Anda di halaman 1dari 19

As-Sharf

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Kajian Kitab HES

Dosen Pengampu :

Drs. H. M. Faishol Munif, M.Hum.

Disusun Oleh Kelompok 11 :

Savira Tsania Amalia Rosyada C92217106

Affrido Galuh Mulyono C92217118

Aulia Salsabila Firdausi C92217124

HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta'ala, karena atas
rahmat, nikmat, serta karunia-Nya lah kami sebagai penyusun dapat menyelesaikan
makalah ini. Shalawat serta salam tak lupa kami haturkan kepada Nabi Muhammad
‫ ﷺ‬yang telah membimbing kita dari jalan yang gelap menuju jalan yang terang
yakni agama Islam. Selaku penyusun kami juga ingin berterimakasih kepada dosen
pengampu mata kuliah Kajian Kitab HES., Drs. H. M. Faishol Munif, M.Hum. yang
telah membimbing kami dalam menyusun makalah ini yang berjudul “As-Sharf”.
Dengan disusunnya makalah ini kami sebagai penyusun berharap semoga
makalah ini bermanfaat bagi kami dan bagi pembaca pada umumnya dalam
kehidupan bermasyarakat. Sebagai penyusun kami juga menyadari bahwa banyak
kekurangan dalam makalah kami baik dari segi bahasa maupun penulisan, maka
dari itu kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca agar makalah ini untuk
kedepannya menjadi makalah yang lebih baik lagi. Demikian yang dapat kami
sampaikan, apabila ada kekurangan kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Surabaya, 24 Februari 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
A. Latar Belakang.............................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................1
C. Tujuan Penulisan..........................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................2
A. Pengertian Sharf (Jual Beli uang).................................................................2
B. Syarat Sharf Secara Global...........................................................................2
C. Implikasi Syarat Serah Terima Sebelum Berpisah........................................4

BAB III PENUTUP................................................................................................15


A. Kesimpulan................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................iii

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Allah SWT telah menjadikan manusia masing-masing berhajat pada satu
dengan yang lainnya supaya mereka saling menolong satu dengan yang lainnya
dalam segala urusan. Kebutuhan masyarakat terhadap ekonomi syariah seakan
sudah tak terbendung lagi, hal ini ditandai dengan berkembangnya pertumbuhan
ekonomi syariah dari setiap instrumennya. Adapun instrumen yang sedang
menjadi trend global adalah perbankan syariah dan pasar uang islam yang
maana diantara pembahasannya terdapat pasar valuta asing.
Pertukaran mata uang dan perdagangan valuta asing telah menjadi suatu
yang sangat umum dan hampir dilakukan dan diterima sebagai suatu transaksi
yang dipraktekkan oleh seluruh dunia. Tidak ada sistem ekonomi suatu negara
yang mengalami kemajuan tanpa berhubungan dengan pertukaran mata uang
dan perdagangan valuta asing. Dengan demikian, islam sebagai agama universal
dan fleksibel dengan perkembangan zaman, sudah selayaknya pertukaran dan
perdagangan valuta asing diterima sebagai suatu kebutuhan di bidang ekonomi
islam.
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi Sharf (Jual beli uang) ?
2. Bagaimana syarat Sharf secara global ?
3. Bagaimana syarat serah terima sebelum berpisah ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui dan memahami definisi Sharf.
2. Untuk mengetahui dan memahami syarat Sharf secara global.
3. Untuk mengetahui dan memahami implikasi syarat serah terima
sebelum berpisah.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Sharf (Jual Beli uang)


Secara bahasa, sharf berarti tambahan. Karena ibadah nafilah (sunnah)
dinamakan pula sharf, karena ia merupakan tambahan. Nabi Muhammad
bersabda : “Barangsiapa yang menisbahkan dirinya pada selain ayah
kandungnya, maka Allah tidak akan menerima sharf (amalan sunnah) dan adl
(amalan sunnah)”
Secara istilah, sharf adalah bentuk jual beli naqdain baik sejenis maupun
tidak yaitu jual beli emas dengan emas, perak atau emas dengan perak dan baik
masih berupa bentuk perhiasan maupun mata uang.1
Transaksi sharf ini diperbolehkan karena Nabi Muhammad SAW
membolehkan jual beli komoditas ribawi satu sama lainnya ketika jenisnya
sama ada kesamaan ukuran, atau jenisnya berbeda walaupun ada ketidak
samaan ukuran dengan syarat diserahterimakan dari tangan ke tangan (kontan).

B. Syarat Sharf Secara Global


Secara umum, syarat-syaratnya yaitu adanya serah terima antara kedua
belah pihak sebelum berpisah diri, adanya kesamaan ukuran, terbebas dari hak
khiyaar, dan dilakukan tanpa ada penangguhan. Rinciannya adalah sebagai
berikut:
1. Adanya serah terima antara kedua belah pihak sebelum berpisah diri.
Dalam akad sharf disyaratkan adanya serah terima barang sebelum
kedua pihak yang melakukan akad berpisah diri. Hal itu agar tidak terjatuh
pada riba nasiah (riba penangguhan).
Apabila kedua pihak atau salah satunya berpisah sebelum adanya serah
terima kedua barang, maka akadanya menjadi farsid menurut ulama
Hanafiyah, dan menjadi batal menurut ulama lainnya karena tidak adanya

1
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillahtuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm. 279.

2
syarat serah terima. Selain itu, agar akadnya tidak berubah bentuk menjadi
jual beli utang dengan utang (bay’ kali bil bali) yang mengakibatkan adanya
riba fadhl (tambahan pada salah satu barang tukaran). Serah terima ini
merupakan syarat baik dalam jual beli dua barang sejenis ataupun tidak.
Apabila keduanya masih berada di majelis akad (belum pergi), maka belum
dianggap berpisah, meskipun dalam waktu yang cukup panjang karena tidak
adanya pisah badan.
2. Adanya kesamaan ukuran jika kedua barang satu jenis
Apabila barang sejenis dijual dengan sejenisnya perak dengan perak
atau emas dengan emas, maka tidaklah boleh dilakukan kecuali bila
timbangan keduanya sama, meskipun berbeda kualitas dan bentuknya
dimana salah satunya lebih berkualitas dari yang lain atau lebih bagus
bentuknya.
Berdasarkan hadits Nabi SAW, di atas “Emas dengan emas, masing-
masing kadarnya sama”. Maksudnya, emas dijual dengan emas yang sama
timbangannya bukan sifatnya, karena sesuai kaidah “Emas yang bagus dan
yang jelek sama saja”
3. Terbebas dari hak khiyaar syarat.
Dalam akad sharf tidak diperbolehkan adanya khiyaar syarat bagi kedua
pihak yang melangsungkan akad atau salah satunya. Karena dalam akad
sharf ini serah terima merupakan salah satu syarat (untuk kepemikikan).
Dan khiyaar syarat justru menghalangi hak kepemilikan ini, meskipun
masalah ini masih diperdebatkan sebagaimana yang diuraikan dalam
pembahasannya.
Apabila pihak yang mempunyai hak khiyaar menggugurkan haknya itu
di majelis kemudian belah pihak berpisah dengan tanpa adanya serah terima,
maka akadnya menjadi boleh. Hal ini berbeda dengan pendapat imam zufar
yang menyatakan bahwa apabila khiyaar itu masih berlaku sampai keduanya
berpisah maka akadnya dengan jelas dinyatakan fasid.Sedangkan dalam
akad sharf dibolehkan hak khiyaar aib dan khiyaar ru’yah.
4. Akad dilakukan secara kontan (tidak boleh ada penangguhan).

3
Diantara syarat akad sharf adalah tidak adanya penangguhan waktu baik
dari kedua pihak maupun salah satunya. Kalau syarat ini tidak terpenuhi,
maka akadnya menjadi fasid (batal). Karena sebagaimana diketahui serah
terima ddua barang yang saling dipertukarkan mesti terlaksana sebalum
berpisah. Penangguhan waktu jelas akan menunda terjadinya serah terima,
sehingga akada mejadi batal. Namun, apabila orang yang menangguhkan
tersebut membatalkan niatnya sebelum berpisah dan melaksanakan aturan
yang semestinya kemudian keduanya berpisah dengan adanya serah terima,
maka akad kembali lagi menjadi boleh, berbeda dengan pendapat imam
zufar.
Bila kita perhatikan bahwa dua syarat terakhir merupakan cabang dari
syarat serah terima yang wajib dilakukan dalam akad sharf berdasarkan
ketentuan dalam pertukaran barang ribawi. Ulama malikiyah dan lainnya
dalam pendapatnya yang mahsyur tidak membolehkan wakah dan hiwalah
dikarenakan terjadinya pengunduran waktu. Ini menurut pendapat yang
rajih.
Adapun dalil tentang syarat tidak boleh adanya penangguhan adalah
hadits-hadits tentang riba yang mengharuskan adanya serah terima kontan
pada dua barang ribawi yang dipertukarkan.

C. Implikasi Syarat Serah Terima Sebelum Berpisah


Apabila serah terima kedua barang tukaran harus dilakukan sebelum
berpisahnya kedua pelaku akad , maka tentunya syarat ini berimplikasi pada
tidak diperbolehkannya ibra’ (pengguguran hak), hibah, penggantian,
muqhasah (penghapusan) dalam akad sharf, yang rinciannya sebagai berikut2 :
1. Ibra’ (Pengguguran hak) atau Hibah
Jika ada dua orang tukar menukar dinar dengan dinar, lalu salah satu
dari mereka menyerahkan dinar pada rekannya, tetapi rekannya ini
menggugurkan hak nya, menghibahkan atau mensedekahkan hak dinarnya
kepada rekannya, maka akan terjadi hal-hal berikut.

2
Ibid., hlm. 282.

4
Bila ia menerimanya, maka gugurlah kewajiban dia atas hutang, dan
akad sharf nya dianggap batal karena pengguran hutangnya berimplikasi
pada tidak terealisasikannya serah terima, padahal serah terima adalah
keharusan dalam akad sharf. Mamun, bila ia menolaknya, maka ibra’ tentu
tidak sah dan akad sharf tetap pada keadaan semula. Hal itu karena serah
terima barang merupakan hak kedua pihak dan ibra’ berarti penggurannya.
Jika hak itu gugur, maka tidak mungkin serah terima hak itu ada. Karena
ibra’ ini berimplikasi pada hal itu maka ia bisa dimaknai sebagai fasakh
(pembatalan) akad, dan pembatalan akad tidak sah kecuali bila kedua pelaku
akad saling rela karena pembatalan tidak mungkin dilakukan oleh keinginan
satu pihak saja setelah akadnya terlaksana. Jika ibra’ tidak sah maka akad
sharf nya akan berjalan seperti keadaan semula , yang selanjutnya serah
terima bisa dilaksanakannya di meja majelis sebelum berpisah.
Jika rekan yang menggugurkan hak, menghibahkan, atau
mensedekahkannya bersikeran untuk tidak mengambil hutangnya, maka ia
harus dipaksa untuk menerima, pasalnya ketidak mauan dia untuk menerima
akan menggugurkan atau membatalkan akad, sedangkan salah satu pelaku
akad saja secara individu tidak dapat membatalkan atau merusak akad pihak
lain.
2. Mengganti Barang Tukaran
Jika salah satu pelaku sharf mengganti barang tukarannya sengan barang
lain, seperti jika ada dua orang saling mentukarkan dinar lalu salah satu nya
memberikan barang selain jenis dinar sebagai pengganti atau ia menjual
atau menghibahkannya kepada pihak lain sebelum diserahkan kepadanya,
maka hal itu tidak di perbolehkan dan akad sharf nya tetap pada hukum yang
semula, karena serah terima barang merupakan syarat utama agar akad
tersebut menjadi sah, dan karena barang pengganti jelas berbeda dengan
barang asli maka penggantian ini berimplikasi pada tidak tercapainya serah
terima secara nyata.
Oleh karena itu apabila penggatian tadi dianggap tidak sah, tentunya
akad shar tetap ada pada hukum semula, kecuali bila salah satu barang

5
tukaran sudah diserah terimakan maka yang satunya lagi wajib diserah
terimakan juga. Jika salah satu pihak menyerahkan barang yang lebih baik
dari haknya atau lebih jelek dari haknya tapi dari jenis yang sama dari hak
yang semestinya ia terima. Maka hal itu di perbolehkan selama yang
menerima tidak mempermasalahkannya, hal itu karena barang yang
diserahkan sejenis dengan barang semestinya maka ia dianggap telah
menggugurkan hak nya atas barang tukaran yang bagus, dan ini masuk
kategori pembayaran bukan penggantian.
3. Hiwalah (Pemindahan), Kafalah, dan Penggantian Barang Tukaran
Salah satu sharf di perbolehkan memindahkan rekannya kepada orang
lain dalam serah terima haknya dengan syarat si muhal ‘alaih (yang
menerima pindahan) hadir di majelis akad. Diperbolehkannya juga baginya
untuk menyerahkan barang gadaian pengganti barang tukaran, ataupun
menghadirkan kafil (penanggung jawab) untuk menanggung hutangnya
kepada rekannya. Akan tetapi semua kondisi ini disyaratkan agar tuntas
penyerahan barang di majelis akad dengan sebenar-benarnya, baik
penyerahan secara nyata seperi kafalah dan hiwalah, maupun tidak nyata
seperti janji-janji nya penerima barang gadaian untuk bertanggung jawab
apanila ada kerusakan pada barang.
Prinsip inilah yang ditetapkannya oleh fuqaha Hanafiyah, dimana
mereka mengatakan bahwa jika orang yang berhak telah menerima hak nya
dari muhal alaih, kafil atau barang gadainya telah diterima di majelis akad
maka sharf dinyatakan sah. Dan jika pelaku kedua sharf berpisah sebelum
tuntasnya serah terima atau barang gadainya belum diterima murtahin
(menerima gadaian) maka akad sharf nya batal karena yang menjadi
acuantetap atau tidaknya majelis akad berlaku adalah tetap eksis atau
berpisahnya kedua pelaku akad di dalamnya. Dan tidak menjadi acuan tetap
eksisnya si muhal alaih atau kafil meski berada pemilik hak tadi , selama
hak pemilik ini belum di tangannya sebelum pisah dari rekannya, karena
serah terima hak masing-masing merupakan kemestian akad, dan ia sangat

6
bergantung pada diri kedua pelaku akad sehingga majelis keduanya
dijadikan acaun.
Jika setiap pelaku akad mewakilkan wewenangnya kepada orang lain ,
maka yang menjadi acuan selesai atau tidaknya majelis akad adalah majelis
kedua orang yang mewakilakan dan bukan majelis wakil karena serah
terima merupakan kemestian dalam akad. Hukum-hukum yang yang
diterapkan ini adalah hukum yang juga diterangkan dalam hiwalah, kafalah
dan penggadaian modal salam serta barang pesanannya terhadap seseorang
yang hadir di majelis.
4. Muqhasah dalam Akad Sharf dan Modal Salam
Mushaqah secara bahasa berarti musaawah (persamaan) dan
mumaattsalah (keserupaan). Dari kata itulah kata al-qishah diambil, yang
artinya menghukum orang yang melakukan kejahatan dengan kejahatannya
agar setimpal. menurut para fuqaha muqhasah mempunyai arti seperti
makna secara bahasanya namun dengan batasan-batasan tertentu. Sebagian
ulama malikiyah mendefinisikan bahwa muqhasah adalah mengugurkan
haerta piutang dari orang yang mengutang kepadamu sebagai ganti harta dia
yang menjadi tanggunganmu.
Muqhashah ada dua macam, yaitu yang pertama muqhashah jabriyah
(kompensasi paksa atau yang berlangsung tanpa kesepakatan kedua pihak
yang berakad) dan Muqhashah ikhtiyariyah / ittifaqiyah (kompensasi yang
berlangsung atas kehendak/ kesepakatan kedua pihak yang berakad). contoh
muqhashah jabriyah yang berlangsung secara otomatis, jika pihak pemberi
utang mempunyai utang piutang yang serupa dengan pihak yang berhutang
baik jenis maupun waktu pelunasannya, maka muqhashah terjadi pada
mereka secara otomatis dan utang piutang diantara keduanya lunas. Namun
jika berbeda akan diperhitungkan terlebih dahulu.
Muqhashah jabriyah mempunyai empat syarat, seperti :
1) Bertemunya dua hak yang sama, yaitu ketika pihak pertama
memiliki utang dan piutang pada pihak kedua dan juga sebaliknya.

7
2) Adanya kesamaan antara kedua utang. Maksutnya kedua utang sama
dalam jenis, macam, sifat dan waktu pelunasan, dan sebagainya.
3) Tidak merugikan siapapun, Maksutnya muqhashah tidak
berimplikasi kerugian bagi siapapun, seperti pihak penghutang.
4) Tidak berimplikasi pada sesuatu yang dilarang secara syara’, seperti
pisah sebelum serah terima modal salam, menggunakan barang
pesanan sebelum adanya serah terima, tidak adanya serah terima
secara kontan atas barang sharf dan barang lainnya.

Jumhur fuqoha mengatakan bahwa muqhashah jabariyah (konpensasi


paksaan) akan berlaku secara otomatis jika terpenuhi syarat-syarat di atas.
Sedangkan contoh untuk muqhasahah faqiyah (yaitu konpensasi yang
berlangsung atas kesepakatan kedua pihak): Bila pihak pertama memiliki
piutang barang dain (barang tidak tertentu sososknya) pada pihak ke dua
dan pihak kedua memiliki piutang berupa barang ‘ain (barang tertentu
sosoknya) pada yang pertama, kemudian keduanya bersepakat untuk tidak
menagih hak masih-masing.
Adapun satuan mata uang yang dipakai pada zaman kita sekarang, baik
itu berupa uang kertas maupun uang logam yang dibuat dari emas dan perak
murni atau campuran, ataupun uang logam dari selain keduanya seperti
tembaga yang dikenal dengan istilah fulus, maka ia masih dikategorikan
satu jenis dalam bab muqhashahah berdasarkan kebiasaan umum dan
pendapat ibnu abi laila. Pendapat inilah yang diadopsi oleh sebagian
masyayikh mazhad hanafi.
Pembahasan tentang hukum muqhashah dalam akad sharf dan salam
sebagai berikut:
a) Muqhashah dalam Akad Sharf
Apabila ada dua orang yang melakukan akad sharf dimana pihak
pertama menjual suatu koin dinar kepada pihak kedua dengan harga
sepuluh dirham. Kemudian ia serahkan dinarnya, namun ia belum
mengambil tukaran sepuluh dirham dari pihak kedua. Bila ternyata pihak
kedua (pembeli) memiliki piutang kepada pihak pertama sebesar

8
sepuluh dirham juga dan ia ingin melakukan muqhashahah, maka
apakah hal itu bisa dilakukan? Dalam hal ini ada tiga kemungkinan:

1.) Utang tersebut sudah ada pada pihak pertama sebelum akad
sharf. Dalam artian sepuluh dirham tadi sudah menjadi piutang
penjual kepada pembeli sebelum dilangsungkan akad sharf,
karena salah satu bab keterikatan hak, seperti qard, ghasab atau
pembelian (sebagai harga barang), apabila kedua belah pihak
sepakat melakukan muqhashah pengganti satu dinar (10 dirham)
dengan utang yang sudah menjadi tanggungan penjual, maka
berdasarkan istihsan hal itu boleh boleh saja dilakukan apabila
keduanya sama sama suka. Namun, berdasarkan qiyas hal itu
tidak boleh. Namun, apabila keduanya tidak mencapai
kesepakatan dalam muqhashah ini, dimana salah satunya
menolak, maka muqhashah tidak bisa dilakukan menurut
kesepakatan ulama hanafiyah.
Penjelasan qiyas, syarat yang dituntut dalam akad sharf
adalah adanya serah terima atas barang tukar yang asli.
Sedangkan dengan adanya muqhashah maka akan terjadi
penggantian atas barang tersebut, padahal hak yang mesti
didapat penjual bukanlah apa yang menjadi utang bagi dirinya,
namun kenyataannya dengan dengan adanyah muqhashah ia
akan mengambil sesuatu yang ada pada tanggungannya sebagai
ganti dari sesuatu yang menjadi kewajiban atas dirinya, dan hal
itu tentunya tidak boleh. Sebagaimana tidak diperbolehkannya
mengambil barang pengganti dalam akad sharf dengan barang
lain atau melakukan ibra’ (pengguguran hak) atas barang
pengganti dalam akad sharf.
Penjelasan istihsan, ketika kedua pihak melakukan
muqhashah, maka sevara langsung muqhashah ini
menggugurkan akad sharf yang pertama dan mensahkan akad

9
sharf yang lain. Dalam hal ini, harga barang yang ditetapkan
adalah10 dirham yang merupakan hutang si penjual tadi. Karena
kalaulah tidak demikian, maka muqhashah menjadi bentuk
penggantian atas barangdalam akad sharf. Hal ini seperti jika
ada dua orang melakukan transaksi jual beli dengan harga 1000,
kemudian keduanya memperbaharui akad dengan harga 1500,
maka transaksi pertama menjadi gugur karena adanya transaksi
kedua yang sah.
2.) Utang terjadi setelah berlangsungnya akad sharf dengan adanya
penerimaan barang secara tidak langsung, misalnya, jika penjual
dinar meminjam 10 dirham dari pembeli dan menerimanya atau
mengambik 10 dirham darinya dengan cara ghashab. Pada
kondisi seperti ini, muqhashah terjadi secara otomatis meski
keduanya tidak menyepakatinya. Dengan kata lain tidak perlu
lagi adanya adanya suka sama suka, karena si penjual sudah
benar benar menerima ganti.
3.) Utang terjadi setelah berlangsungnya akad sharf dengan adanya
akad baru.
Misalnya, jika pernjual dinar tadi membeli baju dari pembeli
dinar dengan harga 10 dirham. Dalam kondisi ini, apabila
keduanya tidak melakukan muqhashah, maka muqhashah tidak
terjadi menurut kesepakatan riwayat-riwayat. Apabila keduanya
sepakat untuk melaksanakan muqhashah 10 dirham dengan 10
dirham lagi di majelis akad, maka ada dua riwayat mengenai hal
tersebut. Salah satu riwayat yang dipilih oleh sarkhasi
menyatakan bahwa hukumnya tidak boleh karena Nabi SAW
membolehkan muqhashah sebagaimana hadits ibnu umar pada
utang yang terjad sebelum akad sharf bukan sesudahnya.
Namun, dalam riwayat lain yang juga shahih berdasarkan
ishtihsan, muqhashah dapat dilakukan juga. Penjelasannya
ketika kedua bekah pihak bermaksud melakukan muqhashah,

10
maka hal itu mengandung makna pembatalan akad pertama dan
memulai akad baru disandarkan pada hutang yang telah ada
tatkala pindah akad. Maka tatkala keduanya telah membatalkan
akad sharf, seolah-olah keduanya memulai akad baru lagi
sehingga muqhashah dinyatakan sah. Hal itu karena dalam
masalah akad dan pembatalan, uang adalah barang yang tidak
dapat ditentukam sosoknya meskipun dengan menentukannya.
Kesimpulannya, pada keadaan pertama dan ketiga
muqhashah berlangsung sesuai kehendak masing-masing dan
yang kedua berlangsung secara paksa.
b) Muqhashah dalam Akad Salam
Adapun muqhashah dalam modal salam dengan hutang yang
menjadi tanggungan muslam ilaih (penjual). Seperti jika muslam ilaih
punya utang pada rabbus salam (pembeli) seharga barang pesanan, maka
apakah bisa dilakukan muqhashah atau tidak? Dalam hal ini ada 3
kemungkinan juga :

1.) Adanya tanggungan utang sebelum akad. Misalnya, jika rabbus


salam menjual baju kepada muslam alaih dengan harga sebesar
10 dirham, namun ia belum menerima uangnya. Setelah itu,
keduanya melakukan transaksi salam, misalnya rabbus salam
tadi membeli satu mud gandum dengan harga 10 dirham pada
muslam alaih. Apabila keduanya sepakat dengan muqhashah
atas utang-piutang keduanya, maka muqhashah dinyatakan sah
berdasarkan istihsan. Tetapi bila salah satunya keberatan, maka
muqhashah itu batal. Sedangkan jika didasarkan pada qiyas
maka dinyatakan tidak sah. Ini adalah pendapat Zufar.
2.) Tanggungan utang terjadi setelah akad salam dengan adanya
penerimaan barang secara tidak langsung, seperti melalui
ghashab atau qard. Dalam hal ini muqhashah terjadi secara
otomatis bagi rabbus salam atas muslam alaih sebagaimana

11
dalam sarf. Karena peneriman barang sesungguhnya, maka ia
bisa dijadikan pengganti dalam modal salam bila utang-piutang
keduanya sama.
3.) Tanggungan utang terjadi setelah adanya akad salam dengan
akad lain, misalnya jika muslam alaih membeli sesuatu dari
rabbus salam setelah akad salam selesai. Pada kondisi ini
seperti ini tidak boleh dilakukan muqhashah meskipun
keduanya sepakat. Kecuali menurut pendapat yang syadz dari
Abu Yusuf. Alasannya karena muqhashah mengahruskan
adanya dua utang dan ketika terjadi akad salam hanya ada satu
utang saja (utang pembeli). Disamping itu, akad salam
mengharuskan adanya serah terima sebenarnya dan dalalm
praktik muqhashah justru tidak demikiain.
i. Sharf dan transfer keuangan cara qardh
Saat ini transfer uang dari satu negara ke negara lain merupakan
kebutuhan yang sangat urgen. Pertukaran itu dilakukan setelah adanya
transaksi tukar menukar antara seseorang dengan pihak money changer.
Misalnya transfer yang dilakukan oleh para buruh di negeri Teluk
ditujukan ke rekenging mereka, keluarga dan kerabat-kerabatnya yang
ada dibank negara asalnya. Atau transfer yang dilakukan oleh seorang
wali murid untuk anak-anaknya yang berada diluar negeri, atau bentuk-
bentuk lainnya yang biasa dilakukan oleh pihak bank atau pedagang
valuta asing baik transfer dalam maupun luar negeri. Transfer untuk ke
luar negeri biasanya dilakukan dengan cara penukaran mata uang lain
yang nantinya diserahterimakan di negeri yang dituju.
ii. Apakah praktik ini dibolehkan secara syar’i atau tidak ?
Jual beli mata uang kertas sama hukumnya dengan jual beli naqdain
sebagaimana keputusan lembaga-lembaga fiqh (Majma’ al-Fiqih) dan
lembaga ulama-ulama besar (Haiaat Kibaar al-Ulama’).
Transfer suatu mata uang kepada mata uang yang lain, dengan
adanya penangguhan dan tanpa serah terima dimajelis akad adalah

12
haram hukumnya, baik ada tambahan maupun tidak, karena ia sudah
termasuk pada kategori riba nasiah.
Atas dasar inilah, maka akad sharf harus dilakukan secara tunai,
baik dengan pihak bank atau money changer tanpa ada pengunduran
pembayaran.
Menurut pandangan Imam Malik berbeda pendapat dengan
pendapat jumhur ulama sebagai mana yang akan dijelaskan dalam
pemabahasan qardh, dibolehkan adanya persyaratan penentuan
pembayaran pengganti pinjaman. Sebagaimana yang telah dipaparkan
pada poin kedua tetang bentuk muqhashah dalam akad sharf bahwa
dibolehkan bagi penjual dinar untuk meminjami 10 dirham dari pembeli
dan menerimanya secara hakiki. Pada kondisi seperti ini, muqhashah
terjadi secara otomatis meski keduanya tidak menyepakatinya. Karena
si penjual sudah benar-benar menerima ganti.
iii. Pelunasan utang dengan mata uang yang berbeda
Ulama’ Hanabilah membolehkan untuk mengganti salah satu
naqdain dengan naqdain yang lain sesuai dengan harga hari transaksi.
Dalam kitab al-Muntahaa diutarakan bahwa dibolehkan pembayaran
mata uang dengan mata uang lain, apabila salah satunya berada ditempat
atau sebagai amanah dan satunya lagi ada dalam tanggungan dengan
harga hari transaksi. Namun, hal ini dilarang oleh Ibnu Abbas dan yang
lainnya.
Dalam Syarh al-Muntahaa dinyatakan, “Dalil kami adalah hadits
Ibnu Umar bahwa ia berkata, ‘Aku datang kepada Nabi saw, dan
berkata, ‘Saya menjual unta di Baqi’. Saya menjual dengan uang dinar
dan mengambil dengan uang dirham. Menjual uang dirham dan
mengambil dengan uang dinar.’ Nabi saw, bersabda,
“Tidaklah apa-apa kamu mengambilnya bila dengan harga itu
selagi kalian berdua tidak berpisah dan di antara kalian berdua ada
seusatu”

13
Dalam redaksi lain. “Saya menjual dengan dinar dan mengambil
perak sebagai penggantinya, dan menjual dengan perak dan mengambil
dinar sebagai gantinya.”
Dalam kitab dinyatakan bahwa barang siapa yang berutang uang
dinar kemudian ia bayar dengan uang dirham yang terpisah-pisah, setiap
dirham dihitung nilai kursnya dalam dinar, maka pembayaran tersebut
dinyatakan sah. Kalaulah tidak demikian, maka tidak sah.

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan pada makalah ini, maka
dapat diambil kesimpulan bahwa jual beli mata uang (ash-sharf) adalah
pertukaran antara mata uang dengan uang atau disebut juga valas. Pertukaran
ini dapat berupa uang yang sejenis maupun dengan mata uang yang lain, namun
harus dengan jumlah atau nilai yang sama serta harus sesuai dengan rukun dan
syarat yang telah ditentukan.
Syarat-syarat Sharf secara umum meliputi, adanya serah terima antara
kedua belah pihak sebelum berpisah diri, adanya kesamaan ukuran, terbebas
dari hak khiyaar, dan dilakukan tanpa ada penangguhan. Apabila serah terima
kedua barang tukaran harus dilakukan sebelum berpisahnya kedua pelaku akad
, maka tentunya syarat ini berimplikasi pada tidak diperbolehkannya ibra’
(pengguguran hak), hibah, penggantian, muqhasah (penghapusan) dalam akad
sharf

15
DAFTAR PUSTAKA

Az-Zuhaili, Wahbah. 2011. Fiqih Islam Wa Adillatuhu. Jakarta: Gema Insani

iii

Anda mungkin juga menyukai