Disusun Oleh :
1. Miura Dwi Putri Mevia
2. Miranda
Alhamdulillah, puji dan syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT
karena berkat rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Harta dalam Islam”. Adapun makalah ini disusun untuk memenuhi
tugas mata kuliah Akuntansi Syari’ah.
Tidak lupa, kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Abdul Hakim, M.E.
Selaku dosen pengampu mata kuliah Akuntansi Syari’ah yang telah membimbing
kami dalam menjalankan proses pembelajaran ini. Kami berharap dengan di
buatnya makalah ini dapat menambah pengetahuan bagi para pembaca terkait
Akuntansi Syari’ah khususnya mengenai harta dalam islam. Namun, penyusunan
makalah ini pun tidak luput dari kesalahan dan masih terdapat kekurangan. Oleh
karena itu, kami menerima kritik dan saran yang membangun dengan harapan
dapat menjadi perbaikan bagi makalah kami selanjutnya.
Demikian makalah ini kami susun, mohon maaf jika terdapat ketidaksuaian
dalam penulisan maupun dalam materi yang diangkat, kritik dan saran yang
membangun sangat diharapkan, semoga bisa bermanfaat bagi para pembaca serta
bagi kami para penyusun.
Penyusun
I
DAFTAR ISI
II
BAB I
PENDAHULUAN
1
3. Bagaimana kedudukan harta dalam islam?
4. Apa saja pembagian harta dalam islam?
5. Bagaimana pengelolaan harta dalam islam?
1.3 Tujuan
Dari rumusan masalah di atas, adapun tujuannya yaitu sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui pengertian Harta.
2. Untuk mengetahui Unsur-Unsur Harta dalam Islam
3. Untuk mengetahui Kedudukan Harta dalam Islam
4. Untuk mengetahui Pembagian Harta dalam Islam
5. Untuk mengetahui Pengelolaan Harta dalam Islam
2
BAB II
PEMBAHASAN
Menurut Imam Hanafi, harta adalah sesuatu yang digandrungi tabiat manusia,
dapat disimpan dan dimanfaatkan ketika dibutuhkan. Pengikut mazhab Hanafi (Hanafiyah)
membatasi pengertian harta hanyalah sesuatu yang berwujud (a’yan) dan dapat disimpan,
sehingga sesuatu yang tidak berwujud dan tidak dapat disimpan tidak termasuk harta,
seperti hak dan manfaat. Misalnya hak melewati jalan yang berada di tanah orang lain dan
memanfaatkan fasilitas negara.
Defenisi maal menurut ulama hambali ialah apa-apa yang memiliki manfaat yang
mubah untuk suatu keperluan dan atau untuk kondisi darurat.
Imam Syafi‟i berkata bahwa maal ialah barang-barang yang mempunyai nilai
untuk dijual dan nilai harta itu akan terus ada kecuali kalau semua orang telah
meninggalkan memanfaatkannya (tidak berguna lagi bagi manusia). Kalau baru sebagian
3
orang saja yang meninggalkannya, barang itu masih tetap dianggap sebagai harta karena
barang itu mungkin masih bermanfaat bagi orang lain dan masih mempunyai nilai bagi
mereka.
Menurut as-Suyuti yang diambilnya dari pendapat Imam Syafi‟i, tidak ada yang
bisa disebut maal (harta) kecuali apa-apa yang dimiliki, memiliki nilai dan diberi sanksi
bagi orang yang merusaknya. Di sini, Suyuti menegaskan bahwa harta itu mengandung
nilai.
Ibnu Abidin berkata dalam kitab Raad al-Mukhtar ‘ala ad-Durr al-Mukhtarbahwa
yang dimaksud dengan maal ialah segala yang disukai nafsu atau jiwa dan bisa disimpan
sampai waktu ia dibutuhkan. Nilai maal itu ada jika semua orang atau kebanyakan orang
menganggapnya mempunyai nilai(qimah) Adapun arti tamwil (khath) ialah memberikan
atau mengukuhkan nilai pada sesuatu harta atau maal dan boleh mengambil manfaat dari
darinya secara syar‟i.
Secara umum, konsep harta dalam Islam adalah segala sesuatu yang memiliki
nilai legal dan konkret (a'yan) dalam wujudnya, yang umumnya disukai oleh manusia,
dapat dimiliki, disimpan, dan dimanfaatkan sesuai dengan ketentuan syariat Islam.
Meskipun terdapat variasi definisi dari mazhab ke mazhab, harta (ma'al) pada dasarnya
adalah benda atau hewan yang memiliki nilai dan manfaat bagi manusia. Pentingnya harta
diakui dalam hukum Islam, sehingga memiliki keabsahan dalam konteks syariah.
4
Menurut para fuqaha (ahli fikih), konsep harta dalam perspektif Islam memiliki
dasar pada dua unsur utama: unsur "ainiyyah" (konkrit) dan unsur "urf" (kebiasaan atau
kesepakatan masyarakat).
Unsur ini mengacu pada keberadaan fisik atau konkret dari suatu benda atau
harta. Dalam konteks ini, harta dianggap sebagai sesuatu yang nyata dan memiliki
keberadaan fisik yang dapat dirasakan atau diamati. Contohnya adalah barang-barang
seperti tanah, bangunan, uang, kendaraan, dan lain sebagainya. Namun, tidak semua
benda yang memiliki keberadaan fisik dianggap sebagai harta. Misalnya, manfaat dari
sebuah rumah yang dipelihara manusia tidak secara otomatis dianggap sebagai harta,
tetapi lebih kepada status milik atau hak.
5
harta mlikmu dan kemudian berikanlah dari hasil penjualan itu kepada fuqara‟ dan
kemari ikut aku. Maka ketika dirasa berat bagi pemuda itu maka Al-Masih pun berkata.
Sulit bagi orang kaya untuk memasuki kerajaan langit saya katakan juga kepadamu
sesungguhnya masuknya unta ke lubang jarum itu lebih mudah dari pada masuknya orang
kaya ke kerajaan Allah.
Kedua, di dalam beberapa ayat al-Qur‟an harta disebut dengan kata, “Khairan”
yang berarti suatu kebaikan sebagai berikut;
ُْْؤـُر ووَْْْ ّْاَْا ْر وْ فَْر ووَْ قر وَ ّْا ا ا ْ وَْْ وِْ ر وْ ف ّّ وِ َْْ روُ ًْ فُ وُ ْوا فََْْ فوِ ْْ واًْ وق ُْْفْوِْ ْْ واَْْ يًِي ى ْْ واَ ًُْي فُْ فوِ ْْاْ فوِ اَ م
ُِف وْ فَ ْْ ّْا ُ ْ وَُْْر ووا
فّ وِ َْْ روُ ًْا مفَ ل
ْلْ ْف هٖ َْ فُ وْ م
6
Ketiga, kekayaan merupakan nikmat Allah yang diberikan kepada para Rasul-Nya
dan orang-orang yang beriman dan bertaqwa dari hamba-hamba-Nya, Allah
berfirman:
“Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan
kecukupan.” (QS. Ad Dhuha :8)
َ ْ ر وْْف وْ رُْر ْ ًْ ًٌ ًْ ًْ ْْ وْ ُْْروا ا وَ ًْ وُ فِ َْ ا وَ َْ ُْا َْ ْْ وْ َْ َْا فّ فُ وْ يُ َْا ْْا وفَ فَ وَِ ر وْ َْ وْ ُْ ف
ْ ُ وو ي اْاْْس ُْا ا مَ فَ وِْْ يا ّْ رْ اووا فا مْ ًْا ا وَ رًْ فوُْ وروَْ ْْ ِْ م
ْ فُ ه اٖ ا وفَ َ اْا ى َْ افَم ل
ل ْ َْ فُ وْْم َْ فُ وْْم ل ر فّ وِ ًْ و ل
Keempat, harta kekayaan merupakan cobaan atau ujian hidup. Dan sekaligus harta
dapat membawa musibah bagi orang yang berpaling dari-Nya dan kufur terhadap
nikmatnya, Allah SWT berfirman:
لر ل ر ّْ ْث فً ْق وُْْ فً ْْا ْْْو يا فّ ْْ فً سّ وَ ًْ اى مْ فً ْم وُْف وْ ُْا فْ وُ رق ُْا ْْ َْْفا ف ّّ وِ رْ فَّ ُّْْا رَ ًْ ُْ َْ ُْْو ْفا ْ وْْ ر فْ ل
لف ًْا ْ َْا ْق ُْا ل َ ل ْ ُْ َْ ْْ
َْْ ْْْ ر ووَ ْ ف ًْا ْْا رْ ووا ْْ و اَ ا وَ رِ ووِ ف ْْا وَ َْ وو ف
ْ َِْف
“Allah telah membuat suatu perumpamaan sebuah negeri yang dahulu aman
lagi tenteram yang rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari setiap
tempat, tetapi (penduduknya) mengingkari nikmat-nikmat Allah. Oleh karena itu,
Allah menimpakan kepada mereka bencana kelaparan dan ketakutan karena apa
yang selalu mereka perbuat.”(QS. An Nahl : 112)
7
Kelima, Nabi SAW menentukan pandangannya terhadap harta dengan sabdanya
yang ringkas:
status kepemilikan atas harta yang telah dikuasai oleh manusia menurut
ketentuan nash al-Qur‟an adalah sebagai berikut:
1.Harta sebagai amanat dari Allah swt. Karena manusia, dalam bahasa
Einstien tidak akan mampu menciptakan energi; yang mampu manusia lakukan
adalah mengubah dari satu bentuk energi ke bentuk energi lain. Pencipta
energi awal adalah Allah swt. Demikian pula atas harta benda yang kita miliki,
yang pasti akan dimintai pertanggungjawaban, sebagaimana Allah berfirman;
8
fitrahnya sebagai seorang hamba. Sebagaimana firmanNya dalam (QS. Al Alaq
5-7)
ي
ُاَْ َْْْ وَْ ا
ى ْ ْاً و
ًْ افَم و ف
ْما
“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil
zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya,
untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang
yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha
Mengetahui, Mahabijaksana.”(QS. At Taubah ; 60)
Menurut fuqaha‟ harta dapat ditinjau dari beberapa bagian yang setiap
bagian memilki ciri khusus dan hukumny tersendiri yang berdampak atau
berkaitan dengan beragam hukum (ketetapan). Namun pada pembahasan ini hanya
akan dijelaskan beberapa bagian yang masyhur, yaitu sebagi berikut:
9
1.Mal Mutaqawwim dan Ghair al-Mutaqawwim
10
Harta Istihlak ialah harta dalam kategori ini ialah harta sekali pakai,
artinya manfaat dari benda tersebut hanya bisa digunakan sekali saja. Harta
Istihlak dibagi menjadi dua, yaitu Istihlak Haqiqi dan Isthlak Huquqi. Istihlak
haqiqi ialah suatu benda yang menjadi harta yang secara jelas dzatnya habis sekali
digunakan. Misalnya makanan, minuman, kayu bakar dan sebagainya. Sedangkan
istihlah Huquqi ialah harta yang sudah habis nilainya bila telah digunakan, tetapi
dzatnya masih ada. Misalnya uang, uang yang digunakan untuk membayar hutang,
dipandang habis menurut hukum walaupun uang tersebut masih utuh, hanya
pindah kepemilikan.
Harta manqul ialah segala sesuatu yang dapat dipindahkan dan diubah dari
tempat satu ketempat lain, baik tetap pada bentuk dan keadaan semula ataupun
berubah bantuk dan keadaannya dengan perpidahan dan perubahan tersebut. Harta
dalam kategori ini mencakup uang, barang dagangan, macam-macam hewan,
kendaraan, macam-macam benda yang di timbang dan di ukur.
Harta Ghair al-manqul atau al-Aqar ialah segala sesuatu yang tetap, yang
tidak mungkin dipindahkan dan diubah posisinya dari satu tempat ke tempat yang
lain menurut asalnya, seperti kebun,rumah,pabrik, sawah dan lainnya.
Ada 3 poin penting dalam pengelolaan harta kekayaan dalam Islam (sesuai
Al-Qur‟an dan Hadits); yaitu:
11
2.Larangan mencintai harta secara berlebihan Hal ini sesuai dengan (Q.S.
Al-Fajr; 20) ”Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang
berlebihan”
Memproduksi barang-barang yang baik dan memiliki harta adalah hak sah
menurut Islam. Namun pemilikan harta itu bukanlah tujuan tetapi sarana untuk
menikmati karunia Allah dan wasilah untuk mewujudkan kemaslahatan umum.
Dalam (QS Al- Hadiid:7) disebutkan tentang alokasi harta.
”Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari
hartamu yang Allah telah menjadikan kamu ’menguasainya’. Maka orang-orang
yang beriman di antara kamu akan menafkahkan (sebagian) dari hartanya
memperoleh pahala yang besar.”
12
Sebagaimana seorang muslim dilarang memperoleh harta dengan cara
haram, maka dalam membelanjakannya pun dilarang dengan cara yang haram. Ia
tidak dibenarkan membelanjakan uang di jalan halal dengan melebihi batas
kewajaran karena sikap boros bertentangan dengan paham istikhlaf harta
majikannya (Allah). Norma istikhlaf adalah norma yang menyatakan bahwa apa
yang dimiliki manusia hanya titipan Allah. Adanya norma istikhlaf ini makin
mengukuhkan norma ketuhanan dalam ekonomi Islam. Dasar pemikiran istikhlaf
adalah bahwa Allah-lah Yang Maha Pemilik seluruh apa dan siapa yang ada di
dunia ini: langit, bumi, manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, batuan, dans
ebagainya, baik benda hidup ataupun mati, yang berpikir ataupun tidak bepikir,
manusia atau nonmanusia, benda yang terlihat ataupun tidak terlihat
13
Ada beberapa ketentuan hak milik pribadi untuk sumber daya ekonomi
dalam Islam:
14
KESIMPULAN
Dalam bahasa Arab, kata "al-mal" memiliki arti dasar yang mencakup
konsep "condong", "cenderung", atau "miring". Secara etimologis, "al-mal" juga
diartikan sebagai segala sesuatu yang menyenangkan manusia dan dipelihara oleh
mereka, baik dalam bentuk materi maupun manfaat.
Ada beberapa pendapat para ulama tentang harta, salah satunya Imam
Syafi'i, mengenai harta adalah bahwa maal adalah barang-barang yang memiliki
nilai untuk dijual, dan nilai harta tersebut akan tetap ada selama masih ada
manusia yang memanfaatkannya.
Pembagian Harta dalam Islam yaitu Mal Mutaqawwim dan Ghair al-
Mutaqawwim, .Mal Mitsli dan Mal Qimi, Mal Istihlak dan Mal Isti’mal, Mal
Manqul dan Mal Ghair al-Manqul
Pengolaan Harta dalam Islam yang sesuai dengan Al Quran dan Hadist
yaitu Larangan mencampur-adukkan yang halal dan batil ( Q.S. Al-Fajr;
19), .Larangan mencintai harta secara berlebihan (Q.S. Al-Fajr; 20), Haramnya
Merampas Hak Milik Orang Lain (HR. Muslim)
15
REFERENSI
16