Anda di halaman 1dari 25

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kredit Perbankan

1. Pengertian

Perkataan bank dalam kehidupan dewasa ini bukanlah merupakan

sesuatu yang asing lagi. Bank tidak hanya menjadi sahabat masyarakat

perkotaan, tetapi juga masyarakat pedesaan.23

Sedangkan menurut UU No. 10 Tahun 1998 yang merupakan

penyempurnaan dari UU No. 7 Tahun 1992 dalam pasal 1 butir 2

menyebutkan bahwa :

“bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat


dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam
bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka
meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.”

Dari beberapa pengertian mengenai pengertian bank tersebut di atas,

maka dapat disimpulkan unsur-unsur bank antara lain :

1. Bank adalah perusahaan yang berhubungan dengan uang;

2. Badan adalah suatu badan hukum;

3. Bank merupakan lembaga keuangan yang memberikan kredit dan

jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang dan

4. Bank menghimpun dana dan menyalurkan dana

23 Edy Putra Tje Aman., Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis, Liberty, Yogyakarta, 1986,
hlm. 27
Bahwa salah tugas pokok Bank adalah memberikan kredit. Kredit

berasal dari perkataan credere yang berarti kepercayaan. Hal ini membuktikan

bahwa pada awalnya konsep pemberian kredit adalah kepercayaan, bank

percaya bahwa debiturnya layak diberikan kredit dan nasabah percaya bahwa

bank komitmen untuk menyalurkan kredit. Dimana berdasarkan Undang-

undang Perbankan No. 10 Tahun 1998:

”Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamaka


dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam
meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak
peminjam melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan
pemberian bunga”

Kredit adalah Pemberian fasilitas pinjaman (bukan berdasarkan prinsip

syariah) kepada nasabah, baik berupa pinjaman tunai (cash loan) maupun

pinjaman non tunai (non-cash loan).24

Jika hubungan kredit ditinjau dari segi bank, maka sudah seyogyanya

bank akan selalu menuntut adanya jaminan atas kredit yang diberikan, dengan

maksud untuk menghindarkan kemungkinan timbulnya resiko, apabila di

kemudian hari si debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya. Pada pasal 24

ayat 1 Undang-undang Pokok Perbankan 10 tahun 1998, dinyatakan bahwa

bank-bank umum dilarang memberikan kredit tanpa jaminan kepada siapapun

juga. Penyerahan uangnya "sendiri" adalah bersifat riil. Pada saat penyerahan

uang dilakukan, barulah berlaku ketentuan yang dituangkan dalam model

perjanjian kredit pada kedua belah pihak.

24
Budisantoso Totok, Triandaru Sigit. Bank dan Lembaga Keuangan Lain. Jakarta : Salemba
Empat. 2006. Hlm. 113
2. Fungsi dan tujuan kredit

Fungsi kredit bagi masyarakat, antara lain dapat:

a. Menjadi motivator dan dinamisator peningkatan kegiatan perdagangan

dan perekonomian.

b. Memperluas lapangan kerja bagi masyarakat

c. Memperlancar arus barang dan arus uang

d. Meningkatkan hubungan internasional (L/C, CGI, dan lain lain).

e. Meningkatkan produktivitas dana yang ada.

f. Meningkatkan daya guna (utility) barang.

g. Meningkatkan kegairahan berusaha masyarakat.

h. Memperbesar modal kerja perusahaan.

i. Meningkatkan income per capita (IPC) masyarakat.

j. Mengubah cara berfikir/bertindak masyarakat untuk lebih ekonomis.

Tujuan penyaluran kredit, antara lain adalah untuk:

a. Memperoleh pendapatan bank dari bunga kredit.

b. Memanfaatkan dan memproduktifkan dana-dana yang ada.

c. Melaksanakan kegiatan operasional bank.

d. Memenuhi permintaan kredit dari masyarakat.

e. Memperlancar lalu lintas pembayaran.

f. Menambah modal kerja perusahaan.

g. Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.


3. Fraud dalam Perkreditan Perbankan

Fraud (kecurangan) dalam bank adalah fraud yang dilakukan dalam

lingkup perbankan dengan memanfaatkan segala macam fasilitas dan

sarana yang terkait dengan dunia perbankan.25 Secara umum, fraud yang

termasuk sebagai kejahatan dalam bank, jenisnya dapat dibedakan

berdasarkan sifatnya, yakni fraud oleh bank dan fraud terhadap bank.

Terkait pemberian kredit, fraud terjadi baik oleh pihak internal, eksternal,

maupun oleh gabungan keduanya. Oleh pihak internal, fraud dapat

dilakukan dalam bentuk pemberian kredit dalam jumlah besar tanpa

dipersyaratkan adanya agunan. Oleh pihak eksternal, contohnya adalah

pada fraud kartu kredir di mana pelakunya dengan sengaja menggunakan

identitas palsu dan dengan sengaja pula tidak membayar tagihan kartu

kreditnya. Sedangkan oleh keduanya dapat dilakukan oleh kedua pihak

tersebut dengan saling bekerja sama. Contohnya adalah pemberian kredit

nominee dan penerimaan suap oleh pihak internal terkait pemberian kredit

dengan jumlah besar.26

Sejak tahapan permohonan kredit oleh calon nasabah debitur,

dikabulkan serta diberikannya kredit yang dimohonkan tersebut oleh bank

yang bersangkutan, fraud-fraud dalam perbankan sebagaimana yang telah

diuraikan sebelumnya di atas selalu saja mungkin untuk terjadi dalam

proses pemberian kredir perbankan. Berikut ini adalah potensi-potensi

25
Stephen Pedneault, Fraud 1010: Techniques and Stratefies for Understanding Fraud. Edisi
ketiga. (New Jersey: John Wiley & Sons Inc). 2009. Hlm.4
26
Migdad, Muhammad. Mengungkap praktek kecurangan (Fraud) Pada Korporasi dan Organisasi
Publik Melalui Audit Forensik”. Jurnal Ilmu Ekonomi Vol.3 No. 2. Mei. 2008.
terjadinya fraud-fraud perbankan yang khusus dalam bidang

perkreditannya ditinjau berdasarkan tahapan-tahapan dari pemberian kredit

itu sendiri.

1) Permohonan kredit

Dalam pemberian perkreditan, permohonan kredit merupakan

tahapan yang pertama sebelum akhirnya kredit diberikan oleh bank

yang bersangkutan. Mulai dari tahapan inilah calon nasabah debitur

harus menunjukkan iktikad baiknya dengan memberikan segala data

yang dibutuhkan oleh bank mengenai dirinya dengan jujur. Pemberian

segala data calon nasabah debitur yang dimaksud disini adalah dengan

cara mengisi segala isian yang diajukan bank kepadanya.

Mulai dari tahap ini pula Fraud dapat dilakukan oleh calon

nasabah debitur yang menginginkan permohonan krediturnya dipenuhi

bank, sedangkan di lain sisi, segala informasi yang akan nasabah

debitur berikan tentu akan menjadi pertimbangan bank yang

bersangkutan.

2) On the spot (cek lapangan) dan analisis kredit

Setelah seluruh berkas isian dan wawancara awal dengan calon

nasabah debitur dilakukan, tahapan kedua dari pemberian kredit oleh

bank adalah pelaksanaan on the spot serta analisis terhadap data-data

calon nasabah debitur yang telah bank peroleh di tahap awal. Fraud

dalam tahapan ini kemungkinan besar dilakukan oleh calon nasabah

debitur secara bersama-sama dengan pihak dalam bank. Adapun bentuk


fraud dalam tahapan ini biasanya adalah praktik suap yang dilakukan

calon nasabah debitur agar analis kredit yang bersangkutan mau

meloloskan permohonan kreditnya dalam tahap on the spot.

Tidak hanya itu, terdapat pula kemungkinan fraud dalam tahapan

ini yang dilakukan oleh pihak dalam bank itu sendiri. Misalnya adalah

penyidikan dan analisis berkas-berkas permohonan kredit yang tidak

sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) bank yang

bersangkutan. Hal ini tentu mengakibatkan analisis terhadap berkas-

berkas tersebut menjadi tidak komprehensif.

3) Pemberian keputusan atas permohonan kredit

Sama halnya dengan tahapan penyidikan dan analisis kredit yang

dimohonkan, dalam tahap ini fraud yang kemungkinan besar dapat

terjadi adalah fraud yang dilakukan secara bersama-sama oleh calon

nasabah debitur dan juga pihak dalam bank. Bentuknya selain dapat

berupa dilakukannya praktik suap, dapat juga berupa praktik nepotisme

yang dilakukan oleh pejabat terkait urusan pemberian kredit dari bank

yang bersangkutan, yakni dengan memberi keputusan dapat

dikabulkannya permohonan kredit dari calon nasabah debitur yag

memiliki hubungan saudara dengan pejabat bank tersebut, meskipun

sesungguhnya calon nasabah debitur tersebut tidaklah layak untuk

dikabulkan permohonan kreditnya.


4) Pencairan fasilitas kredit yang dimohonkan

Setelah permohonan kredit disetujui, barulah fasilitas kredit yang

calon nasabah debitur mohonkan dapat dicairkan. Dalam tahapan ini,

fraud dapat dikatakan paling besar kemungkinan dilakukan oleh pihak

dalam bank. Hal ini disebabkan oleh posisi pejabat bank yang dapat

dikatakan lebih di atas dari nasabah debitur dalam hal informasi

pemberian kredit di bank yang bersangkutan. Jadi apabila nasabah

debitur tersebut dan memotong uang fasilitas kredit yang telah disetujui

oleh bank dengan alasan biaya administrasi dan biaya lain-lain yang

sebenarnya sama sekali tidak ada di peraturan internal bank yang

bersangkutan melainkan hanya untuk memperkaya diri pejabat bank

yang melakukan fraud tersebut.

5) Pelunasan fasilitas kredit oleh nasabah debitur

Tahapan pelunasan merupakan tahapan terakhir dalam suatu

permohonan kredit. Dalam tahapan ini, fraud mungkin saja dilakukan

baik oleh nasabah bahwa sebagian besar fraud dalam tahap ini

dilakukan oleh pihak dalam bank (pekerja dari bank) pemberi kredit

yang bersangkutan. Fraud yang dilakukan oleh nasabah debitur, contoh

bentuknya adalah keengganan nasabah debitur untuk melunasi kredit

yang telah diberikan bank kepadanya meskipun sebenarnya dirinya

telah berada dalam keadaan mampu untuk melunasi kredit tersebut.

Di sisi lain, fraud yang dilakukan oleh pekerja bank yang juga

sudah banyak terjadi adalah adanya penggelapan uang hasil tagihan


kredit dari nasabah debitur oleh pekerja bank yang bersangkutan, baik

yang memang menjabat sebagai Account Officer (AO) bagi pemberian

kredit tersebut maupun pekerja bank lain yang bukan AO dari kredit

tersebut. Modusnya adalah pekerja bank tersebut akan mendatangi

nasabah debitur ketika masuk tanggal periode pembayaran angsuran

dan meminta langsung angsuran tersebut dengan alasan mempermudah

nasabah debitur dalam membayar kreditnya.

B. Kejahatan Perbankan

Tidak terdapat suatu definisi yang seragam tentang kejahatan

perbankan. Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah

dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (selanjutnya

disebut UU Perbankan) tidak memberikan defisini tertentu tentang kejahatan

perbankan. Di AS bank fraud diartikan sebagai the criminal offence of

knowingly executing, or attempting to execute, a scheme or artifice to defraud

a financial instittution, or to obtain property owned by or under the control of

financial institution, by means of false or fraudulent pretenses, representations

or promises3 Meski tidak memberikan definisi tentang kejahatan perbankan,

UU Perbankan menetapkan tiga belas macam tindak pidana yang diatur mulai

dari pasal 46 sampai dengan Pasal 50A. Ketiga belas tindak pidana itu dapat

digolongkan ke dalam empat macam:

1. Tindak pidana yang berkaitan dengan perizinan

2. Tindak Pidana yang berkaitan dengan rahasia bank


3. Tindak pidana yang berkaitan dengan pengawasan dan pembinaan

4. Tindak pidana yang berkaitan dengan usaha bank.

1. Kejahatan Yang Berkaitan Dengan Perizinan

Industri perbankan dikenal sebagai industri yang sarat dengan

aturan (heavily regulated industry). Untuk menjalankan usaha bank

dibutuhkan ijin dari regulator dengan persyaratan ketat. Melakukan

kegiatan usaha bank sebelum mendapatkan ijin dari Bank Indonesia

dikategorikan sebagai tindak pidana. Tindak pidana ini disebut dengan

tindak pidana bank gelap. Pasal 46 ayat (1) UU Perbankan mengancam

barang siapa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan

tanpa izin usaha dari pimpinan Bank Indonesia diancam dengan pidana

penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima

belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya 10.000.000.000,00 (sepuluh

miliar rupiah) dan paling banyak 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar

rupiah). Ketentuan ayat (2) menyebutkan, bahwa dalam hal kegiatan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh badan hukum yang

berbentuk perseroan terbatas, perserikatan, yayasan atau koperasi, maka

penuntutan terhadap badan-badan dimaksud dilakukan baik terhadap

mereka yang memberi perintah melakukan perbuatan itu atau yang

bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-

duanya. Ketentuan ini satu-satunya ketentuan dalam UU Perbankan yang

mengenakan ancaman hukuman terhadap korporasi dengan menuntut

mereka yang memberi perintah atau pimpinannya.


Ketentuan Pasal 46 ayat (1) sering menimbulkan permasalahan

yaitu: Pertama, apakah yang dimaksud dengan “menghimpun dana dari

masyarakat”. Kedua, apakah simpanan yang dimaksudkan dalam pasal ini

hanya berupa giro, tabungan, deposito dan sertifikat deposito atau juga

meliputi bentuk lain yang dipersamakan dengan itu. Ketiga, apakah si

pelaku harus menggunakan nama bank atau tidak. Jawaban atas

pertanyaan di atas dapat dilihat pada putusan pengadilan yang menerapkan

Pasal 46 yaitu dalam kasus PT BMA yang berkedok sebagai usaha Multi

Level Marketing. PT BMA menghimpun dana dari masyarakat dalam

bentuk yang kurang jelas. Kepada penyimpan dana diberikan seperangkat

tekstil dan atau hak untuk meminjam sejumlah uang. Menurut Bank

Indonesia, MLM ini telah melakukan kegiatan bank gelap yang melanggar

Pasal 46 UU Perbankan. Pendapat diterima oleh pengadilan.

2. Kejahatan Yang Berkaitan Dengan Rahasia Bank

Bank dikenal sebagai lembaga kepercayaan. Untuk menjaga

kepercayaan tersebut diberlakukan ketentuan rahasia bank yang

pelanggaran atasnya diancam dengan pidana penjara. Pasal 47 ayat (1) UU

Perbankan menyebutkan bahwa barang siapa tanpa membawa perintah

tertulis atau izin dari pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 41, Pasal 41A, dan Pasal 42, dengan sengaja memaksa bank

atau Pihak Terafiliasi untuk memberikan keterangan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 40, diancam dengan pidana penjara sekurang-

kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda
sekurang-kurangnya Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan

paling banyak Rp. 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).

Ayat (2) Anggota Dewan Komisaris, Direksi, pegawai bank atau

Pihak Terafiliasi lainnya yang dengan sengaja memberikan keterangan

yang wajib dirahasiakan menurut Pasal 40, diancam dengan pidana penjara

sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta

denda sekurang-kurangnya Rp. 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah)

dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).

Pasal 47A. UU Perbankan menyebutkan bahwa Anggota Dewan

Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak

memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 42A dan Pasal 44A, diancam dengan pidana penjara

sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun serta

denda sekurang-kurangnya Rp. 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah)

dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

3. Kejahatan Yang Berkaitan Dengan Pengawasan Dan Pembinaan Bank

Pasal 48 ayat (1) UU Perbankan menyebutkan bahwa Anggota

Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak

memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2),

diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan

paling lama 10 (sepuluh) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.


5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.

100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

Ayat (2) UU Perbankan menyebutkan bahwa, Anggota Dewan

Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang lalai memberikan keterangan

yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dan

ayat (2) dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana

kurungan sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun dan paling lama 2 (dua)

tahun dan atau denda sekurang-kurangnya Rp. 1.000.000.000,00 (satu

miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar

rupiah).

4. Kejahatan Yang Berkaitan Dengan Usaha Bank

Pasal 49 ayat (1) UU Perbankan menyebutkan bahwa, Anggota

Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja :

a. membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam

pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan

kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank;

b. menghilangkan atau tidak memasukkan atau menyebabkan tidak

dilakukannya pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan,

maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi

atau rekening suatu bank;

c. mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau

menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam

laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan


transaksi atau rekening suatu bank, atau dengan sengaja mengubah,

mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan atau merusak catatan

pembukuan tersebut,

diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan

paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.

10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp.

200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).

C. Korupsi

Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dapat dijumpai dimana-

mana. Sejarah membuktikan bahwa hampir tiap negara diperhadapkan pada

masalah korupsi. Tidak berlebihan jika pengertian korupsi selalu berkembang

dan berubah sesuai dengan perubahan jaman.

Menurut Fockema Andrea, sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah

istilah korupsi berasal dari perkataan latin “corruptio” atau menurut Webstern

Student Dictionary sebagaimana dikutip Andi Hamzah berasal dari istilah

“corruptus”, yang berarti kerusakan atau kebobrokan.27

Disamping itu istilah korupsi di beberapa negara, dipakai juga untuk

menunjukkan keadaan dan perbuatan yang busuk. Korupsi banyak dikaitkan

dengan ketidak jujuran seseorang dibidang keuangan. Banyak istilah

dibeberapa negara ‘gin moung’ (Moang Hadi) yang berarti ‘makan bangsa’ ,

27 Andi Hamzah, Korupsi Di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 1991, hlm. 7
‘tanwu’ yang berarti ‘keserakahan bernoda’, ashoku (Jepang) yang berarti

‘kerja kotor’28

Dalam kamus besar bahasa Indonesia yang dikeluarkan Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan, diartikan dengan ‘korupsi’ sebagai

penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan dan

sebagainya untuk keuntungan pribadi atau orang lain.29

Makna korupsi berkembang dari waktu ke waktu sebagai pencerminan

kehidupan masyarakat dari sisi negatif. Semua istilah korupsi merupakan

istilah yang banyak dipakai dalam ilmu politik kemudian menjadi sorotan

berbagai disiplin ilmug

D. Tindak Pidana Dan Unsur-Unsurnya

Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana istilah tindak pidana ini

merupakan salah satu istilah dasar yang merupakan pengertian hukum, di

samping pertanggungjawaban pidana.

“Tindak Pidana” adalah istilah dan terjemahan ke dalam Bahasa


Indonesia dari istilah Bahasa Belanda “Strafbaar feit” atau “Delict”
Hukum Pidana negara-negara Anglo Saxon memakai istilah “Offence”
atau “Criminal Act” untuk maksud yang sama”30

Beberapa terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia yakni “Peristiwa

Pidana”, serta “Tindak Pidana”, dan lain sebagainya

28. Sudarto, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Dalam Hukum dan Hukum Pidana, Alumni,
Bandung, hlm 122
29 Leden Marpaung, Tindak Pidana Korupsi, Masalah dan Pemecahannya, Sinar Grafika, Jakarta,
1992 hlm. 149
30
Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1991, hlm. 64.
Mr. Drs. E. Utrecht misalnya menganjurkan dipakainya istilah
“Peristiwa Pidana”, karena istilah ‘peristiwa’ itu meliputi suatu
perbuatan (‘handelen’ atau ‘doen’ = positif) atau suatu melalaikan
(‘verzuim’ atau ‘nalaten’, ‘nietdoen’ = negatif) maupun akibatnya (=
keadaan yang ditimbulkan oleh karena perbuatan atau melalaikan itu).31

Penganjur istilah “Peristiwa Pidana” antaranya ialah Mustafa Abdullah,

SH. Menurut Mustafa Abdullah, SH dan Ruben Achmad, SH,

“bahwa istilah “Peristiwa Pidana” ini adalah sebagai terjemahan dari


istilah Bahasa Belanda “Strafbaar feit” atau “Delict”. Disebutkan bahwa
dari beberapa istilah tersebut di atas yang paling tepat adalah istilah
“Peristiwa Pidana” karena yang diancam dengan pidana bukan saja
yang berbuat atau bertindak tetapi juga yang tidak berbuat (melanggar
suruhan/geboed) atau tidak bertindak.”32

Menurut Purnadi Purbacaraka, SH, istilah ini tepat, karena menurutnya

“Peristiwa Pidana” ialah suatu delik itu di samping berwujud sebagai suatu

perbuatan dapat juga berwujud sebagai suatu kejadian atau peristiwa yang

harus dipertanggungjawabkan karena merugikan pihak lain.33

Istilah lainnya yang populer ialah “Perbuatan Pidana”, yakni istilah

yang dirumuskan oleh Prof. Moeljatno, SH, pada Pidato Ilmiah/Orasi Ilmiah

di dalam rangka Dies Natalis Ke-6 Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta

tahun 1955. Prof. Moeljatno, SH, mengemukakan pendapatnya tentang istilah

“perbuatan Pidana”, sebagai berikut:

“bahwa jika menghadapi suatu kata majemuk perbuatan pidana, pokok


pengertian harus mengenai kata yang pertama, di sini perbuatan dan tak
mungkin mengenai orang yang melakukan perbuatan, yaitu disebabkan

31 E. Utrecht, Hukum Pidana I, Pustaka Tinta Masyarakat, Surabaya, 1986, hal. 251

32
Mustafa Abdullah; Ruben Achmad, Intisari Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hal.
25

33
A. Ridwan Halim, Hukum Pidana Dalam Tanya Jawab, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986, hal. 32.
karena orang yang melakukan perbuatan tidak disebut di situ, sekalipun
harus diakui kebenaran ucapan Van Hattum, bahwa antara perbuatan
dan orang yang berbuat ada hubungan yang erat dan tak mungkin
dipisah- pisahkan. Maka dari itu perbuatan pidana dapat diberi arti
perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, barang siapa
melanggar larangan tersebut”.34

Pandangan dan kritikan Prof. Moeljatno, SH, tentang istilah “Peristiwa

Pidana”, di mana beliau mengemukakan kurang tepat jika untuk pengertian

yang abstrak itu digunakan istilah “Peristiwa” sebagaimana halnya dalam

Pasal 14 ayat 1 UUD Sementara dahulu, yang memakai istilah “Peristiwa

Pidana”. Sebab peristiwa itu adalah pengertian yang konkrit, yang hanya

menunjuk kepada suatu kejadian yang tertentu saja, misalnya : matinya orang.

Lebih lanjut Prof. Moeljatno, SH, mengemukakan sebagai berikut :

“Peristiwa ini saja tak mungkin dilarang. Hukum pidana tidak melarang
adanya orang mati, tetapi melarang adanya orang mati karena
perbuatannya orang lain. Jika matinya orang itu karena keadaan alam
entah karena penyakit, entah karena sudah tua, entah karena tertimpa
pohon yang roboh ditiup angin puyuh, maka peristiwa itu tidak penting
sama sekali bagi hukum pidana. Juga tidak penting, jika matinya orang
itu karena binatang. Baru apabila matinya ada hubungan dengan
kelakuan orang lain, di situlah peristiwa tadi menjadi pening bagi
hukum pinada”35

Sedangkan istilah “Tindak Pidana” pun tidak luput dari kritikan Prof.

Moeljatno, SH, yang mengemukakan, karena tumbuhnya dari pihak

kementerian Kehakiman (sekarang Departemen Kehakiman), sering dipakai

dalam perundang- undangan. Meskipun demikian, pemakaian istilah “Tindak

Pidana” ini sangat meluas serta dominan sekarang ini dalam peraturan

34
Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1978, hal.

35
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, , 1987, hal. 54-55
perundang-undangan pada umumnya, dan perundang-undangan pada

khusunya.

E. Teori Pertanggungjawaban Pidana

Setiap orang yang terbukti melakukan tindak pidana harus

mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut di depan hukum yang

berlaku, karena ia melakukan kesalahan sebagaimana diatur dalam perundang-

undangan. Menurut Barda Nawawi Arief, pertanggungjawaban pidana

mengandung asas kesalahan (asas culpabilitas), yang didasarkan pada

keseimbangan monodualistik bahwa asas kesalahan yang didasarkan pada

nilai keadilan harus disejajarkan berpasangan dengan asas legalitas yang

didasarkan pada nilai kepastian. Walaupun Konsep berprinsip bahwa

pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan, namun dalam beberapa

hal tidak menutup kemungkinan adanya pertanggungjawaban pengganti

(vicarious liability) dan pertanggungjawaban yang ketat (strict liability).

Masalah kesesatan (error) baik kesesatan mengenai keadaannya (error facti)

maupun kesesatan mengenai hukumnya sesuai dengan konsep alasan pemaaf

sehingga pelaku tidak dipidana kecuali kesesatannya itu patut dipersalahkan.36

Pertanggungjawaban pidana diterapkan dengan pemidanaan, yang

bertujuan untuk untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan

menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat menyelesaikan

konflik yang ditimbulkan tindak pidana memulihkan keseimbangan

36
Barda Nawawi Arief. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan.
PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2001. hlm. 23
mendatangkan rasa damai dalam masyarakat memasyarakatkan terpidana

dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang baik dan

membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Pertanggungjawaban pidana merupakan sebuah mekanisme hukum, di

mana seseorang yang melakukan kesalahan harus bertanggungjawab di depan

hukum. Dipidananya seseorang semata-mata didasarkan atas kesalahan yang

ia perbuat, sehingga hanya orang yang bersalah yang harus bertanggungjawab.

Menurut Barda Nawawi Arief, pertanggungjawaban pidana harus

memperhatikan bahwa hukum pidana harus digunakan untuk mewujudkan

masyarakat adil dan makmur merata materiil dan spirituil. Hukum pidana

tersebut digunakan untuk mencegah atau menanggulangi perbuatan yang tidak

dikehendaki. Selain itu penggunaan sarana hukum pidana dengan sanksi yang

negatif harus memperhatikan biaya dan kemampuan daya kerja dari insitusi

terkait, sehingga jangan ada kelampauan beban tugas (overbelasting) dalam

melaksanakannya.37

Kesalahan tersebut terdiri dari dua jenis yaitu kesengajaan (opzet) dan

kelalaian (culpa), sebagai berikut:

1. Kesengajaan (opzet)

Menurut Moeljatno, sesuai teori hukum pidana Indonesia, kesengajaan

terdiri dari tiga macam, yaitu sebagai berikut:

37
Ibid. hlm. 23.
a. Kesengajaan yang bersifat tujuan

Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan, si pelaku dapat

dipertanggungjawabkan dan mudah dapat dimengerti oleh khalayak

ramai. Apabila kesengajaan seperti ini ada pada suatu tindak pidana, si

pelaku pantas dikenakan hukuman pidana. Karena dengan adanya

kesengajaan yang bersifat tujuan ini, berarti si pelaku menghendaki

mencapai suatu akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya

ancaman hukuman ini

b. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian

Kesengajaan ini ada apabila si pelaku, dengan perbuatannya tidak

bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik, tetapi

ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu.

c. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan

Kesengajaan ini yang terang-terang tidak disertai bayangan suatu

kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, melainkan hanya

dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu. Selanjutnya

mengenai kealpaan karena merupakan bentuk dari kesalahan yang

menghasilkan dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan

seseorang yang dilakukannya.38

2. Kelalaian (culpa)

Menurut Moeljatno, kelalaian (culpa) terletak antara sengaja dan

kebetulan, bagaimanapun juga culpa dipandang lebih ringan dibanding

38
Ibid, hlm. 46
dengan sengaja, oleh karena itu delik culpa, culpa itu merupakan delik

semu (quasideliet) sehingga diadakan pengurangan pidana. Delik culpa

mengandung dua macam, yaitu delik kelalaian yang menimbulkan akibat

dan yang tidak menimbulkan akibat, tapi yang diancam dengan pidana

ialah perbuatan ketidak hati-hatian itu sendiri, perbedaan antara keduanya

sangat mudah dipahami yaitu kelalaian yang menimbulkan akibat dengan

terjadinya akibat itu maka diciptalah delik kelalaian, bagi yang tidak perlu

menimbulkan akibat dengan kelalaian itu sendiri sudah diancam dengan

pidana.39

Selanjutnya menurut Moeljatno, syarat-syarat elemen yang harus

ada dalam delik kealpaan yaitu:

a. Tidak mengadakan praduga-praduga sebagaimana diharuskan oleh

hukum, adapun hal ini menunjuk kepada terdakwa berpikir bahwa

akibat tidak akan terjadi karena perbuatannya, padahal pandangan itu

kemudian tidak benar. Kekeliruan terletak pada salah pikir/pandang

yang seharusnya disingkirkan. Terdakwa sama sekali tidak punya

pikiran bahwa akibat perbuatannya. Kekeliruan terletak pada tidak

mempunyai pikiran sama sekali bahwa akibat mungkin akan timbul hal

mana sikap berbahaya

b. Tidak mengadakan penghati-hatian sebagaimana diharuskan oleh

hukum, mengenai hal ini menunjuk pada tidak mengadakan penelitian

39
Ibid. hlm. 48
kebijaksanaan, kemahiran/usaha pencegah yang ternyata dalam

keadaan yang tertentu/dalam caranya melakukan perbuatan

Sesuai dengan penjelasan di atas maka diketahui bahwa seseorang

baru dapat diminta pertanggungjawabannya secara pidana apabila telah

terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana.

Teori pertangungjawaban pidana yang mendasar pada kesalahan,

yaitu:

a. Mezger: Kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberi dasar

untuk adanya pencelaan pribadi terhadap si pembuat tindak pidana.

b. Simons: Sebagai dasar untuk pertanggungjawaban dalam hukum

pidana, ia berupa keadaan psychicsh dari si pembuat dan hubungannya

terhadap perbuatannya, dan dalam arti bahwa berdasarkan keadaan

psychisch itu perbuatnnya dapat dicelakan kepada si pembuat.

c. Pompe: Pada pelanggaran norma yang dilakukan karena kesalahannya,

biasanya sifat melawan hukum itu merupakan segi luarnya. Yang

bersifat melawan hukum itu adalah perbuatannya. Segi dalamnya, yang

bertalian dengan kehendak si pembuat dalam kesalahan.

Berdasarkan teori di atas dapatlah dikatakan, bahwa kesalahan itu

mengandung unsur pencelaan terhadap seseorang yang telah melakukan

tindak pidana. Pencelaan disini bukannya pencelaan berdasarkan

kesusilaan, melainkan pencelaan berdasarkan hukum yang berlaku.

Pemidanaan adalah suatu proses. Sebelum proses itu berjalan,

peranan hakim penting sekali. Hakim mengkonkretkan sanksi pidana yang


terdapat dalam suatu peraturan dengan menjatuhkan pidana bagi terdakwa

dalam kasus tertentu. Dalam Pasal 55 ayat (1) Konsep RUU KUHP 2005

disebutkan pedoman pemidanaan yang wajib dipertimbangkan hakim,

antara lain:

a. Kesalahan pembuat tindak pidana;

b. Motif dan tujuan dilakukannya tindak pidana;

c. Cara melakukan tindak pidana;

d. Sikap batin pembuat tindak pidana;

e. Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pembuat tindak pidana;

f. Sikap dan tindakan pembuat setelah melakukan tindak pidana;

g. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana;

h. Tindak pidana dilakukan dengan berencana;

i. Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban;

j. Pemaafan dari korban dan/atau keluarganya; dan/atau;

k. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.

Pedoman pemidanaan ini akan sangat membantu Hakim dalam

mempertimbangkan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan,

sehingga hal ini akan memudahkan Hakim dalam menerapkan takaran

pemidanaan. Selain itu Hakim dalam menjatuhkan pidana sangatlah

banyak hal-hal yang mempengaruhi, yaitu yang bisa dipakai sebagai bahan

pertimbangan untuk menjatuhkan putusan pemidanaan baik yang terdapat

di dalam maupun di luar Undang-Undang. Hakim mempunyai substansi

untuk menjatuhkan pidana, akan tetapi dalam menjatuhkan pidana tersebut


Hakim di batasi oleh aturan-aturan pemidanaan, masalah pemberian

pidana ini bukanlah masalah yang mudah seperti perkiraan orang, karena

Hakim mempunyai kebebasan untuk menetapkan jenis pidana, cara

pelaksanaan pidana dan tinggi rendahnya pidana. KUHP tidak memuat

pedoman pemberian pidana yang umum, ialah suatu pedoman yang dibuat

oleh pembentuk Undang-Undang yang memuat asas-asas yang perlu

diperhatikan oleh Hakim dalam menjatuhkan pidana, yang ada hanyalah

aturan pemberian pidana.

Salah satu usaha untuk mencapai kepastian hukum dengan

penegakkan hokum secara tegas adalah melalui Kekuasaan Kehakiman,

dimana hakim merupakan aparat penegak hukum yang melalui putusannya

dapat menjadi tolak ukur tercapainya suatu kepastian hokum.

Kekuasaan Kehakiman diatur dalam Undang- Undang Dasar 1945

BAB IX Pasal 24 dan Pasal 25 serta di dalam Undang- Undang Nomor 4

Tahun 2004. Undang- Undang Dasar 1945 menjamin adanya suatu

Kekuasaan Kehakiman yang bebas. Hal itu tegas dicantumkan dalam Pasal

24 terutama dalam penjelasan Pasal 24 ayat (1) Tahun 2004, yaitu :

“ Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka dalam


ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman
bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial,
kecuali hal- hal sebagaimana disebut dalam Undang- Undang Dasar
1945. Karena tugas hakim adalah untuk menegakkan 10ocia dan
keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan
rasa keadilan rakyat Indonesia .”

Kemudian pada Pasal 24 ayat (2) menegaskan bahwa :

“ Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan


badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha hukum, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi. “

Berhubungan dengan kebebasan hakim, perlu pula dipaparkan

posisi hakim yang tidak memihak, Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 2004. Istilah tidak memihak di sini haruslah diartikan

tidak harfiah, karena dalam menjatuhkan putusannya hakim harus

memihak pada yang benar. Dalam hal ini hakim tidak memihak diartikan

tidak berat sebelah dalam pertimbangan dan penilaiannya. Lebih tepatnya

perumusan UU No.4 Tahun 2004 Pasal 5 ayat (1) : “Pengadilan mengadili

menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.”

Seorang hakim diwajibkan untuk menegakkan hukum dan keadilan

dengan tidak memihak. Hakim dalam memberikan suatu keadilan harus

menelaah terlebih dahulu tentang kebenaran peristiwa yang diajukan

kepadanya kemudian hukum penilaian terhadap peristiwa tersebut dan

menghubungkannya dengan hukum yang berlaku. Setelah itu hakim dapat

menjatuhkan putusa terhadap peristiwa tersebut.

Seorang hakim diperbolehkan untuk bercermin pada yurisprudensi

dan pendapat para ahli hukum terkenal (doktrin). Menurut pendapat

Wirjono Projodikoro dalam menemukan hukum tidak berarti bahwa

seorang hakim menciptakan hukum, menurut beliau hakim hanya

merumuskan hokum.

Hakim dalam memberikan putusan tidak hanya berdasarkan pada

undang- undang yang berlaku saja tetapi juga harus berdasarkan nilai- nilai
hukum yang hidup dalam masyarakat, hal ini dijelaskan dalam Pasal 28

ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 yaitu Hakim wajib menggali, mengikuti,

dan memahami nilai- nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.

Putusan hakim harus berdasar penafsiran hukum yang sesuai dengan

rasa keadilan yang tumbuh, hidup, dan berkembang dalam masyarakat,

juga faktor lain yang mempengaruhi seperti faktor budaya, sosial,

ekonomi, politik dan lain- lain. Hakim dalam memberikan putusan

terhadap kasus yang sama dapat berbeda karena antara hakim yang satu

dengan yang lainnya mempunyai cara pandang serta dasar pertimbangan

yang berbeda pula.

Anda mungkin juga menyukai