Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

HARTA DALAM ISLAM


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Akuntansi Syari’ah
Dosen pengampu Abdul Hakim, M.E.

Disusun Oleh :
1. Miura Dwi Putri Mevia
2. Miranda

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM DAARUT TAUHIID BANDUNG
2024
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT
karena berkat rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Harta dalam Islam”. Adapun makalah ini disusun untuk memenuhi
tugas mata kuliah Akuntansi Syari’ah.
Tidak lupa, kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Abdul Hakim, M.E.
Selaku dosen pengampu mata kuliah Akuntansi Syari’ah yang telah membimbing
kami dalam menjalankan proses pembelajaran ini. Kami berharap dengan di
buatnya makalah ini dapat menambah pengetahuan bagi para pembaca terkait
Akuntansi Syari’ah khususnya mengenai harta dalam islam. Namun, penyusunan
makalah ini pun tidak luput dari kesalahan dan masih terdapat kekurangan. Oleh
karena itu, kami menerima kritik dan saran yang membangun dengan harapan
dapat menjadi perbaikan bagi makalah kami selanjutnya.
Demikian makalah ini kami susun, mohon maaf jika terdapat ketidaksuaian
dalam penulisan maupun dalam materi yang diangkat, kritik dan saran yang
membangun sangat diharapkan, semoga bisa bermanfaat bagi para pembaca serta
bagi kami para penyusun.

Bandung, 19 Maret 2024

Penyusun

I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................................1

DAFTAR ISI ..............................................................................................................................I

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................................... 1

1.1 latar Belakang ................................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................................ 1

1.3 Tujuan ............................................................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN .........................................................................................................3

2.1 Pengertian Harta ...........................................................................................................3

2.2 Unsur-Unsur Harta .......................................................................................................4


2.3 Kedudukan Harta dalam Islam .............................................................................5
2.4 Pembagian Harta ....................................................................................................9

2.5 Pengelolaan Harta dalam Islam ...............................................................................11

BAB III KESIMPULAN ......................................................................................................15


DAFTAR PUSTAKA

II
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 latar Belakang


Dalam realitas masyarakat kontemporer, kepemilikan harta sering
dianggap sebagai indikator utama kesuksesan dan kebahagiaan. Budaya konsumtif
mendorong perlombaan dalam memperoleh kekayaan, namun paradoksnya,
kebahagiaan sejati tidak sepenuhnya bergantung pada aspek materi.
Islam mengajarkan pentingnya bekerja dan memperoleh harta sebagai
bagian integral kehidupan. Rasulullah SAW adalah contoh pekerja keras dan
pelaku ekonomi ulung yang terkenal dengan kejujuran dan keadilannya.
Prinsip ekonomi Islam menekankan keseimbangan antara dunia dan
akhirat, serta antara individu dan masyarakat. Islam tidak memisahkan ekonomi
dan etika, dan memberikan kebebasan pada individu untuk mencari rezeki dengan
memuliakan hidup melalui pengelolaan sumber daya yang diberikan oleh Allah
SWT.
Meskipun diberi kebebasan dalam aktivitas ekonomi, manusia tetap terikat
dengan iman kepada Allah dan pertanggungjawaban atas kehidupannya. Namun,
banyak manusia terlena dengan kenikmatan harta, sehingga melupakan kewajiban
mereka sebagai khalifah Allah. Pemahaman atas konsep harta dalam Islam perlu
dikembangkan untuk menghindari sikap ini, terutama dalam era globalisasi di
mana nilai-nilai syariat sering diabaikan.
Oleh karena itu, Islam menekankan agar aktivitas ekonomi tidak semata-
mata berorientasi pada keinginan semata, tetapi lebih kepada pemenuhan
kebutuhan dengan kehidupan yang seimbang dan sesuai dengan tuntunan syariat
serta perilaku positif.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, terdapat rumusan masalah yaitu sebagai berikut.

1. Apa yang dimaksud dengan harta?


2. Apa saja unsur-unsur harta dalam islam ?

1
3. Bagaimana kedudukan harta dalam islam?
4. Apa saja pembagian harta dalam islam?
5. Bagaimana pengelolaan harta dalam islam?

1.3 Tujuan
Dari rumusan masalah di atas, adapun tujuannya yaitu sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui pengertian Harta.
2. Untuk mengetahui Unsur-Unsur Harta dalam Islam
3. Untuk mengetahui Kedudukan Harta dalam Islam
4. Untuk mengetahui Pembagian Harta dalam Islam
5. Untuk mengetahui Pengelolaan Harta dalam Islam

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Harta


Harta dalam bahasa Arab disebut al-mal yang menurut bahasa berarti condong,
cenderung, atau miring. Al-mal juga diartikan sebagai segala sesuatu yang menyenangkan
manusia dan mereka pelihara, baik dalam bentuk materi maupun manfaat. Menurut
beberapa interpretasi, harta dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang dibutuhkan dan
diperoleh manusia, baik berupa benda yang terlihat seperti emas, perak, binatang, dan
tumbuhan, maupun yang tidak terlihat seperti manfaat berupa kendaraan, pakaian, dan
tempat tinggal. Oleh karena itu, sesuatu yang tidak dapat dikuasai oleh manusia, seperti
burung di udara, ikan di air, pohon di hutan, atau barang tambang di bumi, tidak bisa
disebut sebagai harta. Secara terminologis, harta adalah sesuatu yang diinginkan manusia
berdasarkan tabiatnya, baik untuk diberikan atau disimpan. Dalam "al-Muhith" dan
"Lisan Arab", dijelaskan bahwa harta adalah segala sesuatu yang sangat diinginkan oleh
manusia untuk disimpan dan dimilikinya. Dengan demikian, unta, sapi, kambing, tanah,
emas, perak, dan segala sesuatu yang disukai manusia dan memiliki nilai adalah dianggap
sebagai harta kekayaan. Ibnu Asyr juga menyatakan bahwa konsep kekayaan pada
awalnya hanya merujuk pada emas dan perak, namun kemudian meluas menjadi segala
barang yang disimpan dan dimiliki.

Menurut Imam Hanafi, harta adalah sesuatu yang digandrungi tabiat manusia,
dapat disimpan dan dimanfaatkan ketika dibutuhkan. Pengikut mazhab Hanafi (Hanafiyah)
membatasi pengertian harta hanyalah sesuatu yang berwujud (a’yan) dan dapat disimpan,
sehingga sesuatu yang tidak berwujud dan tidak dapat disimpan tidak termasuk harta,
seperti hak dan manfaat. Misalnya hak melewati jalan yang berada di tanah orang lain dan
memanfaatkan fasilitas negara.

Defenisi maal menurut ulama hambali ialah apa-apa yang memiliki manfaat yang
mubah untuk suatu keperluan dan atau untuk kondisi darurat.

Imam Syafi‟i berkata bahwa maal ialah barang-barang yang mempunyai nilai
untuk dijual dan nilai harta itu akan terus ada kecuali kalau semua orang telah
meninggalkan memanfaatkannya (tidak berguna lagi bagi manusia). Kalau baru sebagian

3
orang saja yang meninggalkannya, barang itu masih tetap dianggap sebagai harta karena
barang itu mungkin masih bermanfaat bagi orang lain dan masih mempunyai nilai bagi
mereka.

Menurut as-Suyuti yang diambilnya dari pendapat Imam Syafi‟i, tidak ada yang
bisa disebut maal (harta) kecuali apa-apa yang dimiliki, memiliki nilai dan diberi sanksi
bagi orang yang merusaknya. Di sini, Suyuti menegaskan bahwa harta itu mengandung
nilai.

Az-Zarkasyi dari ulama syafi‟iyyah mendefinisikan maal sebagai apa-apa yang


bermanfaat, yang bisa berupa barang/benda atau juga bisa berupa manfaat. Yang berupa
benda terbagi dua : barang dan hewan. Yang dimaksud dengan barang di sini ialah semua
harta secara umum. Hewan menurutnya terbagi dua:1) hewan yang tidak bisa diambil
manfaatnya, maka ini tidak bisa disebut maal atau harta, seperti lalat, nyamuk, kelelawar,
dan serangga:2) hewan yang bermanfaat ; ini pun terbagi menjadi hewan yang
mempunyai tabiat jahat dan merusak, seperti singa dan beruang; ini tidak bisa disebut
harta; dan kedua, hewan yang bertabiat jinak dan patuh seperti binatang ternak; inilah
yang disebut harta.

Ibnu Abidin berkata dalam kitab Raad al-Mukhtar ‘ala ad-Durr al-Mukhtarbahwa
yang dimaksud dengan maal ialah segala yang disukai nafsu atau jiwa dan bisa disimpan
sampai waktu ia dibutuhkan. Nilai maal itu ada jika semua orang atau kebanyakan orang
menganggapnya mempunyai nilai(qimah) Adapun arti tamwil (khath) ialah memberikan
atau mengukuhkan nilai pada sesuatu harta atau maal dan boleh mengambil manfaat dari
darinya secara syar‟i.

Secara umum, konsep harta dalam Islam adalah segala sesuatu yang memiliki
nilai legal dan konkret (a'yan) dalam wujudnya, yang umumnya disukai oleh manusia,
dapat dimiliki, disimpan, dan dimanfaatkan sesuai dengan ketentuan syariat Islam.
Meskipun terdapat variasi definisi dari mazhab ke mazhab, harta (ma'al) pada dasarnya
adalah benda atau hewan yang memiliki nilai dan manfaat bagi manusia. Pentingnya harta
diakui dalam hukum Islam, sehingga memiliki keabsahan dalam konteks syariah.

2.2 Unsur-Unsur Harta

4
Menurut para fuqaha (ahli fikih), konsep harta dalam perspektif Islam memiliki
dasar pada dua unsur utama: unsur "ainiyyah" (konkrit) dan unsur "urf" (kebiasaan atau
kesepakatan masyarakat).

1. Unsur "Ainiyyah" (Konkrit)

Unsur ini mengacu pada keberadaan fisik atau konkret dari suatu benda atau
harta. Dalam konteks ini, harta dianggap sebagai sesuatu yang nyata dan memiliki
keberadaan fisik yang dapat dirasakan atau diamati. Contohnya adalah barang-barang
seperti tanah, bangunan, uang, kendaraan, dan lain sebagainya. Namun, tidak semua
benda yang memiliki keberadaan fisik dianggap sebagai harta. Misalnya, manfaat dari
sebuah rumah yang dipelihara manusia tidak secara otomatis dianggap sebagai harta,
tetapi lebih kepada status milik atau hak.

2. Unsur "Urf" (Kebiasaan atau Kesepakatan Masyarakat)

Unsur ini berkaitan dengan pandangan atau kesepakatan masyarakat terhadap


suatu benda sebagai harta. Artinya, sebuah benda dapat dianggap sebagai harta karena
telah menjadi bagian dari kebiasaan atau kesepakatan masyarakat bahwa benda tersebut
memiliki nilai dan dapat dimanfaatkan. Hal ini terutama berkaitan dengan benda-benda
yang mungkin tidak memiliki keberadaan fisik yang jelas, tetapi dianggap berharga atau
memiliki manfaat dalam konteks sosial atau ekonomi. Misalnya, hak kekayaan intelektual,
lisensi, reputasi, atau hal-hal abstrak lainnya yang diakui memiliki nilai dalam masyarakat.

2.3 Kedudukan Harta dalam Islam

Sesungguhnya kaidah pertama dalam membangun ekonomi Islam adalah


menghargai nilai harta benda dan peranannya dalam kehidupan manusia. Karena asumsi
yang beredar sebelum datangnya Islam, baik sebagai pemahaman agama atau aliran, telah
menganggap harta sebagai keburukan, sedangkan kemiskinan dianggap sebagai kebaikan,
bahkan menganggap segala sesuatu yang berkaitan dengan kenikmatan materi merupakan
kotoran bagi ruhani dan penghambat bagi peningkatan kemuliaan ruhani.

Demikian itu sebagaimana dikenal dalam falsafah Brahmana di India dan di


dalam aliran manawi‟ di paris, sebagaimana juga dikenal dalam agama Kristen.
Kecenderungan ini terdapat dalam sistem kerahiban (kependetaan) Para pemilik Injil
menceritakan dari Al-Masih, “ bahwa sesungguhnya ada seorang pemuda kaya yang ingin
mengikuti Al- Masih dan ingin masuk keagamanya, maka al-Masih pun berkata.” Jual lah

5
harta mlikmu dan kemudian berikanlah dari hasil penjualan itu kepada fuqara‟ dan
kemari ikut aku. Maka ketika dirasa berat bagi pemuda itu maka Al-Masih pun berkata.
Sulit bagi orang kaya untuk memasuki kerajaan langit saya katakan juga kepadamu
sesungguhnya masuknya unta ke lubang jarum itu lebih mudah dari pada masuknya orang
kaya ke kerajaan Allah.

Berbagai aliran (faham) baru seperti materialistis dan sosialis mereka


menjadikan perekonomian itu sebagai tujuan hidup dan menjadikan harta sebagai
tuhannya bagi individu masyarakat. Adapun Islam tidak memandang harta sebagai
kakayaan itu seperti pandangan mereka yang pesimis dan antipati, bukan pula
memandang seperti pandangan kaum materialistis yang berlebihan, tetapi Islam
memandang harta itu sebagai berikut: Pertama, Harta sebagai pilar penegak
kehidupan. Allah SWT berfirman :

‫ُ وو رُ وْ ْْقر ووَر ووا َْ رُ وْ قْ وو فً مّ وْ رُ وًْفا‬


‫اْ رُقر وو رُ وْ ًف وْ ُْا ْْا وْ ر‬ ‫َُْ ُْ اا َْ ا ْ وّ ْواَْ رُ رْ اَمِف وْ َْْْ َْ ل‬
‫لر َْ رُ وْ قف يْ فًا مْ و‬ ‫ْْ ًْ ُرْو ُروا اَ س‬

“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna


akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah
sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta
itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.’”(Q.S. An Nisa;5)

Kedua, di dalam beberapa ayat al-Qur‟an harta disebut dengan kata, “Khairan”
yang berarti suatu kebaikan sebagai berikut;

‫ُْْؤـُر ووَْْْ ّْاَْا ْر وْ فَْر ووَْ قر وَ ّْا ا ا ْ وَْْ وِْ ر وْ ف ّّ وِ َْْ روُ ًْ فُ وُ ْوا فََْْ فوِ ْْ واًْ وق ُْْفْوِْ ْْ واَْْ يًِي ى ْْ واَ ًُْي فُْ فوِ ْْاْ فوِ اَ م‬
‫ُِف وْ فَ ْْ ّْا ُ ْ وَُْْر ووا‬
‫فّ وِ َْْ روُ ًْا مفَ ل‬
ْ‫لْ ْف هٖ َْ فُ وْ م‬

“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang apa yang harus mereka


infakkan. Katakanlah, "Harta apa saja yang kamu infakkan, hendaknya
diperuntukkan bagi kedua orang tua, kerabat, anak yatim, orang miskin dan
orang yang dalam perjalanan." Dan kebaikan apa saja yang kamu kerjakan,
maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.”( Al Baqoroh; 215)

6
Ketiga, kekayaan merupakan nikmat Allah yang diberikan kepada para Rasul-Nya
dan orang-orang yang beriman dan bertaqwa dari hamba-hamba-Nya, Allah
berfirman:

‫ْْ ْْ َََْْْ َ اْا اى فً ًْا ْ وْ يْ ىى‬

“Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan
kecukupan.” (QS. Ad Dhuha :8)

‫َ ْ ر وْْف وْ رُْر‬ ْ ًْ ً‫ٌ ًْ ًْ ْْ وْ ُْْروا ا وَ ًْ وُ فِ َْ ا وَ َْ ُْا َْ ْْ وْ َْ َْا فّ فُ وْ يُ َْا ْْا وفَ فَ وَِ ر وْ َْ وْ ُْ ف‬
ْ ‫ُ وو‬ ‫ي اْاْْس ُْا ا مَ فَ وِْْ يا ّْ رْ اووا فا مْ ًْا ا وَ رًْ فوُْ وروَْ ْْ ِْ م‬
‫ْ فُ ه اٖ ا وفَ َ اْا ى َْ افَم ل‬
‫ل ْ َْ فُ وْْم َْ فُ وْْم‬ ‫ل ر فّ وِ ًْ و‬ ‫ل‬

“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis


(kotor jiwa), karena itu janganlah mereka mendekati Masjidilharam setelah tahun
ini. Dan jika kamu khawatir menjadi miskin (karena orang kafir tidak datang),
maka Allah nanti akan memberikan kekayaan kepadamu dari karunia-Nya, jika
Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.”(QS.
At Taubah: 28)

Keempat, harta kekayaan merupakan cobaan atau ujian hidup. Dan sekaligus harta
dapat membawa musibah bagi orang yang berpaling dari-Nya dan kufur terhadap
nikmatnya, Allah SWT berfirman:

‫لر‬ ‫ل ر ّْ ْث فً ْق وُْْ فً ْْا ْْْو يا فّ ْْ فً سّ وَ ًْ اى مْ فً ْم وُْف وْ ُْا فْ وُ رق ُْا ْْ َْْفا ف ّّ وِ رْ فَّ ُّْْا رَ ًْ ُْ َْ ُْْو ْفا ْ وْْ ر فْ ل‬
‫لف ًْا ْ َْا ْق ُْا ل‬ ‫َ ل‬ ْ ُْ َْ ْْ
َْ‫ْ ْْْ ر وو‬‫َ ْ ف ًْا ْْا رْ ووا ْْ و‬ ‫اَ ا وَ رِ ووِ ف ْْا وَ َْ وو ف‬
ْ َِْ‫ف‬
“Allah telah membuat suatu perumpamaan sebuah negeri yang dahulu aman
lagi tenteram yang rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari setiap
tempat, tetapi (penduduknya) mengingkari nikmat-nikmat Allah. Oleh karena itu,
Allah menimpakan kepada mereka bencana kelaparan dan ketakutan karena apa
yang selalu mereka perbuat.”(QS. An Nahl : 112)

‫َ ًْا ْ وْ ْْ ًْا ُ ْرو سَ ووا ًْ ْثْم ْْ وَٖر ل‬


‫لف افَم ل‬
‫ل ْ ْْا فِ مٌ َْ فُ وْْم‬ ‫ْْ ف لّف ا وَ ًْْ فوُ رُ ْْا وَ ًْ وْ فُ ر‬
“Hanya milik Allah timur dan barat. Ke mana pun kamu menghadap, di sanalah
wajah Allah. Sesungguhnya Allah Mahaluas lagi Maha Mengetahui.”(QS. Al
Baqarah :115)

7
Kelima, Nabi SAW menentukan pandangannya terhadap harta dengan sabdanya
yang ringkas:

„,,,”Sebaik-baiknya harta adalah harta yang diberikan (yang dimiliki) oleh


hamba yang shalih” (HR. Ahmad)

Al-Qur'an, sebagai panduan hidup bagi manusia, secara beragam mengacu


pada konsep harta dalam lebih dari 86 penggunaan kata "maal". Lebih dari 20 kali,
Al-Qur'an menegaskan bahwa semua kepemilikan harta di bumi ini adalah milik
Allah SWT, yang diberikan kepada kita sebagai wakil-Nya (khalifah) untuk
mengelolanya. Oleh karena itu, dalam pengelolaan harta tersebut, kita sebagai
khalifah harus mematuhi prosedur yang telah ditetapkan oleh sang pemilik, yaitu
Allah SWT. Prinsip ini dinyatakan dengan jelas dalam Al-Qur'an, (QS Al-
Baqarah:29) dan (QS Al-Maidah:18.)

status kepemilikan atas harta yang telah dikuasai oleh manusia menurut
ketentuan nash al-Qur‟an adalah sebagai berikut:

1.Harta sebagai amanat dari Allah swt. Karena manusia, dalam bahasa
Einstien tidak akan mampu menciptakan energi; yang mampu manusia lakukan
adalah mengubah dari satu bentuk energi ke bentuk energi lain. Pencipta

energi awal adalah Allah swt. Demikian pula atas harta benda yang kita miliki,
yang pasti akan dimintai pertanggungjawaban, sebagaimana Allah berfirman;

‫افْم ًْا ا ا ْ وّ ْواَر رُ وْ ْْا ْ وْ ًُْر رْ وْ ًفِوًْْم ْْ ل‬


ْ‫لر فَ وَْْ ٗ آ اَْو مُ َْ فِ وْ م‬

“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu). Di sisi


Allahlah (ada) pahala yang besar.”(QS. At Taghabun: 15)

2.Harta sebagai perhiasan hidup yang memungkinkan manusia bisa


menikmatinya dan tidak berlebih-lebihan dalam penggunaannya. Manusia
memiliki kecenderungan yang kuat untuk memiliki, menikmati dan menguasai
harta. Namun tak jarang karena kekuasaan tersebut, harta menyebabkan manusia
menjadi angkuh, sombong dan membanggakan diri sehingga melupakan

8
fitrahnya sebagai seorang hamba. Sebagaimana firmanNya dalam (QS. Al Alaq
5-7)

ْ‫ُاَْ ّْا َْ وْ ْْ وُْْ ى و‬ ‫َُْم ْْ و ف‬


ْ ْ‫اً و‬

5.Diketahui Dia mengajar kepada manusia apa yang tidaknya.

‫ي‬
‫ُاَْ َْْْ وَْ ا‬
‫ى‬ ْ ْ‫اً و‬
‫ًْ افَم و ف‬
‫ْما‬

6. Temukanlah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas,

‫اْ وَ مْ يآر ا وِِْ وْ يْ ىى‬

7. “karena dia melihat dirinya serba cukup.”

3.Harta sebagai ujian keimanan. Hal ini menyangkut soal cara


mendapatkan dan memanfaatkannya, apakah sesuai ajaran Islam atau tidak,
sebagaimana dinyatakan: QS. Al Anfal ; 28)

4.Harta sebagai bekal ibadah, yakni untuk melakukan perintah-Nya dan


melaksanakan mu’amalah diantara sesama manusia, melalui kegiatan zakat, infak
dan sedekah.

ِ‫لف ْْاْ فو‬


‫ِ فِ وْ فَ ل‬ ‫َ ْْ واَْ ف‬
ْ ْ‫ْاْ فّْوِْ ًْْف و‬ ّ ‫َُْ وْ ُْا ْْ واَ رً َْْمَْ فً قرُر ووْر رُ وْ ًْْفى ف‬
‫اَُقْا ف‬ ْ ِْ‫اّ فُْو‬‫َْْ يقْر فَ وَُرْْ ُْ اا فَ ْْ واَ ًُْي فُْ فوِ ْْ واَْْ ف‬‫افْم ًْا اَ م‬
ْ‫لر َْ فُ وْ مْ َْ فُ وْ م‬
‫لف ْْ ل‬ ‫ًْف ف ِّّْ ل‬ ْ ْ‫ُ فِ وْ ى فَ ًْ فُ و‬
‫اَ م‬

“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil
zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya,
untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang
yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha
Mengetahui, Mahabijaksana.”(QS. At Taubah ; 60)

2.4 Pembagian Harta dalam Islam

Menurut fuqaha‟ harta dapat ditinjau dari beberapa bagian yang setiap
bagian memilki ciri khusus dan hukumny tersendiri yang berdampak atau
berkaitan dengan beragam hukum (ketetapan). Namun pada pembahasan ini hanya
akan dijelaskan beberapa bagian yang masyhur, yaitu sebagi berikut:

9
1.Mal Mutaqawwim dan Ghair al-Mutaqawwim

Harta Mutaqawwim adalah segala sesuatu yang dapat dikuasai dengan


pekerjaan dan dibolehkan syara‟ untuk memanfaatkannya. Pemahaman tersebut
bermakna bahwa tiap pemanfaatan atas sesuatu berhubungan erat dengan
ketentuuan nilai positif dari segi hukum, yang terkait pada cara perolehan maupun
penggunaannya. Misalnya, kerbau halal dimakan oleh umat Islam, tetapi, apabila
kerbau itu disembelih tidak menurut syara‟ , semisal di pukul. Maka daging
kerbau itu tidak bisa dimanfaatkan karena cara penyembelihannya batal (tidak sah)
menurut syara‟. Harta Ghairal-Mutaqawwim ialah segala sesuatu yang tidak dapat
dikuasai dengan pekerjaan dan dilarang oleh syara‟ untuk memanfaatkannya.
Harta dalam pengertian ini, dilarang oleh syara‟ diambil manfaatnya, terkait jenis
benda terssebut dan cara memperolehnya maupun penggunaannya. Misalnya babi
termasuk harta ghair mutaqawwim, karena jenisnya. Sepatu yang di peroleh
dengan cara mencuri termasuk ghair mutaqawwim, karena cara memperolehnya
yang haram. Uang disumbangkan untuk pembangunan tempat pelacuran,
termasuk ghair mutaqawwim karena penggunaannya yang dilanggar syara‟.
Kadang –kadang harta mutaqawwim diartikan dengan dzimah, yaitu sesuatu yang
mempunyai nilai, seperti pandangan fuqaha.

2.Mal Mitsli dan Mal Qimi

Harta Mitsli ialah sesuatu yang memiliki persamaan di pasar atau


mempunyai persamaan tetapi ada perbedaan menurut kebiasaan antara
kesatuannya pada nilai, seperti binatang dan pohon. Dengan perkataan lain,
pengertian kedua jenis harta diatas ialah mitsli berarti jenisnya mudah ditemukan
atau diperoleh dipasaran dan qimi suatu benda yang jenisnya sulit didapatkan
serupanya secara persis, walau bisa ditemukan, tetapi jenisnya berbeda dalam nilai
harga yang sama. Jadi, harta yang ada duanya disebut mitsli dan harta yang tidak
duanya secara tepat disebut qimi.

3.Mal Istihlak dan Mal Isti’mal

10
Harta Istihlak ialah harta dalam kategori ini ialah harta sekali pakai,
artinya manfaat dari benda tersebut hanya bisa digunakan sekali saja. Harta
Istihlak dibagi menjadi dua, yaitu Istihlak Haqiqi dan Isthlak Huquqi. Istihlak
haqiqi ialah suatu benda yang menjadi harta yang secara jelas dzatnya habis sekali
digunakan. Misalnya makanan, minuman, kayu bakar dan sebagainya. Sedangkan
istihlah Huquqi ialah harta yang sudah habis nilainya bila telah digunakan, tetapi
dzatnya masih ada. Misalnya uang, uang yang digunakan untuk membayar hutang,
dipandang habis menurut hukum walaupun uang tersebut masih utuh, hanya
pindah kepemilikan.

4.Mal Manqul dan Mal Ghair al-Manqul

Harta manqul ialah segala sesuatu yang dapat dipindahkan dan diubah dari
tempat satu ketempat lain, baik tetap pada bentuk dan keadaan semula ataupun
berubah bantuk dan keadaannya dengan perpidahan dan perubahan tersebut. Harta
dalam kategori ini mencakup uang, barang dagangan, macam-macam hewan,
kendaraan, macam-macam benda yang di timbang dan di ukur.

Harta Ghair al-manqul atau al-Aqar ialah segala sesuatu yang tetap, yang
tidak mungkin dipindahkan dan diubah posisinya dari satu tempat ke tempat yang
lain menurut asalnya, seperti kebun,rumah,pabrik, sawah dan lainnya.

Dalam ketentuan Kitab Undang-Undang hukum perdata, istilah Mal


Manqul dan Mal Ghair Manqul diartikan dengan istilah benda bergerak dan atau
benda tetap.

2.5 Pengolaan Harta dalam Islam

Ada 3 poin penting dalam pengelolaan harta kekayaan dalam Islam (sesuai
Al-Qur‟an dan Hadits); yaitu:

1.Larangan mencampur-adukkan yang halal dan batil. Hal ini sesuai


dengan ( Q.S. Al-Fajr; 19) ”Dan kamu memakan harta pusaka dengan cara
mencampur baurkan (yang halal dan yang bathil)”

11
2.Larangan mencintai harta secara berlebihan Hal ini sesuai dengan (Q.S.
Al-Fajr; 20) ”Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang
berlebihan”

3.”Haramnya Merampas Hak Milik Orang Lain.”Setiap muslim


diharamkan merampas hak milik orang lain, termasuk harta, dengan kekerasan
atau cara yang tidak sah..”( HR. Muslim)

Memproduksi barang-barang yang baik dan memiliki harta adalah hak sah
menurut Islam. Namun pemilikan harta itu bukanlah tujuan tetapi sarana untuk
menikmati karunia Allah dan wasilah untuk mewujudkan kemaslahatan umum.
Dalam (QS Al- Hadiid:7) disebutkan tentang alokasi harta.

”Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari
hartamu yang Allah telah menjadikan kamu ’menguasainya’. Maka orang-orang
yang beriman di antara kamu akan menafkahkan (sebagian) dari hartanya
memperoleh pahala yang besar.”

Yang dimaksud dengan menguasai disini ialah penguasaan yang bukan


secara mutlak. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, hak milik pada hakikatnya
adalah milik Allah. Manusia menafkahkan hartanya itu haruslah menurut hukum-
hukum yang telah disyariatkan Allah. Karena itu tidak boleh kikir dan boros.

Belanja dan konsumsi adalah tindakan yang mendorong masyarakat


berproduksi sehingga terpenuhinya segala kebutuhan hidupnya. Jika tidak ada
manusia yang bersedia menjadi konsumen, dan jika daya beli masyarakat
berkurang karena sifat kikir melampaui batas, maka cepat atau lambat roda
produksi niscaya akan terhenti, selanjutnya perkembangan bangsa akan terhambat.

Islam mewajibkan setiap orang membelanjakan harta miliknya untuk


memenuhi kebutuhan diri pribadi dan keluarganya serta menafkahkan di jalan
Allah. Dengan kata lain Islam memerangi kekikiran dan kebakhilan. Larangan
kedua dalam masalah harta adalah tidak berbuat mubadzir kepada harta karena
Islam mengajarkan bersifat sederhana. Harta yang mereka gunakan akan
dipertanggungjawabkan di hari perhitungan.

12
Sebagaimana seorang muslim dilarang memperoleh harta dengan cara
haram, maka dalam membelanjakannya pun dilarang dengan cara yang haram. Ia
tidak dibenarkan membelanjakan uang di jalan halal dengan melebihi batas
kewajaran karena sikap boros bertentangan dengan paham istikhlaf harta
majikannya (Allah). Norma istikhlaf adalah norma yang menyatakan bahwa apa
yang dimiliki manusia hanya titipan Allah. Adanya norma istikhlaf ini makin
mengukuhkan norma ketuhanan dalam ekonomi Islam. Dasar pemikiran istikhlaf
adalah bahwa Allah-lah Yang Maha Pemilik seluruh apa dan siapa yang ada di
dunia ini: langit, bumi, manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, batuan, dans
ebagainya, baik benda hidup ataupun mati, yang berpikir ataupun tidak bepikir,
manusia atau nonmanusia, benda yang terlihat ataupun tidak terlihat

Islam membenarkan pengikutnya menikmati kebaikan dunia. Prinsip ini


bertolak belakang dengan sistem kerahiban Kristen, Manuisme Parsi, Sufisme
Brahma, dan sistem lain yang memandang dunia secara sinis. Sikap mubadzir
akan menghilangkan kemaslahatan harta, baik kemaslahatan pribadi dan orang
lain. Lain halnya jika harta tersebut dinafkahkan untuk kebaikan dan untuk
memperoleh pahala, dengan tidak mengabaikan tanggungan yang lebih penting.
Sikap mubadzir ini akan timbul jika kita merasa mempunyai harta berlebihan
sehingga sering membelanjakan harta tidak untuk kepentingan yang hakiki, tetapi
hanya menuruti hawa nafsunya belaka. Allah sangat keras mengancam orang yang
berbuat mubadzir dengan ancaman sebagai temannya setan.

Muhammad bin Ahmad As-Shalih mengemukakan jika Islam telah


melarang berlaku boros, maka Islam juga telah menetapkan balasan bagi orang
yang menghamburkan harta kekayaan, yaitu mencegahnya dari membelanjakan
harta tersebut. Inilah yang disebut hajr. Menurut para fuqaha, hajr adalah
mencegah seseorang dari bertindak secara utuh oleh sebab-sebab tertentu. Di
antara sebab- sebab itu adalah kecilnya usia sehingga harta itu tidak musnah
karena kecurangan, tipu muslihat, dan tindakan yang tidak bisa
dipertanggungjawabkan.

13
Ada beberapa ketentuan hak milik pribadi untuk sumber daya ekonomi
dalam Islam:

 Harta kekayaan harus dimanfaatkan untuk kegiatan produktif (melarang


penimbunan dan monopoli);

 Pembayaran zakat serta pendistribusian (produktif/konsumtif)

 Penggunaan yang berfaidah (untuk meningkatkan kemakmuran dan


kesejahteraan material-spiritual)

 Penggunaan yang tidak merugikan secara pribadi maupun secara


kemasyarakatan dalam aktivitas ekonomi maupun non ekonomi

 Kepemilikan yang sah sesuai dengan prinsip-prinsip muamalah dalam


aktifitas transaksi ekonomi.

14
KESIMPULAN

Dalam bahasa Arab, kata "al-mal" memiliki arti dasar yang mencakup
konsep "condong", "cenderung", atau "miring". Secara etimologis, "al-mal" juga
diartikan sebagai segala sesuatu yang menyenangkan manusia dan dipelihara oleh
mereka, baik dalam bentuk materi maupun manfaat.

Secara terminologis, harta adalah sesuatu yang diinginkan manusia


berdasarkan tabiatnya, baik untuk diberikan atau disimpan. Menurut penjelasan
dalam "al-Muhith" dan "Lisan Arab", harta adalah segala sesuatu yang sangat
diinginkan oleh manusia untuk disimpan dan dimilikinya.

Ada beberapa pendapat para ulama tentang harta, salah satunya Imam
Syafi'i, mengenai harta adalah bahwa maal adalah barang-barang yang memiliki
nilai untuk dijual, dan nilai harta tersebut akan tetap ada selama masih ada
manusia yang memanfaatkannya.

Terdapat Unsur-Unsur Harta dalam Islam diantaranya Unsur "Ainiyyah"


(Konkrit) dan Unsur "Urf" (Kebiasaan atau Kesepakatan Masyarakat)

Kedudukan Harta dalam Islam diantaranya Harta sebagai pilar penegak


kehidupan (Q.S. An Nisa;5), nikmat Allah yang diberikan kepada para Rasul-Nya
dan orang-orang yang beriman dan bertaqwa dari hamba-hamba-Nya (QS. Ad
Dhuha :8), merupakan cobaan atau ujian hidup (QS. An Nahl : 112)

Pembagian Harta dalam Islam yaitu Mal Mutaqawwim dan Ghair al-
Mutaqawwim, .Mal Mitsli dan Mal Qimi, Mal Istihlak dan Mal Isti’mal, Mal
Manqul dan Mal Ghair al-Manqul
Pengolaan Harta dalam Islam yang sesuai dengan Al Quran dan Hadist
yaitu Larangan mencampur-adukkan yang halal dan batil ( Q.S. Al-Fajr;
19), .Larangan mencintai harta secara berlebihan (Q.S. Al-Fajr; 20), Haramnya
Merampas Hak Milik Orang Lain (HR. Muslim)

15
REFERENSI

Abdul Rahman Ghazaly.,at all, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana, 2010)

Wahbah al Zuaili, AL Fiqh al Islam wa Adilatuhu, (Beiru: Dar al Fikr,t.th) Jilid


IV h. 2739

Majduddin al Firuzzabadi, Al Qamus al Muhith, jilid 4 (MD.817) h.52

Ibnu Manzhur al Anshari, Lisan al Arab, (MD.771)

Yusuf al Qaradhawi, Fiqhuz Zakat, jilid I (Beirut: Muassasah al Risalah:1973) h.


123

Ahmad bin Hasan, father Rahman, (Surabaya: Al Hidayah, 1322H) h.419-420

Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah… h. 27-29

9Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana, 2012), h.


59.

16

Anda mungkin juga menyukai