Anda di halaman 1dari 6

TONTON TAUFIK MEMBANGUN BISNIS ROTAN

Pada usia 26 tahun, Tonton Taufik menjadi calo mebel rotan. Meski begitu,
keinginannya untuk jadi pengusaha tak pernah pupus. Akhirnya, keinginan Tonton itu
terwujud melalui Rattanland Furniture. Semua itu dimulai pada tahun 1999. Tonton, yang
kala itu berusia 26 tahun, mengikuti seminar mengenai segmentasi pasar yang diadakan oleh
Rhenald Kasali. Seminar ini, menurut Tonton, ternyata mendatangkan inspirasi bagi dirinya.
”saya mendapatkan ilham untuk berdagang rotan,” ujar Tonton.
Tonton yang saat itu haus akan pengetahuan tentang trik penjualan dan pemasaran
rotan pun memutuskan untuk belajar. Selang beberapa bulan, bapak dua orang anak ini
mengambil kursus di Pusat Pelatihan Ekspor Indonesia (PPEI). ”Di situ saya belajat tentang
kontak bisnis melalui internet,” paparnya. Merasa belum cukup, Tonton pun melanjutkan
pelajaran tentang cara pembuatan website di Bandung.
Pada bulan Oktober 1999, ia mendirikan Rattanland Furniture. Modal yang
dikeluarkannya untuk memulai usaha ini adalah satu buah komputer lengkap dengan fasilitas
Internet. ”Modal awal saya kira-kira Rp 5 juta,” kata Tonton. Tonton memanfaatkan
modalnya untuk membuat website sendiri. Pesanan dari luar negeri akhirnya mampir ke
website Tonton: Hanya, Tonton yang saat itu belum mengerti soal dokumen ekspor memilih
untuk menjadi calo mebel rotan. Selama setahun, Tonton menjalankan pekerjaan sebagai
calo, tapi ia tetap belajar mengenai produksi dan ekspor rotan.
Pada tahun 2000, Tonton memberanikan diri untuk terjun langsung sebagai eksportir.
Tapi, langkah nekatnya tidak berjalan mulus.Pertama kali mengirim produk ke luar negeri,
ternyata konsumennya langsung mengajukan klaim. Pembeli Tonton itu menganggap kualitas
mebel rotan buatannya buruk. Jadi, Tonton wajib mengganti setiap produk yang rusak.
Walaupun sempat putus asa, Tonton tetap berusaha. Ia yakin bahwa masa depan cerah
akan menanti bisnisnya. Pesanan sebanyak empat kontainer menghampiri Rattandland.
Berkat pesanan itu, seluruh utang dan kerugian yang sebelumnya diderita Tonton bisa
terbayar lunas.
Tonton tak berhenti bermimpi. Obsesi Tonton yang terpendam adalah menaikkan
jumlah kontainer untuk ekspor. ”Harapan saya, di tahun 2008, target ekspor bisa mencapai 30
kontainer per bulan,” katanya. Untuk mencapai target itu, Tonton tak segan-segan terus
belajar mengenai rotan. Ia juga selalu mencoba hal baru, misalnya saja mengombinasikan
rotan dengan pelepah pisang, rumput laut, abak dan enceng gondok untuk mebelnya. Tak
lupa, menurut Tonton, ia harus mengikuti perkembangan desain dam kebutuhan pasar yang
ada.
RAIH UNTUNG BERBISNIS TANAMAN TERARIUM

Kisah sukses kali ini berasal dari Bogor Jawa Barat. Raden Nanda Teguh Perkasa
adalah seorang lulusan dari Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Padjajaran
yang telah berhasil membuat usahanya sendiri pada bidang tanaman hias.
Awal mula Nanda terjun dalam bisnis tanaman terarium dimulai pada akhir tahun
2011. Ketika itu ia mendapatkan ide untuk membangun sebuah kebun kaktus. Namun, karena
tidak terlalu menyukai kegiatan berkebun, maka Nanda memilih bergerak pada bidang
agribisnis hilir, yaitu membuat tanaman terarium. “Saya sangat menyukai desain dan saya
lebih suka untuk membuat tanaman terarium sekaligus untuk menyalurkan hobi” kata beliau.
Pada tahun 2013, Nanda mendirikan gerai bernama a little of Gardenia. Pada saat itu
meskipun sudah memiliki gerai tapi bisnis yang dikembangkannya tidak begitu berkembang
pada bulan – bulan pertama. Nanda menduga bahwa mendeknya bisnis tanaman terarium
yang ditekuninya karena belum profesional dalam mengatur kas keuangan. Pada saat itu
beliau memang tidak pernah menghitung pengeluaran dan pemasukan dan mengalami
kerugian sekitar Rp 500.000 setiap bulannya. Namun hal tersebut tidak mematahkan
semangat pemuda yang berasal dari Sukabumi ini. Beliau terus menjalankan usahanya hingga
sampai pada tahun 2012 Nanda dipertemukan oleh Kepala Bidang Florikultur di acara
Agronomi Fair 2012 dan dipertemukan dengan para pebisnis yang telah sukses membangun
usahanya. Pada acara itulah Nanda banyak mendapatkan pencerahan tentang bagaimana
menjalankan sebuah bisnis dengan baik dan benar.
Nanda berkata bahwa ia sangat ingin untuk mengembangkan bisnisnya untuk lebih
baik lagi. Oleh karena itu salah satu langkah yang dilakukannya adalah membuat a little of
Gardenia menjadi badan hukum dan menjadi sebuah merek. Untuk meningkatkan penjualan
tanaman terarium miliknya, Nanda sering melakukan promosi melalui media daring atau
online. Nanda merasa bahwa melakukan promosi melalui media online adalah promosi yang
sangat efektif dan efisien karena modal yang digunakan sangat kecil dan jangkauan
promosinya sangat luas. Untuk penjualan secara offline atau secara langsung, Nanda sering
mengikuti acara pameran atau bazar. Kadang juga Nanda memanfaatkan momen – momen
tertentu untuk mendongkrak penjualannya. Misal pada momen acara wisuda, hari – hari besar
seperti hari raya idul Fitri dan juga hari ulang tahun Kemerdekaan Indonesia. Nanda juga
sering menerima order terarium untuk cendra mata pernikahan.
Nanda memilih berbagai macam tanaman hias kecil dengan warna warni cantik
seperti kaktus, echeveria, opuntia,lithops dan cryptanthus untuk diisi pada wadah tanaman
terarium. Tanaman – tanaman hias tersebut Nanda dapatkan dari para petani di Lembang 
Jawa Barat.
Nanda mempunyai harapan bahwa suatu saat di masa depan setiap rumah di Indonesia
memiliki satu produk tanaman terarium dari a litte of Gardenia miliknya. Harapannya ini
terispirasi dari Steve Jobs pendiri Apple Inc yang produknya tersebar luas di seluruh penjuru
dunia.
CERITA PARIDI, MANTAN PEMULUNG BEROMZET MILIARAN SETELAH
SUKSES TANAM PORANG

Dahulu Paidi hanya dikenal sebagai sosok pemulung yang tinggal di Desa Kepel,
Kecamatan Kare, Kabupaten Madiun. Rumahnya saat itu berdinding anyaman bambu dan
berlantai tanah. Namun, sejak tiga tahun terakhir, nasib Paidi berubah total. Semenjak
kegetolannya mengembangkan porang (sejenis umbi yang dapat dijadikan bahan makanan,
kosmetik, dll), Paidi membuka banyak mata petani. Tak hanya sukses berjualan porang
hingga luar negeri, Paidi juga memberikan modal bagi petani-petani di kampung halamannya
yang ingin mengembangkan porang.
Paidi menceritakan awal mulanya mengenal porang. Ia pertama kali mengenal porang
saat bertemu dengan teman satu panti asuhan di Desa Klangon, Kecamatan Saradan,
Kabupaten Madiun, sepuluh tahun silam. Di rumah temannya, Paidi dikenalkan tanaman
porang yang dibudidayakan warga setempat. "Setelah saya cek, ternyata porang menjadi
bahan makanan dan kosmetik yang dibutuhkan perusahaan besar di dunia," ungkap Paidi.
Setelah belajar dari temannya, Paidi kemudian mencari berbagai informasi tentang porang di
internet. Dari pencariannya di dunia maya, Paidi menyimpulkan porang merupakan
kebutuhan dunia. Melihat peluang itu, Paidi mulai memutar otak. Sebab, tanaman porang
yang dikembangkan di Saradan rata-rata tumbuh harus di bawah naungan pohon lain. Kondisi
itu menjadikan panen tanaman porang memakan waktu yang lama hingga tiga tahun.
Saat hendak mengembangkan porang di kampung halamannya, Paidi mengalami
kendala lantaran kondisi lahan pertaniannya berbukit-bukit. Padahal, rata-rata petani porang
di wilayah lain mengembangkan tanaman itu di bawah naungan pohon keras seperti pohon
jati. Berbekal pencarian di Google, Paidi mendapatkan banyak ilmu tentang bagaimana
mengembangkan porang di lahan pertanian terbuka. Hasil pencarian itu lalu dikumpulkan
dalam satu catatan yang dinamai sebagai revolusi tanam baru porang. "Menanam porang rata-
rata harus di bawah naungan. Di sini, menanam tanpa harus naungan. Kami menggunakan
revolusi pola tanam baru," kata Paidi. Paidi mengatakan, dengan revolusi tanam baru, hasil
panennya berbeda jauh dengan pola tanam konvensional yang mengandalkan di bawah
naungan pohon. Ia membandingkan kalau menggunakan pola tanam konvensional, satu
hektar dapat menghasilkan panen tujuh sampai sembilan ton. Sementara dengan revolusi pola
tanam intensif, satu hektar bisa mencapai panen 70 ton.
"Kalau pakai pola tanam konvensional, panennya paling cepat tiga tahun. Sementara
dengan pola tanam baru bisa lebih cepat panen enam bulan hingga dua tahun dan hasilnya
lebih banyak lagi," ujar Paidi. Dia mengatakan, bila menggunakan pola tanam konvensional
tidak akan bisa mengejar kebutuhan dunia. Apalagi, pabrik pengelola porang makin
menjamur dengan total kebutuhan sehari bisa mencapai 200 ton. "Kalau menunggu tiga
tahun, lama sekali. Untuk itu, butuh revolusi pola tanam sehingga bisa mempercepat panen,"
ujar Paidi.
Tak mau sukses sendiri, Paidi tak pelit berbagi ilmu. Ia membagi ilmu dari cara
bertanam hingga memberikan informasi harga porang dengan membuat blog dan channel
YouTube yang bisa diakses siapa pun. Harapannya, ilmu yang dibagikan di media sosial itu
dapat menarik petani di mana pun untuk mengembangkan porang. Apalagi, porang gampang
dikembangkan dan mudah untuk dipasarkan

Anda mungkin juga menyukai