Anda di halaman 1dari 9

JODI WAROENG

Dalam 15 tahun terakhir, Jody Brotosuseno sudah mencoba berbagai usaha.


Peruntungan berbuah di usaha kuliner dengan merek dagang Waroeng Steak and
Shake. Kini, ia punya 50 gerai Waroeng Steak and Shake di sejumlah kota.
Ia juga memiliki belasan gerai untuk unit usaha lainnya. Paling sedikit 1.000 pekerja
mendapatkan kegiatan sekaligus penghasilan dari seluruh unit usahanya.
Pencapaiannya hari ini tentu tidak diraih dalam semalam. Bersama istrinya, Siti
Handayani alias Aniek, Jody berkali-kali merasakan jatuh bangun berbisnis. Hal itu
bukan hal mudah karena modal mereka terbatas dan belum ada investor pada awal
membangun usaha.
Memang banyak orang pada awalnya tidak akan percaya Jody bekerja keras
membangun bisnis. Hal itu tidak lepas dari latar belakang keluarganya, pemilik
jaringan restoran Obonk Steak and Ribs.
Meski ayahnya, Sugondo, pemilik jaringan restoran yang punya lebih dari 60 gerai
itu, Jody tidak mendapat perlakuan istimewa. Ia menerima gaji sebagai pegawai
biasa di jaringan restoran tersebut. Apalagi Jody bertekad Mandiri sejak menikahi
Aniek pada 1998.
Dengan gaji itu, Jody dan Aniek tahu mereka butuh pendapatan lebih baik. Dengan
ijazah terakhir setingkat SMA, sangat sulit mendapat peluang kerja jika harus
melamar ke tempat lain. Jody dan Aniek akhirnya membulatkan tekad menjadi
pebisnis. Agar bisa fokus, mereka sepakat meninggalkan bangku kuliah. Jody
meninggalkan pendidikannya pada Jurusan Arsitektur, Universitas Atma Jaya
Yogyakarta, pada semester delapan.
Sambil bekerja di Obonk, Jody mencoba berjualan aneka makanan. Awalnya
berjualan susu segar, lalu roti bakar dan jus buah. Namun, bisnis itu terpaksa
berhenti karena peralatannya banyak diambil orang.
Jody juga berjualan kaus partai politik. Pada Pemilu 1999, jumlah partai
membengkak dari tiga menjadi 48 partai. Jody melihat peluang itu dan
memanfaatkan dengan berjualan kaus berlambang partai politik. Hasil penjualan,
antara lain, digunakan untuk mengontrak rumah di kawasan Demangan, Yogyakarta.
Selepas pemilu, Jody dan Aniek berpikir lagi mencari tambahan. Kelahiran anak
pertama, Yuga Adiaksa, membuat kebutuhan bertambah. Akhirnya pasangan itu
memutuskan berjualan steik, seperti yang sudah dilakukan keluarga Jody. Namun,
pasangan itu tidak meniru konsep Obonk Steak.
Mereka memilih mahasiswa dan pelajar sebagai target pasar. Untuk merek usaha,
mereka memilih nama Waroeng Steak and Shake. Gerai pertama dibuka di teras
rumah mereka karena tidak ada dana untuk menyewa tempat. Saya pilih istilah
warung untuk menegaskan pesan makan steik di sini tidak mahal, ujar Jody seperti
dilansir Harian Kompas.
Namun, mereka terbentur modal untuk memulai usaha. Kala itu, Jody dan Aniek
hanya punya uang Rp 100.000. Akhirnya, Jody menjual motor dan hasilnya dipakai

untuk modal awal Waroeng Steak. Ketika baru mulai, Jody mengurus dapur dan
melayani pembeli, sementara Aniek menjadi kasir. Namun, warung itu tidak
langsung ramai. Pernah sehari cuma dapat bersih Rp 30.000, ujarnya.
Pembeli masih sepi, antara lain karena warung itu belum terkenal. Selain itu,
masyarakat juga masih menganggap steik makanan mahal. Pembeli memberi
masukan agar warung saya lebih disukai. Saya dengar masukan mereka, ujarnya.
Jody membuat spanduk besar dengan warna mencolok di depan gerainya. Di
spanduk dicantumkan harga steik yang murah. Ia juga mempromosikan warungnya
lewat selebaran. Tidak butuh lama, warung Jody mulai ramai pembeli dari kalangan
mahasiswa dan pelajar. Malah kami mulai kewalahan, ujarnya.
Kala itu, Waroeng Steak and Shake baru punya 10 hotplate dan lima meja. Saat
ramai, tak jarang pembeli terpaksa menunggu meja kosong. Bahkan, Jody beberapa
kali terpaksa mengambil hotplate setelah pembeli selesai makan tetapi masih duduk
di meja. Sebab, hotplate akan dipakai untuk memenuhi pesanan pembeli lain.
Pelan-pelan, Jody menambah peralatan. Ia juga merekrut pegawai untuk melayani
pembeli yang semakin banyak. Setahun sejak buka di Demangan, kami membuka
satu cabang lagi, ujarnya.
Untuk pembukaan gerai kedua, Jody mengajak kerabat dan temannya menanam
modal dengan pola bagi hasil. Pola itu dipakainya sampai gerai kedelapan. Di gerai
kesembilan dan seterusnya, Jody mendanai sendiri. Asal bisa menyesuaikan
inovasi dengan kebutuhan pasar, bisa berkembang terus. Masukan pelanggan
selalu kami perhatikan, tuturnya.
Masukan pembeli tetap diandalkan dalam pertimbangan pengembangan usaha.
Menu-menu baru dihadirkan untuk menyesuaikan permintaan pelanggan. Meski
bermerek Waroeng Steak and Shake, gerai-gerai Jody juga menyediakan menu
dengan bahan utama nasi. Padahal, steik biasanya disantap dengan kentang
goreng.
Saat Waroeng Steak and Shake semakin berkembang, Jody kembali membuat
keputusan untuk berkonsentrasi penuh. Ia tinggalkan Obonk agar bisa sepenuhnya
mengurus Waroeng Steak and Shake. Sejak 2002, ia fokus mengembangkan
Waroeng Steak and Shake yang terus menambah gerai.
Konsentrasinya membawa hasil menggembirakan. Kini, ia mengelola 50 gerai
Waroeng Steak and Shake di sejumlah kota. Ia juga membuka gerai aneka makanan
dengan bendera Festival Kuliner. Bisnis kulinernya dilengkapi dengan Waroeng
Penyetan dan Bebaqaran serta delapan gerai waralaba merek lain. Ia juga
merambah bisnis olahraga dengan membuka arena futsal.
Meski yakin pasar Indonesia masih terbuka sangat luas, Jody sudah mulai
mempersiapkan ekspansi ke luar negeri. Untuk pasar luar negeri, Waroeng Group
akan menggunakan pola waralaba. Untuk pengembangan pasar Indonesia, kami
berusaha dikelola sendiri dengan dana sendiri, ungkapnya.

Wajar ia yakin bisa mendanai sendiri pembukaan gerai baru. Dalam salah satu
kuliah umum di Yogyakarta terungkap, salah satu gerainya di Yogyakarta beromzet
rata-rata Rp 500 juta per bulan. Padahal, ia mengoperasikan puluhan gerai.
Namun, tidak semua dinikmati sendiri oleh Jody. Salah satu gerainya di kawasan
Gejayan, Yogyakarta, didedikasikan untuk kegiatan amal. Seluruh keuntungan dari
gerai itu dipakai untuk mendanai rumah Tahfidz, pesantren penghafal Al Quran
dengan santri hampir 2.000 orang. Selain dari gerai itu, Jody juga menyumbangkan
sebagian keuntungan dari unit usaha lainnya untuk mendanai tujuh rumah Tahfidz
yang dikelolanya. Saya dibantu teman-teman, tidak menanggung sendiri, ujarnya
merendah.
Jody memang selalu tampak bersahaja dan merendah. Jika bertemu sepintas, sama
sekali tidak terlihat sosok orang muda pemilik bisnis beromzet puluhan miliar rupiah
per bulan. Bisnis yang dibangun dengan kerja keras sendiri, bukan warisan. Kerja
keras dalam 12 tahun mengantarnya dari pemuda yang batal jadi arsitek tetapi
menjadi raja steik. (as)
Sumber : http://www.ciputraentrepreneurship.com/kuliner/23725-gagal-jadi-arsitekkini-jadi-juragan-steik.html

KISAH 2
Sejak didirikan 10 tahun lalu, usaha kulinernya telah mencapai 50 outlet (gerai), dengan omzet di atas
Rp 100 juta perbulan untuk setiap gerai. Lantas, apa hubungannya dengan pengajian dan Rumah
Tahfizh?
Mendengar kata steak akan teringat makanan khas Eropa yang mahal harganya. Namun, itu tidak
berlaku di Waroeng Steak and Shake. Hanya dengan merogoh kocek Rp 8.000 hingga Rp. 13.000,
aneka macam steak pun dapat dinikmati dengan cita rasa yang tak kalah dengan steak di hotel
berbintang.
Tak heran bila setiap kali Waroeng Steak and Shake buka pada saat jam makan siang, puluhan
pengunjung langsung menyerbu kuliner yang telah meraih sertifikat halal dari Majelis UlamaIndonesia.
Bahkan, tak jarang sebagian di antaranya rela antri untuk mendapatkan tempat duduk.
Seiring dengan berputarnya waktu, usaha ini semakin melaju. Jika tahun 2000 hanya memiliki 1 gerai
sederhana dengan 2 karyawan, namun kini menjadi 50 gerai dengan mempekerjakan 1.000 karyawan.
Jual Motor untuk Modal Usaha
Sukses yang diraih Waroeng Group tidak lepas dari keuletan dan tangan dingin sang owner (pemilik),
Jody Broto Suseno (37). Dengan bakat wirausaha yang dimilikinya, sejak lulus SMA tahun 1993, Jody
telah mencoba berbagai macam usaha, mulai bisnis parsel, susu segar, roti bakar, hingga kaos partai.
Untung dan rugi pun pernah ia alami.
Tahun 1997, Jody terlibat mengurusi usaha Obonk Steak milik orangtuanya. Ia diminta menangani
Obonk Steak dan memasarkannya ke teman-teman kuliahnya. Tapi sayangnya ndak ada yang datang,
karena harganya cukup mahal dan tidak terjangkau oleh kantong mahasiswa, ungkapnya sambil
tersenyum.

Pengalaman terakhir inilah yang memberi inspirasi untuk membuat usaha kuliner steak dengan harga
mahasiswa. Jody pun mulai memikirkan cara menekan harga steak yang sejatinya memang mahal.
Diakui Jody, untuk mendirikan Waroeng Steak and Shake dibutuhkan modal awal yang cukup besar.
Beruntung ia memiliki sepeda motor pemberian orangtua, yang akhirnya dijual untuk modal usaha.
Dari penjualan motor, saya gunakan untuk sewa tempat di daerah Demangan Yogyakarta, sebagian
lagi untuk peralatan usaha, dan sisanya untuk membeli motor tua sebagai alat transportasi, ujar Jody.
Tanggal 4 September 2000 adalah awal berdirinya Waroeng Steak and Shake di Jalan Cendrawasih
Demangan Yogyakarta. Jody memilih nama Waroeng sebagai brand usaha kulinernya untuk memberi
kesan murah kepada konsumen.
Di mana-mana yang namanya steak itu mahal, makanya saya memberi nama Waroeng untuk memberi
kesan murah, kata Jody. Mengingat pangsa pasarnya anak muda dan mahasiswa, maka warna yang
digunakannya pun dibuat ngejreng, dengan kombinasi warna kuning yang dominan dipadu warna putih
dan hitam.
Tahun pertama merupakan perjuangan bagi Jody. Dengan lima meja, sepuluh hot plate dan tiga menu
utama (Sirloin, Tenderlon, dan Chicken Steak) yang disediakan Waroeng Steak, tak jarang hari-hari
yang dilalui Jody tanpa pengunjung. Kalaupun ada, jumlahnya bisa dihitung dengan jari.
Masa awal ini lebih banyak dukanya daripada sukanya. Namun, usaha ini tetap jalan. Jody bertugas
memasak di dapur, istrinya melayani tamu sekaligus menjadi kasir, dan dua karyawannya menangani
tugas lainnya. Alhamdulillah, di tahun pertama masih bisa menggaji karyawan dan memenuhi
kebutuhan keluarga, meski pas-pasan, jelas Jody.
Interaksinya dengan pelanggan dan masukan yang dilontarkan mereka membuat Jody terus berbenah.
Jody pun berinisiatif membuat daftar harga dan dipasang di depan warung miliknya. Ternyata cara ini
efektif. Tidak lama berselang, banyak pengunjung dari berbagai kalangan memenuhi gerainya.
Tahun kedua, usahanya mulai menampakkan hasil. Pengunjungnya semakin stabil, bahkan tidak mampu
melayani seluruh pengunjung. Maka ia pun mengajak keluarganya untuk berinvestasi mengembangkan
usaha ini, mulai dari ayah, ibu, saudara, paman, dan keluarga lainnya diajak berinvestasi dengan bagi
hasil 50:50. Semakin hari usaha ini berkembang hingga cabang ke-7 dengan sistem bagi hasil. Barulah
pada gerai ke-8 dan seterusnya Jody mampu mendanai sendiri gerainya, tanpa menerapkan pola
franchise.
Belakangan, Jody lebih senang mengajak investor dari kalangan ustadz untuk mengembangkan
usahanya di berbagai daerah di Jawa, Bali, dan Sumatera. Sebut saja Ustadz Yusuf Mansur, Ustadz Edi
Mustofa, dan Ustadz Endang ikut berinvestasi di bisnis ini. Bahkan, kini berkembang ke berbagai lini,
seperti Bebaqaran untuk ikan bakar, Bebek Goreng H. Slamet, dan Festival Kuliner (Feskul).
Para ustadz itu saya ajak bergabung dengan usaha kuliner ini dengan harapan usaha ini
memperoleh doa dari mereka, terang Jody saat ditemui Suara Hidayatullah di Rumah Tahfizh miliknya
di Deresan Yogyakarta.
Spiritual Company
Mengelola 1.000 karyawan bukanlah hal mudah, dan itulah yang dirasakan Jody. Ia merasa
berkewajiban untuk ikut memberdayakan karyawannya yang berasal dari berbagai latar
belakangsosial dan budaya tersebut.

Awalnya, Jody hanya berpikir praktis dengan mengikutkan hampir seluruh karyawannya trainingESQ.
Namun atas masukan beberapa ustadz, Jody akhirnya membuat Spiritual Company, dan mendaulat
Ustadz Syamsuri untuk membuat sistem sekaligus mengawalnya.
Menurut Ustadz Syamsuri, Spiritual Company ini terdiri dari dakwah dan pendidikan Islam. Untuk
dakwah bil hal, dilakukan melalui olahraga, kegiatan sosial, infaq karyawan, dan seni budaya. Untuk
pendidikan Islamnya yakni pengadaan tausiyah rutin di outlet-outlet dan kantor, buletin bulanan, dan
belajar membaca al-Qur`an bagi seluruh karyawan, kata Ustadz Syamsuri saat ditemui di kantor
Waroeng Group Timoho Yogyakarta.
Tausiyah di gerai kata Ustadz Syamsuri, telah disusun secara sistematis berikut tema-temanya. Misalnya
bulan Maret lalu bertema Shalat Tepat Waktu, maka seluruh gerai di Jawa, Bali dan Sumatera harus
menyelenggarakan tausiyah untuk karyawan dengan tema yang sama. Tema yang beragam itu telah
disusun selama setahun. Materinya meliputi aqidah, akhlak, fiqih, dan sirah Nabi.
Selain pengajian internal karyawan yang dilaksanakan setiap pekan, Waroeng Group juga
menyelenggarakan pengajian warga sekitar gerai tiap bulan. Bahkan, pengajian berskala besar dengan
mendatangkan ustadz dari Jakarta setiap bulan, dengan tema kegiatan Dari Waroeng untuk Umat.
Tahun 2010, Waroeng Gr0up mulai menawarkan program menarik bagi karyawannya. Bagi yang mampu
menghafal al-Qur`an minimal empat surah pilihan akan diikutkan umrah dan haji gratis.
Ternyata banyak karyawan yang bisa menghafal empat surah, dan terpaksa dilakukan pengundian
untuk memilih enam di antaranya, kata Jody.
Sebagai bagian dari Spiritual Company, Jody menerapkan aturan ketat kepada karyawannya. Bila tahun
2009 larangan merokok ditujukan kepada seluruh menejemen, maka mulai 2010 seluruh karyawannya
dilarang merokok.
Kini, selain sibuk mengurus usahanya, Jody pun aktif mendirikan Rumah Tahfizh dan mengasuh puluhan
anak untuk menghafal al-Qur`an.
Saat ini sudah berdiri empat Rumah Tahfizh yang mengasuh 83 santri mukim, dan 60 santri kalong,
satu di antaranya adalah Rumah Tahfizh Waroeng Group. Alhamdulillah, usaha saya terbukti semakin
meningkat, ungkap Jody yakin.* Masjidi/Suara Hidayatullah APRIL 2011

KISAH 3

Kisah Jody Broto Suseno "Pemilik Waroeng Steak N Shake"


1111111111 Rating 5.00 (1 Vote)

Sejak didirikan 10 tahun lalu, usaha kulinernya telah mencapai 50 outlet (gerai), dengan omzet di atas Rp
100juta perbulan untuk setiap gerai. Mendengar kata steak akan teringat makanan khas Eropa yang mahal
harganya. Namun, itu tidak berlaku di Waroeng Steak and Shake. Hanya dengan merogoh kocek Rp
8.000 hingga Rp. 13.000, aneka macam steak pun dapat dinikmati dengan cita rasa yang tak kalah dengan
steak di hotel berbintang.
Tak heran bila setiap kali Waroeng Steak and Shake buka pada saat jam makan siang, puluhan pengunjung
langsung menyerbu kuliner yang telah meraih sertifikat halal dari Majelis Ulama Indonesia. Bahkan, tak
jarang sebagian di antaranya rela antri untuk mendapatkan tempat duduk. Seiring dengan berputarnya
waktu, usaha ini semakin melaju. Jika tahun 2000 hanya memiliki 1 gerai sederhana dengan 2 karyawan,
namun kini menjadi 50 gerai dengan mempekerjakan 1.000 karyawan.
Jual Motor untuk Modal Usaha.
Sukses yang diraih Waroeng Group tidak lepas dari keuletan dan tangan dingin sang owner (pemilik), Jody
Broto Suseno (37). Dengan bakat wirausaha yang dimilikinya, sejak lulus SMA tahun 1993, Jody telah
mencoba berbagai macam usaha, mulai bisnis parsel, susu segar, roti bakar, hingga kaos partai. Untung
dan rugi pun pernah ia alami.
Tahun 1997, Jody terlibat mengurusi usaha Obonk Steak milik orangtuanya. Ia diminta menangani
Obonk Steak dan memasarkannya ke teman-teman kuliahnya. Tapi sayangnya ndak ada yang datang,
karena harganya cukup mahal dan tidak terjangkau oleh kantong mahasiswa, ungkapnya sambil
tersenyum.
Pengalaman terakhir inilah yang memberi inspirasi untuk membuat usaha kuliner steak dengan harga
mahasiswa. Jody pun mulai memikirkan cara menekan harga steak yang sejatinya memang mahal.
Diakui Jody, untuk mendirikan Waroeng Steak and Shake dibutuhkan modal awal yang cukup besar.
Beruntung ia memiliki sepeda motor pemberian orangtua, yang akhirnya dijual untuk modal usaha.
Dari penjualan motor, saya gunakan untuk sewa tempat di daerah Demangan Yogyakarta, sebagian lagi
untuk peralatan usaha, dan sisanya untuk membeli motor tua sebagai alat transportasi, ujar Jody.
Tanggal 4 September 2000 adalah awal berdirinya Waroeng Steak and Shake di Jalan Cendrawasih
Demangan Yogyakarta. Jody memilih nama Waroeng sebagai brand usaha kulinernya untuk memberi
kesan murah kepada konsumen.

Di mana-mana yang namanya steak itu mahal, makanya saya memberi nama Waroeng untuk memberi
kesan murah, kata Jody. Mengingat pangsa pasarnya anak muda dan mahasiswa, maka warna yang
digunakannya pun dibuat ngejreng, dengan kombinasi warna kuning yang dominan dipadu warna putih
dan hitam.
Tahun pertama merupakan perjuangan bagi Jody. Dengan lima meja, sepuluh hot plate dan tiga menu
utama (Sirloin, Tenderlon, dan Chicken Steak) yang disediakan Waroeng Steak, tak jarang hari-hari yang
dilalui Jody tanpa pengunjung. Kalaupun ada, jumlahnya bisa dihitung dengan jari.
Masa awal ini lebih banyak dukanya daripada sukanya. Namun, usaha ini tetap jalan. Jody bertugas
memasak di dapur, istrinya melayani tamu sekaligus menjadi kasir, dan dua karyawannya menangani tugas
lainnya. Alhamdulillah, di tahun pertama masih bisa menggaji karyawan dan memenuhi kebutuhan
keluarga, meski pas-pasan, jelas Jody. Interaksinya dengan pelanggan dan masukan yang dilontarkan
mereka membuat Jody terus berbenah. Jody pun berinisiatif membuat daftar harga dan dipasang di depan
warung miliknya. Ternyata cara ini efektif. Tidak lama berselang, banyak pengunjung dari berbagai
kalangan memenuhi gerainya.
Tahun kedua, usahanya mulai menampakkan hasil. Pengunjungnya semakin stabil, bahkan tidak mampu
melayani seluruh pengunjung. Maka ia pun mengajak keluarganya untuk berinvestasi mengembangkan
usaha ini, mulai dari ayah, ibu, saudara, paman, dan keluarga lainnya diajak berinvestasi dengan bagi hasil
50:50. Semakin hari usaha ini berkembang hingga cabang ke-7 dengan sistem bagi hasil. Barulah pada
gerai ke-8 dan seterusnya Jody mampu mendanai sendiri gerainya, tanpa menerapkan pola franchise.
Belakangan, Jody lebih senang mengajak investor dari kalangan ustadz untuk mengembangkan usahanya
di berbagai daerah di Jawa, Bali, dan Sumatera. Sebut saja Ustadz Yusuf Mansur, Ustadz Edi Mustofa, dan
Ustadz Endang ikut berinvestasi di bisnis ini. Bahkan, kini berkembang ke berbagai lini, seperti Bebaqaran
untuk ikan bakar, Bebek Goreng H. Slamet, dan Festival Kuliner (Feskul). Para ustadz itu saya ajak
bergabung dengan usaha kuliner ini dengan harapan usaha ini memperoleh doa dari mereka, terang Jody
saat ditemui Suara Hidayatullah di Rumah Tahfizh miliknya di Deresan Yogyakarta.
Spiritual Company
Mengelola 1.000 karyawan bukanlah hal mudah, dan itulah yang dirasakan Jody. Ia merasa berkewajiban
untuk ikut memberdayakan karyawannya yang berasal dari berbagai latar belakang sosial dan budaya
tersebut. Awalnya, Jody hanya berpikir praktis dengan mengikutkan hampir seluruh
karyawannya trainingESQ. Namun atas masukan beberapa ustadz, Jody akhirnya membuat Spiritual
Company, dan mendaulat Ustadz Syamsuri untuk membuat sistem sekaligus mengawalnya.
Menurut Ustadz Syamsuri, Spiritual Company ini terdiri dari dakwah dan pendidikan Islam. Untuk
dakwah bil hal, dilakukan melalui olahraga, kegiatan sosial, infaq karyawan, dan seni budaya. Untuk
pendidikan Islamnya yakni pengadaan tausiyah rutin di outlet-outlet dan kantor, buletin bulanan, dan
belajar membaca al-Qur`an bagi seluruh karyawan, kata Ustadz Syamsuri saat ditemui di kantor Waroeng
Group Timoho Yogyakarta.
Tausiyah di gerai kata Ustadz Syamsuri, telah disusun secara sistematis berikut tema-temanya. Misalnya
bulan Maret lalu bertema Shalat Tepat Waktu, maka seluruh gerai di Jawa, Bali dan Sumatera harus
menyelenggarakan tausiyah untuk karyawan dengan tema yang sama. Tema yang beragam itu telah
disusun selama setahun. Materinya meliputi aqidah, akhlak, fiqih, dan sirah Nabi. Selain pengajian internal
karyawan yang dilaksanakan setiap pekan, Waroeng Group juga menyelenggarakan pengajian warga
sekitar gerai tiap bulan. Bahkan, pengajian berskala besar dengan mendatangkan ustadz dari Jakarta setiap
bulan, dengan tema kegiatan Dari Waroeng untuk Umat.

Tahun 2010, Waroeng Group mulai menawarkan program menarik bagi karyawannya. Bagi yang mampu
menghafal al-Qur`an minimal empat surah pilihan akan diikutkan umrah dan haji gratis. Ternyata banyak
karyawan yang bisa menghafal empat surah, dan terpaksa dilakukan pengundian untuk memilih enam di
antaranya, kata Jody. Sebagai bagian dari Spiritual Company, Jody menerapkan aturan ketat kepada
karyawannya. Bila tahun 2009 larangan merokok ditujukan kepada seluruh menejemen, maka mulai 2010
seluruh karyawannya dilarang merokok.
Kini, selain sibuk mengurus usahanya, Jody pun aktif mendirikan Rumah Tahfizh dan mengasuh puluhan
anak untuk menghafal al-Qur`an. Saat ini sudah berdiri empat Rumah Tahfizh yang mengasuh 83 santri
mukim, dan 60 santri kalong, satu di antaranya adalah Rumah Tahfizh Waroeng Group. Alhamdulillah,
usaha saya terbukti semakin meningkat, ungkap Jody yakin".
(inspirasisuksesmulia.blogspot.com)

KISAH 4

Belajar Sukses dari Jodi Waroeng Steak


& Shake
Menjadi seorang pengusaha sukses, tentunya menjadi impian besar bagi semua orang. Namun sayangnya
tidak banyak orang yang bisa berhasil meraih impian tersebut, mengingat untuk mencapai sebuah
kesuksesan dibutuhkan kerja keras dan tekad yang kuat guna menghadapi semua rintangan dan hambatan
yang sering muncul di tengah perjalanan menuju sukses. Hal inilah yang memotivasi sepasang suami istri,
Jody Brontosuseno dan Siti Hariyani dalam mengembangkan usaha.
Setiap orang yang sukses itu dimulai dari impian yang kuat dan sungguh-sungguh -Jody Broto Suseno.
Jody pemilik warung makan yang cukup terkenal di Jogja -bahkan mungkin di luar Jogja- yang
bernama Waroeng Steak & Shake ini, berbagi pengalamannya meraih sukses menjadi Bos dari 1300
karyawan dan ratusan outletWaroeng steak and shake
Pria yang sekarang sudah memiliki empat orang anak ini bercerita, terkadang sesorang itu lupa dengan
impiannya. Tidak jarang pula kita lupa dengan apa yang kita impikan. Oleh karena itu, impian yang kita
miliki itu harus tertanam kuat, tidak boleh pergi ke mana-mana. Niat yang dimiliki pun juga harus kuat,
karena impian itu sama dengan niat. Begitu pula jika memiliki impian untuk menjadi seorang pengusaha
sukses.
Butuh kerja keras memang, untuk mewujudkannya. Karena menjadi seorang pengusaha sukses dan
memiliki karyawan hingga ribuan serta cabang di seluruh kota-kota besar, tidak mungkin dapat diraih
tanpa perjuangan keras dan keyakinan pada sang Pencipta bahwa Dia akan memeluk mimpi-mimpi kita.
Namun, semuanya itu belum tentu dapat terwujud, kalau kita tidak melakukan 1 langkah kecil. Karena
tentunya langkah besar selalu diawali dengan langkah kecil.

Nah, hal ini yang juga dirasakan oleh H. Jody. Bermodalkan penjualan motor satu-satunya yang ia miliki,
ia mencoba membuka usaha. Dengan modal yang benar-benar seadanya, ia bersama istrinya pertama kali
melakukan usaha jual beli koran, kemudian menjual parsel, beralih menjadi penjual susu segar, roti BBQ
Bebakaran, kemudian beralih lagi menjadi penjual kaos partai, Obonk Steak, dan yang terakhir hingga saat
ini Waroeng Steak & Shake. Modal 8 juta rupiah yang digunakan olehnya, pada tahun 2000 lalu berhasil
membuatnya membuka usaha Waroeng Steak & Shake dengan dua karyawan. Meski hanya dengan dua
karyawan, dirinya dan istrinya, yang mengelola Waroeng Steak & Shake tersebut. Namun kegigihan,
kekuatan impian dan kekuatan doa tetap membuktikan bahwa Waroeng Steak & Shake (WS) ini mampu
berkembang pesat hingga saat ini, tepatnya tahun 2013 ini. Saat ini pula, pemilik WS ini sudah memiliki
1300 karyawan yang mengolola usaha kulinernya tersebut.
Dari usaha kuliner yang H. Jody jalani ini, ada yang menarik dari sistem atau aturan yang ditetapkan pada
karyawannya. Setiap hari, absensi yang menunggu para karyawan untuk diisi adalah absensi shalat Dhuha.
Selain itu, H. Jody juga menyediakan form khusus untuk hafalan satu juz ayat-ayat al-Quran atau surahsurah pilihan. Kalau ada karyawan yang sudah hafal satu juz, saya beri hadiah Umroh, ujarnya. Pemilik
usaha kuliner yang telah meraih sertifikat Halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini juga menerapkan
aturan lain yang diberi nama SpiritualCompany. Spiritual Company yang ia bangun diantaranya berhenti
merokok, membaca Al-Quran satu hari satu juz, shalat dhuha, menunaikan shalat wajib di awal waktu, dan
pengajian bagi para karyawan Waroeng Steak & Shake.
Inilah salah satu yang membedakan usaha kuliner H. Jody dengan kebanyakan usaha kuliner lainnya di
Tanah Air, khususnya di Yogyakarta. Hal itu juga yang menjadi rahasia sukses pengusaha muda ini.
Walau pun untuk memulai usaha umumnya tidak bisa terlepas dari empat hal yaitu produk yang unik, price
(modal), promosi, dan tempat. Namun, bagi seorang pengusaha Muslim juga tidak bisa tidak memegang
etika bisnis yang Rasulullah SAW contohkan pada kita, yakni Sidiq (jujur), Amanah (bisa dipercaya),
Tabligh (menyampaikan firman Allah), dan Fathonah (cerdas). Dan yang paling penting juga adalah
jangan pernah melupakan Allah tegas H. Jody.
Sekarang, bisnis Jody semakin berkembang di berbagai daerah di Jawa, Bali, dan Sumatera. Dan kini
berkembang ke berbagai lini, seperti Bebaqaran untuk ikan bakar, Bebek Goreng H. Slamet, dan Festival
Kuliner (Feskul). Jodi juga bekerjasa sama dengan Ustad Yusuf Mansur mendirikan rumah tahfidz
diberbagai penjuru Indonesia dan terakir beliau menanamkan modal untuk pembangunan Tahfidz TV.

Anda mungkin juga menyukai