Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

FIKIH JUAL-BELI

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas kelompok pada mata kuliah

Fikih Muamalah

Dosen Pembimbing :

Fitri Zaelina, S.E.I., M.E.K.

Disusun Oleh :

1. Nunik Indriani (19108020008)


2. Yuanita Nur Rahmasari (19108020013)
3. Maulana Zakaria (19108020029)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2020

1
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT., shalawat dan salam
juga disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad saw., serta sahabat dan
keluarganya, dan sampai kepada kita semua yang masih konsekuen terhadap ajaran yang
ditinggalkan oleh Beliau.

Ucapan terima kasih juga tersampaikan kepada Dosen mata kuliah Fikih Muamalah,Ibu
Fitri Zaelina, S.E.I., M.E.K. orang tua tercinta, serta para sahabat sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini dalam rangka melengkapi tugas dari Mata kuliah Fikih Muamalah
materi FIkih Jual-Beli UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang
terdapat dalam makalah ini, baik dalam segi penulisan maupun isinya. Oleh karena itu penulis
sangat mengharapkan kritikan dan saran yang membangun untuk dijadikan pedoman pada
penulisan makalah selanjutnya.

Yogyakarta, 1 Februari 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................. ii
DAFTAR ISI ...........................................................................................................................iii
BAB I........................................................................................................................................ 1
PENDAHULUAN ................................................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ....................................................................................................... 2
1.3. Tujuan Masalah ........................................................................................................... 2
BAB II ...................................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN ...................................................................................................................... 3
2.1. Pengertian Jual-Beli .................................................................................................... 3
2.2. Landasan Hukum Jual Beli ........................................................................................ 4
2.3. Rukun dan Syarat Jual Beli ........................................................................................ 5
2.4. Pembagian Jual Beli .................................................................................................... 8
2.5. Jual Beli Yang Diperselisihkan ................................................................................. 10
2.6. Macam-macam Jual Beli Yang Diharamkan .......................................................... 11
2.7. Hak Khiyar Dalam Jual Beli ..................................................................................... 13
BAB III .................................................................................................................................. 19
PENUTUP ............................................................................................................................. 19
3.1. Kesimpulan ................................................................................................................ 19
3.2. Saran .......................................................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................ 20

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Agama Islam mengatur setiap segi kehidupan umatnya. Mengatur hubungan seorang
hamba dengan Tuhannya yang biasa disebut dengan muamalah ma’allah dan mengatur
pula hubungan dengan sesamanya yang biasa disebut dengan muamalah ma’annas.
Hubungan dengan sesama inilah yang melahirkan suatu cabang ilmu dalam Islam yang
dikenal dengan Fiqih muamalah. Aspek kajiannya adalah sesuatu yang berhubungan
dengan muamalah atau hubungan antara umat satu dengan umat yang lainnya. Mulai dari
jual beli, sewa menyewa, hutang piutang dan lain-lain.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap hari, setiap muslim pasti melaksanakan suatu
transaksi yang biasa disebut dengan jual beli. Si penjual menjual barangnya, dan si pembeli
membelinya dengan menukarkan barang itu dengan sejumlah uang yang telah disepakati
oleh kedua belah pihak.Jika zaman dahulu transaksi ini dilakukan secara langsung dengan
bertemunya kedua belah pihak, maka pada zaman sekarang jual beli sudah tidak terbatas
pada satu ruang saja.Dengan kemajuan teknologi, dan maraknya penggunaan internet,
kartu kredit, ATM, dan lain-lain sehingga kedua belah pihak dapat bertransaksi dengan
lancar.
Dengan cara demikian kehidupan masyarakat menjadi teratur dan subur, pertalian yang
satu dengan yang lainpun menjadi lebih teguh. Akan tetapi sifat loba dan tamak tetap ada
pada manusia, suka mementingkan diri sendiri supaya hak masing-masing jangan sampai
tersia-sia, dan juga menjaga kemaslahatan umum agar pertukaran dapat berjalan dengan
lancar dan teratur. Oleh sebab itu agama memberi peraturan yang sebaik-baiknya; karena
dengan teraturnya muamalat, maka penghidupan manusia jadi terjamin pula dengan
sebaik-baiknya sehingga pembantahan dan dendam-mendendam tidak akan terjadi.
Nasihat Luqmanul Hakim kepada anaknya, “Wahai anakku! Berusahalah untuk
menghilangkan kemiskinan dengan usaha yang halal. Sesungguhnya orang yang berusaha
dengan jalan yang halal itu tidaklah akan mendapat kemiskinan, kecuali apabila dia telah

1
dihinggapi oleh tiga macam penyakit: (1) tipis kepercayaan agamanya, (2) lemah akalnya,
(3) hilang kesopanannya,”

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa Pengertian Jual Beli ?
2. Apa Landasan Hukum Jual Beli?
3. Apa Syarat dan Rukun Jual Beli ?
4. Berapa Pembagian Jual Beli ?
5. Apasaja Macam Jual Beli Yang Diperselisihlan ?
6. Apa Macam-macam Jual Beli Yang Diharamkan ?
7. Apa Hak Khiyar Dalam Jual Beli ?

1.3. Tujuan Masalah


Makalah ini disusun selain untuk memenuhi tugas mata kuliah Fikih
Muamalah, dan juga sebagai wadah pembelajaran dan menambah referensi materi
Fikih Jual Beli, khususnya untuk penulis dan mahasiswa lainnya.

2
BAB II

PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Jual-Beli
Jual beli menurut Bahasa, artinya menukar kepemilikan barang dengan barang atau
saling tukar menukar. Kata Al-bai’ (jual) dan Al-syira’ (bali) dipergunakan dalam pengertian
yang sama. Perdagangan atau jual beli menurut Bahasa berarti al-bai’, al-tijarah dan al-
mubadah, sebagaimana Allah swt. Berfirman :

َ‫تَبُو َر لَ ْن تِ َجا َرة يَرْ جُون‬


“mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi” (Q.S Fatir: 29)1

Menurut istilah, yang dimaksud dengan jual beli adalah sebagai berikut.

a. Menukar barang dengan barang atau barang dengan uang yang dilakukan dengan jalan
melepaskan hak milk dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan.
b. Pemilikan harta benda dengan jalan menukar yang sesuai dengan aturan syara
c. Saling tukar harta, saling enerima, dapat dikelola dengan ijab dan Kabul, dengan cara
yang sesuai dengan syarat
d. Tukar-menukar benda dengan benda lain degan jalan saling merelakan atau
memindahkan hak milik dengan ada pengantinya denga cara yang dibolehkan
e. Akad yang tegak atas dasar penukaran harta dengan harta, maka jadilah penukaran hak
milik secara tetap

Jual beli menurut ulama malikiyah ada dua macam, yaitu jual beli yang bersifat umum
dan jula beli yang bersifat khusus. Jual beli dalam arti umum ialah suatu perikatan tukar-
menukar sesuatu yang bukan kemanfaatan dan kenikmata. Perikatan adalah akad yang
mengikat da belah pihak, tukar-mrnukar yaitu salah satu oleh pihak lain, dan sesuatu yang
bukan manfaat ialah bahwa benda yang ditukarkan adalah zat berbentuk, ia berfungsi sebagai
objek penjualan, jadi bukan manfaatnya atau bukan hasilnya.

Jual beli dalam arti khusus ialah ikatan tukar-mrnukar sesuatu yang bukan
manfaatan dan bukan pula kelezatan yang mempunyai daya Tarik, penukarannya

1 https://tafsirweb.com/7895-quran-surat-fatir-ayat-29.html

3
bukan emas dan bukan perak, bendanya dapat direalisir dan ada sekitar (tidak
ditangguhkan), bukan merupakan utang, barang yang sudah diketahui sifat-sifatnya
atau sudah diketahui terlebih dahulu.

2.2. Landasan Hukum Jual Beli


1. Islam memandang jual beli merupakan sarana tolong menoong antar sesame
manusia. Orang yang sedan melakukna transaksi jual beli tidak dilihat sebagai
orang yang sedang mencari keuntungan semata, akan tetapi juga dipandang
sebagai orang yang sedag membantu saudaranya. Bagi penjual, ia sedang
memenuhi kebutuhan barang yang dibutuhkan pembeli. Sedangkan bagi
pembeli, ia sedang memenuhi kebutuhan akan keuntungan yang sedang dicari
oleh penjual. Atas dasar inilah aktfitas jual beli merupakan aktifitas mulia, dan
islam memperkenankannya.

2. Q.S Al-Baqarah : 275

‫ال ِّربَا َو َحر َم ْالبَ ْي َع ّللاُ َوأَ َحل‬

“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”2

3. Q.S. Al-Baqarah : 198


َ ‫ََالم ِع ْن َد ّللاَ فَ ْاذ ُكرُوا َع َرفَات ِم ْن أَفَضْ تُ ْم فَإ ِ َذا ۚ َربِّ ُك ْم ِم ْن فَضْ ل تَ ْبتَ ُغوا أَ ْن ُجنَاح َعلَ ْي ُك ْم لَي‬
‫ْس‬ ْ ‫ۖ ْال َح َر ِام ْش َع ِر‬

ُ‫الضالِّينَ لَ ِمنَ قَ ْبلِ ِه ِم ْن ُك ْنتُ ْم َوإِ ْن هَدَا ُك ْم َك َما َو ْاذ ُكرُوه‬

“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari
Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari 'Arafat, berdzikirlah kepada
Allah di Masy'arilharam. Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah
sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu
sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.”3

2 https://tafsirweb.com/1041-quran-surat-al-baqarah-ayat-275.html
3 https://tafsirweb.com/721-quran-surat-al-baqarah-ayat-198.html

4
4. Q.S Al-Nisa’ : 29
‫تَ ْقتُلُوا َو َل ۚ ِم ْن ُك ْم تَ َراض ع َْن تِ َجا َرة تَ ُكونَ أَ ْن إِل بِ ْالبَا ِط ِل بَ ْينَ ُك ْم أَ ْم َوالَ ُك ْم تَأْ ُكلُوا َل آ َمنُوا ال ِذينَ أَيُّهَا يَا‬
‫َر ِحيما بِ ُك ْم َكانَ ّللاَ إِن ۚ أَ ْنفُ َس ُك ْم‬

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta


sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu
membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.” 4

5. Hadits dari Rifaah bin Rafi’ al-Bazzar dan Al-Hakim yang menyatakan bahwa
Rasulullah SAW bersabda ketika ditanya salah seorang sehabat mengenai
pekerjaan apa yan paling baik, Rasulullah ketika itu menjawab: “ usaha tangan
manusia sendiri dan setiap jual beli yang diberkati”. Maknanya adalah jual beli
yang jujur, tanpa diiringi kecurangan dan mendapat berkat dari Allah SWT.

2.3. Rukun dan Syarat Jual Beli


a. Rukun Jual Beli

Karena perjanjian jual beli sebagai perbuatan hukum yang mempunyai konsekuensi
terjadinya peralihan hak atas suatu barang dari pihak penjual kepada pihak pembeli, maka
dengan sendirinya dalam perbuatan hukum ini haruslah dipenuhi rukun-rukun dan syarat-
syarat tertentu. Para ulama fiqih telah sepakat bahwa, jual beli merupakan suatu bentuk
akad atas harta. Adapun rukun jual beli adalah sebagai berikut :

1) Orang yang berakad (penjual dan pembeli)

2) Nilai tukar barang (uang) dan barang yang dibeli

3) Shigat (Ijab qabul) . 5

Transaksi jual beli harus memenuhi rukunrukun ini. Jika salah satu rukunnya tidak
terpenuhi, maka tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan jual beli. Dari paparan di atas

4
https://tafsirweb.com/1561-quran-surat-an-nisa-ayat-29.html
5
Chairuman Pasaribu, Hukum Perjanjian dalam Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 1996, hlm. 34 28

5
dapat diketahui bahwa rukun yang terdapat dalam transaksi jual beli ada tiga, yaitu penjual dan
pembeli, barang yang dijual dan 9 nilai tukar sebagai alat membeli, dan ijab qabul atau serah
terima.6

b. Syarat Jual Beli

Adapun syarat sahnya jual beli menurut jumhur ulama, sesuai dengan rukun jual beli yaitu
terkait dengan subjeknya, objeknya dan ijab qabul. Selain memiliki rukun, al-bai῾ juga
memiliki syarat. Adapun yang menjadi syarat-syarat jual beli adalah sebagai berikut :

Pertama tentang subjeknya, yaitu kedua belah pihak yang melakukan perjanjian jual
beli (penjual dan pembeli) disyaratkan:

1) Berakal sehat Maksudnya, harus dalam keadaan tidak gila, dan sehat rohaninya.

2) Dengan kehendaknya sendiri (tanpa paksaan) Maksudnya, bahwa dalam melakukan


perbuatan jual beli salah satu pihak tidak melakukan tekanan atau paksaan atas pihak lain,
sehingga pihak lain tersebut melakukan perbuatan jual beli bukan disebabkan kemauan sendiri,
tapi ada unsur paksaan. Jual beli yang dilakukan bukan atas dasar kehendak sendiri tidak sah.
3) Kedua belah pihak tidak mubadzir Keadaan tidak mubadzir, maksudnya pihak yang
mengikatkan diri dalam perjanjian jual beli bukanlah manusia yang boros (mubadzir). Sebab
orang yang boros di dalam hukum dikategorikan sebagai orang yang tidak cakap bertindak.
Maksudnya,dia tidak dapat melakukan sendiri sesuatu perbuatan hukum walaupun kepentingan
hukum itu menyangkut kepentingannya sendiri.

4) Baligh atau Dewasa Baligh atau dewasa menurut hukum Islam adalah apabila laki-laki telah
berumur 15 tahun, atau telah bermimpi (bagi laki-laki)dan haid (bagi perempuan). Namun
demikian, bagi anak-anak yang sudah dapat membedakan mana yang baik dan mana yang
buruk,tetapi belum dewasa (belum mencapai umur 15 tahun dan belum bermimpi atau haid),
menurut pendapat sebagian ulama diperbolehkan melakukan 30 perbuatan jual beli, khususnya
barangbarang kecil yang tidak bernilai tinggi.

6 Hendi Suhendi,Fiqh Muamalah,Jakarta:Rajawali Press,2010,hal.70

6
Kedua, tentang objeknya. Yang dimaksud objek jual beli adalah benda yang menjadi
sebab terjadinya perjanjian jual beli. Benda tersebut harus memenuhi syarat-syarat:

1) Suci barangnya Maksudnya, barang yang diperjualbelikan bukanlah benda yang


dikualifikasi sebagai benda najis, atau digolongkan sebagai benda yang
diharamkan. Jadi tidak semua barang dapat diperjual belikan. 2
2) Dapat di manfaatkan Pengertian barang yang dapat dimanfaatkan tentunya sangat
relatif, sebab pada hakikatnya seluruh barang yang dijadikan sebagai objek jual
beli merupakan barang yang dapat dimanfaatkan, seperti untuk dikonsumsi,
(beras,buah-buahan,dll),dinikmati keindahannya (perabot rumah, bunga, dll.)
dinikmatisuaranya (radio, TV, burung,dll.) serta 11Suharwadi K. Lubis, Hukum
Ekonomi Islam,Jakarta: Sinar Grafika, 2000, hlm. 130. 31 dipergunakan untuk
keperluan yang bermanfaat seperti kendaraan, anjing pelacak, dll.
3) Milik orang yang melakukan akad Maksudnya, bahwa orang yang melakukan
perjanjian jual beli adalah pemilik sah barang tersebut atau telah mendapat izin
dari pemilik sah barang. Jual beli barang yang dilakukan oleh orang yang bukan
pemilik atau yang berhak berdasarkan kuasa pemilik tidak sah.
4) Mampu menyerahkan Maksudnya, penjual baik sebagai pemilik maupun sebagai
kuasa dapat menyerahkan barang yang dijadikan sebagai objek jual beli dengan
bentuk dan jumlah yang diperjanjikan pada waktu penyerahan barang kepada
pembeli.
5) Mengetahui Maksudnya, melihat sendiri keadaan barang baik mengenai hitungan,
takaran, timbangan atau kualitasnya. Apabila dalam suatu jual beli keadaan barang
dan jumlah harganya tidak diketahui, maka perjanjian jual 32 beli itu tidak sah.
Sebab bisa jadi perjanjian tersebut mengandung unsur penipuan.
6) Barang yang diakadkan di tangan Menyangkut perjanjian jual beli atas sesuatu
barang yang belum di tangan (tidak berada dalam penguasaan penjual) dilarang
sebab bisa jadi barang tersebut rusak atau tidak dapat diserahkan sebagaimana
telah diperjanjikan.7

7
12Chairuman Pasaribu, Hukum Perjanjian dalam Islam. hlm. 37-40.

7
Ketiga, lafadz atau ijab qabul. Ijab adalah pernyataan pihak pertama mengenai
isi perikatan yang diinginkan. Sedang qabul adalah pernyataan pihak kedua untuk
menerimanya. Ijab qabul itu diadakan dengan maksud untuk menunjukkan adanya
suka rela timbal balik terhadap perikatan yang dilakukan oleh dua pihak yang
bersangkutan.8

Sedangkan, suka sama suka itu tidak dapat diketahui dengan jelas kecuali
dengan perkataan, karena perasaan suka itu bergantung hati masing-masing. Ini
kebanyakan pendapat ulama. Tetapi beberapa ulama yang lain berpendapat, bahwa
lafal itu tidak menjadi rukun, hanya menurut adat dan kebiasaan saja. Apabila menurut
adat, bahwa hal yang seperti itu sudah dianggap sebagai jual beli, itu saja sudah cukup,
karena tidak ada suatu dalil yang jelas untuk mewajibkan lafal. Menurut ulama yang
mewajibkan lafal, lafal itu diwajibkan memenuhi beberapa syarat, yaitu sebagai
berikut :

1) Keadaan ijab dan qabul berhubungan. Artinya ssalah satu dari keduanya
pantas menjadi jawaban dari yang lain dan belum berselang lama.

2) Makna keduanya hendaklah sama walaupun lafal keduanya berlainan.

3) Keduanya tidak disangkutkan dengan urusan yang lain, seperti katanya,


“kalau saya pergi, saya jual barang ini sekian”.

4) Tidak berwaktu, sebab jual beli berwaktu, seperti sebulan atau setahun tidak
sah.9

2.4. Pembagian Jual Beli


Jual beli dapat dibagi menjadi beberapa macam sesuai dengan sudut pandang yang
Berbeda. Secara lebih rinci dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Jual beli diliahat dari sisi obyek dangangan. Dibagi menjadi;

8
13Ahmad Azhar Bashir, Asas-asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam). hlm. 65-66.
9
Gemala Dewi,Hukum Perikatan Islam di Indonesia Cet1. Hlm.101-104

8
a. jual beli umum, yaitu menukar uang dengan barang. Jual beli sebagaimana yang
dilakukan layakya masyarakat umum disekalilimng kita.
b. Jual beli ash sharf; yaitu penukaran uang dengan uang. Saai ini seperti yang
dipraktekan dalam penukaran mata uang asing.
c. Jual beli muqabadlah; jual beli barter, jual beli denan menukar baran dengan barang.
2. jual beli dilihat dari sisi cara standarisasi harga:
a. jual beli yang memberi peluang bagi calon pembeli untuk menawar barang dagangan,
dan penjual tidak memberikan informasi harga beli.
b. Jual beli amanah, jual beli di mana penjual memberitahukan harga beli bang
danganannya dan mungkin tidaknya penjual memperoleh laba. Jual beli jenis ini dibagi
lagi menjadi tiga jenis:
- murabahah; yaitu jual beli dengan mdal dan keuntungan yang diketahui. Pejual
menjual berang danganannya dengan menghendaki keuntungan yang akan
diperoleh.
- wadli’ah ; yaitu menjual barang denhan harga dibawah modal dengan jumlah
kerugian yang diketahui. Penjual dengan alasan tertentu siap menerima kerugian dari
barang yang ia jual.
- jual beli tauliyah; yaitu jual beli dengan menjual barang yang sesuai dengan harga
beli penjual rela tidak mendapatkan keuntungan dari transaksinya.
c. Jual beli muzayyadah (lenang); yaitu jual beli dengan cara enjual menawarkan barang
dangangannya, lalunpembeli salning menawarkan dengan menambah jumlah
pembayaran dari pembeli sebelumnya, lalu sipenjual akan menjual dengan harga tinggi
dari para pembeli tersebut
d. Jual beli munaqadlah (obral); yakni pembeli menawarkan untuk membeli barang
dengan kriteria tertentu lali para penjual berlomba menawarlan dangannya. Kemudian
si pembeli dengan harga termurah dari barang yang ditawarkan oleh para penjual.
e. Jual beli mihathah; jual beli barang dimana penjual menawarkan diskon kepada
pembeli. Jual beli jenis ini banyak dilakukan oleh super market untuk menarik pembeli.

3. jual beli dilihat dari sisi cara pembayarannya dibagi menjadi:

a. Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaraha secara langsung

9
b. Jual bali dengan penyerahan barang tertunda

c. Jual beli denhan pembayaran tertunda

d. Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran dana sama-sama tertunda

2.5 Jual Beli Yang Diperselisihkan

Beberapa macam jual beli yang disebutkan di atas, ada beberapa macam jual beli lain yang
diperselisihkan hukumnya, meskipun sebenarnya sudah berlaku ditengah-tengah masyarakat.
Jual beli tersebut di antaranya:

1. Jual beli juzaf; jual beli ini dikenal dengan jual beli borongan. Secara bahasa artinya
mengambil dalam jumlah yang banyak. Dalam teminologi juzaf adalah menjual
barang yang biasa ditakar, ditimbang dan dihitung lagi. Jika mengacu pada takaran
(satuan) barang yang diperjual belikan, jual beli ini ada unsur spekulasinya. Baik
penjual maupun pembeli tidak mengetahui jumlah pastinya. Maka, sebenarnya ulama
mazhab telah bersepakat bahwa jual beli yang mengandung unsur spekulasi ini
dilarang, sebab tidak memenuhi salah satu persyaratan jual beli, yaitu harus diketahui
objeknya (ukuran dan kriterianya), namun jual beli ini termasuk yang dikecualikan dari
hukum asalnya yang bersifat umum, karena umat manusia sangat membutuhkan dan
bahkan telah mempraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
2. Jual beli wafa’ (al-bai’ al-wafa’)
Pengertian al-bai’ al-wafa’, secara lughawai al-bai’= jual beli, dan al-wafa’= tenggat
waktu (jual beli dengan tenggat waktu). Dalam terminologi fiqh jual beli wafa’ adalah
jual beli yang dilangsungkan dua pihak yang dibarengi dengan syarat bahwa barang
yang dijual tersebut dapat dibeli kembali oleh penjual apabila tenggang waktu yang
ditentukan telah tiba. Para ulama tidak memperbolehkan jual beli ini,karena jual beli
ini dikatakan menyerupai akad rahn. Jika dilihat dari sisi bahwa harta yang menjadi
jaminan tersebut bebas dimanfaatkan oleh penerima jaminan, akad ini seperti bai’.
Sehingga jual beli ini merupakan jual beli khusus yang memang diperselisihkan oleh
ulama dari aspek hukumnya.
3. Jual beli inah

10
Ialah jual beli dengan cara menjual barang kepada seorang pembeli dengan
pembayaran tertunda, dapat diangsur dengan harga tertentu, kemudian pembeli
menjualnya kembali kepada pemilik semula, dengan harga yang lebih murah dari
pembeliannya dan dibayar dengan kontan di tempat itu pula. Para ulama sepakat bahwa
jual beli inah diharamkan bila terjadi melalui kesepakatan dan persetujuan bersama
dalam pertama untuk memasukkan perjanjian kedua ke dalamnya,namun ulama
berbeda pendapat jika tidak terjadi kesepakatan sebelumnya.
4. Jual beli dengan dua perjanjian dalam satu transaksi jual beli
Jual beli dengan cara seperti ini terdapat beberapa kemungkinan:pertama, bisa
berbentuk jual beli inah, hukumnya ada perbedaan pendapat sebagaimana telah
dijelaskan di depan. Kedua, jual beli dengan dua harga, di mana jika kredit harga lebih
mahal dibandingkan harga kontan. Hukum jual beli ini juga ada perbedaan pendapat.
Majelis ulama fiqh memilih pendapat yang memperbolehkan jual beli ini. Dalam
muktamarnya yang keenam di Jeddah pada bulan sya’ban 1410 H ditetapkan sebagai
berikut:“dibolehkannya tambahan harga kredit dari harga kontan. Juga dibolehkan
menyebutkan harga kontan dengan harga kreditnya disertai dengan waktu-waktu
penyicilannya. Jual beli dianggap tidak sah jika orang yang bertransaksi belum
menegaskan pilihan, apakah kontan atau kredit. Kalau jual beli ini dilakukan dengan
keragu-raguan apakah kredit atau kontan, sehingga menjadi tidak jelasnya harga, maka
jual beli ini tidak sah.”

2.6 Macam-macam Jual Beli Yang Diharamkan

Disamping ada beberapa jual beli yang diperbolehkan dan diperselisihkan oleh para ulama,
ada beberapa macam jaul beli yang diharamkan. Diantaranya adalah:

1. Jual beli tanggungan dengan tanggungan; diantaranya adalah menggugurkan apa yang
ada pada tanggungan orang yang berhutang dengan jaminan nilai tertentu yang
pengambilannya ditangguhkan dari waktu pengguguran. Misalnya seseorang
mengatakan: “silahkan tangguhkan pembayaran hutangmu, tapi tambah jumlahnya”.
2. Jual beli yang disertai dengan syarat yang bertentangan dengan syari’at atau
bertentangan dengan akibat dari akad jual beli tersebut. Syarat yang bertentangan

11
dengan syari’at misalnya seseorang menjual sebuah barang dengan persyaratan barang
yang dibeli darinya harus dipergunakan untuk tindakan yang dilarang agama. Syarat
yang bertentangan dengan akibat dari akad jual beli misalnya seseorang menjual
barang, dia mensyaratkan kepada pembeli untuk membatasi penggunaan barang
tersebut. Misalnya ia mengatakan, “silahkan membeli barang saya akan tetapi kamu
tidak boleh menghibahkan untuk orang lain”.

Namun, jika penjual memberi persyaratan yang sesuai dengan tujuan agama, maka jual
beli ini syah. Misalnya, seseorang menjual tanah dan dia mensyaratkan agar tanah yang
dibeli darinya agar digunakan untuk berjuang dijalan Allah. Maka jual beli ini
dianggap syah.

3. Menjual atau membeli barang yang masih dalam proses transaksi dengan orang, atau
menawar barang yang masih ditawar orang lain.
Misalnya: ada dua orang yang berjual beli dan sepakat pada satu harga tertentu. Lalu datang
penjual lain dan menawarkan barangnya kepada pembeli dengan harga yang lebih
murah. Atau menawarkan kepada pembeli barang lain yang berkualitas lebih baik
dengan harga sama atau bahkan lebih murah. Demikian juga seseorang yang menawar
barang, tiba-tiba datang orang lain dengan tawaran yang lebih tinggi. Terhadap praktek
jual beli seperti ini ulama sepakat tidak syah. Namun demikian, jika atas
sepengetahuan penjual pertama dan ia mengizinkannya, tidak masalah. Pengecualian
dari praktek diatas, ada praktek pelelangan. Praktek ini dipandang syah.
4. Orang kota menjualkan barang orang dusun.
Maksudnya adalah munculnya sabotase dari orang yang mengetahui harga barang
terhadap orang yang tidak mengetahui harga barang. Sehingga menjadikan orang yang
tidak tahu harga barang tersebut tergantung terhadap orang yang tahu harga. Jual beli
seperti ini pada zaman dahulu digambarkan adanya orang-orang kota yang sudah
mengetahui harga barang, mencegat barang dagangan yang akan di bwa ke kota di
tengah jalan oleh orang-orang kampung.misalnya tergambar dari hadits Rasulullah
SAW: “Rasulullah SAW melarang jual beli dengan cara mencegat barang dagangan
di tengah jalan.”

12
Larangan jual beli dengan cara mencegat di tengah jalan bisa dipahami dalam
pengertian yang lebih luas, meskipun secara fisik tidak harus dilakukan dengan cara
pencegatan. Menyabotase informasi bisa menjadi pengenmbangan dari pengertian
hadits Rasulullah SAW di atas. Misalnya seseorang mengatakan kepada pedagang
yang tidak mengetahui harga: kamu jangan menjual barang sendiri, saya lebih tahu
tentang masalah jual beli ini. Akhirnya si pedagang bergantung kepadanya, menjual
barangnya dan akhirnya ia memasarkan barang dengan harga tinggi.
Mencegat barang dagangan di tengah jalan dengan menyabotase informasi
harga seperti di atas sama-sama merugikan pihak penjual. Penjual tidak dapat menjual
barang dagangannya sesuai dengan harga yang seharusnya dipasaran. Untuk itu,
menyabotase adalah hal yang dilarang dengan mendasarkan pada dalil di atas.

2.7 Hak Khiyar Dalam Jual Beli

1. Pengertian

Secara lughawi Khiyar = pilihan; sedangkan secara Istilah pengertian khiyar: hak pilih
bagi salah satu atau kedua belah pihak yang melaksanakan transaksi jual beli untuk
melangsungkan atau membatalkan transaksi yang disepakati, disebabkan hal-hal tertentu yang
membuat masing-masing atau salah satu pihak melakukan pilihan tersebut. Pilihan ini dapat
dilakukan dalam berbagai macam sebab dan keadaan yang berbeda-beda.

Hak Khiyar disyariatkan untuk menjamin kebebasan, keadilan dan kemaslahatan bagi
masing-masing pihak yang sedang melaksanakan transaksi. Sehingga hak khiyar merupakan
ruang yang ditawarkan oleh fiqh muamalah untuk berfikir ulang, merenung dan saling
mengkoreksi antara pihak terkait dengan obyek dan transaksi yang telah mereka lakukan.
Dengan hak khiyar ini para pihak diharapkan terhindar dari muncuinya rasa penyesalan setelah
transaksi selesai dilakukan.

2. Dasar Hukum Hak Khiyar

Hadits Rosulullah SAW :

Artinya: Dua orang yang sedang melakukan transaksi jual beli ada hak khiyar selama
keduanva belum pisah. Jika mereka jujur dan terbuka, maka jual beli mereka akan diberkahi,

13
dan jika keduanya saling mendustai dan tidak terbuka maka jual beli mereka akan ditutup
barakahnya.

Rasulullah SAW bersabda tidak dikatakan ada jual beli antara dua orang yang bertransaksi
jual beli sampai mereka berpisah kecuali jual beli Khiyar (jual beli yang dilakukan dengan
memberikan hak pilih kepada masing-masing pihak).

Dua hadits di atas menunjukkan adanya hak khiyar bagi orang yang sedang melakukan
transaksi jual beli. Hadits pertama secara tersirat mengandung pesan moral bahwa khiyar
merupakan langkah yang paling baik untuk menjamin tidak adanya saling mendustai dan
menyembunyikan cacat. Kelak dari pesan ini memunculkan teori tentang khiyar majlis.
Sedangkan hadits kedua mengandung pesan moral bahwa khiyar bisa dilakukan bahkan jika
kedua belah pihak telah meninggalkan majlis. Kelak berangkat dari pesan ini memunculkan
teori tentang khiyar aib. Hadits-hadits yang semisal dengan hadits tersebut banyak ditemui.
Semuanya merupakan landasan hukum bagi dibolehkannya hak khiyar.

3. Macam-macam Khiyar

a. Khiyar Syarat; adalah hak pilih yang ditetapkan bagi salah satu pihak yang berakad
atau keduanya untuk meneruskan atau membatalkan jual beli. selama tenggat waktu
yang ditentukan. Khiyar syarat hanya berlaku bagi akad yang mengikat kedua belah
pihak dan muncul atas kesepakatan kedua belah pihak. Sedangkan tenggat waktu
khiyar syarat ada perbedaan pendapat:

-Madzhab Hanafi dan Imam Syafi'i; bahwa waktu khiyar syarat tidak lebih dari tiga
hari Berdasarkan hadits Rasulullah: "apabila seseorang membeli satu barang katakan
(pada pembeli): jangan ada tipuan dan saya berhak memilih dalam waktu tiga hari”.

-Imam Abi Yusuf dan Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani, madzhab Hanbali
berpendapat; bahwa tenggat waktu khiyar syarat diserahkan sepenuhnya kepada kedua
belah pihak yang melakukan transaksi jual beli, sebab khiyar disyariatkan untuk
kelegaan hati kedua belah pihak dan bisa dimusyawarahkan antara keduanya.

Ulama fiqih sepakat, bahwa akad yang dilakukan yang disertai khiyar syarat bersifat
tidak mengikat bagi pihak-pihak yang melakukan. Jika tenggat waktu habis, secara otomatis

14
akad tersebut mengikat meskipun tanpa ada pernyataan dari salah satu pihak atau kedua belah
pihak. Hal ini menegaskan bahwa pihak-pihak yang berakad sudah terikat dengan akad yang
disepakatinya.

Akan tetapi muncul Ikhtilaf di kalangan Ulama fiqh terkait dengan impikasi khiyar
terhadap tindakan hukum bagi para pihak;

-Ulama' Hanafi dan Maliki berpendapat: bahwa khiyar menyebabkan terhalangnya


akibat hukum yang lahir dari akad. Kedua belah pihak belum bisa secara bebas
melakukan tindakan hukum atas benda yang ditransaksikan dengan disertai khiyar
selama jangka waktu khiyar belum habis.

-Syafi'i dan Hanbali: akibat hukum jual beli tetap berlaku selama masa khiyar, sampai
barang yang dijual diserahkan kepada penjual. Penjual dapat melakukan tindakan
hukum atas benda yang ditransaksikan.

Implikasi dari perbedaan pendapat tersebut, bahwa apabila obyek hukum binatang
ternak, maka menurut pendapat Hanafi dan Maliki biaya pemeliharaannya merupakan
kewajiban penjual. Sedangkan bagi Syafi'i dan Hanbali tetap menjadi kewajiban pembeli

b. Khiyar Ta'yin; hak pilih bagi pembeli dalam menentukan barang yang berbeda
kualitas dalam jual beli. Terkadang obyek jual beli memiliki kualitas yang berbeda,
sedangkan pembeli tidak mampu untuk mengidentifikasi kualitas tersebut. Dalam
kondisi seperti ini pembeli minta bantuan untuk menganalisa kualitasnya. Inilah yang
disebut khiyar ta'yin, yang menurut madzhab Hanafi dibolehkan, sedangkan jumhur
Ulama' tidak membolehkan, sebab jual beli seperti di atas mengandung ketidak jelasan
yang masuk dalam jual beli al-ma'dum.

Contoh dalam kasus jual beli mobil. Seseorang ingin membeli sebuah mobil bekas.
Sementara ia tidak tahu kualitas mobil yang akan dibelinya. Untuk memastikan kualitas mobil
yang akan dibeli, ia meminta bantuan orang lain untuk menganalisanya. Jadi dan tidaknya
pembeli tersebut atas barang yang akan ia beli, ia lakukan atas rekomendasi orang yang diminta
bantuan tersebut. Khiyar ini disebut sebagai khiyar ta'yin.

15
c. Khiyar aib; adalah hak untuk membatalkan atau melangsungkan jual beli bagi
kedua belah pihak yang berakad apabila terdapat suatu cacat pada obyek yang diperjual
belikan, dan cacat tersebut tidak diketahui pemiliknya ketika akad berlangsung. Khiyar
ini memiliki syarat-syarat tertentu agar dapat berlaku;

- Pembeli tidak mengetahui bahwa pada barang itu ada cacat ketika berlangsung akad.
Jika sejak awal pembeli sudah tahu cacat yang ada pada barang yang akan dibeli, maka
padanya tidak ada khiyar aib.

- Ketika akad berlangsung penjual tidak mensyaratkan bahwa apabila ada cacat tidak
bisa dikembalikan. Artinya sudah ada kesepakatan dari pembeli tentang cacat yang ada
pada barang yang akan dibeli. Jika penjual membuat kesepakatan kepada pembeli,
bahwa barang yang sudah dibeli tidak bisa dekembalikan dalam kondisi apapun dan
pembeli menyepakatinya, maka sudah tidak ada lagi khiyar aib.

-Cacat tidak hilang sampai dilakukan pembatalan akad. Cacat yang ada pada benda
yang akan dibeli bukan akibat dari tindakan pembeli. Demikian juga pembeli tidak
boleh berusaha untuk merubah atau menghilangkan cacat yang ada pada benda yang
akan dibeli jika ditemukan cacat. Jika hal tersebut dilakukan, khiyar aib batal.

Dalam kliyar aib, pengembalian barang bisa terhalang apabila:

-Pemilik hak khiyar rela dengan cacat yang ada pada barang tersebut. Jika sejak awal
seorang pembeli mengetahui ada cacat, dan atas cacat tersebut ia merelakannya, maka
ia tidak bisa mengembalikan barang yang sudah dibelinya.

-Hak khiyar digugurkan oleh pemiliknya. Jika sejak awal pemilik barang sudah
memberitahukan kepada pembeli untuk tidak mau menerima resiko cacat yang ada
pada barang dan pembeli menyepakatinya, maka jika pembeli kemudian menemukan
cacat, barang tersebut tidak bisa dikembalikan.

-Benda yang menjadi obyek hilang atau muncul cacat baru akibat perbuatan pemilik
hak khiyar. Benda obyek jual beli sudah tidak lagi seperti semula. Termasuk dalam hal
ini jika pada barang tersebut terdapat penambahan materi barang dari pemilik hak
khiyar.

16
d. Khiyar ru'yah: hak pilih bagi pembeli untuk menyatakan berlangsung atau batalnya
jual beli yang dilakukannya terhadap suatu obyek yang belum dilihatnya ketika akad
berlangsung. Suatu saat, seorang pembeli ingin membeli barang, sementara ia belum
bisa melihat barang tersebut. Kemudian ia menyipatinya terhadap barang yang
diinginkan dan penjual siap menghadirkan barang tersebut di lain waktu. Saat barang
tersebut dihadirkan pembeli memiliki kesempatan untuk melakukan pilihan antara
melangsungkan atau membatalkan jual beli tersebut. inilah yang disebut khiyar ru'yah.
Dalam hal ini, Imam Syafi'i berpendapat bahwa jual beli barang ghaib tidak syah,
meskipun disebut sifat-sifatnya. Sedangkan Jumhur Ulama' mengemukakan beberapa
syarat berlakunya khiyar rukyah;

-Obyek Jual beli pembeli tidak dilihat pembeli ketika akad berlangsung.
Barang tersebut masih menjadi tanggungan penjual saat pembeli menyatakan
kehendaknya.

-Obyek akad berupa materi. la adalah benda yang dapat dilihat dan disifati.

- Akad itu sendiri mempunyai alternatif untuk dibatalkan. Tidak ada


persyaratan yang ditetapkan oleh penjual dan kemudian disepakati oleh
pembeli bahwa obyek jual beli tidak bisa dibatalkan.

Khiyar rukyah dapat berakhir apabila:

-Pembeli menunjukkan kerelaannya. Saat obyek jual beli tersebut dihadirkan


oleh penjual, pembeli menyatakan setuju dengan barang tersebut.

-Obyek yang diperjual belikan hilang atau terjadi penambahan cacat baik oleh
pembeli atau kedua belah pihak.

-Orang yang memiliki hak khiyar meninggal.

e. Khiyar majlis; hak pilih bagi kedua belah pihak yang berakad untuk membatalkan
atau melangsungkan akad, selama keduanya masih berada dalam satu majlis dan belum
pisah badan/tempat.

Menanggapi khiyar jenis ini, Ulama' berbeda pendapat tentang keabsahannya:

17
a. Madzhab Syafi'i dan Hanbali: bahwa masing-masing pihak yang melakukan akad
berhak mempunyai khiyar majlis, selama mereka masih berada dalam majlis akad,
sekalipun akad telah syah dengan adanya ijab dan kabul. Kedua belah pihak (penjual
dan pembeli) masih memiliki hak pilih untuk melangsungkan jual belinya atau
membatalkannya, selama mereka masih belum berpisah dalam tempat jual beli

b. Hanafi dan Maliki: suatu akad sudah sempurna dengan adanya ijab dan kabul.
Setelah ijab kabul terjadi, tidak ada lagi peluang untuk membatalkan meskipun masih
berada dalam satu majlis.

18
BAB III

PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa jual beli itu diperbolehkan dalam
Islam.Hal ini dikarenakan jual beli adalah sarana manusia dalam mencukupi kebutuhan
mereka, dan menjalin silaturahmi antara mereka.Namun demikian, tidak semua jual beli
diperbolehkan.Ada juga jual beli yang dilarang karena tidak memenuhi rukun atau syarat jual
beli yang sudah disyariatkan. Rukun jual beli adalah adanya akad (ijab kabul), subjek akad dan
objek akad yang kesemuanya mempunyai syarat-syarat yang harus dipenuhi, dan itu semua
telah dijelaskan di atas.Walaupun banyak perbedaan pendapat dari kalangan ulama dalam
menentukan rukun dan syarat jual beli, namun pada intinya terdapat kesamaan, yang berbeda
hanyalah perumusannya saja, tetapi inti dari rukun dan syaratnya hampir sama.
Bagi umat Islam yang melakukan bisnis dan selalu berpegang teguh pada norma-norma
hukum islam, akan mendapat berbagai hikmah diantaranya; (a) bahwa jual beli (bisnis) dalam
islam dapat bernilai sosial atau tolong menolong terhadap sesama, akan menumbuhkan
berbagai pahala, (b) bisnis dalam islam merupakan salah satu cara untuk menjaga kebersihan
dan halalnya harta yang dimakan untuk dirinya dan keluarganya, (c) bisnis dalam islam
merupakan cara untuk memberantas kemalasan, pengangguran dan pemerasan kepada orang
lain, (d) berbisnis dengan jujur, sabar, ramah, memberikan pelayanan yang memuaskan
sebagaimana yang diajarkan dalam islam akan selalu menjalin persahabatan kepada sesama
manusia.

3.2. Saran
Jual beli merupakan kegiatan yang sering dilakukan oleh setiap manusia, namun pada
zaman sekarang manusia tidak menghiraukan hukum islam. Oleh karena itu, sering terjadi
penipuan dimana-mana. Untuk menjaga perdamaian dan ketertiban sebaiknya kita berhati-hati
dalam bertransaksi dan alangkah baiknya menerapkan hukum islam dalam interaksinya.
Allah SWT telah berfirman bahwasannya Allah memperbolehkan jual beli dan
mengharamkan riba.Maka dari itu, jauhilah riba dan jangan sampai kita melakukun riba.
Karena sesungguhnya riba dapat merugikan orang lain.

19
DAFTAR PUSTAKA

Afandi, Yazid. 2009. Fiqh Muamalah. Yogyakarta. Logung Pustaka

Sahrani, Sohari, DKK. 2011. Fikih Muamalah. Bogor. Ghalia Indonesia.

Djuwaini, Dimyauddin. 2010. Pengantar Fikih Muamalah. Yogyakarta. Pustaka


Pelajar.

Syekh Abdurrahman as-Sa’di, DKK. 2008. Fiqih Jual-Beli : Panduan Praktis Bisnis
Syariah. Jakarta Selatan. Senayan Publishing

Apipudin. Konsep Jual Beli Dalam Islam (Analisis Pemikiran Abdu Al-Rahman Al-
Jaziri Dalam Kitab Al-Fiqh ‘Ala Al- Madahib Al-Arba’ah). Jurnal Islaminomic Vol.
V. No. 2, Agustus 2016.

Http://Syukrialgozali29.Blogspot.Com/2018/07/Makalah-Fiqih-Muamalah-Jual-
Beli.Html

20

Anda mungkin juga menyukai