Dosen Pembimbing:
Bapak Dr H Azmi Yahya MM.
Disusun Oleh:
Kelompok 1
Wahyuningsih (2019320012)
Balqistiara Salsabila Zikri (2019320023)
Salsa Landian Dini (2019320024)
2. Tujuan Muamalah.........................................................................................................................6
BAB III..................................................................................................................................................19
PENUTUPAN........................................................................................................................................19
A. Kesimpulan..................................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................................20
Kata Pengantar
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehi
ngga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolong
an-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini deng
an baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta
kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafa’atnya di akhirat
nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat seh
at-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu
untuk menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah Perpajak
an dengan judul Sistem Pemungutan Pajak.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, pe
nulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya ma
kalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila
terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-be
sarnya.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya ke
pada dosen kami yang telah membimbing dalam menulis makalah ini.
Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini kami akan menjelaskan tentang:
1. Apa Yang Dimaksud Muamalah ?
2. Apa Saja Kaidah Kaidah Muamalah?
3. Apa Saja Hakikat Muamalah?
4. Apa Saja Ruang Lingkup Muamalah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Muamalah
Menurut istilah syariat Islam adalah suatu kegiatan yang mengatur hal-hal yan
g berhubungan dengan kegiatan sesama umat manusia. Adapun muamalah secara
etimologi memiliki makna yang sama dengan al-mufa’ala yaitu saling berbuat, ya
ng berarti hubungan kepentingan antar seseorang dengan orang lain.
I. Jenis-jenis Muamalah
Umat Islam dalam melakukan kegiatan sehari-hari selalu berpegang teguh pad
a norma-norma ilahiyah, begitu juga dalam muamalah. Hal ini sebagai upaya untu
k melindungi hak masing-masing pihak dalam bermuamalah. Melansir dari reposi
tory.uin-suska.ac.id, muamalah dibagi menjadi beberapa jenis, di antaranya sebag
ai berikut:
a) Syirakh
Dalam ilmu muamalah, syirah merupakan suatu akad di mana dua pihak yang
melakukan kerjasama dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan. Selain itu, sy
irakh juga bisa dimaknai mencampurkan dua bagian menjadi satu, sehingga tidak
bisa dibedakan antara satu dengan yang lainnya.
Adapun rukun syirakh di antaranya barang harus halal, objek akad harus peker
jaan dan modal, dan pihak pelaku akad harus memiliki kecakapan melakukan pen
gelolaan harta.
b) Jual Beli
Dalam hukum Islam, kegiatan ekonomi memiliki arti suatu kegiatan atau kese
pakatan dalam menukar barang dengan tujuan untuk dimiliki selamanya. Adapun
beberapa syarat saat proses jual beli di antaranya berakal sehat, transaksi dilakuka
n atas dasar kehendak sendiri, dan penjual maupun pembeli harus punya akal, bali
gh, dan lain sebagainya.
c) Murabahah
Murabahah adalah transaksi atau pembayaran angsuran yang diketahui oleh ke
dua pihak. Baik dari ketentuan margin keuntungan atau harga pokok pembelian.
d) Sewa Menyewa
Sewa menyewa atau dalam Islam disebut akad ijarah merupakan suatu imbala
n yang diberikan kepada seseorang atas jasa yang telah diberikan, seperti kendaraa
n, tenaga, tempat tinggal, dan pikiran.
Adapun beberapa syaratnya ialah barang yang disewakan menjadi hak sepenu
hnya dari pihak pemberi sewa, kedua belah pihak harus berakal sehat, dan manfaa
t barang yang disewakan harus diketahui jelas oleh penyewa.
e) Hutang Piutang
Hutang piutang adalah menyerahkan harta dan benda kepada orang dengan cat
atan suatu saat nanti akan dikembalikan sesuai perjanjian. Beberapa rukun hutang
piutang di antaranya harus ada barang atau harta, adanya ijab qabul, dan adanya p
emberi hutang atau penghutang. Salah satu hal yang harus dihindari ialah menjahu
i riba.
f) Riba
Riba adalah penetapan bunga atau melebihkan jumlah pinjaman saat pengemb
alian berdasarkan presentase dari jumlah pinjaman pokok yang dibebankan kepad
a peminjam.
Riba secara bahasa memiliki arti ziyadah atau tambahan. Adapun pengertian ri
ba menurut Syekh Abu Yahya Al-Anshary didefinisikan sebagai berikut, yang arti
nya.
"Riba adalah suatu akad pertukaran barang tertentu yang tidak diketahui padan
annya menurut timbangan syara’ yang terjadi saat akad berlangsung atau akibat ad
anya penundaan serah terima barang baik terhadap kedua barang yang dipertukark
an atau salah satunya saja." (Syekh Abu Yahya Zakaria Al-Anshary, Fathul Wahâ
b bi Syarhi Manhaji al-Thullâb).
B. Kaidah Muamalah
Berikut ini akan disampaikan beberapa kaidah fikih yang khusus di bidang
muamalah. Di antara kaidah khusus di bidang muamalah ini adalah :
Maksud kaidah ini bahwa dalam setiap muamalah dan transaksi, pada dasarnya boleh,
seperti jual beli, sewa menyewa, gadai, kerja sama (mudharabahatau musyarakah),
perwakilan dan lain-lain, kecuali yang tegas-tegas diharamkan seperti mengakibatkan
kemudaratan, tipuan, judi dan riba.
“Hukum asal dalam muamalah adalah pemaafan, tidak ada yang diharamkan kecuali apa
yang diharamkan Allah SWT”.
“Hukum asal dalam transaksi adalah keridhaan, kedua belah pihak yang berakad,
hasilnya adalah berlaku sahnya yang diakadkan”
Keridhaan dalam melakukan transaksi adalah merupakan prinsip. Oleh karena itu,
transaksi barulah sah apabila didasarkan kepada keridhaan kedua belah pihak. Artinya
tidak sah suatu akad apabila suatu pihak dalam keadaan terpaksa atau dipaksa atau juga
merasa tertipu. Bisa terjadi padaa waktu akad sudah saling meridhai, tetapi kemudian
salah satu pihak merasa tertipu, artinya hilang keridhaannya, maka akad tersebut bisa
batal. Contohnya seperti pembeli yang merasa tertipu karena dirugikan oleh penjual
karena barangnya terdapat cacat.
Atas dasar kaidah ini, maka si penjual haruslah pemilik barang yang dijual atau wakil dari
pemilik barang atau yang diberi wasiat atau wakilnya. Tidak ada hak orang lain pada
barang yang dijual.
Akad yang batal dalam hukum Islam dianggap tidak ada atau tidak pernah terjadi. Oleh
karena itu, akad yang batal tetap tidak sah walaupun diterima oleh salah satu pihak.
Contohnya, Bank Syariah tidak boleh melakukan akad dengan lembaga keuangan lainnya
yang menggunakan sistem bunga, meskipun sistem bunga dibolehkan oleh pihak lain,
karena sistem bunga telah dinyatakan haram oleh Dewan Syariah Nasional. Akad baru
sah apabila lembaga keuangan lain itu mau menggunakan akad-akad yang diberlakukan
pada perbankan syariah, yaitu akad-akad atau transaksi tanpa menggunakan sitem
bunga.
Seperti telah dikemukakan kaidah no. 3 bahwa pada dasarnya seseorang tidak boleh
bertindak hukum terhadap harta milik orang lain tanpa seizin pemiliknya. Tetapi,
berdasarkan kaidah diatas, apabila seseorang bertindak hukum pada harta milik orang
lain, dan kemudian si pemilik harta mengizinkannya, maka tindakan hukum itu menjadi
sah, dan orang tadi dianggap sebagai perwakilan dari si pemilik harta.
َّ األَجْ ُر َوال
ِ ض َمانُ الَ يَجْ تَ ِم َع
6) ان
“Pemberian upah dan tanggung jawab untuk mengganti kerugian tidak berjalan
bersamaan”
Yang disebut dengan dhanan atau ganti rugi dalam kaidah tersebut adalah mengganti
dengan barang yang sama. Apabila barang tersebut ada di pasaran atau membayar
seharga barang tersebut apabila barangnya tidak ada di pasaran (Majalah Ahkam al-
Adliyah Pasal 416)
Arti asal al-kharaj adalah sesuatu yang dikeluarkan baik manfaat benda maupun
pekerjaan, seperti pohon mengeluarkan buah atau binatang mengeluarkan susu.
Sedangkan al-dhaman adalah ganti rugi.
“Apabila sesuatu akad batal, maka batal pula yang ada dalam tanggungannya”
Contohnya, penjual dan pembeli telah melaksanakan akad jual beli. Si pembeli telah
menerima barang dan si penjual telah menerima uang. Kemudian kedua belah pihak
membatalkan jual beli tadi. Maka, hal pembeli terhadap barang menjadi batal dan hak
penjual terhadap harga barang menjadi batal. Artinya, si pembeli harus mengembalikan
barangnya dan si penjual harus mengembalikan harga barangnya.
“Akad yang objeknya suatu benda tertentu adalah seperti akad terhadap manfaat benda
tersebut”
Objek suatu akad bisa berupa barang tertentu, misalnya jual beli, dan bisa pula berupa
manfaat suatu barang seperti sewa menyewa. Bahkan sekarang, objeknya bisa berupa
jasa seperti jasa broker. Maka, pengaruh hukum dari akad yang objeknya barang atau
manfaat dari barang adalah sama, dalam arti rukun dan syaratnya sama.
Akad mu’awadhah adalah akad yang dilakukan oleh dua pihak yang masing-masing
memiliki hak dan kewajiban, seperti jual beli. Satu pihak (penjual) berkewajiban
menyerahkan barang dan berhak terhadap harga. barang. Di pihak lain yaitu pembeli
berkewajiban menyerahkan harga barang dan berhak terhadap barang yang dibelinya.
Dalam akad yang semacam ini tidak sah apabila dibatasi waktunya, sebab akad jual beli
tidak dibatasi waktunya. Apabila waktunya dibatasi, maka bukan jual beli tapi sewa
menyewa.
ِ ف فِي ِم ْل
ِ َك ال َغي ِْر ب
12) اط ٌل َ َّاألَ ْم ُر بِالت
ِ ُّصر
“Setiap perintah untuk bertindak hukum terhadap hak milik orang lain adalh batal”
Akad tabarru’ adalah akad yang dilakukan demi untuk kebajikan semata seperti hibah
atau hadiah. Hibah tersebut belum mengikat sampai penyerahan barangnya
dilaksanakan.
“Suatu hal yang dibolehkan oleh syara’ tidak dapat dijadikan objek tuntutan ganti rugi.”
Maksud kaidah ini adalah sesuatu yang dibolehkan oleh syariah baik melakukan
atau meninggalkannya, tidak dapat dijadikan tuntutan ganti rugi. Contohnya, si A
menggali sumur di tempat miliknya sendiri. Kemudian binatang tetangganya jatuh ke
dalam sumur tersebut dan mati. Maka, tetangga tadi tidak bisa menuntut ganti rugi
kepada si A, sebab menggali sumur di tempatnya sendiri dibolehkan oleh syariah.[12]
Sesungguhnya berdasarkan kaidah ini, adalah sah dalam setiap akad jual beli,
sewa menyewa, dan lain-lain. Akad untuk menyebut qabiltu (saya telah terima) dengan
tidak mengulangi rincian dari ijab. Rincian ijab itu, seperti saya jual barang ini dengan
harga sekian dibayar tunai, cukup dijawab dengan “saya terima”.
Contonya seperti dalan gadai emas kemudian ada syarat bahwa apabila barang
gadai tidak ditebus dalam waktu sekian bulan, maka penerima gadai berhak untuk
menjualnya. Atau syarat kebolehan memilih, syarat tercatat di notaris.
Sudah barang tentu ada kekecualiannya, seperti manfaat barang boleh disewakan
tapi tidak boleh digadaikan karena tidak bisa di serah terimakan.
C. Hakekat Muamalah
Allah menciptakan manusia dan dunia ini bukan tanpa aturan. Ada hukum-
hukum yang harus dipatuhi dalam menjalani setiap aktivitas di dunia ini, mulai
dari bangun tidur sampai tidur lagi. Hukum-hukum Allah dalam muamalah pada
hakikatnya adalah untuk kemaslahatan kita dan menghilangkan segala
kemudharatan.
Sebagai mahluk ciptaan Allah SWT dan mahluk sosial sudah sepantasnya kita
mempelajari, memahami dan mempraktekkan hukum muamalah yang telah diatur
sesuai syariat Islam. Penerapan muamalah dalam kehidupan sehari-hari yang
sesuai syariat Islam, secara tidak langsung berarti kita juga telah ikut serta dalam
upaya menegakkan nilai-nilai Islam yang merupakan misi sepanjang hidup setiap
insan muslim.
Muamalah merupakan cabang dari ilmu syariah dalam cakupan ilmu fiqih.
Secara garis besar kegiatan muamalah mencakup dua aspek, yaitu aspek adabiyah
dan madiyah.
Dari segi bahasa, muamalah berasal dari kata aamala, yuamilu, muamalat
yang artinya saling melakukan, saling bertindak atau saling mengamalkan.
Dengan demikian arti muamalah melibatkan lebih dari satu orang dalam
prakteknya, sehingga akan timbul adanya hak dan kewajiban. Sedangkan dari segi
istilah, pengertian muamalah berdasarkan fiqih mempunyai dua arti, yaitu
pengertian dalam arti luas dan pengertian dalam arti sempit.
Dalam arti luas, muamalah merupakan aturan Allah yang mengatur masalah
hubungan manusia dan usaha mereka dalam mendapatkan kebutuhan jasmani
dengan jalan yang terbaik. Sedangkan dalam arti sempit, muamalah merupakan
kegiatan tukar menukar suatu barang yang bermanfaat dengan menggunakan cara-
cara yang sesuai aturan Islam.
Ayat Alquran tentang muamalah yang sesuai kondisi ini, yaitu : An Nisa’ ayat
29 : “Hai orang-orang yg beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yg berlaku
dengan suka sama-suka di antara kamu”
Muamalah dalam Islam merupakan aturan-aturan dan hukum yang mengatur
tata cara memenuhi kebutuhan dunia dengan cara yang benar menurut syariat
Islam. Muamalah ini akan membantu kita mengetahui mana yang haram dan mana
yang halal. Maka dari itu kita harus mempelajari apa saja syarat dan rukunnya,
sehingga upaya kita dalam memenuhi kebutuhan dunia tidak melanggar aturan
dan hukum Islam.
Sumber hukum fiqih muamalah secara umum berasal dari tiga sumber
utama, yaitu Al Quran dan Hadits, dan ijtihad.
a) Al Qur’an
b) Hadits
Seperti yang telah diketahui bahwa Hadits merupakan sumber hukum bagi
umat Islam yang kedua setelah Al Qur’an. yang digunakan oleh umat Islam
sebagai panduan dalam melaksanakan berbagai macam aktivitas, baik yang
berkaitan dengan urusan dunia maupun urusan akhirat. Hadits adalah segala
sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah SAW, baik berupa perkataan (sabda),
perbuatan, maupun ketetapan yang dijadikan sebagai landasan syari’at Islam.
Hadits tentang muamalah antara lain :
“Janganlah kalian berbuat zhalim, ingatlah tidak halal harta seorang kecuali
dengan keridhoan darinya” (HR al-Baihaqi).
Dari Abdullah bin mas’ud r.a dari Nabi SAW beliau bersabda : Riba itu
terdiri 73 pintu. Yang paling ringan diantarannya adalah seperti seseorang laki-
laki yang berzina dengan ibunya, dan sehebat-hebattnya riba adalah merusak
kehormatan seorang muslim. (HR. Ibnu Majah).
c) Ijtihad
Sumber hukum yang ketiga setelah Al Qur’an dan hadits adalah ijtihad, yaitu
proses menetapkan suatu perkara baru dengan akal sehat dan pertimbangan yang
matang, dimana perkara tersebut tidak dibahas dalam Al Qur’an dan hadits.
Ijtihad merupakan sumber yang sering digunakan dalam perkembangan fiqih
muamalah sebagai solusi terhadap suatu permasalahan yang harus diterapkan
hukumnya, tetapi tidak ditemukan dalam Al Qur’an maupun Hadits.
1) Muamalah Adabiyah
2) Muamalah Madiyah
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
Menurut istilah syariat Islam adalah suatu kegiatan yang mengatur hal-hal
yang berhubungan dengan kegiatan sesama umat manusia. Adapun muamalah
secara etimologi memiliki makna yang sama dengan al-mufa’ala yaitu saling
berbuat, yang berarti hubungan kepentingan antar seseorang dengan orang lain.
http://trainingictsusilawati.blogspot.com/2016/05/kaidah-fiqih-
muamalah.html#:~:text=“Hukum%20asal%20dalam%20muamalah
%20adalah,apa%20yang%20diharamkan%20Allah%20SWT”.&text=Keridhaan
%20dalam%20melakukan%20transaksi%20adalah%20merupakan
%20prinsip.&text=“Tidak%20seorang%20pun%20boleh%20melakukan,tanpa
%20izin%20si%20pemilik%20harta”.
https://subair3.wordpress.com/2020/05/07/12-muamalah/