Anda di halaman 1dari 22

“Sewa(Ijarah) dan Gadai(Rahn)”

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas


Mata Kuliah Hadis Ekonomi
Dosen pengampu : Masyhuri Rifa'i, M.Ag.

Oleh:
Riswan (19050102094)

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
KENDARI
2021

1
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji
syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat, Hidayah, dan
Inayah-Nya sehingga saya dapat merampungkan penyusunan makalah mata kuliah Hadist
Ekonomi dengan judul " Sewa(Ijarah) dan Gadai(Rahn)" tepat pada waktunya.
 
Penyusunan makalah semaksimal mungkin saya upayakan dan didukung bantuan
berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar dalam penyusunannya. Untuk itu tidak lupa
saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu saya dalam
merampungkan makalah ini.

Namun tidak lepas dari semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat
kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya. Oleh karena itu, dengan
lapang dada saya membuka selebar-lebarnya pintu bagi para pembaca yang ingin memberi
saran maupun kritik demi memperbaiki makalah ini

Akhirnya penyusun sangat mengharapkan semoga dari makalah sederhana ini dapat
diambil manfaatnya dan besar keinginan kami dapat menginspirasi para pembaca untuk
mengangkat permasalahan lain yang relevan pada makalah-makalah selanjutnya. 

Kendari, 24 Mei 2021

Penyusun

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.........................................................................................................................2
BAB I.....................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.....................................................................................................................................4
1. Latar Belakang...........................................................................................................................4
2. Rumusan Masalah.....................................................................................................................4
BAB II.....................................................................................................................................................5
PEMBAHASAN.......................................................................................................................................5
1.1 Pengertian Ijarah...................................................................................................................5
1.2 Dasar Hukum.........................................................................................................................5
1.3 Rukun.....................................................................................................................................6
1.4 Syarat.....................................................................................................................................7
1.5 Jenis Transaksi Ijarah.............................................................................................................8
1.6 Sifat Dan Hukum Ijarah..........................................................................................................9
1.7 Bentuk Pelanggaran Dalam Ijarah........................................................................................10
1.8 Berakhirnya Ijarah................................................................................................................10
2.1 Pengertian Rahn..................................................................................................................11
2.2 Sifat Rahn.............................................................................................................................12
2.3 Dasar  Hukum Rahn.............................................................................................................13
2.4 Rukun dan Syarat Gadai.......................................................................................................14
2.5 Pengambilan Manfaat Barang Gadai...................................................................................15
2.6 Pandangan Ulama Mengenai Rukun gadai..........................................................................16
2.7 Perbedaan dan Persamaan Gadai Syariah dan Gadai Konvesonal.......................................18
2.8 Persamaan Gadai Konvensional dengan Gadai Syariah.......................................................19
2.9 Perbedaan gadai syariah dengan gadai konvensiaonal........................................................19
3.0 Perlakuan Bunga dan Riba dalam Perjanjian Gadai.............................................................19
BAB III..................................................................................................................................................21
PENUTUP.............................................................................................................................................21
Kesimpulan......................................................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................22

3
BAB I

PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Kata ijarah dari bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia, antara sewa dan upah
juga ada perbedaan makna operasional, sewa biasanya digunakan untuk benda,
sedangkan upah digunkan untuk tenaga. Namun dalam bahasa Arab ijarah adalah sewa
dan upah. Sehingga ketika kita melihat bagaimana aplikasi dari ijarah itu sendiri
dilapangan, maka kita bisa mendapati sebagai mana yang akan dibasas dalam makalah
ini. Yangmana diharapkan dengan hadirnya makalah ini dapat memberikan masukan
ilmu pengetahuan kepad kaum muslimin mengenai hal-hal yang berkaitan dengan sewa-
menyewa. Ijarah merupakan menjual manfaat yang dilakukan oleh seseorang dengan
orang lain dengan menggunakan ketentuan syari’at islam. Kegiatan ijarah ini tidak dapat
dilepaskan dari kehidupan kita sehari-hari baik dilingkungan keluarga maupun
masyarakat sekitar kita.
Dalam segenap aspek kehidupan bisnis dan transaksi, ada bermacam-macam cara
untuk mencari uang dan salah satunya dengan cara gadai / rahn(‫رهن‬99‫)ال‬. Para ulama’
berpendapat bahwa gadai boleh dilakukan dan tidak termasuk riba apabila memenuhi
syarat dan rukunnya. Akan tetapi banyak sekali orang yang melalaikan masalah tersebut,
sehingga tidak sedikit dari mereka yang melakukan gadai asal-asalan tanpa mengetahui
hukum dasar gadai tersebut. Dalam syari’at bermuamalah, seseorang tidaklah selamanya
mampu melaksanakan syari’at tersebut secara tunai dan lancar sesuai dengan syari’at
yang ditentukan. Ada kalanya suatu misal ketika sedang dalam perjalanan jauh seseorang
kehabisan bekal, sedangkan orang tersebut tidaklah mungkin kembali ke tempat
tinggalnya untuk mengambil perbekalan demi perjalanan selanjutnya.

2. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan ijarah/ sewa-menyewa?
2. Apa tujuan ijarah/ sewa-menyewa?
3. Apa Hakekat / pengertian rahn ?
4. Apa rukun dan syarat rahn?

4
BAB II

PEMBAHASAN
1.1 Pengertian Ijarah
Menurut etimologi, ijarah adalah ‫( بيع المنفعه‬menjual manfaat). Demikian pula
artinya menurut terminology syara’. Untuk lebih jelasnya, di bawah akan dikemukakan
beberapa definisi ijarah menurut pendapat beberapa ulama fiqh:
a. Ulama Hanafiyah:
‫عقد عل المنا فع بعو ض‬
Artinya: Akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti
b. Ulama Asy-Syafi’iyah:
“Akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah,
serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu”
c. Ulama Malikiyah dan Hanabilah
“Menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan
pengganti”.
Berdasarkan definisi-definisi diatas, ijarah adalah menukar sesuatu dengan ada
imbalannya, diterjemahkan menjadi sewa-menyewa dan upah mengupah. Sewa-
menyewa adalah ‫ة بيع‬99‫( المنفع‬menjual manfaat) dan upah mengupah adalah ‫و ة‬99‫ع الق‬99‫بي‬
(menjual tenaga atau kekuatan).
Sewa digunakan untuk benda, seperti “seseorang menyewa kamar untuk tempat
tinggal.” Sedangkan upah digunakan untuk tenaga, seperti “para karyawan bekerja
ditoko dibayar upahnya per hari”. Dalam bahasa arab upah dan sewa disebut ijarah.
Dengan demikian pengertian ijarah dapat di simpulkan yaitu suatu transksi baik
berupa barang maupun jasa dengan menjual manfaat dan serta ada pengganti baik di
awal transaksi atau di masa habis berlakunya ijarah atau sewa itu sendiri.

1.2 Dasar Hukum


a. Al-Qur’an
)١ :‫ض ْعنَ لَ ُك ْم فَا ْءتُوْ ه َُّن اُجُوْ َره َُّن (الطالق‬
َ ْ‫فَا ِ ْن اَر‬
Artinya
“Jika mereka menyusukan (anak-anakmu) untukmu, maka berikanlah mereka
upahnya.” (QS. Thalaq: 6)

5
ْ ‫ْجرْ هُ اِ َّن خَ ْى َر َم ِن ا ْستَا ْء َجرْ تَ ْالقَ ِويُّ ا‬
‫ا تَي ِْن‬99َ‫ قَا َل اِنِّ ْى اُ ِر ْى ُد اَ ْن اُ ْن ِك َحكَ ِاحْ دَى ا ْبتَ ًّي ه‬. ُ‫ال َء ِمىْن‬ ْ َ‫قَا ل‬
ِ َ‫ت اِحْ دَا هُ َما يَا اَب‬
ِ ‫ت ا ْستَاء‬
َ‫ج فَا ِ ْن اَ ْت َم ْمتَ َع ْشرًا فَ ِم ْن ِع ْن ِدك‬ ٍ ‫ َعلَى اَ ْن تَا ْء ُج َرنِى ثَ َما نِ َى ِح َج‬...
٢٧–٢٦ : ‫القصص‬
Artinya
“Salah satu dari kedua orang itu berkata, “Ya ayahku, ambilah ia sebagai
orang yang bekerja (pada kita),karena sesungguhnya orang yang paling baik yang
kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.”
Berkatalah dia (Syu’aib), “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan
salah seorang dari kedua anak ku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja dengan ku
delapan tahun.Dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun, maka itu adalah (suatu
kebaikan) dari kamu.” (QS. Al-Qashash: 26-27)
b. As-Sunah
ُ‫ف ع ََرقُه‬ ْ ‫اُ ْعطُوا‬.
َّ ‫ال َء ِجي َْر اَحْ َرهُ قَ ْب َل اَ ْن يَ ِج‬
{‫}رواه ابن ما جه عن ابن عمر‬
Artinya
“Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibn Majah dari
Ibn Umar)
ُ‫ َم ِن ا ْستَاءْ َج َر اَ ِج ْيرًا فَ ْليَ ْع َملْ اَجْ َره‬.
{‫}رواه عبدالرزاق عن ابي هريره‬
Artinya
“Barang siapa yang meminta untuk menjadi buruh, beritahukanlah upahnya.”
(HR. Abd Razaq dari Abu Hurairah)
c. Ijma’
Umat islam pada masa sahabat telah berijma’ bahwa ijarah dibolehkan sebab
bermanfaat bagi manusia.

1.3 Rukun
Menurut ulama Hanafiyah, rukun ijarah adalah ijab dan qabul antara lain
dengan meggunakan kaimat: al-ijarah, al-isti’jar, al-ikhtira’ dan al-ikra.
Adapun menurut jumhur ulama, rukun ijarah ada 4 yaitu:
1. ‘Aqid (orang yang berakad) yaitu mu’jir (orang yang menyewakan atau
memberikan upah) dan musta’jir (orang yang menyewa atau menerima upah)
2. Shighat akad yaitu ijab kabul antara mu’jir dan musta’jir

6
3. Ujrah (upah)
4. Ma’qud ‘alaih(manfaat /barang yang disewakan atau sesuatu yang dikerjakan)

1.4 Syarat
1. Syarat Terjadinya Akad
Syarat in‘inqad (terjadinya akad) berkaitan dengan aqid, zat akad, dan tempat
akad.Sebagaimana telah dijelaskan dalam jual-beli, menurut ulama Hanafiyah, ‘aqid
(orang yang melakukan akad) disyaratkan harus berakal dan mumayyiz (minimal
7tahun), serta tidak disyaratkan harus baligh.Akan tetapi, jika bukan barang
miliknya sendiri, akad ijarah anak mumayyiz, di anggap sah bila diizinkan walinya.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa tamyiz adalah syarat ijarah dan jual beli,
sedangkan baligh adalah syarat penyerahan.Dengan demikian, akad anak mumayyiz
adalah sah, tetapi bergatung atas keridaan walinya.
Ulama Hanabilah dan Syafi’iyah mensyaratkan orang yang akad harus
mukallaf, yaitu baligh dan berakal, sedangkan anak mumayyiz belum dapat
dikategorikan ahli akad.
2. Syarat Pelaksanaan (an-nafadz)
Agar ijarah terlaksana, barang harus dimiliki oleh ‘aqid atau ia memiliki
kekuasaan penuh untuk akad (ahliah).Dengan demikian, Ijarah al-fudhul (ijarah yang
dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kekuasaan atau tidak diizinkan oleh
pemiliknya) tidak dapat menjadikan adanya ijarah.
3. Syarat Sah Ijarah
Keabsahan ijarah sangat berkaitan dengan ‘aqid (orang yang akad), ma’qud
‘alaih (barang yang menjadi objek akad), ujrah (upah), dan zat akad (nafs al-‘aqad),
yaitu:
 Adanya keridaan dari kedua pihak yang akad.
 Ma’qud ‘alaih bermanfaat dengan jelas.
Adanya kejelasan pada ma’qud ‘alaih atau barang menghilangkan
pertentangan di antara ‘aqid. Di antara cara untuk mengetahui ma’qud ‘alaih
(barang) adalah dengan menjelaskan manfaatnya, pembatasan waktu, atau
menjelaskan jenis pekerjaan jika ijarah atas pekerjaan atau jasa seseorang.
 Penjelasan manfaat
 Penjelasan waktu

7
 Sewa bulanan
 Penjelasan jenis pekerjaan
 Penjelasan waktu kerja
 Ma’qud ‘alaih (barang) harus dapat memenuhi secara syara’.
 Kemanfaatan benda dibolehkan menurut syara’
 Tidak menyewa untuk pekerjaan yang diwajibkan kepadanya
 Tidak mengambil manfaat bagi diri orang yang disewa
 Manfaat ma’qud ‘alaih sesuai dengan keadaan yang umum.
4. Syarat Barang Sewaan (ma’qud ‘alaih)
Di antara barang sewaan adalah dapat dipegang atau dikuasai.Hal itu
didasarkan pada hadits Rasulullah SAW yang melarang menjual barang yang tidak
dapat dipegang atau dikuasai, sebagaimana dalam hal jual-beli.
5. Syarat Ujrah (Upah)
Para ulama telah menetapkan syarat upah, yaitu:
 Berupa harta tetap yang diketahui
 Tidak boleh sejenis dengan barang manfaat dari ijarah, seperti upah
menyewa rumah untuk ditempati dengan menempati rumah tersebut.
6. Syarat yang Kembali pada Rasul Akad
Akad disyaratkan harus terhindar dari syarat-syarat yang tidak diperlukan
dalam akad atau syarat-syarat yang merusak akad, seperti menyewakan rumah
dengan syarat rumah tersebut akan ditempati oleh pemiliknya selama sebulan,
kemudian diberikan kepada penyewa.
7. Syarat Kelaziman
Syarat kelaziman ijarah atas dua hal berikut:
1. Ma’qud ‘alaih (barang sewaan) terhindar dari cacat
2. Tidak ada uzur yang dapat membatalkan akad.

1.5 Jenis Transaksi Ijarah


Dilihat dari segi obyeknya ijarah dapat dibagi menjadi dua macam: yaitu
ijarah yang bersifat manfaat dan bersifat pekerjaan.
Pertama, ijarah yang bersifat manfaat.Umpamanya sewa menyewa rumah,
toko, kendaraan, pakaian (pengantin) dan perhiasan.

8
Kedua, ijarah yang bersifat pekerjaan adalah dengan cara mempekerjakan
seseorang untuk melakukan pekerjaan. Ijarah semacam ini dibolehkan seperti buruh
bangunan, tukang jahit, tukang sepatu, dan lain-lain.Yaitu ijarah yang bersifat
kelompok atau serikat.

1.6 Sifat Dan Hukum Ijarah


1. Sifat Ijarah
Menurut ulama Hanafiyah, ijarah adalah akad lazim yang didasarkan paad
firman Allah SWT.:َ‫او فوابالعقود‬, yang boleh dibatalkan. Pembatalan tersebut dikaitkan
pada asalnya, bukan didasarkan pada pemenuhan akad.
Sebaliknya, jumhur ulama berpendapat bahwa ijarah ialah akad lazim yang
tidak dapat dibatalkan, kecuali dengan adanya sesuatu yang merusak pemenuhannya,
seperti hilangnya manfaat. Jumhur ulama pun berdasarkan pendapatnya pada ayat Al-
Qur’an diatas.
Berdasarkan dua pandangan diatas, menurut ulama Hanafiyah, ijarah batal
dengan meninggalnya salah seorang yang akad dan tidak dapat dialihkan kepada ahli
waris.Adapun menurut jumhur ulama, ijarah tidak batal, tetapi berpindah kepada ahi
warisnya.
2. Hukum Ijarah
Hukum ijarah shahih adalah tetapnya kemanfaatan bagi penyewa dan tetapnya
upah bagi pekerja atau orang yang menyewakan ma’qud ‘alaih sebab ijarah termasuk
jua-beli, pertkaran, hanya saja dengan kemanfaatan.
Adapun hukum ijarah rusak, menurut ulama Hanafiyah, jika penyewa telah
mendapatkan manfaat tetapi orang yang menyewakan atau yang bekerja dibayar lebih
kecil dari kesepakatan pada waktu akad.Bila kerusakan tersebut terjadi pada
syarat.Akan tetapi, jika kerusakan disebabkan penyewa tidak memberitahukan jenis
pekerjaan perjanjiannya, upah harus diberikan semestinya.
Jafar dan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa ijarah fasid sama dengan jual-
beli fasid, yakni harus dibayar sesuai dengan nilai atau ukuran yang dicapai oleh barang
sewaan.

9
1.7 Bentuk Pelanggaran Dalam Ijarah
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan upah bagi ajir, apabila
barang yang ditangannya rusak.
Menurut ulama syafi’iyah, jika ajir bekerja ditempat yang dimilki oleh
penyewa, ia tetap memperoleh upah. Sebaliknya, apabila barang berada ditangannya, ia
tidak mendapatkan upah. Pendapat tersebut senada dengan ulama Hanabilah.
Ulama Hanafiyah juga hampir senada dengan pendapat ulama Syafi’iyah.
Hanya saja mereka mengurai lebih detail lagi, yaitu:
a. Jika benda ada di tangan ajir
1. Jika ada bekas pekerjaan, ajir berhak mendapat upah sesuai bekas pekerjaan
tersebut.
2. Jika tidak ada bekas pekerjaannya, ajir berhak mendapatkan upah atas
pekerjaannya sampai akhir.
b. Jika benda berada ditangan penyewa, pekerja berhak mendapat upah selesai kerja.
 Pengekang barang
Ulama Hanafiyah membolehkan ajir untuk mengekangbarang yang telah ia
kerjakan. Sampai ia mendapatkan upah. Akan tetapi, jika dalam masa
pengekangan, barang tersebut rusak, ia harus bertanggung jawab.

1.8 Berakhirnya Ijarah


Para ulama fiqh berbeda pendapat tentang sifat akad ijarah, apakah bersifat
mengkat kedua belah pihak atau tidak.Ulama Hanafiyah berpendirian bahwa akad al-
ijarah itu bersifat mengikat, tetapi boleh dibatalkan secara sepihak apabila terdapat uzur
dari salah satu pihak yang berakad seperti, salah satu pihak wafat, atau kehilangan
kecakapan bertindak dalam hukum.
Menurut ulama Hanafiyah, ijarah dipandang habis dengan meninggalnya salah
seorang yang akad, sedangkan ahli waris tidak memiliki hak untuk
meneruskannya.Adapun menurut jumhur ulama, ijarah itu tidak batal, tetapi diwariskan.
Selain itu, ijarah juga dipandang selesai jika ada pembatalan akad, terjadinya
kerusakan pada barang yang disewa dan habis waktu, kecuai kalau ada uzur. Jumhur
ulama mengatakan bahwa akad ijarah itu bersifat mengikat kecuali ada cacat atau
barang itu tidak boleh dimanfaatkan.Akibat perbedaan pendapat ini dapat diamati
dalam kasus apabila seorang meninggal dunia maka akad al-ijarah batal, karena

10
manfaat tidak boleh diwariskan.Akan tetapi, jumhur ulama mengatakan, bahwa manfaat
itu boleh diwariskan karena termasuk harta (al-maal).Oleh karena itu kematian salah
satu pihak yang berakad tidak membatalakan akad al-ijarah.
Menurut al-Kasani dalam kitab al-Badaa’iu ash-Shanaa’I, menyatakan bahwa
akad al-ijarah berakhir bila ada hal-hal sebagai berikut:
Pertama, objek al-ijarah hilang atau musnah seperti, rumah yang disewakan terbakar
atau kendaraan yang disewa hilang.
Kedua, tenggang waktu yang disepakati dalam akad al-ijarah telah berakhir.Apabila
barang yang disewakan itu rumah, maka rumah itu dikembalikan kepada pemiliknya,
dan apabila yang disewakan itu jasa seseorang maka orang tersebut berhak menerima
upahnya.
Ketiga, wafatnya salah seorang yang berakad.
Keempat, apabila ada uzur dari salah satu pihak, seperti rumah yang disewakan disita
Negara karena terkait adanya utang, maka akad al-ijarahnya batal.
Sementara itu, menurut Sayyid Sabiq, al-ijarah akan menjadi batal dan berakhir bila ada
hal-hal sebagai berikut:
Pertama, terjadinya cacat pada barang sewaan ketika di tangan penyewa.
Kedua, rusaknya barang yang disewakan, seperti ambruknya rumah dan runtuhnya
bangunan gedung.
Ketiga, rusaknya barang yang diupahkan, seperti bahan baju yang diupahkan untuk
dijahit.
Keempat, telah terpenuhimya manfaat yang diakadkan sesuai dengan masa yang telah
ditentukan dan selesainya pekerjaan.
Kelima, menurut Hanafi salah satu pihak dari yang berakad boleh membatalkan al-
ijarah jika ada kejadian-kejadian yang luar biasa, seperti terbakarnya gedung, tercurinya
barang-barang dagangan, dan kehabisan modal.

2.1 Pengertian Rahn


Menurut bahasa, gadai/ ar-rahn (‫رهن‬99‫ )ال‬berarti al-stubut dan al-habs yaitu
penetapan dan penahanan. Ada pula yang menjelaskan bahwa rahn (‫رهن‬99‫ )ال‬adalah
terkurung atau terjerat.
            Menurut istilah syara’, yang dimaksut dengan rahn adalah:

11
1. Akad yang objeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang mungkin diperoleh
bayaran dengan sempurna darinya.
2. Menjadikan suatu benda berharga dalam pandangan syara’ sebagai jaminan hutang
selama ada dua kemungkinan, untuk mengembalikan uang itu atau mengambil
sebagian benda itu.
3. Gadai adalah suatu barang yang dijadikan peneguhan atau penguat kepercayaan
dalam hutang-piutang.
4. Gadai ialah menjadikan suatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai
tanggungan hutang, dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu seluruh atau
sebagian hutang dapat diterima.
Ulama fiqih berbeda pendapat dalam mendefinisikan rahn :
1. Menurut ulama Syafi’iyah:
Menjadikan suatu benda sebagai jaminan hutang yang dapat dijadikan pembayar
ketika berhalangan dalam membayar hutang.

2. Menurut ulama Hanabilah :


Harta yang dijadikan jaminan hutang sebagai pembayar harga (nilai) hutang
ketika yang berutang berhalangan (tidak mampu membayar) hutangnya kepada
pemberi pinjaman.

2.2 Sifat Rahn


Secara umum rahn dikatagorikan sebagai akad yang bersifat derma sebab apa
yang diberikan penggadai (rahin) kepada penerima gadai (murtahin) tidak ditukar
dengan sesuatu. Yang diberikan murathin kepada rahn adalah uang. Bukan penukar
atas barang yang digadaikan.
      Rahn juga termasuk akad yang bersifat ‘ainiyah, yaitu dikatakan sempurna apabila
sudah menyerahkan benda yang dijadikan akad, seperti hibah, pinjam meminajam,
titipan dan qirad.

12
2.3 Dasar  Hukum Rahn
Sebagai referensi atau landasan hukum pinjam-meminjam dengan jaminan 
(brog) adalah firman Allah Swt.

‫ض ُك ْم بَ ْعضًا فَ ْليُ َؤ ِّد الَّ ِذى‬ ُ ‫ضةٌ ۗفَا ِ ْن اَ ِمنَ بَ ْع‬ َ ْ‫َواِ ْن ُك ْنتُ ْم ع َٰلى َسفَ ٍر َّولَ ْم تَ ِج ُدوْ ا َكاتِبًا فَ ِر ٰه ٌن َّم ْقبُو‬
َ‫ق هّٰللا َ َربَّهٗ ۗ َواَل تَ ْكتُ ُموا ال َّشهَا َد ۗةَ َو َم ْن يَّ ْكتُ ْمهَا فَاِنَّ ٗ ٓه ٰاثِ ٌم قَ ْلبُهٗ ۗ َوهّٰللا ُ بِ َما تَ ْع َملُوْ ن‬
ِ َّ‫اؤتُ ِمنَ اَ َمانَتَهٗ َو ْليَت‬
ْ
ࣖ ‫َعلِ ْي ٌم‬
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu
tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang
dipegang[180] (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai
sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya
(hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu
(para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya,
Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan. ( Al-Baqarah 283).
Syaikh Muhammad Ali as-sayis berpendapat, bahwa ayat Al-Qur’an tersebut
adalah petunjuk untuk menerapkan prinsip kehati-hatian bila seseorang hendak
melakukan transaksi utang-piutang yang memakai jangka waktu dengan orang lain,
dengan cara menjaminkan sebuah barang kepada orang yang berpiutang rahn (‫)الرهن‬.
Diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah dari Anas r.a
berkata:

‫ لَقَ ْد َرهَنَ النَّبِ ُّى – صل هللا عليه وسلم – ِدرْ عًا لَهُ بِ ْال َم ِدينَ ِة‬: ‫س – رضى هللا عنه – قال‬ ٍ َ‫ع َْن أَن‬
‫ِع ْن َد يَهُو ِدىٍّ َوأَخَ َذ ِم ْنهُ َش ِعيرًا‬
 “ Rasullah Saw, telah meruguhkan baju besi beliau kepada seorang Yahudi di
Madinah, sewaktu beliau menghutang syair (gandum) dari orang Yahudi itu untuk
keluarga itu untuk keluarga beliau”. (HR. Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah).
Dari hadist tersebut dapat dipahami bahwa bermualah dibenarkan juga dengan
non-muslim dan harus ada jaminan sebagai pegangan, sehingga tidak ada ke khawatiran
bagi yang memberi  piutang.

13
Para ulama’ semua berpendapat, bahwa perjanjian gadai hukumnya mubah (boleh).
Dan itu termuat dalam DNS Nomor: 25/DSN-MUI/III/2002, Namun ada yag berpegang
pada zahir ayat, yaitu gadai hanya diperbolehkan dalam keadaan berpergian saja,
seperti paham yang di anut oleh Madhab Zahiri, Mujahid dan al-Dhahak. Sedangkan
jumhur (kebanyakan ulama) membolehkan gadai, baik dalam keadaan berpergian
maupun tidak, seperti yang pernah dilakukan oleh Rasulullah di Madinah, seperti telah
disebutkan dalam hadist di atas.

2.4 Rukun dan Syarat Gadai


Gadai atau pinjaman dengan jaminan suatu benda memiliki beberapa rukun,
antara lain yaitu:
1. Akad dan ijab Kabul
2. Aqid, yaitu orang yang menggadaikan (rahin) dan yang menerima gadai
(murtahin). Adapun syarat yang berakad adalah ahli tasyarruf, yaitu mampu
membelanjakan harta dan dalam hal ini memahami persoalan-persoalan yang
berkaitan dengan gadai. Menurut ulama Syafi’iyah ahliyah adalah orang yang telah
sah untuk jual beli, yakni berakal dam mumyyis, tetapi tidak disyaratkan harus
baligh.
3. Barang yang dijadikan jaminan (borg), syarat pada benda uyang dijadikan jaminan
ialah keadaan barang itu tiddak rusak sebelum janji utang harus dibayar. Rosul
bersabda: “Setiap barang yang boleh diperjual belikan boleh dijadikan barang
gadai”
4. Ada hutang, disyaratkan keadaan hutang telah tetap.
Menurut ulam Hanafiyah mensyaratkan marhun, antara lain:
a) Dapat diperjual belikan
b) Bermanfaat
c) Jelas
d) Milik rahin
e) Bisa diserahkan
f) Tidak bersatu dengan harta lain
g) Dipegang oleh rahin
h) Harta yang tetap atau dapat dipindahkan.

14
Menurut Sayyid Sabiq bahwa gadai itu baru dianggap sah apabila memenuhi
empat syarat, yaitu:
1) Orangnya sudah dewasa.
2) Berpikiran sehat.
3) Barang yang akan digadaikan sudah ada pada saat terjadi akad gadai dan barang
gadaian itu  dapat diserahkan/diserahkan kepada penggadai.
4) Barang atau benda yang dapat dijadikan jaminan itu dapat berupa emas, berlian
dan benda bergerak lainnya dan dapat pula surat-surat berharga ( surat tanah
atau surat rumah).

2.5 Pengambilan Manfaat Barang Gadai


Dalam pengambilan manfaat barang-barang yang digadaikan para ulama’
berbeda pendapat, diantara jumhur fuqaha dan ahmad.
Jumhur fuqoha berpendapat bahwa murtahin tidak boleh mengambil suatu manfaat
barang-barang gadaian tersebut, sekalipun rahin mengizinkannya, karena hal ini
termasuk kepada utang yang terdapat menarik manfaat, sehingga bila dimanfaatkan
termasuk riba.
Rasul bersbada:
“Setiap orang yang menarik manfaat adalah termasuk riba” ( riwayat Harits bin
Abi Usamah).
Menurut Imam Ahmad, Ishak, al-Laits, dan al-Hasan, jika barang gadaian
berupa kendaraan yang dapat dipergunakan atau binatang ternak yang dapat diambil
susunya, maka penerima gadai dapat mengambil manfaat dari kedua benda tersebut
disesuaikan dengan biaya pemeliharaan yang dikeluarkan selama kendaraaan atau
binatang itu ada padanyaJika dia dibiayai oleh pemiliknya, maka pemilik uang tetap
tidak boleh menggunakan barang gadai tersebut.
Rasul bersabda:

‫الظَّ ْه ُر يُرْ َكبُ إِ َذا َكانَ َمرْ هُونًا َولَبَ ُن ال َّدرِّ يُ ْش َرب‬
ُ ُ‫إِ َذا َكانَ َمرْ هُونًا َو َعلَى الَّ ِذى يَرْ َكبُ َويَ ْش َربُ نَفَقَتُه‬
“ Binatang tunggangan boleh ditunggangi karena pembiyayaannya apabila
digadaikan, binatang boleh diambil susunya untuk diminum karena pembiyayaannya,
bila digadaikan bagi orang yang memegang dan meminumnya wajib memberikan
biaya”.

15
Pengambilan manfaat pada benda-benda gadai tersebut ditekankan pada biaya
atau tenaga untuk pemeliharaan sehingga bagi yang memegang barang-barang gadai
punya kewajiban tambahan. Pemegang barang gadai berkewajiban memberikan
makanan bila barang gadaian itu adalah hewan. Harus membelikan bensin bila
pemegang barang gadaian berupa kendaraan. Jadi yang di bolehkan disini adalah
adanya upaya pemeliharaan terhadap barang gadaian yang ada pada dirinya.

2.6 Pandangan Ulama Mengenai Rukun gadai


Rukun gadai menurut Abd al-Rahman al-Jaziri ada tiga yaitu Aqid, Maqud alaih
(yang diakadkan), Shighat (akad gadai). Ibnu Rusyd dalam kitabnya menjabarkan
secara detil mengnai rukun gadai beserta pendapat para imam madzhab. Ia mengatakan
rukun gadai terdiri dari tiga bagian:

1. Orang yang menggadaikan

Tidak ada perselsihan bahwa di antara sifat-sifat orang yang menggadaikan


adalah mahjur alaih dan dikenal sebagai biasa melunasi hutang. Washi (orang yang
dipesan untuk mengurus wasiat) boleh menggadaikan untuk kepentingan orang yang
berada dalam kekuasaanya manakala tindakan tersebut untuk melunasi hutang dan
memang diperlukan, pendapat ini dikemukakan oleh imam Malik.

Menurut Syafi’i, washi dibolehkan menggadaikan karena ada kepentingan yang


jelas. Menurut Malik, budak mukatab (budak yang berupaya memerdekakan dirinya
dengan cara mencicil) dan orang yang diberi izin boleh menggadaikan. Menurut
Sahnun, jika seseorang menerima gadai karena harta yang dihutangkan maka hal itu
tidak boleh, maka dalam hal ini Syafi’i juga mengemukakan pendapat yang sama.

Malik dan Syafi’i sependapat bahwa orang bangkruttidak boleh menggadaikan,


namun Abu Hanifah membolehkan bersamaan dengan itu tidak ada pendapat yang
tegas dari Malik berkenaan dengan orang yang habis hartanya karena hutang, apakah ia
boleh menggadaikan? Dalam arti, apakah perbuatannya itu mengikat atau tidak?
Menurut pendapat Malik yang terkenal ia tidak boleh menggadaikan, yakni sebelum ia
menjadi bangkrut.

2. Akad gadai

Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa transaksi gadai itu bisa sah dengan
memenuhi tiga syarat. Pertama, harus berupa barang, karena hutang tidak bisa

16
digadaikan. Kedua, kepemilikan barang yang digadaikan tidak terhalang, seperti
mushaf. Malik membolehkan penggadaikan mushaf, tetapi penerima gadai dilarang
membacanya. Perselisihan dalam hal ini berpangkal pada jual beli. Ketiga, barang yang
digadaikan bisa dijual manakala pelunasan hutang itu sudah jatuh tempo.

Menurut imam Malik menggadaikan barang yang tidak boleh dijual, itu boleh,
seperti tanaman tani dan buah-buahan yang belum layak dipetik. Jika sudah layak
dipetik, maka menurut Malik boleh dijual untuk melunasi hutang yang sudah jatuh
tempo. Tentang penggadaian buah yang belum layak dipanen, dari Syafi’i ada dua
pendapat, boleh menggadaikan, dan jika masa hutang sudah jatuh tempo, maka buah
tersebut bisa dijual dengan syarat dipetik. Menurut Abu Hamid, pendapat yang paling
benar adalah yang membolehkan. Bagi Malik menggadaikan barang yang belum jelas
nilainya seperti dinar dan dirham yang sudah dicetak, itu boleh.

Menurut Malik dan Syafi’i, kepemilikan penggadai atas barang yang digadaikan
tidak menjadi syarat gadai. Bahkan keduanya membolehkan barang gadaian itu
berstatus pinjaman. Para fuqaha sepakat bahwa di antara syarat gadai adalah ikrar
penggadaian bahwa barang gadaian harus berada di tangan penerima gadaian.
Kemudian mereka berselisih pendapat apabila penerima gadai menerima barang
tersebut dengan cara merampas, kemudian orang yang dirampas barangnya itu
menyatakan barang tersebut sebagai barang gadai an yang ada di tangannya. Dalam hal
ini imam Malik membolehkan pemindahan barang yang dirampas itu dari tanggungan
ghashab menjadi tanggungan gadai. Orang yang dirampas barangnya itu menganggap
barangnya tersebut sebagai barang gadai di tangan perampas, sebelum ia menerima
barang itu.

Berbeda dengan Malik, maka menurut Syafi’i, tidak boleh, bahkan barang itu
tetap berada dalam tanggungan ghashab, kecuali jika orang yang dirampas menerima
kembali barangnya. Dalam kaitan ini pula fuqaha pun berselisih pendapat tentang
penggadaian bagian barang dari milik bersama. Menurut Abu Hanifah tidak boleh,
tetapi menurut Malik dan Syafi’i boleh.

3. Barang yang digadaikan

Aturan pokok dalam madzhab Maliki bahwa gadai itu dapat dilakukan untuk
semua barang yang berharga dan dapat diperjual belikan kecuali jual beli mata uang itu

17
harus tunai. Karena itu, sharf tidak bisa menjadi transaksi gadai. Begitu pula modal
salam, meski pun menurut Malik, lebih ringan dibanding sharf.

Sekelompok fuqaha zahiri berpendapat bahwa akad gadai hanya berlaku pada barang
pesanan. Demikian itu karena ayat yang berkenaan dengan gadai itu menjelaskan posisi
utang piutang barang dagangan, dan menurut mereka, itu transaksi pesanan.

Menurut madzhab Maliki dibolehkan mengambil gadai pada salam hutang,


ghashab harga barang-barang konsumsi, denda tindak kriminal pada harta benda, serta
pada tindak penganiayaan secara sengaja yang tidak ada qishashnya, seperti al-
Ma’mumah dan al-Jaifah.

Gadai juga dibolehkan pada barang pinjaman yang diboleh tanggungan dan
tidak dibolehkan pada barang pinjaman yang tidak di bawah tanggungan. Gadai juga di
bolehkan pada sewa menyewa. Dibolehkan pula pada upah jasa sesudah bekerja, bukan
sebelumnya. Demikian pula gadai bisa diadakan pada mas kawin tetapi tidak boleh
pada hudud, qishash atau proses kemerdekaan budak.

Dalam hubungan ini menurut pendapat ulama Syafi’iyah, barang yang


digadaikan itu memiliki tiga syarat. Pertama, berupa hutang karena barang hutangan itu
tidak dapat digadaikan. Kedua, menjadi tetap, karena sebelum tetap tidak dapat
digadaikan, seperti jika seseorang menerima gadai dengan imbalan sesuatu dengan
yang dipinjamnya. Tetapi Malik membolehkan hal ini. Ketiga, barang yang digadaikan
tidak sedang dalam proses pembayaran yang akan terjadi, baik wajib atau tidak seperti
gadai dalam kitabah. Pendapat ini mirip dengan madzab Maliki.

2.7 Perbedaan dan Persamaan Gadai Syariah dan Gadai Konvesonal  


1.      pengertian 

a. Pegadaian Syari’ah

Gadai dalam fiqh gadai (rahn) adalah prjanjian suatu barang sebagai
tanggungan hutang, atau menjadikan suatu benda bernilai menutrut pandangan
syara sebagai tanggungan pinjaman, sehingga dengan adanya tanggungan
utang ini seluruh atau sebagian utang dapat diterima.

b. Pegadaian Konvensional

18
Pegadaian Konvensional (Umum) adalah suatu  hak yang diperbolehkan
seseorang yang mempunyai pitutang atas suatu barang bergerak, yang
diserahkan kepadanya oleh seorang yang berutang atau oleh orang lain atas
nama orang yang mempunyai utang, dan yang memberikan kekuasaan kepada
orang yang berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut
secara didahulukan daripada orang yang berpiutang lainnya, dengan
pengecualian biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelematankanya setelah
barang itu digadaikan.

2.8 Persamaan Gadai Konvensional dengan Gadai Syariah


            Persamaan gadai konvensional dengan gadai syariah adalah seperti
berikut:

1. Hak gadai berlaku atas pinjaman uang;


2. Adanya agunan (barang jaminan) sebagai jaminan utang;
3. Barang yang digadaikan di tanggung pemberi gadai;
4. Apabila batas waktu pinjaman uang telah habis , barang yang di gadaikan bole
di jual atau di lelang

2.9 Perbedaan gadai syariah dengan gadai konvensiaonal


Perbedaan gadai syariah dengan gadai konvensional adalah sebagai berikut:
1. Gadai syariah dilakukan secara suka rela tanpa mecari keuntungan,
seadangakn gadai konvensional dilakukan dengan prinsip tolong- menolong
tetapi juga menarik keuntungan.
2. Hak gadai syariah berlaku pada seluruh harta (beda bergerak dan benda tidak
bergerak)
3. Gadai syariah dilaksanakan melakukan suatu lembaga, sedangkan gadai
konvensional dilaksanakan melalui suatu lembaga (perum pegadaian)

3.1 Perlakuan Bunga dan Riba dalam Perjanjian Gadai


Aktivitas perjanjian gadai yang selama ini telah berlaku, yang pada dasranya
adalah perjanjian utang-piutang, dimungkinkan terjadi riba yang dilarang oleh syara’.
Riba terjadi apabila dalam perjanjian gadai ditemukan bahwa harus memberikan
tambahan sejumlah uang atau prosentase tertentu dari pokok utang, pada waktu
membayar utang atau pada waktu lain yang telah ditentukan oleh murtahin ( ‫) مرتحن‬.

19
Hal ini lebih sering disebut bunga gadai dan perbuatan yang dilarang syara’. Karena
itu aktivitas perjajian gadai dalam Islam tidak membenarkan adanya praktik
pemungutan bunga karena larangan syara’, dan pihak yang terbebani, yaitu pihak
penggadai akan merasa dianiaya dan tertekan, karena selain harus mengembalikan
utangnya, dia juga masih berkewajiban untuk membayar bunganya.

Kondisi saat ini, gadai sudah menjadi lembaga keuangan formal yang telah
diakui oleh pemerintah. Mengenai fungsi dari penggadaian tersebut tentu sudah
bersifat komersil. Artinya pegadaian harus memperoleh pendapatan guna
menggantikan biaya-biaya yang telah dikeluarkan, sehingga pegadaian mewajibkan
menambahkan sejumlah uang tertentu kepada nasabah sebagai imbalan jasa. Minimal
biaya itu dapat menutupi biaya operasional gadai. Gadai yang ada saat ini, dalam
praktiknya menunjukkan adanya beberapa hal yang dipandang memberatkan dan
mengarahkan kepada suatu persoalan riba, yang dilarang oleh syara’ menurut A.A.
Basyir.

Mengenai riba itu, Afzalurahman dalam Muhammad Skholikhul Hadi, memberikan


pedoman bhwa yang dikatakan riba, di dalamnya terdapat tiga unsur berikut

1) Kelebihan dari pokok pinjaman


2) Kelebihan pembayaran itu sebagai imbalan tempo pembayaran;
3) Sejumlah tambahan itu di syaratkan dalam transaksi

20
BAB III

PENUTUP
Kesimpulan
Ijarah (persewaan) yaitu suatu akad yang berkaitan dengan pemanfaatan barang yang
dikehendaki yang telah diketahui penggunaannya. Barang tersebut dapat diserahkan
kepada penyewa dengan ongkos yang jelas atau pasti. Akada persewaan ini adalah akad
yng tetap, artinya kedua orang yang melakukan akad sewa-menyewa ini tidak boleh
menghentikan akad sekehendaknya, kecuali setelah selesai atau habis waktunya menurut
perjanjian yang telah ditetapkan. Dasar akad ijarah ini adalah Al-Qu’an, hadits, dan
ijma’.
Rahn adalah “Menjadikan suatu benda sebagai jaminan hutang yang dapat dijadikan
pembayar ketika berhalangan dalam membayar hutang”,
Rahn termasuk akad yang bersifat ‘ainiyah, yaitu dikatakan sempurna apabila sudah
menyerahkan benda yang dijadikan akad, seperti hibah, pinjam meminajam, titipan dan
qirad.

21
DAFTAR PUSTAKA
Ash Shiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi.1904. Pengantar Fiqh Mu’amalah. Jakarta: PT.
Pustaka Rizqi Putra.

Harisudin, Noor. 2014. Fiqh Muamalah 1. Surabaya: CV. Putra Salsabila Pratama.

Syafe’I, Rachmat. 2001. Fiqh Muamalah. Bandung: CV. Pustaka Setia.

Hendi Suhendi Fiqih Muamalah, Cet.I, PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.2005

Rahmat Syafei, Fiqih Muamalah, Pustaka Setia. Bandung. 2006

22

Anda mungkin juga menyukai