi landasan konsensus fuqaha tentang
kebolehan akad ijarah dan tak seorang ulama pun yang meniadakan kebolehannya. Ijarah disyariatkan
berdasarkan hajat umat manusia, guna memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari, baik kebutuhan
pokok atau kebutuhan bukan pokok lainnya yang menunjang keberlangsungan hidup umat manusia.

Perlu diketahui bahwa tujuan disyariatkannya ijarah itu adalah untuk memberikan keringanan
kepada umat dalam pergaulan hidup. Seseorang mempunyai uang tetapi tidak dapat bekerja; dipihak
lain ada yang punya tenaga dan membutuhkan uang. Dengan adanya ijarah keduanya saling mendapat
keuntungan dan memperoleh manfaat.

C. Penerapan Norma Hukum dan Fatwa (IMB)

Ijarah Muntahiyah Bittamlik (IMBT) adalah akad sewa yang diakhiri dengan pemindahan kepemilikan
objek akad dari pemberi sewa (mu'ajir) kepada penyewa (musta'jir) melalui akad jual beli atau hibah
setelah berakhirnya masa sewa. IMBT ini merupakan jenis akad baru yang dibentuk sebagai konstruksi
perjanjian sewa beli melalui pendekatan maqas id asy-syari'ah dengan metode maslahah mursalah
karena adanya kebutuhan dan kemaslahatan masyarakat.
Secara prinsip, regulasi maupun implementasi IMBT telah sejalan dengan prinsip-prinsip syariah, namun
dalam beberapa subtansi hokum masih ada yang dilihat maupun tidak sejalan dengan prinsip-prinsip
syariah, antara lain:

(1) Janji pemindahan hak milik objek akad dalam fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Nomor 27/DSN-
MUI/III/2002 yang sifatnya tidak mengikat nas syar'i dan bertentangan dengan asas pacta sun servanda
sekaligus bertentangan dengan Fatwa DSN Nomor 85/DSN-MUI/III/2012 tentang wa'd (janji) yang
mewajibkan untuk memenuhi janji.

(2) Penyelesaian pembayaran musta'jirwan prestasi dengan cara membebankan seluruh sisa ujrah
hingga akhir masa sewa dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) maupun dalam praktik
perbankan syariah tidak sesuai dengan hukum ijarah dan tidak seperti kemaslahatan. (3) Tinjauan ujrah
oleh Bank yang hanya diterapkan terhadap kenaikan ujrah dan tidak diterapkan terhadap penurunan
ujrah bertentangan dengan keseimbangan ( tawazun ) dan keadilan adalah

Solusi yang ditawarkan:

(1) Janji pemindahan kepemilikan objek akad IMBT dalam Fatwa DSN harus bersifat mutlak dan
mengikat.

(2) Cara penyelesaian musta'jir wanprestasi dicapai dengan cara menjual objek akad; apabila sisa ujrah
yang belum dihargai nilainya lebih besar dari sisa nilai pembiayaan, maka seluruh hasil penjualan objek
akad diambil oleh mu'ajir dan musta'jir yang dikenakan ta'wid, sedangkan apabila sisa ujrah yang belum
dibayar nilainya lebih kecil dari sisa nilai pembiayaan, maka selisih lebihnya diberikan kepada musta'jir
setelah dikurangi ta'wid.

(3) Tinjauan ujrah harus diterapkan secara seimbang dan konsisten, baik ketika ujrah naik maupun
turun.
8

BAB III

Penutup

A. Kesimpulan

Ijarah merupakan tata cara sewa menyewa dalam Islam. Secara terminologis, Ijarah adalah upah
sewa yang diberikan kepada seseorang yang telah mengerjakan satu pekerjaan sebagai balasan atas
pekerjaannya.Tujuan persewaan ini adalah untuk memperkenalkan nilai dan etika Islam dalam hal sewa
menyewa barang. Secara umum, Ija.rah berarti pemindahan manfaat atas suatu barang. Melihat pola
transaksinya, Ijarah menyerupai jual beli, hanya saja apabila jual beli yang menjadi obyek transaksi
adalah barang sedang Ijārah adalah jasa. Jasa yang dimaksud dalam penelitian ini adalah jasa persewaan
alat pesta.

Dasar Hukum asalnya menurut Jumhur Ulama adalah mubah atau boleh bila dilaksanakan
sesuaidengan ketentuan yang ditetapkan oleh syara‟ berdasarkan ayat al-Qur'an, hadis hadis Nabi dan
ketetapan Ijma Ulama.

Ijarah Muntahiyah Bittamlik (IMBT) adalah akad sewa yang diakhiri dengan pemindahan kepemilikan
objek akad dari pemberi sewa (mu'ajir) kepada penyewa (musta'jir) melalui akad jual beli atau hibah
setelah berakhirnya masa sewa. IMBT ini merupakan jenis akad baru yang dibentuk sebagai konstruksi
perjanjian sewa beli melalui pendekatan maqas id asy-syari'ah dengan metode maslahah mursalah
karena adanya kebutuhan dan kemaslahatan masyarakat.
B. Saran

Pemakalah menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini banyak terdapat kekurangan baik dari segi
referensi maupun penulisan. Untuk itu kami mohon maaf yang sebesar-besarnya, kemudian mohon
kritik dan saran baik dari bapak dosen maupun pembaca untuk perbaikan makalah berikutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Syafei Rachmat, Fiqih Muamalah,(Bandung: Pustaka Setia, 2001)

Karim Helmi ,Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997)


Syihabuddin Ahmad, Ibanah Al-Ahkam Syarh Bulugh Al-Maram, (Beirut: Daar Al-Fikr, 2004)
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhāri, shahih al-Bukhāri, (Istambul:Daral Sahnun,1992),
Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992)

https://journal.uii.ac.id/Millah/article/view/13512
10

Anda mungkin juga menyukai