KEUANGAN SYARIAH
DOSEN PENGAMPU :
DEDE SATRIANI, SAM.,M.E.Sy
DI SUSUN OLEH :
REZEKI KURNIATI
NOVIA RAHMANI
M. MIRWAN AFANDI
Puji syukur kehadirat Tuhan yang maha Esa yang telah memberikan kita nikmat, baik itu
nikmat islam maupun nikmat iman. Kedua kalinya tak lupa kita haturkan salawat serta salam
kepada junjungan alam Nabi besar Muhamamad SAW. Yang telah menunjukkan kita jalan yang
menuju kebenaran, seperti yang kita rasakan pada saat ini.
Tidak lupa pula kami aturkan terima kasih kepada dosen yang telah membimbing kami
dalam menyelesaikan makalah ini. Kami sadar bahwa makalah ini sangat jauh dari
kesempurnaan, untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari teman-teman yang
bersifat membangun untuk dijadikan pelajaran ke depannya.
Akhir kata kami sebagai penyusun mengucapkan, Semoga makalah ini bermanfaat untuk
kita semua.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
PEMBAHASAN
1
Mardani, 2011. Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia. Penerbit PT Refika Aditama : Bandung. Hal. 25
2
Dari pengertian ekonomi syariah diatas, dapat disimpulkan bahwa Pengertian Ekonomi Syariah
atau Pengertian Ekonomi Islam adalah sistem ekonomi yang bersumber dari wahyu yang
transendental (alquran dan hadist) dan sumber interpretasi dari wahyu yang disebut dengan
ijtihad.
2
Muhammad, Manajemen Dana Bank Syariah, Yogyakarta:Ekonisia, 2004.hal. 35
3
didukung dengan suatu etika bisnis yang akan menjaga prinsip-prinsip tersebut dapat terwujud.
Perbedaan etika bisnis syariah dengan etika bisnis yang selama ini dipahami dalam kajian
ekonomi terletak pada landasan tauhid dan orientasi jangka panjang (akhirat).
Prinsip ini dipastikan lebih mengikat dan tegas sanksinya. Etika bisnis syariah memiliki
dua cakupan. Pertama, cakupan internal, yang berarti perusahaan memiliki manajemen internal
yang memperhatikan aspek kesejahteraan karyawan, perlakuan yang manusiawi dan tidak
diskriminatif plus pendidikan. Sedangkan kedua, cakupan eksternal meliputi aspek trasparansi,
akuntabilitas, kejujuran dan tanggung jawab. Demikian pula kesediaan perusahaan untuk
memperhatikan aspek lingkungan dan masyarakat sebagai stake holder perusahaan. Abdalla
Hanafi dan Hamid Salam, Guru Besar Business Administration di Mankata State Univeristy
menambahkan cakupan berupa nilai ketulusan, keikhlasan berusaha, persaudaraan dan keadilan.
Sifatnya juga universal dan bisa dipraktekkan siapa saja. Etika bisnis syariah bisa diwujudkan
dalam bentuk ketulusan perusahaan dengan orientasi yang tidak hanya pada keuntungan
perusahaan namun juga bermanfaat bagi masyarakat dalam arti sebenarnya. Pendekatan win-win
solution menjadi prioritas. Semua pihak diuntungkan sehingga tidak ada praktek “culas” seperti
menipu masyarakat atau petugas pajak dengan laporan keuangan yang rangkap dan lain-lain.
Bisnis juga merupakan wujud memperkuat persaudaraan manusia dan bukan mencari musuh.
Jika dikaitkan dengan pertanyaan di awal tulisan ini, apakah etika bisnis syariah juga bisa
meminimalisir keuntungan atau malah merugikan ?.
Jawabnya tergantung bagaimana kita melihatnya. Bisnis yang dijalankan dengan
melanggar prinsip-prinsip etika dan syariah seperti pemborosan, manipulasi, ketidakjujuran,
monopoli, kolusi dan nepotisme cenderung tidak produktif dan menimbulkan inefisiensi. Etika
yang diabaikan bisa membuat perusahaan kehilangan kepercayaan dari masyarakat bahkan
mungkin dituntut di muka hukum. Manajemen yang tidak menerapkan nilai-nilai etika dan hanya
berorientasi pada laba (tujuan) jangka pendek, tidak akan mampu bertahan (survive) dalam
jangka panjang. Jika demikian, pilihan berada di tangan kita. Apakah memilih keuntungan
jangka pendek dengan mengabaikan etika atau memilih keuntungan jangka panjang dengan
komit terhadap prinsip-prinsip etika –dalam hal ini etika bisnis saya. Bila kita perhatikan
Undang-undang Peradilan Agama No. 7 Tahun 1989, maka dapat diketahui bahwa ruang lingkup
ekonomi syariah meliputi : Bank syariah, asuransi syariah, lembaga keuangan mikro syariah,
4
reasuransi syariah, obligasi syariah, surat berjangka menengah syariah, reksadana syariah,
sekuritas syariah, pegadaian syariah dan pembiayaan syariah.
5
cabang berdasarkan prinsip syariah. Contoh Bank Syariah di Indonesia yaitu Bank Muamalat
Indonesia, Bank Syariah Mandiri.
Perkembangan Bank syariah pada era reformasi ditandai dengan disetujuinya UU no 10
tahun 1998.Dalam UU tsb diatur dengan rinci landasan hukum dan jenis-jenis usaha yang dapat
dioperasikan dan diimplementasikan oleh Bank syariah. UU tsb memberi arahan bagi bank-bank
konvensional untuk membuka cabang syariah/ unit usaha syariah (UUS) atau mengkonversi
menjadi bank syariah.
6
Definisi tabarru’ adalah sumbangan atau derma (dalam definisi Islam adalah Hibah).
Sumbangan atau derma (hibah) atau dana kebajikan ini diberikan dan diikhlaskan oleh peserta
asuransi syariah jika sewaktu-waktu akan dipergunakan untuk membayar klaim atau manfaat
asuransi lainnya. Dengan adanya dana tabarru’ dari para peserta asuransi syariah ini maka semua
dana untuk menanggung risiko dihimpun oleh para peserta sendiri. Dengan demikian kontrak
polis pada asuransi syariah menempatkan peserta sebagai pihak yang menanggung risiko, bukan
perusahaan asuransi, seperti pada asuransi konvensional. Oleh karena dana-dana yang terhimpun
dan digunakan dari dan oleh peserta tersebut harus dikelola secara baik dari segi administratif
maupun investasinya, untuk itu peserta memberikan kuasa kepada perusahaan asuransi untuk
bertindak sebagai operator yang bertugas mengelola dana-dana tersebut secara baik. Jadi jelas di
sini bahwa posisi perusahaan asuransi syariah hanyalah sebagai pengelola atau operator saja dan
BUKAN sebagai pemilik dana. Sebagai pengelola atau operator, fungsi perusahaan asuransi
hanya MENGELOLA dana peserta saja, dan pengelola tidak boleh menggunakan dana-dana
tersebut jika tidak ada kuasa dari peserta. Dengan demikian maka unsur ketidakjelasan (Gharar)
dan untung-untungan (Maysir) pun akan hilang karena:
1) Posisi peserta sebagai pemilik dana menjadi lebih dominan dibandingkan dengan posisi
perusahaan yang hanya sebagai pengelola dana peserta saja.
2) Peserta akan memperoleh pembagian keuntungan dari dana tabarru’ yang terkumpul. Hal ini
tentunya sangat berbeda dengan asuransi konvensional (non-syariah) di mana pemegang
polis tidak mengetahui secara pasti berapa besar jumlah premi yang berhasil dikumpulkan
oleh perusahaan, apakah jumlahnya lebih besar atau lebih kecil daripada pembayaran klaim
yang dilakukan, karena di sini perusahaan, sebagai penanggung, bebas menggunakan dan
menginvestasikan dananya ke mana saja.
7
maupun instansi yang menjalin bisnis serupa. Keuangan mikro syariah cocok dengan paradigma
berbasis aset ekonomi dan tujuan ekuitas ekonomi moral Islam, serta memenuhi semua harapan
sosial lainnya. Dengan demikian, ada kesesuaian dan saling melengkapi antara tujuan dan
mekanisme operasional keuangan mikro dan keuangan Islam. Oleh karenanya, lembaga
keuangan yang telah menyandang nama sebagai lembaga keuangan berbasis syariah selayaknya
mematuhi standar operasional yang telah ditetapkan. Kita dapat belajar dari apa yang
dicontohkan di Bangladesh yang menurut banyak pakar dapat dianggap sebagai kisah sukses
dalam keuangan mikro syariah. Sejalan dengan konsep reasuransi yang bersifat konvensional,
reasuransi syariah juga beroperasi untuk melindungi dan saling tolong menolong di antara
sejumlah perusahaan asuransi syariah melalui investasi dalam bentuk tabarrru’ yang memberikan
pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad yang sesuai syariah. Akad
yang sesuai syariah yang dimaksud di sini adalah yang tidak mengandung gharar (penipuan),
maysir (perjudian), riba, zulm (penganiayaan), risywah (suap), barang haram dan maksiat.
3
Adiwarman A. Karim, 2002, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, Edisi ketiga PT. Raja Grafindo,
Jakarta., hal. 66
8
hanya melakukan akad murabahah bila nasabah telah terlebih dahulu melakukan pembelian
dan pembayaran sebagian nilai barang (baca: bayar uang muka). Adakah bank yang berani
menuliskan pada laporan keuangannya bahwa ia pernah memiliki aset dan kemudian
menjualnya kembali kepada nasabah? Tentu anda mengetahui bahwa perbankan di negeri
kita, baik yang berlabel syariah atau tidak, hanyalah berperan sebagai badan intermediasi.
Artinya, bank hanya berperan dalam pembiayaan, dan bukan membeli barang, untuk
kemudian dijual kembali. Karena secara regulasi dan faktanya, bank maupun LKS tidak
dibenarkan untuk melakukan praktek perniagaan praktis. Dengan ketentuan ini, bank tidak
mungkin bisa membeli yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri. Hasilnya, bank telah
melanggar ketentuan DSN MUI di atas secara terang.
2. Akad Mudharabah (Bagi Hasil). Akad Mudharabah adalah akad yang oleh para ulama telah
disepakati akan kehalalannya. Karena itu, akad ini dianggap sebagai tulang punggung
praktek perbankan syariah. DSN-MUI telah menerbitkan fatwa no: 07/DSN- MUI/IV/2000,
yang kemudian menjadi pedoman bagi praktek perbankan syariah. Tapi, lagi-lagi, praktek
LKS perlu ditinjau ulang.
Pada fatwa dengan nomor tersebut, DSN menyatakan: “LKS (lembaga Keuangan
Syariah) sebagai penyedia dana, menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah
kecuali jika mudharib (nasabah) melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi
perjanjian.” Pada ketentuan lainnya, DSN kembali menekankan akan hal ini dengan
pernyataan: “Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah, dan
pengelola tidak boleh menanggung kerugian apapun, kecuali diakibatkan dari kesalahan
disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.” Praktek LKS sebenarnya di lapangan
masih jauh dari apa yang di fatwakan oleh DSN. Andai perbankan syariah maupun LKS
benar-benar menerapkan ketentuan ini, niscaya masyarakat berbondong-bondong
mengajukan pembiayaan dengan skema mudharabah. Dalam waktu singkat pertumbuhan
perbankan syariah akan mengungguli perbankan konvensional. Namun kembali lagi, fakta
tidak semanis teori. Perbankan syariah maupun LKS yang ada belum sungguh-sungguh
menerapkan fatwa DSN secara utuh. Sehingga pelaku usaha yang mendapatkan pembiayaan
modal dari perbankan syariah, masih diwajibkan mengembalikan modal secara utuh,
walaupun ia mengalami kerugian usaha. Terlalu banyak fakta dari nasabah mudharabah bank
syariah yang mengalami perlakuan ini.
9
3. Gadai Emas, Gadai emas merupakan cara investasi yang marak ditawarkan perbankan
syariah akhir-akhir ini. Gadai emas mencuat dan diminati banyak orang sejak harga emas
terus membumbung tinggi.
Dewan Syariah Nasioanal melalui fatwanya no: 25/DSN-MUI/III/2002membolehkan
praktek ini. Pada fatwa tersebut DSN menyatakan: “Besar biaya pemeliharaan dan
penyimpanan marhun (barang gadai) tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.”
Sementara dalam fatwa DSN No: 26/DSN-MUI/III/2002 yang secara khusus menjelaskan
aturan gadai emas, dinyatakan: “Ongkos sebagaimana dimaksud ayat 2 besarnya didasarkan
pada pengeluaran yang nyata-nyata diperlukan.
Perbankan syariah atau LKS manakah yang mengindahkan ketentuan ini? Fakta
dilapangan membuktikan bahwa LKS yang ada, telah memungut biaya administrasi
pemeliharan dan penyimpanan barang gadai sebesar persentase tertentu dari nilai piutang.
Jika LKS atau perbankan syariah bersedia menerapkan fatwa di atas, tentunya dalam
menentukan biaya pemeliharaan emas yang digadaikan, bank akan menentukan berdasarkan
harga Safe Deposit Box (SDB). Akan tetapi, fakta menunjukkan bahwa ongkos penyimpanan
yang dibebankan nasabah TIDAK sesuai dengan biaya riil yang dibutuhkan untuk standar
penyimpanan dan penjagaan bank, atau melebihi nilai harga SDB untuk penyimpanan emas.
Dus, lagi-lagi praktek perbankan/LKS syariah nyata-nyata melanggar fatwa DSN
(Muhaamad Arifin Badri, 2012: 33)
Ketidak syariahan bank syariah justru dalam taraf mendasarnya yaitu ketidak sesuaian
operasional dengan fatwa DSN, Menerapkan Hilah dengan mengistinbathkan denganhal yang
tidak sesuai. Ketidak sesuaian LKS maupun bank syariah ini pada akhirnya diakui oleh direktur
direktorat perbankan syariah Mulya E. Siregar menyatakan bahwa perbankan syariah belum
benar benar menerapkan system syariah. Menurut Mulya tidak ada Bank Syariah yang benar
benar syariah, bahkan IDB sekalipun. Ungkapan Direktur BI ini merupakan sesuatu yang riil
bahwa perbankan maupun LKS belum ada yang benar benar berprinsip sesuai syariah walaupun
sangat mengejutkan karena segenap peraturan, bahkan dibuat struktur guna pengawasan pun
masih belum sepenuhnya sesuai syariah. Menjadi kebutuhan untuk LKS agar dapat hidup dan
berkembang dan yang terpenting sesuai dengan syariah.
10
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Penerapan prinsip syariah bagi Lembaga Keuangan Syariah (LKS) maupun perbankan
syariah adalah hal yang sangat urgen.
2. Demi mencapai kondisi penerapan syariah tersebut diciptakan struktur pengawasan
maupun penerapannya serta dipandu dengan fatwa Dewan Syariah Nasional.
3. Undang-Undang maupun peraturan lain telah mensupport sebagian dari tujuan tersebut
namun masih ada regulasi yang belum.
4. Masih terdapat ketidaksesuaian praktik perbankan maupun LKS yang tidak sesuai fatwa
DSN atau tidak sesuai syariah dan perlu untuk dibenahi.Terdapat LKS yang melakukan
hilah atau trik guna mengambil riba.
.
11
DAFTAR PUSTAKA
Adiwarman A. Karim, 2002, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, Edisi ketiga PT. Raja
Grafindo, Jakarta.
Arifin Badri, Muhammad, 2012, Fatwa DSN-MUI Vs Praktek Perbankan Syariah, Majalah
Pengusaha Muslim, Yayasan Bina Pengusaha Muslim, JakartaMardani, 2011. Hukum Ekonomi
Syariah di Indonesia. Penerbit PT Refika Aditama : Bandung.
Muhammad, Manajemen Dana Bank Syariah, Yogyakarta:Ekonisia, 2004.
http://manajemenislam.wordpress.com/2013/03/03/manajemen-syariah/
http://manajemenislam.wordpress.com/author/khoirilarief/
http://reza-rahmat.blogspot.com/favicon.ico
http://zenal-pml.blogspot.com/favicon.ico
12