Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH HUKUM PERKAWINAN : PERKAWINAN CAMPURAN DI

INDONESIA

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perkawinan di Indonesia

Dosen Pengampu : Dr. Mufliha Wijayanti, M.S.I.

DISUSUN OLEH:
1. Reza Syarifudin Zein (18020320170
2. Krisna Putra Timur (2002011013)
3. Hani Ro’ida ()
4. M. Nur Wahid ()

JURUSAN AHWAL AS SYAKHSHIYYAH (AS)


FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI METRO
TAHUN AKADEMIK 2021/2022
PERKAWINAN CAMPURAN DI INDONESIA

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1tahun 1974 tentang Perkawinan adalah

Perkawinan antara warga Negara Indonesia dengan warga Negara asing (Pasal 57 UU

Perkawinan).1 Karena berbeda kwarganegaraan maka hukum yang berlaku bagi mereka

berbeda baik dalam Hukum Pidana atau Hukum Perdata.2

Manusia adalah makhluk sosial, sehigganya mereka tidak dapat terpisah dengan

lingkungan sosialnya. Manusia juga memiliki kodrat untuk berhubungan dengan lawan

jenisnya, hubungan ini dilegalkan melalui ikatan yang bernama pernikahan. Perkawinan

adalah pertalian antara manusia laki-laki dan perempuan dalam waktu yang lama. Tujuan

pernikahan adalah untuk mendapatkan keturunan.3

Kehidupan manusia semakin hari semakin berkembang, untuk mengatur segala segi

kehidupan manusia maka diciptakanlah sebuah aturan (Hukum) baik secara lokal,

Nasional, Maupun Internasional. Salah satu yang diatur adalah soal perkawinan

Campuran (Beda warga Negara antara laki-laki dan perempuan).4 Tujuan kami membuat

makalah dengan topik berikut ini supaya kedua belah pihak mendapatkan kepastian

hukum. Dalam melaksanakan pernikahan campuran

Proses perkawinan dilakukan oleh lembaga perkawinan. Lembaga tersebut diatur oleh

aturan hukum nasional (Indonesia) yakni undang undang Nomor 1tahun 1974 tentang

1
UU Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan
2
Sasmiar, Akibat Hukum Pernikahan Campuran
3
Hasil Penelitian Dosen Hukum Perdata Univ. Jambi
4
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta 1984
Perkawinan. Sejalah dengan keadaan hari ini dimana perkembangan zaman(dalam

tekhnologi) semakin pesat tidak menampik kemungkinan memudahkan berhubungan

dalam negeri hingga luar negeri. Keadaan ini berdampak dan menjadi penyebab semakin

banyaknya warga Negara Indonesia yang menikah dengan warga Negara asing (dari

berbagai Negara).

Dalam UU Perkawina 1974 (Pasal 57) diuraikan bahwa ada unsure-unsur perkawinan

campuran meliputi :

1. Perkawinan antara seorang pria dan wanita

2. Di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarga

negaraan

3. Salah satu pihak berkwarga negaraan Indonesia

Unsur- Unsur perbedaan hukum tersebut bukan karena perbedaan suku, bangsa, agama.

Tapi karena perbedaan kewarganegaraan antara orang Indonesia dengan orang asing. 5

Karena berbeda kewarganegaraan maka hukum yang berlaku bagi mereka juga berbeda,

sehingga menjadi persoalan adalah bagaimana sitematis dan prosedur perkawinan

campuran?

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah hukum perkawinan di Indonesia : UU Perkawinan dan KHI?

2. Bagaimana peraturan perundang-undangan tentang pernikahan campuran?

3. Apakah masalah spesifik tentang pernikahan campuran?

4. Bagaimanakah analisis undang-undang terhadap pernikahan campuran?

5
M. Abdulkadir, Hukum Perdata Indonesia, 1993
1.3 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah inventarisasi hokum normatif

yang mana penelitian ini dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka sebagai sumber

bahan primer dan hasil penelitian peneliti terdahulu yang meneliti lapangan digunakan

sebagai sumber data sekunder.6

Penelitian mengenai perkawinan campuran ini menitik beratkan pada aturan

hukum yang berlaku di Indonesia dan situasi yang terjadi di lapangan mengenai kondisi

hukum yang terjadi dan berlaku di masyarakat sesuai fakta yang ada.7

PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Hukum Perkawinan di Indonesia

Pada masa penjajahan terdapat dua periode tentang sejarah hukum perkawinan

Islam. Pada masa penjajahan Belanda, terdapat dua teori. Pertama, teori receptio in

complexu, yang menjadikan hukum Islam sebagai sumber hukum bagi hukum

perkawinan. Kedua, teori receptie yang menjadikan hukum Islam sebagai sumber

hukum Islam namun dengan syarat tidak bertentangan dengan hukum adat.

Sedangkan pada masa penjajahan Jepang tidak terjadi pengaturan hukum perkawinan

Islam yang berarti, di mana tetap menjadikan hukum Islam sebagai sumber hukum

perkawinan di Indonesia.Dalam masa kemerdekaan sebelum lahirnya Undang-undang

No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, lahir dua undang-undang. Yaitu Undang-

undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk serta
6
Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar penelitian Hukum
7
H.B Sutopo, 1988, Metodologi Penelitian Kualitatif
Undang-undang no. 32 tahun 1954 Tentang Penetapan Berlakunya Undang-Undang

Republik Indonesia Tanggal 21 Nopember 1946 Nomor 22 Tahun 1946 Tentang

pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk di Seluruh Daerah Jawa dan Madura.8

Masa Penerapan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan

Kompilasi Hukum Islam Perlu diketahui bahwa sebelum terbentuknya Kompilasi

Hukum Indonesia terjadi perubahan penting dan mendasar yang telah terjadi dalam

lingkungan Pengadilan Agama dengan disyahkannya RUU-PA menjadi UU No 7

Tahun 1989, yang diajukan oleh menteri Agama Munawir Sjadzali ke sidang DPR. Di

antara isinya sebagai berikut:9

1. Peradilan Agama telah menjadi peradilan mandiri, kedudukanya benar-benar telah

sejajar dan sederajat dengan peradilan umum, peradilam militer,dan peradilan tata

usaha negara.

2. Nama, susunan, wewenang (kekuasaan) dan hukum acaranya telah sama dan

seragam di seluruh Indonesia. Terciptanya unifikasi hukum acara peradilan agama

akan memudahkan terwujudnya ketertiban dan kepastian hukum yang berintikan

keadilan dalam lingkungan peradilan agama.

3. Perlindungan kepada wanita telah ditingkatkan dengan jalan antara lain,

memberikan hak yang sama kepada istri dalam proses dan membela

kepentingannya di muka peradilan agama.

8
Nafi Mubarok, Sejarah hukum perkawinan di Indonesia. (Surabaya, IAIN Sunan Ampel, 2012) Halaman
159-160
9
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, hlm. 277-278.
4. lebih memantapkan upaya penggalian berrbagai asas dan kaidah hukum Islam

sebagai salah satu bahan baku dalam penyusunan dan pembinaan hukum

nasional melalui yurispondensi.

5. Terlaksananya ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Pokok Kekuasaan

Kehakiman (1970).

6. Terselengaranya pembangunan hukum nasional berwawasan nusantara yang

sekaligus berwawasan Bhineka Tunggal Ika dalam bentuk Undang-undang

Peradilam Agama.

Namun keberhasilan umat Islam Indonesia dalam mensukseskan RUU-PA

menjadi Undang-undang Peradilan Agama No. 7 Tahun 1989, tidaklah berarti

persoalan yang berkaitan dengan implementasi hukum Islam di Indonesia

menjadi selesai. Ternyata muncul persoalam krusial yang berkenaan dengan

tidak adanya keseragaman para hakim dalam menetapkan keputusan hukum

terhadap persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Hal ini disebabkan tidak

tersedianya kitab materi hukum Islam yang sama. Secara material memang telah

ditetapkan 13 kitab yang dijadikan rujukan dalam memutuskan perkara yang

kesemuanya bermazhab Syafi’i. Akan tetapi tetap saja menimbulkan persoalan

yaitu tidak adanya keseragaman keputusan hakim.10

Berangkat dari realitas ini keinginan untuk meyusun “kitab hukum islam”

dalam membentuk kompilasi dirasakan semakin mendesak. Penyusunan

Kompilasi ini bukan saja didasarkan pada kebutuhan adanya keseragaman

10
Abdul Rachmad Budiono, Perdailan Agama dan Hukum Islam di Indonesia (Malang: Bayumedia, 2003),
hlm. 52-53. Lihat juga: Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, hlm. 219.
referensi keputusan hukum PA di Indonesia,tetapi juga disadarkan pada

keharusan terpenuhinya perangkat-perangkat sebuah.

Peradilan yaitu kitab materi hukum Islam yang digunakan di lembaga

Peradilan tersebut.11 Bustanul Arifin adalah seorang tokoh yang tampil dengan

gagasan perlunya membuat Kompilasi Hukum Indonesia. Gagasan tersebut

disebapati, sehingga dibentuklah Tim pelaksana Proyek dengan Surat Keputusan

Bersama (SKB) ketua Mahkamah Agung RI dan Menteri Agama RI

No.07/KMA/1985, dengan mengangkat Bushtanul sebagai Pemimpin Umum

yang anggotanya meliputi para pejabat Mahkamah Agung dan Departemen

Agama. Dengan kerja keras anggota Tim dan ulama-ulama, cendikiawan yang

terlibat di dalamnya maka terumuslah KHI yang ditindaklanjuti dengan

keluarnya intruksi presiden No. 1 Tahun 1991 kepada menteri Agama untuk

menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari buku I tentang

Perkawinan, Buku II tentang Kewarisan, Buku III tentang Perwakafan. Inpres

tersebut ditindaklanjuti dengan SK Menteri Agama No. 154 Tahun 1991 tanggal

22 Juli 1991.46 Setidaknya dengan adanya KHI itu,maka saat ini di Indonesia

tidak akan ditemukan lagi pluralisme Keputusan Peradilan agama,karena kitab

yang dijadikan rujukan hakim Peradilan Agama adalah sama. Selain itu fikih

yang selama ini tidak positif, telah ditransformasikan menjadi hokum positif

yang berlaku dan mengikat seluruh umat Islam Indinesia. Lebih penting dari itu,

KHI diharapkan akan lebih mudah diterima oleh masyarakat Islam Indonesia

karena ia digali dari tradisi-tradisi bangsa indonesia. Jadi tidak akan muncul

11
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006),
hlm. 21.
hambatan Psikologis di kalangan umat Islam yang ingin melaksanakan Hukum

Islam.

2.2 Peraturan Perundang-undangan tentang perkawinan campuran

Perkawinan campuran dapat dialkukan didalam maupun di luar negeri. Apabila

dilakukan diluar negeri maka perkawinan tersebut sah apabila dilakukan dengan

hukum yang berlaku dinegara tempat perkawinan itu dilakukan dan bagi warga

Negara Indonesia tidak melanggar UU Perkawinan Nomor 1 tahun 1974.

Apabila terjadi perkawinan campuran dan dilakukan di Indonesia maka

perkawinan didasarkan pada UU Perkawinan nomor 1 tahun 1974. Mengenai syarat-

syarat perkawinan harus memenuhi peraturan materil (UU0 yang berlaku di Negara

tempat perkawinan itu dilakukan.12

Hal ini berdasarkan keterangan pejabat yang berwenang dengan mengeluarkan

keterangan bahwa telah memenuhi aturan yang berlaku bagi semua pihak. Apabila

pejabat berwenang menolak mengeluarkan keterangan maka harus mengajukan ke

pengadilan dan pengadilan mengeluarkan keputusanya. Jika keputusan Pengadilan itu

menyatakan bahwa penolakan itu tidak beralasan, maka keputusan Pengadilan itu

menjadi pengganti surat keterangan tersebut (Pasal 60 Ayat (3)) dan Ayat (4).

Setelah surat keterangan atau keputusan Pengadilan diperoleh, maka perkawinan

segera dilangsungkan. Pelangsungan perkawinan dilakukan menurut hukum masing-

masing agama. Pelangsungan perkawinan dilakukan di hadapan pegawai pencatat.

Tata cara ini menurut Undang-Undang Perkawinan, jika perkawinan dilangsungkan di


12
UU Perkawinan nomor 1 tahun 1974
Indonesia. Jika perkawinan dilangsungkan di negara pihak lainnya itu, maka

berlakulah ketentuan tata cara menurut hukum di negara yang bersangkutan (Pasal 56

Ayat (1).

Ada kemungkinan setelah mereka memperoleh Surat Keterangan atau Putusan

Pengadilan, perkawinan tidak segera mereka lakukan. Apabila perkawinan mereka

tidak dilangsungkan dalam masa enam bulan sesudah keterangan atau putusan itu

diberikan, maka surat keterangan atau putusan Pengadilan itu tidak mempunyai

kekuatan lagi (Pasal 60 ayat (5).

Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang (Pasal 61

Ayat (1)). Pegawai pencatat yang berwenang bagi yang beragama Islam ialah

Pegawai Pencatat Nikah (PPN) atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah Talak Cerai

Rujuk (P3NTCR). Sedangkan bagi yang bukan beragama Islam ialah Pegawai Kantor

Catatan Sipil.

Apabila perkawinan campuran dilangsungkan tanpa memperlihatkan lebih dahulu

kepada pegawai pencatat surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan,

maka yang melangsungkan perkawinan campuran itu dihukum dengan hukuman

kurungan selama-lamanya satu bulan (Pasal 61 Ayat( 2)). Pegawai pencatat yang

mencatat perkawinan, sedangkan ia mengetahui bahwa keterangan atau keputusan

pengganti keterangan tidak ada, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya

tiga bulan dan dihukum jabatan (Pasal 61 Ayat( 3).

2.3 Masalah Spesifik Tentang Pernikahan Campuran


2.4 analisis kasus 2.3 berdasarkan pasal-pasal pada 2.3

Secara khusus tempat dan tata cara pencatatan Perkawinan campuran tidak ada

diatur di dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, akan

tetapi sesuai dengan Pasal 59 ayat (2) Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan dan Pasal 1 ayat (1) AB, menegaskan bahwa bentuk suatu perbuatan

hukum dilakukan menurut hukum dimana perbuatan hukum itu dilakukan. 13

Oleh karena itu tata cara dan pencatatan perkawinan campuran itu dilakukan

menurut hukum Nasional Indonesia. Tata cara dari pada perkawinan menurut Undang

– Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, termasuk di dalamnya

perkawinan campuran menyangkut tata cara yang mendahului perkawinan dan tata

cara pada saat pencatatan dan perkawinan dilangsungkan, tata cara ini harus didukung

oleh syarat – syarat perkawinan yang diperlukan yang ditentukan agar perkawinan

dapat dilangsungkan.14

Mengenai tempat pencatatan perkawinan campuran antara Warga Negara

Indonesia dan Warga Negara Asing, sesuai dengan Pasal 59 ayat (2) Undang Nomor

1 Secara khusus tempat dan tata cara pencatatan Perkawinan campuran tidak ada

diatur di dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, akan

tetapi sesuai dengan Pasal 59 ayat (2) Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, ialah dilakukan pada pegawai pencatatan perkawinan pada kantor

Catatan Sipil di wilayah tingkat II dimana perkawinan itu dilangsungkan.

13
KH. Hasbullah Bakry, 1978, Kumpulan Lengkap Undang – Undang dan Peraturan Perkawinan di Indonesia
14
I Ketut Mandra, 1986, studi tentang pelaksanaan dan sahnya perkawinan Campuran Antar Warga Negara
Indonesia dan Warga Negara Asing di Bali, Laporan Penelitian Fakultas Hukum Universitas Udayana
Dalam hal para mempelai melangsungkan dan mencatatkan perkawinannya di

kantor Catatan Sipil prosedur yang ditempuh mereka adalah:

a. Tahap Pertama

Pemberitahuan kehendak kedua mempelai untuk melangsungkan perkawinan

dengan cara bersama – sama datang menghadap ke kantor Catatan Sipil bagian

pencatatan perkawinan, untuk memberitahukan maksudnya itu. Selanjutnya pegawai

pencatatan perkawinan memberitahukan kepada kedua calon mempelai agar mengisi

formulir yang telah disediakan oleh kantor Catatan Sipil, kemudian formulir yang

telah diisi itu diserahkan kepada pegawai pencatat perkawinan disertai dengan syarat

– syarat yang diperlukan yakni :

1. Surat permohonan dan pernyataan bersama kedua mempelai

2. Akte kelahiran / Paspor bagi Warga Negara Asing

3. Kartu Tanda Penduduk (identitas) atau surat keterangan domisili

4. Surat bukti kewarganegaraan bagi Warga Negara Indonesia Keturunan

5. Surat keterangan berkelakuan baik dari kepolisian

6. Surat ijin atau keterangan dari konsulat / kedutaannya yang dinamakan Certificate

Of Ability to Marry

7. Surat keterangan tidak / belum kawin atau surat perceraian dari Pengadilan Negeri

setempat (bagi mempelai yang sudah pernah kawin)

8. Surat keterangan / ijin orang tuanya bagi mempelai yang belum berumur 21

(duapuluh satu) tahun

9. Surat keterangan sehat dari dokter


10. pas photo.15

b. Tahap Kedua :

Pada tahap ini mengenai pengumuman akan dilangsungkannya perkawinan oleh

pejabat kantor Catatan Sipil agar diketahui oleh umum. Pengumuman ini untuk

memberi kesempatan kepada pihak lain atau keluarganya untuk mencegah atau

menghalangi dilangsungkannya perkawinan campuran tersebut. Apabila ternyata ada

syarat – syarat yang dipalsukan oleh salah satu pihak yang akan melangsungkan

perkawinan, maka pihak yang merasa dirugikan atau keberatan dapat membatalkan

perkawinan campuran tersebut dengan melaporkan kepada pejabat Catatan Sipil.

Pengumuman dapat dilakukan di dua tempat yakni :

1. Di kantor Pencatatan perkawinan ditempat pernikahan akan dilangsungkan

2. Dikantor pencatatan perkawinan tempat kediaman masing – masing calon

mempelai.16

c. Tahap Ketiga :

Jika dalam waktu 10 (sepuluh) hari sejak pengumuman itu ditempelkan dan

diumumkan ternyata tidak ada sanggahan atau keberatan dari kalangan publik atau

masyarakat, keluarga ataupun pihak lain, maka pejabat kantor Catatan Sipil

memberikan ijin untuk melangsungkan perkawinan.17

d. Tahap Keempat :

15
Hilman Hadikusuma, 2003, Hukum Perkawinan Indonesia
16
I Ketut Mandra, 1986, studi tentang pelaksanaan dan sahnya perkawinan Campuran Antar Warga Negara
Indonesia dan Warga Negara Asing di Bali, Laporan Penelitian Fakultas Hukum Universitas Udayana
17
Abdurrahman dan Riduan Syahrani, 1978, Hukum Perkawinan
Pada tahap ini merupakan tahap pelaksanaan atau dilangsungkan perkawinan oleh

calon mempelai sesuai dengan agamanya dan kepercayaannya masing – masing.

Dalam hal ini hukum adat dan kebiasaan adat masing – masing mempunyai peranan

di dalam melangsungkan perkawinan.

e. Tahap Kelima :

Mengenai pencatatan / pendaftaran serta pembuatan akta perkawinan di kantor

Catatan Sipil menurut ketentuan Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975

sebagaimana pelaksanaan dari Pasal 2 ayat (2) Undang – Undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan, dinyatakan bahwa perkawinan yang dilangsungkan itu

harus dicatatkan, masing – masing pihak (suami – isteri) harus menandatangani akta

perkawinan dan dilanjutkan penandatanganan oleh saksi – saksi dan disahkan oleh

pejabat pencatat perkawinan.

Dengan dibuatnya akta perkawinan tersebut maka perkawinan yang mereka

lakukan dianggap sah dan telah tercatat secara resmi, dengan demikian apa yang

dikehendaki oleh Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan

terutama Pasal 2 baik ayat (1) dan (2) telah dipenuhi.18

f. Kesimpulan

Kesimpulan uraian diatas adalah :

1. Perkawinan campuran yang dilakukan di Indonesia dilaksanakan berdasarkan Hukum

perkawinan Indonesia yaitu Undang – Undang Nomor 1 Tahhun 1974 tentang

18
Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama
Perkawinan. Untuk melaksanakan perkawinan harus memenuhi syarat materiil dan

syarat formiil.

2. Jika perkawinan dilakukan diluar negeri, maka aturan yang digunanakan adalah

aturan yang berlaku di Negara tersebut dan sebaliknya.

3. Perkawinan campuran yang dilakukan antara Warga Negara Indonesia dan Warga

Negara Asing menimbulkan akibat hukum yaitu : pertama adanya hubungan antara

suami dan isteri, isteri tidak lagi diharuskan mengikuti kewarganegaraan suami

karena Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan tidak lagi

menganut asas kesatuan kewarganegaraan dalam perkawinan yang mengacu kepada

suami.

DAFTAR PUSTAKA

UU Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan


Sasmiar, Akibat Hukum Pernikahan Campuran
Hasil Penelitian Dosen Hukum Perdata Univ. Jambi
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta 1984
M. Abdulkadir, Hukum Perdata Indonesia, 1993
Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar penelitian Hukum
H.B Sutopo, 1988, Metodologi Penelitian Kualitatif
Nafi Mubarok, Sejarah hukum perkawinan di Indonesia. (Surabaya, IAIN Sunan Ampel,
2012) Halaman 159-160
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, hlm. 277-278.
Abdul Rachmad Budiono, Perdailan Agama dan Hukum Islam di Indonesia (Malang:
Bayumedia, 2003), hlm. 52-53. Lihat juga: Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan
Peradilan Agama, hlm. 219.
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2006), hlm. 21.
UU Perkawinan nomor 1 tahun 1974
KH. Hasbullah Bakry, 1978, Kumpulan Lengkap Undang – Undang dan Peraturan
Perkawinan di Indonesia
I Ketut Mandra, 1986, studi tentang pelaksanaan dan sahnya perkawinan Campuran Antar
Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing di Bali, Laporan Penelitian Fakultas
Hukum Universitas Udayana
Hilman Hadikusuma, 2003, Hukum Perkawinan Indonesia
I Ketut Mandra, 1986, studi tentang pelaksanaan dan sahnya perkawinan Campuran Antar
Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing di Bali, Laporan Penelitian Fakultas
Hukum Universitas Udayana
Abdurrahman dan Riduan Syahrani, 1978, Hukum Perkawinan
Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama

Anda mungkin juga menyukai