Anda di halaman 1dari 9

Kisah Pengusaha Sukses di Bidang Kuliner Jody Broto Suseno, Pemilik

Woroeng Steak n Shake dan Pendiri Rumh Tahfizh

Sejak didirikan 10 tahun lalu, usaha kulinernya telah mencapai 50 outlet (gerai),
dengan omzet di atas Rp 100 juta perbulan untuk setiap gerai. Mendengar kata steak akan
teringat makanan khas Eropa yang mahal harganya. Namun, itu tidak berlaku di “Waroeng
Steak and Shake”. Hanya dengan merogoh kocek Rp 8.000 hingga Rp. 13.000, aneka macam
steak pun dapat dinikmati dengan cita rasa yang tak kalah dengan steak di hotel berbintang.

Tak heran bila setiap kali Waroeng Steak and Shake buka pada saat jam makan siang,
puluhan pengunjung langsung menyerbu kuliner yang telah meraih sertifikat halal dari
Majelis Ulama Indonesia. Bahkan, tak jarang sebagian di antaranya rela antri untuk
mendapatkan tempat duduk. Seiring dengan berputarnya waktu, usaha ini semakin melaju.
Jika tahun 2000 hanya memiliki 1 gerai sederhana dengan 2 karyawan, namun kini menjadi
50 gerai dengan mempekerjakan 1.000 karyawan.
Jual Motor untuk Modal Usaha.

Sukses yang diraih Waroeng Group tidak lepas dari keuletan dan tangan dingin sang
owner (pemilik), Jody Broto Suseno (37). Dengan bakat wirausaha yang dimilikinya, sejak
lulus SMA tahun 1993, Jody telah mencoba berbagai macam usaha, mulai bisnis parsel, susu
segar, roti bakar, hingga kaos partai. Untung dan rugi pun pernah ia alami.

Tahun 1997, Jody terlibat mengurusi usaha “Obonk Steak” milik orangtuanya. Ia
diminta menangani Obonk Steak dan memasarkannya ke teman-teman kuliahnya. “Tapi
sayangnya ndak ada yang datang, karena harganya cukup mahal dan tidak terjangkau oleh
kantong mahasiswa,” ungkapnya sambil tersenyum.
Pengalaman terakhir inilah yang memberi inspirasi untuk membuat usaha kuliner steak
dengan harga mahasiswa. Jody pun mulai memikirkan cara menekan harga steak yang
sejatinya memang mahal.
Diakui Jody, untuk mendirikan Waroeng Steak and Shake dibutuhkan modal awal
yang cukup besar. Beruntung ia memiliki sepeda motor pemberian orangtua, yang akhirnya
dijual untuk modal usaha.
“Dari penjualan motor, saya gunakan untuk sewa tempat di daerah Demangan
Yogyakarta, sebagian lagi untuk peralatan usaha, dan sisanya untuk membeli motor tua
sebagai alat transportasi,” ujar Jody.

Tanggal 4 September 2000 adalah awal berdirinya Waroeng Steak and Shake di Jalan
Cendrawasih Demangan Yogyakarta. Jody memilih nama Waroeng sebagai brand usaha
kulinernya untuk memberi kesan murah kepada konsumen.

“Di mana-mana yang namanya steak itu mahal, makanya saya memberi nama
Waroeng untuk memberi kesan murah,” kata Jody. Mengingat pangsa pasarnya anak muda
dan mahasiswa, maka warna yang digunakannya pun dibuat ngejreng, dengan kombinasi
warna kuning yang dominan dipadu warna putih dan hitam.
Tahun pertama merupakan perjuangan bagi Jody. Dengan lima meja, sepuluh hot plate dan
tiga menu utama (Sirloin, Tenderlon, dan Chicken Steak) yang disediakan Waroeng Steak,
tak jarang hari-hari yang dilalui Jody tanpa pengunjung. Kalaupun ada, jumlahnya bisa
dihitung dengan jari.

Masa awal ini lebih banyak dukanya daripada sukanya. Namun, usaha ini tetap jalan.
Jody bertugas memasak di dapur, istrinya melayani tamu sekaligus menjadi kasir, dan dua
karyawannya menangani tugas lainnya. “Alhamdulillah, di tahun pertama masih bisa
menggaji karyawan dan memenuhi kebutuhan keluarga, meski pas-pasan,” jelas
Jody. Interaksinya dengan pelanggan dan masukan yang dilontarkan mereka membuat Jody
terus berbenah. Jody pun berinisiatif membuat daftar harga dan dipasang di depan warung
miliknya. Ternyata cara ini efektif. Tidak lama berselang, banyak pengunjung dari berbagai
kalangan memenuhi gerainya.

Tahun kedua, usahanya mulai menampakkan hasil. Pengunjungnya semakin stabil,


bahkan tidak mampu melayani seluruh pengunjung. Maka ia pun mengajak keluarganya
untuk berinvestasi mengembangkan usaha ini, mulai dari ayah, ibu, saudara, paman, dan
keluarga lainnya diajak berinvestasi dengan bagi hasil 50:50. Semakin hari usaha ini
berkembang hingga cabang ke-7 dengan sistem bagi hasil. Barulah pada gerai ke-8 dan
seterusnya Jody mampu mendanai sendiri gerainya, tanpa menerapkan pola franchise.

Belakangan, Jody lebih senang mengajak investor dari kalangan ustadz untuk
mengembangkan usahanya di berbagai daerah di Jawa, Bali, dan Sumatera. Sebut saja Ustadz
Yusuf Mansur, Ustadz Edi Mustofa, dan Ustadz Endang ikut berinvestasi di bisnis ini.
Bahkan, kini berkembang ke berbagai lini, seperti Bebaqaran untuk ikan bakar, Bebek
Goreng H. Slamet, dan Festival Kuliner (Feskul). “Para ustadz itu saya ajak bergabung
dengan usaha kuliner ini dengan harapan usaha ini memperoleh doa dari mereka,” terang
Jody saat ditemui Suara Hidayatullah di Rumah Tahfizh miliknya di Deresan Yogyakarta.
Spiritual Company

Mengelola 1.000 karyawan bukanlah hal mudah, dan itulah yang dirasakan Jody. Ia
merasa berkewajiban untuk ikut memberdayakan karyawannya yang berasal dari berbagai
latar belakang sosial dan budaya tersebut. Awalnya, Jody hanya berpikir praktis dengan
mengikutkan hampir seluruh karyawannya training ESQ. Namun atas masukan beberapa
ustadz, Jody akhirnya membuat Spiritual Company, dan mendaulat Ustadz Syamsuri untuk
membuat sistem sekaligus mengawalnya.

Menurut Ustadz Syamsuri, Spiritual Company ini terdiri dari dakwah dan pendidikan
Islam. Untuk dakwah bil hal, dilakukan melalui olahraga, kegiatan sosial, infaq karyawan,
dan seni budaya. “Untuk pendidikan Islamnya yakni pengadaan tausiyah rutin di outlet-outlet
dan kantor, buletin bulanan, dan belajar membaca al-Qur`an bagi seluruh karyawan,” kata
Ustadz Syamsuri saat ditemui di kantor Waroeng Group Timoho Yogyakarta.

Tausiyah di gerai kata Ustadz Syamsuri, telah disusun secara sistematis berikut tema-
temanya. Misalnya bulan Maret lalu bertema Shalat Tepat Waktu, maka seluruh gerai di
Jawa, Bali dan Sumatera harus menyelenggarakan tausiyah untuk karyawan dengan tema
yang sama. Tema yang beragam itu telah disusun selama setahun. Materinya meliputi aqidah,
akhlak, fiqih, dan sirah Nabi. Selain pengajian internal karyawan yang dilaksanakan setiap
pekan, Waroeng Group juga menyelenggarakan pengajian warga sekitar gerai tiap bulan.
Bahkan, pengajian berskala besar dengan mendatangkan ustadz dari Jakarta setiap bulan,
dengan tema kegiatan “Dari Waroeng untuk Umat”.

Tahun 2010, Waroeng Group mulai menawarkan program menarik bagi


karyawannya. Bagi yang mampu menghafal al-Qur`an minimal empat surah pilihan akan
diikutkan umrah dan haji gratis. “Ternyata banyak karyawan yang bisa menghafal empat
surah, dan terpaksa dilakukan pengundian untuk memilih enam di antaranya,” kata
Jody. Sebagai bagian dari Spiritual Company, Jody menerapkan aturan ketat kepada
karyawannya. Bila tahun 2009 larangan merokok ditujukan kepada seluruh menejemen, maka
mulai 2010 seluruh karyawannya dilarang merokok.

Kini, selain sibuk mengurus usahanya, Jody pun aktif mendirikan Rumah Tahfizh dan
mengasuh puluhan anak untuk menghafal al-Qur`an. “Saat ini sudah berdiri empat Rumah
Tahfizh yang mengasuh 83 santri mukim, dan 60 santri kalong, satu di antaranya adalah
Rumah Tahfizh Waroeng Group. Alhamdulillah, usaha saya terbukti semakin meningkat,
”ungkap Jody yakin".

Sumber : http://inspirasisuksesmulia.blogspot.com/2013/01/kisah-pengusaha-sukses-di-
bidang.html
Kisah Sukses Pengusaha Makanan - Puspo Wardoyo

Kisah pengusaha sukses makanan Ayam bakar Wong Solo, Siapa yang tidak
mengenal nama rumah makan yang satu ini. Restoran yang selalu mengubah penampilannya
secara berkala ini mampu menyedot perhatian konsumen untuk berkunjung mencicipi menu
makan yang ada didalamnya. Rumah makan yang dibuka secara kecil-kecilan ini sekarang
menjelma menjadi salah satu rumah makan papan atas Indonesia. Buktinya telah berkibar
Ayam Bakar Wong Solo puluhan gerai yang tersebar di kota-kota besar di nusantara. 

Ayam Bakar Wong Solo merupakan bisnis kuliner yang mengantarkan banyak
pengusaha sukses yang ada di Indonesia melalui kisah sukses perjalan Puspo Wardoyo
sebagai pendirinya. Beliau sosok tokoh pengusaha yang pantang menyerah, pekerja keras dan
selalu bersemangat dalam mengembangkan usahanya. Memang banyak sekali tantangan dan
hambatan yang dihadapi beliau hingga mencapai puncak kesuksesannya. Simak perjalanan
panjang pria ini meraih keberhasilannya.

Puspo Wardoyo

Puspo Wardoyo, merintis waralaba Ayam Bakar Wong Solo hingga menjadi sebesar
sekarang ini dari titik paling bawah. Ia pernah menjajakan ayam bakar di kaki lima. Sejak
kecil Puspo sudah terbiasa berurusan dengan ayam. Orangtuanya penjaja ayam. Pagi hari,
Puspo kecil membantu menyembelih ayam untuk dijual di pasar. Siang sampai malam, ia
membantu orangtuanya menjajakan menu siap saji seperti ayam goreng, ayam bakar, dan
menu ayam lainnya di warung milik orangtuanya di dekat kampus UNS Solo.

Impian itu sendiri terinpirasi oleh cerita seorang pedagang bakso yang sukses
mengarungi hidup di Medan. Ketika pria kelahiran 30 November 1957 itu tengah merintis
usaha warung lesehan di Solo selepas mengundurkan diri dari pegawai negeri sipil, suatu saat
pedagang bakso asal Solo tersebut bertandang ke tempat Puspo.

Dia bercerita bahwa peluang usaha warung makan di Medan sangat bagus. Pedagang
bakso itu telah membuktikannya. Dalam sehari ia bisa meraup keuntungan bersih di akhir
tahun 1990 itu sekitar Rp 300.000. Dari keuntungan berjualan bakso dengan gerobak sorong
itulah teman Puspo ini bisa pulang menengok kampung halamannya di Solo setiap bulan.
"Dengan uang, jarak antara Solo Medan lebih dekat dibanding Solo Semarang, " kata
Puspoyo menirukan ucapan temannya tadi. Wajar saja jika dengan pesawat terbang waktu
tempuh antara MedanSolo Berganti pesawat di Jakarta hanya membutuhkan waktu sekitar 1
jam. Sementara dengan naik bis jarak antara SoloSemarang ditempuh sekitar empat jam.

Cerita sukses temannya itu begitu membekas di benak Puspo. "Saya bertekad bulat
akan merantau ke Medan, " pikirnya. Untuk mewujudkan keinginannya itu, apa boleh buat,
warung makan yang termasuk perintis warung lesehan di kota pusat kebudayaan Jawa itu pun
ia jual kepada temannya. Uang hasil penjualan yang tak seberapa itu ia manfaatkan untuk
membeli tiket bus ke Jakarta. Mengapa Jakarta? "Karena dengan uang yang saya miliki, bekal
saya belum cukup untuk merantau ke Medan, " katanya.

Ketika tengah merantau di ibu kota itu, suatu hari Puspo membaca lowongan
pekerjaan sebagai guru di sebuah perguruan bernama DR Wahidin di Bagan Siapiapi,
Sumatera Utara. Apa boleh buat, demi mewujudkan citacitanya, ia berusaha mengumpulkan
modal dengan kembali menjadi guru. Bedanya, kali ini ia tidak lagi menjadi pegawai negeri
seperti sebelumnya ketika menjadi staf pengajar mata pelajaran Pendidikan Seni di SMA
Negeri Muntilan, Kabupaten Magelang. "Target saya cuma dua tahun menjadi guru lagi,"
katanya.

Di sinilah anak pasangan Sugiman Suki ini ketemu dengan isteri pertamanya Rini
Purwanti yang sama-sama menjadi tenaga pengajar di sekolah tersebut. Dua tahun menjadi
guru ia berhasil mengumpulkan tabungan senilai Rp 2.400. 000. Dengan uang inilah
keinginannya menaklukkan kota Medan tak terbendung lagi. Uang tabungan itu sebagian ia
gunakan untuk menyewa rumah dan membeli sebuah motor Vespa butut. Masih ada sisa Rp
700.000 yang kemudian ia manfaatkan sebagai modal membangun warung kaki Lima di
bilangan Polonia Medan.

Disini ia menyewa lahan 4x4 meter persegi seharga Rp 1.000 per hari. Suatu saat
pegawainya tertimpa masalah. Ia terlibat utang dengan rentenir. Puspo membantunya dengan
cara meminjamkan uang. Sebagai ucapan terimakasih, sang pegawai membawa wartawan
sebuah harian lokal Medan. Si wartawan yang merupakan sahabat suami pegawai yang
ditolong Puspo kemudian menuliskan profilnya. Judul artikel itu Sarjana Buka Ayam Bakar
Wong Solo. Artikel itu membawa rezeki bagi Puspo. Esok hari setelah artikel dimuat, banyak
orang berbondong-bondong mendatangi warungnya. Siapa sangka jika dari sebuah warung
kecil ini kemudian melahirkan sebuah usaha jaringan rumah makan yang cukup kondang di
seantero Medan. Impian untuk menaklukkan "jarak" Solo Medan lebih dekat dibanding Solo
Semarang pun menjadi kenyataan. Bukan itu saja, penilaian atas prestasi bisnis yang dirintis
Puspo lebih jauh melewati impian yang ia tinggalkan sebelumnnya.

Dari ibu kota Sumatera Utara ini nanti Rumah Makan Ayam Bakar Wong Solo
(Wong Solo) melejit ke pentas bisnis nasional. Belakangan ini nama Wong Solo semakin
berkibarkibar setelah berhasil menaklukkan Jakarta setelah sebelumnva "mengapung" dari
daerah pinggiran. Dalam waktu relatif singkat kehadiran Wong Solo telah merengsek dan
menanamkan tonggaktonggak bisnisnya di pusat kota metropolis ini. Ekspansinya pun
semakin tak tertahankan dengan memasuki berbagai kota besar di Indonesia.

Fenomena Wong Solo mengundang decak kekaguman berbagai kalangan dari pejabat
pemerintah, para pelaku bisnis hingga para pengamat. Hampir semua outletnya di Jakarta
selalu sesak pengunjung, terutama di akhir pekan dan hari libur. Bahkan ketika bulan
Ramadhan kemarin, semua outlet tersebut membatasi jumlah pengunjung saat berbuka puasa.

Skala usaha Wong Solo itu memang belum sekelas para konglomerat masa lalu yang
dengan enteng menyebut angka aset, omset atau keuntungan per tahun yang triliunan rupiah.
"usaha saya memang belum kelas triliunan seperti para konglomerat yang kaya utang itu,"
paparnya. Kendati masih tergolong usaha menengah, namun kinerja wong Solo sangat solid
dan tak punya beban utang. Ia memiliki pondasi kuat untuk terus berkembang. Untuk
mewujudkan mimpimimpinya, ayah sembilan anak dari empat istri ini telah melewati rute
perjalanan yang berlikaliku lengkap dengan segala tantangannya.

Ada masa ketika di waktu-waktu awal merintis usaha di Medan ia nyaris patah
semangat garagara selama berhari-hari tak pernah meraih untung. Hanya berjualan dua atau
tiga ekor ayam bakar plus nasi, terkadang dalam satu hari tak seekor pun yang laku. Pernah
pula seluruh dagangannya yang telah dimasak di rumah tumpah di tengah jalan karena
jalanan licin sehabis hujan. "Apa boleh buat, saya terpaksa pulang dan memasak lagi".
katanya. Istrinya yang tak sabar melihat lambannya usaha Puspo bahkan sempat memberi
tahu ayahnya agar memberitahu ayahnya agar mempengaruhi Puspo supaya tak berjualan
ayam bakar lagi. "Mertua saya bilang, kapan kamu akan tobat," katanya menirukan ucapan
sang mertua.

Pada awal perantauannya ke Medan, Puspo wardoyo, sama sekali tak menyangka jika
usaha warung ayam bakar “Wong Solo” akan berkembang seperi sekarang. Maklum, rumah
makan yang dibukanya hanyalah sebuah warung berukuran sekitar 3x4 meter di dekat
bandara Polonia, Medan. Setahun pertama dia hanya mampu menjual 3 ekor ayam per hari
yang dibagibagi menjadi beberapa potong. Harga jual per potongnya Rp 4.500 plus sepiring
nasi.

Di tahun kedua, naik menjadi 10 ekor ayam per hari Namun sekarang, 13 tahun
kemudian, di memiliki lebih dari 16 cabang tersebar di medan, Banda Aceh, Padang, Solo,
Denpasar, Pekanbaru, Surabaya, Semarang, Jakarta, Malang dan Yogyakarta meskipun masih
mengandalkan ayam bakar, namun menunya kini makin beragam hingga 100 jenis. Sudah
terbiasa bagi Wardoyo untuk menyisihkan 10 % dari keuntungannya untuk amal. Dia
percaya, Tuhan akan memperkaya orang yang banyak beramal. Maka jangan heran bila Anda
kebetulan mampir di salah satu rumah makannya menyaksikan karyawannya sedang
berkerumun di saat menjelang atau usai jam kerja. Mereka sedang melaksanakan ibadah
“kultum” atau kuliah tujuh menit.

Promosi dari mulut ke mulut membuat warungnya makin terkenal. Terlebih ketika
seorang wartawan daerah membuat tulisan tentang “Wong Solo”, makin ramai saja orang
yang makan ke warungnya. Pernah suatu hari dia kewaalahan memenuhi pesanan pelanggan.
Di saat tiga ekor ayam jualannya habis, datang pembeli lain yang bersedia menunggu asalkan
Wardoyo mau mencari ayam batu ke pasar. Diapun memenuhi permintaan pelanggan tersebut
dengan membeli tiga ekor ayam lagi. Namun datang lagi pelanggan lain yang juga bersedia
menunggu Wardoyo mencari ayam ke pasar. “Seharian itu, hingga larut malam saya pontang
panting ke pasar untuk memenuhi permintaan konsumen yang terus berdatangan,” kata
Wardoyo mengenang.

Bersamaan dengan bertambahnya pelanggan, dua tahun kemudian Wardoyo


memperluas warungnya hingga layak disebut rumah makan. Jiwa seni Wardoyo nampak
tergurat pada bentuk bangunan dan penampilannya yang cenderung “nyleneh”. Dalam bentuk
bangunan, misalnya, Wardoyo tak segansegan mengeluarkan uang cukup besar untuk
membayar seorang arsitek guna mewujudkan imajinasinya terhadap suatu bentuk bangunan.

Perpaduan seni dan entrepreneurship Wardoyo juga tertuang dalam pendekatan


terhadap konsumen. ”Saya berusaha menghafal namanama semua pelanggan saya. Sehingga
sewaktu mereka datang saya harus menyambut mereka dengan menyebut namanya,” papar
Wardoyo. Inilah yang disebutnya sebagai “menjadikan pelanggan sebagai saudara”.
Seiring dengan berkembangnya “Wong Solo”, Puspo Wardoyo membuka kesempatan
kepada seluruh lapisan masyarakat untuk ikut menikmati nilai tambah Wong Solo melalui
system waralaba. Untuk waralaba tersebut, Wardoyo telah membuat standarisasi dalam hal
rasa dan gerai (outlet). Jika seseorang membeli waralaba “Wong Solo” di Jakarta, dipastikan
sama rasa dan penataan gerainya dengan “Wong Solo” Medan atau di tempat lain.

Setelah sukses membesarkan “Wong Solo”, apa harapan Puspo Wardoyo


selanjutnya ? Dengan sungguhsungguh dia menyahut,” Ingin terus bekerja keras, kaya raya,
banyak istri, dan masuk surga.” (sumber: kerjasejahtera.blogspot.com)

Sekarang gerai Wong Solo telah berdiri hampir di kota-kota besar yang ada di
Indonesia. Keuletan Puspo Wardoyo dalam membesarkan warung makan ayam bakarnya
menjadi idaman masyarakat memang tidak mudah. Ia harus merasakan terlebih dahulu
berbagai cobaan, rintangan, halangan, hingga masa-masa sulit yang mencekam. Bermodalkan
kesabaran, kerja keras, pantang menyerah, dan dibumbui ketaqwaan dalam menjalankan
usaha berdasarkan syariat Islam, tak pelak ia mampu menorehkan prestasi yang gemilang,
yakni ia mendapat penghargaan Enterprise-50 sebagai Waralaba Lokal Terbaik dari Pesiden
RI, Megawati Soekarnoputri. Teruslah berkarya Puspo Wardoyo. Itulah kisah sukses
pengusaha makanan yang menginspirasi dan patut kita contoh untuk pengembangan bisnis
kita. Salam sukses selalu!

Sumber : http://profilpengusahasuksesindonesia.blogspot.com/2012/11/kisah-sukses-
pengusaha-makanan-puspo.html

Sampah
Sampah merupakan material sisa yang tidak diinginkan setelah berakhirnya suatu
proses. Sampah dapat bersumber dari alam, manusia, konsumsi, nuklir, industri, dan
pertambangan. Sampah di bumi akan terus bertambah selama masih ada kegiatan yang
dilakukan oleh baik alam maupun manusia. Sampah yang dihasilkan di Indonesia mencapai
11.330 ton per hari. Sampah dapat dibedakan berdasarkan sifat dan bentuknya. Berdasarkan
sifatnya, sampah bibagi menjadi dua, yaitu sampah organik dan anorganik. Sampah organik
merupakan sampah yang dapat diuraikan atau degradable. Contoh sampah organik adalah
sampah yang mudah membusuk seperti sisa makanan, sayuran, daun-daun kering, dan
sebagainya. Sampah ini dapat diolah menjadi kompos. Sedangkan sampah anorganik
merupakan sampah yang tidak mudah diuraikan atau undegradable. Contoh sampah
anorganik adalah sampah yang tidak mudah membusuk, seperti plastik, kayu, kaca, kaleng,
dan sebagainya. Sampah anorganik didaur ulang oleh home industry untuk mengurangi
jumlah sampah serta dijadikan sebagai peluang usaha.
Berdasarkan bentuknya, sampah dapat dibedakan menjadi sampah padat, cair, alam,
konsumsi, manusia dan radioaktif. Sampah padat adalah sampah yang berwujud padat.
Sampah padat dapat berupa sampah rumah tangga: sampah dapur, kebun, plastik, metal, gelas
dan lain-lain. Sampah organik dan anorganik termasuk sampah padat. Sampah ini dapat
dibedakan berdasarkan kemampuan diurai oleh alam atau biodegrability menjadi sampah
padat biodegradable (sampah yang dapat diuraikan oleh proses biologi) dan sampah padat
non-biodegradable (tidak dapat diuraikan oleh suatu proses biologi. Sampah padat non-
biodegradable ada dua jenis yaitu recyclable (dapat diolah kembali) dan non-recyclable (tidak
dapat diolah kembali). Sampah Cair adalah bahan cairan yang telah digunakan dan tidak
diperlukan lagi seperti limbah. Limbah adalah sampah cair yang dihasikan dari aktivitas
industri. Limbah dapat dibagi menjadi dua yaitu limbah hitam dan limbah rumah tangga.
Limbah hitan adalah sampah cair yang mengandung patogen berbahaya yang berasal dari
toilet, sedangkan limbah rumah tangga adalah sampah cair yang dihasiklan dari dapur, kamar
mandi, dan tempat cucian.
Sampah alam merupakan sampah yang diproduksi oleh alam dan diuraikan melalui
proses daur ulang alami. Contoh dari sampah alam adalah daun kering di hutan yang terurai
menjadi tanah. Sampah manusia adalah istilah yang digunakan terhadap hasil-hasil
pencernaan manusia, seperti feses dan urin. Sampah manusia dapat menimbulkan dampak
negatif bagi kesehatan manusia karena dapat dikatakan sebagai sarana perkembangan
penyakit yang disebabkan oleh virus dan bakteri. Sampah konsumsi merupakan sampah yang
dihasilkan oleh kegiatan konsumsi manusia dan dibuang ke tempat sampah. Jumlah sampah
konsumsi sampai sekarang tidak melebihi jumlah sampah industri. Limbah radioaktif adalah
sampah nuklir yang merupakan hasil dari fusi nuklir dan fisi nuklir yang menghasilkan
uranium dan thorium. Limbah radioaktif berbahaya bagi lingkungan dan kehidupan manusia
karena menghasilkan radiasi yang berdampak buruk terhadap kesehatan manusia. Oleh
karena itu sampah nuklir disimpan ditempat-tempat yang tidak berpotensi tinggi untuk
melakukan aktivitas tempat-tempat yang dituju biasanya bekas tambang garam atau dasar
laut.

Sumber : https://id.scribd.com/doc/242709731/LHO-pptx

Anda mungkin juga menyukai