Anda di halaman 1dari 21

Kisah Sukses Doni di bidang Usaha Kaca Gravir

Gagal mendapatkan pekerjaan, tapi malah menjadi pengusaha sukses bidang seni kaca gravir. Itulah
jalan hidup yang ditempuh Doni Alferi.

PADA 1998, Doni mampu menyelesaikan studinya di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi dan Perbankan
Padang. Sebagaiman kebanyakan sarjana yang baru lulus, Doni pun berupaya menjadi pekerjaan.
Puluhan surat lamaran dia sebar ke sejumlah perusahaan baik nasional maupun lokal dengan
harapan ada salah satu yang menerimanya.

Doni sangat berharap mendapatkan pekerjaan secepatnya selepasnya menyelesaikan kuliah. Dia
merasa harus membalas budi kepada orang tua yang telah membiayainya. Apalagi, Doni termasuk
sosok yang tak suka lama-lama menganggur.

Enam bulan pertama belum mendapat panggilan, Doni merasa masih tenang. Memasuki bulan
kedelapan belum juga mendapat pekerjaan yang sesuai, hati pria kelahiran 1973 tersebut mulai
gelisah. Tapi saya masih nyantai saat itu, kenangnya.

Setelah setahun lewat belum juga mendapat kerja, kegelisahan hatinya mulai bertambah.
Menyandang status sarjana yang masih menganggur begitu membebaninya. Rasa frustrasi pun
mulai menghinggapi. Teman-teman saya seangkatan banyak yang sudah mendapat pekerjaan, tapi
saya kok belum, ujarnya.

Tak mau hanya sekadar berpangku tangan menanti belas kasih pihak lain, Doni pun memasang
target pribadi. Kalau hingga tahun 2000 belum mendapat pekerjaan, dia akan memilih menjadi
wiraswasta saja, meski saat memutuskan pilihan tersebut dia belum tahu bidang usaha yang bakal
digelutinya.

Entah karena garis nasib menuntunnya memang mesti menjadi pengusaha, hingga tahun 2000
pekerjaan pun belum didapat. Janji pada diri sendiri yang pernah diucapkannya pun harus ditepati.
Karena saya sudah membulatkan tekad tahun 2000 sebagai tahun perubahan nasib, begitu saya
belum mendapatkan pekerjaan juga di tahun tersebut, saya benar-benar memutuskan menjadi
wiraswasta, terangnya.

Maka, dimulailah sebuah perjalanan anak muda Padang yang gagal mendapat kerja untuk kemudian
menjadi seorang wiraswasta. Pada tahun 2000 Doni lalu mengontrak sebuah bangunan di Jalan
Hamka, Padang. Bermodal tekad dan keyakinan dia pun mulai mewujudkan cita-citanya.

Di tempat itulah ia kemudian mendapat ide untuk membuka usaha kaca gravir. Pertimbangannya, di
Padang, belum ada orang yang menggarap kaca hias berharga mahal ini. Setelah membaca ihwal
bisnis ini dari sejumlah literatur, Doni pun berangkat ke Jakarta untuk magang di sebuah pabrik
kaca gravir.

Magang di Jakarta menjadi salah satu proses awal yang mesti ditempuh Doni. Menurutnya,
menaklukkan Jakarta merupakan salah satu jalan mengasah mental selain lebih mendalami seluk
beluk bisnis gravir, mengingat seni kerajinan kaca gravir di ibu kota memang telah berkembang
pesat.

Selama ini di Jakarta, Doni ikut bekerja pada salah satu pengusaha kaca gravir yang kebetulan
dikenalnya. Selama menimba ilmu di Jakarta, Doni mengaku tak memikirkan apakah dia dibayar
atau tidak. Terpenting kata Doni, dia mendapat pengalaman, mulai dari pengadaan bahan baku,
proses produksi hingga pemasaran.

Merasa bekal uang didapatnya sudah cukup, dia pun kembali ke Padang dan memberanikan diri
membuka Kinabalu Glass. Kinabalu Glass adalah perwujudan cita-cita Doni memiliki usaha di
bidang kaca gravir.

Saat-saat awal memulai usaha, Doni mengaku semuanya masih serba terbatas. Modal terbatas,
pengalaman belum seberapa, termasuk alat produksi yang dipakai pun masih sederhana. Memotong
kaca dan menyemprot cat masih dilakukan secara manual. Sementara pasokan bahan baku utama
berupa kaca patri diperolehnya dari seorang pedagang di Jakarta. Kalau bahan lainnya, seperti kaca
limbah, stainless steel, dan timah bisa diperoleh di Padang,katanya.

Karena usahanya tergolong masih baru di Padang, Kinabalu Glass pun belum begitu dikenal. Untuk
mendapatkan konsumen, Doni turun gunung mencari sekaligus menyakinkan. Pesanan pun belum
banyak yang datang. Doni mengatakan, di saat itu, dia benar-benar mendapat ujian berat.
Kontrakan tetap harus dibayar, sementara pesanan belum banyak. Hanya tekad dan semangat yang
membuat saya terus bertahan, ungkapnya.

Namun seiring dengan waktu, usahanya mulai dikenal luas oleh masyarakat Padang. Melalui
penetrasi pasar dan display barang yang senantiasa dia pajang di ruko yang dikontraknya, Kinabalu
Glass mendapat respon positif dari masyarakat Padang.

Permintaan pasar pun mulai banyak. Seiring dagangannya yang mulai laris omset Kinabalu pun
merangkak naik. Per bulannya tak kurang Rp100 juta mampu dihasilkan Kinabalu Glass.

Umumnya permintaan pasar datang dari dari perhotelan dan perumahan. Tidak hanya dari wilayah
Padang pesanan juga datang dari kota-kota lain di Sumatera Barat, Jambi, Pekanbaru, dan
Bengkulu.

Dari sebuah tekad dan keyakinan, usaha Doni kini berkembang pesat. Doni kini memiliki sebuah
bengkel dan dua ruang pamer. Dengan mempekerjakan 16 karyawan, rata-rata produksi Kinabalu
setiap bulannya mencapai 20 meter persegi. Sebagai produk kreatif yang digarap oleh sebuah usaha
kecil, angka produksi ini sudah tergolong lumayan besar.

Demi memuaskan para konsumennya, Doni selalu membuat disain anyar sesuai dengan pesanan
pembeli. Produknya pun tidak hanya terbatas pada kaca jendela dan pintu, tapi juga kaca untuk
perabot rumah tangga lainnya, seperti meja dan lampu hias.

Karena disain produknya dibuat sesuai pesanan, maka harga jual yang dipasang pun bervariatif,
antara Rp 1,5 juta hingga Rp 6,5 juta per meter persegi. Tergantung pada tingkat
kerumitannya,kata Doni.

Dari harga yang dipasang untuk setiap meter kaca produksinya, Doni mengaku bisa memetik
keuntungan sebesar 25% 40%. Maka, wajar jika dalam enam tahun pertama berusaha, lelaki ini
sudah mampu membeli sebuah rumah dan mobil.

Ke depan, Doni berharap bisa membangun pabrik peleburan limbah kaca, yang produknya bisa
dipakai untuk kaca gravir. Kalau rencana ini terealisasi, maka ketergantungan pada pasokan kaca
dari Jakarta bisa dilepaskan.
Kisah Sukses Wiyana Dewi dengan Bisnis Sabun

Wiyana Dewi pernah mengalami segala macam masalah hidup. Namun,dari sanalah ibu dua anak ini
menempa diri sehingga bisa seperti sekarang, menjadi pelaku usaha yang mampu menghidupi orang di
sekelilingnya.

Perjalanan Wiyana Dewi menjadi pengusaha sabun berawal dari beragam cobaan hidup yang dia alami.
Kisah Wiyana membuat mata terbuka bahwa Tuhan sebenarnya selalu punya rencana di balik masalah demi
masalah yang ditimpakan kepada umatnya. Wiyana merupakan korban pemutusan hubungan kerja (PHK).

Perusahaan di bidang kosmetik yang telah mempekerjakannya selama sembilan tahun gulung tikar pada
1999 lantaran terjangan krisis ekonomi global.

PHK itu sekaligus menjadi akhir petualangannya sebagai karyawan. Selama 19 tahun, sosok yang tegar ini
bekerja dari satu perusahaan ke perusahaan lain karena tuntutan ekonomi.

Waktu terkena PHK, saya benar-benar bingung. Mau ke mana masa depan saya dan keluarga? Sementara
saya masih punya tanggung jawab yang harus dituntaskan, terang anak kedua dari empat bersaudara ini.

Wiyana dikenal sebagai sosok yang peduli dengan kehidupan saudaranya. Uang hasil jerih payahnya
bekerja sebagian dia gunakan untuk membantu pendidikan adik-adiknya.

Dia rela mengorbankan kuliahnya di bidang farmasi demi melihat kakak dan adik-adiknya berhasil dalam
pendidikan. Saya lebih baik mengalah asal mereka bias menyelesaikan studi, ujarnya.

Di tengah kegamangan menghadapi cobaan hidup tersebut, Wiyana memutuskan memulai usaha pembuatan
sabun. Perempuan yang sekarang menginjak usia 54 tahun itu mengaku sudah jatuh cinta dengan dunia
kosmetik dan kecantikan sejak remaja.

Awalnya dia hanya membeli bahan baku yang sudah jadi, untuk kemudian dijual lagi kepada
konsumen.Waktu itu Wiyana mengaku kehidupannya memprihatinkan. Untuk makan saja susah,
kenangnya.

Usahanya menunjukkan perkembangan positif ketika dia berkenalan dengan supplier peralatan mandi untuk
hotel. Dalam waktu bersamaan, dia pun sempat mendapat pesanan sampo khusus untuk mencuci motor.
Ketika mendapat pesanan tersebut, Wiyana mengaku begitu semangat mengerjakan.

Saya angkut-angkut sendiri bahannya pakai celana pendek yang penting saya bisa memenuhi pesanan
tersebut, ujarnya seraya menunjukkan lokasi awal dia memulai usaha di sekitar tempat tinggalnya di
wilayah Bekasi, Jawa Barat.

Dari sana, usaha pembuatan sabun yang dilakoni Wiyana mulai berkembang. Pesanan mulai berdatangan.
Dari yang awalnya dikerjakan sendiri,Wiyana mulai mempekerjakan beberapa karyawan.

Namun, di saat usahanya mulai berkembang, masalah baru kembali menghampiri. Kali ini terkait dengan
biduk rumah tangganya. Pernikahan yang telah terbina bertahun-tahun dengan suami tercinta dan
menghasilkan dua buah hati kandas pada 2003. Saya kembali ke titik nol karena perceraian tersebut, tutur
perempuan yang memutuskan tetap sendiri hingga sekarang.

Namun, kehidupan harus tetap berjalan. Selepas perceraian tersebut, Wiyana kembali menggeluti usaha
pembuatan sabun. Ketika memulai lagi usahanya, dia mengaku banyak dibantu Bank Tabungan Negara
(Bank BTN), khususnya dalam permodalan. Wiyana mendapat gelontoran pinjaman modal dari Bank BTN
sebesar Rp. 300 juta.
Pinjaman itu dia manfaatkan untuk membuat pabrik kecil-kecilan dan membeli mesin produksi. Dari
pengembangan itu, usahanya kini tak hanya memenuhi pesanan peralatan mandi hotel, melainkan juga
melayani pemesanan dalam bentuk sabun jadi yang diminta para supplier.

Ibu dari Felisia dan Michel tersebut mengaku, perkembangan usahanya juga banyak dibantu anak
bungsunya. Michel banyak membantu pengembangan usaha saya dengan beragam inovasinya, katanya
bangga.

Saat ini beberapa inovasi produk yang dikembangkan adalah dengan membuat sabun-sabun transparan yang
memiliki cita rasa seni. Dalam sabun transparan tersebut bisa dibuat gradasi atau dimasukkan foto-foto. Juga
aneka bentuk hiasan lain seperti bentuk cocktail.

Beberapa produk sabun lainnya yang dikembangkan adalah sabun-sabun dengan bahan herbal, misalkan saja
dari daun sereh atau pepaya. Ke depan kita akan terus melakukan inovasi, kata Wiyana yang telah
mematenkan tiga produknya, freshmint untuk pasta gigi, we-ef untuk sabun, dan produk shampo.

Hingga sekarang produk usaha Wiyana telah menyebar ke mana-mana, bahkan hingga mancanegara.
Anehnya, Wiyana menyebut dia tak pernah menggunakan jasa sales untuk menjual produknya.

Ya, puji Tuhan pesanan datang dengan sendirinya tanpa perlu saya keluar dari rumah, kata perempuan
yang begitu yakin dengan berkah yang diberikan sang pencipta tersebut. Wiyana menjelaskan, penjualan
produknya setidaknya mampu meraih omzet Rp100 juta per bulan.

Usahanya juga mampu mempekerjakan 27 karyawan yang ratarata anak-anak kurang mampu dari
lingkungan sekitar usahanya. Untuk memperlancar operasional usahanya,

Dia mengaku menggunakan kendaraan Daihatsu Gran Max sejak setahun lalu. Meski kesuksesan sudah
diraih, kehidupan Wiyana tetap Sederhana. Dia hanya ingin kehidupannya bermanfaat bagi orang-orang di
sekitarnya.

Satu hal yang ingin saya tekankan dari kisah saya adalah, jangan menyerah dengan masalah. Justru
masalah itu harus kita hadapi. Dari sana, kita akan menjadi manusia yang lebih kuat, kata Wiyana.
Sukses Ukke Kosasih dengan Bisnis Boneka Handmade

Dengan berpikir kreatif, tercipta peluang usaha baru yang inovatif.


Serangkaian kata inilah yang menggambarkan kesuksesan Ukke Kosasih dalam
menjalankan bisnis boneka nusantara yang belum pernah ada sebelumnya di
Indonesia.

Memiliki posisi yang mapan di sebuah perusahaan internasional ternyata tidak


membuat Ukke, wanita lulusan Universitas Indonesia Jurusan Antropologi ini
merasa nyaman dengan segala rutinitasnya. Ia memilih mundur dari jabatannya
saat itu (Advisor campaign) dan memutuskan untuk memulai bisnis boneka
handmade di tahun 2006 silam.

Kisah sukses Ukke ini diawali ketika Ia pulang ke kampung halamannya


Cihanjuang, Bandung, dan tak sengaja bertemu dengan Wati (putri tukang
kebunnya) yang memiliki ketrampilan khusus dalam membuat kerajinan boneka.
Ukke yang pada dasarnya memiliki passion di bidang seni dan kerajinan tangan
pun mulai tertarik untuk membangun sebuah workshopboneka dengan
menggandeng kakak perempuannya Joanita dan dibantu oleh Wati.

Bermodalkan uang Rp 20 juta, Ukke membeli dua buah mesin jahit dan merekrut
tiga orang tenaga kerja untuk membantu proses produksi bonekahandmade.
Circa Handicraft dipilih sebagai nama workshop boneka yang dibangun Ukke
bersama dengan Joanita, Circa sendiri memiliki arti kurun waktu yang tidak akan
ada habisnya. Dengan filosofi tersebut, Ukke berharap jika bisnis bonekanya ini
bisa diwariskan ke para pegawainya yang rata-rata adalah perempuan kurang
beruntung di sekitar rumahnya.

Mengusung Boneka Nusantara sebagai produk unggulannya, Circa Handicraft


mengalami perkembangan yang cukup pesat dari tahun ke tahun. Ukke sengaja
memproduksi boneka-boneka lucu tersebut dengan memanfaatkan keahlian
tangan para pekerjanya, alias 100% handmade. Hasil karya para pekerjanya pun
masing-masing diberi nama yang cukup unik sesuai dengan daerah asal boneka
tersebut, misalnya saja seperti pasangan boneka Asep&Euis untuk boneka Sunda,
Kadir & Baria untuk boneka asal Madura, Putu & Sawitri untuk boneka dari
Bali, serta Jiun & Rodiah untuk boneka nusantara yang mewakili daerah
Betawi.

Kreativitas wanita kelahiran Subang 3 Januari 1966 ini ternyata tidak hanya
berhasil menciptakan kreasi boneka unik tetapi juga berhasil menyedot perhatian
masyarakat luas. Bahkan sebuah Departemen Store di daerah Kuta, Bali menjadi
salah satu pelanggan tetapnya yang memesan boneka lucu Putu&Sawitri lebih
dari 100 pasang secara rutin. Dengan harga jual boneka sekitar Rp 75.000,00
sampai Rp 150.000,00, Ukke dibantu dengan 17 orang karyawannya berhasil
mendapatkan omset puluhan juta rupiah setiap bulannya.

Kejelian Ukke dalam melihat sebuah peluang dan kreativitasnya dalam


menciptakan produk unggulan, berhasil mengantarkannya sukses jadi jutawan
berkat boneka nusantara. Semoga kisah pengusaha sukses yang telah kami
sampaikan bisa memberikan manfaat bagi para pembaca dan menginspirasi
masyarakat Indonesia untuk segera memulai usaha. Gunakan kreativitas Anda
untuk menciptakan peluang usaha. Maju terus UKM Indonesia dan salam
sukses.
sukses 3 Bersahabat dengan Bisnis Bed Cover Unik Simply Idea

3 Bersahabat : Dinar Esfandiari Santoso (38), Ira Karmawan (39), dan Rani Soegeng
(38), berkolaborasi membentuk Simply Idea, yang menyediakan perlengkapan kamar tidur
anak.

Ide mereka sederhana, tapi bisnis ini tidak sesederhana itu. Halangan demi halangan singgah,
tapi mereka tak menyerah. Malah, untuk memajukan usaha, mereka tak ragu berinvestasi
lebih dengan menyewa tenaga konsultan ahli.

Mencari Celah Pasar


Tiga bersahabat ini melihat, pemain di bisnis bedding kebanyakan dari luar negeri dan sudah
memiliki nama besar. Karena itulah, mereka tak ragu terjun untuk menjadi pemain lokal
yang unggul di bisnis ini. Namun, keberanian saja tidak cukup. Belum juga dimulai,
rintangan sudah menghadang. Mencari pegawai yang berkualitas ternyata tidak mudah.
Kami harus berburu SDM yang memiliki keterampilan menjahit dan mengaplikasikan
bordir sesuai standar kualitas yang telah kami tetapkan, ungkap Dinar, yang menggunakaan
bahan polos dan memberi aplikasi lucu kesukaan anak-anak. Aplikasi inilah yang kemudian
menjadi ciri khas Simply Idea.

Satu masalah teratasi, masalah berikutnya hadir: kehabisan modal. Mereka memang belum
mau meminjam dari bank, karena merasa belum sanggup berekspansi lebih luas. Selain ada
bunganya, kalau ada uang, kami takut jadi terlalu gampang mengeluarkan uang, sementara
kemampuan mengembalikan belum sampai di situ. Akhirnya, karena kebaikan hati seorang
anggota keluarga dari partner, kami dipinjami suntikan dana, boleh nyicil tanpa bunga,
cerita Dinar.

Tak punya background ilmu bisnis, mereka mencari-cari sendiri celah untuk memasarkan
produk. Beberapa kali mereka ikut bazar yang diadakan asosiasi asing di Jakarta. Tak hanya
mendapatkan konsumen, mereka berkenalan dengan peserta bazar lain dan mendapat info
tentang bazar mingguan yang diadakan sebuah mal. Di sanalah nama Simply Idea mulai
dikenal. Kami lalu memikirkan cara memperluas pasar. Coba-coba, kami hubungi sebuah
department store. Kebetulan, produk bedding seperti yang kami buat, belum ada di sana.
Mereka tertarik, namun syaratnya, dalam waktu satu bulan kami harus melakukan beberapa
revisi, sebelum produk kami bisa dipasarkan di situ, misalnya soal packaging dan cara
mencuci, tutur Dinar, yang waktu itu tak mengerti persyaratan masuk ke department store.

Dalam berbisnis, friksi-friksi kecil di antara partner, sih, dianggap biasa. Menyatukan
gagasan dari tiga kepala sudah pasti tidak mudah. Justru, mereka tak bisa membayangkan
harus mengarungi perjalanan bisnis tersebut tanpa didampingi partner. Dan, mereka memang
saling mengisi.

Sejak awal, masing-masing sudah memilih divisi yang sesuai dengan bidang yang disenangi.
Saya menangani marketing, Rani bertanggung jawab untuk produksi, sedangkan Ira
mengurus keuangan dan kepegawaian, tutur Dinar, yang bercerita bahwa mereka bekerja
secara profesional.

Ingin Manjakan Konsumen

Menjaga hubungan baik dengan pelanggan, sangat penting artinya bagi tiga sekawan ini.
Karena itu, mereka menyediakan layanan purnajual sebagai bagian dari komitmen untuk
memuaskan konsumen. Bentuk layanan itu misalnya membetulkan renda bedcover yang
terlepas. Tampaknya sepele, namun layanan ini membuat pelanggan Simply Idea merasa
diperhatikan dan dimudahkan. Bagusnya, hingga kini, tak banyak yang menggunakan
layanan ini. Karena, produk kami berkualitas tinggi, baik dari jenis kainnya maupun kerapian
jahitan di setiap bentuk aplikasinya, kata Dinar, yang menetapkan syarat dan ketentuan
untuk layanan purnajual tersebut.

Setiap 3 bulan, mereka meluncurkan produk baru. Kalaupun mereka merilis produk dengan
tema yang sama, motif yang ditampilkan pasti berbeda. Misalnya, tema mobil balap. Jika
sebelumnya menampilkan motif mobil A, kini pakai motif mobil B. Bisa juga mereka merilis
tema baru, contohnya princess. Semua aplikasi serba princess, dari seprai sampai kelambu,
lengkap dengan aplikasi bergambar tongkat peri. Sehingga, saat akan tidur, anak itu seolah
sedang berada di kastil, merasa jadi princess betulan.

Lalu, bagaimana dengan produk di department store yang belum terjual? Ditarik, lalu kami
gelar big sale selama 4 hari. Wah yang datang banyak banget, tutur Dinar, senang.

Dari keinginan memanjakan konsumen, mereka juga bisa membuat produk custom made.
Biasanya, konsumennya adalah ibu-ibu yang ingin mengisi kamar anaknya. Jatuhnya
memang jadi lebih mahal, karena harus membuat pola baru. Desainnya bisa mereka gambar
sendiri atau kami yang membuatkan, kata Dinar, yang membolehkan orang memesan via
website tanpa minimum order.

Karena banyak permintaan, sejak tahun 2006 Simply Idea membuat mukena untuk anak,
tetap dengan aplikasinya yang khas. Reaksi pasar luar biasa baik. Setiap awal tahun mereka
menyiapkan produk mukena baru. Dua tahun lalu, buyer menantang kami untuk membuat
baju muslim anak. Kami segera mencari konfeksi yang berbeda dari konfeksi untuk
pembuatan mukena. Sayangnya, karena tak mau kehilangan order, konfeksi itu melemparkan
ke konfeksi lain. Hasilnya benar-benar tidak sesuai. Saat itu kami mengalami kerugian
besar, kisah Dinar, yang ketika itu gagal menyerahkan produk kepada buyer tepat waktu.

Meski produk Simply Idea lucu-lucu, bukan berarti mereka main-main dalam berbisnis. Tak
tanggung-tanggung, mereka menyewa konsultan bisnis dan keuangan, yang membantu
meraih sederet target yang telah dirancang. Konsultan itu juga mengarahkan kami dalam
berstrategi, menerapkan sistem marketing paling efektif, membenahi keuangan, bahkan
memotivasi kami untuk terus maju, kata Dinar, yang baru menyadari, mereka bisa
menerapkan profit sharing, setelah keuangan usaha benar-benar sehat.

Salah satu hasil dari konsultasi tersebut, sejak beberapa bulan lalu Simply Idea menambah
kekuatan lewat sistem marketing online dan offline. Divisi online lebih banyak bersentuhan
dengan konsumen, misalnya memberi info tentang produk terbaru, mencari tahu animo pasar
terhadap produk mereka, dan mengumpulkan konsumen ketika ada event besar semacam
Inacraft atau big sale. Sedangkan marketing offline bertugas menjual produk kepada
konsumen yang tidak dapat dijangkau oleh sistem online, yang biasanya membeli dalam
jumlah besar. Untuk melakukan terobosan pasar di dalam dan luar kota, manajer
departemen ini secara bertahap akan punya 5 kaki tangan alias downline. Berbeda dari
MLM, sistem marketing ini hanya punya satu layer kaki saja, ungkap Dinar.

Mereka bertiga pernah mengungkapkan mimpi memiliki butik sendiri. Masalahnya hanya
satu, yaitu mendapatkan lokasi yang sesuai target pasar. Mereka ingin, lokasinya dilewati
banyak calon konsumen berdaya beli tinggi, yang tergolong impulsive shopper. Mengapa
ingin punya butik? Toh, karya mereka sudah masuk di department store ternama dan
dipajang di beberapa retail store. Di butik itu, kami bisa lebih mengembangkan desain dan
produk yang lebih variatif lagi. Konsep butik yang kami inginkan adalah toko yang cozy,
simpel, clean, dan didesain dalam bentuk kamar tidur anak yang cantik, cerita Dinar.

Sudah selama 5 tahun Simply Idea bekerja sama dengan Mothercare Indonesia, yang
seluruh produknya didatangkan dari Inggris. Mereka membuka kerja sama dengan
perusahaan lokal, untuk menjual produk yang tidak didatangkan dari Inggris. Misalnya,
kelambu. Orang Inggris kan nggak kenal kelambu atau bedong. Hanya, kelambu itu harus
disesuaikan warnanya dengan boks bayi yang diterbangkan dari Inggris. Ditambah lagi,
produk yang kami desain khusus untuk Mothercare Indonesia, tidak boleh ada di tempat
lain, kata Dinar, yang juga menjalankan sistem kerja sama konsinyasi dengan beberapa
retail.

Tawaran kerja sama dari luar negeri, seperti dari Australia dan Selandia Baru, terus mengalir.
Jumlahnya selalu bertambah. Tentunya, menjaring buyer dari luar negeri akan memperkuat
arus keuntungan. Sayangnya, sampai saat ini kerja sama itu belum bisa terwujud. Ada
beberapa kesepakatan yang sudah tercapai, misalnya tentang desain produk. Hanya, soal
harga, masih juga belum ada kata sepakat. Inilah yang menjadi satu-satunya kendala. Untuk
mengantisipasi masalah ini, kami sedang menyiapkan suatu konsep kerja sama baru, yang
nantinya akan kami tawarkan lagi kepada para buyer asing tersebut. Bentuk kerja sama: beli
putus, dengan keuntungan berimbang antara buyer dan produsen, kata Dinar.
Rafi Hartono; Sukses Mengolah Enceng Gondok jadi Barang Berguna
Kita tahu enceng gondok adalah tanaman yang hidup di rawa rawa dan banyak dari kita yang
kurang tahu tentang manfaat dari enceng gondok. Disini seorang anak muda bernama Rafi
Hartono bersama temannya mencoba memanfaatkan enceng gondok yang dianggap
sebagian orang sebagai tanaman pengganggu dan ia mencoba mengolahnya menjadi sebuah
mainan mobil-mobilan anak-anak yang terbuat dari enceng gondok.

Bersama dengan teman-temannya Rafi Hartono mencoba membuat mainan mobil-mobilan


dari enceng gondok sejenis Bemo. Melalui keuletannya, enceng gondok tersebut disulap
menjadi produk kreatif yang dapat mendatangkan pundi-pundi rupiah ke kantongnya.

Harapan Rafi bersama teman-temannya terkabul. Suatu ketika datang seseorang yang
menawar mobil-mobilan tersebut. Beberapa waktu kemudian, ia didatangi oleh Dinas
Pemuda dan Olahraga Semarang dengan tujuan membantu pemasaran dan pemberian
modal/dana usaha.

Produk kreatif yang ditawarkan oleh Geni Art diantaranya adalah lokomotif kereta yang
dijual dengan harga Rp 375 ribu, mobil bemo Rp 85 ribu, kotak tissue seharga Rp 35 ribu,
dan tutup lampu Rp 60 ribu.

kerajinan-enceng-gondokDalam soal pemasaran, Rafi mengaku tidak mengalami kesulitan.


Ia mengatakan membuat produk apa saja pasti akan laku, karena produk kreatif buatannya
banyak diminati oleh pembeli. Justru yang menjadi kendala utama usahanya adalah
terbatasnya SDM yang kreatif.

Kendala lain yang diungkapkan oleh Rafi adalah menciptakan model atau produk terbaru
bagi usahanya. Selama ini ia menciptakan model terbaru melalui ide kreatifnya sendiri
dengan melakukan berbagai percobaan atau melalui internet.

Soal modal usaha, Rafi juga tidak terlalu kuatir, karena saat ini ada bank yang bisa
memberikan modal bagi usaha kreatif yang dikelolanya. Bank yang disebut oleh Rafi adalah
Bank Mandiri.

Untuk meminjam pun tidak terlalu sulit. Sekarang sudah ada bank yang percaya pada
kerajinan enceng gondok yang ada di tempat kami, jadi agak mudah kalau mau mengajukan
pinjaman Bank.

Soal bahan baku yang biasanya dikeluhkan oleh para pengusaha, Rafi tidak mempersoalkan
masalah tersebut. Bahan baku enceng gondok bisa ia peroleh dengan mudah, karena di
tempat tinggalnya berdekatan dengan rawa yang memang banyak terdapat enceng gondok.

Jika dulu ia mencari sendiri enceng gondok tersebut, kini ia mengerahkan masyarakat
setempat untuk memenuhi kebutuhan eceng gondok itu. Biasanya ia membeli Rp 3.500/kg
enceng gondok kering atau Rp 1.500/kg untuk enceng gondok basah.
Agar enceng gondok bisa dipakai, enceng gondok harus dalam kondisi kering. Jika ingin
ecneng gondok yang berbentuk lembaran, maka pertama-tama kupas enceng gondok untuk
dibuang isinya. Setelah itu baru kemudian dijemur.

Proses pengeringan biasanya memakan waktu selama 3 hari. Yang perlu diingat dalam proses
pengeringan adalah jangan sampai enceng gondok bersentuhan dengan tanah karena akan
menimbulkan jamur. Jika sudah demikian, maka enceng gondok tidak bisa dipakai lagi.

Isi enceng gondok ternyata juga tak kalah bermanfaat dibanding kulitnya. Isi enceng gondok
yang telah dihancurkan kemudian dicampur dengan lem ternyata juga bisa bermanfaat untuk
membuat produk kreatif.

Setelah berbentuk bubur dan dicampur dengan lem, cetak bubur tersebut sesuai keinginan.
Salah satu produk Geni Art yang terbuat dari bubur isi enceng gondok adalah tutup lampu.

Dengan ide kreatif dan larisnya pembeli, dalam sebulan Rafi bisa memperoleh omzet sekitar
Rp 8 juta/bulan. Pengeluaran yang dikeluarkan untuk usaha ini-pun tidak terlalu besar. Untuk
memenuhi permintaan konsumen, dalam sebulan Rafi bisa menghabiskan 150 kg enceng
gondok, 10 kaleng lem (30 kg/kaleng), dan 50 kertas daur ulang.

Rafi berharap agar usaha kreatif enceng gondok semakin berkembang dan diharapkan dapat
mengurangi jumlah pengangguran. Kini, Rafi telah memiliki showroom sendiri di rumahnya.
Ia berharap kelak showroom tersebut bisa digunakan sebagai tempat untuk mengumpulkan
berbagai hasil kerajinan kretaif di tempatnya.

Jika Anda mempunyai ide kreatif, munculkan ide Anda dalam bentuk sebuah produk. Jika
sudah demikian, maka Anda akan mendulang kesuksesan yang sama seperti Rafi Hartono,
pemilik Geni Art.
Kisah Sukses Rozi dan Fadli dengan Sandal imucu

Ada pepatah, Kesuksesan lahir dari keberanian mengalahkan ketakutan. Mungkin idiom ini yang
menjadi pecutan bagi Fachrur Rozi dan Fadli hingga berani memulai sebuah usaha yang berawal dari modal
Rp 100.000 hasil bantingan bersama. Kini, Rozi dan Fadli sudah menangguk hasil dari perjuangannya
dalam waktu dua tahun ini. Dari Rp 100.000, dalam satu tahun saja, omzetnya sudah mencapai Rp 1 miliar.
Bahkan, saat ini dalam sebulan sedikitnya berhasil mencapai transaksi hingga Rp 600 juta.Usaha apa, sih,
mereka?

Berawal dari modal Rp 100.000, Rozi dan Fadli memulai usaha membuat sandal-sandal yang imut dan
lucu. Mereka menyebutnya imucu. Bentuknya macam-macam, ada hewan dan buah-buahan. Awalnya
mereka mencari agen dengan melakukan promosi di emperan. Makanya, tagline yang menjadi semangat
kami sekarang, from emperan to empire. Karena tadinya kami usaha di emperan, sekarang sudah jadi
empire, kata Rozi, yang menangani bidang pemasaran, kepada Kompas.com saat ditemui di ajang Pekan
Wirausaha di Balai Kartini, Jakarta Selatan, Minggu (11/4/2010).

Kesuksesan mereka tak hadir begitu saja. Sebelum memulai bisnis sandal-sandal lucu, Rozi dan Fadli
masing-masing pernah mencoba berbagai bidang usaha. Mulai dari usaha roti bakar hingga mi ayam. Saat
itu mereka juga masih berstatus sebagai karyawan di sebuah perusahaan. Dari yang semula hanya berdua,
sekarang kami sudah punya karyawan 50 orang dan punya tim kreatif sendiri. Ceritanya, saya dan Fadli lagi
sama-sama jatuh, punya utang banyak karena bisnis yang kami coba gagal. Tapi, saat itu masih kerja.
Penghasilan bulanan hanya buat nutup utang. Akhirnya, kami menemukan sebuah produk, uang Rp 100.000-
lah dipakai untuk buat prototipe sandalnya, kisah Rozi.

Kemudian, lanjut Rozi, mereka mengambil celah berpromosi dalam sebuah pameran franchise di Surabaya,
Jawa Timur. Lebih dari 500 brosur mereka bagikan di area parkir lokasi pameran. Sampai kami kejar-
kejaran sama anggota satpam karena yang ikut pameran aja bayarnya Rp 30 juta. Kami enggak bayar, kok,
seenaknya promosi, mungkin dilihat seperti itu. Akhirnya, dari hasil promosi, kami mendapatkan 10 agen,
katanya.

Setiap agen harus membeli paket seharga Rp 250.000. Uang sebesar Rp 2,5 juta dari 10 agen inilah yang
digunakan Rozi dan Fadli untuk memproduksi sandal lucu. Dari situ, order yang mereka terima semakin
tinggi. Dalam satu tahun pertama, usaha mereka praktis tanpa saingxcfhb

lhjan sehingga bisa mencapai pemasukan Rp1 miliar dalam satu tahun pertama. Tapi, dalam tiga bulan
pertama kami enggak dapat apa-apa. Semua keuntungan diputar lagi jadi modal. Bulan keempat baru kami
berpikir bahwa tenaga yang kami sisakan sepulang kantor untuk mbungkusin produk juga harus dihargai.
Akhirnya, ya, kami ambil keuntungan dibagi Rp 600.000 per orang. Berikutnya berlipat ganda, ujar Rozi.

Setelah melihat perkembangan bisnis yang pesat, Rozi dan Fadli mengambil keputusan untuk keluar dari
perusahaan tempatnya bekerja dan fokus menekuni usaha. Salah satu pengembangan yang dilakukan adalah
memproduksi kaus-kaus lucu bagi anak-anak dan produk sandal jepit unik bagi remaja. Untuk sandal lucu,
setiap agen bisa membeli 150 pasang sandal dengan modal Rp 2 juta. Sementara paket reseller, 15 pasang
dengan modal Rp 250.000.

Kini, semua usaha itu juga dipasarkan secara online melalui beberapa situs web, di
antaranya www.rajasendal.com dan www.myjapit.com. Memulai bisnis itu jangan takut, tapi juga jangan
ngawur. Sekali dua kali mungkin gagal, tetapi jangan berhenti. Biasanya mereka yang gagal berbisnis karena
mereka berhenti untuk mencoba lagi. Memulai usaha itu tidak selalu dengan modal besar, kata Rozi.
Sukses Fauziah dengan Kain Songket Raup Rp100 Juta/Bulan

BERAWAL dari meneruskan usaha orangtuanya, Fauziah, wanita berusia 54


tahun, merintis usaha industri rumahannya dengan membuat kain songket.
Pembuatan kain songket ini memang tidak mudah, dia harus mencari pinjaman
Usaha Kecil Menengah (UKM) dari BUMN untuk memajukan usahanya.

Tadinya hanya meneruskan usaha orangtua. Namun karena terbentur modal,


sempat berhenti, ungkap wanita berkerudung ini saat berbincang dengan
Okezone, beberapa waktu lalu.
Berkat konsistensinya memajukan kain tradisional, songket, Fauziah mendapat
suatu binaan dari PT PLN (Persero). Menurutnya, dia mendapatkan modal dari
PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebesar Rp21 juta. Nah itu saya
manfaatkan agar industri rumahan tersebut bisa berkembang lebih pesat lagi,
jelas dia.

Dengan pembinaan dari PLN, dia membanderol kain songket buatannya yang
berkisar Rp1 juta hingga Rp4 juta. Menurutnya, penjualan kain songket cukup
menjanjkan. Dia pun dapat menjual tidak kurang 40 potong kain songket per
bulannya. Sehingga laba hasil usahanya dapat mencapai Rp100 juta per bulan.

Tapi kalau lagi ramai sekali, sebulan bisa mencapai 40 potong. Kalau lagi biasa
saja, mungkin 20 potong sampai 30 potong saja, paparnya.

Kualitas itu Penting

Cara pemasaran kain songket pun tidak dilakukan dengan biaya mahal. Dia
menuturkan, kain songket buatannya cukup dikenal berkat pelanggan-
pelanggannya yang puas akan hasil karyanya. Orang-orang tahu bisnis saya dari
mulut ke mulut. Nah, kalau kualitasnya tidak bagus, nanti orang tidak mau balik
ke sini lagi dong, katanya.

Fauziah mengatakan, guna menjaga kepercayaan pelanggan, maka kulitas kain


songket buatannya selalu dijaga. Menurutnya, hal tersebut cukup ampuh untuk
menyiasati persaingan usaha sejenis yang tentunya cukup banyak di Palembang.
Kalau dibanding dulu, lebih maju sekarang (industri rumahan kain songket).
Pokoknya kita strateginya, kualitas kainnya supaya tetap terbaik, jelas dia.

Selain itu, dia kerap melakukan pelatihan kepada 15 orang pegawainya, untuk
dapat membuat kain songket tersebut dengan baik. Ini dilakukan agar kualitas
kain songketnya tetap terjaga. Selain itu, guna menjaga persaingan dengan
produk serupa, dia tidak mematok harga kain terlalu tinggi. Baginya asalkan kain
songketnya banyak laku terjual, itu sudah cukup baginya.
Kalau saya prinsipnya tidak mau jual terlalu mahal. Standar saja, yang penting
banyak terjualnya, tapi kualitasnya harus dijaga juga, jelas dia.

Dia menambahkan, guna menarik banyak pemasukan, maka dia juga mempunyai
pekerjaan sampingan yang masih masih berhubungan dengan kain songket. Ibu
dua anak yang berdomisili di Palembang ini, menyiasati usaha kain songketnya
dengan jasa menjahit baju dari kain songket yang dijualnya.

Pasalnya, tidak jarang pelanggan memintanya untuk membuatkan baju berbahan


kain songket tersebut. Menurut dia, keindahan kain songket yang begitu
mempesona membuat banyak orang ingin memiliki baju yang berbahan kain
tradisional asal Sumatera tersebut. Fauziah menjelaskan, setelah merintis usaha
industri rumahan tersebut selama 30 tahun tersebut, maka penjualan kain songket
tidak lagi dipusatkan di daerah Palembang.
Meski kain songket buatannya belum beredar di luar negeri, namun dia senang
orang di berbagai penjuru di Indonesia dapat merasakan hasl karyanya. Kita
hanya kirim untuk ke Jakarta, sama Medan. Tapi paling banyak ke Jakarta,
katanya.

Kunci Mempertahankan Pelanggan

Selain modal uang, menurutnya modal kejujuran juga penting dalam merintis
sebuah usaha. Dia meyakini usahanya bisa sampai seperti saat ini bukan semata-
mata hanya bermodalkan uang. Namun juga kejujuran yang selalu dijaga,
sehingga para pelanggan selalu kembali untuk membeli kain songket buatannya.

Pokoknya yang penting kalau mau usaha itu jujur. Misalnya kain songketnya
ada cacat sedikit, ya saya bilang. Lalu harganya saya kurangin. Kalau misalkan
saya bohongin dengan harga tetap mahal, padahal kainnya cacat, nanti orang atau
pelanggan saya merasa tertipu, nanti tidak mau balik ke saya lagi, jelas dia.

Meski demikian, hingga saat ini dia masih berharap usahanya dapat
dikembangkan luas dan dapat go international. Saya harap nanti kain songket
buatan saya bisa diekspor. itu impian saya, tutup dia.
Sukses Made Donny Mengembangkan Moena Fresh

Meski sudah disiapkan rumah oleh orang tuanya saat kuliah di IPB, Bogor, Made Donny justru memilih
kluyuran ke rumah kos teman-temannya dan berkebun melon. Lantaran itu, hampir semua teman
seangkatannya mengira dia sudah kena drop out (DO) karena kesibukannya bertani melon di lahan di sekitar
Darmaga, Bogor.

Namun dia mampu membalikan dugaan miring para sahabatnya itu. Melalui pendekatan cerdik dan tanpa
kenal lelah akhirnya anak mantan Gubernur BI almarhum I Nyoman Moena ini berhasil menyelesaikan
kuliahnya. Saya berhasil meluluhkan dosen-dosen saya saat saya ajak mengunjungi kebun melon saya,
papar Dony. Memulai bejalankan bisnis sejak lama, Dony kenyang jatuh bangun mengembangkan buah-
buahan lokal.

Dia mengaku bisnis yang ditekuni baru kelihatan sejak tahun 2000. Ketekunan dan kerja kerasnya kini
menghasilkan 10 outlet buah-buahan dan 2 outlet juice yang tergabung dalam merek Moena Fresh. Kerja
keras, tekun, fokus dan semangat untuk berubah merupakan senjata ampuh dalam meraih sebuah impian
menjadi kenyataan, ujar pria yang tak putus menjalin teman-teman sejak dari SD hingga kuliah. Baginya
teman adalah modal yang sangat berharga selain keluarga. Dia merasakan besarnya dukungan para sahabat
saat mengembangkan usaha.

Dony mulai merintis kebun Melon sejak tahun 1983, dengan modal Rp 4 juta. Sukses, dia terus menerus
mengembangkan kebun melon di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali dan terakhir di Lampung.
Selama 1983 sampai dengan 1993, saya telah memiliki lebih dari 20 lokasi, dengan luasan seluruhnya
mencapai 200 hektare, paparnya. Dia mengklaim mampu memasok sekitar 40 persen kebutuhan melon di
Jakarta, Bandung, Surabaya dan Bali. Di tahun 1985, ia mulai menanam semangka tanpa biji di Banyuwangi
dan Muntilan. Pada areal sekitar 100 hektare dengan bekerjasama dengan para petani, Doni memasok sekitar
20 ton hingga 25 ton per hari. Sembari membudidayakan buah-buahan, tahun 1990 melalui bendera UD
Moena Fresh, dia mulai membuka toko buah-buahan di Bali. Selanjutnya, saa 1995 dia membentuk PT
Moena Putra Nusantara (MPN) yang bergerak sebagai supplier buah-buahan. Langkah ini dilakukan
dengan membeli beberapa kios di Pasar Induk Jakarta dan pasar induk Caringin, Bandung.

Usahanya tergolong moncer ketika itu. Apalagi dia berhasil merintis ekspor buah lokal. Sekitar 150
karyawan yang tersebar di Bandung, Jakarta dan Denpasar menggantungkan diri pada usahanya. Namun,
serbuan hypermart asing menggerogoti pasarnya. Puncaknya saat berlangsung krisis moneter 1997. Tahun
1997, saya mengambil keputusan penting. Kegiatan di Bandung saya tutup. Sebesar 30 persen modal
digunakan mempertahankan usaha di Jakarta. Sisanya yang 70 persen untuk membuka toko buah-buah di
Bali secara bertahap, ujar dia. Bali dipilih karena selain untuk konsumsi, buah-buahan juga untuk
keperluan upacara.

Langkah Dony terbukti cermat. Kini dengan mengelola 12 outlet Moena Fresh yang memperkerjakan
250 karyawan memiliki omset sekitar Rp 4 miliar per bulan. Sedang bisnis suplier buah-buahan dengan
bendera PT MPN yang memperkerjakan 70 karyawan memiliki omset sekitar Rp 750 juta per bulan. Donny
berencana bisa menambah satu toko tiap tahun sehingga 2014 nanti Moena Fresh mampu membuka
lapangan perkerjaan untuk 500 orang karyawan. Mudah-mudahan obsesi saya membuka outlet di Australia
juga bisa segera terwujud, papar pria yang sehar-hari lebih suka mengenakan kaos dipadukan dengan
celana jeans dengan handuk kecil di leher ini.
Dari modal 100rb kini memimiliki omzet jutaan

PERNAH berfikir untuk membuat sesuatu yang berbeda, menjualnya dan bahkan bisa
menjaditrendsetter? Hal ini yang dialami oleh Ita Yudi. Seorang Wanita yang pada awalnya merintis
menjadi pekerja kantoran alias wanita karir yang kemudian banting setir menjadi wirausaha
mandiri yang mempekerjakan banyak orang.

"Awalnya saya kerja di kantor, sebuah perusahaan yang berurusan dengan proyek-proyek. Isinya
laki-laki semua, jadi tidak ada yang menggunakan assesoris. Akhirnya kerja seperti itu tidak enak.
Nganggur," ucapnya mengawali cerita ketika ditemui okezone di standnya dalam sebuah pameran
yang baru-baru ini diadakan di Smesco center, Jakarta.

"Nah, saya kan pakai jilbab. Dan dari awal sudah hobi membuat asesoris. Mencoba-coba. Awalnya
saya ingin punya bros buatan sendiri. Trial and error terus sih, tapi terus di coba," imbuhnya.

Bahan yang awalnya digunakan adalah untaian kawat-kawat dan manik-manik yang kemudian
dirangkainya. Entah itu menjadi bunga, bentuk binatang, atau bentuk abstrak yang menurutnya
layak untuk dijadikan hiasan. Selain dari kawat, dirinya juga mengaku membuat dari bahan lain
seperti kain yang berasal dari limbah garmen, dan juga lilin atau clay.

"Saya buat dari semua bahan. Seperti yang sering saya buat ini dari metal, kawat. Ada juga yang
dari benang wol dirajut, kain bekas limbah garmen, dan clay," terangnya.

Memang, bahan-bahan tersebut terlihat sangat sederhana dan mudah sekali untuk mencarinya.
Seperti kawat misalnya, yang dengan mudah bisa kita temukan di pasar-pasar. Limbah garmen yang
juga dengan mudahnya bisa didapatkan dari perusahaan garmen yang membuang sisa kainnya.

Diakuinya, untuk memulai usaha seperti dirinya, memang tidak membutuhkan banyak modal.
Dirinya menuturkan, untuk memulai usaha ini dulu hanya cukup bermodalkan selembar uang Rp100
ribu saja.

"Modal untuk ini, sederhana saja. Malahan kalau sudah punya tang yang sebagai alat sudah bisa.
Paling dulu modal Rp100 ribu," ungkapnya.

"Kalau kawat, dulu waktu saya memulai usaha ini kawat seperti ini memang jarang. Tapi sekarang
sudah banyak sekali yang jual. Sekarang dimana-mana orang jual. Rp10 ribu juga sudah bisa buat
beli kawat," ungkapnya lagi.

Dirinya menunjukkan kawat kecil sebagai alat yang digunakan untuk membentuk material serta
kawat-kawat yang digunakan sebagai dasar pembuatan bros-bros tersebut. Kawat kecil dengan ujung
lancip itu digunakan untuk membentuk dan membengkokan kawat sehingga membentuk suatu
bentuk yang diinginkan.

Dalam setiap usaha, tentunya semua tidak langsung berjalan dengan lancar. Hal itu pula yang
dialami oleh Ita. Awalnya, dalam sehari dirinya hanya mampu menjual satu sampai dua pieces bros.
Jadi dalam sebulan, rata-rata dirinya hanya bisa menjual sebanyak 20 pieces bros.

Namun, saat ini hal tersebut sudah tidak berlaku lagi dalam kamus usahanya. Diakuinya, animo
masyarakat terhadap kerajinan assesoris ini meningkat. Terbukti dari jumlah yang dihasilkannya
laris manis terjual bak kacang goreng.
"Dulu, yang tertarik jarang sekali. Sekarang yang tertarik banyak. Sekarang tidak usah deh keluar
negeri, di Indonesia juga sudah banyak kok. Lebih bagus dan juga lebih murah. Tidak usah ke
Bangkok dan China. Kita sudah bisa menyaingi kok," ucap Ita optimis.

Memang, dari segi harga bros yang dijualnya sangat bervariasi. Untuk yang motif sangat sederhana
dibandrol dengan harga Rp2.500 sampai Rp10 ribu. Namun, jika yang bentuknya agak rumit dan
menggunakan banyak material serta batu-batuan, bahkan ada yang menggunakan kristal swarovski
harga bisa selangit alias bisa mencapai Rp500 ribu.

Bentuk yang dimaksud memang rumit. Dengan detil yang sangat kecil dan sempurna, dibagian
tengahnya ditambahkan bebatuan yang senada dengan warna kawat dan manik-manik. "Saya juga
mengangkat kekayaan Indonesia. Karena ada batu-batu yang berasal dari Indonesia, yang tidak
kalah bagusnya. Tapi ada juga yang menggunakan kristal swarovski. Per pieces harganya Rp2.500
sampai 500 ribu," jelasnya.

Kesulitan yang dihadapinya tidak sampai disitu, kadang material yang dibutuhkannya tidak terdapat
di Indonesia. Sehingga dirinya harus memesan material tersebut dari China. Bersyukurlah kini,
pesanan terus berdatangan. Jumlahnya bisa sampai ribuan, sehingga dengan sendirinya para
distributor tersebut mendatangkan langsung material-material tersebut tanpa harus melalui
pemesanan terlebih dahulu.

"Kendala, material kan 75 persen dari China. Tapi karena sekarang pesanan sudah banyak dan juga
banyak yang sudah memulai bisnis serupa, jadi para distributor material ini sudah ada dengan
sendirinya," akunya.

Dengan usahanya tersebut, ibu dari tiga orang anak ini memiliki 40 karyawan binaan yang
membantunya dalam merangkai berbagai jenis bahan yang akan dijadikan asesoris terutama bros.

Dirinya tidak membutuhkan sebuah toko besar atau kios dalam menjajakan bros-brosnya. Di
rumahnya yang terletak di daerah Kalimalang merupakan "pabrik" sekaligus tempatnya memajang
bros-brosnya. Selain itu, dirinya juga rajin melakukan kerja sama dengan butik-butik yang banyak
terdapat di ibu kota. "Pekerja rata-rata ibu rumah tangga biasa yang masih radius kecamatan lah,"
ucapnya.

Saat okezone berusaha mencari tahu lebih jauh, berapa pendapatan per bulannya saat ini, dirinya
enggan berbagi lebih jauh. Karena menurutnya bisnis seperti ini tidak bisa dihitung secara pasti.
Namun menurutnya, per bulan dirinya bisa menjual hingga ratusan aneka macam asesoris.

Terakhir, dalam hal pemasaran produk, dirinya mengingatkan untuk bisa menjadi yang berbeda
diantara sekian banyak pesainganya. Banyak melihat, membaca dan memperhatikan pasar adalah
kunci kesuksesannya.

"Kita harus menjadi yang berbeda. Banyak membaca, entah dari buku atau bisa juga browsing di
internet," tandasnya. (and)
Modal 1 Juta, Sutarpi Raup Omzet Puluhan Juta dari Tas
Berbahan Lidi

Dari masa ke masa, tas menjadi perlengkapan tak terpisahkan bagi kaum hawa. Dalam setiap
aktivitasnya, perempuan selalu menenteng barang satu ini. Jangan heran jika produsen tas
juga rajin menggelontorkan model baru ke pasar.

Bahkan, untuk membuat produk ini berbeda, tak jarang produsen melakukan berbagai
inovasi. Salah satunya, membuat tas dari bahan sapu lidi. Salah satu produsennya adalah
Sutarpi.

Ide membuat tas drai lidi ini terbersit dui benak Sutarpi saat ia mencari bahan baku tas yang
lebih murah. Ketika krisis, saya mencari ide mendapatkan bahan baku tas yang murah,
tutur perempuan yang telah menggeluti usaha produksi tas sejak 1994 ini.

Bermodalkan duit Rp 1 juta buat membeli batang-batang lidi, sejak awal 2008, perempuan
berusia 35 tahun ini mulai menjalankan produksi tas berbahan baku lidi.

Dibantu empat orang karyawan, Sutarpi merangkai batang-batang lidi menjadi sebuah tas.
Tentu, batang lidi itu sebelumnya telah diwarnai agar lebih menarik.

Di kawasan Wirobrajan, Yogyakarta, Sutarpi mulai memperkenalkan tas lidi buatannya itu ke
masyarakat.Meski terbilang barang baru, ternyata banyak yang kecantol dengan tas lidi
Sutarpi.

Dalam waktu singkat, ia bisa meraup omzet Rp 300.000 sehari dari jualan tas lidi. Ini kan
jenis baru. Jadi, banyak orang suka dengan tas lidi saya, katanya.

Permintaan yang terus meningkat memaksa Sutarpi menambah jumlah karyawannya menjadi
enam orang. Bahkan, ia kadang harus menambah jumlahnya menjadi 10 orang, jika ada
pesanan dalam jumlah besar.

Sejauh ini, Sutarpi relatif tidak menemui kesulitan soal pasokan bahan baku. Sebab, selain
harga lidi relatif murah, barangnya juga mudah didapat.Saya membelinya di pasar,
ujarnya.

Pembeli dari India

Setiap hari, Sutarpi mampu memproduksi 10 model tas dengan jumlah total 100 unit.
Namun, jika ia kebetulan sedang membuat model agak susah, produksinya hanya 50 tas per
hari. Harga tas bervariasi, mulai Rp 10.000 hingga Rp 30.000 per unit, tergantung model dan
kualitas.

Sutarpi mengaku bisa meraup omzet sampai Rp 750.000 per hari.Marjin masing-masing tas
mulai dari Rp 2.000 sampai Rp 5.000, ungkapnya.

Selama ini, pembeli tas lidi Sutarpi tak terbatas pada masyarakat Yogyakarta. Ada beberapa
pelanggan dari Jakarta, Medan, bahkan India.Pembeli dari India rutin memesan setiap tiga
bulan sekali, katanya bangga.

Bicara soal pemasaran, Sutarpi menggunakan dua cara: tradisional dan modern. Cara
tradisional adalah dengan menjajakan sendiri barang dagangannya hingga menitip ke kios.
Sedangkan cara modern, ia memasarkan produknya lewat dunia maya. Tapi, selama ini,
promosi lewat internet masih belum maksimal, akunya.

Bagi Anda yang tertarik mencoba bisnis tas lidi ini, ada beberapa tip menarik dari Sutarpi.

Pertama, siapkan modal minimal Rp 1 juta buat membeli bahan baku lidi. Perkiraan saya,
uang segitu mampu memproduksi hingga 50 tas lidi per hari, ujar Sutarpi.

Kedua, cari pekerja yang ulet dan mahir merangkai lidi menjadi tas nan apik. Maklum,
membuat tas ini cukup sulit.

Ketiga, Anda harus jeli melihat selera pasar yang mudah berubah.Makanya, sekarang saya
memadukan bahan lidi dengan aksesori akar wangi, enceng gondok, dan bahan lainnya,
papar Sutarpi.(Dessy Rosalina/Kontan)

KESIMPULAN :

Dalam berwirausaha perlu ada inovasi-inovasi baru yang unik agar bisa menarik daya
beli konsumen. Dengan demikian usaha yang digeluti pasti akan mengalami kemajuan dan
mencapai suksses.
Heru, Kreasi Miniatur Kendaraannya Hasilkan Puluhan Juta Rupiah

Jangan membuang potongan kayu bekas yang berserakan di sekitar Anda. Alih-alih menjadi sampah, potongan kayu
tersebut bisa menghasilkan fulus cukup lumayan.
Heru Harmanta, pemilik Agung Handicraft, telah membuktikannya. Bermula dari upaya mengutak-atik potongan
kayu yang berserakan di rumahnya, is kini dikenal sebagai pembuat miniatur kendaraan seperti mobil dan motor yang
memiliki nilai jual tinggi.

Bermodal awal sekitar Rp 2 juta, kini lelaki berusia 39 tahun ini mampu meraup omzet puluhan juta per bulan dari
bisnis ini.Maklum, meski terlihat sepele dan gampang dibuat, ternyata cukup banyak orang menggemari miniatur
kendaraan bikinan Heru.

Ketika memulai usahanya, Heru hanya dibantu dua orang karyawan untuk membuat miniatur tersebut. Setiap bulan, ia
cuma mampu memproduksi sekitar 100 miniatur.

Lantaran produksinya masih terbatas, Heru hanya menawarkan produknya ke kawasan wisata terdekat, yakni
Malioboro dan Candi Prambanan.Awalnya, banyak orang masih menganggap aneh, tapi akhirnya mereka suka juga,
katanya.Dari hasil jualan miniatur ini, Heru meraup omzet sekitar Rp 2 juta.Saya baru balik modal dalam delapan
bulan, ujarnya.

Tapi, itu cerita lalu.Saat ini, bisnis Heru terus merangkak naik.Sekarang, omzetnya sudah mencapai Rp 35 juta sampai
Rp 60 juta per bulan.Jumlah karyawannya telah bertambah menjadi 15 orang.Kapasitas produksinya kini telah
meningkat menjadi sekitar 1.000 miniatur per bulan, bahkan bisa lebih besar lagi.Memang, belakangan ada
penurunan 20% karena krisis global, kata Heru.

Heru mengaku mengambil marjin yang lumayan besar dari usaha ini.Harga jual miniatur ini sekitar enam kali lipat
dari harga bahan baku.Kalau dihitung, marjinnya bisa sampai 200 persen, beber Heru.Adapun bahan bakunya adalah
kayu sono keling, mahoni, dan jati.Lantaran cuma sisa potongan kayu, harganya terbilang murah.

Untuk memasarkan produk ini, Heru sering mengikuti pameran dan bekerjasama dengan dinas pariwisata dan industri
setempat untuk mendapatkan pasar potensial. Ia mengaku, sulit mencari pasar jika bergerilya sendiri. Sebelumnya,
saya sempat memasarkan ke toko toko besar.Tapi, hasilnya tak seberapa karena tak ada lonjakan permintaan, ujarnya.

Kreatif bikin model

Agar pasarnya semakin luas, Heru juga berjuaIan lewat internet. Berkat rajin ikut pameran dan berjualan di dunia
maya, Heru sudah mengekspor produknya ke Eropa, Australia, Amerika Serikat, Asia, dan Timur Tengah.
Pengunjung di pameran internasional terlihat antusias membeli produk saya, ujarnya sumringah.

Kini, Heru memiliki kurang lebih 115 model miniatur kendaraan aneka ukuran. Harganya mulai dari Rp 3.000 sampai
Rp 300.000 per unit. Sejauh ini, model ,yang paling diminati pembeli adalah motor Harley Davidson.

Jika ingin menggeluti bisnis ini, pria yang sempat mengecap bangku kuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM) ini
punya saran.Modal awal menekuni bisnis ini sekitar Rp 2 juta, ujarnya.Menurutnya, uang sebesar itu cukup untuk
membuat 200 unit miniatur.

Modal lain yang tak kalah penting adalah kreativitas membuat model, dan jeli mencari celah pasar. Maklum, saat ini
pesaing di bisnis ini lumayan banyak.Ada sekitar 21 pemain. Kebanyakan bekas karyawan saya, imbuhnya.

KESIMPULAN :
Untuk mencapai sukses dalam berwirausaha tidak selalu harus menggunakan modal yang besar, dan peralatan
yang lengkap. Modal yang terbatas pun bisa mencapai sukses asal ada inovasi dan kreativitasdan juga jeli dalam
mencari celah pasar.

Anda mungkin juga menyukai