Anda di halaman 1dari 6

USAHA WARUNG STEAK AND SHAKE

Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Kewirausahaan

Dosen Pengampu : Ns.Umi Aniroh S.Kep.,M.Kep

Oleh :

ERIKA RISNAMINGTYAS

010115A037

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN

UNIVERSITAS NGUDI WALUYO

2017
Entrepreneurship tak perlu ijasah kuliah

Menjadi pengusaha berarti berani membuat trobosan baru. Dibutuhkan ide- ide segar, tak
cuma berpatok apa yang tersedia di bumi Indonesia. Menjadi pengusaha dibidang kuliner
butuh keunikan. Perlunya identitas kuat untuk membedakan kamu dengan binsnis kuliner
lain. Jika menjadi pengusaha bakso sudah umum ada disekitar, maka bagaimana jika jadi
pengusaha steak. Tak perlu memanggil chef asing cukup kamu belajar keras untuk membuat
menu itu menjadi nyata.

Kisah kali ini datang dari pasangan Jody Brotosuseno dan Siti Hariyani. Kisah jatuh bangun
membangun berbagai usaha sudah dilakoninya. Peluang aneka kuliner sudah mereka coba,
dari roti bakar, berjualan susu, sampai bisnis kaos partai, yang cuma musiman. Semua usaha
mereka jalani tapi tak bertahan lama. Belum ketemu chemistry -nya kalo kata orang. Nah,
karena memang sudah mendarah daging, keduanya lantas memulai bisnis lagi.
Mengawali kesuksesan bisnisnya di tahun 2000, Jody dan Anik cuma membuka usaha
warungan. Bukan lah juga warung biasa keduanya membuka warung steak. Ya, makan ala
barat itu mampu diolahnya jadi usaha di warung makan. Hasilnya, mengejutkan, usaha yang
mengawali semuanya di teras rumah. Keduanya sepakat membuka usaha warung steak
pertama di Jalan Cendrawasih 30 Demangan Yogyakarta.

Mereka mencoba sesuatu cuma bermodal jiwa entrepreneurship. Waroeng Steak n Shake,
atau terkenalnya bernama WS, hanya dibangun di pekarangan rumahnya. Idenya jika steak
makanan barat itu cuma untuk orang tertentu, WS mencoba menghadirkannya. Tak kan lagi
jadi makanan mahal khas hotel karena WS mencoba membuat sedemikian mungkin. Jody dan
Anik, keduanya telah membuat satu gebarakan baru.

Mereka mencoba menawarkan steak dan shake di warung pinggir jalan. Tak ada kesan
mewak ketika kita menyambangi pusat atau cabangnya. Semua cuma bermodal 5 hotplate, 5
buah meja makan, dan sebuah ruang berdaya tampung 20 orang, kini usahanya tumbuh pesat.
Usut- punya usut ternyata sosok Jodi sendiri bukanlah orang susah seperti kita akan
bayangkan. Ayah Jodi, Sugondo dikenal pemilik jaringan restoran Obonk Steak dan Ribs.
Waroeng Steak

Berlatar belakang pengusaha sukses, kaya, tak membuatnya jadi anak orang kaya manja.
Justru dia sangat pekerja keras. Dia pernah berkuliah Arsitektur, Universitas Atma Jaya
Yogyakarta, tapi berhenti ditengah jalan. Jadilah ia hanya berijasah SMA saja. Karena tak
melanjutkan pendidikan Jodi harus putar otak untuk bekerja. Sayangnya, tak mudah bekerja
dengan ijasah SMA saja. Mau- tak mau dia akhirnya memilih untuk bekerja di restoran
ayahnya.

Ketika itu ia cuma bekerja menjadi pegawai biasa. Gajinya tak sanggup memenuhi
kebutuhan, apalagi setelah ia memutuskan untuk menikah dengan Siti Hariani atau Aniek
pada 1998. Gajinya itu dirasa tak lagi cukup. Jodi pun tak merengek meminta jabatan. Justru
ia makin getol berusaha sendiri. Pertama kali usaha, ia mulai dengan berjualan aneka
makanan sambil bekerja di Obonk. Awalnya ia berjualan susu segar, roti bakar, dan jus buah.

Namun semua usahanya itu sia- sia ketika perlatannya banyak dicuri orang. Jodi lantas
berjualan kaos partai, dimana saat itu partai membengkak dari tiga jadi 48 partai. Alhasil
menjual kaos partai jadi prospek bisnis yang menguntungkan saat itu. Hasil penjualannya,
akhirnya, ia bisa mengontrak rumah sendiri di kawasan Demangan, Yogyakarta. Selepas
pemilu, Jodi dan Anik memutar otak kembali, apalagi dengan kehadiran putra pertama
mereka, Yuda Adiaksa.

Akhirnya pasangan pengusaha ini memilih berbisnis steak. Tapi tak mau mencontoh bisnis
milik ayahnya. Jodi memilih usaha steak warungan. Usaha pertamanya dibuka di teras rumah
karena tak punya modal menyewa tempat. Jodi memilih kata "waroeng" agar menegaskan apa
yang dijualnya tidak mahal. Namun usaha baru itu terbentur modal dimana Jodi dan Aniek
cuma punya 100.000 dikantong. Akhirnya ia menjual motor satu- satunya untuk modal.

Membuka warung steak

Pertama- tama Jodi mengerjakan dapur dan melayani pembeli, sang istri bekerja sebagai
kasir. Warungnya itu tak langsung sukses. Pernah dalam sehari mereka cuma menjual 30.000.
Pembeli masih sepi karena memang konsep bisnisnya sangatlah baru. Siapa yang berpikir
bahwa steak itu murah waktu itu. Beberapa pembeli pun ikut memberi saran agar warungnya
lebih ramai. Sarannya, ia lantas membuat spanduk besar berwarna mencolok di depan warung
steak -nya.

Di spanduk itu dituliskan harga steak yang murah itu. Ia juga mempromosikan melalui
selebaran. Dari semua usaha promosi itulah, warung milik Jodi mulai ramai, utamanya
mereka dari kalangan mahasiswa dan pelajar. "Malah kami mulai kewalahan," ungkapnya.
Meski sudah ramai, nyatanya, Jodi cuma punya 10 hotplate di meja. Jadilah orang- orang
sampai harus mengantri untuk dilayani di mejanya. Untuk mengatasi hal itu Jodi pun
mengambil hotplate dari meja.

Prinsipnya habis pakai, cuci, langsung digunakan lagi untuk pelanggan lain. Pelan tapi pasti
Waroeng Steak mulai menambah peralatan. Ia juga merekrut pegawai untuk memenuhi
kebutuhan pelanggan. Setahun ia telah berbisnis di Demangan, ia lantas membuka cabang.
Gerai kedua tak begitu sulit. Kerabatnya mau untuk ikut menanamkan modal. Dengan konsep
bagi hasil jalanlah gerai keduanya.

Pola yang sama digunakan hingga ke 8 gerai tercatat dibuka. Selanjutnya Jodi bisa mendanai
sendiri gerai ke 9 dan seterusnya. "Asal bisa menyesuaikan inovasi dengan kebutuhan pasar,
bisa berkembang terus. Masukan pelanggan selalu kami perhatikan," tuturnya.

Masukan menjadi ciri khas WS untuk berkembang hingga sekarang. Jodi selalu bertanya apa
keinginan dari mereka para pelanggan. Menu- menu baru pun disuguhkan menyesuaikan
permintaan. Meski warungnya itu mengusung menu steak dan shake, Jodi masih
menyediakan menu nasi. Jika biasanya kamu ketemu steak dan kentang tidak khusus untuk
Waroeng Steak. Saat usahanya makin berkembang ia pun yakin memilih untuk konsentrasi
dibisnisnya.

Sejak 2002, ia terus fokus menambah jumlah gerai di seluruh penjuru Indonesia. Total ada 50
gerai telah ia buka di sejumlah kota. Jodi pun membuka gerai aneka makanan berbendera
Festival Kuliner. Konsep ini ia sebut sebagai konsep dimana tidak hanya ada WS, ada pula
Waroeng Penyetan dan Bebaqaran serta ada delapan gerai waralaba lain. Untuk ekspansi lain,
diluar bisnis kuliner, Jodi memilih membuka arena futsal. Sukses Waroeng Steak
menariknyatak menerapkan konsep waralaba.

Ya, tak ada waralaba Waroeng Steak, namun untuk pangsa luar negeri, Jodi memilih
mewaralabakan produk miliknya. Wajarlah jika ia sanggup membangun bisnisnya sendiri.
Untuk satu gerai, di wilayah Yogyakarta contohnya, ia mampu mengantongi 500 juta. Jumlah
cabangnya mencapai 30 gerai yang tersebar di Jakarta, Medan, Bogor, Bandung, Semarang,
Malang, Solo, Palembang, Yogya, Bali dan terakhir ada di Pekanbaru. Omzetnya ya, bisa kita
bayangkan, bisa mencapai miliaran rupiah.

Melalui mottonya "bukan steak biasa" berfokus pada menempatkan makanan mahal jadi
milik siapa saja. Di konsep ini kamu bisa membuat kuliner eklusip jadi umum. Contoh lain
yaitu gerai makanan susi yang juga mulai diwaralabakan. Tak semua bisnis harus
diwaralabakan juga bisa kita ambil hikmahnya dari kisah ini. Tapi menggunakan konsep
waralaba kamu bisa lebih cepat. Dia hanya memanfaatkan konsep warlaba dari bisnis
barunya Waroeng Penyetan dan Bebaqaran.

A. PROFIL USAHA
Nama Usaha : Waroeng Steak and Shake
Alamat perusahaan : Jl. Kalimalang No.43 jakarta timur
Nama pemilik : H. Jody Brotosuseno & Hj. Siti Haryani
Alamat pemilik : Jl. Cendrawasih No.30 Yogyakarta
Nama penanggung jawab : Tri Haryono
Skala usaha : Menengah-Besar
Bentuk usaha : Kuliner
Produk : Steak & Shake

B. ANALISIS
1. Usaha yang dijalankan adalah kuliner
2. Motivasi menjadi pengusaha kuliner ?
a. Termotivasi dari sang ayah yang juga seorang pengusaha dan mendirikan bisnis di
bidang kuliner juga, tetapi beliau tidak ingin terbayang-bayang oleh usaha ayahnya
dan ingin mendirikan usaha sendiri.
b. Termotivasi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya setelah memutuskan
untuk menikah karena ketika itu beliau Cuma bekerja menjadi pegawai biasa di
usaha ayahnya, tetapi beliau tidak ingin meminta jabatan di usaha ayahnya justru
beliau semakin bersemangat berusaha sendiri untuk mendirikan usaha waroeng
steak and shake.
c. Menempatkan makanan mahal jadi milik siapa saja bukan steak biasa kuliner
warung steak and shake ini memberi kesan murah kepada konsumen. Mendengar
kata steak akan teringat makanan khas eropa yang mahal harganya, namun itu tidak
berlaku di waroeng steak and shake, hanya dengan haerga Rp 8.000 hingga Rp
13.000 aneka macam steak pun dapat dinikmati dengan cita rasa yang tak kalah
dengan steak dihotel berbintang.
3. Prinsip-prinsip mendasar dalam usaha yang dijalankan?
a. Tidak putus asa karena beliau sempat gagal dalam menjalankan usaha seperti roti
bakar, berjualan susu, sampai bisnis kaos partai dan akhirnya sukses membuka
usaha kuliner waroeng steak and shake sukses dan banyak membuka cabang di
berbagai daerah.
b. Tidak takut gagal tetap mencoba berbagai usaha sampai bisa sukses menjadi
pengusaha kuliner sampai saat ini.
c. Kreatif dan inovatif, sangat kreatif dalam mengemas dan mengolah berbagia olahan
steak dan daging.
d. Ketekunan dan keuletan.
4. Cara yang dilakukan untuk mengembangkan usaha
a. Memodifikasi warung karena kebanyakan peminatnya adalah mahasiswa dan anak
muda, maka warna yang digunakan adalah warna ngejreng dengan kombinasi warna
kuning yang dominan dipadu warna putih dan hitam, dan memasang daftar harga di
depan warung agar calon pembeli dapat mengetahui harga menu mereka yang
murah.
b. Menjual steak dengan harga antar Rp 8.000 sampai Rp 13.000 dan membuat menu
menu baru yang kreatif dan inovatif dan memiliki sajian makanan yang khas dan
unik yang dapat diterima oleh masyarakat.
c. Menjaga kualitas makanan
d. Mempromosikan waroeng steak and shake menggunakan lefleat dan kebanyakan
dari mulut ke mulut.

Anda mungkin juga menyukai