Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

MUAMALAH & ISLAM DISIPLIN ILMU


Makalah ini disusun sebagai bukti hasil kerja kelompok

Dosen Pembimbing:
Bapak Dr H Azmi Yahya MM.
Disusun Oleh:
Kelompok 1
 Wahyuningsih (2019320012)
 Balqistiara Salsabila Zikri (2019320023)
 Salsa Landian Dini (2019320024)

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
AKUNTANSI
2020/2021
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI...........................................................................................................................................2
Kata Pengantar.......................................................................................................................................3
BAB I.......................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN...................................................................................................................................4
A. Latar Belakang Masalah...............................................................................................................4
B. Rumusan Masalah.........................................................................................................................4
BAB II......................................................................................................................................................5
PEMBAHASAN......................................................................................................................................5
A. Pengertian Muamalah...................................................................................................................5
1. Jenis Jenis Muamalah....................................................................................................................5

2. Tujuan Muamalah.........................................................................................................................6

B. Kaidah Kaidah Muamalah........................................................................................................…7


C. Hakikat Muamalah......................................................................................................................12
D. Ruang Lingkup Muamalah……………………………………………………16

BAB III..................................................................................................................................................19
PENUTUPAN........................................................................................................................................19
A. Kesimpulan..................................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................................20
Kata Pengantar
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehi
ngga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolong
an-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini deng
an baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta
kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafa’atnya di akhirat
nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat seh
at-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu
untuk menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah Perpajak
an dengan judul Sistem Pemungutan Pajak.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, pe
nulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya ma
kalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila
terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-be
sarnya.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya ke
pada dosen kami yang telah membimbing dalam menulis makalah ini.
Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Tangerang Selatan, 20 Februari 2021

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Dalam menjalani kehidupan sehari-hari, manusia akan selalu membutuhkan
pertolongan dari manusia lainnya. Hal ini karena manusia merupakan makhluk
sosial yang tidak bisa hidup sendiri. Dalam syariat Islam, hubungan antar manusia
dengan manusia disebut sebagai muamalah.

Sederhananya mualamalh diartikan sebagai hubungan antar manusia dengan


manusia untuk saling membantu agar tercipta masyarakat yang harmonis. Hal ini
sebagaimana yang tercantum dalam Al-Quran surah Al-Maidah ayat 2 yang
artinya : “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” ( Q.S
Al-Maidah : 2)

B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini kami akan menjelaskan tentang:
1. Apa Yang Dimaksud Muamalah ?
2. Apa Saja Kaidah Kaidah Muamalah?
3. Apa Saja Hakikat Muamalah?
4. Apa Saja Ruang Lingkup Muamalah?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Muamalah
Menurut istilah syariat Islam adalah suatu kegiatan yang mengatur hal-hal yan
g berhubungan dengan kegiatan sesama umat manusia. Adapun muamalah secara
etimologi memiliki makna yang sama dengan al-mufa’ala yaitu saling berbuat, ya
ng berarti hubungan kepentingan antar seseorang dengan orang lain.

I. Jenis-jenis Muamalah
Umat Islam dalam melakukan kegiatan sehari-hari selalu berpegang teguh pad
a norma-norma ilahiyah, begitu juga dalam muamalah. Hal ini sebagai upaya untu
k melindungi hak masing-masing pihak dalam bermuamalah. Melansir dari reposi
tory.uin-suska.ac.id, muamalah dibagi menjadi beberapa jenis, di antaranya sebag
ai berikut:
a) Syirakh
Dalam ilmu muamalah, syirah merupakan suatu akad di mana dua pihak yang
melakukan kerjasama dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan. Selain itu, sy
irakh juga bisa dimaknai mencampurkan dua bagian menjadi satu, sehingga tidak
bisa dibedakan antara satu dengan yang lainnya.
Adapun rukun syirakh di antaranya barang harus halal, objek akad harus peker
jaan dan modal, dan pihak pelaku akad harus memiliki kecakapan melakukan pen
gelolaan harta.
b) Jual Beli
Dalam hukum Islam, kegiatan ekonomi memiliki arti suatu kegiatan atau kese
pakatan dalam menukar barang dengan tujuan untuk dimiliki selamanya. Adapun
beberapa syarat saat proses jual beli di antaranya berakal sehat, transaksi dilakuka
n atas dasar kehendak sendiri, dan penjual maupun pembeli harus punya akal, bali
gh, dan lain sebagainya.
c) Murabahah
Murabahah adalah transaksi atau pembayaran angsuran yang diketahui oleh ke
dua pihak. Baik dari ketentuan margin keuntungan atau harga pokok pembelian.
d) Sewa Menyewa
Sewa menyewa atau dalam Islam disebut akad ijarah merupakan suatu imbala
n yang diberikan kepada seseorang atas jasa yang telah diberikan, seperti kendaraa
n, tenaga, tempat tinggal, dan pikiran.
Adapun beberapa syaratnya ialah barang yang disewakan menjadi hak sepenu
hnya dari pihak pemberi sewa, kedua belah pihak harus berakal sehat, dan manfaa
t barang yang disewakan harus diketahui jelas oleh penyewa.
e) Hutang Piutang
Hutang piutang adalah menyerahkan harta dan benda kepada orang dengan cat
atan suatu saat nanti akan dikembalikan sesuai perjanjian. Beberapa rukun hutang
piutang di antaranya harus ada barang atau harta, adanya ijab qabul, dan adanya p
emberi hutang atau penghutang. Salah satu hal yang harus dihindari ialah menjahu
i riba.
f) Riba
Riba adalah penetapan bunga atau melebihkan jumlah pinjaman saat pengemb
alian berdasarkan presentase dari jumlah pinjaman pokok yang dibebankan kepad
a peminjam.
Riba secara bahasa memiliki arti ziyadah atau tambahan. Adapun pengertian ri
ba menurut Syekh Abu Yahya Al-Anshary didefinisikan sebagai berikut, yang arti
nya.
"Riba adalah suatu akad pertukaran barang tertentu yang tidak diketahui padan
annya menurut timbangan syara’ yang terjadi saat akad berlangsung atau akibat ad
anya penundaan serah terima barang baik terhadap kedua barang yang dipertukark
an atau salah satunya saja." (Syekh Abu Yahya Zakaria Al-Anshary, Fathul Wahâ
b bi Syarhi Manhaji al-Thullâb).

II. Tujuan Muamalah


Tujuan muamalah adalah terciptanya hubungan yang harmonis antara
sesama manusia, sehingga tercipta masyarakat yang rukun dan tentram. Adapun
hubungan ini berupa jalinan pergaulan, saling menolong dalam kebaikan dalam
upaya menjalankan ketaatannya kepada Allah SWT.
Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa Allah memerintahkan hamba-
Nya untuk saling membantu dalam perbuatan baik dan melarang untuk saling
mendukung dalam berbuat kejahatan, kebathilan, dan kedholiman. Oleh karena
itu, setiap manusia dianjurkan untuk selalu menjaga hubungan baik dengan
manusia lainnya.

B. Kaidah Muamalah
Berikut ini akan disampaikan beberapa kaidah fikih yang khusus di bidang
muamalah. Di antara kaidah khusus di bidang muamalah ini adalah :

ِ ْ‫ َدلِ ْي ٌل عَل َى تَح‬  ‫احةُ االَّ أَ ْن يَ ُد َّل‬


1) ‫ر ْي ِمهَا‬ ِ ‫ألَصْ ُل فِي ال ُم َعا َملَ ِة‬
َ َ‫اإلب‬
“Hukum asal dalam semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
mengharamkannya”

Maksud kaidah ini bahwa dalam setiap muamalah dan transaksi, pada dasarnya boleh,
seperti jual beli, sewa menyewa, gadai, kerja sama (mudharabahatau musyarakah),
perwakilan dan lain-lain, kecuali yang tegas-tegas diharamkan seperti mengakibatkan
kemudaratan, tipuan, judi dan riba.

Ibnu Taimiyah menggunakan ungkapan lain :

“Hukum asal dalam muamalah adalah pemaafan, tidak ada yang diharamkan kecuali apa
yang diharamkan Allah SWT”.

َ ‫األَصْ ُل فِي ال َع ْق ِد ِر‬


2) ‫ضي ال ُمتَ َعاقِ َد ْي ِن َونَتَ ْي َجتُهُ َما إِلتَ َز َماهُ بِااتَّ َعا قُ ِد‬

“Hukum asal dalam transaksi adalah keridhaan, kedua belah pihak yang berakad,
hasilnya adalah berlaku sahnya yang diakadkan”

Keridhaan dalam melakukan transaksi adalah merupakan prinsip. Oleh karena itu,
transaksi barulah sah apabila didasarkan kepada keridhaan kedua belah pihak. Artinya
tidak sah suatu akad apabila suatu pihak dalam keadaan terpaksa atau dipaksa atau juga
merasa tertipu. Bisa terjadi padaa waktu akad sudah saling meridhai, tetapi kemudian
salah satu pihak merasa tertipu, artinya hilang keridhaannya, maka akad tersebut bisa
batal. Contohnya seperti pembeli yang merasa tertipu karena dirugikan oleh penjual
karena barangnya terdapat cacat.

Ungkapan yang lebih singkat dari Ibnu Taimiyah

“Dasar dari akad adalah keridhaan kedua belah pihak”

3) ‫ك َغي ِْر ِه بِالَ إِ ْذ نِ ِه‬


ِ ‫صرَّفَ فِي ِم ْل‬
َ َ‫الَ يَجُو ُر أِل َ َح ِد أَ ْن يَت‬
“Tidak seorang pun boleh melakukan tindakan hukum atas milik orang lain tanpa izin si
pemilik harta”.

Atas dasar kaidah ini, maka si penjual haruslah pemilik barang yang dijual atau wakil dari
pemilik barang atau yang diberi wasiat atau wakilnya. Tidak ada hak orang lain pada
barang yang dijual.

4) َ‫لبَا ِط ُل الَ يَ ْقبَ ُل ا ِإل َجا َزة‬

“Akad yang batal tidak menjadi sah karena diblehkan”

Akad yang batal dalam hukum Islam dianggap tidak ada atau tidak pernah terjadi. Oleh
karena itu, akad yang batal tetap tidak sah walaupun diterima oleh salah satu pihak.
Contohnya, Bank Syariah tidak boleh melakukan akad dengan lembaga keuangan lainnya
yang menggunakan sistem bunga, meskipun sistem bunga dibolehkan  oleh pihak lain,
karena sistem bunga telah dinyatakan haram oleh Dewan Syariah Nasional. Akad baru
sah apabila lembaga keuangan lain itu mau menggunakan akad-akad yang diberlakukan
pada perbankan syariah, yaitu akad-akad atau transaksi tanpa menggunakan sitem
bunga.

5) ‫َالو كَالَ ِة السَّابِقَ ِة‬


ِ ‫ا ِإل َجا َزةُ الالَ ِحقَ ِة ك‬
“Izin yang datang kemudian sama kedudukannya dengan perwakilan yang telah
dilakukan lebih dahulu”.

Seperti telah dikemukakan kaidah no. 3 bahwa pada dasarnya seseorang tidak boleh
bertindak hukum terhadap harta milik orang lain tanpa seizin pemiliknya. Tetapi,
berdasarkan kaidah diatas, apabila seseorang bertindak hukum pada harta milik orang
lain, dan kemudian si pemilik harta mengizinkannya, maka tindakan hukum itu menjadi
sah, dan orang tadi dianggap sebagai perwakilan dari si pemilik harta.

َّ ‫األَجْ ُر َوال‬
ِ ‫ض َمانُ الَ يَجْ تَ ِم َع‬
6) ‫ان‬

“Pemberian upah dan tanggung jawab untuk mengganti kerugian tidak berjalan
bersamaan”

Yang disebut dengan dhanan atau ganti rugi dalam kaidah tersebut adalah mengganti
dengan barang yang sama. Apabila barang tersebut ada di pasaran atau membayar
seharga barang tersebut apabila barangnya tidak ada di pasaran (Majalah Ahkam al-
Adliyah Pasal 416)

Contoh, seorang menyewa kendaraan penumpang untuk membawa keluarganya, tetapi


si penyewa menggunakannya untuk membawa barang-barang yang berat yang
mengakibatkan kendaraan tersebut rusak berat. Maka, si penyewa harus mengganti
kerusakan tersebut dan tidak perlu membayar sewaannya. (Majalah Ahkam al-adliyah
Pasal 550)

7) ‫ان‬ َّ ‫الج َرا ُج بِال‬


ِ ‫ض َم‬ َ
“Manfaat suatu benda merupakan faktor pengganti kerugian”

Arti asal al-kharaj adalah sesuatu yang dikeluarkan baik manfaat benda maupun
pekerjaan, seperti pohon mengeluarkan buah atau binatang mengeluarkan susu.
Sedangkan al-dhaman adalah ganti rugi.

Contohnya, seekor binatang dikembalikan oleh pembelinya dengan alasan cacat. Si


penjual tidak boleh meminta bayaran atas penggunaan binatang tadi. Sebab,
pengguanaan binatang tadi sudah menajadi hak pembeli.

8) ‫لغَرْ ُم بِال َغ ْن ِم‬

“Risiko itu menyertai manfaat”

Maksudnya adalh bahwa seseorang yang memanfaatkan sesuatu harus menanggung


risiko. Biaya notaris adalah tanggung jawab pembeli kecuali ada keridhaan dari penjual
untuk ditanggung bersama. Demikian pula halnya, seseorang yang meminjam barang,
maka dia wajib mengembalikan barang dan risiko ongkos-ongkos pengembaliaannya.
Berbeda dengan ongkos mengangkut dan pemeliharaan barang, dibebankan kepada
pemilik barang.

َ ‫إِ َذا بَطَ َل ال َّش ْي ُئ بَطَ َل َمافِي‬


9) ‫ض ْمنِ ِه‬

“Apabila sesuatu akad batal, maka batal pula yang ada dalam tanggungannya”

Contohnya, penjual dan pembeli telah melaksanakan akad jual beli. Si pembeli telah
menerima barang dan si penjual telah menerima uang. Kemudian kedua belah pihak
membatalkan jual beli tadi. Maka, hal pembeli terhadap barang menjadi batal dan hak
penjual terhadap harga barang menjadi batal. Artinya, si pembeli harus mengembalikan
barangnya dan si penjual harus mengembalikan harga barangnya.

ِ َ‫ال َع ْق ُد َعلَى األَ ْعي‬


10) ‫ان كَال َع ْق ِد َعلَى َمنَافِ ِعهَ̂ا‬

“Akad yang objeknya suatu benda tertentu adalah seperti akad terhadap manfaat benda
tersebut”

Objek suatu akad bisa berupa barang tertentu, misalnya jual beli, dan bisa pula berupa
manfaat suatu barang seperti sewa menyewa. Bahkan sekarang, objeknya bisa berupa
jasa seperti jasa broker. Maka, pengaruh hukum dari akad yang objeknya barang atau
manfaat dari barang adalah sama, dalam arti rukun dan syaratnya sama.

11) ‫ص َّح تَوْ قِ ْيتُه‬


ِ َ‫ت فَالَ ي‬
ِ ‫ضا‬ َ ‫صحُّ تَأْبِ ْي ُدهُ ِمنَ ال ُعقُو ِد ال ُم َع‬
َ ‫او‬ ِ َ‫ُكلُّ َماي‬
“Setiap akad mu’awadhah yang sah diberlakukan selamanya, maka tidak sah
diberlakukan sementara”

Akad mu’awadhah adalah akad yang dilakukan oleh dua pihak yang masing-masing
memiliki hak dan kewajiban, seperti jual beli. Satu pihak (penjual) berkewajiban
menyerahkan barang dan berhak terhadap harga. barang. Di pihak lain yaitu pembeli
berkewajiban menyerahkan harga barang dan berhak terhadap barang yang dibelinya.
Dalam akad yang semacam ini tidak sah apabila dibatasi waktunya, sebab akad jual beli
tidak dibatasi waktunya. Apabila waktunya dibatasi, maka bukan jual beli tapi sewa
menyewa.

ِ ‫ف فِي ِم ْل‬
ِ َ‫ك ال َغي ِْر ب‬
12) ‫اط ٌل‬ َ َّ‫األَ ْم ُر بِالت‬
ِ ُّ‫صر‬
“Setiap perintah untuk bertindak hukum terhadap hak milik orang lain adalh batal”

Maksud kaidah ini adalah apabila seseorang memerintahkan untuk bertransaksi


terhadap milik orang lain yang dilakukannya seperti terhadap miliknya sendiri, maka
hukumnya batal. Contohnya, seorang kepala penjaga keamanan memerintahkan kepada
bawahannya untuk menjual barang yang dititipkan kepadanya, maka perintah tersebut
adalah batal. Kaidah ini juga bisa masuk dalam kaidah fiqih siyasah, apabila dilihat dari
sisi kewenangan memerintah dari atasan kepada bawahannya.

ِ ‫الَيَتِ ُّم التَّبرُّ عث إِالَّ بِالقَب‬


13) ‫ْض‬

“Tidak sempurna akad tabarru’ kecuali dnegan penyerahan barang”

Akad tabarru’ adalah akad yang dilakukan demi untuk kebajikan semata seperti hibah
atau hadiah. Hibah tersebut belum mengikat sampai penyerahan barangnya
dilaksanakan.

َّ ‫ال َج َوا ُز ال َّشرْ ِعي يَنَافِي ال‬ 


14) ‫ض َما ِن‬

“Suatu hal yang dibolehkan oleh  syara’ tidak dapat dijadikan objek tuntutan ganti rugi.”

            Maksud kaidah ini adalah sesuatu yang dibolehkan oleh syariah baik melakukan
atau meninggalkannya, tidak dapat dijadikan tuntutan ganti rugi. Contohnya, si A
menggali sumur di tempat miliknya sendiri. Kemudian binatang tetangganya jatuh ke
dalam sumur tersebut dan mati. Maka, tetangga tadi tidak bisa menuntut ganti rugi
kepada si A, sebab menggali sumur di tempatnya sendiri dibolehkan oleh syariah.[12]

ّ ‫َي ٌء ِم ْن يَ ٍد أَ َح ٍد إِالَّ بِ َح‬


ِ ِ‫ق ثَاب‬
15) ‫ت‬ ُ َ‫الَيُ ْنز‬
ْ ‫عش‬
“Sesuatu benda tidak bisa dicabut dari tangan seseorang kecuali atas dasar ketentuan
hukum yang telah tetap.” 

16) ‫ُ ُكلُّ قَبُو ٍل َجائِ ٌز أَ ْن يَ ُكوْ نَ قَبِ ْلت‬

“Setiap kabul/penerimaan boleh dengan ungkapan saya telah diterima.”

            Sesungguhnya berdasarkan kaidah ini, adalah sah dalam setiap akad jual beli,
sewa menyewa, dan lain-lain. Akad untuk menyebut qabiltu (saya telah terima) dengan
tidak mengulangi rincian dari ijab. Rincian ijab itu, seperti saya jual barang ini dengan
harga sekian dibayar tunai, cukup dijawab dengan “saya terima”.

َ َ‫ُكلُّ شَرْ ٍط َكانَ ِم ْن َمصْ لَ َح ِة ال َع ْق ِد أَوْ ِم ْن ُم ْقت‬


17) ‫ضاهُ فَه َُو َجائِ ٌز‬
“Setiap syarat untuk kemaslahatan akad atau diperlukan oleh akad tersebut, maka
syarat tersebut dibolehkan.”

            Contonya seperti dalan gadai emas kemudian ada syarat bahwa apabila barang
gadai tidak ditebus dalam waktu sekian bulan, maka penerima gadai berhak untuk
menjualnya. Atau syarat kebolehan memilih, syarat tercatat di notaris.

18) ُ‫ض َما نُه‬ َ ‫ُكلُّ َما‬


َ ‫ص َّح ال َّرهْنُ بِ ِه‬
َ ‫ص َّح‬
“Setiap yang sah digadaikan, sah pula dijadikan jaminan.”

19) ُ‫اجا َز بَ ْي ُعهُ َجازَ َر ْهنُه‬


َ ‫َم‬
“Apa yang boleh dijual boleh pula digadaikan.”

            Sudah barang tentu ada kekecualiannya, seperti manfaat barang boleh disewakan
tapi tidak boleh digadaikan karena tidak bisa di serah terimakan.

20) ‫ض َج َّر َم ْنفَ َعةً فَهُ َو ِربَا‬


ٍ ْ‫ُكلُّ قَر‬
“Setiap pinjaman dengan menarik manfaat (oleh Kreditor) adlah sama dengan riba.”

C. Hakekat Muamalah

Allah menciptakan manusia dan dunia ini bukan tanpa aturan. Ada hukum-
hukum yang harus dipatuhi dalam menjalani setiap aktivitas di dunia ini, mulai
dari bangun tidur sampai tidur lagi. Hukum-hukum Allah dalam muamalah pada
hakikatnya adalah untuk kemaslahatan kita dan menghilangkan segala
kemudharatan.

Istilah muamalah biasanya juga dimaknai sebagai hubungan sosial antar


sesama manusia. Hidup seorang manusia akan dipandang lebih baik ketika bisa
memberikan manfaat bagi banyak orang. Untuk itu seseorang perlu meningkatkan
kualitas muamalahnya, yang dapat dilakukan dengan cara mengevaluasi dan
mengintrospeksi diri sendiri sudah sejauh mana kita melakukan muamalah.
Selanjutnya harus berniat dan berjanji untuk lebih baik dalam melakukan
muamalah dan dalam melakukan muamalah hendaklah kita mempunyai
pengetahuan atau ilmu tentang muamalah yang sedang dilakukan tersebut.
Dengan kita memahami dan berusaha untuk selalu meningkatkan kualitas
muamalah, maka selain mendapat pahala dan karunia dari Allah SWT, juga akan
bermanfaat dalam menjaga hubungan antar manusia yang lebih harmonis serta
menjaga ketertiban hidup bermasyarakat.

Muamalah merupakan praktek ajaran Islam tentang hablum minannas yang


berdimensi sosial atau komunal. Ada bermacam macam muamalah. Sebagai
contoh muamalah dalam kehidupan sehari-hari antara lain kegiatan jual beli,
hutang piutang, sewa menyewa, kerjasama dan sebagainya. Kegiatan-kegiatan
tersebut tidak akan bisa berjalan dengan lancar tanpa berbagai aturan dan hukum
sebagai pegangan.

Sebagai mahluk ciptaan Allah SWT dan mahluk sosial sudah sepantasnya kita
mempelajari, memahami dan mempraktekkan hukum muamalah yang telah diatur
sesuai syariat Islam. Penerapan muamalah dalam kehidupan sehari-hari yang
sesuai syariat Islam, secara tidak langsung berarti kita juga telah ikut serta dalam
upaya menegakkan nilai-nilai Islam yang merupakan misi sepanjang hidup setiap
insan muslim.

Muamalah merupakan cabang dari ilmu syariah dalam cakupan ilmu fiqih.
Secara garis besar kegiatan muamalah mencakup dua aspek, yaitu aspek adabiyah
dan madiyah.

Aspek adabiyah mencakup kegiatan muamalah yang berkaitan dengan


kegiatan adab dan akhlak, misalnya menghargai sesama, saling meridhoi, hak dan
kewajiban, kejujuran, kesopanan, penipuan dan sebagainya. Sedangkan aspek
madiyah adalah aspek yang berkaitan dengan kebendaan, misalnya benda yang
halal, haram dan subhat untuk dimiliki, diupayakan dan diperjualbelikan, benda
yang bisa mengakibatkan kemaslahatan, kemudharatan, dan lain sebagainya.

Dari segi bahasa, muamalah berasal dari kata aamala, yuamilu, muamalat
yang artinya saling melakukan, saling bertindak atau saling mengamalkan.
Dengan demikian arti muamalah melibatkan lebih dari satu orang dalam
prakteknya, sehingga akan timbul adanya hak dan kewajiban. Sedangkan dari segi
istilah, pengertian muamalah berdasarkan fiqih mempunyai dua arti, yaitu
pengertian dalam arti luas dan pengertian dalam arti sempit.

Dalam arti luas, muamalah merupakan aturan Allah yang mengatur masalah
hubungan manusia dan usaha mereka dalam mendapatkan kebutuhan jasmani
dengan jalan yang terbaik. Sedangkan dalam arti sempit, muamalah merupakan
kegiatan tukar menukar suatu barang yang bermanfaat dengan menggunakan cara-
cara yang sesuai aturan Islam.

Jadi muamalah menyangkut perbuatan seorang manusia sebagai hamba


ciptaan Allah SWT. Menurut pendapat lain, muamalah adalah hubungan
kerjasama antar manusia yang dilakukan atas suatu perikatan-perikatan dan
perjanjian-perjanjian yang saling meridhoi demi tercapainya kemaslahatan
bersama.

Ayat Alquran tentang muamalah yang sesuai kondisi ini, yaitu : An Nisa’ ayat
29 : “Hai orang-orang yg beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yg berlaku
dengan suka sama-suka di antara kamu”
Muamalah dalam Islam merupakan aturan-aturan dan hukum yang mengatur
tata cara memenuhi kebutuhan dunia dengan cara yang benar menurut syariat
Islam. Muamalah ini akan membantu kita mengetahui mana yang haram dan mana
yang halal. Maka dari itu kita harus mempelajari apa saja syarat dan rukunnya,
sehingga upaya kita dalam memenuhi kebutuhan dunia tidak melanggar aturan
dan hukum Islam.

Sedangkan pengertian fiqih muamalah adalah ilmu yang berkaitan dengan


muamalah, yaitu kegiatan atau transaksi yang berdasarkan aturan-aturan dan
hukum-hukum syariat, yang berkaitan dengan perilaku manusia dalam
kehidupannya dan didasari oleh dalil-dalil Islam secara rinci. Ruang lingkup fiqh
muamalah adalah meliputi seluruh kegiatan muamalah manusia yang berupa
perintah – perintah maupun larangan – larangan dalam bermuamalah,
berdasarkan hukum-hukum Islam seperti wajib, sunnah, halal, haram, makruh dan
mubah.

Kedudukan Muamalah dalam Islam

Islam menetapkan aturan-aturan yang fleksibel dalam bidang muamalah,


karena bidang tersebut amat dinamis, mengalami perkembangan.

Meskipun bersifat fleksibel, Islam memberikan ketentuan agar


perkembangan di bidang muamalah tidak menimbulkan kemudharatan atau
kerugian dalam masyarakat.

Meskipun bidang muamalah berkaitan dengan kehidupan duniawi, namun


dalam prakteknya tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan ukhrawi, sehingga
dalam ketentuan-ketentuannya mengandung aspek halal, haram, sah, batal, dsb.

Sumber Hukum Muamalah

Sumber hukum fiqih muamalah secara umum berasal dari tiga sumber
utama, yaitu Al Quran dan Hadits, dan ijtihad.

a) Al Qur’an

Seperti yang telah diketahui bahwa Al Qur’an merupakan referensi utama


yang memuat pedoman dasar bagi umat manusia. Khususnya dalam menemukan
dan menarik suatu perkara dalam kehidupan. Sudah seharusnya setiap muslim
selalu berpegang teguh kepada hukum-hukum yang terdapat di dalam Al Qur’an
sebagai petunjuk agar menjadi manusia yang taat kepada Allah SWT, yaitu
mengikuti segala perintah Allah dan menjauhi segala larangannya. Ayat tentang
muamalah antara lain :

QS An Nisa’ Ayat 58 yang artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu


menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu)
apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan
adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”

QS Al Muthaffifin ayat 1-6 yang artinya : “1). Celakalah bagi orang-orang


yang curang (dalam menakar dan menimbang), 2) (yaitu) orang-orang yang
apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, 3) dan apabila
mereka menakar atau menimbang (untuk orang lain), mereka mengurangi, 4)
Tidakkah orang-orang itu mengira, bahwa sesungguhnya mereka akan
dibangkitkan, 5) pada suatu hari yang besar, 6) (yaitu) pada hari (ketika) semua
orang bangkit menghadap Tuhan seluruh alam“

QS Ali Imran ayat 3 yang artinya : “Hai orang-orang yg beriman, janganlah


kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah
agar kamu mendapat keberuntungan”

b) Hadits

Seperti yang telah diketahui bahwa Hadits merupakan sumber hukum bagi
umat Islam yang kedua setelah Al Qur’an. yang digunakan oleh umat Islam
sebagai panduan dalam melaksanakan berbagai macam aktivitas, baik yang
berkaitan dengan urusan dunia maupun urusan akhirat. Hadits adalah segala
sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah SAW, baik berupa perkataan (sabda),
perbuatan, maupun ketetapan yang dijadikan sebagai landasan syari’at Islam.
Hadits tentang muamalah antara lain :

“Sesungguhnya jika Allah mengharamkan atas suatu kaum memakan sesuatu,


maka Allah mengharamkan pula hasil penjualannya” (HR. Abu Daud)

“Janganlah kalian berbuat zhalim, ingatlah tidak halal harta seorang kecuali
dengan keridhoan darinya” (HR al-Baihaqi).

Dari Abdullah bin mas’ud r.a dari Nabi SAW beliau bersabda : Riba itu
terdiri 73 pintu. Yang paling ringan diantarannya adalah seperti seseorang laki-
laki yang berzina dengan ibunya, dan sehebat-hebattnya riba adalah merusak
kehormatan seorang muslim. (HR. Ibnu Majah).

c) Ijtihad

Sumber hukum yang ketiga setelah Al Qur’an dan hadits adalah ijtihad, yaitu
proses menetapkan suatu perkara baru dengan akal sehat dan pertimbangan yang
matang, dimana perkara tersebut tidak dibahas dalam Al Qur’an dan hadits.
Ijtihad merupakan sumber yang sering digunakan dalam perkembangan fiqih
muamalah sebagai solusi terhadap suatu permasalahan yang harus diterapkan
hukumnya, tetapi tidak ditemukan dalam Al Qur’an maupun Hadits.

D. Ruang lingkup Muamalah

Pada ruang lingkup fiqih muamalah meliputi seluruh kegiatan muamalah


manusia berdasarkan hukum-hukum Islam, baik berupa perintah maupun
larangan-larangannya yang terkait dengan hubungan manusia dengan manusia
lainnya. Di atas sudah dijelaskan bahwa berdasarkan aspeknya, muamalah dibagi
menjadi dua jenis, yaitu muamalah adabiyah dan madiyah.

1) Muamalah Adabiyah

Muamalah adabiyah adalah muamalah yang berkaitan dengan bagaimana cara


tukar menukar benda ditinjau dari segi subjeknya, yaitu manusia. Muamalah
adabiyah mengatur tentang batasan-batasan yang boleh dilakukan atau tidak boleh
dilakukan oleh manusia terhadap benda yang berkaitan dengan adab dan akhlak,
seperti kejujuran, kesopanan, menghargai sesama, saling meridhoi, dengki,
dendam, penipuan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan aktivitas manusia
dalam hidup bermasyarakat dalam mengelola suatu benda Pada muamalah
adabiyah memberikan panduan yang syara’ bagi perilaku manusia untuk
melakukan tindakan hukum terhadap sebuah benda. Semua perilaku manusia
harus memenuhi prasyarat etis normatif sehingga perilaku tersebut dianggap layak
untuk dilakukan.

2) Muamalah Madiyah

Muamalah madiyah adalah muamalah yang berkaitan dengan objek muamalah


atau bendanya. Muamalah madiyah menetapkan aturan secara syara’ terkait
dengan objek bendanya. Apakah suatu benda halal, haram, dan syubhat untuk
dimiliki, diupayakan dan diperjualbelikan, apakah suatu benda bisa menyebabkan
kemaslahatan atau kemudharatan bagi manusia, dan beberapa segi lainnya.
Dengan kata lain, muamalah madiyah bertujuan untuk memberikan panduan
kepada manusia bahwa dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang bersifat
kebendaan dan bersifat sementara bukan sekedar memperoleh keuntungan semata,
tetapi juga bertujuan untuk memperoleh ridha Allah SWT, dengan cara melakukan
muamalah sesuai dengan aturan main yang sesuai dengan aturan-aturan yang
ditetapkan secara syara’. Ruang lingkup muamalah yang bersifat madiyah antara
lain adalah sebagai berikut :
 Jual-beli ( bai’ )
 Gadai ( rahn )
 Jaminan dan tanggungan ( Kafalah dan Dhaman )
 Pemindahan hutang ( hiwalah )
 Pail-it ( taflis )
 Perseroan atau perkongsian ( syirkah )
 Perseroan harta dan tenaga ( mudharabah )
 Sewa menyewa tanah (mukhabarah)
 Upah (ujral al-amah)
 Gugatan (asy syuf’ah)
 Sayembara (al ji’alah)
 Batas bertindak (al hajru)
 Pembagian kekayaan bersama (al qisamah)
 Pemberian (al hibbah)
 Pembebasan (al ibra’), damai (ash shulhu)

Masalah-masalah seperti bunga bank, kredit, asuransi dan masalah-masalah baru


lainnya.

Perlu diketahui bahwa ruang lingkup muamalah juga mencakup seluruh


aspek kehidupan manusia seperti bidang ekonomi, sosial, politik, dan sebagainya.
Menurut Abdul Wahhab Khallaf, berdasarkan tujuannya, muamalah dalam Islam
memiliki ruang lingkup yang meliputi :

a. Hukum Keluarga (Ahkam Al Ahwal Al-Syakhiyyah)

Hukum keluarga merupakan hukum yang berkaitan dengan urusan


keluarga dan pembentukannya yang bertujuan untuk membangun dan memelihara
keluarga sebagai bagian terkecil. Meliputi hukum tentang hak maupun kewajiban
suami, istri, dan anak serta hubungan keluarga satu dengan lainnya

b. Hukum Perdata (Al Ahkam Al Maliyah)

Hukum perdata merupakan hukum yang mengatur hubungan individu-individu


dalam bermuamalah serta bentuk-bentuk hubungannya, seperti jual beli, sewa-
menyewa, hutang piutang, perjanjian, perserikatan dan lain sebagainya. Jadi
hukum perdata berkaitan dengan kekayaan dan hak-hak atas pemeliharaannya
sehingga tercipta hubungan yang harmonis di dalam masyarakat.

c. Hukum Pidana (Al-Ahkam Al-Jinaiyyah)

Hukum pidana merupakan hukum yang berkaitan dengan segala bentuk


kejahatan, pelanggaran hukum dan ketentuan sanksi-sanksi hukumnya. Tujuannya
adalah untuk menjaga ketentraman dan keamanan hidup umat manusia termasuk
harta kekayaannya, kehormatannya, dan membatasi hubungan antara pelaku
tindak pidana kejahatan dengan masyarakat maupun korban.

d. Hukum Acara (Al-Ahkam Al-Murafa’at)

Definisi hukum acara adalah hukum yang berkaitan dengan sumpah,


persaksian, tata cara mempertahankan hak dan memutuskan siapa yang terbukti
bersalah, sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Pada hukum ini bertujuan
untuk mengatur dan merealisasikan keadilan di dalam kehidupan masyarakat.

e. Hukum Perundang-Undangan (Al-Ahkam Al-Dusturiyyah)

Hukum perundang undangan merupakan hukum yang berkaitan dengan


perundang-undangan yang berlaku untuk membatasi hubungan hakim dengan
terhukum serta menetapkan hak-hak perorangan dan kelompok.

f. Hukum Kenegaraan (Al-Ahkam Al-Duwaliyyah)

Hukum kenegaraan merupakan hukum yang berkaitan dengan hubungan


antara penguasa (pemerintah) dengan rakyatnya, hubungan antar kelompok
masyarakat dalam suatu negara maupun antar negara. Hukum ini bertujuan untuk
mengatur mengatur hubungan di antara umat Islam dengan yang lainnya yang ada
dalam suatu Negara, hubungan pemerintah dan rakyatnya serta hubungan yang
terjadi antar negara pada masa damai dan masa perang.

g. Hukum Keuangan dan Ekonomi (Al-Ahkam Al-Iqtishadiyyah Wa Al-


Maliyyah)

Hukum keuangan dan ekonomi merupakan hukum yang berkaitan dengan


hak-hak dari fakir miskin di dalam harta orang kaya, mengatur sumber keuangan
negara, pendistribusian serta permasalahan pembelanjaan negara dalam rangka
untuk kepentingan kesejahteraan rakyatnya.
BAB III

PENUTUPAN
A. Kesimpulan

Menurut istilah syariat Islam adalah suatu kegiatan yang mengatur hal-hal
yang berhubungan dengan kegiatan sesama umat manusia. Adapun muamalah
secara etimologi memiliki makna yang sama dengan al-mufa’ala yaitu saling
berbuat, yang berarti hubungan kepentingan antar seseorang dengan orang lain.

Jadi muamalah menyangkut perbuatan seorang manusia sebagai hamba


ciptaan Allah SWT. Menurut pendapat lain, muamalah adalah hubungan
kerjasama antar manusia yang dilakukan atas suatu perikatan-perikatan dan
perjanjian-perjanjian yang saling meridhoi demi tercapainya kemaslahatan
bersama.

Muamalah meliputi seluruh kegiatan muamalah manusia berdasarkan hukum-


hukum Islam, baik berupa perintah maupun larangan-larangannya yang terkait
dengan hubungan manusia dengan manusia lainnya. Di atas sudah dijelaskan
bahwa berdasarkan aspeknya, muamalah dibagi menjadi dua jenis, yaitu
Muamalah Adabiyah dan Muamalah Amadiyah.

Muamalah dalam islam memiliki ruang lingkup yang meliputi : hukum


keluarga (ahkam al ahwal al-syakhiyyah), hukum perdata (al ahkam al maliyah),
hukum pidana (al-ahkam al-jinaiyyah), hukum acara (al-ahkam al-murafa’at),
hukum perundang-undangan (al-ahkam al-dusturiyyah), hukum kenegaraan (al-
ahkam al-duwaliyyah), dan hukum keuangan dan ekonomi (al-ahkam al-
iqtishadiyyah wa al-maliyyah).
DAFTAR PUSTAKA
https://www.merdeka.com/jateng/pengertian-muamalah-beserta-jenis-dan-
tujuannya-yang-perlu-diketahui-kln.html

http://trainingictsusilawati.blogspot.com/2016/05/kaidah-fiqih-
muamalah.html#:~:text=“Hukum%20asal%20dalam%20muamalah
%20adalah,apa%20yang%20diharamkan%20Allah%20SWT”.&text=Keridhaan
%20dalam%20melakukan%20transaksi%20adalah%20merupakan
%20prinsip.&text=“Tidak%20seorang%20pun%20boleh%20melakukan,tanpa
%20izin%20si%20pemilik%20harta”.

https://subair3.wordpress.com/2020/05/07/12-muamalah/

Anda mungkin juga menyukai