Anda di halaman 1dari 18

Jual Beli Salam dan Istishna’

Untuk memenuhi tugas suatu mata kuliah Fatwa DSN-MUI


Yang dibina oleh Dosen Mashudi,S.E.I.,M.E.I.

Nama Kelompok :

1. Anisatul Kamilah (211105010067)

2. Saqina Maulita Pradewi (211105010058)

3. Zulvi Lailatul Hidayah (211105010049)

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI BISNIS DAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI KH ACHMAD SIDDIQ JEMBER
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ Jual
Beli Salam dan Istishna’ ” dengan baik. Sholawat dan salam senantiasa kita curahkan kepada
Rasulullah Muhammad SAW dan semoga kita termasuk golongan yang mendapat syafa’at beliau
kelak di hari akhir.
Namun demikian, kami menyadari bahwa keberhasilan makalah ini tidak lepas dari
bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, kami sampaikan terima kasih kepada
Bapak Mahudi S.E.I., M.E.I., selaku dosen pengampu mata kuliah Fatwa DSN-MUI yang
senantiasa mendampingi dan membimbing kami dengan penuh keikhlasan dalam memberikan
pengetahuannya.
Makalah ini disusun guna memenuhi salah satu tugas mata kuliah Fatwa DSN-MUI.
Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak kekurangannya karena keterbatasan
kemampuan dan pengetahuan. Oleh karana itu, kami mohon maaf jika dalam penyusunan
makalah ini ditemukan kekeliruan. Segala saran dan kritik yang sifatnya membangun senantiasa
kami harapkan dari pembaca sekalian, sehingga dapat dijadikan koreksi pada kami untuk
melakukan perbaikan selanjutnya. Demikian, semoga makalah yang sederhana ini bisa
bermanfaat bagi para pembaca sekalian.

Jember, 27 September 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang Masalah 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan Masalah 2

BAB II PEMBAHASAN 3
2.1 Definisi jual beli salam dan istishna’3
2.2 Dasar hukum jual beli salam dan istihna’ 4
2.3 Fatwa DSN – MUI dan Pengaplikasian Tentang Jual Beli Salam dan Istishna’ 7

BAB III PENUTUP 14


3.1 Kesimpulan 14
3.2 Saran 14
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Perdagangan adalah salah satu aspek yang menentukan kemajuan suatu bangsa, umat muslim
yang menjalankan Syariah Islam dapat menggunakan fiqih muamalah dalam mengembangkan
sistem keuangan dan perbankan Islam.Perekonomian adalah bidang yang akan terus berkembang
karena mengikuti kebutuhan manusia yang semakin banyak dan kompleks. Namun nash yang
tertulis dalam Al-Qur’an dan Hadist dalam penafsirannya dapat selalu mengimbangi kebutuhan
manusia.
Salah satu yang selalu ada dalam muamalah adalah jual beli (bai’) \\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\
4]yang secara umum dibagi menjadi 3 bagian, model jual-beli dengan sistem menjual sesuatu yang
barangnya sudah dalam kuasa si penjual sehingga pasca transaksi si pembeli akan menerima
langsung pada barang yang diperjual-belikan, model jual- beli dalam bentuk menjual sesuatu yang
belum dalam kuasa si penjual, hal ini dapat dilakukan berbentuk pesanan. Namun hal ini ada risiko
tersendiri yang harus ditanggung oleh penjual bahwa akan ada jaminan barang di kemudian hari.
Terkait sistem pembayarannya bisa disepakati dan dilakukan di awal atau diakhir transaksi dan
model jual-beli yang bentuk barangnya tidak ada dan tidak bisa dipesan, seperti bertransaksi
membeli ikan dalam lautan atau membeli burung yang terbang sehingga transaksi ini secara hukum
fiqih haram dilakukan karena selain barang belum ada dalam kuasa penjual juga barang yang ingin
diperjual-belikan tidak diketahui pemiliknya.
Transaksi jual beli dalam Islam mencakup di antaranya bay' al-salam dan istisna'. Kedua
jenis transaksi ini telah berlangsung sejak masa rasul, sehingga perlu memahami kedua transaksi
ini dalam konteks ajaran Islam. terutama dalam memahami transaksi jual beli yang berlaku di era
kontemporer. Karena pada masa ini, kedua transaksi ini telah menjadi andalan perbankan Islam.
Secara umum salam adalah transaksi jual beli dimana terjadi kesepakatan antara penjual dan
pembeli dan dimana barang yang menjadi transaksi belum ada sehingga harus dibuat namun
pembayaran dilakukan diawal sedangkan istisna’ adalah sejenis dengan salam namun secara garis
besar salam berupa tanggungan dan istisna’ bersifat benda.

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana definisi jual beli salam dan istishna’?
2. Bagaimana dasar hukum jual beli salam dan istishna’?
3. Bagaimana fatwa DSN-MUI dan pengaplikasiannya tentang jual beli salam dan istishna’?

1.3 Tujuan Masalah


1. Untuk mengetahui definisi jual beli salam dan istishna’.
2. Untuk mengetahui dasar hukum jual beli salam dan istishna’.
3. Untuk mengetahui fatwa DSN-MUI dan pengaplikasiannya tentang jual beli salam dan
istishna’.

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Jual Beli Salam dan Istishna’
A. Jual beli Salam
Secara Terminologis, Salam adalah menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda atau
menjual suatu barang yang ciri-cirinya disebutkan dengan jelas dengan pembayaran modal terlebih
dahulu,sedangkan barangnya diserahkan kemudian hari.1
Menurut Sayyid Sabiq as-salam dinamakan juga as-salaf (Pendahuluan) yaitu penjualan
sesuatu dengan kriteria tertentu (yang masih berada) dalam tanggungan dengan pembayaran segera
atau disegerakan. Sedangkan para fuqaha’ menyebutnya dengan al -Mahawij (barang – barang
mendesak) karena ia sejenis jual beli barang yang tidak ada di tempat akad, dalam kondisi yang
mendesak bagi dua pihak yang melakukan akad.2
Akad Salam menurut Peraturan Bank Indonesia adalah jual beli barang dengan cara
pemesanan dan pembayaran tunai terlebih dahulu secara penuh.3 Sedangkan menurut Fatwa Dewan
Syariah Nasional akad Salam sebagai akad jual beli barang dengan cara pemesanan dan
pembayaran terlebih dahulu dengan syarat dan kriteria yang jelas. 4 Dalam kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah pasal 20 disebutkan bahwa salam adalah jasa pembiayaan yang berkaitan dengan
jual beli yang pembayarannya dilakukan bersamaan dengan pemesanan barang.5
Secara sederhana pengertian jual beli salam adalah pembelian barang yang diserahkan di
kemudian hari, sedangkan pembayarannya dilakukan bersamaan saat pemesanan barang dengan
syarat dan kriteria yang jelas.

B. Jual beli Istishna’


Istishna’ secara etimologis adalah meminta membuat sesuatu. Yakni meminta kepada
seseorang pembuat untuk mengerjakan sesuatu. Sedangkan secara terminologis istishna’ adalah
transaksi terhadap barang dagangan dalam tanggungan yang disyaratkan untuk mengerjakannya.
Objek transaksinya adalah barang yang harus dikerjakan dan pekerjaan pembuatan barang tersebut.

1
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam,(Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003),143.
2
Sayyid Sabiq, fiqh Sunnah, Juz 12, diterjemahkan oleh Kamaluddin A. Marzuki (Bandung: Al- Ma,arif,1998),110.
3
Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor:7/46/PBI/2005.
4
Fatwa DSN No. 05/DSN-MUI/VI/2000
5
PPHIM,Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah ,(Jakarta: Prenada Media Group,2009),14.
Istishna' (‫)استص ناع‬ adalah bentuk ism mashdar dari kata dasar istashna'a-yastashni'u (

‫ اتصنع‬- ‫)يستصنع‬. Artinya meminta orang lain untuk membuatkan sesuatu untuknya. Dikatakan :

istashna'a fulan baitan, meminta seseorang untuk membuatkan rumah untuknya.6


Menurut jumhur ulama yang dikutip oleh Dr. Mardani,Istishna’ merupakan jenis khusus
dari salam yaitu dari segi obyek pesanannya harus dibuat atau dipesan terlebih dahulu dengan ciri-
ciri khusus. Perbedaannya hanya pada sistem pembayaran, jika salam pembayarannya dilakukan
sebelum barang diterima sedangkan istishna’ bisa di awal,ditengah, atau di akhir pesanan.7
Menurut Fatwa DSN No. 06/DSN MUI/IV/2000 tentang jual beli istishna’,ba’i istishna’
merupakan kontrak penjualan antara mustani’(pembeli) dan sani’( suplier) dimana pihak suplier
menerima pesanan dari pembeli menurut spesifikasi tertentu. Pihak suplier berusaha melalui orang
lain untuk membeli atau membuat barang dan menyampaikannya kepada pemesan. Pembayaran
dapat dilakukan di muka, cicilan atau ditangguhkan hingga waktu tertentu. 8 Menurut Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah,istishna’ adalah jual beli barang atau jasa dalam bentuk pemesanan
dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pihak pemesan dan pihak penjual.9
Jadi secara sederhana ,istishna’ boleh disebut sebagai akad yang terjalin antara pemesan
sebagai pihak 1 dengan seorang produsen suatu barang atau yang serupa sebagai pihak yang ke-
2,agar pihak ke-2 membuatkan suatu barang sesuai yang diinginkan oleh pihak 1 dengan harga
yang disepakati antara keduanya.10

2.1 Dasar Hukum Jual Beli Salam dan Istishna’


A. Jual Beli Salam
Jual beli salam merupakan akad yang diperbolehkan oleh hukum islam. Adapun landasan
hukum disyari’atkannya jual beli terdapat dalam Al-Quran dan Hadist.
a. Firman Allah SWT dalam surat Al – Baqarah (2): 282:

‫ب بَّْينَ ُك ْم َكاتِ ۢبٌ بِالْ َع ْد ۖ ِل‬ ۗ ٓ ِٰ ِ ِ ِ ٓ


ْ ُ‫ٰي اَيُّ َها الَّذيْ َن اٰ َم ُْٓنوا اذَا تَ َد َايْنتُ ْم ب َديْ ٍن الى اَ َج ٍل ُّم َس ًّمى فَا ْكتُُب ْوهُ َولْيَكْت‬

4
Artinya : “Hai orang – orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara
6
Gita Dana Pranata,Manajemen Perbankan Syariah,(Jakarta: Salemba Empat,2013),112.
7
Mardani,Fiqh Ekonomi Syariah ,(Jakarta : Prenadamedia Group,2013),125.
8
Husaini Mansur dan Dhani Gunawan,Dimensi Perbankan dalam Al-Quran,(Jakarta: PT. Visi Citah Kreasi,2007),102.
9
Indonesia,Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah,(Jakarta: Mahkamah Agung RI),Pasal 20 Ayat (10)).
10
Dimyauddin Djuwaini,Pengantar Fiqh Muamalah,115.
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaknya kamu menuliskannya dengan benar”.
Makna dari hukum Al – Quran surah Al – Baqarah (2):282 adalah anjuran untuk ditulis,
ketika melakukan hutang piutang, karena dengan ditulis untuk menghindari kemungkinan terjadi
kelupaan atau kesalahan. Dalam penulisan antara kedua belah pihak yang bermuamalah dengan
adil tidak boleh condong kepada salah satu pihak karena faktor keluarga atau memusuhi salah
satunya karena suatu dendam atau semacamnya.
ٓ
Ayat ُ‫ ا اِ َذا تَ َد َايْنتُ ْم بِ َديْ ٍن اِ ٰلى اَ َج ٍل ُّم َس ًّمى فَ ا ْكتُُب ْو ۗه‬tidak hanya dimaknai hutang pihutang saja ,

tetapi dapat pula mencakup transaksi jual beli salam, di mana dalam jual beli salam, meskipun cara
bayarnya dengan tunai di muka, tetapi penyerahan barangnya ditangguhkan untuk waktu yang
ditentukan. Oleh sebab itu, jual beli salam dianjurkan pula untuk dicatat atau ditulis.

b. Hadist Nabi SAW sebagai berikut;

َّ ‫ قَ ِد َم النيب صلى اهلل عليه و سلم الْ َم ِدينَةَ َو ُه ْم يُ ْسلِ ُفو َن بِالت َّْم ِر‬:‫اس رضي اهلل عنهما قال‬
ِ ‫السنََتنْي‬ ٍ َّ‫عن ابن َعب‬
ٍ ُ‫وم ووز ٍن معل‬
ٍ ِ ٍ
. ‫وم‬ ْ َ ْ َ َ ُ‫ف يف َش ْيء فَفي َكْي ٍل َم ْعل‬
َ َ‫َأسل‬
ْ ‫ من‬:‫ فقال‬.‫ث‬ َ ‫َوالثَّاَل‬
“ Ibnu Abbas Meriwayatkan, bahwa Rasulullah SAW datang buah kurma (untuk jangka
waktu) satu, dua, tiga tahun. Beliau berkata, “barangsiapa yang melakukan salaf (salam),
hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, untuk jangka
waktu yang ditentukan.” Dalam hadist lain :”Dari Shihab R.A., Bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan : jual beli secara tangguh,
Muqaradhah( Mudarabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah,
bukan untuk dijual.”(H.R. Ibnu Majah).11
Berdasarkan hadist dari Ibnu Abbas bahwa obyek jual beli salam di zaman Nabi adalah
Buah Kurma, dalam konteks zaman sekarang, obyek salam dapat pula dikembangkan dengan
barang – barang komoditas lainnya. Sedangkan dari riwayat Ibnu Majah dari Shihab, makna jual
beli secara tangguh, mencakup jual beli salam.
c. Ijma
Ibnu Al – Munzir menyebutkan bahwa semua orang yang dikenal sebagai ahli ilmu telah
sepakat akad salam merupakan akad yang dibolehkan.12

5
d. Kaidah Fiqh

11
Ibid,hlm.115.
12
Ahmad Sarwat, Jual – Beli Akad Salam,hlm. 12.
Disebutkan artinya “hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan,
kecuali ada dalil yang mengharamkannya”.13 Maksud kaidah ini adalah bahwa dalam setiap
mumalah dan transaksi,pada dasarnya adalah boleh, seperti jual beli, sewa menyewa, gadai,
kerjasama (mudharabah atau musyarakah), perwakilan dan lain-lain, kecuali yang tegas-tegas
diharamkan seperti mengakibatkan kemudaratan, tipuan, judi dan riba.

B. Jual Beli Istishna’


Akad Istishna’ termasuk salah satu bentuk akad Ghairu Musamma,14 sehingga tidak ada
dalil yang eksplisit baik di dalam Al-Quran maupun Hadist mengenai persyariatannya.
a. Dasar Hukum menurut Al-Quran:

‫الر ٰبو ۗا‬


ِّ ‫َواَ َح َّل ال ٰلّهُ الَْبْي َع َو َحَّر َم‬
Artinya: “ Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.(Q.S. Al-Baqarah:275)
Tafsir Ibnu Katsir dari surat Al- Baqarah ayat 275 bahwa orang – orang yang memakan
riba, artinya mengambilnya. Riba itu ialah tambahan dalam muamalah dengan uang dan bahan
makanan, baik mengenai banyaknya maupun mengenai waktunya, (tidaklah bangkit) dari kubur –
kubur mereka (seperti bangkitnya orang yang kemasukan setan disebabkan penyakit gila )yang
menyerang mereka; misal masih berkaitan dengan yaquumuuna. (Demikian itu), maksutnya yang
menimpa mereka itu (adalah karena), maksudnya disebabkan mereka (mengatakan jual beli itu
seperti riba) dalam soal diperbolehkannya. Berikut ini kebalikan dari persamaan yang mereka
katakan itu secara bertolak belakang, maka firman Allah menolaknya, (padahal Allah
menghalalkan jual – beli dan mengharamkan riba.) Maka barang siapa yang datang kepadanya,
maksudnya sampai kepadanya (pelajaran ) atau nasihat dari Tuhannya,lalu ia menghentikannya,
artinya tidak memakan riba lagi maka baginya apa yang telah berlalu ,artinya sebelum datangnya
larangan dan doa tidak diminta untuk mengembalikannya (dan urusannya) dalam memaafkannya
terserah kepada Allah. Dan orang – orang yang mengulangi memakannya dan tetap
menyamakannya dengan jual beli tentang halalnya,(maka mereka adalah penghuni neraka, kekal
mereka di dalamnya).15

6
Berdasarkan ayat ini para ulama’ menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah

13
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang
Praktis, Cet. Ke-3, Jakarta: Kencana, 2006, hlm, 130.
14
Teungku Muhammad Hasbi Ash- Shiddieqy,Pengantar Fiqh Muamalah (Semarang :Pustaka Rizki Putra,1999),93.
15
M.Quraish Shihab,Tasfir Al- Misbah ,(Jakarta:Lentera Hati,2000),549.
halal, kecuali secara nyata diharamkan dengan dalil yang kuat dan shahih.
b. Dasar hukum menurut As- Sunnah :

َ‫يل لَهُ ِإ َّن الْ َع َج َم ال‬ ِ ِ ‫َأن نَىِب َّ اللَّ ِه صلى اهلل عليه و سلم َكا َن َأر َاد َأ ْن يكْتُ ِإ‬ ٍ َ‫َع ْن َأن‬
َّ ‫س رضي اهلل عنه‬
َ ‫ب ىَل الْ َع َجم فَق‬َ َ َ
ِ ‫ قَ َال َكَأىِّن َأنْظُر ِإىَل بي‬.‫ي ْقبلُو َن ِإالَّ كِتَابا علَي ِه خامِتٌ فَاصطَنَع خامَتًا ِمن فِض ٍَّة‬
‫ رواه مسلم‬.‫اض ِه ىِف يَ ِد ِه‬ََ ُ ْ َ َ ْ َ َْ ً ََ
Artinya : Diriwayatkan dari sahabat Anas radhiallahu ‘anhu, pada suatu hari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam hendak menuliskan surat kepada seorang raja non arab, lalu dikabarkan kepada
beliau: Sesungguhnya raja-raja non arab tidak sudi menerima surat yang tidak distempel, maka
beliaupun memesan agar ia dibautkan cincin stempel dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-
akan sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di tangan beliau.” (Riwayat Muslim)
Perbuatan Nabi ini menjadi bukti nyata bahwa akad istishna’ adalah akad yang dibolehkan.16
c. Dasar hukum Al- Ijma’
Sebagian ulama menyatakan bahwa pada dasarnya umat islam secara de-facto telah bersepakat
merajut konsensus (ijma’) bahwa akad istishna’ adalah akad yang dibenarkan dan telah dijalankan
sejak dahulu kala tanpa ada seorang sahabat atau ulama pun yang mengingkarinya. Dengan
demikian,tidak ada alasan untuk melarangnya.
d. Dasar hukum kaidah fiqhiyah
Para ulama di sepanjang masa dan disetiap madzab fiqh yang ada di tengah umat islam telah
menggariskan kaedah dalam segala hal selain ibadah:

‫ حىت يدل الدليل على التحرمي‬،‫األصل يف األشياء اإلباحة‬


Artinya : “ Hukum asal dalam segala hal adalah boleh, hingga ada dalil yang menunjukkan akan
keharamannya.”.

2.3 Fatwa DSN – MUI dan Pengaplikasian Tentang Jual Beli Salam dan Istishna’
a. Jual Beli Salam
Fatwa DSN MUI Nomor: 05/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Jual Beli Salam
DSN telah :
Menimbang :
7
a. bahwa jual beli barang dengan cara pemesanan dan pembayaran harga lebih
dahulu dengan syarat-syarat tertentu, disebut dengan salam, kini telah
melibatkan pihak perbankan;
16
Ahmad Sarwat,Seri Fiqh Islam Kitab Muamalat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2007),89.
b. bahwa agar cara tersebut dilakukan sesuai dengan ajaran Islam, DSN
memandang perlu menetapkan fatwa tentang salam untuk dijadikan
pedoman oleh lembaga keuangan syari’ah.
Mengingat :
1. Firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 282:
ٓ
ُ‫ٰيٓ اَيُّ َها الَّ ِذيْ َن اٰ َم ُْٓنوا اِ َذا تَ َد َايْنتُ ْم بِ َديْ ٍن اِ ٰلى اَ َج ٍل ُّم َس ًّمى فَا ْكتُُب ْو ۗه‬
“Hai orang – orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaknya kamu menuliskan......”
2. Firman Allah Q.S. Al-Maidah [5]:1 :

‫ٰيٓ اَيُّ َها الَّ ِذيْ َن اٰ َم ُْٓنوا اَْو ُف ْوا بِالْعُ ُق ْو ۗ ِد‬
“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah janji-janji...........”
3. Hadist Nabi SAW:

‫ ِإمِّنَا الَْبْي ُع‬:‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َوآلِِه َو َسلَّ َم قَ َال‬ ِ َّ ‫َع ْن َأيِب ْ َسعِْي ٍد اخْلُ ْد ِر ْي رضي اهلل عنه‬
َ ‫َأن َر ُس ْو َل اهلل‬
ٍ ‫َع ْن َتَر‬
‫اض رواه البيهقي وابن ماجه وصححه ابن حبان‬
“Dari Abu Sa'id Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda,
"Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka." (HR. al-
Baihaqi dan Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban).
4. Hadist Riwayat Bukhari dan Ibn’Abbas, Nabi Bersabda :
ٍ ُ‫وم ووز ٍن معل‬
ٍ ِ ٍ
‫وم‬ ْ َ ْ َ َ ُ‫ف يف َش ْيء فَفي َكْي ٍل َم ْعل‬
َ َ‫َأسل‬
ْ ‫من‬
“barangsiapa yang melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan
dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, untuk jangka
waktu yang ditentukan.” (HR. Bukhari,Sahih al- Bukhari[Beirut: Dar al -
Fikr,1955]jilid 2 h.36).
5. Hadist nabi riwayat jama’ah :

‫ َمطْ ُل الْغَيِن ِّ ظُْل ٌم‬..

8
"Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah
suatu kezaliman ..."
6. Hadist Nabi riwayat Nasa’i ,Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad:
ِ ِ ِِ
ُ‫ضهُ َوعُ ُق ْو َبتَه‬
َ ‫يَلُّ الْ َواجد حُي ُّل ع ْر‬

"Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu


menghalalkan harga diri dan pemberian sanksi kepadanya."

7. Hadis Nabi riwayat Tirmidzi:

‫َأح َّل َحَر ًاما َوالْ ُم ْسلِ ُمو َن َعلَى‬ ُ َّ‫ني ِإال‬
َ ‫ص ْل ًحا َحَّر َم َحالَالً َْأو‬
ِِ ‫ِئ‬
َ ‫لص ْل ُح َجا ٌز َبنْي َ الْ ُم ْسلم‬
ُّ َ‫ا‬
‫ِ ِإ‬
َ ‫ ُشُروط ِه ْم الَّ َش ْرطًا َحَّر َم َحالَالً َْأو‬.
)‫َأح َّل َحَر ًاما (رواه الرتمذي عن عمرو بن عوف‬

“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian


yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum
muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram” (HR. Tirmidzi
dari ‘Amr bin ‘Auf).

8. Ijma. Menurut Ibnul Munzir, ulama sepakat (ijma’) atas kebolehan jual
beli dengan cara salam. Di samping itu, cara tersebut juga diperlukan
oleh masyarakat (Wahbah, 4/598).
9. Kaidah fiqh:

‫احةُ ِإالَّ َأ ْن يَ ُد َّل َدلِْي ٌل َعلَى حَتْ ِرمْيِ َها‬ ِ


َ َ‫َألص ُل ىِف الْ ُم َع َامالَت اِْإل ب‬
ْ َ‫ا‬.

“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil
yang mengharamkannya.”

Memperhatikan : Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syari'ah Nasional pada hari Selasa,
tanggal 29 Dzulhijjah 1420 H./4 April 2000.

9
MEMUTUSKAN
Menetapkan : FATWA TENTANG JUAL BELI SALAM
Pertama : Ketetntuan tentang pembiayaan :
1. Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa
uang,barang atau manfaat.
2. Pembayaran harus dilakukan pada saat kontrak disepakati.
3. Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.
Kedua : Ketentuan tentang barang:
1. Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang.
2. Harus dapat dijelaskan spesifikasinya.
3. Penyerahannya dilakukan kemudian.
4. Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan
kesepakatan.
5. Pembeli tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya.
6. Tidak boleh menukar barang,kecuali dengan barang sejenis sesuai
kesepakatan.

Ketiga : Ketentuan tentang Salam Paralel(‫املوازي‬ ‫)السلم‬:


Dibolehkan melakukan Salam Paralel dengan syarat, akad kedua terpisah,
dan tidak berkaitan dengan akad pertama.
Keempat : Penyerahan barang sebelum atau pada waktunya :
1. Penjual harus menyerahkan barang tepat pada waktunya dengan kualitas
dan jumlah yang telah disepakati.
2. Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih tinggi,
penjual tidak boleh meminta tambahan harga.
3. Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih rendah,dan
pembeli rela menerimanya,maka ia tidak boleh menuntut pengurangan
harga (diskon).
4. Penjual dapat menyerahkan barang lebih cepat dari waktu yang
disepakati dengan syarat kualitas dan jumlah barang sesuai dengan
kesepakatan,dan ia tidak boleh menuntut tambahan harga.

10
5. Jika semua atau sebagian barang tidak tersedia pada waktu penyerahan,
atau kualitasnya lebih rendah dan pembeli tidak rela menerimanya, maka
ia memiliki dua pilihan:
a. Membatalkan kontrak dan meminta kembali uangnya
b. Menunggu sampai barang tersedia
Kelima : Pembatalan kontrak :
Pada dasarnya pembatalan salam boleh dilakukan, selama tidak merugikan
Kedua belah pihak.
Keenam : Perselisihan :
Jika terjadi perselisihan diantara kedua belah pihak, maka persoalannya
Diselesaikan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai
Kesepakatan melalui musyawarah.17

b.Jual beli Istishna’


Fatwa DSN MUI Nomor: 06/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Jual Beli Salam
DSN telah :
Menimbang :
a. Bahwa kebutuhan masyarakat untuk memperoleh sesuatu ,sering
memerlukan pihak lain untuk membuatkannya,dan hal seperti itu dapat

dilakukan melalui jual beli istishna’ (‫)االستص ناع‬,,yaitu akad jual beli

dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan


persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan
(pembeli,mustashni’)dan penjual (pembuat,shani’).
b. Bahwa transaksi istishna’ pada saat ini telah dipraktekkan oleh lembaga
keuangan syari’ah.
c. Bahwa agar praktek tersebut sesuai dengan syari’ah islam, DSN
memandang perlu menetapkan fatwa tentang istishna’ untuk menjadi
pedoman.
Mengingat :

11

1. Hadist Nabi riwayat Tirmidzi :

17
Mardani,Fiqh Ekonomi Muamalah Edisi Pertama,hlm. 117-121.
‫َأح َّل َحَر ًاما َوالْ ُم ْسلِ ُمو َن َعلَى‬ ُ َّ‫ني ِإال‬
َ ‫ص ْل ًحا َحَّر َم َحالَالً َْأو‬
ِِ ‫ِئ‬
َ ‫لص ْل ُح َجا ٌز َبنْي َ الْ ُم ْسلم‬
ُّ َ‫ا‬
‫ِ ِإ‬
َ ‫ُشُروط ِه ْم الَّ َش ْرطًا َحَّر َم َحالَالً َْأو‬
)‫َأح َّل َحَر ًاما(رواه الرتمذي عن عمرو بن عوف‬

“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali


perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang
haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali
syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram”
(HR. Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf).

2. Hadist Nabi :

)‫ضَر َر َوالَ ِضَر َار (رواه ابن ماجه والدارقطين وغريمها عن أيب سعيد اخلدري‬
َ َ‫ال‬

"Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain." (HR, Ibnu
Majah, Daraquthni, dan yang lain dari Abu Sa'id al-Khudri)

3. Kaidah Fiqh :

‫احةُ ِإالَّ َأ ْن يَ ُد َّل َدلِْي ٌل َعلَى حَتْ ِرمْيِ َها‬ ِ


َ َ‫َألص ُل ىِف الْ ُم َع َامالَت اِْإل ب‬
ْ َ‫ا‬.

“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil
yang mengharamkannya.”

4. Menurut madzab Hanafi, istishna’ hukumnya boleh (jawaz) karena hal


itu telah dilakukan oleh masyarakat muslim sejak masa awal tanpa ada
pihak (ulama) yang mengingkarinya.

Memperhatikan : Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syari’ah Nasional pada hari Selasa,

Tanggal 29 Dzulhijjah 1420 H/4 April 2000.

12

MEMUTUSKAN

Menetapkan : FATWA TENTANG JUAL BELI ISTIHNA’


Pertama : ketentuan tentang pembayaran :

1. Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa


uang,barang,atau manfaat.
2. Pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan.
3. Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebesan hutang.

Kedua : Ketentuan tentang barang :

1. Harus jelas ciri – cirinya dan dapat diakui sebagai hutang.


2. Harus dapat dijelaskan spesifikasinya.
3. Penyerahan dilakukan kemudian.
4. Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan
kesepakatan.
5. Pembeli (mustashni’) tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya.
6. Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis seuai
kesepakatan.
7. Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan,
pemesan memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk melanjutkan atau
membatalkan akad.

Ketiga : Ketentuan lain :

1. Dalam hal pesanan sudah dikerjakan sesuai dengan kesepakatan,


hukumnya mengikat.
2. Semua ketentuan dalam jual beli salam yang tidak disebutkan di atas
berlaku pula pada jual beli istishna’.
3. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
peselisihan diantara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan
melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan
melalui musyawarah.

13

BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Jual beli salam adalah pembelian barang yang diserahkan di kemudian hari, sedangkan
pembayarannya dilakukan bersamaan saat pemesanan barang dengan syarat dan kriteria yang jelas.
Contoh lain jual beli dengan akad salam adalah jual beli mangga 100kg.  Kita memesan buah
kepada penjual untuk acara seminggu ke depan.  Maka dalam hal ini, saat pembeli dan penjual deal
untuk jual beli buah mangga 100kg. Pada saat itu pembeli harus menyerahkan uangnya
langsung/tunai kepada penjual. Baik secara cash atau transfer. Dan penjual wajib menyerahkan
barang pada waktu yang disepakati. Yaitu minggu depan. Baik buah dari kebonnya sendiri atau dia
harus membeli dulu buahnya dari pedagang buah yang lain.
Istishna’ merupakan jenis khusus dari salam yaitu dari segi obyek pesanannya harus dibuat
atau dipesan terlebih dahulu dengan ciri-ciri khusus. Perbedaannya hanya pada sistem
pembayaran,jika salam pembayarannya dilakukan sebelum barang diterima sedangkan istishna’
bisa di awal,ditengah, atau di akhir pesanan. Contoh akad istishna adalah saat kita memesan lemari
kepada penjaul lemari dengan spesifikasi dan desain yang kita inginkan. Maka dalam hal ini
kenapa lebih pas diterapkan akad istishna’, karena lemarinya perlu dibuatkan terlebih dahulu. Maka
dalam hal pembayaran, pembeli menurut pendapat jumhur ulama, boleh melakukan pembayaran di
awal full, atau sebagian dibayar di awal akad, dan sisanya diakhir akad, atau saat barang jadi dan
diterima, bahkan boleh dicicil setelahnya. Untuk pembayarannya lebih bebas sesuai kesepakatan
kedua belah pihak.

3.2 Saran
Demikian makalah ini kami buat, kami selaku penyusun menyadari sepenuhnya jika
makalah ini masih banyak kesalahan dan masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca untuk menyempurnakan lagi
makalah yang kami buat ini.

14
DAFTAR PUSTAKA
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-
Masalah yang Praktis, Cet. Ke-3, Jakarta: Kencana, 2006, hlm, 130.
Ahmad Sarwat, Jual – Beli Akad Salam,hlm. 12.
Ahmad Sarwat,Seri Fiqh Islam Kitab Muamalat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2007),89.
Dimyauddin Djuwaini,Pengantar Fiqh Muamalah,115.
Fatwa DSN No. 05/DSN-MUI/VI/2000
Gita Dana Pranata,Manajemen Perbankan Syariah,(Jakarta: Salemba Empat,2013),112.
Husaini Mansur dan Dhani Gunawan,Dimensi Perbankan dalam Al-Quran,(Jakarta: PT. Visi Citah
Kreasi,2007),102.
Ibid,hlm.115
Indonesia,Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah,(Jakarta: Mahkamah Agung RI,Pasal 20 Ayat (10)).
Mardani,Fiqh Ekonomi Syariah ,(Jakarta : Prenadamedia Group,2013),125.
Mardani,Fiqh Ekonomi Muamalah Edisi Pertama,hlm. 117-121
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam,(Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,
2003),143.
M.Quraish Shihab,Tasfir Al- Misbah ,(Jakarta:Lentera Hati,2000),549
Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor:7/46/PBI/2005.
PPHIM,Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah ,(Jakarta: Prenada Media Group,2009),14.
Sayyid Sabiq, fiqh Sunnah, Juz 12, diterjemahkan oleh Kamaluddin A. Marzuki (Bandung: Al-
Ma,arif,1998),110.
Teungku Muhammad Hasbi Ash- Shiddieqy,Pengantar Fiqh Muamalah (Semarang :Pustaka Rizki
Putra,1999),93.

Anda mungkin juga menyukai