Anda di halaman 1dari 22

BENTUK – BENTUK PERJANJIAN SYARIAH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perikatan Islam

Dosen Pengampu : Zainab, S.H., M.H

Disuusn Oleh :

1. Monicka Nurcahyani 33020200044


2. Dila Nurul Awaliyah 33020200045
3. Milati Azka Anita S 33020200141

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SALATIGA
2022
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah
ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda
tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafa’atnya di
akhirat nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat


sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis
mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah
Hukum Perikatan Islam dengan judul “Bentuk-Bentuk Perjanjian Syariah”.
Program Studi Hukum Ekonomi Syariah, Fakultas Syariah, IAIN Salatiga.

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu,
penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya
makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Semoga makalah
ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca.

Salatiga, 14 September 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL....................................................................................... i

KATA PENGATAR ......................................................................................ii

DAFTAR ISI.................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1

A. Latar Belakang ................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah .............................................................................. 1
C. Tujuan Penulisan................................................................................ 1

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................... 2

A. Bentuk-Bentuk Akad Perjanjian ........................................................ 2


B. Bentuk-Bentuk Perjanjian Syariah..................................................... 6
C. Teori Pertukaran, Percampun dan Derivasi Keduanya .................... 14

BAB III PENUTUP ..................................................................................... 17

A. Kesimpulan ...................................................................................... 17
B. Saran................................................................................................. 17

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 18

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ikatan kerjasama antara orang-orang yang berserikat dalam hal modal dan
keuntungan. Akad memfasilitasi setiap orang dalam memenuhi kebutuhan dan
kepentinganya yang tidak dapat dipenuhinya sendiri tanpa bantuan dan jasa orang
lain. Karenanya dapat dibenarkan bila dikatakan bahwa akad merupakan sarana
sosial yang ditemukan oleh peradaban umat manusia untuk mendukung
kehidupanya sebagai makhluk sosial.

Dalam sebuah akad perjanjian tidak lepas dari potensi suatu munculnya suatu
sengketa yang akan datang. Hal ini dikarenakan adanya salah satu pihak yang
melanggar isi atau perjanjian akad yang telah disepakati. Untuk itu diperlukan
langkah untuk meminimalisir terjadinya sengketa.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Bentuk-Bentuk Akad Perjanjian?
2. Bagaimana Bentuk-Bentuk Perjanjian Syariah?
3. Bagaimana Teori Pertukaran, Percampun dan Derivasi Keduanya?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui Bentuk-Bentuk Akad Perjanjian Syariah
2. Untuk Mengetahui Bentuk Bentuk Perjanjian
3. Untuk Mengetahui Teori Pertukaran, Percampuran, dan Derivasi
keduanya

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Bentuk Akad Perjanjian

1. Pertukaran

Merupakan suatu jenis akad dalam perjanjian syariah, yang kedua belah
pihak saling mempertukarkan aset yang dimilikinya, karena itu objek
pertukarannya (baik barang maupun jasa) pun harus ditetapkan di awal akad
dengan pasti, baik jumlahnya (quantity), mutunya (quality), harganya (price),
dan waktu penyerahannya (time of delivery). Jadi, kontrak-kontrak ini secara
“sunnatullah” menawarkan return yang tetap dan pasti. Yang termasuk dalam
kategori ini adalah kontrak-kontrak jual beli, upah-mengupah, sewa-menyewa,
dll.

Dalam akad-akad di atas, pihak-pihak yang bertransaksi saling


mempertukarkan asetnya. Jadi masing-masing pihak tetap berdiri-sendiri (tidak
saling bercampur membentuk usaha baru), sehingga tidak ada pertanggungan
resiko bersama. Juga tidak ada percampuran aset si A dengan aset si B. Yang
ada misalnya adalah si A memberikan barang ke B, kemudian sebagai gantinya
B menyerahkan uang kepada A.1

Akad pertukaran terbagi dua, yaitu: pertukaran terhadap barang yang sejenis
dan tidak sejenis.

A. Pertukaran barang yang sejenis terbagi dua pula,yaitu:

1. Pertukaran uang dengan uang (sharf)

Al-Sharf secara bahasa berarti al-Ziyadah (tambahan) dan al'adl


(seimbang). Ash-Sharf kadang-kadang dipahami berasal dari kata Sharafa
yang berarti membayar dengan penambahan. Dalam kamus istilah fiqh

1
Gemala dewi, Hukum perikatan islam di Indonesia, ( Jakarta: kencana, 2005 ), hlm 105

2
disebutkan bahwa Ba'i Sharf adalah menjual mata uang dengan mata uang
(emas dengan emas). Sharf adalah perjanjian jual beli satu valuta dengan
valuta lainnya. Ulama fiqih mendefinisikan sharf adalah sebagai
memperjual belikan uang dengan uang yang sejenis maupun tidak sejenis.
Pada masa kini, bentuk jual beli ini banyak dilakukan oleh bank-bank devisa
atau money changer.2

2. Pertukaran barang dengan barang (barter)

Islam pada prinsipnya membolehkan terjadinya pertukaran barang


dengan barang. Namun dalam pelaksanaannya bila tidak memperhatikan
ketentuan syariat dapat menjadi barter yang mengandung unsur riba,
umpamanya kita saling menukar beras, tapi takarannya berbeda.

3. Pertukaran uang dengan barang (jual beli)

Jual beli dalam istilah fiqih disebut dengan al bai’ yang berarti tukar
menukar barang dengan cara tertentu atau tukar menukar sesuatu dengan
yang sepadan menurut cara yang dibenarkan. Jual beli adalah pertukaran
harta atas dasar saling rela atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat
dibenarkan (berupa alat tukar yang sah). Para Ulama membagi jual beli dari
segi sah atau tidaknya menjadi tiga bentuk yaitu: jual beli shahih, jual beli
batal, dan jual beli fasid. Adapun jual beli dalam bentuk khusus dibagi
menjadi dua yaitu, murabahah (jual beli diatas harga pokok) dan as salam
(jual beli dengan pembayaran dimuka).

B. Pertukaran barang yang tidak sejenis terbagi dua, yaitu :

1) Pertukaran uang dengan barang misalnya jual beli (buyu’)

2) Pertukaran barang dengan uang misalnya sewa (ijarah)

2. Kerjasama atau As-syirkah

2
Ghufron A Mas'adi, Fiqh Muamalah Konstekstual, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2002, hlm. 149.

3
Kerjasama atau As-syirkah secara etimologi berarti percampuran, yaitu
percampuan antara sesuatu dengan selainnya, sehingga sulit dibedakan.
Sedangkan secara terminology yaitu ikatan kerjasama antara orang-orang yang
berserikat dalam hal modal dan keuntungan.3 yirkah menurut ulama’ juga
memilik jenis-jenis sendiri yang berbeda dengan antar satu dan lainnya. Syirkah
secara umum terbagi dalam tiga bentuk, yaitu syirkah ibahah, syirkah amlak,
dan syirkah uqud.

a. Syirkah ibahah

Yaitu persekutuan hak semua orang untuk dibolehkan menikmati


manfaat sesuatu yang belum ada di bawah kekuasaaan seseorang.

b. Syirkah amlak

Yaitu persekutuan antara dua orang atau lebih untuk memiliki suatu
benda. Syirkah amlak ini terbagi menjadi dua, yaitu :

1. Syirkah amlak jabriyah, syirkah ini terjadi tanpa keinginan para


pihak yang bersangkutan, misalnya persekutuan ahli waris.

2. Syirkah amlak ikhtiyariyah, syirkah ini lawan dari syirkah amlak


jabriyah, yaitu terjadi atas keinnginan pihak yang bersangkutan,
misalnya persekutuan dagang.

c. Syirkah akad

Yaitu persekutuan antara dua orang atau lebih yang timbul dengan
adanya perjanjian. Syirkah ini terbagi menjadi 4, yaitu :

1. Syirkah Amwal

Yaitu persekutuan antara dua orang atau lebih dalam


modal/harta. Syirkah bentuk ini ada dua macam.

3
Gemala dewi, Hukum perikatan islam di Indonesia, ( Jakarta: kencana, 2005 ), hlm 126

4
a. Syirkah al-Inan, adalah persekutuan antara dua orang atau
lebih untuk memasukkan bagian tertentu dari modal yang
akan diperdagangkan dengan ketentuan keuntungan
dibagi antara para anggota sesuai dengan kesepakatan
bersama, sedangkan modal masing-masing tidak harus
sama.

b. Syirkah al-Mufawadhah adalah persekutuan antara dua


orang atau lebih dalam modal dan keuntungannya dengan
syarat besar modal masing-masing yang disertakan harus
sama, hak melakukan tindakan hukum terhadap harta
syirkah harus sama, dan setiap anggotanya adalah
penanggung dan wakil dari anggota lainnya.

2. Syirkah Ámal/Ábdan

Adalah perjanjian persekutuan antara dua orang atau lebih


untuk menerima pekerjaan dari pihak ketiga yang akan dikerjakan
bersama dengan ketentuan upah dibagi diantara para anggotanya
sesuai dengan kesepakatan mereka.

3. Syirkah Wujuh

Adalah persekutuan antara dua orang atau lebih dengan modal


harta dari pihak luar untuk mengelola modal bersama tersebut
dengan membagi keuntungan sesuai dengan kesepakatan.

4. Syirkah Mudharabah (Qiradh)

Yaitu berupa kemitraan terbatas yakni perseroan antara


tenaga dan harta. Seseorang (pihak pertama/pemilik
modal/mudharib) memberikan hartanya kepada pihak lain (pihak
kedua/pemakai/pengelola/dharib) yang digunakan untuk berbisnis,
dengan keuntungan bahwa keuntungan yang diperoleh akan dibagi
oleh masing-masing pihak sesuai dengan kesepakatan. bila terjadi

5
kerugian, maka dibebankan kepada harta, dan tidak dibebankan
sedikitpun kepada pengelola yang bekerja4

B. Bentuk Bentuk Akad Perjanjian Syariah


1. Jual-beli (Al-bai’)

Jual beli dalam terminologi fiqih diartikan sebagai al-bai’ yang


diartikan dengan mengganti, menjual, atau kegiatan menukar sesuatu
dengan sesuatu lainnya baik dalam bentuk barang atau jasa.Secara istilah
syara’, jual beli diartikan sebagai kegiatan tukar-menukar benda yang
memiliki nilai dengan kesepakatan saling ridho antara kedua pihak yang
melakukan jual beli.5 Pandangan Hanafiah dalam mengartikan jual beli
yakni pertukaran suatu benda yang dilakukan dengan nilai benda yang
setara dan memiliki nilai manfaat.6

Sedangkan pandangan Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, dalam


mengartikan jual beli (al-bai’) sebagai aktivitas pertukaran suatu benda
dengan yang lainnyadengan praktenya pemindahan milik benda dan ke
pemilikan benda.7Banyak ayat Al-Qur’an yang menyinggung aktivitas jual
beli, salah satunya yakni QS. Al-Baqarah [2] : 275.

Dari definisi dan ayat tersebut maka jual beli diartikan sebagai
pertukaran suatu benda dengan yang lainnya dengan suatu perjanjian yang
telah ditentukan, pertukaran ini harus didasari pada saling ridha/rela di
antara kedua pihak dan taat terhadap aturan syara’.8 Kata benda di atas dapat
diartikan begitu luas yaitu barang dan uang, Sedangkan sifat benda tersebut
harus dapat dinilai yakni benda-benda yang berharga dan dapat dibenarkan
penggunaannya menurut syara’. diantaranya bisa dibagi dan tidak bisa

4
Gemala Dewi, et.al, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005,
hlm.127- 135
5
Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm 73.
6
Al-Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu (Damaskus: Dar al-Fikr, 2005),
hlm. 122.
7
Mardani, Fiqih Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah (Jakarta: Kencana Predana Media,
2013), hlm. 101.
8
Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, hlm 111.

6
dibagi, bisa bergerak dan tidak bisa bergerak,dsb. Tidak ada pelarangan atas
penggunaan harta benda sampai ada dalil yang melarangnya.

2. Hutang piutang (Al-qardh)

Al-qardh secara etimologi diartikan memotong,9 sedangkan secara


terminologi al-qardh dalam pandangan ulama Hanafiyah merupakan
pemberian sesuatu yang dikeluarkan dari harta mitsil yang bertujuan sebagai
pemenuhan kebutuhan. Pandangan ulama Malikiyah dalam mengartikan al-
qardh yaitu sebagai penyerahan suatu harta kepada orang lain tanpa adanya
iwadh (imbalan) atau tanpa adanya penambahan saat pengembalian suatu
harta. Ulama Syafi’iyah dalam mengartikan alqardh yaitu suatu
kepemilikan yang dikembalikan dengan suatu yang sejenis atau memiliki
nilai yang sepadan. Dasar hukum yang digunakan sebagai landasan hukum
dalam akad hutang piutang atau al-qardh dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah
[2] : 245 dan Hadits Dari Ibnu Mas’ud yang Artinya : “Bukan seorang
muslim (mereka) yang meminjamkan muslim (lainnya) dua kali kecuali
yang satunya adalah (senilai) shadaqah.” (HR Ibnu Majah).10

Implementasinya akad hutang-piutang atau (al-qardh) di Lembaga


Keuangan Syariah, yakni:11

a. Bagian dari produk pelengkap yang diberikan kepada nasabah yang


memiliki loyalitas kepada Lembaga Keuangan Syariah dan bonafiditas,
dalam kondisimendesak maka al-qardh digunakan sebagai talangan
dengan masa waktu yang relatif pendek. Maka, nasabah memiliki
kewajiban untuk mengembalikan secepat mungkin dengan jumlah yang
sama.

9
Isnawati Rais dan Hasanudin, Fiqh Muamalah Dan Aplikasinya Pada Lembaga Keuangan
Syariah (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2011), hlm. 149.
10
Syaikh Faishal bin Abdul Aziz Alu Mubarak, Ringkasan Nailul Authar (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2012), hlm. 118.
11
Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik (Jakarta: Gema Insani
Press, 2001), hlm. 133.

7
b. Menjadi produk bagi nasabah dalam keadaan membutuhkan dana cepat,
dengan kondisi tidak bisa mengambil dana yang tersimpan karena dana
digunakan pada produk deposito.
c. Produk yang diciptakan untuk memberikan kontribusi kepada usaha kecil
dan juga digunakan untuk membantu secara sosial, produk ini
menggunakan skema khusus dalam prakteknya yakni al-qardh al-hasan.
3. Sewa-Menyewa (Al-ijarah)
Menurut Fiqih Sunnah dalam pandangan Sayyid Sabiq, al-ijarah
memiliki asal kata dari al-ajru (upah) yang memiliki arti ganti atau
kompensasi (al-iwadh). Alijarah secara syara’ diartikan sebagai
pemindahan hak guna suatu barang atau jasa disertai dengan biaya sewa atau
upah, namun tidak disertai dengan pemindahan hak milik barang atau jasa.12

Ulama Hanafiyah memandang al-ijarah sebagai akad yang


memindah manfaat dengan pengganti, ulama Syafi’iyah dalam
pandangannya al-ijarah diartikan sebagai akad yang memiliki suatu manfaat
yang memiliki tujuan tertentu dan mubah, disertai dengan pengganti yang
telah ditentukan. Sedangkan ulama Hanabilah dan Malikiyah mengartikan
al-ijarah sebagai suatu kepemilikan manfaat yang bersifat mubah dalam
kurun waktu yang ditentukan dengan pengganti.(13

Fatwa DSN MUI No. 09/DSN-MUI/IV/2000 mengenai pembiayaan


menggunakan al-ijarah,18 yaitu akad yang memindahkan manfaat (hak
guna) pada suatu barang ataupun jasa dengan kurun waktu tertentu dengan
membayar sewa atau upah, tanpa disertai pemindahan hak kepemilikan
barang atau jasa tersebut. Oleh karena itu, akad al-ijarah hanya
memindahkan hak guna suatu barang atau jasa, tanpa disertai pemindahan
hak milik. Dasar hukum yang digunakan pada akad alijarah yaitu Al-Qur’an
surat At-Thalaq [65] : 6 dan Al-Hadits.

12
Sri Nurhayati dan Wasilah, Akuntansi Syariah Di Indonesia (Jakarta: Salemba Empat,
2013), hlm. 228.
13
Syafei, Fiqih Muamalah, hlm. 121.

8
Pada praktek di Lembaga Keuangan Syariah, al-ijarah atau sewa-
menyewa ini dalam prakteknya disertai dengan pemindahan hak
kepemilikan barang atau jasa atau yang dikenal dengan istilah akad ijarah
muntahiyyah bit-tamlik (IMBT). Tentu akad ini memiliki perbedaan pada
prakteknya di Lembaga Keuangan Non-syariah, pada Lembaga Keuangan
Syariah objek yang digunakan bisa berupa barang, jasa maupun tenaga
kerja.14

4. Bersekutu (Al-syirkah)

Al-musyarakah atau yang acap kali disebut dengan syirkah adalah


akad kerja sama yang dilakukan kedua pihak atau bahkan lebih untuk
melakukan usaha yang saling memberikan modal atau kontribusi keuangan
dengan melakukan kesepakatan keuntungan dan resiko menjadi tanggung
jawab bersama sesuai kesepakatan kedua pihak atau lebih.15

Pada Lembaga Keuangan Syariah akad musyarakah


implementasinya dapat dilihat dari berbagai macam pembiayaan, seperti
musyarakah mutanaqisah, modal ventura, obligasi syariah atau sukuk, dan
pembiayaan proyek. Dalam pembiayaan proyek implementasi musyarakah
yaitu nasabah dan bank keduanya memberikan kontribusi modal, setelah
proyek selesai pengerjaannya maka nasabah mengembalikan modal disertai
dengan bagi hasil yang telah disepakati kedua pihak. Implementasi modal
ventura di Lembaga Keuangan Syariah dibolehkannya investasi dalam
kepemilikan perusahaan, akad musyarakah penerapannya dalam skema
modal ventura, penanaman modal yang dilakukan dalam jangka waktu
tertentu, maka setelah itu pihak bank melakukan penjualan bagian
sahamnya atau divestasi secara singkat atau bertahap. Sedangkan
musyarakah mutanaqisah dimana modal atau asetnya mengalami

14
Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, hlm. 118.
15
Antonio, hlm. 90.

9
pengurangan pada salah satu pihak dikarenakan adanya pembelian secara
bertahap pada salah satu pihak, akad musyarakah memiliki dua bentuk akad
yakni musyarakah atau syirkah dan bai’. Sedangkan obligasi syariah atau
sukuk merupakan akad yang paling ideal karena dalam implementasinya
memiliki konsep syariah yang sangat jelas karena keuntungan dibersamai
dengan resiko dan hasil usaha dibersamai dengan biaya atau modal yang
dikeluarkan.

5. Penitipan (Al-wadi’ah)
Al-wadi’ah secara bahasa diartikan sebagai barang yang telah
dititipkan orang lain untuk dijaga. Al-wadi’ah secara istilah diartikan
sebagai pemberian kepada orang lain dalam bentuk barang yang disertai
dengan otoritas untuk dijaga dengan tegas dan jelas.16

Pada Lembaga Keuangan Syariah, akad al-wadi’ah dalam


implementasinya yaitu pada produk giro dan produk tabungan. Lembaga
Keuangan Syariah mendapatkan keuntungan maupun kerugian dari dana
titipan yang diberikan oleh nasabah, sedangkan nasabah mendapatkan
imbalan keuntungan jaminan keamanan harta yang dititipkan, begitu juga
dengan produk giro lainnya.

6. Bagi hasil (Al-mudharabah)


Al-mudharabah adalah akad kerjasama kedua pihak yang
melakukan usaha kerja sama,pemilik modal atau pihak pertama sebagai
penyedia modal dan pengelola modal atau pihak kedua sebagai pengelola
modal yang telah diberikan,lalu keuntungan diberikan sesuai nisbah yang
17
telah disepakati dan kerugian menjadi tanggung jawab pemilik modal.

16
Abdullah Abdul Husain At Tariqi, Ekonomi Islam, Prinsip, Dasar Dan Tujuan
(Yogyakarta: Magistra Insane Press, 2004), hlm. 266.
17
Dwi Suwiknyo, Kompilasi Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi Islam (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010), hlm. 181.

10
Landasan hukum yang digunakan dalam akad almudharabah
menggambarkan perintah untuk berusaha.

Lembaga Keuangan Syariah dalam penerapannya biasanya pada


segmentasi produk pembiayaan atau pendanaan. Pada segmentasi
penghimpunannya al-mudharabah digunakan pada:Tabungan berjangka,
merupakan tabungan yang diciptakan secara khusus sepertitabungan
kurban, haji, dsb.

Deposito, merupakan simpanan yang pengembaliannya telah


ditentukan sesuai kesepakatan. Deposito memiliki memiliki jangka waktu
tertentu,sehingga nasabah tidak dapat mengambil uang kapan saja, deposito
biasanya memiliki jangka waktu jatuh tempo 1,3, 6 dan 12 bulan. Apabila
nasabah mengambil kembali uang yang telah di deposito tidak pada jatuh
tempo yang telah ditentukan maka akan diberikan sanksi atau penalti.

a. Pada segmentasi pembiayaan, Lembaga Keuangan Syariah menerapkan


almudharabah dengan berbagai bentuk, diantaranya:
b. Modal kerja, Pembiayaan seperti ini diberikan pada modal kerja
perdagangan maupun jasa.
c. Mudharabah muqayyadah atau investasi khusus merupakan
pembiayaan yang bersumber dari dana khusus yang kemudian
disalurkan secara khusus dengan ketentuan yang diatur shahibul mal.
7. Pemberian hak kuasa (Al-wakalah)
Al-wakalah secara harfiah diartikan menjaga, atau memberikan
penerapan keahlian dengan nama orang lain, tawkeel merupakan kata yang
diturunkan dan memiliki arti penunjukan terhadap orang lain untuk
pengalihan suatu hal yang bertujuan pendelegasian tugas kepada orang
lain.18 Akad al-wakalah pada hakikatnya adalah pemberian kuasa kepada

18
Muhammad Ayub, Understanding Islamic Finance (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2009), hlm. 529.

11
orang lain untuk melakukan suatu pekerjaan, sedangkan pemberi kuasa
tidak dalam keadaan melakukan kegiatan tersebut.
Aplikasi al-wakalah dalam aktivitas di Lembaga Keuangan Syariah
yaitu pihak nasabah memberikan kuasa ke pihak bank sebagai bentuk
perwakilan dirinya dalam melaksanakan pekerjaan yang telah ditentukan,
dalam pelaksanaanya seperti anjak piutang (factoring), pembiayaan
rekening koran syariah, inkaso dan transfer uang, investasi reksadana
syariah, asuransi syariah, pembukuan L/C (letter of credit import syariah &
letter of credit eksport syariah), asuransi syariah, wali amanat, dan
penitipan. Syarat dari akad al-wakalah yaitu bank dan nasabah yang
dicantumkan dalam akad pemberian kuasa harus cakap hukum.19
8. Penanggungan (Al-kafalah)

Al-kafalah dapat diartikan sebagai pemberian jaminan yang berasal


dari penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban
dari pihak keduaatau yang diberikan tanggungan, al-kafalah dalam
pengertian lain yakni pengalihan tanggung jawab seseorang dengan jaminan
yang diberikan orang lain sebagai pihak yang bertanggung jawab sebagai
penjamin. 20

Melihat perkembangan konsep al-kafalah saat ini, memiliki berbagai


macam bentuk dalam pelaksanaannya, begitupun dari pihak yang memiliki
keterlibatan semakin bervariasi. Diantaranya adalah yang dilakukan oleh
pihak pemerintah yang dalam prakteknya dilaksanakan oleh Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS) dan Bank Indonesia (BI). Pihak LPS dan BI
dalam program ini secara kolektif memberikan perlindungan atas hak
nasabah simpanan dana dalam suatu waktu terjadi likuiditas keuangan oleh
bank tempat nasabah melakukan simpanan.

19
“Sesuai Dengan Pasal 8 Huruf e,f,h,j Dan I, Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
No.32/34/Kep./Dir Tanggal 12 Mei 1999 Tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah,” n.d.
20
Dimyaudin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008),
hlm. 247.

12
9. Pemindahan hutang (Al-hiwalah)

Secara bahasa al-hiwalah diartikan pemindahan dari suatu tempat ke


tempat yang lain.21 (35) Al-hiwalah merupakan pemindahan hutang yang
berasal dari orang yang telah berhutang kepada orang lain yang bertanggung
jawab atas hutang tersebut, hal ini merupakan pemindahan tanggung jawab
dari pihak satu ke pihak lainnya. Kontrak al-hiwalah biasanya diterapkan
Lembaga Keuangan pada factoring atau anjak piutang, yakni nasabah
pemilik piutang kepada pihak ketiga melakukan pemindahan piutang
tersebut kepada pihak bank, kemudian pihak bank membayar piutang dan
pihak bank melakukan penagihan kepada pihak ketiga; post-dated check,
dalam hal ini pihak bank memiliki peran sebagai penagih tanpa melakukan
pembayaran piutang terlebih dahulu; bill discounting maka hal ini sama
halnya dengan al-hiwalah, akan tetapi bill discounting nasabah hanya
membayar fee, sedangkan pembahasan fee tidak didapati dalam kontrak al-
hiwalah.22

10. Gadai (Ar-rahn)

Pandangan Islam mengenai ar-rahn sebagai saran dalam tolong


menolong (ta’awun) yang diberikan kepada umat Islam tanpa adanya
23
imbalan atas jasa yang diberikan. Ar-rahn secara terminologi dapat
diartikan sebagai bentuk menahan harta milik seseorang yang berkedudukan
sebagai peminjam sebagai bentuk jaminan atas pinjaman yang dilakukan
dengan ketentuan jaminan tersebut memiliki nilai ekonomis. Sehingga
pihak yang melakukan penahanan harta memperoleh jaminan untuk dapat
mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.24

21
Wahbah As-Zuhaili, Al-Fiqh Islamy Wa Adillatuh (Damaskus: Dar Al-Fikr, 1986), hlm.
143.
22
Sunarto Zulkifli, Panduans Perbankan Syariah Prakti (Jakarta: Zikrul Hakim, n.d.), hlm.
30.
23
Nasrun Haroen, Fiqh Mu’amalah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), hlm. 251.
24
Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, hlm. 128.

13
Jumhur ulama’ fiqih menyatakan sepakat tentang ar-rahn agar
diperbolehkan dalam keadaan hadir di tempat, dengan ketentuan barang
jaminan dapat langsung dikuasai oleh pemberi hutang. Ada beberapa barang
yang dapat dijadikan jaminan namun tidak dapat dipegang secara langsung
oleh pemberi hutang, maka setidaknya ada semacam pegangan yang
dijadikan jaminan atas barang tersebut. Aplikasi akad ar-rahn di Lembaga
Keuangan Syariah digunakan untuk produk pelengkap yaitu akad tambahan
(jaminan/collateral) terhadap produk lain seperti dalam pembiayaan bai’ al-
murabahah, bank dapat menahan jaminan dari nasabah sebagai konsekuensi
akad tersebut.

C. Teori Pertukaran Dan Percampuran


A. Teori Pertukaran

Pertukaran (al-ba’i) adalah mempertukarkan suatu harta benda


untuk tujuan kepemilikan. Teori pertukaran dibagi menjadi 2 yaitu :

1. Objek Pertukaran membedakan 2 jenis objek pertukaran, yaitu :

a. ‘ayn (real assets) berupa barang dan jasa

b. Dayn atau hutang, dayn dapat diartikan sebagai aset


finansial. Objek pertukaran dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu dayn berupa uang dan dayn berupa surat berharga.
Perbedaan antara keduanya terdapat pada jangkauan
fungsinya. Kalau uang dinyatakan sebagai alat tukar resmi
oleh pemerintah, sedangkan surat berharga hanya terbatas
pada jangkauan tertentu saja yang menggunakanya.

2. Waktu pertukaran, dibedakan menjadi 2 yaitu :

a. Naqdan (immediate delivery) yang berarti penyerahan saat


itu juga

b. Ghairu Naqdan (deferred delivery) yang berarti penyerahan


kemudian.

14
Secara garis besar ada 2 jenis aset yang dapat digunakan
sebagai investasi yaitu

a. Real assets yaitu investasi yang dilakukan dalam aset-


aset yang berwujud nyata seperti emas dan karya seni

b. Financial asset yaitu investasi yang dilakukan pada


sektor sektor finansial seperti deposito, saham, obligasi,
reksadana

Dari segi objek pertukaran, dapat diidentifikasikan 3 jenis


pertukaran yaitu

1. Pertukaran Real Assets (‘ayn) dengan real assets (‘ayn)

Bila jenisnya berbeda (misalnya upah tenaga kerja


yang dibayar dengan sejumlah beras) maka tidak ada
masalah atau dibolehkan. Namun jika jenisnya sama, fiqh
membedakan antara real dengan real aset secara kasat mata
tidak dapat dibedakan mutunya.

2. Pertukaran ‘ayn (real assets) dengan dayn (financial asets)

Dalam pertukaran ‘ayn dengan dayn maka yang


dibedakan adalah jenis ayn nya. Jika ayn nya adalah barang
maka pertukaran ayn dengan dayn itu disebut juga jual beli (al –
ba’i). Sedangkan bila ‘ayn nya adalah jasa, maka pertukaran itu
disebut sewa menyewa/upah mengupah (ijarah)25

B. Teori Percampuran
1. Objek percampuran

a. ‘Ayn (real asset) berupa barang dan jasa

b. Dayn (financial asset) berupa uang dan surat berharga

25
https://id.scribd.com/document/453899159/Pertukaran-dan-Pencampuran

15
2. Waktu Penyerahan

a. Naqdan (intermediate delivery) yaitu penyerahan saat itu juga

b. Ghairu naqdan (deffered delivery) penyerahan kemudian

3. Jenis percampuran

a. Percampuran ‘ayn bi ‘ayn(syirkah abdan)

Contohnya : tukang kayu menyumbangkan keahlian perkayuanya dan


tukang batu menyumbangkan ahli membangunya

b. Percampuran ‘ayn bi dayn

- Syirkah mudharabah : uang dicampurkan dengan jasa

- Syirkah wujuh : terjadinya percampuran antara ayn dengan dayn

c. Percampuran dayn bi dayn

Disebut juga dengan syirkah mufawadhah jika terjadi


percampuran uang dengan uang dalam jumlah yang sama.

Disebut juga syirkah inan jika jumlah uang dicampurkan berbeda26

26
Kurniansih, desy."Teori Pertukaran Dan Percampuran serta Akad-Akad Dalam Bank
Syariah".2017.blogspot. http://desskur.blogspot.com/2017/02/teori-pertukaran-dan-pencampuran-
serta.html?m=1

16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bentuk Akad Pernjanjian ada 2 macam, yaitu pertukaran dan pencampuran.
Pertukaran merupakan suatu jenis akad dalam perjanjian syariah, yang kedua belah
pihak saling mempertukarkan aset yang dimilikinya, sedangkan percampuran
adalah ikatan kerjasama antara orang-orang yang berserikat dalam hal modal dan
keuntungan.

Dalam teori pertukaran dan pencampuran objek pertukaran berupa ayn dan
dayn, dan waktu penyerahanya sama naqdan (saat itu juga) dan ghairu naqdan
(kemudian). Adapaun jenis dari pertukaran terdapat ‘ayn dengan ‘ayn dan dayn
dengan dayn. Sedangakan dalam teori percampuran terdapat ‘ayn bi ayn, ayn bi
dayn, dan dayn bi dayn.

B. Saran
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari masih banyak kekurangan
dalam pengetikan maupun dalam isi pembahasan. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kepada pembaca untuk memberikan kritik maupun saran dalam
kesempurnaan makalah ini. Karena tidak ada sesuatupun yang sempurna melainkan
allah SWT

17
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Abdul Husain At Tariqi, Ekonomi Islam, Prinsip, Dasar Dan Tujuan
(Yogyakarta: Magistra Insane Press, 2004)
Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik
Al-Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu (Damaskus: Dar al-Fikr,
2005)
Dimyaudin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2008).
Dwi Suwiknyo, Kompilasi Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi Islam (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010).
Gemala dewi, Hukum perikatan islam di Indonesia, ( Jakarta: kencana, 2005 )
Ghufron A Mas'adi, Fiqh Muamalah Konstekstual, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2002.
Isnawati Rais dan Hasanudin, Fiqh Muamalah Dan Aplikasinya Pada Lembaga
Keuangan Syariah (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah,
2011)
Kurniansih, desy."Teori Pertukaran Dan Percampuran serta Akad-Akad Dalam
Bank Syariah".2017.blogspot.
Mardani, Fiqih Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah (Jakarta: Kencana Predana
Media, 2013).
Muhammad Ayub, Understanding Islamic Finance (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2009).
Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik (Jakarta: Gema
Insani Press, 2001).
Nasrun Haroen, Fiqh Mu’amalah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000).
Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah (Bandung: Pustaka Setia, 2001).
“Sesuai Dengan Pasal 8 Huruf e,f,h,j Dan I, Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia No.32/34/Kep./Dir Tanggal 12 Mei 1999 Tentang Bank Umum
Berdasarkan Prinsip Syariah,” n.d.
Sunarto Zulkifli, Panduans Perbankan Syariah Prakti (Jakarta: Zikrul Hakim, n.d.)
Sri Nurhayati dan Wasilah, Akuntansi Syariah Di Indonesia (Jakarta: Salemba
Empat, 2013).
Syaikh Faishal bin Abdul Aziz Alu Mubarak, Ringkasan Nailul Authar (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2012).
Wahbah As-Zuhaili, Al-Fiqh Islamy Wa Adillatuh (Damaskus: Dar Al-Fikr, 1986)

18
Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, hlm 111.
https://id.scribd.com/document/453899159/Pertukaran-dan-Pencampuran

19

Anda mungkin juga menyukai