Oleh:
Riswan (19050102094)
1
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji
syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat, Hidayah, dan
Inayah-Nya sehingga saya dapat merampungkan penyusunan makalah mata kuliah Hadist
Ekonomi dengan judul " Sewa(Ijarah) dan Gadai(Rahn)" tepat pada waktunya.
Penyusunan makalah semaksimal mungkin saya upayakan dan didukung bantuan
berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar dalam penyusunannya. Untuk itu tidak lupa
saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu saya dalam
merampungkan makalah ini.
Namun tidak lepas dari semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat
kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya. Oleh karena itu, dengan
lapang dada saya membuka selebar-lebarnya pintu bagi para pembaca yang ingin memberi
saran maupun kritik demi memperbaiki makalah ini
Akhirnya penyusun sangat mengharapkan semoga dari makalah sederhana ini dapat
diambil manfaatnya dan besar keinginan kami dapat menginspirasi para pembaca untuk
mengangkat permasalahan lain yang relevan pada makalah-makalah selanjutnya.
Penyusun
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.........................................................................................................................2
BAB I.....................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.....................................................................................................................................4
1. Latar Belakang...........................................................................................................................4
2. Rumusan Masalah.....................................................................................................................4
BAB II.....................................................................................................................................................5
PEMBAHASAN.......................................................................................................................................5
1.1 Pengertian Ijarah...................................................................................................................5
1.2 Dasar Hukum.........................................................................................................................5
1.3 Rukun.....................................................................................................................................6
1.4 Syarat.....................................................................................................................................7
1.5 Jenis Transaksi Ijarah.............................................................................................................8
1.6 Sifat Dan Hukum Ijarah..........................................................................................................9
1.7 Bentuk Pelanggaran Dalam Ijarah........................................................................................10
1.8 Berakhirnya Ijarah................................................................................................................10
2.1 Pengertian Rahn..................................................................................................................11
2.2 Sifat Rahn.............................................................................................................................12
2.3 Dasar Hukum Rahn.............................................................................................................13
2.4 Rukun dan Syarat Gadai.......................................................................................................14
2.5 Pengambilan Manfaat Barang Gadai...................................................................................15
2.6 Pandangan Ulama Mengenai Rukun gadai..........................................................................16
2.7 Perbedaan dan Persamaan Gadai Syariah dan Gadai Konvesonal.......................................18
2.8 Persamaan Gadai Konvensional dengan Gadai Syariah.......................................................19
2.9 Perbedaan gadai syariah dengan gadai konvensiaonal........................................................19
3.0 Perlakuan Bunga dan Riba dalam Perjanjian Gadai.............................................................19
BAB III..................................................................................................................................................21
PENUTUP.............................................................................................................................................21
Kesimpulan......................................................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................22
3
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Kata ijarah dari bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia, antara sewa dan upah
juga ada perbedaan makna operasional, sewa biasanya digunakan untuk benda,
sedangkan upah digunkan untuk tenaga. Namun dalam bahasa Arab ijarah adalah sewa
dan upah. Sehingga ketika kita melihat bagaimana aplikasi dari ijarah itu sendiri
dilapangan, maka kita bisa mendapati sebagai mana yang akan dibasas dalam makalah
ini. Yangmana diharapkan dengan hadirnya makalah ini dapat memberikan masukan
ilmu pengetahuan kepad kaum muslimin mengenai hal-hal yang berkaitan dengan sewa-
menyewa. Ijarah merupakan menjual manfaat yang dilakukan oleh seseorang dengan
orang lain dengan menggunakan ketentuan syari’at islam. Kegiatan ijarah ini tidak dapat
dilepaskan dari kehidupan kita sehari-hari baik dilingkungan keluarga maupun
masyarakat sekitar kita.
Dalam segenap aspek kehidupan bisnis dan transaksi, ada bermacam-macam cara
untuk mencari uang dan salah satunya dengan cara gadai / rahn(رهن99)ال. Para ulama’
berpendapat bahwa gadai boleh dilakukan dan tidak termasuk riba apabila memenuhi
syarat dan rukunnya. Akan tetapi banyak sekali orang yang melalaikan masalah tersebut,
sehingga tidak sedikit dari mereka yang melakukan gadai asal-asalan tanpa mengetahui
hukum dasar gadai tersebut. Dalam syari’at bermuamalah, seseorang tidaklah selamanya
mampu melaksanakan syari’at tersebut secara tunai dan lancar sesuai dengan syari’at
yang ditentukan. Ada kalanya suatu misal ketika sedang dalam perjalanan jauh seseorang
kehabisan bekal, sedangkan orang tersebut tidaklah mungkin kembali ke tempat
tinggalnya untuk mengambil perbekalan demi perjalanan selanjutnya.
2. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan ijarah/ sewa-menyewa?
2. Apa tujuan ijarah/ sewa-menyewa?
3. Apa Hakekat / pengertian rahn ?
4. Apa rukun dan syarat rahn?
4
BAB II
PEMBAHASAN
1.1 Pengertian Ijarah
Menurut etimologi, ijarah adalah ( بيع المنفعهmenjual manfaat). Demikian pula
artinya menurut terminology syara’. Untuk lebih jelasnya, di bawah akan dikemukakan
beberapa definisi ijarah menurut pendapat beberapa ulama fiqh:
a. Ulama Hanafiyah:
عقد عل المنا فع بعو ض
Artinya: Akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti
b. Ulama Asy-Syafi’iyah:
“Akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah,
serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu”
c. Ulama Malikiyah dan Hanabilah
“Menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan
pengganti”.
Berdasarkan definisi-definisi diatas, ijarah adalah menukar sesuatu dengan ada
imbalannya, diterjemahkan menjadi sewa-menyewa dan upah mengupah. Sewa-
menyewa adalah ة بيع99( المنفعmenjual manfaat) dan upah mengupah adalah و ة99ع الق99بي
(menjual tenaga atau kekuatan).
Sewa digunakan untuk benda, seperti “seseorang menyewa kamar untuk tempat
tinggal.” Sedangkan upah digunakan untuk tenaga, seperti “para karyawan bekerja
ditoko dibayar upahnya per hari”. Dalam bahasa arab upah dan sewa disebut ijarah.
Dengan demikian pengertian ijarah dapat di simpulkan yaitu suatu transksi baik
berupa barang maupun jasa dengan menjual manfaat dan serta ada pengganti baik di
awal transaksi atau di masa habis berlakunya ijarah atau sewa itu sendiri.
5
ْ ْجرْ هُ اِ َّن خَ ْى َر َم ِن ا ْستَا ْء َجرْ تَ ْالقَ ِويُّ ا
ا تَي ِْن99َ قَا َل اِنِّ ْى اُ ِر ْى ُد اَ ْن اُ ْن ِك َحكَ ِاحْ دَى ا ْبتَ ًّي ه. ُال َء ِمىْن ْ َقَا ل
ِ َت اِحْ دَا هُ َما يَا اَب
ِ ت ا ْستَاء
َج فَا ِ ْن اَ ْت َم ْمتَ َع ْشرًا فَ ِم ْن ِع ْن ِدك ٍ َعلَى اَ ْن تَا ْء ُج َرنِى ثَ َما نِ َى ِح َج...
٢٧–٢٦ : القصص
Artinya
“Salah satu dari kedua orang itu berkata, “Ya ayahku, ambilah ia sebagai
orang yang bekerja (pada kita),karena sesungguhnya orang yang paling baik yang
kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.”
Berkatalah dia (Syu’aib), “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan
salah seorang dari kedua anak ku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja dengan ku
delapan tahun.Dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun, maka itu adalah (suatu
kebaikan) dari kamu.” (QS. Al-Qashash: 26-27)
b. As-Sunah
ُف ع ََرقُه ْ اُ ْعطُوا.
َّ ال َء ِجي َْر اَحْ َرهُ قَ ْب َل اَ ْن يَ ِج
{}رواه ابن ما جه عن ابن عمر
Artinya
“Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibn Majah dari
Ibn Umar)
ُ َم ِن ا ْستَاءْ َج َر اَ ِج ْيرًا فَ ْليَ ْع َملْ اَجْ َره.
{}رواه عبدالرزاق عن ابي هريره
Artinya
“Barang siapa yang meminta untuk menjadi buruh, beritahukanlah upahnya.”
(HR. Abd Razaq dari Abu Hurairah)
c. Ijma’
Umat islam pada masa sahabat telah berijma’ bahwa ijarah dibolehkan sebab
bermanfaat bagi manusia.
1.3 Rukun
Menurut ulama Hanafiyah, rukun ijarah adalah ijab dan qabul antara lain
dengan meggunakan kaimat: al-ijarah, al-isti’jar, al-ikhtira’ dan al-ikra.
Adapun menurut jumhur ulama, rukun ijarah ada 4 yaitu:
1. ‘Aqid (orang yang berakad) yaitu mu’jir (orang yang menyewakan atau
memberikan upah) dan musta’jir (orang yang menyewa atau menerima upah)
2. Shighat akad yaitu ijab kabul antara mu’jir dan musta’jir
6
3. Ujrah (upah)
4. Ma’qud ‘alaih(manfaat /barang yang disewakan atau sesuatu yang dikerjakan)
1.4 Syarat
1. Syarat Terjadinya Akad
Syarat in‘inqad (terjadinya akad) berkaitan dengan aqid, zat akad, dan tempat
akad.Sebagaimana telah dijelaskan dalam jual-beli, menurut ulama Hanafiyah, ‘aqid
(orang yang melakukan akad) disyaratkan harus berakal dan mumayyiz (minimal
7tahun), serta tidak disyaratkan harus baligh.Akan tetapi, jika bukan barang
miliknya sendiri, akad ijarah anak mumayyiz, di anggap sah bila diizinkan walinya.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa tamyiz adalah syarat ijarah dan jual beli,
sedangkan baligh adalah syarat penyerahan.Dengan demikian, akad anak mumayyiz
adalah sah, tetapi bergatung atas keridaan walinya.
Ulama Hanabilah dan Syafi’iyah mensyaratkan orang yang akad harus
mukallaf, yaitu baligh dan berakal, sedangkan anak mumayyiz belum dapat
dikategorikan ahli akad.
2. Syarat Pelaksanaan (an-nafadz)
Agar ijarah terlaksana, barang harus dimiliki oleh ‘aqid atau ia memiliki
kekuasaan penuh untuk akad (ahliah).Dengan demikian, Ijarah al-fudhul (ijarah yang
dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kekuasaan atau tidak diizinkan oleh
pemiliknya) tidak dapat menjadikan adanya ijarah.
3. Syarat Sah Ijarah
Keabsahan ijarah sangat berkaitan dengan ‘aqid (orang yang akad), ma’qud
‘alaih (barang yang menjadi objek akad), ujrah (upah), dan zat akad (nafs al-‘aqad),
yaitu:
Adanya keridaan dari kedua pihak yang akad.
Ma’qud ‘alaih bermanfaat dengan jelas.
Adanya kejelasan pada ma’qud ‘alaih atau barang menghilangkan
pertentangan di antara ‘aqid. Di antara cara untuk mengetahui ma’qud ‘alaih
(barang) adalah dengan menjelaskan manfaatnya, pembatasan waktu, atau
menjelaskan jenis pekerjaan jika ijarah atas pekerjaan atau jasa seseorang.
Penjelasan manfaat
Penjelasan waktu
7
Sewa bulanan
Penjelasan jenis pekerjaan
Penjelasan waktu kerja
Ma’qud ‘alaih (barang) harus dapat memenuhi secara syara’.
Kemanfaatan benda dibolehkan menurut syara’
Tidak menyewa untuk pekerjaan yang diwajibkan kepadanya
Tidak mengambil manfaat bagi diri orang yang disewa
Manfaat ma’qud ‘alaih sesuai dengan keadaan yang umum.
4. Syarat Barang Sewaan (ma’qud ‘alaih)
Di antara barang sewaan adalah dapat dipegang atau dikuasai.Hal itu
didasarkan pada hadits Rasulullah SAW yang melarang menjual barang yang tidak
dapat dipegang atau dikuasai, sebagaimana dalam hal jual-beli.
5. Syarat Ujrah (Upah)
Para ulama telah menetapkan syarat upah, yaitu:
Berupa harta tetap yang diketahui
Tidak boleh sejenis dengan barang manfaat dari ijarah, seperti upah
menyewa rumah untuk ditempati dengan menempati rumah tersebut.
6. Syarat yang Kembali pada Rasul Akad
Akad disyaratkan harus terhindar dari syarat-syarat yang tidak diperlukan
dalam akad atau syarat-syarat yang merusak akad, seperti menyewakan rumah
dengan syarat rumah tersebut akan ditempati oleh pemiliknya selama sebulan,
kemudian diberikan kepada penyewa.
7. Syarat Kelaziman
Syarat kelaziman ijarah atas dua hal berikut:
1. Ma’qud ‘alaih (barang sewaan) terhindar dari cacat
2. Tidak ada uzur yang dapat membatalkan akad.
8
Kedua, ijarah yang bersifat pekerjaan adalah dengan cara mempekerjakan
seseorang untuk melakukan pekerjaan. Ijarah semacam ini dibolehkan seperti buruh
bangunan, tukang jahit, tukang sepatu, dan lain-lain.Yaitu ijarah yang bersifat
kelompok atau serikat.
9
1.7 Bentuk Pelanggaran Dalam Ijarah
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan upah bagi ajir, apabila
barang yang ditangannya rusak.
Menurut ulama syafi’iyah, jika ajir bekerja ditempat yang dimilki oleh
penyewa, ia tetap memperoleh upah. Sebaliknya, apabila barang berada ditangannya, ia
tidak mendapatkan upah. Pendapat tersebut senada dengan ulama Hanabilah.
Ulama Hanafiyah juga hampir senada dengan pendapat ulama Syafi’iyah.
Hanya saja mereka mengurai lebih detail lagi, yaitu:
a. Jika benda ada di tangan ajir
1. Jika ada bekas pekerjaan, ajir berhak mendapat upah sesuai bekas pekerjaan
tersebut.
2. Jika tidak ada bekas pekerjaannya, ajir berhak mendapatkan upah atas
pekerjaannya sampai akhir.
b. Jika benda berada ditangan penyewa, pekerja berhak mendapat upah selesai kerja.
Pengekang barang
Ulama Hanafiyah membolehkan ajir untuk mengekangbarang yang telah ia
kerjakan. Sampai ia mendapatkan upah. Akan tetapi, jika dalam masa
pengekangan, barang tersebut rusak, ia harus bertanggung jawab.
10
manfaat tidak boleh diwariskan.Akan tetapi, jumhur ulama mengatakan, bahwa manfaat
itu boleh diwariskan karena termasuk harta (al-maal).Oleh karena itu kematian salah
satu pihak yang berakad tidak membatalakan akad al-ijarah.
Menurut al-Kasani dalam kitab al-Badaa’iu ash-Shanaa’I, menyatakan bahwa
akad al-ijarah berakhir bila ada hal-hal sebagai berikut:
Pertama, objek al-ijarah hilang atau musnah seperti, rumah yang disewakan terbakar
atau kendaraan yang disewa hilang.
Kedua, tenggang waktu yang disepakati dalam akad al-ijarah telah berakhir.Apabila
barang yang disewakan itu rumah, maka rumah itu dikembalikan kepada pemiliknya,
dan apabila yang disewakan itu jasa seseorang maka orang tersebut berhak menerima
upahnya.
Ketiga, wafatnya salah seorang yang berakad.
Keempat, apabila ada uzur dari salah satu pihak, seperti rumah yang disewakan disita
Negara karena terkait adanya utang, maka akad al-ijarahnya batal.
Sementara itu, menurut Sayyid Sabiq, al-ijarah akan menjadi batal dan berakhir bila ada
hal-hal sebagai berikut:
Pertama, terjadinya cacat pada barang sewaan ketika di tangan penyewa.
Kedua, rusaknya barang yang disewakan, seperti ambruknya rumah dan runtuhnya
bangunan gedung.
Ketiga, rusaknya barang yang diupahkan, seperti bahan baju yang diupahkan untuk
dijahit.
Keempat, telah terpenuhimya manfaat yang diakadkan sesuai dengan masa yang telah
ditentukan dan selesainya pekerjaan.
Kelima, menurut Hanafi salah satu pihak dari yang berakad boleh membatalkan al-
ijarah jika ada kejadian-kejadian yang luar biasa, seperti terbakarnya gedung, tercurinya
barang-barang dagangan, dan kehabisan modal.
11
1. Akad yang objeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang mungkin diperoleh
bayaran dengan sempurna darinya.
2. Menjadikan suatu benda berharga dalam pandangan syara’ sebagai jaminan hutang
selama ada dua kemungkinan, untuk mengembalikan uang itu atau mengambil
sebagian benda itu.
3. Gadai adalah suatu barang yang dijadikan peneguhan atau penguat kepercayaan
dalam hutang-piutang.
4. Gadai ialah menjadikan suatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai
tanggungan hutang, dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu seluruh atau
sebagian hutang dapat diterima.
Ulama fiqih berbeda pendapat dalam mendefinisikan rahn :
1. Menurut ulama Syafi’iyah:
Menjadikan suatu benda sebagai jaminan hutang yang dapat dijadikan pembayar
ketika berhalangan dalam membayar hutang.
12
2.3 Dasar Hukum Rahn
Sebagai referensi atau landasan hukum pinjam-meminjam dengan jaminan
(brog) adalah firman Allah Swt.
ض ُك ْم بَ ْعضًا فَ ْليُ َؤ ِّد الَّ ِذى ُ ضةٌ ۗفَا ِ ْن اَ ِمنَ بَ ْع َ َْواِ ْن ُك ْنتُ ْم ع َٰلى َسفَ ٍر َّولَ ْم تَ ِج ُدوْ ا َكاتِبًا فَ ِر ٰه ٌن َّم ْقبُو
َق هّٰللا َ َربَّهٗ ۗ َواَل تَ ْكتُ ُموا ال َّشهَا َد ۗةَ َو َم ْن يَّ ْكتُ ْمهَا فَاِنَّ ٗ ٓه ٰاثِ ٌم قَ ْلبُهٗ ۗ َوهّٰللا ُ بِ َما تَ ْع َملُوْ ن
ِ َّاؤتُ ِمنَ اَ َمانَتَهٗ َو ْليَت
ْ
ࣖ َعلِ ْي ٌم
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu
tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang
dipegang[180] (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai
sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya
(hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu
(para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya,
Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan. ( Al-Baqarah 283).
Syaikh Muhammad Ali as-sayis berpendapat, bahwa ayat Al-Qur’an tersebut
adalah petunjuk untuk menerapkan prinsip kehati-hatian bila seseorang hendak
melakukan transaksi utang-piutang yang memakai jangka waktu dengan orang lain,
dengan cara menjaminkan sebuah barang kepada orang yang berpiutang rahn ()الرهن.
Diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah dari Anas r.a
berkata:
لَقَ ْد َرهَنَ النَّبِ ُّى – صل هللا عليه وسلم – ِدرْ عًا لَهُ بِ ْال َم ِدينَ ِة: س – رضى هللا عنه – قال ٍ َع َْن أَن
ِع ْن َد يَهُو ِدىٍّ َوأَخَ َذ ِم ْنهُ َش ِعيرًا
“ Rasullah Saw, telah meruguhkan baju besi beliau kepada seorang Yahudi di
Madinah, sewaktu beliau menghutang syair (gandum) dari orang Yahudi itu untuk
keluarga itu untuk keluarga beliau”. (HR. Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah).
Dari hadist tersebut dapat dipahami bahwa bermualah dibenarkan juga dengan
non-muslim dan harus ada jaminan sebagai pegangan, sehingga tidak ada ke khawatiran
bagi yang memberi piutang.
13
Para ulama’ semua berpendapat, bahwa perjanjian gadai hukumnya mubah (boleh).
Dan itu termuat dalam DNS Nomor: 25/DSN-MUI/III/2002, Namun ada yag berpegang
pada zahir ayat, yaitu gadai hanya diperbolehkan dalam keadaan berpergian saja,
seperti paham yang di anut oleh Madhab Zahiri, Mujahid dan al-Dhahak. Sedangkan
jumhur (kebanyakan ulama) membolehkan gadai, baik dalam keadaan berpergian
maupun tidak, seperti yang pernah dilakukan oleh Rasulullah di Madinah, seperti telah
disebutkan dalam hadist di atas.
14
Menurut Sayyid Sabiq bahwa gadai itu baru dianggap sah apabila memenuhi
empat syarat, yaitu:
1) Orangnya sudah dewasa.
2) Berpikiran sehat.
3) Barang yang akan digadaikan sudah ada pada saat terjadi akad gadai dan barang
gadaian itu dapat diserahkan/diserahkan kepada penggadai.
4) Barang atau benda yang dapat dijadikan jaminan itu dapat berupa emas, berlian
dan benda bergerak lainnya dan dapat pula surat-surat berharga ( surat tanah
atau surat rumah).
الظَّ ْه ُر يُرْ َكبُ إِ َذا َكانَ َمرْ هُونًا َولَبَ ُن ال َّدرِّ يُ ْش َرب
ُ ُإِ َذا َكانَ َمرْ هُونًا َو َعلَى الَّ ِذى يَرْ َكبُ َويَ ْش َربُ نَفَقَتُه
“ Binatang tunggangan boleh ditunggangi karena pembiyayaannya apabila
digadaikan, binatang boleh diambil susunya untuk diminum karena pembiyayaannya,
bila digadaikan bagi orang yang memegang dan meminumnya wajib memberikan
biaya”.
15
Pengambilan manfaat pada benda-benda gadai tersebut ditekankan pada biaya
atau tenaga untuk pemeliharaan sehingga bagi yang memegang barang-barang gadai
punya kewajiban tambahan. Pemegang barang gadai berkewajiban memberikan
makanan bila barang gadaian itu adalah hewan. Harus membelikan bensin bila
pemegang barang gadaian berupa kendaraan. Jadi yang di bolehkan disini adalah
adanya upaya pemeliharaan terhadap barang gadaian yang ada pada dirinya.
2. Akad gadai
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa transaksi gadai itu bisa sah dengan
memenuhi tiga syarat. Pertama, harus berupa barang, karena hutang tidak bisa
16
digadaikan. Kedua, kepemilikan barang yang digadaikan tidak terhalang, seperti
mushaf. Malik membolehkan penggadaikan mushaf, tetapi penerima gadai dilarang
membacanya. Perselisihan dalam hal ini berpangkal pada jual beli. Ketiga, barang yang
digadaikan bisa dijual manakala pelunasan hutang itu sudah jatuh tempo.
Menurut imam Malik menggadaikan barang yang tidak boleh dijual, itu boleh,
seperti tanaman tani dan buah-buahan yang belum layak dipetik. Jika sudah layak
dipetik, maka menurut Malik boleh dijual untuk melunasi hutang yang sudah jatuh
tempo. Tentang penggadaian buah yang belum layak dipanen, dari Syafi’i ada dua
pendapat, boleh menggadaikan, dan jika masa hutang sudah jatuh tempo, maka buah
tersebut bisa dijual dengan syarat dipetik. Menurut Abu Hamid, pendapat yang paling
benar adalah yang membolehkan. Bagi Malik menggadaikan barang yang belum jelas
nilainya seperti dinar dan dirham yang sudah dicetak, itu boleh.
Menurut Malik dan Syafi’i, kepemilikan penggadai atas barang yang digadaikan
tidak menjadi syarat gadai. Bahkan keduanya membolehkan barang gadaian itu
berstatus pinjaman. Para fuqaha sepakat bahwa di antara syarat gadai adalah ikrar
penggadaian bahwa barang gadaian harus berada di tangan penerima gadaian.
Kemudian mereka berselisih pendapat apabila penerima gadai menerima barang
tersebut dengan cara merampas, kemudian orang yang dirampas barangnya itu
menyatakan barang tersebut sebagai barang gadai an yang ada di tangannya. Dalam hal
ini imam Malik membolehkan pemindahan barang yang dirampas itu dari tanggungan
ghashab menjadi tanggungan gadai. Orang yang dirampas barangnya itu menganggap
barangnya tersebut sebagai barang gadai di tangan perampas, sebelum ia menerima
barang itu.
Berbeda dengan Malik, maka menurut Syafi’i, tidak boleh, bahkan barang itu
tetap berada dalam tanggungan ghashab, kecuali jika orang yang dirampas menerima
kembali barangnya. Dalam kaitan ini pula fuqaha pun berselisih pendapat tentang
penggadaian bagian barang dari milik bersama. Menurut Abu Hanifah tidak boleh,
tetapi menurut Malik dan Syafi’i boleh.
Aturan pokok dalam madzhab Maliki bahwa gadai itu dapat dilakukan untuk
semua barang yang berharga dan dapat diperjual belikan kecuali jual beli mata uang itu
17
harus tunai. Karena itu, sharf tidak bisa menjadi transaksi gadai. Begitu pula modal
salam, meski pun menurut Malik, lebih ringan dibanding sharf.
Sekelompok fuqaha zahiri berpendapat bahwa akad gadai hanya berlaku pada barang
pesanan. Demikian itu karena ayat yang berkenaan dengan gadai itu menjelaskan posisi
utang piutang barang dagangan, dan menurut mereka, itu transaksi pesanan.
Gadai juga dibolehkan pada barang pinjaman yang diboleh tanggungan dan
tidak dibolehkan pada barang pinjaman yang tidak di bawah tanggungan. Gadai juga di
bolehkan pada sewa menyewa. Dibolehkan pula pada upah jasa sesudah bekerja, bukan
sebelumnya. Demikian pula gadai bisa diadakan pada mas kawin tetapi tidak boleh
pada hudud, qishash atau proses kemerdekaan budak.
a. Pegadaian Syari’ah
Gadai dalam fiqh gadai (rahn) adalah prjanjian suatu barang sebagai
tanggungan hutang, atau menjadikan suatu benda bernilai menutrut pandangan
syara sebagai tanggungan pinjaman, sehingga dengan adanya tanggungan
utang ini seluruh atau sebagian utang dapat diterima.
b. Pegadaian Konvensional
18
Pegadaian Konvensional (Umum) adalah suatu hak yang diperbolehkan
seseorang yang mempunyai pitutang atas suatu barang bergerak, yang
diserahkan kepadanya oleh seorang yang berutang atau oleh orang lain atas
nama orang yang mempunyai utang, dan yang memberikan kekuasaan kepada
orang yang berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut
secara didahulukan daripada orang yang berpiutang lainnya, dengan
pengecualian biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelematankanya setelah
barang itu digadaikan.
19
Hal ini lebih sering disebut bunga gadai dan perbuatan yang dilarang syara’. Karena
itu aktivitas perjajian gadai dalam Islam tidak membenarkan adanya praktik
pemungutan bunga karena larangan syara’, dan pihak yang terbebani, yaitu pihak
penggadai akan merasa dianiaya dan tertekan, karena selain harus mengembalikan
utangnya, dia juga masih berkewajiban untuk membayar bunganya.
Kondisi saat ini, gadai sudah menjadi lembaga keuangan formal yang telah
diakui oleh pemerintah. Mengenai fungsi dari penggadaian tersebut tentu sudah
bersifat komersil. Artinya pegadaian harus memperoleh pendapatan guna
menggantikan biaya-biaya yang telah dikeluarkan, sehingga pegadaian mewajibkan
menambahkan sejumlah uang tertentu kepada nasabah sebagai imbalan jasa. Minimal
biaya itu dapat menutupi biaya operasional gadai. Gadai yang ada saat ini, dalam
praktiknya menunjukkan adanya beberapa hal yang dipandang memberatkan dan
mengarahkan kepada suatu persoalan riba, yang dilarang oleh syara’ menurut A.A.
Basyir.
20
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ijarah (persewaan) yaitu suatu akad yang berkaitan dengan pemanfaatan barang yang
dikehendaki yang telah diketahui penggunaannya. Barang tersebut dapat diserahkan
kepada penyewa dengan ongkos yang jelas atau pasti. Akada persewaan ini adalah akad
yng tetap, artinya kedua orang yang melakukan akad sewa-menyewa ini tidak boleh
menghentikan akad sekehendaknya, kecuali setelah selesai atau habis waktunya menurut
perjanjian yang telah ditetapkan. Dasar akad ijarah ini adalah Al-Qu’an, hadits, dan
ijma’.
Rahn adalah “Menjadikan suatu benda sebagai jaminan hutang yang dapat dijadikan
pembayar ketika berhalangan dalam membayar hutang”,
Rahn termasuk akad yang bersifat ‘ainiyah, yaitu dikatakan sempurna apabila sudah
menyerahkan benda yang dijadikan akad, seperti hibah, pinjam meminajam, titipan dan
qirad.
21
DAFTAR PUSTAKA
Ash Shiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi.1904. Pengantar Fiqh Mu’amalah. Jakarta: PT.
Pustaka Rizqi Putra.
Harisudin, Noor. 2014. Fiqh Muamalah 1. Surabaya: CV. Putra Salsabila Pratama.
22