Anda di halaman 1dari 219

BAB I

KONSEP DAN DEFINISI DEMOGRAFI

1.1 PENDAHULUAN
Dalam perencanaan pembangunan, data kependudukan memegang peranan
yang penting. Makin lengkap dan akurat data kependudukan yang tersedia makin
mudah dan tepat rencana pembangunan itu dibuat. Sebagai contoh, dalam
perencanaan pembangunan pendidikan, diperlukan data mengenai jumlah
penduduk dalam usia sekolah. Kantor Badan Koordinasi Keluarga Berencana
Nasional membutuhkan data jumlah pasangan usia subur, dan para pekerja dalam
bidang kesehatan masyarakat memerlukan informasi tentang tinggi rendahnya
angka kematian dan angka morbiditas penduduk. Banyak lagi contoh-contoh lain
data kependudukan sangat diperlukan dalam perencanaan pembangunan.
Untuk dapat memahami keadaan kependudukan di suatu daerah atau Negara
maka perlu didalami kajian Demografi. Di Negara-negara yang sedang
membangun data mengenai unsure-unsur demografi hakiki tidak lengkap, dan
andaikata ada reabilitasnya sangat rendah. Untuk mengatasi kekurangan ini ahli
demografi membuat perkiraan-perkiraan (estimasi) mengenai unsur-unsur
demografi tersebut berdasarkan data yang tidak lengkap.

1.2 DEFINISI DEMOGRAFI


Berdasarkan Multilingual Demographic Dictionary (IUSSP, 1982) definisi
demografi adalah sebagai berikut :
Demography is the scientific study of human populations in primarily with
the respect to their size, their structure (compotition) and their development
(change).
Dalam bahasa Indonesia terjemahannya kurang lebih sebagai berikut :
Demografi mempelajari penduduk (suatu wilayah) terutama mengenai jumlah,
struktur (komposisi penduduk) dan perkembangannya (perubahannya).
Philip M. Hauser dan Dudley Duncan (1959) mengusulkan definisi
demografi sebagai berikut :
Demography is the study of the size, territorial distribution and compotition
of population, changes there in and the components of such changes which maybe
Identified as natality, territorial movement (migration) and social mobility
(change of states).
Terjemahannya dalam bahasa Indonesia kurang lebih sebagai berikut :
Demografi mempelajari jumlah, pesebaran teritorial dan komposisi
penduduk serta perubahan-perubahannya dan sebab-sebab perubahan itu, yang
biasanya timbul karena natalitas (fertilitas), mortalitas, gerak teritorial (migrasi)
dan mobilitas sosial (perubahan status).
Dari kedua definisi diatas dapatlah disimpulkan bahwa demografi
mempelajari struktur dan proses penduduk disuatu wilayah. Struktur penduduk
meliputi : jumlah, persebaran, dan komposisi penduduk. Struktur penduduk ini
selalu berubah-ubah, dan perubahan tersebut disebabkan karena proses demografi
yaitu : kelahiran (fertilitas), kematian (mortalitas) dan migrasi penduduk.
Struktur penduduk merupakan aspek yang statis, merupakan gambaran atau
potret penduduk dari hasil sensus penduduk (cacah jiwa) pada hari sensus tertentu.
Data penduduk pada hari sensus penduduk ini dijadikan sebagai basis perhitungan
penduduk. Sesudah hari sensus tersebut struktur penduduk akan berubah dari
basis penduduk tadi. Unsur-unsur kependudukan yang dapat merubah struktur
kependudukan di atas merupakan unsur-unsur yang dinamis yang terdiri dari
kelahiran, kematian, dan migrasi, dan proses perubahan itu disebut pula proses
yang dinamis.
Memperhatikan uraian tersebut diatas dapatlah dikatakan bahwa demografi
mempelajari aspek kependudukan yang statis dan dinamis. Seperti sebuah mata
uang (coin) yang mempunyai dua sisi, maka aspek kependudukan yang statis
menempati sisi yang satu dan aspek yang dinamis menempati sisi yang lain.
Kedua unsur diatas saling pengaruh mempengaruhi. Sebagai misal, tingginya
tingkat fertilitas di suatu daerah, berpengaruh kepada struktur penduduk di daerah
tersebut yaitu presentase penduduk usia muda jumlahnya besar.
Demografi tidaklah mempelajari penduduk sebagai individu, tetapi
penduduk sebagai suatu ku mpulan (aggregates atau collection). Jadi yang
dimaksud dengan penduduk dalam kajian demografi adalah sekelompok orang
yang bertempat tinggal di suatu wilayah.1
Selain itu demografi bersifat analitis matematis yang berarti analisis
demografi didasarkan atas analisis kuantitatif, dan karena sifatnya yang demikian
maka demografi sering juga disebut dengan statistis penduduk. Demografi formal
dengan teknik-teknik analisis kuantitatif dapatlah dibuat perkiraan variabel-
variabel demografi berdasarkan data kependudukan yang didapat dari sensus
penduduk. Disamping itu dapat dibuat proyeksi penduduk untuk masa-masa
mendatang dan juga masa-masa yang lalu.
Demografi murni (pure demography) atau dapat juga disebut dengan
demografi formal (formal demography) hanya mendeskripsikan atau menganalisis
variabel-variabel demografi seperti yang telah dicontohkan diatas yaitu hubungan
antara naik turunnya tingkat fertilitas dengan struktur demografi penduduk di
suatu daerah.
Kajian Demografi biasanya diampu oleh ahli-ahli ilmu lain terutama ilmu-
ilmu sosial seperti sosiologi, ekonomi, antropologi, geografi dan biologi (Yaukey,
1990). Sehubungan dengan halt ersebut, analisis demografi untuk suatu wilayah
sangat te rgatung pada metode analisis ilmu yang mengampunya (lihat Gambar 1).
Namun demikian demografi sebagai ilmu mempunyai pula metode tersendiri
terutama dalam membuat estimasi variabel demografi baik untuk masa lampau,
sekarang dan masa mendatang.

Antropologi Geografi
sosial Sosial
Demografi

Sosiologi

Gambar 1
Demografi dalam kajian ilmu-ilmu lain

1
Yang dimaksud dengan penduduk dalam Undang-Undang RI No. 10 tahun 1992 adalah orang
dalam matranya sebagai diri pribadi, anggota keluarga, anggota masyarakat, warga negara, dan
himpunan kuantitas yang bertempat tinggal di suatu tempat dalam batas wilayah negara pada
waktu tertentu.
1.3 STUDI KEPENDUDUKAN
Studi kependudukan (population studies) lebih luas dari kajian demografi
murni, karena di dalam memahami struktur dan proses kependudukan di suatu
daerah, faktor-faktor non demografis ikut dilibatkan, misalnya di dalam
memahami trend fertililtas di suatu daerah tidak hanya cukup diketahui trend
pasangan usia subur, tetapi juga faktor sosial budaya yang ada di daerah tersebut.
Pada masyarakat patrilinial dimana tiap keluarga mendambakan anak laki-laki,
maka besarnya jumlah anak tergantung pada sudah ada tidaknya anak laki-laki
pada keluarga tersebut. Jadi untuk mengetahui perkembangan penduduk di suatu
daerah perlu diketahui faktor-faktor determinan yang tidak hanya berasal dari
faktor demografi tetapi juga berasal dari faktor non demografi.
Yaukey (1990) menggambarkan hubungan yang kompleks diatas dapat
memilahkan antara variabel demografi dan variabel non demografi di dalam dua
buah lingkaran (Gambar 2).

Variabel Demografi
Karakteristik Penduduk
- Jumlah
- Persebaran
- Komposisi Penduduk

Proses Demografi
- Kematian
- Kelahiran
- Migrasi

Variabel dari disiplin Lain


- Sosiologi
- Antropologi
- Ekonomi
- Geografi
- Biologi

Gambar 2
Hubungan antara variabel demografi
dengan variabel non demografi
Variabel demografi terletak pada lingkaran I dan variabel non demografi
terletak pada lingkaran II. Apabila variabel-variabel pada lingkungan I berasosiasi
akan menghasilkan kajian demografi, dan apabila asosiasi tersebut antara variabel
pada lingkungan I dengan variabel pada lingkaran II akan menghasilkan kajian
studi kependudukan. Sebagai contoh produktifitas angkatan kerja (lingkaran II)
akan dipengaruhi oleh besarnya jumlah angkatan kerja (lingkaran I).
Panah bermata dua, baik pada lingkaran I, maupun antara variabel-variabel
tersebut bersifat timbal balik. Dengan adanya hubungan timbal balik seperti ini,
akan memberikan kebebasan pada pakar-pakar ilmu lain (terutama ilmu sosial)
untuk menganalisis lebih hubungan antara variabel demografi dengan variabel non
demografi dan akhirnya m ncullah kajian-kajian : demografi sosial (social-
demography) dan demografi ekonomi (economic demography), IUSSP (1982).
Kammeyer (1971) memperjelas perbedaan antara demografi formal dengan
studi kependudukan lewat perbedaan antara variabel pengaruh dengan variabel
terpengaruh. Kalau variabel pengaruh dan variabel terpengaruh kedua-duanya
terdiri dari variabel demografi maka tipe studi tersebut adalah demografi murni.
Apabila salah satu variabelnya adalah variabel non demografi, maka kajian
tersebut adalah studi kependudukan (Tabel 1.1).

Tabel 1.1
Contoh Analisis Demografi formal
dan Studi Kependudukan Berdasarkan Jenis Variabel
Pengaruh dan Variabel Terpengaruh

Tipe Studi Variabel Pengaruh Variabel Terpengaruh


Demografi Formal Variabel Demografi Variabel Demografi
- Komposisi Umur - Tingkat Kelahiran
- Tingkat Kelahiran - Komposisi Umur
Studi Kependudukan Variabel Non-Demografi Variabel Demografi
(Contoh Tipe I) - Faktor Sosiologi, - Migrasi Keluar
misal : klas sosial
- Faktor Ekonomi,
misal: kesempatan
ekonomi
Studi Kependudukan Variabel Demografi Variabel Non
(contoh Tipe II) - Tingkat Kelahiran Demografi
- Migrasi Masuk - Kebutuhan Pangan
- Tingkat Kelahiran - Kemiskinan
- Pertumbuhan
Ekonomi
Bab II
Sumber Data Demografi

Tiap-tiap negara ingin mengetahui jumlah penduduk di negara masing-


masing, bagaimana persebaran dan komposisinya. Untuk mendapatkan data
tersebut dibuatlah suatu sistim pengumpulan data penduduk yang kemudian
dikembangkan sebagai dasar pelaksanaan Sensus Penduduk. Sistem pengumpulan
data ini mula-mula dikembangkan di negara Barat kemudian berkembang di
negara lain.
Senses Penduduk yang sering dianalogikan sebagai pemotretan penduduk
pada suatu saat, hanya akan memberikan data penduduk pada saat Sensus
Penduduk dilaksanakan. Untuk mengetahui perkembangan penduduk selanjutnya
maka perlu dilengkapi dengan data penduduk lain yang dikumpulkan dengan cara
lain misalnya regristrasi penduduk dan survei penduduk.
Sesuai dengan uraian di atas maka ada tiga sumber data demografi, yaitu:
sensus penduduk, regristrasi penduduk dan survei. Dalam uraian selanjutnya
masing-masing dari ketiga sistem pengumpulan data demografi akan diuraikan.

2.1 SENSUS PENDUDUK


Sensus Penduduk sering pula disebut dengan cacah jiwa mungkin
mempunyai sejarah setua sejarah peradaban manusia. Ada tanda-tanda
pencacahan penduduk telah dilaksanakan di Babilonia 4000 tahun sebelum
Kristus, begitu pula di Mesir 2500 BC dan di Cina 3000 BC. Pada abad ke 16 dan
17 beberapa sensus penduduk telah dilaksanakan di Italia, Sisilia dan Spanyol.
Pada masa itu cacah jiwa dilaksanakan untuk tujuan militer, pemungutan pajak
dan perluasan kerajaan.
Sensus Penduduk dalam artian modern telah dilaksanakan di Quebec pada
tahun 1666, dan di Swedia pada tahun 1749 (Pollard et, al. 1974). Di negara
Amerika Serikat, sensus penduduk mulai dilaksanakan pada tahun 1790, dan di
Inggris pada tahun 1801. Pelaksanaan sensus penduduk di Inggris diikuti oleh
negeri-negeri jajahannya. Di Indonesia, Raffles dalam masa pemerintahannya
yang singkat pada tahun 1815 melakukan perhitungan jumlah penduduk di Jawa
dan India diadakan pada tahun 1881 (Said Rusli, 1963). Hingga permulaan abad
ke-20, sekitar 20 persen dari penduduk dunia telah dihitung lewat Sensus
Penduduk (Mantra, 1985).

2.1.1 Ruang Lingkup Sensus Penduduk


Sensus penduduk merupakan suatu proses keseluruhan dari pengumpulan,
pengolahan, penilaian, penganalisisan, dan penyajian data penduduk yang
menyangkut antara lain; ciri-ciri demografi, sosial ekonomi dan lingkungan hidup.
Dibandingkan dengan metode penelitian yang lain, sensus penduduk mempunyai
ciri-ciri yang khas dalam pelaksanaannya. Pertama, bersifat individu (individual)
yang berarti informasi demografi dan sosial ekonomi yang dikumpulkan
bersumber dari individu baik sebagai anggota rumah tangga maupun sebagai
anggota masyarakat. Kedua, bersifat universal yang berarti pecahan bersifat
menyeluruh. Ketiga, pencacahan harus diselenggarakan serentak di seluruh
negara, dan yang keempat, sensus penduduk dilaksanakan secara periodik yaitu
pada tiap-tiap tahun yang berakhiran angka nol.
Agar data hasil sensus penduduk dari beberapa negara dapat
diperbandingkan, Perserikatan Bangsa-Bangsa menetapkan bahwa informasi
kependudukan minimal yang harus ada dalam tiap-tiap sensus penduduk adalah
sebagai berikut:
1. Geografi dan migrasi penduduk
2. Rumah tangga
3. Karakteristik sosial dan demografi
4. Kelahiran dan kematian
5. Karakteristik pendidikan
6. Karakteristik ekonomi

Informasi geografi meliputi lokasi daerah pencacahan, jumlah penduduk


yang bertempat tinggal di daerah tersebut. Beberapa jumlah penduduk de jure dan
beberapa pula jumlah penduduk de facto. Di samping itu dapat pula dihitung
jumlah penduduk yang bertempat tinggal di daerah perdesaan.
Informasi migrasi penduduk dari masing-masing penduduk didapat lewat
pertanyaan: tempat lahir, lamanya bertempat tinggal di daerah sekarang, tempat
tinggal terakhir sebelum tinggal di daerah sekarang, dan tempat tinggal lima tahun
yang lalu.
Data mengenai rumah tangga yang dikumpulkan meliputi banyaknya rumah
tangga pada saat pencacahan, hubungan masing-masing anggota rumah tangga
dengan kepala rumah tangga. Komposisi anggota rumah tangga dan jenis kelamin
kepala rumah tangga.
Informasi nomor tiga, lima dan enam meliputi komposisi penduduk menurut
umur dan jenis kelamin, status perkawinan, agama, pendidikan, aktivitas dan
pendapatan. Sedangkan informasi mengenai mortalitas dan fertilitas, umumnya
ditanyakan mengenai jumlah anak yang dilahirkan ada masa lalu begitu pula
jumlah anggota rumahtangga yang meninggal. Pertanyaan yang digunakan
bersifat retrospektif (retrospective question). Disamping itu juga di tanyakan umur
pada waktu kawin (bagi mereka yang pernah kawin), lamanya perkawinan, jumlah
kelahiran, dan kematian bayi 12 bulan sebelum pelaksanaan sensus penduduk.
Untuk jelasnya lihat Tabel 2.1.
Sensus Penduduk bertujuan untuk memecah seluruh penduduk yang ada di
suatu negara, ini berarti pada hari pelaksanaan sensus, petugas sensus akan datang
ke rumahtangga-rumahtangga untuk memecah seluruh anggota rumahtangga yang
ada. Sehubungan dengan luasnya daerah pencacahan dan pelaksanaan sensus
penduduk hanya satu hari yaitu pada hari sensus maka pertanyaan yang
ditanyakan pada sensus lengkap hanya pertanyaan yang bersifat umum saja yaitu
yang menyangkut jumlah anggota rumahtangga, jenis kelamin, dan umur.
Pertanyaan ketenagakerjaan, pendidikan, kesehatan masyarakat, migrasi penduduk
ditanyakan pada sensus sampel.
Penduduk yang dicacah meliputi penduduk de jure (penduduk yang resmi
berdomisili di daerah tersebut) dan penduduk de facto, penduduk yang bertempat
tinggal di suatu wilayah tetapi tidak termasuk penduduk resmi bagi wilayah yang
bersangkutan.
Penduduk de facto termasuk mereka yang tuna wisma, orang asing yang
bertempat tinggal di wilayah tersebut pada periode waktu tertentu dengan
perkecualian anggota korps diplomatik dari negara asing.

Tabel 2.1
Topik-topik Minimal yang Harus Ditanyakan
Pada Sensus Penduduk
1. Geografi dan Migrasi Penduduk
Tempat tinggal tetap atau tempat tinggal pada saat pencacahan
1.1 Tempat lahir
1.2 Lama tinggal di daerah sekarang
1.3 Tempat tinggal beberapa tahun lalu
2. Rumahtangga
Hubungan masing-masing anggota rumahtangga dengan kepala rumahtangga
3. Karakteristik sosial dan demografi
3.1 Jenis Kelamin 3.5 Agama
3.2 Umur 3.6 Bahasa
3.3 Status Perkawinan 3.7
3.4 Kewarganegaraan
4. Fertilitas dan Mortalitas
4.1 Anak lahir hidup 4.6 Jumlah bayi yang meninggal 12
4.2 Anak masih hidup bulan sebelum hari sensus
4.3 Umur waktu kawin 4.7 Yatim karena kematian ibu
4.4 Lama kawin
4.5 Jumlah anak lahir hidup 12
bulan sebelum hari sensus
5. Karakteristik Pendidikan
5.1 Tingkat pendidikan 5.3 School attendance
5.2 Melek huruf 5.4 Educational qualifications
6. Karakteristik Ekonomi
6.1 Aktivitas Ekonomi 6.4 Status pekerja
6.2 Kedudukan Dalam Aktivitas 6.5 Jam kerja
6.3 Industri 6.6 Pendapatan
6.7 Aktivitas menurut sektor
Sumber: Yaukey (1990)

2.1.2 Kesalahan Sensus (Cencus Error)


Walaupun pengumpulan data dalam sensus penduduk dilaksanakan secara
aktif oleh petugas itu sendiri, namun masih juga terdapat beberapa kesalahan.
Yaukey (1990) mengelompokkan kesalahan menjadi tiga kelompok, yaitu:
kesalahan cakupan (errors of coverage), kesalahan isi pelaporan (errors of
content) dan kesalahan ketepatan laporan (estimating errors).
Kesalahan cakupan adalah kesalahan di mana tidak seluruh penduduk
tercacah, dan bagi yang tercacah ada sebagian dari mereka yang tercacah dua kali.
Hal ini biasanya terjadi pada negara-negara yang memiliki tingkat mobilitas
penduduk tinggi. Walaupun ada ketentuan bahwa seseorang (yang bukan
penduduk menetap di wilayah tersebut) baru dianggap sebagai penduduk de facto
di wilayah tersebut apabila orang tersebut dalam jangka waktu tertentu berada di
wilayah tersebut (petugas sensus sering mendapat kesulitan untuk
memonitornya). Di samping itu ada kemungkinan seorang dicacah di mana ia
ditemui oleh tugas sensus, namun demikian di tempat asalnya dia juga dicacah
oleh petugas sensus di daerah tersebut karena di perkirakan orang tersebut akan
kembali sebelum batas waktu yang ditetapkan oleh peraturan sensus penduduk.
Ada beberapa negara yang tidak seluruh wilayahnya dapat dikunjungi
sehingga petugas sensus tidak dapat mengunjungi daerah tersebut. Dalam situasi
seperti ini, digunakan pemotretan dari udara untuk memperkirakan jumlah
penduduknya lewat perhitungan rumah-rumah yang ada.
Akibat dari kesalahan cakupan di atas maka sensus penduduk tidak dapat
menyajikan jumlah penduduk yang tepat pada hari sensus penduduk dilaksanakan.
Namun demikian karena kesalahan itu tidak begitu besar dan secara statistik tidak
begitu berarti (significance) maka jumlah penduduk yang dihasilkan dari hasil
sensus penduduk dianggap sudah benar.
Kesalahan isi pelaporan (errors of content), meliputi kesalahan pelaporan
dari responden, misalnya kesalahan pelaporan tentang umur. Umumnya di negara-
negara sedang membangun responden tidak mengetahui umur mereka dengan
pasti, dan untuk pencatatan umur petugas sensus hanya memperkirakan mereka.
Sering petugas sensus di lengkapi dengan kalender umur (age calender) yang
menghubungkan umur responden dengan kejadian-kejadian penting baik nasional
maupun lokal, namun demikian masih tetap dijumpai kesalahan pelaporan umur.
Ada juga informasi-informasi lain yang tidak dilaporkan responden dengan
jujur. Misalnya seorang ibu ditanyai jumlah anak yang pernah dilahirkan, dia
menjawab tiga orang walaupun sebenarnya jumlah anak yang dilahirkan empat
orang. Mengapa terjadi demikian, setelah ditelusuri anak yang keempat meninggal
beberapa menit setelah dilahirkan dan ibu tersebut menganggap anak tersebut
tidak pernah dilahirkan. Banyak lagi hal-hal yang tidak dilaporkan secara jujur,
mungkin karena responden lupa (memory laps) atau sengaja tidak dilaporkan.
Kesalahan ketepatan pelaporan (estimating error) dapat terjadi karena
kesalahan petugas sensus atau kesalahan responden itu sendiri. Sebagai contoh,
jenis kelamin responden adalah laki-laki tetapi terdapat informasi jumlah anak
yang dilahirkan adalah tiga orang. Atau responden adalah perempuan umur 15
tahun tetapi jumlah anak yang dilahirkan 10 orang. Hal-hal seperti itu
menyulitkan untuk menganalisis hasil sensus penduduk. Data sensus sebelum
dianalisis terlebih dahulu harus bersih (clean) dari kesalahan-kesalahan. Proses
pembersihan ini membutuhkan waktu lama.

2.1.3 Pelaksanaan Sensus Penduduk di Indonesia


Indonesia telah melaksanakan Sensus Penduduk sejak sebelum Perang
Dunia II tepatnya sejak tahun 1815. Namun demikian karena belum banyak
pengalaman, hanya Sensus Penduduk tahun 1920 dan 1930 organisasi
pelaksanaannya sudah cukup baik dan data kependudukan yang dihasilkan dapat
dipercaya. Informasi kependudukan yang dikumpulkan pada tahun 1930 lebih
lengkap jika dibandingkan dengan tahun 1920.
Di Jawa Sensus Penduduk tahun 1930 dilaksanakan secara de facto,
sedangkan di luar Jawa dilaksanakan secara de jure. Penduduk dicacah dalam satu
hari (7 Oktober 1930) dan dari hasil pencacahan tersebut didapat bahwa jumlah
penduduk Indonesia berjumlah 60.727.233 jiwa dan pada tahun 1920 berjumlah
34.344.000 jiwa. Sebenarnya sensus penduduk tahun 1940 telah dipersiapkan oleh
pemerintah Hindia Belanda, namun kegentingan keadaan dunia yang berakhir
dengan Perang Dunia II menggagalkan pelaksanaan Sensus Penduduk tersebut.
Sejak proklamasi kemerdekaan hingga tahun 1990 di Indonesia telah empat
kali dilaksanakan sensus penduduk yaitu tahun 1961, 1971, 1980 dan 1990.
Sensus Penduduk dilaksanakan tahun 1961 menggunakan dua cara pencacahan,
yang pertama pendaftaran rumahtangga yang dilaksanakan bulan Maret 1961 di
susul oleh pencacahan lengkap yang dilaksanakan bulan Oktober 1961. Tanggal
31 Oktober 1961 ditetapkan sebagai Hari Sensus.2
Sensus penduduk berikutnya direncanakan pada tahun 1970, tetapi karena
kesulitan dalam penyidikan dana dan persiapan pelaksanaan, sensus penduduk
baru dilaksanakan pada tahun 1971. Sensus Penduduk 1971 dari segi perencanaan,
pelaksanaan lapangan dan pengolahan data jauh lebih maju dibandingkan dengan
tahun 1961.
Sensus penduduk berikutnya dilaksanakan tahun 1980, dan pelaksanaannya
sesuai dengan pelaksanaan sensus penduduk tahun 1971 yang dilaksanakan dalam
dua tahap. Pencacahan lengkap dilaksanakan pada tanggal 20 September hingga
30 Oktober 1980, dan tahap pencacahan sampel dilaksanakan pada tanggal 6
hingga 31 Oktober 1980. Hari sensus jatuh pada tanggal 31 Oktober 1980, pada
hari ini diadakan penyesuaian karena adanya kelahiran, kematian selama proses
pencacahan.
Untuk melengkapi keterangan perorangan dan rumahtangga, dalam sensus
tahun 1980 dilakukan juga pengumpulan data yang menyangkut Potensi Desa
2
Sensus Penduduk tahun 2000 dan seterusnya dilaksanakan pada bulan Juni dengan alasan jumlah
penduduk yang di dapat dari hasil sensus penduduk adalah jumlah penduduk pada tertengahan
tahun.
(PODES). Kegiatan ini dilakukan bersama dengan pencacahan lengkap dari
tanggal 20 September hingga 15 November 1980 (Azwar Rasjid, 1981). Dengan
terkumpulnya data Podes maka terbuka kemungkinan untuk mengamati
perkembangan desa ini dari waktu ke waktu serta menghubungkannya dengan
perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat ditinjau dari sudut
kependudukan.
Pelaksanaan Sensus Penduduk pada tahun 1990 pada prinsipnya tidak jauh
berbeda dengan pelaksanaan sensus sebelumnya. Pencacahan dilaksanakan dalam
dua tahap. Seluruh penduduk dicacah dalam sensus lengkap yang mengumpulkan
beberapa keterangan pokok penduduk sedang sensus sampel mencakup
keterangan rinci dari sebagian penduduk.3 Pelaksanaan sensus dimulai pada
pertengahan bulan September dan berlangsung hingga tanggal 1 November 1990.
Informasi tambahan mengenai pelaksanaan sensus penduduk di Indonesia
adalah sebagai berikut.
1. Sensus Penduduk di Indonesia dilaksanakan pada tiap tahun yang berakhiran
angka kosong (nol).
2. Di antara pelaksanaan dua sensus misalnya antara tahun 1980 dan 1990
diadakan sensus khusus berdasarkan sampel, misalnya: Survei Penduduk Antar
Sensus (SUPAS), Sensus Pertanian, Sensus Industri, Survei Sosial Ekonomi
Nasional (SUSENAS), Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS), dan
lain-lain.
3. Penduduk yang dicacah meliputi penduduk de jure (penduduk yang menetap
di daerah pencacahan) dan penduduk de facto. Sistem defakto digunakan untuk
mencacah mereka yang karena sifat pekerjaan atau sebab-sebab lainnya tidak
mempunyai tempat tinggal tetap. Dalam kelompok ini termasuk para pelaut,
tunawisma, suku-suku terasing, ataupun penduduk lainnya yang telah
meninggalkan tempat tinggalnya lebih dari enam bulan terakhir. Batas waktu
enam bulan ditetapkan dengan pertimbangan untuk menghindari, atau paling
tidak memperkecil, kemungkinan penduduk terlewatkan dalam mencacah atau
3
Pada sensus penduduk yang dilaksanakan tahun 2000 hanya dilaksanakan sensus lengkap dengan
menggunakan daftar pertanyaan L1 untuk pendaftaran Bangunan dan Rumah Tangga, dan L2 untuk
keterangan anggota rumah tangga.
tercacah ulang. Diperkirakan bahwa dalam waktu enam bulan, seseorang sudah
menetap di tempat tinggalnya (BPS, 1989). Orang asing (kecuali Korps
Diplomatik) yang bertempat tinggal di Indonesia enam bulan atau lebih, juga
dicacah sebagai penduduk de facto.
4. Pencacahan dengan sistem aktif artinya petugas sensus yang aktif mendatangi
rumahtangga untuk mendapatkan data kependudukan dengan membawa daftar
pertanyaan yang telah dipersiapkan. Pelaksanaan sensus penduduk di Indonesia
dilaksanakan oleh Biro Pusat Statistik (BPS).
5. Hasil sensus lengkap diolah secara bertahap mulai dari tingkat wilayah
pencacahan (wilcah), desa, kecamatan, dan seterusnya untuk mendapatkan
jumlah penduduk yang dirinci menurut jenis kelamin. Pengolahan dilakukan
oleh petugas lapangan dan staf Kantor Statistik (KS). Rekapitulasi pada tingkat
desa, kecamatan, dan seterusnya di lakukan dengan mesin komputer di KS
Propinsi dan BPS.
6. Hasil pencacahan sampel diolah secara desentralisasi di enam KS Tipe A:
Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, DKI
Jakarta dan di Biro Pusat Statistik (BPS).
7. Beberapa hasil sensus penduduk diterbitkan oleh kantor BPS dan Kantor
Statistik Propinsi.

2.2 REGISTRASI PENDUDUK


Sensus penduduk hanya memberikan informasi kependudukan pada saat
dilakukan sensus. Sensus penduduk dapat dianalogikan sebagai pemotretan
penduduk yang dilaksanakan pada hari tertentu. Sudah tentu penduduk yang dapat
dipotret adalah komponen penduduk yang dalam keadaan statis pada waktu
diadakan pemotretan.
Komponen penduduk yang dinamis seperti: kelahiran, kematian, mobilitas
penduduk, perkawinan, perceraian, perubahan tempat tinggal, perubahan
pekerjaan, yang dapat terjadi setiap saat tidak dapat terjaring di dalam sensus
penduduk. Untuk menjaring data ini maka diadakan cara pengumpulan data baru
yang disebut dengan Registrasi Penduduk.
Registrasi penduduk mencatat kejadian-kejadian (event) kependudukan yang
terjadi pada setiap saat. Kantor pencatatan regristrasi pendudukan ini harus
terbuka pada setiap hari kerja, bahkan bayak desa-desa di Indonesia melayani
pelaporan regristrasi penduduk selama 24 jam. Setelah kantor desa di tutup
pelayanan tersebut dilaksanakan di rumah pejabat yang bersangkutan.
Pada umumnya registrasi penduduk ini dilaksanakan oleh Kantor
Pemerintahan Dalam Negeri. Sudah tentu ujung tombak pelaksanaannya adalah
Kepala Desa / Kelurahan dengan perabot desa yang lain. Berbeda dengan sensus
penduduk yang pelaksanaannya dengan sistem aktif, registrasi penduduk
dilakukan dengan sistem pasif. Kalau seorang ibu yang baru saja melahirkan
maka suaminya atau salah seorang anggota keluarganya yang lain melaporkan
peristiwa-peristiwa kelahiran itu di kantor Desa / Kelurahan, begitu pula untuk
peristiwa-peristiwa yang lain (misalnya kematian) prosedurnya sama saja.
Pelaporan dengan sistem pasif ini menimbulkan beberapa permasalahan,
terutama ketidaklengkapan data pelaporan. Beberapa contoh ketidaklengkapan
pelaporan ini adalah sebagai berikut:
1. Seorang bayi setelah lahir4 beberapa menit kemudian meninggal dunia.
Seharusnya peristiwa ini dicatatkan sebagai peristiwa kelahiran dan kematian,
tetapi oleh orang tuannya sama sekali tidak dilaporkan.
2. Sering peristiwa kelahiran terlambat dilaporkan karena menunggu tali pusatnya
putus, tetapi sebelum tali pusatnya putus bayi tersebut meninggal dunia.
Peristiwa kelahiran dan kematian ini tidak dilaporkan kepada kantor desa /
lurah.
3. Jarak kantor desa / kelurahan terlalu jauh dari rumah orang yang melahirkan,
sehingga sering peristiwa kelahiran tersebut tidak dilaporkan.
4. Seorang wanita hamil karena peristiwa ‘kecelakaan’, kalau bayinya lahir,
apalagi dilaporkan ke kantor desa / kelurahan, tetangga pun tidak diberitahu.

4
Kelahiran dalam demografi adalah lahir hidup (live birth), yaitu lahir dengan ada tanda-tanda
kehidupan (denyut jantung, menangis, bernafas). Sedangkan mati adalah hilangnya tanda-tanda
kehidupan secara permanen.
Banyak lagi sebab-sebab yang lain yang menyebabkan peristiwa kelahiran
tidak dilaporkan.
Catatan mengenai kematian lebih lengkap dibandingkan dengan catatan
kelahiran disebabkan hal-hal sebagai berikut:
1. Kematian hanya terjadi selama hidup, dan peristiwa kematian tidak melibatkan
orang lain. Sedang kelahiran bagi seorang wanita dapat terjadi lebih dari satu
kelahiran dan melibatkan dua orang, suami dan istri.
2. Peristiwa kematian adalah peristiwa duka dan orang lain pasti datang untuk
menyatakan ikut berduka cita dan juga mempersiapkan upacara pemakaman
jenazah.

Penduduk yang boleh mencatatkan peristiwa-peristiwa demografi di atas


adalah penduduk de jure saja. Itulah sebabnya jumlah penduduk di suatu wilayah
yang didapatkan dari hasil sensus penduduk jumlahnya lebih banyak
dibandingkan dengan jumlah penduduk dari hasil registrasi.

2.2.1 Sejarah Singkat Registrasi Penduduk


Registrasi penduduk mulai dilaksanakan di beberapa negara di dunia pada
abad ke-16. Pencatatan ini terutama di laksanakan oleh gereja-gereja Kristen di
Inggris, dan negara-negara lain di Eropa. Disamping itu di Inggris registrasi
penduduk juga telah dilaksanakan di Finlandia pada tahun 1628, Denmark 1646,
Nurwegia 1685, dan Swedia 1686. Penerbitan data registrasi yang teratur dimulai
di Inggris pada tahun 1839 di bawah pimpinan Dr. William Far (Syryock et.al,
1971). Di luar Eropa registrasi penduduk dilaksanakan di Cina, dari sini merambat
ke Jepang pada abad ke-17. Sistem registrasi penduduk ini akhirnya menjalar juga
ke negara-negara Asia dan Afrika, diperkenalkan oleh negara-negara yang
menjajah.

2.2.2 Registrasi Penduduk di Indonesia


Sistem registrasi penduduk di Indonesia telah dimulai sejak abad ke-19.
Pada tahun 1815 Raffles melaksanakan pendaftaran penduduk dalam rangka
penetapan sistem pajak tanah. Dia melihat bahwa registrasi desa adalah salah satu
sasaran untuk maksud tersebut. Pada masa pemerintahannya, kepala-kepala desa
diharuskan untuk mencatat semua orang yang ada di wilayahnya dengan
menyebutkan nama, umur, pekerjaan dan ciri-ciri demografis lainnya. Mereka
juga diharuskan membuat catatan kelahiran, kematian dan perkawinan.
Setelah Inggris meninggalkan Indonesia, Belanda meneruskan pelaksanaan
registrasi penduduk tersebut, namun perhatian ke arah ini hingga pertengahan
abad ke-19 sangat kurang sehingga hanya sedikit sekali data hasil registrasi yang
diterbitkan.
Menjelang tahun 1850 Gubernur Jendral Merkus menugaskan P.Bleeker
(seorang dokter militer) untuk meninjau semua keresidenan di Jawa termasuk
Yogyakarta dan Surakarta untuk mengecek pelaksanaan registrasi penduduk
tersebut. Hasil kunjungan ini diterbitkan pada tahun 1870. Dalam penerbitan
tersebut antara lain Bleeker menguraikan hal-hal sebagai berikut.
1. Sebelum tahun 1846 tidak ada data penduduk dari tingkat kabupaten yang
tersedia.
2. Mulai tahun 1845 diinstruksikan oleh Pemerintahan Belanda supaya tiap
kabupaten mencatat luas wilayah dalam mil geografis persegi (1 m.g2 setara
dengan 54.8226 km2), untuk menghitung angka kepadatan penduduk Pulau
Jawa sebesar 112 jiwa / km2 (N. Daldjuni, 1975).

Setelah tahun 1850 Pemerintahan Belanda mulai memberikan perhatian


yang lebih baik terhadap sistem registrasi penduduk. Pada tahun 1851 diterbitkan
angka-angka mengenai jumlah penduduk menurut keresidenan di Jawa dan
Madura dan beberapa daerah di laur Jawa. Mulai tahun 1880 pemerintahan
Kolonial Belanda melakukan pencatatan dan pelaporan penduduk dengan sistem
kartu mingguan (Gar-diner, 1981). Pencatatan penduduk yang mereka lakukan
masih belum baik dan kalau data ini di analisis akan menghasilkan kesimpulan
yang tidak tepat.
Pada waktu balatentara Jepang menduduki Indonesia (1942-1945), sistem
registrasi penduduk model ini dihapus dan diganti dengan sistem registrasi vital,
yaitu registrasi yang menyangkut kelahiran, kematian, kematian janin, abortus,
perkawinan dan perceraian (Said Rusli, 1983). Menurut Battha (1961) sistem
registrasi ini memiliki ketepatan yang cukup. Sangat disayangkan bahwa hasil
registrasi ini telah hilang, kecuali untuk Pulau Kalimantan dan Pulau Lombok.
Setelah Indonesia merdeka, sistem registrasi penduduk diteruskan lagi.
Sistem kartu mingguan yang dulu diterapkan diubah menjadi laporan mingguan
tingkat kecamatan. Tiap minggu kepala-kepala desa berkumpul di kantor
kecamatan menyerahkan data mengenai perubahan-perubahan penduduk yang ada
selama seminggu di desanya (Gardiner, 1981).
Percatatan peristiwa-peristiwa vital di Indonesia tidak dilaksanakan oleh
satu Departemen, tetapi oleh beberapa Departemen tergantung dari jenis datanya.
Misalnya, peristiwa kelahiran dicatat oleh Departemen Agama, migrasi penduduk
oleh Departemen kehakiman. Departemen Kesehatan bertugas mencatat statistik
kematian beserta sebab-sebab kematiannya. Biro Pusat Statistik menghimpun data
tersebut dan menerbitkannya dalam seri Registrasi Penduduk. Walaupun data
statistik vital dihimpun oleh beberapa departemen, tetapi di tingkat bawah data
tersebut dicatat oleh para lurah desa.
Seperti telah disebutkan di atas, hingga kini data hasil registrasi tersebut
mempunyai kelemahan-kelemahan (tidak lengkap dan reliabilitasinya rendah).
Hal ini antara lain disebabkan oleh kurangnya pengetahuan penduduk tentang
manfaat data tersebut. Banyak dari para pamong yang ditugaskan untuk mencatat
data statistik tersebut belum mengerti maksud dan kegunaan data registrasi
penduduk.
Memperhatikan betapa pentingnya data hasil registrasi tersebut, perlu dicari
cara-cara yang efisien sehingga kelengkapan data yang dikumpulkan terjamin
dengan kesalahan yang minimum. Biro Pusat Statistik yang bekerja sama dengan
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, Departemen Dalam Negeri dan
Departemen Kesehatan, mensponsori suatu proyek penelitian guna mencari sistem
registrasi penduduk yang dapat diterapkan di seluruh Indonesia. Proyek ini
disebut Proyek Sampel Registrasi Penduduk Indonesia (SRPI). Diharapkan dalam
waktu dekat setelah diundangkannya Undang-undang Kependudukan,
pelaksanaan registrasi penduduk dapat diselenggarakan dengan baik.

2.3 SURVEI PENDUDUK


Hasil sensus penduduk dan registrasi penduduk mempunyai keterbatasan.
Mereka hanya menyediakan data statistik kependudukan, dan kurang memberikan
informasi tentang sifat dan perilaku penduduk setempat. Untuk mengatasi
keterbatasan ini, perlu dilaksanakan survei penduduk yang sifatnya lebih terbatas
dan informasi yang dikumpulkan lebih luas dan mendalam. Biasanya survei
kependudukan ini dilaksanakan dengan sistem sampel atau dalam bentuk studi
kasus. Sebagai misal, survei Fertilitas dan mortalitas yang dilaksanakan oleh
Lembaga Demografi, Universitas Indonesia pada tahun 1973; survei Fertilitas dan
Keluarga Berencana di Mojolama Kabupaten Bantul dilaksanakan oleh Lembaga
Kependudukan Universitas Gadjah Mada, dan survei mengenai Mobilitas Sirkuler
oleh Ida Bagoes Mantra di Dukuh Piring (Bantul) dan Dukuh Kadirojo (Sleman).
Bab III
Komposisi Penduduk

Data penduduk yang didapatkan dari hasil registrasi, sensus penduduk


maupun survei, susunannya masih belum teratur sehingga, sulit untuk dibaca,
apalagi diinterpretasi. Untuk keperluan di atas, maka seluruh data tersebut perlu
terlebih dahulu disederhanakan. Menyederhanakan data ke dalam bentuk yang
lebih mudah dibaca dan diinterpretasi disebut menganalisis data ( Sofian Effendi
et.al, 1983 ). Dalam proses ini sering kali digunakan statistik, karena memang
salah satu fungsi dari statistik adalah menyederhanakan data.
Membagi penduduk atas kelompok-kelompok tertentu, atau dapat pula
dikatakan atas komposisi penduduk tertentu, merupakan salah satu dari bentuk
analisis penduduk. Komposisi penduduk menggambarkan susunan penduduk yang
dibuat berdasarkan pengelompokan penduduk menurut karakteristik-karakteristik
yang sama (Said Rusli, 1983) bermacan-macam komposisi penduduk dapat di
buat, misalnya komposisi penduduk menurut umur dan jenis kelamin, status
perkawinan, tingkat pendidikan, lapangan pekerjaan, bahasa dan agama.
Daftar pernyataan (kuesioner) yang digunakan dalam sensus penduduk
berisi pernyataan-pernyataan mengenai variabel kependudukan yang akan
ditanyakan kepada responden. Sebagai contoh beberapa variabel kependudukan
dari daftar pertanyaan sensus sampel yang digunakan pada tahun 1990 adalah
sebagai berikut. Jumlah anggota rumah tangga, jenis kelamin, umur, status
perkawinan, agama, propinsi tempat tinggal 5 tahun yang lalu dan sebagainya.
setelah daftar pertanyaan diisi, langkah selanjutnya ialah membuat tabel
frekuensi tunggal dari masing-masing variabel. Sebagai contoh, komposisi
penduduk menurut agama yang di anut ( Tabel 3.1 ). Dari tabel frekuensi tunggal
ini dapat di ketahui bahwa tahun 1990 sebesar 87,21 persen penduduk Indonesia
memeluk agama Islam, dan 6,04 persen beragama pretestan. Dari tabel frekuensi
tunggal tersebut dapat di ketahui karakteristik penduduk satu wilayah berdasarkan
variabel-variabel tertentu.
Tabel 3.1.
Penduduk Indonesia menurut agama yang dianut
Tahun 1990 (X 1000)
Agama Jumlah Persen
Islam 156318.6 87.21
Katholik 6411.8 3.58
Kristen 10820.8 6.04
Hindu 3287.3 1.83
Budha 1840.7 1.02
Lainnya 568.6 0.32
jumlah 179247.8 100.00

Sumber: BPS 1983


3.1 KOMPOSISI PENDUDUK MENURUT UMUR DAN JENIS KELAMIN
Komposisi penduduk yang sering digunakan untuk analisis dan perencanaan
pembangunan adalah komposisi penduduk menurut umur dan jenis kelamin.
Kantor materi negara kependu8dukan / kepala BKKBN dalam mempersiapkan
alat-alat kontrasepsi membutuhkan data pasangan usia subur. Kantor menteri
tenaga kerja dalam usia pengadaan pasaran kerja membutuhkan data penduduk
usia sekolah dalam merencanakan wajib belajar.
Biasanya jumlah penduduk menurut umur dan jenis kelamin dijadikan satu
dalam satu tabel. U8mur biasanya dikelompokkan dengan jenjang lima tahunan,
misalnya kelompok umur 0-4, 5-9, 10-14,….,60-64, 65+ . penduduk yang
termasuk kelompok umur 5-9 tahun misalnya adalah semua penduduk yang telah
merayakan ulang tahunnya kelima, tetapi belum merayakan ulang tahunnya yang
kesepuluh.
Sebagai contoh lihat tabel 3.2.
Tabel 3.2.
Komposisi penduduk menurut umur dan jenis kelamin
Di Desa Batubulan, bali tahun 1990
Kelompok jenis kelamin
Umur (th) laki-laki % perempuan %
0-4 306 6.7 288 7.0
5-9 357 7.8 362 8.8
10-14 415 9.1 385 9.3
15-19 515 11.2 439 0.6
20-24 529 11.6 416 0.1
25-29 483 10.6 374 9.0
30-34 412 9.0 386 9.3
35-39 346 7.5 279 6.7
40-44 274 6.0 258 6.2
45-49 234 50.1 229 5.5
50-54 194 4.2 190 4.6
55-59 165 3.6 176 4.3
60-64 177 3.9 172 4.2
60+ 172 3.7 181 4.4
Jumlah 4578 100.0 4135 100.0

Sumber: Monografi Desa Batubulan, 1991


Struktur umur penduduk antara satu dengan yang lain tidak sama. Begitu
pula keadaannya bila dibandingkan antara struktur umur penduduk negara-negara
yang sedang berkembang dengan negara-negara maju, antara daerah perdesaan
dan perkotaan.
Struktur umur penduduk dipengaruhi oleh tiga variabel demografi, yaitu
kelahiran, kematian dan migrasi. Ketiga variabel ini sering saling berpengaruh
satu dengan yang lain. Kalau sudah satu variabel berubah, kedua variabel yang
lain juga ikut berubah. Faktor sosial-ekonomi di suatu negara akan mempengaruhi
struktur umur penduduk melalui ketiga variabel demografi di atas.
Suatu negara dikatakan berstruktur umur muda , apabila kelompok
penduduk yang berumur di bawah lima belas tahun jumlahnya besar (lebih dari 40
persen), sedang besarnya kelompok penduduk usia 65 tahun keatas kurang dari 10
persen. Umumnya negara-negara yang sedang berkembang seperti Burma,India,
dan Indonesia, struktur penduduknya muda. Sebaliknya suatu negara dikatakan
berstruktur umur tua apabila kelompok penduduk yang berumur 15 tahun ke
bawah jumlahnya kecil (kurang dari 40 persen dari seluruh penduduk) dan
persentase penduduk di atas 65 tahun sekitar 10 persen. Negara –negara maju
seperti Jepang, Jerman, Amerika Serikat mempunyai struktur umur hidup tua.
Dari uraian di atas, dapatlah dimengerti betapa pentingnya pengetahuan
tentang komposisi penduduk menurut kelompok umur di suatu negara atau
wilayah. Perbedaan struktur umur akan menimbulkan pula perbedaan dalam aspek
sosial ekonomi seperti masalah angkatan kerja, pertumbuhan penduduk, dan
masalah pendidikan.

3.2 PIRAMIDA PENDUDUK


Komposisi penduduk menurut umur dan jenis kelamin dapat digambarkan
pada sebuah grafik yang di sebut piramida penduduk. Penggambaran suatu
piramida penduduk dimulai dengan menggambarkan dua garis yang saling tegak
lurus. Garis yang vertikal menggambarkan umur penduduk mulai dari nol lalu
naik. Kenaikan ini dapat tahunan sumbuh horizontal menggambarkan jumlah
penduduk tertentu baik secara absolut maupun relatif (dalam persen) . pemilihan
skala perbandingan pada sumbu horizontal ini sangat tergantung dari jumlah
penduduk dalam persentase tertentu dari jumlah penduduk yang terdapat dalam
tiap golongan umur di sumbuh vertikal.
Pada bagian kiri sumbuh vertikal dapat di gambarkan jumlah penduduk laki-
laki, dan di bagian kanan di gambarkan jumlah penduduk perempuan (Gambar 3).
Piramida penduduk pada gambar 3, adalah piramida penduduk desa Batubulan
tahun 1990. Piramida penduduk di desa ini adalah contoh piramida penduduk
suatu desa yang sudah terkena pengaruh aktivitas industri pariwisata. Kebanyakan
perajin dan pedagang. Banyak migran laki-laki datang ke desa ini, sehingga
kelompok umur 15-44 tahun jumlah penduduk laki-laki lebih besar di bandingkan
dengan jumlah penduduk perempuan.

Sering pada tabel komposisi penduduk menurut umur dan jenis kelamin
terdapat kelompok penduduk yang tidak diketahui umurnya, kelompok ini sering
disebut dengan kelompok “not stated” (NS). Sudah tentu penduduk NS ini tidak
dapat digambarkan dalam piramida penduduk. Jika jumlah penduduk yang
tergolong kategori ini sedikit dibandingkan dengan jumlah penduduk seluruhnya,
maka kelompok penduduk umur yang lain dengan menggunakan teknik prorating.
Pro-rating dikerjakan dengan dua cara:
1. Mengalikan masing-masing kelompok penduduk menurut dengan faktor
pengali k yang dapat dicari dengan rumus:
jumlah seluruh penduduk
𝑘 = jumlah seluruh penduduk−NS

2. Jumlah penduduk kelompok umur tertentu ditambah dengan hasil


perkalian proposi penduduk kelompok umur di atas dengan jumlah seluruh
penduduk dengan jumlah penduduk NS.
Untuk jelasnya lihat contoh Tabel 3.3.

Tabel 3.3
Penduduk menurut kelompok umur dan jenis kelamin
Di wilayah tertentu, pada tahun tertentu sebelum dan sesudah
Dilaksanakannya pro-rating (X1000)
Umur Sebelum Sesudah pro-rating
0-4 8.462 8.473
5-9 7.684 7.694
10-14 4.319 4.324
15-19 3.834 3.456
25-34 7.334 7.343
45-54 3.559 3.563
55-64 1.898 1.900
65-74 796 797
75+ 376 378
Tak terjawab (not stated) 60 -
Catatan:
Sebagai ilustrasi diambil kelompok penduduk umur 10-14 tahun, dipro-
rating dengan du cara:
 Cara 1. K= 47.497 : 47.463 = 1,0012648
Jumlah penduduk sebelum di pro-rating: 4.319.000
Setelah di pro-rating menjadi:
4.319.000 x 1,0012648 = 4.324.000
K= bilangan pengali
 Cara 2. Jumlah penduduk setelah di pro-rating
4.319.000 +(4.319.000/47.496.000) x 60 = 4.324.000

Berdasarkan komposisi penduduk menurut umur dan jenis kelamin,


karakteristik penduduk suatu negara dapat dibedakan menjadi tiga
kelompok,
1. Ekspansif, jika sebagian besar penduduk berada dalam kelompok
umur muda. Tipe ini umunya terdapat pada negara-negara yang
mempunyai angka kelahiran dan angka kematian tinggi. Tipe ini
terdapat pada negara-negara dengan tingkat pertumbuhan penduduk
yang cepat akibat dari masih tingginya angka kematian. Negara-
negara y6ang termasuk tipe ini adalah: Indonesia, Malaysia,
Philipina, India, Costra Rica, dan Nigeria.
2. Konstruktif, jika penduduk yang berada dalam kelompok termuda
jumlahnya sedikit. Tipe ini terdapat pada negara-negara dimana
angka kelahirannya turun dengan cepat, dan angka kematiannya
rendah. Contohnya: Jepang, dan negara-negara di Eropa Barat,
misalnya Swedia, dan Sepanyol.
3.
4. Stasioner, jika banyaknya penduduk dalam tiap kelompok umur
hampir sama, kecuali pada kelompok umur tertentu. Tipe ini
terdapat pada negara-negara yang mempunyai tingkat kelahiran dan
tingkat kematian rendah, terdapat pada negara-negara Eropa,
misalnya Jerman, dan negara Amerika Serikat (Gambar 4).
Gambar 5 adalah piramida penduduk Indonesia hasil sensus penduduk
Indonesia 1961, 1971, 1980, 1990. Bentuk piramida penduduk tersebut
dipengaruhi oleh keadaan sosial-ekonomi, dan politik yang berlaku di
Indonesia antara tahun 1961 hingga tahun 1990. Namun demikian seperti
disebutkan di muka, keadaan di atas tidak langsung berpengaruh pada struktur
penduduk menurut umur tetapi melalui variabel antara seperti kelahiran,
kematian, dan migrasi penduduk.
Turunnya angka kematian, terutama pada umur-umur muda, dan keadaan
fertilitas yang tetap tinggi, menyebabkan struktur umur penduduk negara
tersebut muda. Hal ini terlihat dari lebarnya dasar piramida penduduk negara
tersebut. Negara-negara yang terlibat dalam peperangan seperti Jepang,
Jerman, Italia, pada perang dunia ke II, mortalitasnya tinggi pada kelompok
penduduk usia dewasa, dan hal ini jelas terlihat menciutnya piramida penduduk
negara bersangkutan pada kelompok umur dewasa, terutama pada jenis
kelamin laki-laki.
Turunnya angka fertilitas di suatu negara pengaruhnya lebih besar pada
bentuk dasar piramida penduduk negara tersebut. Misalnya, Indonesia pada
periode 1971-1980 terjadi penurunan angka fertilitas penduduk yang antara
lain karena keberhasilan program keluarga berencana yang di rencanahkan oleh
pemerintah sejak PELITA I. hal ini jelas terlihat pada dasar piramida
penduduk dimana kelompok umur 0-4 tahun lebih kecil dari kelompok umur 5-
9 tahun (Gambar 3). Pada bagian tengah piramida tersebut masih
menggelembung karena pertumbuhan penduduk yang lahir sebelum
nterjadinya penurunan fertilitas tersebut.
Migrasi penduduk akan mempengaruhi piramida penduduk pada
kelompok umur dewasa. Namun demikian banyak dari negara-negara dimana
pertumbuhan penduduknya tidak dipengaruhi oleh faktor migrasi. Sebagai
contoh, negara Indonesia pertumbuhan penduduknya (secara nasional) hanya
dipengaruhi oleh faktor kelahiran dan faktor kematian. Faktor migrasi
pengaruhnya kecil sekali karena tidak banyak negara Indonesia yang bertempat
tinggal di luar negeri, begitu pula warga asing yang berdomisili di Indonesia.
Pengaruh komponen migrasi di Indonesia terjadi pada propinsi-propinsi
Sumatera Barat, daerah istimewa Yogyakarta, banyak dari penduduknya yang
bermigrasi ke luar propinsi bersangkutan, sedangkan untuk propinsi Lampung,
DKI Jaya, kalimantan Timur, banyak terdapat migran yang termasuk. Bagi
daerah pemukiman yang baru dibuka, piramida penduduknya berbentuk
istimewa, yaitu dasarnya sempit, bagian puncak kosong dan jumlah penduduk
perempuan sedikit.[]
BAB IV
PERKEMBANGAN PENDUDUK DUNIA DAN TRANSISI DEMOGRAFI

4.1 PERTUMBUHAN PENDUDUK DUNIA


Sebenarnya hingga kini tidak terdapat data perkembangan penduduk dunia
yang dapat dipercaya, terutama mengenai gambaran demografi pada abad-abad
permulaan kehidupan manusia. Beberapa ahli (Thompson dan Lewis, 1965;
Hutchincson, 1967; Bland dan D.E. Lee, 1976; Tomlinson, 1965; dan Bogue,
1969) membuat estimasi tentang jumlah penduduk dan perkembangan penduduk
dunia pada waktu yang lampau, cukup dapat digunakan sebagai pegangan.
Perkembangan jumlah penduduk dunia sangat erat kaitannya dengan
perkembangan peradaban manusia dalam berinteraksi dengan alam sekitarnya.
Ada tiga tahap perkembangan peradaban manusia hingga kini : Pertama, jaman
ketika manusia mulai mempergunakan alat-alat untuk menanggulangi
kehidupannya. Hal ini membedakan dengan jelas antara Homo sapiens dengan
Kerja. Jaman ini berlangsung beberapa juta tahun, dan dapat lagi dibagi menjadi
jaman peralatan batu tua, batu muda, dan perunggu. Kedua jaman ketika mausia
mulai mengembangkan usaha pertanian menetap. Jaman ini merubah kehidupan
perburuhan menjadi kehidupan pertanian atau kehidupan yang sifatnya nomadis
menjadi kehidupan menetap di sekitar daerah pertanian. Ketiga jaman mulainya
era industrialisasi, yaitu sekitar pertengahan abad ke-17sesudah Masehi. Jaman ini
ditandai dengan tumbuhnya pusat-pusat industri, dan semakin berkembangnya
kota-kota sebagai tempat pemukiman manusia (Tomlinson, 1965).
Dalam kerangka kerja perkembangan kebudayaan manusia itulah, beberapa
tahapan atau periode sejarah pertumbuhan penduduk dunia dirumuskan oleh para
ahli. Angka pertama yang dikemukakan mengenai jumlah penduduk dunia adalah
125.000 orang, yang hidup kira-kira satu juta tahun yang lalu (Devey dalam Bland
dan Dwight E. Lee, 1976). Angka ini baru berkembang menjadi kira-kira satu juta
tahun yang lalu (Devey dalam Bland dan Dwight E. Lee, 1976). Angka ini baru
berkembang menjadi kira-kira satu juta orang setelah mengalami proses
pertumbuhan selama 700.000 tahun kemudian. Tingkat pertumbuhan penduduk
setiap tahun dalam era ini nyaris tidak berarti sama sekali, yakni 0.00001 persen.
Tingkat pertambahan penduduk sebesar ini berlangsung kira-kira hingga tahun
8000 sebelum Masehi. Pada waktu itu jumlah absolut penduduk dunia
diperkirakan sebesar 5,3 juta jiwa (Jones, 1981). Hampir 99 persen dari sejarah
pertumbuhan manusia, penduduk dunia hanya bertambah sebesar 5-10 juta
(jumlah ini, menurut ahli Antropologi yang mampu ditopang oleh aktifitas
berburu, menangkap ikan, dan mengumpulkan hasil-hasil hutan).
Lambatnya pertumbuhan penduduk pada era ini disebabkan karena
tingginya tingkat kematian. Menurut Bogue (1969) hampir setengah dari bayi
yang lahir, meninggal sebelum mencapai umur satu tahun, sedangkan sisanya,
dalma perjalanan hidupnya banyak yang meninggal karena kelaparan, epidemi,
dan peperangan.
Pertumbuhan penduduk terlihat meningkat pada kira-kira 6000 – 9000 tahun
yang lampau, ketika teknik bertani sudah dikenal dan mulai menyebar di beberapa
bagian dunia. Kondisi ini memungkinkan untuk meningkatkan produksi pangan,
yang berarti meningkatkan kemakmuran manusia. Arus suplai bahan pangan
semakin lancar dari daerah-daerah pertanian ke pusat-pusat pemukiman
penduduk.
Pada awal tahun Masehi, jumlah penduduk masih sekitar 200 juta jiwa, dan
pada tahun 1650 jumlah penduduk dunia diperkirakan sebesar 500 juta jiwa.
Setelah tahun 1650 pertumbuhan penduduk dunia mulai meningkat (Tabel 4.1).
hal ini berkaitan erat dengan mulainya berlangsung revolusi industri di negara-
negara Barat. Era mulai tahun 1650 hingga sekarang dikenal sebagai era modern
kependudukan dunia.
Tabel 4.1
Perkiraan Pertumbuhan Penduduk dunia Hingga Tahun 1960
Jumlah Tahun
Rata-rata
penduduk
Pertumbuhan
Perkiraan Berlipat Dua dari
Penduduk dari
Tahun Jumlah Jumlah
tahun yang
Penduduk Penduduk Tahun
Mendahuluinya
Yang
(persen)
Mendahuluinya
10.000.000 B.C 100 ribu – 10 juta Lebih rendah dari Sangat lama sekali
0,05
5.000 B.C 5 juta – 20 juta Idem Idem
0 200 juta Idem Idem
1.300 400 juta Idem Idem
1.650 500 juta 0.1 1.000
1.700 600 juta 0.2 300
1.750 700 juta 0.3 230
1.800 900 juta 0.4 180
1.850 1.200 juta 0.5 140
1.900 2.400 juta 0.8 90
1.960 2.800 juta 1.7 400
Sumber : Tomlinson (1965)

Sejalan dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan


perkembangan teknologi dalam mengolah sumberdaya alam yang ada, tingkat
kehidupan manusia menjadi semakin baik. Hal ini sangat mempengaruhi
penurunan tingkat mortalitas penduduk. Seperti banyak dikemukakan oleh para
ahli demografi, bahwa ledakan penduduk yang terjadi pada abad-abad terakhir ini
terutama karena menurunnya tingkat kematian dengan cepat, sementara tingkat
kelahiran belum dapat dikontrol dengan baik.
Dengan hanya membutuhkan waktu lebih dari tiga abad sejak tahun 1650,
jumlah penduduk dunia sudah menjadi sekitar 2.400 juta jiwa, dengan tingkat
pertumbuhan penduduk setiap tahun sekitar satu persen (lihat Gambar 6).
Bogue (Kammeyer, 1971) memperhitungkan tingkat pertumbuhan
penduduk dunia setelah tahun 1650 sebagai berikut. Pada periode tahun 1650-
1750 tingkat pertumbuhan penduduk dunia sekitar 0,34 persen per tahun, dan pada
periode dekade 1950-an meningkat menjadi 1,81 persen, dan pada periode tahun
1995-2000 menurun menjadi 1,3 persen (United Nation, 1998).
Bogue membedakan tingkat pertumbuhan penduduk berkembang (non
industri) sebagai berikut. Pada periode tahun 1650-1750 tingkat pertumbuhan
penduduk kedua kelompok negara tersebut hampir sama, tetapi set elah tahun
1750, tingkat pertumbuhan penduduk negara-negara sedang berkembang.
Keadaan ini terus berlanjut hingga dekade ketiga abad ke-20, dan tingkat
pertumbuhan penduduk tertinggi untuk negara-negara industri terjadi pada abad
ke 18 dan ke 19. Hal ini disebabkan karena tingkat kematian sudah menurun
sedangkan tingkat kelahiran dan tingkat kematian yang menghasilkan tingkat
pertumbuhan penduduk alami (rate of natural increase) sampai batas tertentu
akan terus meningkat. 5

Gambar 6
Perkembangan Pertumbuhan Dunia Sejak Permulaan Tahun Masehi
5
Untuk jelasnya baca uraian mengenai transisi demografi pada sub bab 4.2
Berkaitan dengan tahap perkembangan teknologi maupun peristiwa-
peristiwa sosial ekonomi yang penting yang dialami penduduk dunia sejak tahun
1650, maka Thompson dan Lewis (1978) membagi periode perkembangan
penduduk dunia ke dalam lima periode :
1. Periode 1650 – 1800
2. Periode 1800 – 1850
3. Periode 1850 – 1900
4. Periode 1900 – 1930
5. Periode 1930 hingga sekarang

Periode 1650-1800, ditandai dengan pengembangan teknik-teknik pertanian


baru, pendirian pabrik-pabrik dalam tahap awal, serta pengembangan sarana
transportasi dan perhubungan, disertai dengan kestabilan politik yang relatif
terjadi di banyak negara di dunia. Faktor-faktor tersebut memberikan pengaruh
yang cukup besar terhadap pertumbuhan penduduk, terutama di negara-negara
barat. Penduduk dunia pada akhir periode ini diperkirakan sebanyak 900 juta jiwa
dengan tingkat pertumbuhan penduduk 0,4 persen per tahun.
Pada periode 1800 – 1850, pertumbuhan penduduk dunia sudah
menunjukkan variasi antara negara satu dengan negara yang lain maupun antara
satu kawasan benua dengan kawasan benua yang lain. Negara-negara di Eropa
pada umumnya menunjukkan laju pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi.
Dalam waktu hanya 50 tahun, penduduknya bertambah sekitar 33,3 persen.
Peningkatan penataan kehidupan politik dan ekonomi bangsa-bangsa pada masa
ini mendorong stabilnya penyediaan pangan yang cukup bagi penduduk,
disamping kesadaran akan kesehatan lingkungan. Salah satu hal penting yang
patut dicatat dalam periode ini adalah kesadaran untuk mengontrol laju
pertumbuhan penduduk, khususnya di Perancis.
Periode 1850 – 1900 ditandai dengan sudah banyaknya negara di dunia yang
melaksanakan sensus penduduk secara lengkap, sehingga data kependudukan
dunia sudah semakin banyak dan reabilitasnya semakin tinggi. Kemajuan
teknologi pada periode ini semakin mendorong peningkatan produktivitas
manusia. Pengorganisasian kehidupan sosial, ekonomi, dan politik penduduk
negara-negara semakin nampak, terutama di daerah-daerah urban.
Perubahan yang paling penting terjadi pada periode ini ialah telah mulai
menurunnya tingkat fertilitas di beberapa negara barat. Di Eropa, misalnya, sudah
timbul kesadaran dan keyakinan bahwa pertumbuhan penduduk sepenuhnya dapat
dikendalikan melalui usaha penurunan tingkat kelahiran dan tingkat kematian.
Dalam periode 1900-1930, peristiwa dunia yang membawa pengaruh
demografis yang besar ialah Perang Dunia I. Dalam peristiwa ini banyak
penduduk yang meninggal di medan perang, ataupun meninggal karena buruknya
keadaan ekonomi. Banyak negara yang dilanda penyakit yang banyak
menyebabkan kematian, terutama penyakit infeksi.
Dalam periode ini perkembangan penduduk dunia secara garis besar dapat
dipisahkan atas tiga wilayah. Wilayah pertama, mencakup negara-negara Eropa
Barat dan Amerika Serikat. Kedua negara ini sudah nampak dengan rapi dalam
pengendalian pertumbuhan penduduknya, melalui pengendalian kelahiran dan
kematian. Wilayah kedua, mencakup negara-negara Eropa Timur, Afrika Utara,
Amerika Latin dan Jepang. Di negara-negara ini usaha penurunan tingkat
kelahiran belum banyak berhasil dibandingkan dengan penurunan tingkat
kematian, sehingga masih terjadi pertumbuhan penduduk yang relatif besar. Oleh
para ahli di negara-negara inilah terjadi transisi demografi pada awal abad ke-20.
Adapun wilayah ketiga, yang merupakan sisa dari wilayah pertama dan kedua,
masih mengalami tingkat kelahiran dan kematian yang tinggi. Variasi
pertumbuhan penduduk antar negara dalam wilayah ini pada umumnya hanya
disebabkan oleh perbedaan tingkat kematian, oleh karena tingkat kelahirannya
cenderung masih statis.
Periode 1930 hingga sekarang, merupakan periode peledakan penduduk
dunia yang cukup besar, terutama setelah Perang Dunia II. Kecuali perang itu
sendiri, hampir sudah tidak ada lagi penyebab pembunuh manusia yang berarti.
Pelayanan kesehatan semakin jauh meningkat, terutama dengan penemuan
berbagai jenis obat anti biotika. Penemuan-penemuan teknologi modern semakin
mendorong peningkatan kualitas hidup. Di satu pihak keadaan ini justru semakin
mensukseskan usaha pengendalian penduduk negara-negara maju, namun
sebaliknya di negara-negara yang belum maju, terutama pada awal-awal periode
ini, keadaan ini justru mendorong pertambahan penduduk yang cukup besar.
Dalam periode inilah angka 4 milyar dari jumlah penduduk dunia dicapai. Dalam
periode ini pula, kesadaran akan penurunan tingkat kelahiran sebagai usaha-usaha
menekan laju pertumbuhan penduduk, menjadi program internasional yang
mencakup hampir semua negara di dunia.

4.2 TRANSISI DEMOGRAFI


Diatas telah diuraikan bahwa menjelang permulaan abad ke-20 di beberapa
negara barat terjadi penurunan tingkat kelahiran dan tingkat kematian.
Pengalaman historis ini melahirkan “teori pokok” dalam demografi yaitu transisi
demografi. Transisi Demografi adalah perubahan-perubahan tingkat kelahiran dan
tingkat kematian dimulai dari tingkat kelahiran dan tingkat kematian tinggi,
berangsur-angsur berubah menjadi tingkat kelahiran dan tingkat kematian rendah,
dan tingkat kematian menurun lebih cepat dibandingkan dengan tingkat kelahiran.
Bogue (1969) membuat pentahapan transisi demografi menjadi tiga tahapan:
I. Pra-transisi (pre-transitional), dari A hingga B, dengan ciri-ciri tingkat
kelahiran dan tingkat kematian sama-sama tinggi. Angka pertumbuhan
penduduk alami sangat rendah (hampir mendekati nol). Pra-transisi ini terjadi
sebelum tahun 1650, menyebabkan penduduk dunia stabil.
II. Transisi (Transitional), dari B ke E, dicirikan dengan penurunan tingkat
kelahiran dan tingkat kematian, tingkat kematian lebih rendah dari pada tingkat
kelahiran, mengakibatkan tingkat pertumbuhan penduduk alami sedang atau
tinggi. Fase transisi ini dibagi lagi menjadi tiga :
a. Permulaan Transisi (early transitional), dari B ke C, dicirikan dengan
tingkat kematian menurun, tetapi tingkat kelahiran tetap tinggi, bahkan ada
kemungkinan meningkat karena perbaikan kesehatan.
b. Pertengahan transisi (mid-transitional), dari C ke D, tingkat kematian dan
tingkat kelahiran kedua-duanya menurun, tetapi tingkat kematian menurun
lebih cepat dari tingkat kelahiran.
c. Akhir transisi (late transitional), dari D ke E, tingkat kematian rendah dan
tidak berubah atau menurun hanya sedikit, dan angka kelahiran antara
sedang dan rendah, dan berfluktuasi atau menurun. Pengetahuan tentang
kontrasepsi meluas.
III.Pasca-transisi (Post-transitional), dari E ke F, dicirikan oleh tingkat kematian
dan tingkat kelahiran kedua-duanya rendah; hampir semuanya mengetahui
cara-cara kontrasepsi dan dipraktekkan. Tingkat kelahiran dan tingkat kematian
(vital rates) mendekati keseimbangan. Pertumbuhan penduduk alami amat
rendah dalam jangka waktu yang panjang (Gambar 7 dan Tabel 4.2).

Teori transisi demografi telah dikembangkan oleh Warren Thompson dan


Frank Notenstein (Chester Bland and D.E. Lee, 1976). Kedua ahli ini bekerja
sendiri-sendiri dengan bertitik tolak pada tingkat fertilitas dan mortalitas di Eropa
Barat mulai abad ke 17. Menurut David Lucas (1982) teori transisi ini
mengandung beberapa kelemahan, karena pada masa tersebut di Eropa Barat
sendiri terdapat variasi dalam beberapa hal. Pada masa pra-transisi, misalnya
fertilitas di Eropa sangat bervariasi disebabkan karena perbedaan pola-pola
perkawinan, di samping itu beberapa negara sudah dengan sengaja mengatur
fertilitasnya. Sebagai contoh dikemukakan oleh Lucas, bahwa penurunan
kelahiran di Perancis telah dimulai pada awal abad 19, yaitu sebelum
industrialisasi dan urbanisasi mulai menyebar. Sedangkan di negara-negara Eropa
Barat lainnya baru 75 tahun kemudian terjadi penurunan kelahiran. Disamping itu,
penurunan tingkat kelahiran dan tingkat mortalitas di Perancis terjadi dalam waktu
yang hampir bersamaan.
Gambar 7
Model Transisi Demografi

Tabel 4.2
Tahap-Tahap Transisi Demografi
Tingkat Tingkat Pertumbuhan
Tahap Contoh
Kelahiran Kematian alami
1. Stasioner Tinggi Tinggi Nol/sangat Eropa pada
tinggi rendah abad 14
2. Awal Lambat Lambat India
perkemban menurun sebelum PD
gan II
3. Akhir Menurun Menurun Cepat Eropa
perkemban lebih cepat Selatan dan
gan dari pada Timur
tingkat sebelum PD
kelahiran II, India
setelah PD II
4. Stasioner Rendah Rendah Nol/sangat Australia,
rendah rendah Selandia
baru,
Amerika
Serikat, pada
tahun 1939-
an
5. Menurun Rendah Lebih tinggi Negatif Perancis
dari pada sebelum PD
tingkat II. Jerman
kelahiran Timur dan
Barat pada
tahun 1975.
Sumber : Davis Lucas (1982 : 28)

Sebenarnya proses penurunan tingkat kematian dan kelahiran di beberapa


negara tidaklah sederhana seperti yang dilukiskan dalam model transisi demografi
diatas. Di Eropa, penurunan tingkat mortalitas lebih berkaitan dengan
perkembangan sosial ekonomi. Di negara-negara sedang berkembang, turunnya
tingkat mortalitas terutama disebabkan oleh tingginya efektifitas penggunaan
obat-obatan modern dan anti biotika.
Suasana di negara-negara yang sedang berkembang dewasa ini sangat
berbeda. Penggunaan alat-alat kontrasepsi oleh penduduk lebih mantap, dan
pemerintah menaruh perhatian yang serius terhadap masalah penduduk di
negaranya, sehingga penurunan tingkat fertilitas lebih cepat dari yang terjadi di
negara-negara Eropa pada abad ke 17. Menurut Davis Lucas (1982) di negara-
negara sedang berkembang sektor pertanian merupakan sektor dominan, maka ia
dan para penulis lainnya cenderung mengatakan bahwa “modernisasi” dari pada
“industrialisasi” sebagai penyebab penurunan tingkat fertilitas.
Di Indonesia, keluarga berencana mungkin merupakan sektor pembangunan
yang lebih maju dari pada sektor-sektor lainnya. Di sektor kesehatan, program
kesehatan masyarakat telah dilaksanakan secara intensif. Hampir di tiap-tiap
kecamatan di Jawa dan di Bali begitu pula di beberapa daerah lainnya di Indonesia
terdapat Pusat Kesehatan Masyarakat (PUSKESMAS), disamping itu program
perbaikan gizi terutama untuk anak-anak di bawah lima tahun (Balita)
dilaksanakan dengan baik, sehingga terjadi penurunan tingkat kematian, terutama
tingkat kematian bayi. Pemerintah Indonesia bertekad untuk menurunkan dengan
cepat tingkat kelahiran dan kematian sehingga pada akhir dari REPELITA IV
yaitu padatahun 1989 pertumbuhan penduduk di bawah dua persen setahun.
REPELITA IV ingin dijadikan landasan yang kuat oleh Pemerintah sehingga pada
REPELITA VI Indonesia dapat diharapkan dapat tinggal landas. Adapun
perkiraan komponen perubahan penduduk di Indonesia tahun 1980 hingga tahun
2000 dapat dilihat pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3
Perkiraan Komponen Perubahan Penduduk di Indonesia Tahun 1980-2000 (per
1000 jiwa)

Periode Tahun
Ukuran
1980-1985 1986-1990 1991-1995 1996-2000
1. Tingkat Kelahiran Kasar 33,72 31,26 28,90 26,91
2. Tingkat Kematian Kasar 11,86 10,28 8,92 7,80
3. Pertumbuhan Penduduk 21,86 20,98 19,98 19,11
4. Harapan Hidup 55,30 58,19 61,12 64,05
5. Tingkat Kematian Bayi 92,78 78,62 65,16 52,46
Sumber : Biro Pusat Statistik (1983)

Catatan : Perkiraan diatas dibuat atas asumsi :


a. Dari tahun 1980 hingga tahun 2000 tingkat kelahiran turun rata-rata sekitar 2
persen setiap tahun, sesuai dengan kecenderungan terjadi antara tahun 1967 –
1979.
b. Tingkat kematian mulai tahun 1980 sampai 2000 juta turun sesuai dengan
kecenderungan di masa lampau (1967-1979).
c. Migrasi Internasional neto dianggap tidak ada.
Pengukuran mengenai pencapaian tingkat transisi demografi di suatu
wilayah belum dapat dilakukan karena perlu dipelajari lebih dahulu pengukuran-
pengukuran komponen demografi baik yang bersifat statis (struktur penduduk)
maupun komponen yang bersifat dinamis (proses penduduk).[]
BAB V
TEORI PENDUDUK

PENDAHULUAN
Pada Bab IV telah dibicarakan bahwa mulai tahun 1650 laju pertumbuhan
penduduk dunia meningkat dengan cepat. Pada tahun 1650 jumlah penduduk
negara-negara Eropa, Amerika Serikat, Amerika tengah dan Amerika Selatan
sebesar 113 juta jiwa, pada tahun 1750 menjadi 152,4 juta, dan kemudian pada
tahun 1850 menjadi 325 juta jiwa. Jadi dalam dua abad jumlahnya menjadi tiga
kali lipat, sedangkan untuk benua Asia – Afrika dalam jangka waktu yang sama
jumlah penduduknya hanya berubah dua kali banyaknya (Tabel 5.1).
Tingginya laju pertumbuhan penduduk di beberapa bagian dunia ini
menyebabkan jumlah penduduk meningkat dengan cepat. Di beberapa bagian di
dunia ini telah terjadi kemiskinan dan kekurangan pangan. Fenomena ini
menggelisahkan beberapa ahli, dan masing-masing dari mereka berusaha mencari
faktor-faktor yang menyebabkan kemiskinan tersebut. Kalau faktor-faktor
penyebab tersebut telah diketemukan maka masalah kemiskinan akan dapat
diatasi.
Umumnya para ahli dikelompokkan menjadi tiga kelompok. Kelompok
pertama terdiri dari penganut aliran Malthusian. Aliran Malthusian dipelopori oleh
Thomas Robert Malthus, dan aliran Neo Malthusian dipelopori oleh Garreth
Hardin dan Paul Ehrlich. Kelompok kedua terdiri dari penganut aliran Marxist
yang dipelopori oleh Karl Marx dan Friedrich Engels. Kelompok ketiga terdiri
dari pakar-pakar teori kependudukan mutakhir yang merupakan reformulasi teori-
teori kependudukan yang ada. Beberapa dari pakar tersebut yang akan dibicarakan
disini adalah John Stuart Mill, Arsene Domont dan Emile Durkheim (Weeks,
1992).
Aliran Malthusian dan Marxist masing-masing mempunyai pengikut yang
luas. Aliran Malthusian umumnya dianut di negara-negara kapitalis dan aliran
Marxist dianut di negara-negara sosialis. Di bawah ini secara singkat diuraikan
pandangan dari masing-masing aliran tersebut.
Tabel 5.1
Perkiraan Jumlah Penduduk Dunia Berdasarkan Benua/Wilayah, 1650-1950
Distribusi Penduduk (dalam jutaan)
Benua/Wilayah 1650 1750 1800 1850 1900 1950
Jml % Jml % Jml % Jml % Jml % Jml %
1. Eropa 100 18,3 140 19,2 187 20,7 266 22,7 401 24,9 541 22,5
2. Amerika Utara* 1 0,2 1,3 0,1 5,7 0,7 26 2,3 81 5,1 166 6,9
3. Amerika tengah dan Selatan 12 2,2 11,1 1,5 18,9 2,1 33 2,8 63 3,9 162 6,8
4. Oseanea 2 0,4 2 0,3 2 0,2 2 0,2 6 0,4 13 0,5
5. Afrika 100 18,3 95 13,1 90 9,9 95 9,1 120 7,4 198 8,5
6. Asia 330 60,0 479 65,8 602 66,4 749 63,9 937 58,3 1320 55,0
Jumlah 545 10,0 728 100,0 906 100,0 1171 100,0 1608 100,0 2400 100,0
Tidak termasuk Amerika tengah
Sumber : Landis and Hatt, 1959
5.2 ALIRAN MALTHUSIAN
Aliran ini dipelopori oleh Thomas Robert Malthus, seorang pendeta Inggris,
hidup pada tahun 1766 hingga tahun 1834. Pada permulaan tahun 1798 lewat
karangannya yang berjudul : “Essay on Principle of Populations as it Affect the
Future Improvement of Society, with remarks on the Speculations of MR. Godwin,
M. Condorcet, and Other Writers”, menyatakan bahwa penduduk (seperti juga
tumbuh-tumbuhan dan binatang) apabila tidak ada pembatasan, akan berkembang
biak dengan cepat dan memenuhi dengan cepat beberapa bagian dari permukaan
bumi ini (Weeks, 1992). Tingginya pertumbuhan penduduk ini disebabkan karena
hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan tidak bisa dihentikan.
Disamping itu Malthus berpendapat bahwa manusia untuk hidup memerlukan
bahan makanan, sedangkan laju pertumbuhan bahan makanan jauh lebih lambat
dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk. Apabila tidak diadakan
pembatasan terhadap pertumbuhan penduduk, maka manusia akan mengalami
kekurangan bahan makanan. Inilah sumber dari kemelaratan dan kemiskinan
manusia. Hal ini jelas diuraikan oleh Malthus sebagai berikut :
… Human species would increase as the number 1,2,4,8,16,32,64,128,256,
and substance as 1,2,3,4,5,6,7,8,9. In two centuries the population would be
to the means of and in two thousand years the difference would be almost
incalculable….
(Malthus, edisi fogarty, 1948)
Seperti telah disebutkan diatas, untuk dapat keluar dari permasalahan
kekurangan pangan tersebut, pertumbuhan penduduk harus dibatasi. Menurut
Malthus pembatasan tersebut, dapat dilaksanakan dengan dua cara yaitu
preventive checks, dan positive checks. Preventive checks ialah pengurangan
penduduk melalui penekanan kelahiran. Preventive checks dapat dibagi menjadi
dua, yaitu : moral restraint dan vice. Moral restraint (pengekangan diri) yaitu
segala usaha untuk mengekang nafsu seksual, dan penundaan pengurangan
kelahiran seperti : pengangguran kandungan, penggunaan alat-alat kontrasepsi,
homoseksual, promiscuity, adultery (Yaukey, 1990). Bagi Malthus moral restraint
merupakan pembatasan kelahiran yang paling penting, sedangkan penggunaan
alat-alat kontrasepsi belum dapat diterimanya.
Positive checks adalah pengurangan penduduk melalui proses kematian.
Apabila di suatu wilayah jumlah penduduk melebihi jumlah persediaan bahan
pangan, maka tingkat kematian akan meningkat akibat terjadinya kelaparan,
wabah penyakit dan lain sebagainya. Proses ini akan terus berlangsung sampai
jumlah penduduk seimbang dengan persediaan bahan pangan. Positive checks
dapat dibagi lagi menjadi dua yaitu :vice dan misery. Vice (kejahatan) ialah segala
jenis pencabutan nyawa sesama manusia seperti pembunuhan anak-anak
(infanticide), pembunuhan orang-orang cacat, dan orang-orang tua. Misery
(kemelaratan) ialah segala keadaan yang menyebabkan kematian seperti berbagai
jenis penyakit dan epidemi, bencana alam, kelaparan, kekurangan pangan dan
peperangan (Tabel 5.2).

Tabel 5.2
Pembatasan Pertumbuhan Penduduk
Preventive Check Positive Checks
(lewat penekanan kelahiran) (lewat proses kematian)
Moral Restraint Vice Usaha Vice (Segala Jenis Misery (Keadaan
(pengekangan Pengurangan Pencabutan yang
diri) Kelahiran) Nyawa) menyebabkan
kematian)
- Segala usaha - Pengguguran - Pembunuhan - Epidemi
mengekang kandungan anak-anak - Bencana alam
nafsu seksual - Homoseksual - Pembunuhan - Peperangan
- Penundaan - Promiscuity orang-orang - Kelaparan
perkawinan - Adultery cacat - Kekurangan
- Penggunaan - Pembunuhan pangan
alat-alat orang-orang tua
kontrasepsi
* Thomas Robert Malthus hanya percaya pada Moral restraint sebagai Preventive Checks (Weeks,
1992).
Sumber : Weeks (1992) yang disesuaikan

Pendapat Malthus banyak mendapat tanggapan para ahli dan menimbulkan


di skusi yang terus menerus. Pada umumnya gagasan yang dicetuskan M althus
dalam abad ke-18 pada masa itu dianggap sangat aneh. Asumsi yang mengatakan
bahwa dunia akan kehabisan sumber daya alam karena jumlah penduduk yang
selalu meningkat, tidak dapat diterima oleh akal sehat. Dunia baru (Amerika,
Afrika, Australia, dan Asia) dengan sumber daya lama yang berlimpah, baru saja
terbuka untuk para migran dari dunia lama (misalnya Eropa Barat). Mereka
memperkirakan bahwa sumberdaya alam di dunia baru tidak akan dapat
dihabiskan. Beberapa kritik terhadap teori Malthus adalah sebagai berikut :
1. Malthus tidak memperhitungkan kemajuan-kemajuan transportasi yang
menghubungkan daerah satu dengan yang lain sehingga pengiriman bahan
makanan ke daerah-daerah yang kekurangan pangan mudah dilaksanakan.
2. Dia tidak memperhitungkan kemajuan yang pesat dalam bidang teknologi,
terutama dalam bidang pertanian. Jadi produksi pertanian dapat pula
ditingkatkan secara cepat dengan mempergunakan teknologi baru.
3. Malthus tidak memperhitungkan usaha pembatasan kelahiran bagi pasangan-
pasangan yang sudah menikah. Usaha pembatasan kelahiran ini telah
dianjurkan oleh Francis Place pada tahun 1822 (Flew, 1976).
4. Fertilitas akan menurun apa bila terjadi perbaikan ekonomi dan standard hidup
penduduk dinaikkan. Hal ini tidak diperhitungkan oleh Malthus.

5.3 ALIRAN MARXIST


Aliran ini dipelopori oleh Karl Marx dan Friedrich Engels. Tatkala Thomas
Robert Malthus meninggal di Inggris pada tahun 1834, mereka berusia belasan
tahun. Kedua-dua lahir di Jerman kemudian secara sendiri-sendiri hijrah ke
Inggris. Pada waktu itu teori Malthus sangat berpengaruh di Inggris maupun di
Jerman. Marx dan Engels tidak sependapat dengan Malthus yang menyatakan
bahwa apabila tidak diadakan pembatasan terhadap pertumbuhan penduduk, maka
manusia akan kekurangan bahan pangan. Menurut Marx tekanan penduduk yang
terdapat di suatu negara bukanlah tekanan penduduk terhadap kesempatan kerja.
Kemelaratan terjadi bukan disebabkan karena pertumbuhan penduduk yang terlalu
cepat, tetapi karena kesalahan struktur masyarakat itu sendiri seperti yang terdapat
pada negara-negara kapitalis. Kaum kapitalis akan mengambil sebagian
pendapatan dari buruh sehingga menyebabkan kemelaratan buruh tersebut.
Sebagai contoh, seorang buruh yang bekerja di bengkel kendaraan bermotor
selama 8 jam, tetapi ia hanya dibayar untuk kerja selama 6 jam karena upah
selama 2 jam digunakan untuk membayar sewa alat-alat bengkel yang dipunyai
oleh bengkel itu sendiri. Semakin banyak kaum kapitalis memotong gaji buruh
tersebut semakin rendah pendapatan yang diterima oleh buruh yang menyebabkan
mereka semakin melarat.
Selanjutnya Marx berkata, kaum kapitalis membeli mesin-mesin untuk
menggantikan pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan oleh buruh. Jadi penduduk
yang melarat bukan disebabkan karena kekurangan bahan pangan, tetapi karena
kaum kapitalis mengambil sebagian dari pendapatan mereka dan mengganti
peluang kerja dengan mesin-mesin. Jadi menurut Marx dan Engels sistem
kapitalislah yang menyebabkan kemelaratan tersebut, dimana mereka menguasai
alat-alat produksi. Untuk mengatasi hal-hal tersebut maka struktur masyarakat
harus diubah dari sistem kapitalis ke sistem sosialis.
Menurut Marx dalam sistem sosialis alat-alat produksi dikuasai oleh buruh,
sehingga gaji buruh tidak akan terpotong. Buruh akan menikmati seluruh hasil
kerja mereka dan oleh karena itu masalah kemelaratan akan dapat dihapuskan.
Selanjutnya dia berpendapat bahwa semakin banyak jumlah manusia semakin
tinggi produksi yang dihasilkan, jadi dengan demikian tidak perlu diadakan
pembatasan pertumbuhan penduduk : Marx dan Engels menentang usaha-usaha
moral restraint yang disarankan oleh Malthus (Weeks, 1992).
Sama dengan Thomas Robert Malthus dimana teorinya banyak dianut, maka
pendapat Marx pun banyak pula mendapat pengikut. Setelah Perang Dunia II,
dunia dibagi menjadi tiga kelompok, pertama, negara-negara kapitalis yang
umumnya cenderung membenarkan teori Malthus seperti Amerika Serikat,
Inggris, Perancis, Australia, Canada dan Amerika Latin ; Kedua, negara yang
menganut sistem sosialis, seperti Unisoviet, negara-negara Eropa Timur, Republik
Rakyat Cina, Korea Utara dan Vietnam; ketiga negara-negara nonblok seperti
India, Mesir dan Indonesia.
Beberapa kritik yang telah dilontarkan terhadap teori Marx ini diantaranya
adalah sebagai berikut : Marx menyatakan bahwa hukum kependudukan di negara
sosialis merupakan antithesa hukum kependudukan di negara kapitalis. Menurut
hukum ini apabila di negara kapitalis tingkat kelahiran dan tingkat kematian sama-
sama rendah maka di negara sosialis akan terjadi kebalikannya yaitu tingkat
kelahiran dan kematian sama-sama tinggi. Namun kenyataannya tidaklah
demikian, tingkat pertumbuhan penduduk di negara Unisoviet hampir sama
dengan negara-negara maju yang sebagian besar merupakan negara kapitalis.
RRC sebagai negara sosialis tidak dapat mentolerir lagi pertumbuhan penduduk
yang tidak dihambat sesuai dengan ajaran Marxist, karena di beberapa wilayah
jumlah bahan makanan sudah sangat terbatas. Pada tahun 1953 pemerintah RRC
mulai membatasi jumlah pertumbuhan penduduknya dengan menggunakan alat-
alat kontrasepsi dan memperbolehkan pengguguran kandungan (abortion).

5.4 ALIRAN NEO-MALTHUSIANS


Pada akhir abad ke-19 dan permulaan dari abad ke-20, teori Malthus mulai
diperdebatkan lagi. Kelompok yang menyokong aliran Malthus tetapi lebih
radikal disebut dengan kelompok Neo-Malthusianism. Kelompok ini tidak
sependapat dengan Malthus bahwa untuk mengurangi jumlah penduduk cukup
dengan moral restraint saja. Untuk ke luar dari perangkap Malthus, mereka
menganjurkan menggunakan semua cara-cara “preventive checks” misalnya
dengan penggunaan alat-alat kontrasepsi untuk mengurangi jumlah kelahiran,
pengguguran kandungan (abortions). Paul Ehrlich mengatakan :
…the only way to avoid that scenario is to bring the birth rate under
control-perhaps even by force (Week, 1992).
Menurut kelompok ini (yang dipelopori oleh Garrett Hardin dan Paul
Ehrlich).* Pada abad ke-20 (pada tahun 1950-an), dunia baru yang pada zamannya
Malthus masih kosong kini sudah mulai penuh dengan manusia. Dunia baru sudah
mulai tidak mampu untuk menampung jumlah penduduk yang selalu bertambah.
Tiap minggu lebih dari satu juta bayi lahir di dunia, ini berarti satu juta lagi mulut
yang harus diberi makan. Mungkin pada permulaan abad ke-19 orang masih dapat
mengatakan bahwa apa yang diramalkan Malthus tidak mungkin terjadi tetapi
sekarang beberapa orang percaya bahwa hal itu terjadi dengan mengatakan “it has
come true : it is happening”.
Di tahun 1960-an dan 1970-an photo-photo yang diambil dari ruang angkasa
menunjukkan bahwa bumi kita terlihat seperti sebuah kapal yang berlayar di ruang
angkasa dengan persediaan bahan bakar dan bahan makanan yang terbatas. Pada
suatu saat, kapal ini akan kehabisan bahan bakar dan bahan makanan, sehingga
akhirnya malapetaka menimpa kapal tersebut.
Paul Ehrlich dalam bukunya “The Population Bomb” pada tahun 1971,
menggambarkan penduduk dan lingkungan yang ada di dunia dewasa ini sebagai
berikut. Pertama, dunia ini sudah terlalu banyak manusia; kedua, keadaan bahan
makanan sangat terbatas; ketiga, karena terlalu banyak manusia di dunia ini
lingkungan sudah banyak yang rusak dan tercemar. Pada tahun 1990 Ehrlich
bersama istrinya merevisi buku tersebut dengan judul yang baru “The Population
Explanation”, yang isinya bahwa bom penduduk yang dikhawatirkan tahun 1968,
kini sewaktu-waktu akan dapat meletus. Kerusakan dan pencemaran lingkungan
yang p arah karena sudah terlalu banyaknya penduduk sangat merisaukan mereka.
Selanjutnya Ehrlich menulis :
… the poor are dying of hunger, while rich and poor alike are dying from
the by-products of affluence-pollution and ecological disaster (Week, 1992).
Pandangan mereka (Ehrlich dan Hardin) tentang masa depan dunia ini
sangat suram, namun demikian isu kependudukan ini sangat penting bagi seluruh
generasi terutama bagi penduduk di negara maju (developed world).
Pada tahun 1972, Meadow menerbitkan sebuah buku dengan judul “The
Limit to growth”. Bagi penganut Malthus, buku ini merupakan karya yang terbaik
yang pernah diterbitkan, tetapi bagi penentang teori Malthus buku ini dapat
mempengaruhi manusia dalam melihat masa depan dari dunia ini, yaitu dunia
yang penuh kesuraman, dan pesimisme. Tulisan Meadow memuat hubungan
antara variabel lingkungan yaitu : penduduk, produksi pertanian, produksi
industri, sumber daya alam dan polusi (Gambar 8). Dalam gambar tersebut jelas
terbaca bahwa pada waktu persediaan sumber daya alam masih berlimpah, maka
bahan makanan per kapita, hasil industri, dan penduduk bertambah dengan cepat.
Pertumbuhan ini akhirnya menurun sejalan dengan menurunnya persediaan
sumber daya alam yang akhirnya menurut model ini habis pada tahun 2100.
Walaupun dibuat asumsi yang bervariasi dari laju perkembangan kelima variabel
diatas, terjadinya malapetaka (kelaparan, polusi, dan habisnya sumber daya alam)
tidak dapat dihindari, hanya waktu dapat tertunda. Ada dua kemungkinan yang
dapat dilakukan, yaitu membiarkan malapetaka itu terjadi, atau manusia itu
membatasi pertumbuhannya dan mengelola lingkungan alam dengan baik (Jones,
1981).

Gambar 8
Hubungan antara Sumber daya Alam, Penduduk, Makanan Perkapita, Hasil
Industri Perkapita, dan Polusi, dari The Limits to Griwth

Ahli-ahli biologi dan ahli-ahli lingkungan menyambut baik buku The Limit
to growth ini, karena mempunyai kesamaan dengan dunia binatang dan tumbuhan
dimana pertumbuhannya sangat dibatasi oleh daya tampung alam. Sebaliknya
ahli-ahli ilmu sosial memberikan kritik terhadap karya Meadow karena tidak
memasukkan unsur-unsur sosial budaya dalam pembuatan modelnya. Meadow
mengasumsikan bahwa faktor sosial-budaya dianggap sama dan konstan.
Dengan memperhatikan kritik-kritik diatas, Mesarovic dan Pestel (1974)
merevisi model Meadow ini. Mereka memperhatikan adanya variasi unsur-unsur
lingkungan antara tempat satu dengan yang lain sehingga masalah lingkungan
yang akan menimpa daerah-daerah datangnya tidak bersamaan.

5.5 BEBERAPA TEORI KEPENDUDUKAN MUTAKHIR YANG LAIN


Pada akhir abad ke-19 dan permulaan abad ke-20 diadakan formulasi
kembali (Reformulations) beberapa teori kependudukan terutama teori Malthus
dan Marx yang merupakan rintisan teori kependudukan mutakhir. Teori-teori
dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu : 1) kelompok teori fisiologis dan sosial
ekonomi; 2) teori teknologi. Ada beberapa tokoh yang ikut mengambil bagian
dalam reformulasi ini, tetapi dalam buku ini hanya diuraikan pendapat dari
beberapa tokoh saja.
5.5.1 Teori Fisiologi dan Sosial Ekonomi
a. John Stuart MIII
John Stuart Mill, seorang ahli filsafat dan ahli ekonomi berkebangsaan
Inggris dapat menerima pendapat Malthus mengenai laju pertumbuhan
penduduk melampaui laju pertumbuhan bahan makanan sebagai suatu aksioma.
Namun demikian dia berpendapat bahwa pada situasi tertentu manusia dapat
mempengaruhi perilaku demografinya. Selanjutnya ia mengatakan apabila
produktivitas seseorang tinggi ia cenderung ingin mempunyai keluarga yang
kecil. Dalam situasi seperti ini fertilitas akan rendah. Jadi taraf hidup (standard
of living) merupakan determinan fertilitas. Tidaklah benar bahwa kemiskinan
tidak dapat dihindarkan (seperti dikatakan Malthus) atau kemiskinan itu
disebabkan karena sistem kapitalis (seperti pendapat Marx) dengan
mengatakan :
….. the niggardliness of nature, not the injustice of society, is the cause
of the penalty attached to overpopulation (Week, 1992).
Kalau pada satu waktu disuatu wilayah terjadi kekurangan bahan
makanan, maka keadaan ini hanyalah bersifat sementara saja. Pemecahannya
ada dua kemungkinan yaitu : mengimport bahan makanan, atau memindahkan
sebagian penduduk wilayah tersebut ke wilayah lain.
Memperhatikan bahwa tinggi rendahnya tingkat kelahiran ditentukan
oleh manusia itu sendiri, maka Mill menyarankan untuk meningkatkan
pendidikan penduduk tidak saja untuk golongan yang mampu tetapi juga untuk
golongan yang tidak mampu. Dengan meningkatnya pendidikan penduduk
maka secara rasional maka mereka mempertimbangkan perlu tidaknya
menambah jumlah anak sesuai dengan karier dan usaha yang ada. Disamping
itu Mill juga berpendapat bahwa umumnya wanita tidak menghendaki anak
yang banyak, dan apabila kehendak mereka diperhatikan maka tingkat
kelahiran akan rendah.
b. Arsene Dumont
Arsene Dumont, seorang ahli Demografi bangsa Perancis yang hidup
pada akhir abad ke-19. Pada tahun 1890 dia menulis sebuah artikel berjudul
Depopulation et Civilization. Ia melancarkan teori penduduk baru yang disebut
dengan teori kapilaritas sosial (theory of social capillarity). Kapilaritas sosial
mengacu pada keinginan seseorang untuk mencapai kedudukan yang tinggi di
masyarakat, misalnya : seorang ayah selalu mengharapkan dan berusaha agar
anaknya memperoleh kedudukan sosial ekonomi yang tinggi melebihi apa yang
dia sendiri telah mencapainya. Untuk dapat mencapai kedudukan yang tinggi
dalam masyarakat, keluarga yang besar merupakan beban yang berat dan
perintang. Konsep ini dibuat berdasarkan atas analogi bahwa cairan akan naik
pada sebuah pipa kapiler.
Teori kapilaritas sosial dapat berkembang dengan baik pada negara
demokrasi, dimana tiap-tiap individu mempunyai kebebasan untuk mencapai
kedudukan yang tinggi di masyarakat. Di negara Perancis pada abad ke-19
misalnya, dimana sistem demokrasi sangat baik, tiap-tiap orang berlomba-
lomba mencapai kedudukan yang tinggi dan sebagai akibatnya angka kelahiran
turun dengan cepat. Di negara sosialis dimana tidak ada kebebasan untuk
mencapai kedudukan yang tinggi di masyarakat, sistem kapilaritas sosial tidak
dapat berjalan dengan baik.
c. Emile Durkheim
Emile Durkheim adalah seorang ahli sosiologis Perancis yang hidup pada
akhir abad ke-19. Apabila Dumont menekankan perhatiannya pada faktor-
faktor yang mempengaruhi pertumbuhan penduduk, maka Durkehim
menekankan perhatiannya pada keadaan akibat dari adanya pertumbuhan
penduduk yang tinggi (Weeks, 1992). Ia mengatakan, pada suatu wilayah
dimana angka kepadatan penduduknya tinggi akibat dari tingginya laju
pertumbuhan penduduk, akan timbul persaingan di antara penduduk untuk
dapat mempertahankan hidup. Dalam usaha memenangkan persaingan tiap-tiap
orang berusaha untuk meningkatkan pendidikan dan keterampilan, dan
mengambil spesialisasi tertentu. Keadaan seperti ini jelas terlihat pada
masyarakat perkotaan dengan kehidupan yang kompleks.
Apabila dibandingkan antara masyarakat tradisional dan masyarakat
industri, akan terlihat bahwa pada masyarakat tradisional tidak terjadi
persaingan yang ketat dalam memperoleh pekerjaan, tetapi pada masyarakat
industri akan terjadi sebaliknya. Hal ini disebabkan karena pada masyarakat
industri tingkat pertumbuhan dan kepadatan penduduknya tinggi. Tesis dari
Durkheim ini didasarkan atas teori evolusi dari Darwin dan juga pemerikan
dari Ibn Khaldun.
d. Michael Thomas Sadler dan Doubleday
Kedua ahli ini adalah penganut teori fisiologis. Sadler mengemukakan,
bahwa daya reproduksi manusia dibatasi oleh jumlah penduduk yang ada di
suatu negara atau wilayah. Jika kepadatan penduduk tinggi, daya reproduksi
manusia akan menurun, sebaliknya jika kepadatan penduduk rendah, daya
reproduksi manusia akan meningkat.
Thomson (1953) meragukan kebenaran dari teori ini setelah melihat
keadaan di Jawa, India dan Cina dimana penduduknya sangat padat, tetapi
pertumbuhan penduduknya juga tinggi. Dalam hal ini Malthus lebih konkret
argumentasinya dari pada Sadler. Malthus mengatakan bahwa penduduk di
suatu daerah dapat mempunyai tingkat fertilitas tinggi, tetapi dalam
pertumbuhan alaminya rendah karena tingginya tingkat kematian. Namun
demikian, penduduk tidak dapat mempunyai fertilitas tinggi, apabila tidak
mempunyai kesuburan (fekunditas) yang tinggi, tetapi penduduk dengan
tingkat kesuburan tinggi dapat juga tingkat fertilitasnya rendah.
Teori Doubleday hampir sama dengan teori Sadler, hanya titik tolaknya
berbeda. Kalau Sadler mengatakan bahwa daya reproduksi penduduk
berbanding terbalik dengan tingkat kepadatan penduduk, maka Doubleday
berpendapat bahwa daya reproduksi penduduk berbanding terbalik dengan
bahan makanan yang tersedia. Jadi kenaikan kemakmuran menyebabkan
turunnya daya reproduksi manusia. Jika suatu jenis makhluk diancam bahaya,
mereka akan mempertahankan diri dengan segala daya yang mereka miliki.
Mereka akan mengimbanginya dengan daya reproduksi yang lebih besar
(Iskandar, 1980).
Menurut Doubleday, kekurangan bahan makanan akan merupakan
perangsang bagi daya reproduksi manusia, sedang kelebihan pangan justru
merupakan faktor pengekang perkembangan penduduk. Dalam golongan
masyarakat yang berpendapatan rendah, seringkali terdiri dari penduduk
dengan keluarga besar, sebaliknya orang yang mempunyai kedudukan yang
baik biasanya jumlah keluarganya kecil.
Rupa-rupanya teori fisiologi ini banyak diilhami oleh teori aksi dan
reaksi dalam meninjau perkembangan penduduk suatu negara atau wilayah.
Teori ini dapat pula menjelaskan bahwa semakin tinggi mortalitas penduduk
semakin tinggi pula tingkat produksi manusia.
5.5.2 Penganut Kelompok Teknologi Optimis
Pandangan yang suram dan pesimis dari Malthus beserta penganut-
penganutnya ditentang keras oleh kelompok Teknologi. Mereka beranggapan
bahwa manusia dengan ilmu pengetahuannya mampu melipatgandakan produksi
pertanian. Mereka mampu mengubah kembali (recycling) barang-barang yang
sudah habis dipakai, sampai akhirnya dunia ketiga mengakhiri masa transisi
demografinya.
Aghli futurologi Herman Kahn (1976) mengatakan bahwa negara-0negara
kaya akan membantu negara-negara miskin, dan akhirnya kekayaan itu juga akan
jatuh kepada orang-orang miskin. Dalam beberapa dekade tidak akan ter jadi lagi
perbedaan yang mencolok diantara umat manusia di dunia ini.
Dengan tingkat teknologi yang ada sekarang ini mereka memperkirakan
bahwa dunia ini dapat menampung 15 miliun orang dengan pendapa tan melebihi
Amerika Serikat dewasa ini. Dunia tidak akan kehabisan sumber daya alam,
karena seluruh bumi ini terdiri mineral-mineral. Proses pengertian dan recycling
akan terus terjadi dan era ini disebut dengan Era Substitusi. Mereka mengkritik
bahwa The Limit to Growth bukan memecahkan masalah tetapi memperbesar
permasalahan tersebut.
Kelompok Malthus dan kelompok teknologi mendapat kritik dari kelompok
ekonomi, karena kedua-duanya tidak memperhatikan masalah-masalah organisasi
sosial dimana distribusi pendapatan tidak merata. Orang-orang miskin yang
kelaparan, karena tidak meratanya distribusi pendapatan di negara-negara
tersebut. Kejadian seperti di Brasilia, dimana Pendapatan Nasional (GNP) tidak
dinikmati oleh rakyat banyak adalah salah satu contoh dari ketimpangan
organisasi sosial tersebut [].
BAB VI
BEBERAPA DASAR UKURAN DEMOGRAFI

6.1 PENDAHULUAN
Ada dasarnya ukuran-ukuran yang dipergunakan dalam demografi sama dengan
ukuran-ukuran yang digunakan pada ilmu-ilmu yang lain yaitu ukuran absolut dan
ukuran relatif. Ukuran-ukuran relatif yang sering digunakan dalam pengukuran
demografi adalah : perbandingan, rasio, proporsi, persentase dan tingkat atau
angka (rate). Khusus untuk ukuran tingkat atau angka digunakan untuk proses
demografi misalnya : kelahiran, kematian, dan mobilitas penduduk, sedangkan
ukuran-ukuran lainnya digunakan untuk mengukur struktur demografi yang
datang diperoleh dari Sensus Penduduk atau Penelitian Kependudukan yang
dilaksanakan oleh suatu Lembaga tertentu.
Dalam Bab VI ini terutama akan dibahas pengukuran-pengukuran struktur
demografi, sedangkan pengukuran komponen demografi yang dinamis (proses
demografi) akan dibahas pada waktu membicarakan komponen kelahiran,
kematian dan mobilitas penduduk. Di dalam mengukur peristiwa-peristiwa
tersebut perlulah diketahui dengan pasti :
a. Pada periode waktu mana peristiwa itu terjadi
b. Kelompok penduduk mana yang mengalami peristiwa tersebut
c. Peristiwa mana yang diukur

Perbedaan-perbedaan dari ketiga faktor diatas berpengaruh kepada pemilihan


macam pengukuran yang dipergunakan.

6.2 BILANGAN ABSOLUT


Pada awalnya data demografi disajikan dalam bentuk bilangan atau jumlah
absolut.Dari bilangan absolut ini kemudian dikembangkan menjadi bilangan
relatif, dengan maksud agar lebih mudah untuk mengadakan analisis.Contoh yang
paling sederhana dari bilangan absolut adalah jumlah penduduk. Dari berbagai
hasil sensus dan survei, jumlah penduduk Indonesia menurut rincian pulau adalah
sebagai berikut.;

Tabel 6.1
Jumlah Penduduk Indonesia Menurut Pulau Tahun 1930, 1961, 1971, 1980, 1985
dan 1990 (juta)

Pulau 1930 1961 1971 1980 1985 1990


Jawa Madura 41.7 63.0 76.1 91.3 99.9 107.6
Sumatera 8.2 15.7 20.8 28.0 32.6 36.5
Kalimantan 2.2 4.1 5.2 6.7 7.7 9.1
Sulawesi 4.2 7.1 8.5 10.4 11.6 12.5
Pulau-pulau lain 4.4 7.1 8.6 11.1 12.2 13.6
INDONESIA 60.7 97.0 119.2 147.5 164.0 179.3
Sumber: BPS, 1981 dan 987; Kasto dan Sembiring, 1996

Data ini merupakan data awal yang perlu dianalisis lebih lanjut agar lebih
banyak mempunyai arti.Misalnya jumlah penduduk setiap pulau dinyatakan dalam
bentuk relatif misalnya persentase terhadap total penduduk Indonesia, agar lebih
mudah menggambarkan persebaran penduduk.

6.3 RASIO
6.3.1 Rasio Jenis Kelamin (Sex Ratio = SR)
Rasio adalah perbandingan dua perangkat yang dinyatakan dalam suatu
satuan tertentu sebagai contoh, kelas 1A, SMP I Negeri Denpasar mempunyai 20
Orang murid yang terdiri dari 12 orang murid laki-laki, dan 8 orang murid
perempuan. Perbandingan jenis kelamin murid laki-laki terhadap murid
perempuan adalah:
12 : 8 = 1,5
Atau 1,5 murid laki-laki dibanding dengan seorang murid perempuan. Agar tidak
terjadi pecahan desimal, angka ini dikalikan dengan 100, sehingga dapat
dikatakan bahwa kelas tersebut mempunyai perbandingan jenis kelamin 150 laki-
laki dibanding dengan 100 perempuan, dan perbandingan ini disebut dengan
Rasio (Ratio).
Kalau jumlah laki-laki dinyatakan dengan simbol a, dan jumlah murid
perempuan dengan simbol b, maka rasio jenis kelamin (Sex Ratio = SR) dapat
ditulis dengan rumus:
a
SR = b x k

K = konstanta besarnya sama dengan 100


Atau dapat pula dikatakan bahwa rasio adalah perbandingan dikalikan 100.
Contoh:
Jumlah penduduk Indonesia tahun 1990 sebesar 179.3 juta terdiri dari 89.4
juta laki-laki dan 89.9 juta perempuan.
Rasio jenis kelamin penduduk Indonesia tahun 1990, adalah sebagai berikut.
89,4 juta
SR = 89,9 juta x 100 = 99

Ini berarti bahwa untuk setiap 99 penduduk laki-laki sebanding dengan 100
penduduk perempuan. Apabila angka tersebut jauh di bawah 100, dapat
menimbulkan berbagai masalah, karena ini berarti di wilayah tersebut kekurangan
penduduk laki-laki, atau kekurangan tenaga laki-laki untuk melaksanakan
pembangunan, atau masalah lain yang berhubungan dengan perkawinan. Hal ini
dapat terjadi apabila di suatu daerah banyak penduduk laki-laki meninggalkan
daerahnya, atau kematian banyak terjadi pada penduduk laki-laki.Tabel 6.2
menggambarkan rasio jenis kelamin penduduk Indonesia tahun 1971, 1980, dan
1985 menurut rincian propinsi.

Tabel 16.2
Rasio Jenis Kelamin Penduduk Indonesia Menurut Propinsi
Tahun 1971, 1980 dan 1985
No. Propinsi 1971 1980 1985
1. Daerah Istimewa Aceh 100 102 101
2. Sumatera Utara 101 101 101
3. Sumatera Barat 94 96 95
4. Riau 105 104 103
5. Jambi 107 106 103
6. Bengkulu 100 102 101
7. Sumatera Selatan 102 103 103
8. Lampung 102 107 105
9. DKI Jakarta 102 103 130
10. Jawa Barat 97 99 99
11. Jawa Tengah 95 97 99
12. Daerah Istimewa Yogyakarta 94 96 96
13. Jawa Timur 94 96 96
14. Bali 98 98 98
15. NTB 104 98 99
16. NTT 102 100 105
17. Timor Timur - 104 105
18. Kalimantan Barat 104 104 104
19. Kalimantan Tengah 102 106 102
20. Kalimantan Selatan 96 99 99
21. Kalimantan Timur 107 112 109
22. Sulawesi Utara 101 102 103
23. Sulawesi Tengah 105 106 105
24. Sulawesi Selatan 95 95 96
25. Sulawesi Tenggara 91 97 101
26. Maluku 103 105 102
27. Irian Jaya 141 109 108
INDONESIA 97 99 99
Sumber: BPS (1998)
6.3.2 Rasio Jenis Kelamin Menurut Umur
Rasio jenis kelamin dapat pula dibuat berdasarkan kelompok umur.Di
wilayah yang sedang dilaksanakan pembangunan, misalnya perluasan Pabrik
Semen Nusantara di Cilacap, pada waktu masa konstruksi banyak tenaga buruh
laki-laki datang dari luar daerah bekerja sebagai buruh konstruksi. Akibat dari
kedatangan buruh laki-laki tersebut maka rasio jenis kelamin kelompok usia
produktif besarnya akan lebih dari 100.
Tabel 6.3 adalah rasio jenis kelamin penduduk Indonesia menurut kelompok
umur, hasil Sensus Penduduk Indonesia tahun 1990.Pada tabel tersebut dapat
dilihat bahwa sampai kelompok umur tertentu (misalnya 20 tahun) rasio jenis
kelamin besarnya di atas 100.Hal ini disebabkan jumlah kelahiran bayi laki-laki
lebih banyak dibandingkan dengan kelahiran bayi perempuan. Tetapi karena
angka harapan hidup bayi laki-laki lebih rendah dibandingkan dengan bayi
perempuan, maka untuk kelompok umur selanjutnya angka SR akan lebih rendah
dari 100. Untuk keseluruhan jumlah penduduk perempuan lebih banyak dibanding
jumlah penduduk laki-laki sehingga secara total SR lebih kecil dari 100. Lebih
jelasnya SR menurut umur dapat digambarkan dengan grafik (Gambar 9)

Tabel 6.3
Rasio Jenis Kelamin (Sex Ratio) Penduduk Indonesia Menurut Kelompok
Umur Tahun 1990
Golongan Umur Penduduk Laki-laki Penduduk Perempuan Rasio jenis
Kelamin (SR)
0-4 10.761.117 10.244.530 105
5-9 11.928.381 11.295.234 106
10-14 11.044.392 10.438.264 106
15-19 9.520.668 9.406.769 101
20-24 7.583.487 8.545.262 89
25-29 7.457.329 8.116.576 91
30-34 6.584.483 6.661.629 99
35-39 5.788.580 5.395.905 107
40-44 4.010.350 4.071.479 98
45-49 3.724.011 3.841.834 97
50-54 3.289.268 3.398.477 98
55-59 2.321.677 2.510.136 92
60-64 2.219.122 2.307437 96
65-69 1.329.194 1.420.596 93
70-74 945.899 1.083.176 87
75+ 867.657 1.104.746 78
Jumlah 89.375.677 89.872.106 99,4
Sumber: BPS, 1991

Rasio jenis kelamin (SR) menurut kelompok umur dapat dituliskan dengan
rumus sebagai berikut:
Mi
SRi = xk
Fi

Keterangan:
SRi = rasio jenis kelamin pada umur atau golongan umur i tahun
Mi = jumlah penduduk laki-laki pada umur atau golongan umur i tahun
Fi = jumlah penduduk perempuan pada umur atau golongan umur i tahun
k = konstanta, biasanya nilainya 100
Ga
mb
ar
9.
Gra
fik
Ras
io
Jeni
s
Kel
Kel
ami
om
n
pok
(Se
Um
x
ur
Rati
o)
Me
nur
ut
Kel
om
pok
Um
ur
Pen
dud
uk
Ind
one
sia

6.3.3 Rasio Menurut Jenis Kelamin Kelahiran (Sex Ratio at Birth = SRB)
Rasio jenis kelamin sering digunakan untuk menghitung jumlah kelahiran
bayi laki-laki dan kelahiran bayi perempuan apabila hanya diketahui angka
kelahiran total (laki-laki + perempuan). Di muka telah disebutkan bahwa di suatu
wilayah jumlah kelahiran bayi laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan bayi
perempuan. Sebagai contoh di suatu wilayah pada tahun 1990 terdapat 214
kelahiran bayi laki-laki dan 200 kelahiran bayi perempuan, maka rasio jenis
kelamin kelahiran adalah
214
x 100 = 107
200

Ini berarti tiap kelahiran 100 bayi perempuan akan terdapat 107 kelahiran bayi
laki-laki. Rasio jenis kelamin kelahiran (sex Ratio at Birth) ini dapat ditulis
dengan rumus:
BM
SRB = xk
BF

Keterangan:
SRB = Rasio jenis kelamin kelahiran
BM = Kelahiran bayi laki-laki
BF = Jumlah kelahiran bayi perempuan
k = konstanta (umumnya nilainya 100)

Contoh:
Pada tahun tertentu jumlah kelahiran total di suatu wilayah sebesar 300 bayi
apabila SRB di wilayah tersebut sebesar 105, hitunglah berapa jumlah kelahiran
bayi perempuan dan berapa jumlah kelahiran bayi laki-laki?
Jawab:
Jumlah kelahiran bayi perempuan adalah:
100
x 300 = 154 bayi
205

Jumlah kelahiran bayi laki-laki adalah:


105
x 300 = 154 bayi
205

6.3.4 Rasio Anak Perempuan (Child Women Ratio = CWR)


Rasio Anak Perempuan (Child Women Ratio = CWR) adalah perbandingan
antara anak, yaitu jumlah penduduk di bawah usia lima tahun, terhadap jumlah
perempuan usia subur (usia melahirkan atau usia reproduksi) yaitu umur 15 tahun
sampai dengan 49 tahun. Rasio Anak perempuan merupakan salah satu ukuran
kelahiran yang sederhana dan datanya didapat dari hasil sensus
penduduk.Semakin besar angka rasio anak perempuan memberikan gambaran
semakin tinggi tingkat kelahiran. Dalam bentuk rumus, rasio anak perempuan
dinyatakan sebagai berikut:
BM
SRB = xk
BF

Keterangan:
CWR = Rasio Anak Perempuan (Child Women Ratio)
P(0-4) = Jumlah penduduk usia di bawah 5 tahun
Pf(15-49) = Jumlah penduduk perempuan usia 15-49 tahun
k = Angka konstanta, dalam rumus ini biasanya bernilai 1000

Tabel 6.4 menggambarkan rasio anak perempuan di indonesia menurut


propinsi, tahun 1971, 1980 dan tahun 1985. Angka rasio anak perempuan tertinggi
tahun 1871 dijumpai di Sumatera Utara, tahun 1980 di Bengkulu dan tahun 1985
di Sulawesi Tenggara. Analisis dari angka-angka tersebut antara lain dapat
dikaitkan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi mortalitas bayi dan anak.

6.3.5 Rasio Beban Tanggungan (Dependency Ratio = DR)


Kalau kelompok penduduk umur 0-14 tahun dianggap sebagai kelompok
penduduk yang belum produktif secara ekonomis, kelompok penduduk umur 15-
64 tahun sebagai kelompok yang produktif dan kelompok penduduk umur 65
tahun keatas sebagai kelompok penduduk yang tidak lagi produktif, maka Rasio
Beban Tanggungan dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Penduduk umur (0-14 th) + penduduk umur 65 thn
Rasio Beban dan lebih
Tanggungan = ___________________________________________x k
(DR) Penduduk Umur (15-64 th)
K = Angka Konstanta, dan dalam rumus ini besarnya 100
Tabel 6.4
Rasio Anak Perempuan di Indonesia Menurut Propinsi
Tahun 1971, 1980 dan 1985
No. Propinsi 1971 1980 1985
1. Daerah Istimewa Aceh 731 642 625
2. Sumatera Utara 825 714 657
3. Sumatera Barat 701 661 626
4. Riau 726 686 634
5. Jambi 736 703 622
6. Sumatera Selatan 723 709 627
7. Bengkulu 770 764 644
8. Lampung 802 754 648
9. DKI Jakarta 673 558 446
10. Jawa Barat 701 636 556
11. Jawa Tengah 633 551 487
12. Daerah Istimewa Yogyakarta 553 430 379
13. Jawa Timur 574 463 430
14. Bali 723 514 407
15. Nusa Tenggara Barat 784 716 682
16. Nusa Tenggara Timur 700 633 625
17. Timor Timur - - 449
18. Kalimantan Barat 682 674 638
19. Kalimantan Tengah 787 752 649
20. Kalimantan Selatan 633 574 487
21. Kalimantan Timur 662 661 607
22. Sulawesi Utara 782 605 588
23. Sulawesi Tengah 778 729 610
24. Sulawesi Selatan 663 593 513
25. Sulawesi Tenggara 764 743 733
26. Maluku 765 733 718
27. Irian Jaya 818 672 662
INDONESIA 667 590 531
Sumber: BPS, 1987 dan 1992

Sebagai contoh, pada tahun 1971 penduduk Indonesia yang berumur (0-14)
tahun besarnya 52.454.000, sedangkan yang berumur (15-64) tahun dan 65+
masing-masing besarnya 63.180.000 dan 3.576.000 orang. Dari data ini dapat
dihitung DR sebagai berikut:
52.454.000+3.576.000
Rasio Beban Tanggungan (DR) = x 100
63.180.000

= 88,7
DR sebesar 88,7 berarti tiap 100 orang kelompok produktif harus
menanggung 88,7 kelompok yang tidak produktif. Angka DR ini termasuk tinggi.
Untuk tahun-tahun selanjutnya walaupun angka DR telah menurun, tetapi secara
keseluruhan masih tetap tinggi (Tabel 6.5).
Tabel 6.5
Penduduk Indonesia Umur: 0-14; 15-64; 65+
dan Rasio Beban Tanggungan (DR) 1971-2000
Kelompok Umur 1971 1980 1985 1990 1995 2000
(tahun) (000) (000) (000) (000) (000) (000)
0–4 52.454 60.324 64.567 65.997 65.420 64.394
(44,0) (40,9) (39,4) (36,7) (33,5) (30,6)
15 – 64 63.180 82.299 93.736 106.998 121.661 136.364
(53,0) (55,8) (57,2) (59,5) (62,3) (64,8)
65+ 3.576 4.867 5.572 6.834 8.202 9.680
(3,0) (3,3) (3,4) (3,8) (4,2) (4,6)
Jumlah 119.208 147.470 163.875 179.829 195.283 210.438
Persen (x) (100.0) (100.0) (100.0) (100.0) (100.0) (100.0)
DR 88,7 72,2 74,8 68,1 60,5 54,3
Sumber: Kasto dan Sembiring 1996
Tingginya angka Rasio Beban tanggungan ini merupakan faktor
penghambat pembangunan ekonomi Indonesia, karena sebagian dari pendapatan
yang diperoleh golongan yang produktif, terpaksa harus dikeluarkan untuk
memenuhi kebutuhan mereka yang belum produktif.Negara-negara yang sedang
berkembang dengan tingkat fertilitas yang tinggi, mempunyai angka rasio beban
tanggungan yang tinggi pula, dikarenakan besarnya proporsi anak-anak dalam
kelompok penduduk tersebut.

6.3.6 Kepadatan Penduduk (Man Land Ratio)


Kepadatan Penduduk (KP) adalah jumlah penduduk per satuan unit wilayah,
atau dapat ditulis dengan rumus:

Jumlah Penduduk suatu wilayah


Kepadatan Penduduk (KP) = Luas Wilayah

Jumlah penduduk yang digunakan sebagai pembilang dapat berupa jumlah seluruh
penduduk di wilayah tersebut, atau bagian-bagian penduduk tertentu seperti;
penduduk daerah perdesaan, atau penduduk yang bekerja di sektor pertanian,
sedangkan sebagai penyebut dapat berupa luas seluruh wilayah, luas daerah
pertanian, atau luas daerah perdesaan.
Kepadatan penduduk di suatu wilayah dapat dibagi menjadi tiga bagian:
1. Kepadatan Penduduk Kasar (Crude Density of Population) atau sering pula
disebut dengan Kepadatan Penduduk Aridmatika.
2. Kepadatan Penduduk Fisiologis (Physiological Density)
3. Kepadatan penduduk Agraris (Agricultural Density)
4. Kepadatan Penduduk Ekonomi (Economical Density of Population)

a. Kepadatan Penduduk Kasar


Kepadatan Penduduk Kasar, adalah banyaknya penduduk per satuan luas.
Kepadatan Penduduk Kasar untuk Indonesia pada tahun 1960, 1971, 1981, dan
1990, masing-masing sebesar 51; 99; 77; 93 orang per km2, sedang untuk
pulau-pulau lain dapat dilihat pada Tabel 6.6.Luas pulau yang digunakan
sebagai penyebut dalam perhitungan kepadatan penduduk di atas ialah luas
seluruh daratan pulau yang bersangkutan.Jadi tanpa membedakan daerah yang
tandus, dan daerah yang subur. Pada tabel 6.6 terlihat bahwa angka kepadatan
penduduk Jawa hampir sembilan kali angka kepadatan penduduk seluruh
Indonesia, 12 kali kepadatan penduduk Sumatera, atau Sulawesi, 55 kali
kepadatan penduduk Kalimantan.

Tabel 6.6
Kepadatan Penduduk Indonesia Menurut Pulau dan Propinsi
Tahun 1961, 1971, 1980, dan 1990 (per 1 km2)
No Propinsi 1961 1971 1980 1990
SUMATERA 33 44 59 -
1. Daerah Istimewa Aceh 29 36 47 62
2. Sumatera Utara 70 93 118 145
3. Sumatera Barat 47 56 68 80
4. Riau 13 17 23 35
5. Jambi 17 22 32 45
6. Sumatera Selatan 27 33 45 61
7. Bengkulu 19 24 355 6
8. Lampung 50 83 139 180
JAWA 476 576 690 -
9. DKI Jakarta 5039 7761 11023 13936
10. Jawa Barat 380 467 593 764
11. Jawa Tengah 530 640 742 834
12. D.I. Yogyakarta 707 785 868 919
13. Jawa Timur 455 532 609 678
NUSA TENGGARA 63 75 96 -
14. Bali 320 381 444 -
15. Nusa Tenggara Barat 90 109 135 499
16. Nusa Tenggara Timur 41 48 57 167
17. Timor Timur - - 37 68
50
KALIMANTAN 8 10 12 -
18. Kalimantan Barat 11 14 17 22
19. Kalimantan Tengah 3 5 6 9
20. Kalimantan Selatan 39 45 55 -
21. Kalimantan Timur 3 4 6 9
SULAWESI 38 45 55 -
22. Sulawesi Utara 69 90 111 130
23. Sulawesi Tengah 10 13 18 24
24. Sulawesi Selatan 62 71 83 98
25. Sulawesi Tenggara 20 26 34 49
26. Maluku 11 15 19 25
27. Irian Jaya 2 2 3 4
INDONESIA 51 99 77 93
Sumber: BPS, 1987; Kasto dan Sembiring, 1996

b. Kepadatan Penduduk Fisiologis


Kepadatan penduduk fisiologis ialah jumlah penduduk tiap kilometer
persegi lahan pertanian. Atau dengan rumus ditulis:

Jumlah Penduduk suatu wilayah


Kepadatan Penduduk Fisiologis = Luas Lahan Pertanian

Di Indonesia pada tahun 1973, dari seluas 1.904.570 km2 daratan, terdapat
163.940 km2 lahan pertanian. Kalau pada tahun 1971 jumlah penduduk
Indonesia besarnya 119.232.000, maka kepadatan penduduk fisiologis adalah;

119.232.000
= 727,29 orang per km2
163.940

c. Kepadatan Penduduk Agraris


Kepadatan penduduk agraris adalah jumlah penduduk petani tiap-tiap
km2 lahan pertanian. Atau dengan rumus dapat ditulis:

Jumlah Penduduk suatu wilayah


Kepadatan Penduduk Agraris = Luas Lahan Pertanian

Menurut hasil Sensus Penduduk 1971, jumlah penduduk Indonesia yang


bekerja dalam lapangan pertanian sebesar 64,2 persen, atau 76.546, 949 orang.
Kalau luas lahan pertanian pada tahun 1973 adalah 163.940 km2, maka
kepadatan penduduk agraris adalah:

76.546.949
= 446,9 per km2
163.940

d. Kepadatan Penduduk Ekonomi


Pengukuran kepadatan Penduduk Ekonomi berbeda dengan ketiga
macam pengukuran kepadatan penduduk yang telah dibicarakan di atas yaitu
jumlah penduduk per satuan luas.Pada kepadatan penduduk ekonomi ialah
besarnya jumlah penduduk pada suatu wilayah didasarkan atas kemampuan
ekonomi wilayah yang bersangkutan. Simon seorang ahli demografis bangsa
Perancis mengusulkan rumus Kepadatan Penduduk Agraris sebagai berikut:

@
= ∆ c x 100

Di mana
@ = indeks dari jumlah penduduk
c = indeks umum dari produksi pada tahun yang sama
∆ = Kepadatan Penduduk Ekonomi
6.3.7 Tekanan Penduduk Terhadap Lahan Pertanian
Kepadatan penduduk agraris bukanlah merupakan suatu indikator yang baik
mengenai ada tidaknya tekanan penduduk terhadap lahan pertanian di suatu
wilayah karena luas lahan pertanian yang digunakan sebagai
penyambutkualitasnya tidak sama. Kualitas lahan pertanian antara wilayah satu
dengan wilayah lain sangat bervariasi. Kualitas lahan pertanian (z) adalah fungsi
dari unsur:
K = Standar hidup yang layak
L = Penggunaan lahan
T = Teknologi
H = Kandungan hara
I = Intensitas tanaman
E = Nilai ekonomi
Atau dapat pula ditulis sebagai berikut:
Z= f (K, L, T, H, I, E)
Untuk mengatasi hal tersebut Otto Sumarwoto (1985) membuat rumus
tekanan penduduk terhadap lahan pertanian.Menurut Suyono (1996) ada tida
model tekanan penduduk yang dikaji oleh Suwarwoto.
1. Tekanan penduduk model I menganggap bahwa penduduk hanya hidup dari
lahan pertanian yang digarapnya dengan rumus:

ft.Po(1+r)𝑡
TKt = zt. Lt

2. Model tekanan penduduk ke II merupakan pengembangan model I dengan


menambahkan pendapatan penduduk dari sektor non pertanian, ini berarti
bahwa makin besar pendapatan penduduk dari sektor non pertanian, tekanan
penduduk pada lahan pertanian makin berkurang. Rumus tekanan penduduk
model II dapat dilukiskan dalam rumus:

ft.Po(1+r)𝑡
TKt = (1-αt).zt. Lt

3. Tekanan penduduk model III menambahkan nilai manfaat lahan untuk petani
penggarap. Makin tinggi produktifitas lahan, maka banyak pendapatan petani
penggarap dan makin besar pendapatan yang bekerja di luar sektor pertanian
makin rendah tekanan penduduk terhadap lahan pertanian. Model III ini dapat
dilukiskan dengan rumus sebagai berikut:

ft.Po(1+r)𝑡
TKt = (1-αt).zt. β Lt

Dimana:
TK = tekanan penduduk terhadap lahan pertanian
t = periode waktu perhitungan
z = luas lahan yang diperlukan untuk mendukung kehidupan seorang petani
pada tingkat hidup yang diinginkan (ha/orang)
f = persentase petani di dalam populasi
Po = besarnya penduduk pada acuan waktu 0 (orang)
r = rata-rata tingkat pertambahan penduduk tahunan
L = luas lahan pertanian yang ada di wilayah yang bersangkutan
α = fraksi pendapatan nonpertanian
β = bagian manfaat lahan yang dinikmati oleh petani atau penggarap (0<β<1)
P0(1+r)t = Pt = besarnya penduduk pada acuan waktu + (orang)

Menurut rumus di atas, tekanan penduduk terhadap lahan pertanian di suatu


daerah sangat dipengaruhi besarnya zt, ft, Lt, Pt, disamping besarnya αt dan βt.
Diseluruh wilayah Indonesia jumlah penduduk (Pt) masih akan terus meningkat
begitu juga untuk nilai zt. Untuk pulau Jawa dan Bali, luas lahan pertanian (Lt)
makin lama makin berkurang sehingga nilai TKt makin lama makin
meningkat.Agar tekanan penduduk terhadap lahan pertanian nilainya rendah maka
penduduk yang bekerja di sektor pertanian perlu di kurangi dengan
menyalurkannya ke sektor nonpertanian.
Tingkat kekritisan tekanan penduduk di suatu daerah dapat dilihat dari
besarnya nilai TKt. apabila nilai lebih besar dari satu, wilayah tersebut sudah
kritis.Tekanan penduduk terhadap lahan pertanian di masing-masing propinsi di
Indonesia pada tahun 1980 dapat dilihat dalam tabel 6.7.
Tabel 6.7
Tekanan Penduduk Terhadap Lahan Pertanian Menurut Propinsi di Indonesia,
1980
Propinsi Kepadatan Tingkat Persentase Luas lahan yang Tekanan
penduduk pertumbuhan petani (f) diperlukan penduduk
(org/km2) penduduk (r) pertanian (TK)
(ha/org)(z)
Daerah Istimewa Aceh 47 2.93 0.69 0.70 0.39
Sumatera Utara 118 2.60 0.59 0.69 0.88
Sumatera Barat 68 2.21 0.70 0.68 0.83
Riau 23 2.11 0.59 0.74 0.29
Jambi 32 4.07 0.69 0.69 0.69
Sumatera Selatan 45 3.32 0.59 0.69 0.77
Bengkulu 36 4.39 0.79 0.72 0.55
Lampung 139 7.77 0.83 0.72 1.92
Sumatera 59 3.32 0.66 0.70 0.72
DKI Jakarta 11.023 3.93 0.02 0.66 1.61
Jawa Barat 593 2.66 0.53 0.56 1.94
Jawa Tengah 742 1.64 0.60 0.59 2.39
D.I. Yogyakarta 868 1.10 0.68 0.66 2.87
Jawa Timur 609 1.49 0.55 0.60 1.64
Jawa 690 2.02 0.52 0.59 2.17
Bali 444 1.69 0.66 0.55 1.91
Nusa Tenggara Barat 135 2.36 0.57 0.59 1.11
Nusa Tenggara Timur 57 1.95 0.89 0.63 1.20
Timor Timur 37 - - - -
Bali dan Nusa Tenggara 96 2.01 071. 0.60 1.31
Kalimantan Barat 17 2.31 0.70 - -
Kalimantan Tengah 57 1.95 0.89 0.63 1.20
Kalimantan Selatan 55 2.16 0.62 0.65 1.09
Kalimantan Timur 6 5.73 0.42 0.70 0.36
Kalimantan 12 2.96 0.61 0.69 0.83
Sulawesi Utara 111 2.31 0.70 0.67 1.38
Sulawesi Tengah 18 3.86 0.76 0.70 0.79
Sulawesi 55 2.22 0.69 0.66 0.69
Maluku 19 1.88 0.74 - -
Irian Jaya 3 2.67 0.60 - -
Maluku dan Irian Jaya 5 0.74 0.68 - -
Indonesia 77 2.32 0.58 0.66 1.20
α = 0,35
Sumber: Otto Suwarmoto (1983)

Dari Tabel 6.7 dapat disimpulkan betapa tingginya tekanan penduduk


terhadap lahan pertanian di Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Untuk pulau
Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi, pada tahun 1980 nilai TKt masih kurang
dari satu, ini berarti bahwa untuk sementara masih memungkinkan perluasan
lahan pertanian.
Tekanan Penduduk terhadap lahan pertanian makin lama makin meningkat
karena luas lahan pertanian di berbagai wilayah tidak mungkin lagi diperluas.
Disamping itu, banyak lahan pertanian yang sudah ada telah dirombak untuk
keperluan nonpertanian, misalnya untuk terminal bus, perkantoran, taman rekreasi
dan pemukiman. Jadi, nilai Lt sebagai penyebut semakin lama semakin berkurang.
Sebaliknya, nilai (zt) dan (Pt) makin lama makin meningkat.
Dalam menghitung tekanan penduduk terhadap lahan pertanian digunakan
unsur-unsur pertanian dan penduduk perdesaan maka perhitungan tersebut tidak
cocok untuk daerah perkotaan dan industri.

6.4 PROPORSI DAN PERSENTASE


Proporsi pada dasarnya sama dengan rasio, yaitu perbandingan antara dua
bilangan atau fenomena yang sejenis. Perbedaannya terletak pada penyebutnya
dimana pembilang termasuk kedalamnya. Apalagi ada dua bilangan a dan b,
a
Maka proporsi bilangan a adalah :a+b
b
Dan proporsi bilangan b adalah: a+b

Apabila proporsi dikalikan dengan seratus akan menjadi ukuran persentase,


Tabel 6.8 menggambarkan contoh penggunaan proporsi atau persentase yang
sederhana.
Tabel 6.8
Distribusi Penduduk Indonesia Menurut
Desa-Kota 1980 dan 1990
Desa Kota Desa + Kota
Tahun
(Juta) (%) (Juta) (%) (Juta) (%)
1980 113.9 77.2 33.6 22.8 147.5 100.0
1990 123.8 69.0 55.5 31.0 179.3 100.0
Sumber: BPS 1982, dan 1992

Dalam analisis pada umumnya angka proporsi tidak dimunculkan, yang


paling banyak dipergunakan bentuk persentase, yaitu proporsi dikalikan 100
(Mantra dan Kasto, 1998)

6.5 TINGKAT (ANGKA=RATE)6


Pada umumnya rasio dan proporsi digunakan untuk menganalisis komposisi
demografis dari kelompok penduduk, sedangkan tingkat (rates) digunakan untuk
menganalisis peristiwa-peristiwa demografis dalam jenjang waktu tertentu
(Palmore, 1971). Secara umum, tingkat (rates) tersebut di definisikan sebagai
berikut:

Jumlah peristiwa yang terjadi


dalam jenjang waktu tertentu

Tingkat Peristiwa Dem. Tertentu = x 1000


Jumlah kelompok penduduk
yang mempunyai resiko
(population exposed to risk)
dalam peristiwa tersebut dalam
jenjang waktu yang sama

6
Lembaga Demografi. FE, UI Jakarta lebih senang menggunakan “angka” untuk terjemahan kata
rate sedangkan beberapa pakar demografi lebih senang menggunakan “tingkat”
Yang perlu diperhatikan disini ialah penduduk yang mempunyai resiko
(oxposed to risk) dalam peristiwa tersebut yang digunakan untuk pembagi di
atas.Sebagai misal, kita menghitung tingkat kematian (mortalitas) untuk periode
satu tahun.Semua penduduk yang hidup dalam seluruh tahun di wilayah tersebut
mempunyai resiko kematian.Kelompok penduduk ini digunakan sebagai pembagi
dalam perhitungan tingkat mortalitas di atas.Bagi penduduk yang meninggal
sebelum akhir tahun, tidak mempunyai resiko kematian untuk seluruh tahun,
begitu juga untuk bayi-bayi yang lahir pada pertengahan tahun atau
sebelumnya.Bagi penduduk yang pindah ke wilayah tersebut beberapa bulan
sebelum akhir tahun, tidak mempunyai resiko kematian untuk seluruh tahun.
Konsep jumlah tahun kehidupan (person years-lived) sering digunakan
untuk menghitung jumlah penduduk yang mempunyai resiko terhadap suatu
peristiwa demografis.Misalnya di suatu wilayah pada tanggal 1 Januari 1993
penduduknya berjumlah 700 orang.Dari 700 orang di atas sebanyak 200 orang
yang meninggal pada tanggal 15 Januari 1983.Jadi 200 orang diatas hanya hidup
selama 3.000 hari pada tahun 1983.Mereka mempunyai tahun kehidupan sebesar
8.22).7
Seorang lahir tanggal 13 Januari 1983 dan meninggal pada tanggal 9
November 1983, berarti orang ini hidup selama 302 hari atau jumlah tahun
kehidupan sebesar 0.83. begitu seterusnya hingga tanggal 31 Desember 1983,
jumlah kumulatif tahun kehidupan 598,41.
Perhitungan jumlah tahun kehidupan dengan cara ini untuk penduduk yang
jumlahnya besar, memakan waktu yang lama.Untuk keperluan ini dipergunakan
perkiraan (anapproximation).Diasumsikan bahwa jumlah kelahiran, kematian,
migrasi masuk dan migrasi keluar, tersebar merata pada periode tahun yang
dihitung, maka jumlah kumulatif tahun kehidupan besarnya tidak jauh berbeda
dengan jumlah penduduk pertengahan tahun (Juni).8Penduduk yang hidup pada
pertengahan tahun tersebut disebut dengan penduduk pertengahan tahun (midyear
or central population).Untuk menghitung jumlah penduduk pertengahan tahun

7
Angka 8.22 di dapat dari pembagian 3000 dengan 365 hari
8
Dengan alasan untuk mendapatkan jumlah penduduk pertengahan tahun dari hasil Sensus
Penduduk, maka mulai tahun 2000 Sensus Penduduk di Indonesia di laksanakan pada bulan Juni.
(Pm), dapat dilaksanakan dengan membagi dua penjumlahan penduduk pada
permulaan tahun (P1) dengan penduduk pada akhir tahun (P2). Atau dengan
rumus dapat ditulis sebagai berikut:

P1+P2
Penduduk Pertengahan Tahun (Pm) = atau
2

P1+P2
(Pm) = P1 + [ ]
2

Contoh perhitungan tingkat (rates) kelahiran Kasar (Birth Rate = CBR)


adalah seperti di bawah ini.
Misalnya jumlah kelahiran di Indonesia pada 1979 sebesar 4.931.500 bayi,
sedang jumlah penduduk pada pertengahan tahun sebesar 140.900.000 jiwa, maka
besarnya Tingkat Kelahiran Kasar dihitung dengan rumus:

Jumlah kelahiran selama


setahun (1979)
Tingkat Kelahiran Kasar (CBR) = x 1000
Jumlah penduduk pertengahan
tahun dari tahun yang sama

4.931.500
CBR = x 1000 = 35
140.900.000

Tingkat Kelahiran Kasar sebesar 35 berarti bahwa tiap tahun, tiap 1000
penduduk terdapat 35 kelahiran bayi.

6.6 PERTUMBUHAN PENDUDUK


Pertumbuhan penduduk di suatu wilayah dipengaruhi oleh besarnya
kelahiran (Birth = B), kematian (Death = D), migrasi masuk (In Migration = IM),
dan migrasi keluar (Out Migration = OM).
Penduduk akan bertambah jumlahnya kalau ada bayi lahir (B) dan penduduk
yang datang (IM) dan penduduk akan berkurang jumlahnya kalau ada penduduk
yang mati (D) dan yang meninggal wilayah tersebut (OM).

6.6.1 Persamaan Berimbang (The Balancing Equation)


Metode yang amat sederhana untuk menghitung perubahan penduduk dari
tahun ke tahun, yaitu dengan persamaan berimbang (The Balancing Equation)
dengan rumus:

Pt = Po + (B – D) + (IM – OM)

Di mana:
Pt = banyaknya penduduk pada tahun akhir (+)
Po = banyaknya penduduk pada tahun awal (0)
B = banyaknya kelahiran
D = banyaknya kematian
IM = banyaknya migran masuk
OM = banyaknya migran keluar
(B-D) = pertumbuhan penduduk alamiah (rate of natural increase)
IM-OM = migrasi neto
Contoh:
Dalam bulan Januari tahun 1998 jumlah penduduk Kecamatan X sebesar
214.300 orang; jumlah kelahiran sebesar 3.165 orang dan jumlah kematian
sebesar 1.912 orang.Pada tahun itu jumlah migrasi masuk sebesar 400 dan migrasi
keluar jumlahnya 40 orang. Pada bulan Januari 1999 jumlah penduduk Kecamatan
X adalah:
Pt = Po + (B-D) + (IM-OM)
= 214.300 + (3.165-1.912) + (400-40)
= 215.913
Jadi pada bulan Januari 1999 jumlah penduduk Kecamatan X besarnya 215.913
orang.
Besar kecilnya laju pertambahan penduduk di suatu wilayah sangat
dipengaruhi oleh besar kecilnya komponen pertumbuhan penduduk. Sebagai
contoh pada periode tahun 1980-1990 laju pertumbuhan penduduk Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta besarnya 0,57 persen per tahun. Rendahnya angka
laju pertumbuhan penduduk di Daerah Istimewa Yogyakarta disebabkan karena
besarnya angka migrasi penduduk yang keluar.Sebaliknya untuk Propinsi
Kalimantan Timur pada periode tahun 1980-1990 jumlah migran masuk jauh
melebihi jumlah migran keluar, sehingga migran neto positif.
Untuk Indonesia sebagai keseluruhan laju pertumbuhan penduduk per tahun
hanya dipengaruhi oleh selisih jumlah kelahiran dengan jumlah kematian atau
pertumbuhan penduduk alami karena jumlah orang Indonesia yang menetap di
luar Indonesia jumlahnya sedikit (tidak signifikan dalam artian statistik) begitu
pula orang-orang luar negeri yang menetap di Indonesia. Tingkat pertumbuhan
penduduk alami di Indonesia pada periode tahun 1971-1980 dan 1980-1990
masing-masing sebesar 2,32 persen dan 1,97 persen. Laju masing-masing propinsi
di Indonesia pada kedua periode tahun di atas dapat dilihat pada Tabel 6.9

Tabel 6.9
Jumlah dan Pertumbuhan Penduduk Indonesia Menurut Propinsi
Tahun 1971-1990
Pertumbuhan penduduk
Jumlah Penduduk (000)
No Propinsi per tahun (%)
1971a 1980a 1990a 1971-1980 1980-1990a
1 Daerah Istimewa Aceh 2.009 2.611 3.416 2.93 2.72
2 Sumatera Utara 6.622 8.361 10.256 2.60 2.06
3 Sumatera Barat 2.793 3.407 3.999 2.21 1.62
4 Riau 1.643 2.169 3.306 3.11 4.31
5 Jambi 1.006 1.446 2.016 4.07 3.38
6 Sumatera Selatan 3.441 4.630 6.277 3.32 3.09
7 Bengkulu 519 768 1.179 4.39 4.38
8 Lampung 2.777 4.625 6.006 5.77 2.65
9 DKI Jakarta 4.579 6.503 8.254 3.93 2.41
10 Jawa Barat 21.624 27.454 35.381 2.66 2.57
11 Jawa Tengah 21.877 25.373 28.522 1.64 1.18
12 D.I. Yogyakarta 2.489 2.751 2.913 1.10 0.57
13 Jawa Timur 25.517 29.189 32.504 1.49 1.08
14 Bali 2.120 2.470 2.778 1.69 1.18
15 Nusa Tenggara Barat 2.204 2.275 3.370 2.36 2.15
16 Nusa Tenggara Timur 2.295 2.737 3.269 1.95 1.79
17 Timor Timur - 555 748 - 3.02
18 Kalimantan Barat 2.020 2.486 3.239 2.31 2.68
19 Kalimantan Tengah 702 954 1.396 3.43 3.88
20 Kalimantan Selatan 1.699 2.065 2.598 2.16 2.32
21 Kalimantan Timur 734 1.218 1.877 5.73 4.42
22 Sulawesi Utara 1.718 2.115 2.479 2.31 1.60
23 Sulawesi Tengah 914 1.290 1.711 3.86 2.87
24 Sulawesi Selatan 5.181 6.062 6.982 1.74 1.42
25 Sulawesi Tenggara 714 942 1.350 3.09 3.66
26 Maluku 1.090 1.411 1.856 2.88 2.78
27 Irian Jaya 923 1.174 1.641 2.67 3.41

INDONESIA 119.208 147.490 179.322 2.32 1.97


Sumber: a Indikator Kesejahteraan rakyat 1992. Jakarta, BPS 1993

6.6.2 Laju Pertumbuhan Penduduk Geometris (LPPG) (Geometric Growth)


Tingkat pertumbuhan penduduk geometris adalah pertumbuhan penduduk
bertahap (discreate), yaitu dengan memperhitungkan pertumbuhan penduduk
hanya pada akhir tahun dari suatu periode. Pertumbuhan ini juga disebut
pertumbuhan bunga berganda. Sebagai contoh pada tahun 1960 di suatu wilayah,
jumlah penduduknya sebesar Po dan rata-rata pertumbuhan penduduk tiap tahun
sebesar persen, selanjutnya:
Pada tahun 1961 (setelah 1 tahun) jumlah penduduknya menjadi P1 atau
P1 = Po + Po.r
= Po (1 + r)
Pada tahun 1962 (setelah 2 tahun) jumlah penduduknya menjadi P2 atau
P2 = P1 + P1.r
= P1 (1 + r) → Po (1 + r)(1 + r)
= Po (1 + r)2
Setelah 3 tahun yaitu pada tahun 1963 jumlah penduduknya menjadi P3 atau
P3 = P2 + P2.r
= P2 (1 + r) → Po (1 + r)2(1 + r)
= P3 (1 + r)3
Setelah t tahun maka jumlah penduduknya menjadi:

Pt = Po (1 + r)2

Dimana:
Pt = banyaknya penduduk pada tahun akhir perhitungan
Po = banyaknya penduduk pada tahun awal perhitungan
r = angka pertumbuhan penduduk pertahun
t = jangka waktu (dalam banyaknya tahun)
Dari persamaan di atas terdapat empat bilangan yang tidak diketahui yaitu:
1 = Pt = Jumlah Penduduk pada tahun t
2 = Po = Jumlah Penduduk pada tahun dasar
3 = r = Rata-rata laju pertumbuhan penduduk per tahun
4 = t = Jangka waktu (dalam banyaknya tahun)
Kalau 3 dari 4 bilangan yang tidak diketahui kita ketahui, maka bilangan yang lain
dapat dihitung.
Contoh:
Jumlah penduduk Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 1961 sebesar
2.163.000, dan pada tahun 1971 meningkat manjadi 2.490.000 orang, hitunglah
besarnya laju pertumbuhan penduduk per tahun (r, persen) pada periode tahun
1961-1971.
Jawab:
Pt = Po(1+r)t
2.490.000 =2.163.000 (1+r)10
2.490.000
(1+r)10 =2.163.000

=1,151179
10 log((1+r) = log 1,157179
= 0,0611429
Log (1+r) = 0,00611429
(1+r) = 1,014178
r = 1,014178-1
r = 0,014178
= 1,42%

Jadi laju pertumbuhan penduduk pertahun untuk Daerah Istimewa


Yogyakarta sebesar 1,42% pada periode tahun 1961-1971.

6.6.3 Laju Pertumbuhan Penduduk Eksponensial (LPPE) (Exponential


Growth)
Pertumbuhan penduduk eksponensial adalah pertumbuhan penduduk yang
berlangsung terus menerus (continuous).Ukuran pertumbuhan penduduk secara
eksponensial ini lebih tepat, mengingat bahwa dalam kenyataan pertumbuhan
penduduk juga berlangsung terus-menerus (LD, FE, UI, 1980).
Rumus:

Pt = Po.erf

Dimana:
Pt = banyaknya penduduk pada tahun akhir
Po = banyaknya penduduk pada tahun awal
r = angka pertumbuhan penduduk
t = jangka waktu
e = Angka eksponensial (2,718282)
contoh:
1. Penduduk Indonesia pada tahun 1961 berjumlah 97.019.000 orang dan pada
tahun 1971 meningkat menjadi 119.232.000 orang. Maka pertumbuhan
penduduk geometris, r = 0,0208 atau 2,08 persen per tahun, sedang
pertumbuhan eksponensial, r = 0,020617 atau 2,06 persen per tahun.
2. Apabila laju pertumbuhan penduduk per tahun suatu negara sebesar 1 persen
atau 0,01, setelah berapa tahunkah jumlah penduduknya berlipat dua?
Jawab:
Rumus:
Pt = Po.erf

Jumlah penduduk akan berlipat dua ini berarti


Pt = 2Po →Pt/Po = 2
Pt = Po.erf→Pt /Po = erf
2 = erf
Log2 = rt log e
0,301029995 = 0,01.t log 2,71828
0,301029995 = 0,01.t x 0,4434294189
0,301029995
0,01.t = 0,4434294189

t = 69,31475→ t = 69,3 atau 70 tahun

Jadi kalau laju pertumbuhan penduduk 1 persen, maka penduduk akan


berlipat dua dalam kurun waktu 70/1 tahun = 70 tahun. Kalau laju pertambahan
penduduk 2 persen maka penduduk akan berlipat 2 dalam kurun waktu 70/2
tahun = 35 tahun. Cara sederhana untuk memperkirakan waktu ganda ini
adalah membagi 70 dengan angka pertumbuhan yang dinyatakan dalam
persentasi. Jika pada tahun 1976 tingkat pertumbuhan penduduk Indonesia
adalah 2,1 persen, maka jumlah penduduk tersebut menjadi dua kali lipat
dalam jangka waktu 33 tahun.
70/2,1 = 33,3 tahun
Waktu ganda merupakan cara sederhana untuk memperkirakan banyaknya
penduduk di masa mendatang, sebab diasumsikan bahwa angka pertumbuhan
setiap tahun adalah tetap
3. Angka Pertumbuhan Penduduk Nol (Zero Population Growth = ZPG)
Zero Population Growth = (ZPG) berarti bahwa jumlah penduduk di suatu
negara tidaklah bertambah maupun berkurang (pertumbuhan penduduk pertahun 0
persen). Suatu penduduk dapat mencapai keseimbangan tersebut jika:
a. Banyaknya kelahiran sama dengan banyaknya kematian dan migrasi neto sama
dengan nol;
b. Jumlah kelahiran melebihi jumlah kematian tetapi kelebihan tersebut diimbangi
oleh migrasi keluar neto;
c. Jumlah kematian melebihi jumlah kelahiran, tetapi kekurangan tersebut
diimbangi oleh migrasi masuk neto.

6.6.4 Laju Pertumbuhan Penduduk di Daerah Perkotaan


Untuk wilayah perdesaan laju pertumbuhan penduduk dipengaruhi oleh:
1. Pertumbuhan penduduk alami (B-D), dan
2. Migrasi Neto (IM-OM)
Tetapi untuk wilayah perkotaan laju pertumbuhan penduduk dipengaruhi
juga oleh faktor reklasifikasi.Reklasifikasi adalah perubahan status suatu wilayah
dari perdesaan ke perkotaan. Sebagai contoh pada tahun 1980 banyak desa-desa di
Indonesia mempunyai ciri-ciri tersebut berubah ke ciri-ciri perkotaan yaitu:
1. Kepadatan penduduk tinggi (± 5000 orang/km persegi)
2. Sekitar 75 persen penduduk aktivitasnya di bidang non pertanian.
3. Tersedia fasilitaskota misalnya: jalan beraspal, listrik, rumah sakit,
supermarket, gedung bioskop dan lain-lain (Mantra, 1999).

Di samping pertambahan penduduk disebabkan karena adanya reklasifikasi,


ada beberapa kota-kota di Indonesia seperti Surabaya, Padang, ada perluasan
wilayah, dan ini pun menyebabkan terjadinya pertambahan jumlah penduduk.
Bab VII
Kematian (Mortalitas)

7.1 PENDAHULUAN
Kematian atau mortalitas adalah salah satu dari tiga komponen demografi
yang berpengaruh terhadap struktur dan jumlah penduduk. Dua komponen
demografi lainnya adalah kelahiran (fertilitas), dan mobilitasi penduduk. Tinggi
rendahnya tingkat mortalitas penduduk suatu daerah tidak hanya mempengaruhi
pertumbuhan penduduk, tetapi juga merupakan barometer dari tinggi rendahnya
tingkat kesehatan masyarakat di daerah tersebut. Dengan memperhatikan trend
dari tingkat mortalitas di masa lampau dan estimasi di masa mendatang dapatlah
di buat sebuah proyeksi penduduk wilayah bersangkutan.
Yang dimaksud dengan mati ialah peristiwa menghilangnya semua tanda-
tanda kehidupan secara permanen, yang bisa terjadi setiap saat setelah kelahiran
hidup* (Budi Utomo, 1985). Dari definisi ini terlihat bahwa keadaan “mati” hanya
bisa terjadi kalau sudah terjadi kelahiran hidup.9 Dengan demikian keadaan mati
selalu didahului oleh keadaan hidup. Dengan kata lain, mati tidak pernah ada
kalau tidak ada kehidupan. Sedangkan hidup selalu dimulai dengan lahir hidup
(live birth).
Di samping mortalitas, dikenal istilah morbiditas yang diartikan sebagai
penyakit atau kesakitan. Penyakit dan kesakitan dapat menimpa manusia lebih
dari satu kali dan selanjutnya rangkaian morbiditas ini atau sering disebut
morbiditas kumulatif pada akhirnya menghasilkan peristiwa yang disebut
kematian. Penyakit atau kesakitan adalah penyimpangan dari keadaan yang
normal, yang biasanya dibatasi pada kesehatan fisik dan mental (Budi Utomo,
1985).
Pada gambar 6 terlihat beberapa definisi atau istilah kematian sekitar
kelahiran dan sebelumnya. Disini dibedakan peristiwa-peristiwa kematian yang
terjadi di dalam rahim (intra uterin) dan di luar rahim (extra uterin). Pada masa
9
Lahir hidup (live birth) adalah peristiwa keluarnya hasil konsepsi dari rahim seorang ibu secara
lengkap, dengan disertai tanda-tanda hidup (denyut jantung, denyut tali pusat atau gerakan-
gerakan otot) tanpa memandang apakah tali pusat sudah dipotong atau belum.
janin masih dalam kandungan ibu (intra uterin), terdapat peristiwa-peristiwa
kematian janin sebagai berikut:
1. Abortus, kematian janin menjelang dan sampai 16 minggu;
2. Immature, kematian janin antara umur kandungan di atas 16 minggu sampai
pada umur kandungan 28 minggu;
3. Prematur, kematian janin di dalam kandungan pada umur di atas 28 minggu
sampai waktu lahir.

Selanjutnya kematian bayi di luar rahim (extra uterin) dibedakan atas:


1. Lahir mati (still birth), kematian bayi yang cukup masanya pada waktu
keluar dari rahim, tidak ada tanda-tanda kehidupan;
2. Kematian baru lahir (neo natal death) adalah kematian bayi belum berumur
satu bulan tetapi kurang dari satu tahun;
3. Kematian lepas baru lahir ( post neo natal death) adalah kematian bayi
setelah berumur satu bulan tetapi kurang dari setahun;
4. Kematian bayi (infant mortality), kematian setelah bayi lahir hidup hingga
berumur kurang dari satu tahun.
7.2 SUMBER DATA MORTALITAS PENDUDUK
Sumber data mortalitas penduduk di Indonesia ialah registrasi penduduk.
Cara pengumpulannya prospektif, yaitu pencatatan yang kontinyu terhadap tiap-
tiap peristiwa kematian. Hasil registrasi penduduk masih jauh dari memuaskan,
banyak peristiwa kematian yang belum tercatat, dan kualitas datanya rendah.
Penduduk sering merasa tidak ada suatu keharusan untuk melapor dan
mencatatkan setiap peristiwa kematian ini kepada kepala desa atau kepala dukuh.
Namun demikian, kalau dibandingkan dengan catatan kelahiran, pencatatan
kematian lebih lengkap.
Di Indonesia pelaporan kematian dilaksanakan oleh kepala keluarga atau
salah salah satu anggota keluarga kepada kepala dukuh. Laporan ini kemudian di
teruskan ke kantor desa pada saat diadakan rapat kepala dukuh yang biasanya
berlangsung seminggu sekali. Sering terjadi bahwa pelaporan itu tidak dilaporkan
oleh kepala keluarga dan tidak pula di terima oleh kepala dukuh. Kalau kepala
dukuh tidak dapat datang ke rapat, maka data kematian ini akan di bawanya pada
rapat berikutnya. Agaknya, penyimpangan-penyimpangan dalam hal siapa yang
melaporkan dan waktu melaporkannya menyebabkan adanya angka pelaporan
yang jumlahnya kurang dari keadaan sebenarnya (under reporting).
Sumber yang lain dari data kematian, adalah penelitian (survei). Biasanya
penelitian kematian penduduk ini di jadikan satu dengan penelitian kelahiran
(fertilitas) yang disebut dengan penelitian statistik vital.
Sejak tahun 1911, beberapa kali dikeluarkan peraturan yang mewajibkan
penduduk mencatatkan peristiwa kelahiran dan kematian, tetapi usaha-usaha
tersebut tidak pernah berjalan dengan baik (Heligman, 1976). Daerah-daerah di
jawa dan di Madura berganti-ganti telah dipilih sebagai daerah registrasi, dan kira-
kira setengah dari jumlah kematian dari daerah-daerah yang diseleksi itu tidak
tercatat.
Untuk mengatasi kesulitan dari data kematian tersebut, sering dibuat
perhitungan perkiraan berdasar dari data hasi8l sensus penduduk (cacah jiwa) atau
dari hasil penelitian (survei). Dalam sensus penduduk, mengenai kelahiran dan
kematian penduduk, ditanyakan: jumlah wanita yang pernah kawin menurut umur,
jumlah anak yang di lahirkan hidup, jumlah anak yang meninggal dan jumlah
anak yang masih hidup. Dari informasi di atas dibuatlah (estimasi) mengenai
tingkat kematian bayi, dan tingkat kematian anak.

7.3 PENGUKURAN DATA KEMATIAN PENDUDUK


Ada beberapa cara mengukur data kematian penduduk, di antaranya ada tiga
yang akan dibicarakan disini, yaitu: tingkat kematian kasar (crude death rate,
atauCDR), tingkat kematian menurut umur (age specitic death rate, atau ASDR),
dan kematian bayi (infant death rate,atau IDR).
7.3.1 Tingkat kematian kasar
Tingkat kematian kasar (CDR) didefinisikan sebagai banyaknya kematian
pada tahun tertentu, tiap 1000 penduduk pada pertengahan tahun. Dengan rumus
sebagai berikut:
D
Tingkat kematian kasar(CDR)= Pm x k

D = jumlah kematian pada tahun tertentu (dari hasil registrasi penduduk)


Pm = jumlah penduduk pada pertengahan tahun (pada bulan Juni)
K = bilangan konstan yang biasanya ternilai 1000

Sebagai contoh, di ketahui jumlah penduduk Indonesia pada pertengahan


tahun 1975 sebesar 136.000.000 jiwa. Jumlah kematian sepanjang tahun sebesar
2.298.400 jiwa. Besarnya tingkat kematian kasar dapat dihitung sebagai berikut:
2.298.400
𝑡𝑖𝑛𝑔𝑘𝑎𝑡 𝑘𝑒𝑚𝑎𝑡𝑖𝑎𝑛 𝑘𝑎𝑠𝑎𝑟 (𝐶𝐷𝑅) = 136.000.000 X 1000 = 16,9

Angka ini berarti, bahwa pada tahun 1975 setiap tahun, setiap 1000
penduduk, terdapat kematian sebesar 16,9 penduduk.

7.3.2 Tingkat kematian menurut umur dan jenis kelamin


Pengukuran tingkat kematian kasar seperti contoh di atas adalah ukuran
kematian yang sangat kasar. Besar kecilnya angka kematian dipengaruhi oleh
beberapa faktor, antara lain oleh umur, jenis kelamin, pekerjaan dan status kawin.
Misalnya orang yang berumur 80 tahun umumnya lebih cepat meninggal daripada
orang berumur 20 tahun. Orang-orang yang maju ke medan perang kemungkinan
meninggal lebih besar dari pada istri-istri mereka yang menunggu di rumah.
Memperhatikan faktor-faktor di atas maka ahli-ahli demografi mempergunakan
ukuran yang lebih spesifik, yang hanya berlaku untuk kelompok penduduk
tertentu. Ukuran yang paling umum digunakan oleh ahli demografi ialah tingkat
kematian menurut umur, atau dalam bahasa Inggris disebut dengan age specific
death rate disingkat dengan ASDR. Rumus tingkat kematian menurut umur
ditulis sebagai berikut:
jumlkah kematian penduduk
kelompok umur i
𝑡𝑖𝑛𝑔𝑘𝑎𝑡 kematian 𝑘𝑒𝑙𝑜𝑚𝑝𝑜𝑘 𝑢𝑚𝑢𝑟 𝑖 = jumlah penduduk kelompok umur i xk
pada pertengahan tahun

Atau:
Di
𝐴𝑆𝐷𝑅 𝑖 = x 1000
Pmi

Di = jumlah kematian pada kelompok umur i


Pmi = jumlah penduduk pada pertengahan tahun pada kelompok i
K = angka konstan = 1000

Sebagai contoh di bawah ini dicantumkan perhitungan tingkat kematian


menurut umur (ASDR) untuk suatu wilayah pada tahun tertentu yang di bedakan
antara laki-laki dan perempuan (Tabel 7.1).
Tabel 7.1
Perhitungan tingkat kematian menurut kelompok umur (ASDR)
dan jenis kelamin di suatu wilayah pada tahun tertentu
Umur Jumlah penduduk Jumlah kematian Tingkat kematian
(tahun) pertengahan tahun menurut umur
Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki perempuan
0-4 6.854.6655 6.649.905 331.871 299.113 48,42 44,98
5-9 5.601.294 5.458.427 21.285 20.742 3,80 3,80
10-14 4.695.753 4.518.980 10.331 10.532 2,20 2,30
15-19 3.433.346 3.463.303 11.330 11.403 3,30 3,29
20-24 2.741.853 3..191.179 13.709 13.403 5,00 4,20
25-29 2.349393 2.955.984 11.747 13.598 5,00 4,60
30-34 2.517.386 2.936.112 13.846 13.387 5,50 4,90
35-39 2.338.259 2.531.417 14.497 13.670 6,20 5,40
40-44 2.093.687 2.085.705 16.540 12.723 7,90 6,10
45-49 1.607.439 1.618.732 16.235 11.493 10,10 7,10
50-54 1.176.082 1.186.536 16.230 11.509 13,80 9,70
55-59 861.514 942.037 16.541 12.824 19,20 13,61
60-64 564.514 633.183 15.964 13.803 28,28 21,80
65-69 429.148 506.745 17.724 17.432 41,30 34,40
70-74 262.852 303.254 16.560 16.891 63,00 55,70
75-79 152.010 170.957 14.213 14.600 93,50 85,40
80+ 62.568 69.402 12.514 13.880 200,01 199,99
Jumlah 37.741.753 39.281.858 571.137 522.003 115,13 13,29

Tingkat kematian menurut kelompok umur (ASDR) dapat dihitung dengan rumus:
ASDRi laki-laki = (Di lk / Pi lk) x 1000
ASDRi perempuan = (Di pr / Pi pr) x 1000
Contohnya untuk kelompok umur 5-9 tahun dapat di hitung sebagai berikut:
Untuk laki-laki
ASDR 5-9 laki-laki = (21.285 / 5.601.294) x 1000 = 3,80, dan seterusnya
Tingkat kematian menurut umur dapat digambarkan dalam sebuah grafik
seperti terlihat pada gambar 10. Pada gambar ini terlihat pada tingkat kematian
menurut umur untuk perempuan sejak umur 20 hingga 75 tahun lebih rendah
dibandingkan dengan laki-laki, dan pada kelompok umur anak-anak tingkat
kematian tinggi kemudian menurun pada usia dewasa dan meningkat kembali
pada usia tua.
Memperhatikan angka-angka kematian menurut umur seperti tersebut di
atas, terlihatlah bahwa pada umur 0-4 tahun angka kematian sangat tinggi, lebih-
lebih angka kematian bayi (umur di bawah satu tahun). Karena hal tersebut di
atas dibuatlah perhitungan tersendiri untuk kematian bayi.

7.3.3 Tingkat Kematian Bayi (infant mortality rate atau IMR)


Tingkat kematian bayi dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
jumlah kematian bayi
𝑡𝑖𝑛𝑔𝑘𝑎𝑡 𝑘𝑒𝑚𝑎𝑡𝑖𝑎𝑛 𝑏𝑎𝑦𝑖 = xk
jumlah kelahiran hidup
pada tahun tertentu
Atau dapat pula ditulis dengan rumus:

Do
𝐼𝑀𝑅 = xk
B

Do = jumlah kematian bayi pada tahun tertentu

B = jumlah lahir hidup pada tahun tertentu

K = bilangan konstan = 1000

Sebagai contoh, di suatu daerah pada tahun 1970 jumlah kematian bayi
sebesar 263.000 orang dan jumlah kelahiran pada tahun tersebut sebesar
1.594.000, maka basarnya tingkat kematian bayi (IMR) dapat dihitung sebagai
berikut:

263.000
𝐼𝑀𝑅 = X 1000 = 164,99
1.594.000

Ini berarti, pada tahun 1970 di daerah yang bersangkutan terdapat 164,99
bayi meninggal tiap 1000 kelahiran.
Tingkat kematian bayi (IMR) di Indonesia walaupun terlihat adanya penurunan
setalah tahun 1980,an dari 145 pada tahun 1971 menjadi 109 pada tahun 1980,
tetapi tetap menunjukkan angka yang tinggi (di atas 100). Negara-negara AS EAN
yang lain pada tahun 1978 besarnya IMR kurang dari 100 (Malaysia 41, Philipina
80, Muangthai 80,an, Singapura 12, (Pop Ref Bureau, 1978). Di Indonesia satelah
tahun 1990 besarnya IMR mulai lebih kecil dari 100 (Tabel 7.2) dan pada tahun
1997 besarnya mencapai 52 per seribu kelahiran.
Tabel 7.2
Estimasi tingkat kematian bayi (IMR) tahun 1971, 1980, 1990

.No Propinsi Tingkat kematian bayi (IMR)


1971 1980 1990
1. Daerah Istimewa Aceh 143 93 58
2. Sumatera Utara 121 89 61
3. Sumatera Barat 152 121 74
4. Riau 146 110 65
5. Jambi 154 121 74
6. Sumatera Selatan 155 102 71
7. Bengkulu 167 111 69
8. Lampung 146 99 69
9. DKI Jakarta 129 82 40
10. Jawa Barat 167 134 90
11. Jawa Tengah 144 99 65
12. D.I. Yogyakarta 102 62 42
13. Jawa Timur 120 97 64
14. Bali 130 92 51
15. Nusa Tenggara Barat 221 189 145
16. Nusa Tenggara Tengah 154 128 77
17. Timor Timur - - 85
18. Kalimantan Barat 144 119 81
19. Kalimantan Tengah 129 100 58
20. Kalimantan Selatan 165 123 91
21. Kalimantan Timur 104 100 58
22. Sulawesi Utara 114 93 63
23. Sulawesi Tengah 150 130 92
24. Sulawesi Selatan 161 111 70
25. Sulawesi Tenggara 167 116 77
26. Maluku 140 123 76
27. Irian Jaya 86 105 80
Indonesia 145 109 71
Sumber : proyeksi produk Indonesia per-propinsi 1990-2000, Jakarta, BPS 1993

Apabila di lihat per- propinsi, terlihat bahwa propinsi Nusa Tenggara Barat
tingkat kematian bayinya tertinggi di antara propinsi-propinsi yang lain yaitu 221
pada tahun 1971 dan 195 pada tahun 1990, dan propinsi-propinsi di Jawa dan
Bali, tingkat kematian bayinya lebih rendah dari propinsi-propinsi yang lain (
Tabel 7.2).
Terdapat variasi tingkat kematian bayi antara negara bertingkat kematian
bayi bisa mencapai 200 per 1000 kelahiran hidup, sedangkan di negara-negara
maju angka tersebut bisa di bawah 15 per 1000 kelahiran (Budi Utomo, 1983).
Demi negara, misalnya antara kota dan desa, antara bagian golongan sosial
ekonomi penduduk. Di samping itu, angka kematian bayi pada suatu tempat juga
bervariasi menurut waktu.
Angka kematian bayi merupakan indikator yang sangat berguna, tidak saja
terhadap status penduduk keseluruhan dan kondisi ekonomi di mana penduduk
tersebut bertempat tinggal. Angka kematian bayi tidak hanya merefleksikan
besarnya masalah kesehatan yang bertanggung jawab langsung terhadap kematian
bayi, seperti diare, infeksi saluran pernafasan, salah gizi, penyakit-penyakit infeksi
dan kondisi prenatal, tetapi juga merefleksikan tingkat kesehatan ibu, kondisi
kesehatan lingkungan dan secara umum tingkat perkembangan sosial ekonomi
masyarakat. Baik di negara maju, maupun di negara yang sedang berkembang,
terdapat hubungan terbalik antara tingkat kematian bayi dengan status ekonomi
orang tua.
Angka kematian bayi juga telah menunjukkan fungsinya sebagai indikator
ampuh dalam menilai perubahan kondisi kesehatan di suatu negara. Pada negara-
negara dimana angka kematian bayi telah dihitung selama periode yang lama,
terlihat reduksi angka kematian bayi yang sejajar dengan perbaikan standar hidup
dan kondisi sanitasi termasuk juga kemudahan pelayanan kesehatan yang sebaik-
baiknya bagi masyarakat.
Dalam penerapannya, angka kematian bayi dipakai sebagai angka
probabilitas untuk mengukur resiko kematian dari seorang manusia atau bayi dari
saat kelahirannya sampai menjelang ulang tahunnya yang pertama. Apabila
penduduk mempunyai angka kematian bayi 200 per 1000 kelahiran hidup, ini
berarti bahwa probabilitas mati seorang bayi yang baru lahir pada penduduk
tersebut sebelum mencapai ulang tahunnya yang pertama adalah 20 persen.
Sehingga kalau diterapkan secara agregat, dari 1000 kelahiran misalnya, 200
diantaranya mati sebelum ulang tahun yang pertama atau dapat juga dikatakan
bahwa hanya 800 dari 1000 kelahiran yang dapat menikmati ulang tahun yang
pertama. Dengan perkataan lain, resiko kematian bayi pada penduduk dengan
angka kematian bayi 200 per 1000 kelahiran hidup adalah kurang lebih 13 sampai
14 kali lebih tinggi di banding dengan resiko kematian bayi pada penduduk
dengan angka kematian bayi 15 per 1000 kelahiran.

7.3.4 Tingkat Kematian Anak


Tingkat kematian anak didefinisikan sebagai jumlah kematian anak berumur
1-4 tahun selama satu tahun tertentu per 1000 anak umur yang sama pada
pertengahan tahun. Dengan demikian angka kematian anak tidak menyertakan
angka kematian bayi.
Dibandingkan dengan angka kematian bayi, angka kematian anak lebih
merefleksikan kondisi kesehatan lingkungan yang langsung mempengaruhi
tingkat kesehatan anak. Angka ini tinggi pada keadaan salah gizi, higiene buruk,
tingginya prevalensi penyakit menular pada anak dan insiden kecelakaan di
dalam atau di sekitar rumah. Sehingga dalam menunjukkan tingkat kemiskinan,
indikator ini lebih lebih unggul dibandingkan dengan tingkat kematian bayi. Di
negara-negara maju , angka kematian anak dapat serendah 0,4 per 1000, tetapi
survei di beberapa kelompok masyarakat di negara berkembang angka kematian
anak dapat mencapai setinggi 100 per 1000. Kalau angka kematian bayi sekitar 14
kali lipat lebih tinggi di negara berkembang dibandingkan negara maju.
Perbedaan angka kematian anak antara berbagi negara atau kelompok masyarakat
ini menunjukkan adanya perbedaan kondisi lingkungan sosial ekonomi yang
mempengaruhi status kesehatan, karena sebagian besar kematian tersebut dapat
dicegah dengan adanya perbaikan kondisi sosial ekonomi.

7.3.5 Tingkat Kematian Anak Di Bawah Lima Tahun (Balita)*10


Tingkat kematian anak balita didefinisikan sebagai jumlah kematian anak
usia dibawah lima tahun selama satu tahun per 1000 anak usia yang sama pada
pertengahan tahun. Angka kematian bayi dan angka kematian anak. Hanya dengan
menggunakan menggunakan angka kematian bayi belum cukup untuk
menggambarkan tingkat kematian anak pada umur di atas satu tahun. Dua
kelompok penduduk dengan tingkat kematian bayi yang sama, belum tentu sama
dalam hal angka kematian anak diatas satu tahun. Variasi angka ini, di negara
berkembang dapat lebih tinggi dari 100, tetapi di negara maju dapat lebih rendah
dari dua.
Sesuai dengan kemajuan di bidang kesehatan masyarakat, maka angka
kematian anak balita menurun dengan cepat. Dari tabel 7.3 dapat kematian anak
balita masing-masing sebesar 218, 162 dan 103 per 1000 kelahiran.

10
Kasto dan sembiring (1995) begitu pula McNicoll dan Mamas (1973) menghitung tingkat
kematian anak balita sebagai jumlah kematian anak balita selama satu tahun pert 1000 kelahiran.
Perhitungan dengan menggunakan jumlah kelahiran atau jumlah anak balita sebagai penyebut
walaupun hasilnya sedikit berbeda, tetapi perbedaan itu tidak signifikan.
Tabel 7.3

Tingkat kematian balita tahun 1971, 1980, dan 1990

Menurut propinsi di Indonesia

.No Propinsi Tingkat kematian balita per 1000 kelahiran


1971 1980 1990
1. Daerah Istimewa Aceh 214 138 83
2. Sumatera Utara 180 130 87
3. Sumatera Barat 229 181 107
4. Riau 220 163 94
5. Jambi 232 176 107
6. Sumatera Selatan 233 150 103
7. Bengkulu 250 171 100
8. Lampung 219 147 100
9. DKI Jakarta 193 119 57
10. Jawa Barat 251 200 132
11. Jawa Tengah 216 141 94
12. D.I. Yogyakarta 151 89 58
13. Jawa Timur 180 143 91
14. Bali 195 136 73
15. Nusa Tenggara Barat 327 282 217
16. Nusa Tenggara Tengah 231 192 112
17. Timor Timur - - 124
18. Kalimantan Barat 217 177 118
19. Kalimantan Tengah 194 148 82
20. Kalimantan Selatan 248 184 133
21. Kalimantan Timur 154 148 53
22. Sulawesi Utara 170 137 90
23. Sulawesi Tengah 225 195 135
24. Sulawesi Selatan 242 165 102
25. Sulawesi Tenggara 251 173 112
26. Maluku 216 184 111
27. Irian Jaya 126 155 117
Indonesia 218 162 103
Sumber : kasto dan H. semiring (1995)

Di antara propinsi-propinsi di Indonesia, propinsi Nusa Tenggara Barat


mempunyai tingkat kematian anak balita tertinggi yaitu 217 per 1000 kelahiran
pada tahun 1990, dan yang terendah adalah DKI Jakarta disusul DI Yogyakarta
yang pada tahun 1990 masing-masing sebesar 57 dan 58. Hal ini sejalan dengan
tingkat kematian bayi di ketiga propinsi tersebut yaitu pada tahun 1990, IMR di
propinsi Nusa Tenggara barat sebesar 146 sedangkan di DKI Jakarta dan DI
Yogyakarta masing-masing sebesar 40 dan42 per 1000 kelahiran ( tabel 7.2).

7.2 STANDARISASI

Seperti telah di uraikan di muka, komposisi penduduk menurut umur sangat


berpengaruh terhadap tingkat kematian kasar. Karakteristik-karakteristik
penduduk lainnya juga mempunyai pengaruh terhadap tingkat kematian kasar
adalah:

a. Antara penduduk daerah perdesaan dan daerah perkotaan;


b. Penduduk dengan lap[angan pekerjaan yang berbeda;
c. Penduduk dengan perbedaan pendapatan
d. Penduduk dengan perbedaan status kawin,

Kalau kita ingin membadingkan tingkat kematian kasar antara dua


kelompok penduduk dengan struktur yang berbeda (misalnya struktur umur), kita
tidak dapat hanya melihat perbedaan tingkat kematian kasar pada kedua kelompok
umur tersebut sebelum diadakan penyamaan jumlah penduduk menurut kelompok
umur tertentu. Cara penyamaan disebut standardisasi. Penduduk yang dipakai
sebagai penduduk standar, dapat penduduk dari negara lain.
Sebagai contoh, dibawah ini dihitung tingkat kematian kasar penduduk dari
negara A dan negara B, dengan jumlah penduduk negara A sebagai penduduk
standar ( Tabel 7.4).

Tabel 7.4

Standardisasi tingkat kematian kasar negara A dan negara B

Dengan penduduk negara A sebagai penduduk standar

Umur Negara A Negara B Jumlah Kematian


Penduduk ASDR Penduduk ASDR Negara A Negara B
0-44 1.000 25 4.000 30 (25x1000)/ (30x1000)
1000=25 1000=30
45+ 4.000 40 1.000 25 (40x4000)/ (45x4000)/
1000=25 80
Jumlah Kematian: Negara A = 185 Negara B = 120
Tingkat Kematian Kasar: Negara A = (185/5000) X 1000 = 37
Negara B = (210/5000) X 1000 = 42
Sumber : palmore (1973)

Dengan mempergunakan penduduk negara A sebagai penduduk standar,


maka tingkat kematian kasar untuk negara A besarnya 37, dan negara B besarnya
42. Apabila perhitungan tingkat kematian kasar di kedua negara tersebut dengan
tiga cara yaitu: tanpa standar, dengan standar penduduk negara A, dan dengan
standar penduduk negara B, maka didapatlah variasi tingkat kematian kasar untuk
kedua negara tersebut sebagai berikut:

Negara A Negara B

Tidak dipergunakan standar 37 33

Penduduk Negara A sebagai standar 37 42

Penduduk Negara B sebagai standar 28 33


7.5 PENYEBAB ENDOGEN DAN EKSOGEN DARI KEMATIAN BAYI

Penyebab endogen dan eksogen dari kematian bayi dalam sub bab ini
disarikan dari tulisan Budi Utomo (1985) dalam makalah dengan judul
“mortalitas: pengertian dan contoh kasus di Indonesia”, yang ditulis tahun 1985.
Berbeda dengan kematian pada umur-umur selanjutnya, kematian pada bayi
memerlukan perhatian sendiri.

` kematian pada bayi dan juga anak sampai menjelang umur lima tahun relatif
sangat tinggi seperti halnya mereka yang berusia lanjut. Kalau mereka yang
berusia lanjut banyak bertanggung jawab sendiri terhadap kematiannya, maka
kematian bayi dan anak lebih banyak ditentukan oleh kemampuan orang tua
dalam memberikan pemeliharaan dan perawatan terhadap anak-anaknya karena
faktor sosio-ekonomi berkaitan dengan kemampuan tersebut, maka kematian bayi
dan anak-anak sering kali digunakan sebagai indikator status kesehatan dan status
sosio- ekonomi penduduk (Uni9ted nation, 1973).

Seorang bayi mulai terpapar terhadap lingkungannya sejak saat dilahirkan.


sebelumnya, selama kehamilan, kelangsungan hidup calon bayi berada di bawah
kontrol faktor-faktor biologi yang terdapat pada orang tuanya dan faktor-faktor
biologi lingkungan luar yang bekerja melalui ibunya. Contoh terakhir ini, misal
kemiskinan akan membawa ibu ke keadaan kurang gizi selama hamil.

Banyak sekali faktor yang dapat dikaitkan dengan kematian bayi. Secara
garis besar, dari segi penyebabnya, kematian bayi dibedakan menjadi dua jenis
yaitu endogen dan eksogen. Kematian bayi endogen adalah kematian bayi yang di
sebabkan oleh faktor-faktor anak yang dibawa sejak lahir, diwarisi orang tuanya
pada saat konsepsi atau didapat dari ibunya selama kehamilan. Sedangkan
kematian bayi eksogen adalah kematian bayi yang di sebabkan oleh faktor-faktor
yang bertalian dengan pengaruh lingkungan luar. Pembedaan antara kedua jenis
penyebab kematian tersebut idealnya dapat dilakukan melalui data statistik
penyebab kematian, tetapi dalam praktek tidak mudah karena masalah kualitas
data (United Natuons, 1973).
Dengan semakin meningkatnya usia, kematian endogen mengurang dan
kematian eksogen meningkat. Sementara semua kematian bayi yang terjadi
setelah usia satu bulan (post neonatal) merupakan kematian eksogen, maka
kematian eksogen pada bayi sebelum usia satu bulan (neonatal) besarnya kira-kira
25% dari seluruh kematian bayi pada post neo natal (bourgouis pichat, 1952).
Dengan kata lain, jumlah kematian eksogen pada bayi adalah 1,25 kali lipat dari
kematian bayi pada periode post neonatal. Gambaran ini menunjukkan bahwa
faktor lingkungan luar berkontribusi besar sebagai penyebab kematian bayi.
Kualitas lingkungan pada bentuk kondisi higiene, sanitasi dan sosial ekonomi
akan sangat menentukan terhadap tinggi-rendahnya kematian bayi.

Apabila kematian bayi tinggi, maka rasio kematian bayi post neonatal adlah
juga tinggi. Rasio ini menurun dengan semakin rendahnya kematian bayi yang
sampai pada suatu saat dengan terkontrolnya faktor lingkungan luar, porsi
kematian neonatal menjadi lebih dominan. Pada keadaan ini , kematian bayi lebih
banyak di sebabkan faktor endogen, yang pengontrolannya memerlukan
kemampuan untuk menembus pengetahuan tentang masalah-masalah biologi yang
lebih mendasar (keyfitz, 1977). Di Indonesia dan di banyak negara berkembang
lainnya, keadaan tersebut masih jauh dari jangkauan.

7.6 PERKEMBANGAN (TREN) MORTALITAS DI INDONESIA

Akibat ketidak lengkapan serta kurang dapat dipercaya angka sttistik vital di
Indonesia, maka sangatlah sulit untuk memperkirakan dengan tepat tren mortalitas
di Indonesia dari masa ke masa. Larry Heligman (1976) dalam tulisannya
mengenai mortalitas di Indonesia 1961-1971 menguraikan tentang perkembangan
mortalitas di Indonesia seperti disarikan di bawah ini .

Selama periode sebelum perang dunia ke II, perkiraan tingkat mo9rtalitas di


Indonesia sangat tinggi yaitu antara 28-35 per 1000 penduduk. Pada periode ini
angka harapan hidup pada waktu lahir berkisar antara 30-35 tahun. Tingkat
kematian per tahun selama periode ini sangat tidak menentu sebagai akibat
penyakit tuberkuolosis, kolera, cacar, wabahpes dan typus. Meskipun pada masa
itu sudah diadakan berbagai tindakan pencegahan terhadap penyakit-penyakit
tersebut tetapi karena keadaan perumahan yang tidak sehat dan kekurangan
makanan yang bergizi (malnutrisi), penyakit-penyakit tersebut tetap parah kecuali
pes.

Pada tahun 1930-an tingkat kematian kelihatan mulai menurun, tetapi


ketenangan ini diganggu oleh perang dunia ke II pada tahun 1942-1945. Setelah
itu disusul oleh perang kemerdekaan dari tahun 1945 hingga tahun 1950. Keadaan
ini menyebabkan tingkat kematian di Indonesia meningkat kembali.

Tahun 1950 (penyerahan kedaulatan) keadaan keamanan di Indonesia mulai baik.


Tampak adanya titik bali dalam arah mortalitas di Indonesia, yaitu
memperlihatkan kecenderungan menurun perlahan-lahan . angka harapan hidup
pada waktu lahirpun kelihatan meningkat pula (30-35) dan angka ini terus
meningkat sehingga sekitar tahun 1960-an perkiraan harapan hidup waktu lahir
berkisar antara 40-44 tahun.

Setelah tahun 1960, memang telah ada tendensi penurunan tingkat kematian,
tetapi penurunan ini tidak stabil kadang-kadang mengalami fluktuasi yang
dipengaruhi oleh naik turunnya produk pangan, situasi politik dan sataf kesehatan
masyarakat. Produksi pangan dalam tahun 1960-an tidak dapat mengimbangi
tingkat pertambahan penduduk . produksi pangan pada waktu itu kenaikannya 1,8
persen per tahun, sedang tingkat pertambahan penduduk sebesar 2,4 persen.
Meskipun produksi beras sebagai bahan pangan pokok naik hampir sama cepatnya
dengan kenaikan jumlah penduduk tiap tahun, tetapi pertambahan itu tidak merata
selama jangka waktu tersebut. Misalnya hingga tahun 1968 produksi beras naik
kurang dari 1 persen. Walaupun luas areal yang ditanami meningkat tetapi ada
kemerosotan sistem iri grasi. Dari tahun 1968 produksi padi meningkat lagi
karena adanya program intensifikasi dalam bidang pertanian. Program ini
dipusatkan pada penggunaan bibit-bibit jenis unggul, pupuk dan perbaikan
intrastruktur serta fasilitasi kredit.
Susu merupakan faktor penting bagi penurunan penyakit dan tingkat
kematian anak. Berbeda dengan produksi pangan, produksi susu naik dengan
cepat selama beberapa tahun pertama tahun 1960-an. Sesudah tahun 1966,
produksi susu menurun dengan cepatnya. Penurunan produksi ini terjadi bersama
dengan berakhirnya program sumbangan susu dari UNICEF. Akibatnya penyakit
kanak-kanak merupakan sebab kematian yang penting dalam periode 1960-an.

Pada periode ini, terjadi pula peningkatan harga-harga pangan dan hal ini
mengakibatkan turunnya tingkat konsumsi pangan dan nutrisi baik dalam
kuantitas (jumlah kalori per orang per hari) maupun kualitas. Jadi walaupun
terjadi kenaikan produksi pangan, tetapi karena tingkat pertambahan penduduk
lebih tinggi maka tingkat konsumsi di Indonesia (ditinjau dari segi nutrisi)
tidaklah pernah memadai.

Disamping fluktuasi masalah persediaan pangan kemajuan dalam bidang


kesehatan tidak menentu. Dalam buku rencana pembangunan lima tahun pertama
ditegaskan. Usaha-usaha dalam bidang kesehatannya yang dilakukan menurut
konsep kesehatan masyarakat yang dimulai sesudah tahun 1950 mencapai
kemajuan setapak demi setapak, tetapi kemudian hasil-hasil yang dicapai itu mulai
menurun lebih-lebih semakin lajunya inflasi.

Merosotnya kesehatan masyarakat terjadi baik di daerah perkotaan maupun


di daerah perdesaan. Rumah-rumah sakit dan fasilitas-fasilitas kesehatan
masyarakat lainnya kekurangan obat dan peralatan. Klinik-klinik kesehatan di
daerah perdesaan kekurangan dokter maupun obat-obatan. Sebagai akibat
merosotnya pelayanan kesehatan, penyakit-penyakit epidemi dan epidemi yang
dianggap telah musnah, mulai muncul kembali. Dengan demikian nampaknya
banyak dari hasil yang telah tercapai dalam pemberantasan penyakit menular telah
hilang lagi selama tahun-tahun 1960-an.

Dengan di mulainya rencana pembangunan lima tahun pertama dan


berkurang nya inflasi sesudah tahun 1968, terjadi lah perbaikan-perbaikan dalam
bidang kesehatan masyarakat. PUSKESMAS mulai didirikan di kota-kota
kecamatan, tenaga-tenaga dokter, perawat dan bidan mulai di mobilisir di pusat-
pusat kesehatan tersebut, maka mulai tampak penurunan tingkat kematian di
Indonesia.

Kalau di bandingkan sebab-sebab kematian antara tahun 1972 dan 1980,


pada tahun 1980 terlihat adanya peningkatan kematian yang diakibatkan oleh
penyakit kardiovaskuler dari 5,1 persen menjadi 11,7 persen. Radang akut saluran
pernafasan bagian bawah dari 12,0 persen menjadi 23,5 persen, dan penyakit diare
dari 17,0 persen menjadi 22,2 persen. Hal ini yang menarik adalah penurunan
kematian akibat penyakit atau sebab lain-lain dari 41,3 persen menjadi 8,1 persen
(Tabel 7.5).

Dalam sensus penduduk 1980,an ,juga ditanyakan mengenai kesehatan


penduduk selama seminggu sebelum pencacahan pada 31 Oktober 1980 dan usaha
pengobatan dari mereka yang merasa pernah sakit. Dari jawaban- jawaban yang
diterima di dapat lah bahwa di daerah kota, perdesaan dan kota-perdesaan
persentase penduduk yang tidak pernah merasa sakit tidak jauh berbeda yaitu
berkisar antara 94 sampai dengan 95 persen. Dari penduduk daerah kota yang
pernah merasa sakit kebanyakan pergi ke dokter untuk pengobatannya di samping
diobati sendiri. Di daerah perdesaan penduduk yang pernah merasa sakit lebih
banyak dioabati sendiri dan pergi ke PUSKESMAS, atau mantri kesehatan. Secara
keseluruhan (daerah perkotaan dan perdesaan) selain diobati sendiri,
PUSKESMAS, dan mantri kesehatan lebih banyak dikunjungi dalam
pengobatannya (Tabel7.6).
Tabel 7.5

Persentase kematian penduduk menurut diagnose penyebab

Kematian 1972 dan 1980

Diagnose penyebab kematian 1972 1980


1. Radang angkut saluran pernafasan 12,0 23,5
bagian bawah
2. Penyakit diare 17,0 22,2
3. Penyakit kardiovaskuler 5,1 11,7
4. TBC 6,0 9,9
5. Tetanus 4,6 7,7
6. Penyakit susunan sarat 5,1 5,9
7. Cendera dan kecelakaan 2,1 4,1
8. Tipus perut 2,1 3,9
9. Komplikasi kehamilan dan 2,2 3,0
persalinan
10. Neonatal condiction 2,4 -
11. Lain-lain 41,3 8,1
Jumlah 100,0 100,0
Sumber: survai kesehatan rumah tangga tahun 1972 dan 1980. Departemen
kesehatan
Tabel 7.6

Persentase kematian penduduk menurut pernah atau tidak

Pernah sakit 1) dan daerah kota/pedesaan

Pernah atau tidak pernah sakit Kota Perdesaan Kota + pedesaan


1. Tidak pernah sakit 94,6 93,8 94,0
2. Pernah sakit
a. Diobati:
- Dokter praktek
- Rumah sakit 1.3 0.4 0.6
- PUSKESMAS 1.0 0.7 0.7
- Poliklinik
- Mantri kesehatan 0.8 1.1 1.0
- Tabib, sinse atau dukun 0.2 0.2 0.2
- Sendiri
- Tidak terjawab 0.4 1.1 1.0
b. Tidak diobati
0.2 0.6 0.5
1.2 1.4 1.4

0.1 0.4 0.3


0.2 0.3 0.3

Jumlah 100.0 100.0 100.0


1) Selam seminggu sebelum pencacahan

Sumber : penduduk Indonesia hasil pengolahan sub sampel I sensus penduduk 1980, BPS
7.6 MEKANISME PENURUN KEMATIAN BAYI DAN ANAK

Kematian bayi dan anak secara umum merupakan konsekuensi akhir dari
perjalanan kumulatif dengan berbagi pengalaman morbiditas dan jarang karena
sarangan penyakit tunggal. Ini berarti bahwa reduksi kematian melalui program-
program kesehatan tidak cukup hanya dengan membrantas penyakit-penyakit
penyebab kematian ttetapi harus memasukan pula tindakan-tindakan yang
mengarah kepada permasalahan yang lebih mendasar yang menyangkut proses
morbiditas dan mortalitas secara keseluruhan.
Faktor sosio-ekonomi merupakan faktor penentu mortalitas bayi dan anak.
Namun faktor sosio-ekonomi bersifat tidak langsung, yaitu harus melalui
mekanisme biologi tertentu (variabel antara) yang kemudian baru akan
menimbulkan resiko morbiditas, dan selanjutnya bayi dan anak sakit dan apabila
tidak sembuh akhirnya cacat atau meninggal. Dalam mekanisme ini, penyakit dan
kurang gizi bukan merupakan variabel independen, tetapi lebih merupakan
indikator yang merefleksikan mekanisme kerja variabel antara. Dengan demikian,
dalam merencanakan dan melaksanakan program-program kesehatan untuk
menurunkan morbiditas dan mortalitas perlu dibekali dengan peningkatan
pengetahuan yang lebih luas dan lebih mendalam mengenai mekanisme di atas,
dan tidak hanya di batasi oleh penyakit penyebab kematian, walaupun itu juga
penting.
Penanganan terhadap masalah kematian bayi dan anak menurut adanya
kerangka kosepsual tentang faktor-faktor yang mempunyai morbiditas dan
mortalitas bayi dan anak (lihat gambar 11). Komponen dari kerangka ini terdiri
atas morbiditas dan mortalitas sebagai masalah pokok, dan faktor sosial-ekonomi
serta variabel antara sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi .termasuk dalam
faktor faktor sosial ekonomi ialah faktor-faktor yang ada dalam individu,
keluarga, sedang suasana politik, ekonomi dan keamanan merupakan faktor-faktor
yang mempengaruhi morbiditas dan mortalitas dalam masyarakat.
Faktor-faktor maternal, lingkungan, gizi, cedera dan pelayanan kesehatan
merupakan beberapa dari variabel antara morbiditas dalam masyarakat ditentukan
atas dasar prevalensi dan insidensi penyakit-penyakit yang merupakan penyebab
kematian utama (Budi Utomo, 1985).

DEPARTEMEN SOSIAL EKONOMI

Faktor ibu Pencemaran Kekurangan Luka


lingkungan gizi

Kesehatan Sakit

pencegahan

pengobatan
Pengendalian Gangguan Mati
penyakit perorangan pertumbuhan

gambar 11.
Pengaruh sosio-ekonomi terhadap mortalitas bayi dan anak lewat variabel antara
Sumber: mosley, W.H. dan L.C Chen n(1984).
7.7 ANGKA HARAPAN HIDUP PADA SUATU UMUR

Angka harapan hidup pada suatu umur didefinisikan sebagai rata-rata


jumlah tahun kehidupan yang masih dijalani oleh seseorang yang telah berhasil
mencapai umur tepat X dalam situasi mortalitas yang berlaku di lingkungan
masyarakatnya. Angka harapan hidup umur lima tahun berarti rata-rata tahun
kehidupan pada masa yang akan datang dijalani oleh mereka yang telah mencapai
usia lima tahun.

Angka harapan hidup pad suatu usia merupakan indikator yang baik untuk
menunjukkan tingkat sosial-ekonomi secara umum. Indikator yang sering dipakai
adalah angka harapan hidup waktu lahir (expection of live at birth). Angka
tersebut berkisar pada kurang lebih 470 tahun pada negara berkembang, dan 70
tahun pada negara maju. Diperkirakan angka harapan hidup waktu lahir di
Indonesia pada tahun 200 sebesar 64 tahun dengan asumsi tingkat kematian mulai
tahun 1980 sampai 2000 juga turun sesuai dengan kecenderungan di masa lampau
( 1967-179 ). Di samping itu level of mortality diasumsikan naik sebesar 1,2 setiap
5 t6ahun, sehingga angka harapan hidup waktu lahir naik dari 55,30 tahun dalam
periode 1981 (Tabel 7.7) Kasto 1993). Angka rata-rata di dunia di perkirakan
sebesar 61 tahun (Budi Utomo, 1993).

Tingkat kematian bayi untuk kelompok perempuan lebih rendah dari


kelompok laki-laki, sehingga angka harapan hidup
Tabel 7.7

Estimasi angka harapan hidup waktu lahir di Indonesia menurut propinsi

Rata-rata
kenaikan
propinsi 1971 1980 1990 2000
1971- 1980-
1980 2000
Daerah Istimewa Aceh 46 55 63 66 1.96 1.37
Sumatera utara 50 56 63 65 1.25 1.84
Sumatera barat 45 50 60 65 1.25 1.84
Riau 47 52 61 66 1.11 1.61
Jambi 44 51 60 65 1.62 1.64
Sumatera selatan 45 50 60 63 1.15 1.84
Bengkulu 43 53 61 65 2.30 1.42
Lampung 46 54 60 64 1.76 1.06
DKI Jakarta 49 58 68 70 1.85 1.60
Jawa Barat 4 48 56 62 1.21 1.55
Jawa Tengah 47 55 61 65 1.73 1.04
D.I. Yogyakarta 55 63 67 68 1.49 0.06
Jawa Timur 50 55 62 65 1.05 1.21
Bali 49 56 65 68 1.47 1.50
Nusa Tenggara Barat 35 39 46 55 1.19 1.66
Nusa Tenggara Timur 45 49 59 65 0.94 1.87
Timor Timur - - 58 63 - -
Kalimantan Barat 46 51 58 63 1.13 1.29
Kalimantan Tengah 49 54 63 67 1.07 1.55
Kalimantan Selatan 43 50 56 60 1.66 1.14
Kalimantan Timur 53 54 63 67 0.21 1.55
Sulawesi Utara 51 55 62 65 0.83 1.21
Sulawesi Tengah 46 49 56 61 0.69 1.34
Sulawesi Selatan 44 52 60 65 1.84 1.44
Sulawesi Tenggara 42 52 59 63 2.35 1.27
Maluku 46 50 59 64 0.92 1.67
Irian Jaya 51 53 58 61 0.42 1.20
INDONESIA 46 53 60 64 1.56 1.25
Tabel 7.8

Angka harapan hidup waktu lahir menurut jenis kelamin

Dan propinsi tahun 1971, 1980, 1990

Laki-laki perempuan
propinsi
1971 1980 1990 1971 1980 1990
Daerah Istimewa Aceh 44.6 53.5 60.8 47.6 56.8 64.5
Sumatera utara 48.4 54.4 60.3 51.3 57.8 63.9
Sumatera barat 43.1 48.4 57.5 46.0 51.4 60.9
Riau 44.0 50.5 59.4 47.0 55.1 63.0
Jambi 42.7 48.5 57.6 45.7 51.4 61.0
Sumatera selatan 42.6 51.9 58.1 45.5 55.1 61.6
Bengkulu 40.9 50.2 58.5 43.7 53.2 62.0
Lampung 44.1 52.4 58.5 47.1 55.6 62.0
DKI Jakarta 47.1 55.8 64.3 50.0 59.2 68.2
Jawa Barat 40.8 46.2 54.2 43.6 49.1 57.4
Jawa Tengah 44.4 52.5 59.4 47.4 55.7 62.9
D.I. Yogyakarta 51.8 59.9 64.7 55.0 63.6 68.5
Jawa Timur 48.8 52.7 59.7 51.5 56.000 63.3
Bali 46.8 55.8 62.5 49.7 57.0 66.2
Nusa Tenggara Barat 33.7 37.7 44.6 36.3 40.4 47.3
Nusa Tenggara Timur 42.9 47.2 56.9 -45.8 50.1 60.3
Timor Timur - - 55.3 - - 58.6
Kalimantan Barat 44.4 48.8 56.8 47.3 51.8 59.3
Kalimantan Tengah 46.9 52.2 53.8 49.8 55.4 64.7
Kalimantan Selatan 41.1 48.1 58.3 44.0 51.0 57.3
Kalimantan Timur 51.5 52.2 56.6 54.7 55.4 64.5
Sulawesi Utara 49.7 53.5 59.8 52.7 56.8 63.4
Sulawesi Tengah 43.4 46.9 53.8 46.4 49.7 57.0
Sulawesi Selatan 41.7 50.3 58.3 44.6 53.3 61.7
Sulawesi Tenggara 40.8 49.3 56.8 43.6 52.3 60.2
Maluku 44.5 48.1 57.0 47.5 51.0 60.4
Irian Jaya 54.9 51.3 56.2 58.3 54.5 59.5
INDONESIA 44.2 50.6 58.1 47.2 53.7 61.5

Waktu lahir untuk bayi perempuan lebih tinggi dari bayi laki-laki (tabel 7.8).
rumus angka harapan hidup pada waktu lahir, dan setelah mencapai tepat umur X
tahun dapat dilihat pada pembicaraan tabel kematian (life table) pada bab 9 []
BAB X
KELAHIRAN (FERTILITAS)

10.1 BEBERAPA PROBLEMA PENGUKURAN FERTILITAS


PENDUDUK
Istilah fertilitas adalah sama dengan kelahiran hidup (live birth), yaitu terlepasnya
bayi dari rahim seorang perempuan dengan adanya tanda-tanda kehidupan;
misalnya berteriak, bernafas, jantung berdenyut, dan sebagainya. Apabila pada
waktu lahir tidak ada tanda-tanda kehidupan disebut dengan lahir mati (still birth)
yang di dalam demografi tidak dianggap sebagai suatu peristiwa kelahiran.
Disamping istilah fertilitas ada juga istilah fekunditas (fecundity) sebagai petunjuk
kepada kemampuan fisiologis dan biologis seorang perempuan untuk
menghasilkan anak lahir hidup.
Seorang perempuan yang secara biologis subur (fecund) tidak selalu
melahirkan anak, misalnya dia mengatur fertilitas dengan abstinensi atau
menggunakan alat-alat kontrasepsi. Kemampuan biologis seorang perempuan
untuk melahirkan sangat sulit untuk diukur. Ahli demografi hanya menggunakan
pengukuran terhadap kelahiran hidup (live birth).
Pengukuran fertilitas lebih kompleks dibandingkan dengan pengukuran
mortalitas, karena seorang perempuan hanya meninggal satu kali, tetapi ia dapat
melahirkan lebih dari seorang bayi. Disamping itu seseorang yang meninggal pada
hari dan waktu ter tentu, berarti mulai saat itu orang tersebut tidak mempunyai
resiko kematian lagi. Sebaliknya seorang perempuan yang telah melahirkan
seorang anak tidak berarti resiko melahirkan dari perempuan tersebut menurun.
Kompleksnya pengukuran fertilitas, karena kelahiran melibatkan dua orang
(suami dan istri), sedangkan kematian hanya melibatkan satu orang saja (orang
yang meninggal). Masalah yang lain yang dijumpai dalam pengukuran fertilitas
ialah tidak semua perempuan mengalami resiko melahirkan karena ada
kemungkinan beberapa hari mereka tidak mendapat pasangan untuk berumah
tangga. Juga ada beberapa perempuan yang bercerai, menjanda. Memperhatikan
masalah-masalah diatas, terdapat variasi pengukuran fertilitas yang dapat
diterapkan, dan masing-masing mempunyai keuntungan dan kelemahan.
Memperhatikan perbedaan antara keadaan kematian dan kelahiran seperti
tersebut diatas, memungkinkan untuk melaksanakan dua macam pengukuran
fertilitas yaitu pengukuran fertilitas tahunan, dan pengukuran fertilitas kumulatif.
Pengukuran fertilitas kumulatif ialah mengukur jumlah rata-rata anak yang
dilahirkan oleh seseorang perempuan hingga mencapai umur tertentu. Sedangkan
pengukuran fertilitas tahunan (vital rat es) ialah mengukur jumlah kelahiran pada
than tertentu dihubungkan dengan jumlah penduduk yang mempunyai resiko
untuk melahirkan pada tahun tersebut.

10.2 PENGUKURAN FERTILITAS TAHUNAN


Baik pengukuran fertilitas maupun mortalitas tahunan hasilnya berlaku
untuk periode waktu tertentu, sebagai contoh; perhitungan tingkat kelahiran kasar
(CBR) di Indonesia tahun 1975 sebesar 42,9 kelahiran per 1000 penduduk
pertengahan tahun. Angka ini terjadi pada periode tahun 1970-1980. Jadi selama
periode ini tiap tahun ada kelahiran sebesar 42,9 per 1000 penduduk.
Pengukuran fertilitas tahunan hampir sama dengan pengukuran mortalitas.
Ukuran-ukuran fertilitas tahunan yang akan dibicarakan di bawah ini meliputi :
a. Tingkat Fertilitas Kasar (Crude Birth Rate)
b. Tingkat Fertilitas Umum (General Fertility Rate)
c. Tingkat Fertilitas Menurut Umur (Age Specific Fertility Rate)
d. Tingkat fertilitas menurut ukuran kelahiran (Birth Order Specific Fertility
Rates)
10.2.1 Tingkat Fertilitas Kasar (Crude Birth Rate )
Tingkat fertilitas kasar didefinisikan sebagai banyaknya kelahiran hidup
pada suatu tahun tertentu tiap 1000 penduduk pada pertengahan tahun. Atau
dengan rumus dapat ditulis sebagai berikut :
B
CBR = 𝑥𝑘
Pm
Dimana :
CBR = Crude Birth Rate atau Tingkat Kelahiran Kasar
Pm = Penduduk Pengetahuan tahun
k = Bilangan konstan yang biasanya bernilai 1.000
B = Jumlah kelahiran pada tahun tertentu

Contoh :
Pada tahun 1975 jumlah penduduk Indonesia pada pertengahan tahun
sebesar 136.000.000 orang, sedangkan jumlah kelahiran pada tahun tersebut
sebesar 5.834.400 bayi Tingkat kelahiran Kasar untuk Indonesia pada tahun 1975
dapat dihitung seperti dibawah ini :
5.834.400
CBR = 𝑥1000
136.000.000
= 42,9

Ini berarti di Indonesia pada tahun 1975 tiap 1.000 penduduk terdapat 42,3
kelahiran bayi.
Tabel 10.1
Negara-negara Yang Berpenduduk Lebih Dari 500.000 Jiwa Dengan Tingkat
Fertilitas Kasar Tertinggi dan Terendah Tahun 1982
Negara dan wilayah Tingkat Fertilitas Kasar
Afrika
Tertinggi : Kenya 53
Terendah : Mauritius 27
Amerika Latin
Tertinggi Honduras 47
Nkaragua 47
Terendah Kuba 14
Amerika Utara
Tertinggi : Kanada 16
Terendah : Amerika Serikat 16
Asia
Tertinggi : Oman 49
Yaman Utara 49
Terendah : Jepang 14
Singapura 17
Hongkong 17
Eropa
Tertinggi : Albania 29
Irlandia 22
Polandia 20
Terendah Jerman Barat 10
Denmark 11
Italia 11
Oseania
Tertinggi : Papua Nu Gini 44
Terendah : Australia 15
Selandia Baru 17
Uni Soveit
Tertinggi Uni Soviet 18
dan
Terendah
Sumber : 1982 World Population data Sheet, Prop. Ref : Burean

Pada tahun 1980-an, tingkat Fertilitas Kasar di dunia berkisar antara 10


hingga 53 kelahiran tiap tahun tiap 1.000 penduduk. Tingkat fertilitas tertinggi
dijumpai di negara-negara Afrika, Amerika Latin, dan Asia, dan yang terendah
terdapat di negara Eropa (Tabel 10.1). pada periode tahun 1960-an 83 persen dari
negara-negara sudah maju mempunyai Tingkat Fertilitas Kasar sebesar 25, dan
sekitar 90 persen negara-negara yang sedang berkembang Tingkat Fertilitas Kasar
lebih besar dari 35 (Palmore, 1975).
Untuk Indonesia pada tahun 1982, Tingkat Fertilitas Kasar besarnya 34
kelahiran per 1.000 penduduk. Pada periode tahun 1930-1970 taksiran mengenai
besarnya Tingkat Fertilitas Kasar di Indonesia masih di atas 40 kelahiran per
1.000 penduduk. Alden Speare dengan menggunakan teori “kuasai penduduk
stabil” membuat taksiran besarnya tingkat Fertilitas k asar di Indonesia dari tahun
1931 hingga tahun 1971 mendapatkan kesimpulan bahwa selama 40 tahun
Tingkat Fertilitas kasar di Indonesia besarnya di atas 40 (Tabel 10.2).

Tabel 10.2
Taksiran Tingkat Fertilitas Kasar di Indonesia Tahun 1930 – 1971
Periode Tingkat Fertilitas Kasar
-1930 47,4
1931 – 1936 47,2
1936 – 1941 47,1
1941 – 1946 42,8
1946 – 1951 43,8
1951 – 1956 48,9
1956 – 1961 47,7
1961 – 1966 45,5
166 – 1971 43,8
Sumber : Alden Speare (1976)

Dari Tabel 10.2 diatas dapatlah disimpulkan bahwa Tingkat Fertilitas Kasar
di Indonesia sebelum PD II besarnya sekitar 47, kemudian pada masa PD II dan
Perang Kemerdekaan Tingkat Fertilitas menurun menjadi sekitar 43. Pada saat itu
suasana perang terasa sekali sehingga orang takut untuk menambah kelahiran.
Baru setelah tahun 1950-an suasana menjadi aman kembali, terjadilah ledakan
penduduk (baby boom). Periode 1951 – 1956 ditandai dengan angka Tingkat
Fertilitas Kasar tertinggi, yaitu sebesar 48,9 kelahiran per 1.000 penduduk.
Setelah tahun 1961 Tingkat Fertilitas kasar mulai menurun.
Dampak kebijaksanaan demografi yang “pronatalis” pada jaman Orde Lama
adalah tingginya angka kelahiran. Di lain pihak angka kematian sudah mulai
menurun sehingga lajupertambahan penduduk alami terus meningkat (Tabel 10.3).
Sehubungan dengan hal tersebut Pemerintah Orde Baru memprioritaskan
kebijaksanaan demografi dengan usaha penurunan kelahiran dengan
mengimplementasikan Program Keluarga Berencana (KB).11 Pelaksanaan
program Keluarga Berencana mula-mula dilaksanakan di Pulau Jawa dan Bali
dengan alasan bahwa kedua pulau ini menghadapi malah demografi yang serius
yang perlu mendapatkan penyelesaian dengan segera. Setelah PELITA I program
Keluarga Berencana diperluas pelaksanaannya ke luar Pulau Jawa dan Bali.
Perlu dicatat bahwa tujuan program KB tidak hanya menurunkan jumlah
anak yang dilahirkan, tetapi merupakan upaya utama untuk ikut mewujudkan
keluarga sejahtera. Menurut Undang-Undang nomor 10 tahun 1992, keluarga
berencana telah mendapatkan definisi yang baru dan semakin luas yaitu upaya
peningkatan kepedulian dan peran serta masyarakat melalui pendewasaan usia
perkawinan, pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga, dan
peningkatan kesejahteraan keluarga untuk mewujudkan keluarga kecil bahagia
dan sejahtera (Siswanto, 1996).
Akibat dari pelaksanaan program ini terjadi penurunan angka kelahiran
kasar dan 39,9 kelahiran per 1.000 penduduk pada tahun 1970 menurun menjadi
35,9 pada tahun 1976. Jadi selama enam tahun terjadi penurunan fertilitas sebesar
10 persen. Pada tahun 2005 diperkirakan angka kelahiran kasar sebesar 19,5
kelahiran per 1.000 penduduk (Ananta, 1989).

11
Setelah tahun 1967 pemerintah menyadri perlunya dilaksanakan program Keluarga Berencana
dalam usaha mengurangi laju pertumbuhan penduduknya. Lembaga Keluarga berencana Nasional
(semi pemerintah) didirikan untuk mengkoordinir perkumpulan-perkumpulan Keluarga Berencana
yang telah ada. Pada tahun 1970, lembaga ini dirubah menjadi Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN) yang merupakan lembaga pemerintah dengan tugas : a. membantu
Presiden merumuskan kebijaksanaan pemerintah mengenai Keluarga Berencana dan b.
mengkoordinir semua kegiatan keluarga berencana yang kemudian dijabarkan dalam tugas-tugas
pokok (Mantra, 1985).
Tabel 10.3
Laju Pertumbuhan Penduduk Indonesia Per Pulau Tahun 1930-1990 (%)
Pulau 1960-1961 1961-1971 1971-1980 1980-1990
Jawa dan Madura 1,3 1,9 2,0 1,3
Sumatera 2,1 2,9 3,3 2,6
Kalimantan 2,1 2,4 2,8 3,0
Sulawesi 1,7 1,8 2,2 1,4
Pulau-pulau lain 1,8 2,0 2,8 2,0
INDONESIA 1,5 2,1 2,3 1,9
Sumber : Biro Pusat Statistik, 1982 dan 1991

10.2.2 Tingkat Fertilitas Umum (General Fertility Rate = GFR)


Tingkat Fertilitas Kasar yang telah dibicarakan sebagai ukuran fertilitas
masih terlalu kasar karena membandingkan jumlah kelahiran dengan jumlah
penduduk pertengahan tahun. Kita mengetahui bahwa penduduk yang mempunyai
resiko hamil adalah perempuan dalam usia reproduksi (umur 15 – 49 tahun).
Dengan alasan tersebut ukuran fertilitas ini perlu diadakan perubahan yaitu
membandingkan jumlah kelahiran dengan jumlah penduduk perempuan usia 15-
49 tahun. Jadi sebagai penyebut tidak menggunakan jumlah penduduk
pertengahan tahun tetapi jumlah penduduk perempuan pertengahan tahun umur
15-49 tahun. Tingkat fertilitas penduduk yang dihasilkan dari perhitungan ini
disebut Tingkat Fertilitas Umum (General Fertility Rate atau GFR) yang ditulis
dengan rumus :
B
GFR = xk
Pf (15 − 49)

Dimana :
GFR = Tingkat Fertilitas Umum
B = Jumlah Kelahiran
Pf (15-49) = Jumlah penduduk perempuan umur 15-49 tahun pada pertengahan
tahun
Contoh :
Pada tahun 1964 jumlah penduduk perempuan umur 15-49 tahun di
Indonesia besarnya 30.351.000n jiwa, sedangkan jumlah kelahiran pada tahun
tersebut sebesar 2.982.000 bayi. Tingkat Fertilitas Umum (GFR) untuk Indonesia
tahun 1964 dapat dihitung seperti berikut :
2.982.000
GFR = 30.351.000 𝑥 1.000

= 98,25 kelahiran per 1000 perempuan usia 15


– 49 tahun
Lee-Jay Cho (1964) pada tahun 1960 mengadakan estimasi mengenai
besarnya Tingkat Fertilitas Umum pada beberapa negara di dunia mendapatkan
bahwa negara dengan Tingkat Fertilitras Umum tertinggi di Sudan (234,8), dan
Brunei (234,4), sedangkan yang terendah terdapat di Swedia (61,1), dan Jepang
(62,2). Sama seperti hasil pengukuran Tingkat Fertilitas Kasar, maka Tingkat
Fertilitas Umum tertinggi terdapat di negara-negara yang sedang berkembang dan
terendah terdapat di negara-negara maju misalnya Eropa.
10.2.3 Tingkat Fertilitas Menurut Umur (Age Specific Fertility Rate =
ASFR)
Terdapat variasi mengenai besar kecilnya kelahiran antar kelompok-
kelompok penduduk tertentu, karena tingkat fertilitas penduduk ini dapat pula
dibedakan menurut : jenis kelamin, umur, status perkawinan, atau kelompok-
kelompok penduduk yang lain.
Diantara kelompok perempuan usia reproduksi (15-49) terdapat variasi
kemampuan melahirkan, karena itu perlu dihitung tingkat fertilitas perempuan
pada tiap-tiap kelompok umur (age specific fertility rate). Perhitungan tersebut
dapat dikerjakan dengan rumus sebagai berikut :
Tingkat kelahiran
Jumlah Kelahiran bayi pada kelompok umur i
Untuk kelompok = pada pertengahan tahun

Umur i

Atau
Bi
ASFRi = xk
Pfi
Dimana :
Bi = jumlah kelahiran bayi pada kelompok umur i
Pfi = jumlah perempuan kelompok umur i pada pertengahan tahun
k = angka konstanta = 1.000

Contoh :
Perhitungan tingkat fertilitas menurut umur untuk Jawa Tengah pada
periode tahun 1971-1976 (Tabel 10.4).

Tabel 10.4
Perhitungan Tingkat Fertilitas Menurut Umar untuk Jawa Tengah pada Periode
Tahun 1971 – 1976
Tingkat fertilitas
Kelompok umur Jumlah menurut umur
Jumlah kelahiran
(th) perempuan (ASFR) per 1.000
perempuan
1 2 3 4=3/2 x 1.000
15 – 19 1.170.505 151.697 129,6
20 – 24 859.154 208.001 242,1
25 – 29 777.519 186.138 239,4
30 – 34 842.807 169.910 201,6
35 – 39 810.804 103.621 127,8
40 – 44 683.817 44.927 65,7
45 – 49 504.942 4.999 9,9
Sumber : Muryati (1980)

Dari contoh perhitungan diatas terlihat bahwa Tingkat fertilitas perempuan


tinggi pada kelompok umur 20-34 tahun, dan terendah pada kelompok umur 45 –
49 tahun. Hal ini akan jelas terlihat apabila digambarkan dalam sebuah grafik
(Gambar 22).

Gambar 22
Tingkat Fertilitas Menurut Umur untuk Jawa Tengah Periode Tahun 1971-1976,
dan Amerika Serikat Tahun 1963

Sumber : 1 Tabel 104


2 Palmore 1975

Dari Gambar 22 terlihat bahwa Tingkat Fertilitas untuk Jawa Tengah lebih
tinggi dari Amerika Serikat untuk seluruh kelompok umur. Yang menarik
perhatian ialah tingkat fertilitas kelompok umur di bawah 20 tahun dimana untuk
Amerika Serikat sangat rendah dan jawa tengah sangat tinggi (sekitar 130). Hal ini
di pengaruhi oleh umur perkawinan pertama yang tinggi untuk Amerika Serikat,
dan rendah untuk jawa tengah.
Di Indonesia penurunan kelahiran akibat dari pelaksanaan program
Keluarga Berencana (KB) tidak hanya dapat dilihat pula dari penurunan tingkat
kelahiran kasar (CBR) dapat pula dilihat dari penurunan Tingkat Kelahiran
menurut kelompok umur (ASFR) seperti terlihat pada Tabel 10.5. Dari tabel ini
terlihat bahwa perempuan dari seluruh umur mengalami penurunan angka
kelahiran, tetapi kelompok umur 15-19 mengalami penurunan angka kelahiran,
tetapi kelompok umur 15-19 mengalami penurunan tertinggi yaitu 54,2 persen
selama 29 tahun. Tingkat fertilitas menurut kelompok umur berdasarkan propinsi
pada tahun 1980 dan 1990 dapat dilihat pada tabel 10.12.

Tabel 10.5
Tingkat Fertilitas Menurut Kelompok Umur (ASFR)
Indonesia Tahun 1971, 1980,1990
Kelompok Umur 1971 1980 1990
15 – 19 155 166 71
20 – 24 286 218 178
25 – 29 273 232 172
30 – 34 211 177 128
35 – 39 124 104 73
40 – 44 55 46 31
45 – 49 17 13 9
Sumber : BPS, 1994

10.2.4 Tingkat Fertilitas menurut urutan kelahiran (Birth Order Specific


Fertility Rates)
Tingkat fertilitas menurut urutan kelahiran sangat penting untuk mengukur
tinggi rendahnya fertilitas suatu negara. Kemungkinan seorang istri untuk
menambah kelahiran tergantung kepada jumlah anak yang telah dilahirkannya.
Seorang istri mungkin menggunakan alat kontrasepsi setelah mempunyai jumlah
anak tertentu, dan juga anak yang masih hidup. Tingkat fertilitas menurut urutan
kelahiran dapat ditulis dengan rumus :
Tingkat fertilitas
Jumlah kelahiran urutan ke i
Menurut Urutan = Jumlah wanita umur 15−49 x 1000
pertengahan tahun

Kelahiran
Atau
Boi
𝐵𝑂𝑆𝐹𝑅 = xk
Pf (15 − 49)
Dimana :
BOSFR = Birth Order Specific Fertility Rate
Boi = Jumlah kelahiran urutan ke i
Pf (15-49) = Jumlah perempuan umur 15 – 49 pertengahan tahun
k = bilangan konstan = 1.000

Penjumlahan dari Tingkat Fertilitas menurut ukuran kelahiran menghasilkan


Tingkat Fertilitas Umum (General Fertility Rate).
Boi
GFR = Σ Pf (15−49) x k

Sebagai contoh, dikutipkan sebuah tabel Tingkat Fertilitas menurut urutan


kelahiran dari negara Amerika Serikat tahun 1942, 1960, dan 1967 (Tabel 10.6).
Tingkat Fertilitas menurut umur dan menurut urutan kelahiran, adalah dua
buah contoh dari Tingkat Fertilitas Khusus. Ada beberapa macam variasi lagi,
misalnya berdasarkan status perkawinan, pendidikan yang ditamatkan,
pendapatan, dan pekerjaan. Metode penghitungan tingkat fertilitas khusus ini
sama dengan dua contoh diatas.
Tabel 10.6
Tingkat Fertilitas Menurut Kelahiran di Amerika Serikat 1962,1962,1967
Tingkat Kelahiran Per 1.000 wanita umur 15 – 14
Urutan Kelahiran
1942 1960 1967
Pertama 37,5 31,1 30,8
Kedua 22,9 29,2 22,6
Ketiga 11,9 22,8 13,9
Keempat 6,6 14,6 8,3
Kelima 4,1 8,3 4,8
Keenam dan ketujuh 4,6 7,6 4,5
Kedelapan dan urutan 3,9 4,3 2,7
yang lebih tinggi
GFR 91,5 118,0 87,6
Sumber : Palmore (1975)
10.2.5 Standarisasi tingkat fertilitas (Standardized Fertility Rates)
Tinggi rendahnya tingkat fertilitas di suatu negara dipengaruhi oleh
beberapa variabel misalnya, umur,status perkawinan, atau karakteristik yang lain.
Seperti halnya dengan mortalitas, kalau kita ingin membandingkan tingkat
fertilitas di beberapa negara, maka pengaruh variabel-variabel tersebut perlu
dinetralisir dengan menggunakan teknik standardisasi sehingga hanya satu
variabel yang berpengaruh. Teknik standardisasi digunakan sama dengan teknik
standardisasi yang digunakan untuk pengukuran mortalitas. Kalau diketahui
tingkat fertilitas menurut umur di negara A dan B, dan ingin dibandingkan tingkat
kelahiran umum di kedua negara tersebut, maka tingkat fertilitas menurut umur
dikalikan dengan jumlah penduduk standar dari masing-masing kelompok umur.
Sebagai contoh di bawah ini dibuat perhitungan Tingkat Fertilitas Umum
untuk negara India, Swedia, dan Philipina dengan menggunakan penduduk
perempuan di Swedia tahun 1960 sebagai standar seperti terlihat dalam Tabel
10.7.

Tabel 10.7
Tingkat fertilitas Umum Negara India, Swedia, Philipina, dengan Penduduk
Perempuan Swedia Standar

Penduduk
Kelompok Tingkat fertilitas menurut Angka standardisasi yang
Perempuan
Umur umur distandardisasi
Swedia
15 – 19 164.788 151,6 32,47 69,13 24.982 5.515 11.392
20 – 24 130.496 275,7 127,20 346,59 35.978 16.599 45.229
25 – 29 122.088 255,5 138,01 377,91 31.193 16.849 46,138
30 – 34 132.429 197,0 83,45 315,09 26.089 11.051 41.727
35 – 39 149.895 149.895 133,8 11,94 20.056 20.056 38.093
40 – 44 150.342 150.342 51,9 103,62 7.803 1.795 15.578
45 – 49 149.962 19,2 0,85 27,55 2.879 0.127 4.131
Jumlah 1.000.000 148.980 57.885 202.288
B 148,98 57,89 202,29
GFR = x 1000
Pf (15−49)
Sumber : Palmore (1971 : 34)
10.3 PENGUKURAN FERTILITAS KUMULATIF
Dalam pengukuran fertilitas kumulatif, kita mengukur rata-rata jumlah anak
laki-laki da perempuan yang dilahirkan oleh perempuan pada waktu perempuan
itu memasuki usia subur hingga melampaui batas reproduksinya (15-49 tahun).
Ada tiga macam ukuran fertilitas kumulatif yang akan dibicarakan dalam bab ini
yaitu: Tingkat Fertilitas Total (Total Fertility Rates = TFR). Gros Reproduction
Rates (GPR) dan Net Reproduction Rates (NRR).
10.3.1 Tingkat Fertilitas Total (Total Fertility Rates = TFR)
Tingkat Fertilitas Total didefinisikan sebagai jumlah kelahiran hidup laki-
laki dan perempuan tiap 1.000 perempuan yang hidup hingga akhir masa
reproduksinya dengan catatan :
1. Tidak ada seorang perempuan yang meninggal sebelum mengakhiri masa
reproduksinya;
2. Tingkat fertilitas menurut umur tidak berubah pada periode waktu tertentu.

Tingkat Fertilitas Total menggambarkan riwayat fertilitas dari sejumlah


perempuan hipotesis selama masa reproduksinya. Hal ini sesuai dengan riwayat
kematian dari tabel kematian penampang lintang (Cross sectional life table).
Dalam praktek Tingkat Fertilitas Total dikerjakan dengan menjumlahkan
Tingkat Fertilitas perempuan menurut umur, apabila umur tersebut berjenjang
lima tahunan, dengan asumsi bahwa tingkat fertilitas menurut umur tunggal sama
dengan rata-rata tingkat fertilitas kelompok umur lima tahunan, maka rumus dari
tingkat Fertilitas Total atau TFR adalah sebagai berikut :
TFR = 5ΣASFRASFRi
i
Dimana :
TFR = Total Fertility Rate
∑ = Penjumlah dan tingkat fertilitas menurut umur
ASFRi = tingkat fertilitas menurut umur ke i dari kelompok berjenjang 5
tahunan
Apabila kita melihat kembali Tabel 10.4 didapat jumlah tingkat fertilitas
menurut umur sebesar 1.016,1 maka besarnya Tingkat Fertilitas Total adalah :
TFR = 5 ∑ ASFRi
= 5 x 1.016,1
= 5.080,5

Ini berarti tiap 1.000 perempuan setelah melewati masa suburnya akan melahirkan
5.080,5 bayi laki-laki dan perempuan atau setiap perempuan Jawa Tengah pada
periode 1971-1976 melahirkan 5,08 bayi laki-laki dan perempuan. Diantara pulau-
pulau di Indonesia pada periode tahun 1961 – 1970, J awa mempunyai tingkat
fertilitas total terendah (5,2) dan Sumatra tertinggal (6,5), sedangkan untuk
Kalimantan besarnya 5,7; Sulawesi 5,8; dan pulau-pulau lain besarnya 6,1 (Cho
et. al, 1976).

Tabel 10.8
Perkiraan Tingkat Fertilitas Total Beberapa Wilayah di Indonesia Periode 1967 –
1970 dan 1971 – 1975
Wilayah Tingkat Fertilitas Total
1967 – 1970 1971 – 1975
Jakarta 4,9 4,8
Jawa Barat 5,8 5,6
Jawa Tengah 5,4 4,9
Yogyakarta 4,7 5,3
Jawa Timur 4,7 4,3
Jawa dan Bali 5,2 4,9
Bali 5,7 5,2
Sumatera 6,6 6,1
Kalimantan 6,1 5,6
Sulawesi 6,2 5,9
Indonesia 5,6 5,2
Sumber : Sam Suharto dan Lee Jay Cho (1978)
Di Indonesia setelah tahun 1970-an, terjadi penurunan tingkat fertilitas total
dari 5,6 pada periode tahun 1967 – 1970, menjadi 5,2 pada periode tahun 1971 –
1975. Penurunan tingkat fertilitas pada kedua periode diatas juga terjadi pada
beberapa wilayah di Indonesia (Tabel 10.8).
Berdasarkan data diatas, selama periode 1961 – 1970 dan 1971 – 1975,
Tingkat fertilitas total untuk Indonesia menurun 7 persen, dan untuk pulau Jawa
dan Bali menurun 6 persen. Penurunan Tingkat Fertilitas Total di Indonesia
antara lain dipengaruhi oleh keberhasilan program Keluarga Berencana di
Indonesia antara lain dipengaruhi oleh keberhasilan program Keluarga Berencana
di Indonesia.
Tabel 10.9 menunjukkan TFR yang bervariasi untuk setiap propinsi. Pada
tahun 1971 TFR terendah dicapai oleh Propinsi Jawa Timur (4,72) dan Daerah
Istimewa Yogyakarta (4,76). Selain kedua propinsi ini, masih dicapai angka di
atas lima dan yang paling tinggi di Irian Jaya dan Sumatera Utara, keduanya
mencapai 7,20. Telah banyak diketahui bahwa penurunan atau perubahan fertilitas
selain dipengaruhi oleh pemakaian alat kontrasepsi juga dipengaruhi oleh
pemakaian alat kontrasepsi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial, ekonomi,
dan budaya. Kiranya determinan yang berbeda antara propinsi satu dengan
propinsi lainnya inilah yang menyebabkan bervariasinya angka kelahiran total
(TFR). Irian Jaya dan Sumatera Utara pada tahun 1971 mengalami fertilitas
paling tinggi, pada tahun 1990 berubah cepat masing-masing menjadi 4,70 dan
4,29 per perempuan. Angka tertinggi pada tahun 1990 ini dialami oleh Timor
Timur, Sulawesi Tenggara, dan Nusa Tenggara Barat yakni 5,73; 4,91 dan 4,98,
sedangkan yang terendah dialami oleh Daerah Istimewa Yogyakarta (2,08).
Dengan demikian, pada tahun 1990 dapat dikatakan Daerah Istimewa Yogyakarta
adalah satu-satunya propinsi di Indonesia yang sudah berada di bawah
replacement index yang ditandai dengan TFR sama dengan 2,2, sedangkan Bali,
DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Sumatera Utara baru mendekati replacement index
tersebut (Ediastuti, 1996).
Perkiraan BPS pada periode 1995-2000 nanti, selain Daerah Istimewa
Yogyakarta, yang dapat mencapai TFR dibawah 2,2 adalah DKI Jakarta, Jawa
Timur, Bali, dan Sumatra Utara. Meskipun demikian, dilihat secara nasional
hingga tahun 2000 nanti Indonesia belum dapat mencapai TFR 2,2. Trend
fertilitas dapat dikatakan cenderung menurun dengan cepat, yakni sekitar 52
persen dalam kurun waktu 29 tahun. Untuk trend ini dapat dilihat pada Gambar
23.
Tabel 10.9
Angka fertilitas Total (TFR) Menurut Propinsi
Propinsi SP1971 SP1980 SP1990 BPS1995 BPS2000
Daerah Istimewa Aceh 6,265 5,235 4,367 3,539 3,009
Sumatera Utara 7,195 5,935 4,289 3,499 2,988
Sumatera Barat 6,180 5,755 3,890 3,286 2,869
Riau 5,940 5,435 4,088 3,394 2,930
Jambi 6,390 5,570 3,759 3,212 2,827
Sumatera Selatan 6,325 5,585 4,223 3,465 2,969
Bengkulu 6,175 6,195 4,054 3,329 2,894
Lampung 6,355 5,750 3,969 3,375 2,920

DKI Jakarta 5,175 3,990 2,326 2,023 1,827


Jawa barat 6,335 5,070 3,468 3,032 2,711
Jawa Tengah 5,330 4,370 3,049 2,705 2,456
D.I. Yogyakarta 4,755 3,415 2,083 1,834 1,637
Jawa Timur 4,720 3,555 2,456 2,189 2,000

Bali 5,955 3,970 2,274 1,977 1,785


Nusa Tenggara Barat 6,655 6,490 4,975 3,831 3,161
Nusa Tenggara Timur 5,960 5,540 4,608 3,658 3,073
Timor Timur - - 5,729 4,152 3,317

Kalimantan Barat 6,265 5,520 4,437 3,574 3,028


Kalimantan Tengah 6,825 5,870 4,029 3,362 3,912
Kalimantan Selatan 5,425 4,595 3,238 2,899 2,637
Kalimantan Timur 5,405 4,985 3,275 2,922 2,652

Sulawesi Utara 6,790 5,900 2,687 2,529 2,394


Sulawesi Tengah 6,530 5,900 3,853 3,265 2,857
Sulawesi Selatan 5,705 4,875 3,538 2,023 1,827
Sulawesi Tenggara 6,445 5,820 4,908 3,800 3,146
Indonesia 5,605 4,680 3,310 2,938 2,647
Sumber : Kasto dan Sembiring, 1995
Sumber : Ediastuti (1996)
Gambar 23. Trend TFR Indonesia 1971 – 2000

Selain itu pola angka kelahiran menurut kelompok umur ibu (ASFR), baik
menurut propinsi maupun secara nasional tampaknya tidak banyak berubah, dan
polanya dari tahun 1971 hingga tahun 1980 masih tetap sama, menyerupai huruf
U terbalik, seperti tampak pada Gambar 24 hanya bentuknya agak melebar. Hal
ini disebabkan penurunan kelahiran khususnya pada kelompok-kelompok umur
muda (Ediastuti, 1996).

Sumber : Ediastuti (1996)


Gambar 24. Trend TSFR Indonesia 1971-1990

10.3.2 Gross Reproduction Rates (GPR)


Gross Reproduction Rate ialah jumlah kelahiran bayi perempuan oleh 1.000
perempuan sepanjang masa reproduksinya dengan catatan tidak ada seorang
perempuan yang meninggal sebelum mengakhiri masa reproduksinya. Seperti
Tingkat Fertilitas Total, perhitungan Gross Reproduction Rate sebagai di bawah
ini :

GRR = 5 ∑ ASFR fi
i

Dimana :
ASFRfi adalah tingkat fertilitas menurut umur ke-i dari kelompok berjenjang
5 tahunan (Tabel 10.9).

Tabel 10.9
Perkiraan Gross Reproduction Rate Tahun 1964 – 1965 Untuk Indonesia
ASFRfi – per
Jumlah Jumlah kelahiran
Golongan umur 1.000
Perempuan bayi perempuan
perempuan
15-19 3.755 199 52,99
20-24 3.675 365 99,32
25-29 4.430 366 82,62
30-34 3.779 267 70,65
35-39 3.303 163 49,35
40-44 2.644 61 23,07
45-49 1.944 14 7,20
∑ ASFR fi = 385,20
i
GRR = ∑i ASFR fi = 5 x 385,20 = 1926,0
Sumber : Mantra, 1985

Cil memperkirakan bahwa pada periode 1970-1980 angka GRR akan turun dari
1420 menjadi 1360 per 1.000 perempuan (The Population Council, 1974).
Kelemahan dari perhitungan GRR ialah mengabaikan kemungkinan
perempuan meninggal sebelum masa reproduksinya. Agar hal ini tidak diabaikan
maka digunakan perhitungan Net Reproduction Rate.
10.3.3 Net Reproduction Rates (NRR)
Net Reproduction Rate ialah jumlah kelahiran bayi perempuan oleh sebuah
kohor hipotesis dari 1.000 perempuan dengan memperhitungkan kemungkinan
meninggalkan perempuan-perempuan itu sebelum mengakhiri masa
reproduksinya. Misalnya sebuah kohor yang ter diri dari 1.000 bayi perempuan,
beberapa dari perempuan tersebut mempunyai kesempatan melahirkan hingga
umur 20, sebagian hingga umur 30, sebagian hingga umur 40, dan seterusnya dan
hanya sebagian yang dapat melewati usia 50 tahun (usia reproduksi). Jadi dari
kohor tersebut dihitung jumlah perempuan-perempuan yang dapat bertahan hidup
umur tertentu dengan mengalikannya dengan kemungkinan hidup dari waktu lahir
hingga mencapai umur tersebut.
nLx
Io
Dalam prakteknya perhitungan Net Reproduction Rate dapat didekati dengan
rumus di bawah ini :
nLx
NRR = ∑i ASFR fi x 1o

Contoh perhitungan seperti terlihat dalam Tabel 10.10


Tabel 10.10
Contoh Perhitungan Net Reproduction Rate
nLx
nLx
Golongan umur (th) ASFRf per 1.000 nLx Io ASFRfx
Io

15-19 52,99 379.868 3,79868 201,29


20-24 99,32 370.775 3,70775 386,25
25-29 82,62 359.285 3,59285 296,84
30-34 70,65 346.825 3,46825 245,03
35-39 49,35 334.528 3,34528 165,09
40-44 23,07 321.670 3,21670 74,21
45-49 7,20 307.228 3,07288 22,12
Jumlah 1.390,83
Sumber : Mantra, 1985

Angka NRR sebesar 1.390,83 berarti bahwa dari 1.000 wanita selama periode
masa reproduksinya rata-rata mempunyai 1.391 anak perempuan.
Menurut Kasto (1996), NRR adalah salah satu hasil (output) proyeksi sering
diinterpretasikan sebagai banyaknya anak perempuan yang dilahirkan per
perempuan dalam masa reproduksinya. Sering ditanyakan, kapankah Indonesia
akan mencapai NRR = 1, tingkat replacement level, yaitu saat satu ibu diganti
oleh satu bayi perempuan. Dengan asumsi penurunan fertilitas dan mortalitas serta
perolehan susunan umur seperti telah diuraikan diatas, Indonesia akan mencapai
NRR = 1 pada tahun sekitar 2007, pada tahun 2000 NRR Indonesia baru mencapai
1,166 (Tabel 10.11). Pada saat itu bukannya berarti laju pertumbuhan, tetapi
penduduk akan tetap bertambah karena struktur umur belum konstan. Beberapa
propinsi sudah mencapai tingkat itu jauh sebelumnya, misal DKI Jakarta, Daerah
Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, dan Bali dalam tahun 1990-1995 (Tabel
10.11).
Tabel 10.11
Estimasi Net Reproduction Rate (NRR) Menurut Propinsi 1990-2000
Periode
Propinsi
1990 – 1995 1995 – 200
Daerah Istimewa Aceh 1,565 1,352
Sumatera Utara 1,530 1,326
Sumatera Barat 1,416 1,270
Riau 1,490 1,315
Jambi 1,391 1,256
Sumatera Selatan 1,487 1,297
Bengkulu 1,449 1,288
Lampung 1,452 1,278

DKI Jakarta 0,932 0,851


Jawa Barat 1,262 1,163
Jawa Tengah 1,181 1,091
D.I Yogyakarta 0,837 0,679
Jawa Timur 0,960 0,892

Bali 0,894 0,820


Nusa Tenggara Barat 1,412 1,236
Nusa Tenggara Timur 1,566 1,356
Timor Timur 1,745 1,440

Kalimantan Barat 1,508 1,309


Kalimantan Tengah 1,498 1,321
Kalimantan Selatan 1,192 1,12
Kalimantan Timur 1,300 1,201

Sulawesi Utara 1,108 1,065


Sulawesi Tengah 1,498 1,321
Sulawesi Selatan 1,311 1,215
Sulawesi Tenggara 1,617 1,371

Maluku 1,563 1,351


Irian Jaya 1,542 1,313
Indonesia 1,267 1,166
Sumber : BPS, 1993

10.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tinggi Rendahnya Fertilitas


Penduduk
Faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya fertilitas dapat dibagi
menjadi dua yaitu faktor demografi dan faktor non demografi. Faktor demografi
diantaranya adalah : struktur umur, struktur perkawinan, umur kawin pertama,
paritas, disrupsi perkawinan, dan proporsi yang kawin. Sedangkan faktor non
demografi antara lain, keadaan ekonomi penduduk, tingkat pendidikan, perbaikan
status perempuan, urbanisasi dan industrialisasi. Variabel-variabel diatas dapat
berpengaruh secara langsung terhadap fertilitas, ada juga berpengaruh tidak
langsung.
Dr. Davis dan Dr. Blake (1956) dalam tulisannya berjudul : The Social
Structure of Fertility : An Analitical Framework, menyatakan bahwa faktor-faktor
sosial mempengaruhi fertilitas melalui variabel antara (Gambar 25).

Faktor Faktor Faktor


sosial sosial sosial

Gambar 25
Skema Dari Faktor Sosial Yang Mempengaruhi Fertilitas Lewat Variabel Antara

Dalam tulisan tersebut Davis dan Blake juga menyatakan bahwa proses
reproduksi seorang perempuan usia subur melalui tiga tahap yaitu : hubungan
kelamin, konsepsi, kehamilan dan kelahiran. Dalam menganalisis pengaruh sosial
budaya terhadap fertilitas, dapatlah ditinjau faktor-faktor yang mempunyai kaitan
langsung dengan ketiga proses diatas. Davis dan Blake (1956) menyebutkan 11
variabel antara yang dikelompokkan sebagai berikut :
10.4.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi kemungkinan hubungan kelamin
pada usia reproduksi
1. Umur memulai hubungan kelamin
2. Selibat permanen, yaitu proporsi wanita yang tidak pernah mengadakan
hubungan kelamin
3. Lamanya masa reproduksi yang hilang karena :
a. Perceraian, perpisahan, atau ditinggal pergi oleh suami
b. Suami meninggal dunia
4. Abstinensi sukarela
5. Abstinensi karena terpaksa (impotensi, sakit, berpisah sementara yang tidak
bisa dihindari)
6. Frekuensi hubungan seks (tidak termasuk abstinensi)
10.4.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi kemungkinan konsepsi
7. Kesuburan dan kemandulan biologis (fekunditas dan infekunditas) yang tidak
disengaja
8. Menggunakan atau tidak menggunakan alat kontrasepsi
9. Kesuburan atau kemandulan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor disengaja,
misalnya sterilisasi
10.4.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi kehamilan dan kelahiran selama
10. Kematian janin karena faktor-faktor yang tidak disengaja
11. Kematian janin karena faktor-faktor yang disengaja

Kesebelas faktor-faktor itu masing-masing dapat mempunyai akibat negatif


(-) dan positif (+) terhadap fertilitas. Akibat dari variabel-variabel diatas terhadap
masyarakat satu dengan yang lain berbeda-beda. Misalnya pada masyarakat
tertentu variabel 1 (umur memulai hubungan kelamin) mempunyai akibat positif
terhadap fertilitas misalnya karena usia perkawinan pertama yang rendah, sedang
di masyarakat lain efek variabel 1 terhadap vertilitas negatif.
Davis dan Blake membuat suatu generalisasi sebagai berikut; Pada
masyarakat yang sedang berkembang (pra industri), variabel 1,2,8 dan 9
mempunyai efek positif terhadap fertilitas, sedangkan variabel 3a,3b, dan 11
kadang-kadang mempunyai nilai positif dan negatif terhadap fertilitas, sedang
untuk variabel 4 dan 10 sulit diketahui perbedaannya dalam masyarakat.
Beberapa faktor yang mempengaruhi fertilitas dalam masyarakat bekerja
melalui variabel antara. Freedman mengembangkan model yang diusulkan oleh
Davis dan Blake seperti terlihat pada gambar 26. Pada gambar ini nampak bahwa
antara lingkungan dan struktur sosial ekonomi saling mempengaruhi, sementara
lingkungan juga mempengaruhi tingkat mortalitas. Saling pengaruh
mempengaruhi terjadi pula antara struktur sosial-ekonomi dengan tingkat
mortalitas, struktur sosial-ekonomi dengan norma mengenai besar keluarga,
struktur sosial ekonomi dengan norma mengenai variabel antara, dan begitu
seterusnya. Jadi perbedaan-perbedaan fertilitas antar masyarakat maupun antar
waktu dari suatu masyarakat baru dapat dipahami apabila telah memahami
beragam faktor yang secara langsung maupun tidak langsung berinteraksi dengan
fertilitas (Said Rusli, 1983).
Struktur Sosial Ciri-Ciri Sosial Sikap perhubungan
Ekonomi, Ekonomi dan dengan Besar
Misalnya Kebudayaan, Struktur dan
- Tingkat Misalnya Pembentukan
kesehatan - Status migrasi Keluarga misalnya
(termasuk - Agama - Besar keluarga
klinik keluarga - Kesehatan ideal
berencana dan - Pendidikan - Preferensi seks
kesehatan - Peradaban - Biaya dan nilai f
anak) anak e
- Tingkat r
pembangunan t
- Tingkat dan Variabel i
fasilitas Antara l
pendidikan i
t
Pengetahuan a
Ciri-ciri Biososial tentang Kontrasepsi s
Lingkungan, Misalnya dan Sikap Terhadap
Misalnya - Gizi dan dan Kontrasepsi
Perbedaan- Kesehatan (atau pengeluaran
perbedaan regional - Mortalitas bayi kelahiran)
dan geografis dan anak

Sumber : WPS, 1977. Untuk kerangka yang sama lihat Jones (1977) dan
Freedman (1975).
Gambar 26
Suatu Kerangka Dasar Sederhana Untuk Analisis Fertilitas

Tabel 10.12
Tingkat Kelahiran Menurut Kelompok Umur di Indonesia Berdasarkan Propinsi
Tahun 1980 dan 1990
Propinsi Tahun 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49
D.I. Aceh 1980 105 281 265 204 120 55 17
1990 74 224 333 177 105 45 14

Sumatra Utara 1980 87 285 310 253 159 73 20


1990 47 212 241 100 112 44 12

Sumatra Barat 1980 102 289 299 244 151 58 8


1990 49 191 215 174 107 35 7
Riau 1980 108 281 279 222 133 51 13
1990 71 214 219 170 95 39 11

Jambi 1980 108 281 279 222 133 51 13


1990 71 214 219 170 95 39 11

Sumatra Selatan 1980 111 283 291 225 135 58 14


1990 85 224 219 166 98 41 12

Bengkulu 1980 117 323 308 238 158 76 19


1990 91 222 204 146 87 35 10

Lampung 1980 94 208 213 157 87 31 8


1990 36 121 138 100 49 16 5

DKI Jakarta 1980 94 208 213 157 87 31 8


1990 36 121 138 100 49 16 5

Jawa Barat 1980 157 264 237 185 109 49 13


1990 92 181 170 132 77 33 9

Jawa Tengah 1980 110 247 222 162 89 37 9


1990 73 178 153 111 65 25 6

D.I. Yogyakarta 1980 51 183 189 141 80 31 8


1990 29 207 127 82 40 12 3

Jawa Timur 1980 114 148 172 115 65 29 9


1990 69 240 122 84 45 18 6

Bali 1980 95 151 200 128 79 38 14


1990 46 303 127 75 35 16 6

Nusa Tenggara Barat 1980 109 303 315 268 180 89 34


1990 81 245 240 199 137 68 25

Nusa Tenggara Timur 1980 45 214 281 259 182 95 32


1990 43 194 241 210 145 69 22

Timor Timur 1980 - - - - - - -


1990 67 248 287 249 166 91 38

Kalimantan Barat 1980 111 278 275 223 131 68 21


1990 96 229 222 172 107 47 15

Kalimantan Selatan 1980 127 249 229 169 91 44 10


1990 76 176 163 126 69 28 9

Kalimantan Timur 1980 116 264 250 199 106 46 16


1990 71 180 170 124 70 30 10

Sulawesi Utara 1980 85 256 245 197 126 60 12


1990 55 163 142 96 52 22 7

Sulawesi Tengah 1980 114 278 293 250 162 62 21


1990 85 215 199 140 85 37 10

Sulawesi Selatan 1980 90 228 244 203 124 63 22


1990 54 168 187 148 91 43 16

Sulawesi Tenggara 1980 111 306 292 228 142 68 17


1990 81 260 255 199 120 50 15

Maluku 1980 87 268 307 202 189 91 27


1990 67 215 233 196 127 57 24

Irian Jaya 1980 111 243 237 205 134 93 47


1990 104 224 219 172 116 73 32

INDONESIA 1980 116 248 232 177 104 46 13


1990 71 179 171 129 75 31 9
Sumber : BPS 1994
BAB XI
MOBILITAS PENDUDUK :
RUANG LINGKUP DAN SUMBER DATA

11.1 PENDAHULUAN
Di muka telah dibicarakan bahwa ada tiga komponen pertumbuhan penduduk
yaitu kelahiran (fertilitas), kematian (mortalitas), dan mobilitas penduduk.
Komponen pertama dan kedua telah dibicarakan, dan pada bab 11 ini akan
dibicarakan komponen yang ketiga yaitu mobilitas penduduk.
Perilaku kelahiran dan kematian berbeda dengan mobilitas penduduk.
Angka kelahiran dan kematian pada periode waktu tertentu mempunyai sifat-sifat
keajegan (stabil). Sebagai contoh pada tahun 1993 di Indonesia tingkat kelahiran
kasar dan tingkat kematian kasar masing-masing besarnya 24,1 dan 7,8 per seribu
penduduk pertengahan tahun. Angka-angka ini besarnya tidak berubah sampai
akhir tahun 1995. Tetapi untuk mobilitas penduduk tidak ada sifat keteraturan
(keajegan) seperti angka kelahiran dan kematian.
Berdasarkan sifat-sifat seperti tersebut diatas, maka perhitungan proyeksi
penduduk tidak mengikutsertakan komponen mobilitas penduduk. Apabila ada
yang mengikutsertakan dalam perhitungan proyeksi penduduk, mereka
mengasumsikan volume dan arah mobilitas penduduk di suatu wilayah mengikuti
rata-rata dari pola yang terjadi selama beberapa tahun.
Sebelum dibicarakan determinan, proyeksi, dan bentuk-bentuk mobilitas
penduduk di Indonesia terlebih dahulu akan dibicarakan pengertian dan ruang
lingkup mobilitas penduduk.

11.2 PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP MOBILITAS PENDUDUK


Mobilitas penduduk dapat dibedakan antara mobilitas penduduk vertikal
danmobilitas penduduk horizontal. Mobilitas penduduk vertikal ini sering disebut
dengan perubahan status, dan salah satu contohnya adalah perubahan status
pekerjaan. Seseorang yang mula-mula bekerja dalam sektor pertanian sekarang
bekerja dalam sektor non pertanian.
Mobilitas penduduk horizontal, atau sering pula disebut dengan mobilitas
penduduk geografis, adalah gerak (movement) penduduk yang melintasi batas
wilayah menuju ke wilayah lain dalam periode waktu tertentu (Mantra, 1978).
Penggunaan batas wilayah dan waktu untuk indikator mobilitas penduduk
horizontal ini mengikuti paradigma ilmu geografi yang mendasarkan konsepnya
atas wilayah dan waktu (space and time concept).
Batas wilayah umumnya digunakan batas administratif, misalnya : propinsi,
kabupaten, kecamatan, kelurahan, pendukuhan (dusun). Naim (1979) dalam
penelitiannya mengenai mobilitas penduduk suku Minangkabau menggunakan
batas budaya Minang sebagai batas wilayah.
Hingga kini belum ada kesepakatan diantara para ahli dalam menentukan
batas wilayah dan waktu tersebut. Hal ini sangat bergantung kepada luas cakupan
wilayah penelitian oleh setiap peneliti. Sebagai contoh, Biro Pusat Statistik (BPS)
dalam melaksanakan Sensus Penduduk di Indonesia menggunakan batas propinsi
sebagai batas wilayah, sedangkan batas waktu digunakan enam bulan. Jadi,
menurut definisi yang dibuat oleh BPS, seseorang disebut migran apabila orang
tersebut bergerak melintasi batas propinsi menuju ke propinsi lain, dan lamanya
tinggal di propinsi tujuan adalah enam bulan atau lebih. Atau dapat pula seseorang
disebut migran walau berada di propinsi tujuan kurang dari enam bulan, tetapi
orang tersebut berniat tinggal menetap atau bertempat tinggal enam bulan atau
lebih di propinsi tujuan.
Mantra (1978) dalam penelitiannya mengenai mobilitas penduduk
nonpermanen di sebuah dukuh di Bantul menggunakan batas wilayah dukuh, dan
batas waktu yang digunakan untuk meninggalkan dukuh asal adalah enam jam
atau lebih. Batas enam jam diambil karena seseorang yang bepergian
meninggalkan dukuh asal dengan keperluan tertentu dan kepergiannya
dipersiapkan terlebih dahulu, lamanya meninggalkan dukuh minimal enam jam.
Alasan lain pengambilan batas enam jam ialah untuk menjaring orang-orang yang
melakukan mobilitas ulang alik (Jawa = nglaju) atau commuting.
Akibat belum adanya kesepakatan di antara para ahli mobilitas penduduk
mengenaiukuran batas wilayah dan waktu ini, hasil penelitian mengenai mobilitas
penduduk di antara peneliti tidak dapat diperbandingkan. Mengingat bahwa skala
penelitian itu bervariasi antara peneliti yang satu dengan peneliti lain, sulit bagi
peneliti mobilitas penduduk untuk menggunakan batas wilayah dan waktu yang
baku (standard). Misalnya, apabila wilayah penelitian itu desa, tidak mungkin
menggunakan batas propinsi sebagai batas wilayah dan meninggalkan daerah asal
6 bulan atau lebih sebagai bats waktu. Jadi, ada baiknya tidak ada batasan baku
untuk batas wilayah dan waktu untuk penelitian mobilitas penduduk. Sudah tentu
bahwa makin sempit batasan ruang dan waktu yang digunakan, makin banyak
terjadi gerak penduduk antara wilayah tersebut.
Kalau dilihat dari ada tidaknya niatan untuk menetap di daerah tujuan,
mobilitas penduduk dapat pula dibagi menjadi dua, yaitu mobilitas penduduk
permanen atau migrasi dan mobilitas penduduk non permanen. Jadi, migrasi
adalah gerak penduduk yang melintas batas wilayah asal menuju ke wilayah lain
denganadanya niatan menetap di daerah tujuan. Sebaliknya, mobilitas penduduk
non permanen ialah gerak penduduk dari suatu wilayah ke wilayah lain dengan
tidak ada niatan menetap di daerah tujuan. Apabila seseorang menuju ke daerah
lain dansejak semula sudah bermaksud tidak menetap di daerah tujuan orang
tersebut digolongkan sebagai pelaku mobilitas12 non permanen walaupun
bertempat tinggal di daerah tujuan dalam jangka waktu lama (Steele, 1983).
Contoh yang baik dalam hal ini ialah mobilitas penduduk orang Minang yang
melintas batas budaya Minangkabau menuju ke daerah lain. Walaupun berada di
daerah tujuan selama puluhan tahun, mereka dikategorikan sebagai migran
nonpermanen karena tidak ada niatan menetap di daerah tujuan. Gerak penduduk
orang Minang ini disebut dengan merantau. Sayangnya, banyak para migran tidak
dapat memberikan ketegasan apakah mereka ada niatan menetap di daerah tujuan
atau tidak ada pada saat melakukan mobilitas yang pertama kali. Sering niatan
tersebut berubah setelah pelaku mobilitas tinggal didaerah tujuan dalam jangka
waktu relatif lama.

12
Pelaku mobilitas penduduk adalah orang yang melakukan mobilitas, sedangkan adalah proses
gerak penduduk dari satu wilayah menuju wilayah lain dalam jangka waktu tertentu
Gerak penduduk yang non permanen (sirkulasi, circulation) ini dapat pula
dibagi menjadi dua yaitu ulang alik (Jawa = nglaju, Inggris = commuting), dan
dapat menginap atau mondok di daerah tujuan. Ulang alik adalah gerak penduduk
dari daerah asal menuju ke daerah tujuan dalam batas waktu tertentu dengan
kembali ke daerah tujuan dalam batas waktu tertentu dengan kembali ke daerah
asal pada hari itu juga. Pada umumnya penduduk yang melakukan mobilitas ingin
kembali ke daerah asal secepatnya sehingga kalau dibandingkan frekuensi
penduduk yang melakukan mobilitas ulang alik, menginap/mondok, dan migrasi,
frekuensi mobilitas penduduk ulang-alik terbesar, disusul oleh menginap/mondok
dan migrasi. Secara operasional, macam-macam bentuk mobilitas penduduk
tersebut diukur berdasarkan konsep ruang dan waktu. Misalnya mobilitas
penduduk ulang alik, konsep waktunya diukur dengan enam jam atau lebih
meninggalkan daerah asal dan kembali pada hari yang sama; menginap/mondok
diukur dari lamanya meninggalkan daerah asal lebih dari satu hari, tetapi kurang
dari enam bulan; sedangkan mobilitas permanen diukur dari lamanya
meninggalkan daerah asal enam bulan atau lebih kecuali orang yang sudah sejak
semua berniat menetap di daerah tujuan seperti seorang istri yang berpindah ke
tempat suami bertempat tinggal (Tabel 11.1). untuk jelasnya, bentuk-bentuk
mobilitas penduduk dapat dilihat pada gambar 27.

Tabel 11.1
Batasan ruang dan Waktu Dalam Penelitian Mobilitas Penduduk Yang
Dilaksanakan Oleh Ida Bagoes Mantra Tahun 1975 di Dukuh Piring dan Kadirojo
Dengan Batasan Wilayah Dukuh (Dusun)
Bentuk Mobilitas Batas Wilayah Batas Waktu
1. Ulang alik (commutting-) Dukuh Enam jam atau lebih dan
kembali pada hari yang sama
2. Menginap/mondok di (Dusun) Lebih dari satu hari, tetapi
daerah tujuan Dukuh kurang dari enam bulan
(Dusun)

3. Permanen/menetap di Dukuh Enam bulan atau lebih menetap


daerah tujuan (Dusun) di daerah tujuan
Sumber : Mantra (1978)
MP vertikal
(perubahan status)
Mobilitas MP permanen
Penduduk (migrasi)
(MP)
Ulang-alik
MP horisontal
(commuting)
(perubahan geografis) MP non permanen
(MP Sirkuler)
Menginap/
mondok

Gambar 27
Skema Bentuk-Bentuk Mobilitas Penduduk

11.3 DETERMINAN DAN PERILAKU MOBILITAS PENDUDUK


11.3.1 Determinan Mobilitas Penduduk
Ada beberapa teori yang mengatakan mengapa seseorang mengambil
keputusan melakukan mobilitas, diantaranya adalah teori kebutuhan dan tekanan
(need and stress). Tiap-tiap individu mempunyai kebutuhan yang perlu untuk
dipenuhi. Kebutuhan tersebut dapat berupa kebutuhan ekonomi, sosial, dan
psikologi. Apabila kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi, terjadilah tekanan
atau stress. Tinggi rendahnya stress yang dialami oleh individu berbanding
terbalik dengan proporsi pemenuhan kebutuhan tersebut.
Ada dua akibat dari stress diatas. Kalau stress seseorang tidak terlalu besar
(masih dalam batas toleransi), orang tersebut tidak akan pindah. Dia tetap tinggal
di daerah asal dan menyesuaikan kebutuhannya dengan keadaan lingkungan yang
ada. Apabila stress yang dialami seseorang diluar batas toleransinya, orang itu
mulai memikirkan untuk pindah ke daerah lain di mana kebutuhannya dapat
terpenuhi. Atau dengan ungkapan lain, seseorang akan pindah dari daerah lain
dimana kebutuhannya dapat terpenuhi. Atau dengan ungkapan lain, seseorang
akan pindah dari daerah yang mempunyai nilai kefaedahan (place utility) lebih
rendah ke daerah yang mempunyai nilai kefaedahan lebih tinggi dimana
kebutuhannya dapat terpenuhi. (Gambar 28).
Memperhatikan hal-hal tersebut diatas dapatlah di simpulkan bahwa proses
mobilisasi itu terjadi apabila ada keadaan berikut ini.
1. Seseorang mengalami tekanan (stress), baik ekonomi, sosial, maupun psikologi
di tempat ia berada. Tiap-tiap individu mempunyai kebutuhan yang berbeda-
beda, makin heterogen struktur penduduk di suatu daerah maka makin
heterogen pula kebutuhan mereka. Ini berarti bahwa makin heterogen stress
yang mereka alami.
2. Terjadi perbedaan nilai kefaedahan wilayah antara tempat yang satu dengan
tempat yang lain. Apabila tempat yang satu dengan tempat yang lain tidak ada
perbedaan nilai kefaedahan wilayah, tidak akan terjadi mobilitas penduduk.13

Kebutuhan (need) dan aspirasi

Terpenuhi Tidak Terpenuhi


(stress)

Dalam batas Diluar batas


toleransi toleransi

Tidak pindah Tidak pindah Pindah

Mobilitas nonpermanen

Komuter Menginap/
(ulang alik) mondok

Gambar 28
Hubungan Antara Kebutuhan dan Pola Mobilitas Penduduk

13
Mobilitas penduduk dalam hubungan ini adalah proses mobilitas yang tidak di pengaruhi oleh
orang lain atau keadaan ter tentu, misalnya tidak dipaksa untuk p indah karena masalah politik atau
bencana alam
Secara umum dapat dikatakan bahwa mobilitas penduduk itu terjadi apabila
terdapat perbedaan nilai kefaedahan antara dua wilayah. Pada dasarnya teori-teori
migrasi didasarkan atas prinsip-prinsip diatas. Dibawah ini dibicarakan beberapa
teori mobilitas tersebut.
Everettt S. Lee (1976) dalam tulisannya berjudul A Theory of Migration
mengungkapkan bahwa volume migrasi di suatu wilayah berkembang sesuai
dengan tingkat keanekaragaman daerah-daerah di wilayah tersebut. Didaerah asal
da daerah tujuan ada faktor-faktor positif (+), negatif (-), ada pula faktor-faktor
netral (0). Faktor positif adalah faktor yang memberikan nilai menguntungkan
kalau bertempat tinggal di daerah tersebut, misalnya didaerah tersebut terdapat
sekolah, kesempatan kerja, atau iklim yang baik. Faktor negatif adalah faktor
yang memberikan nilai negatif pada daerah yang bersangkutan sehingga seseorang
ingin p indah dari tempat tersebut. Perbedaan nilai kumulatif antara kedua tempat
tersebut cenderung menimbulkan arus migrasi penduduk (Gambar 29).
Selanjutnya, Lee menambahkan bahwa besar kecilnya arus migrasi juga
dipengaruhi oleh rintangan antara, misalnya berupa ongkos pindah yang tinggi,
topografi antara daerah asal dengan daerah tujuan berbukit-bukit, dan terbatasnya
sarana transportasi. Faktor yang tidak kalah pentingnya adalah faktor individu
karena dialah yang menilai positif dan negatifnya suatu daerah, dia pulalah yang
memutuskan apakah akan pindah dari asal atau tidak. Kalau pindah, daerah mana
yang akan dituju.

Gambar 29
Faktor-faktor Determinan Mobilitas Penduduk
Menurut Everett S. Lee (1976)
Menurut Lee proses migrasi itu dipengaruhi oleh empat faktor :
1. Faktor individu
2. Faktor-faktor yang terdapat di daerah asal
3. Faktor-faktor yang terdapat di daerah tujuan, dan
4. Rintangan antara daerah asal dengan daerah tujuan.

Determinan mobilitas penduduk dari Everett S. Lee di lengkapi oleh Robert


Norris (1972) (Gambar 30). Menurut Norris, diagram Lee perlu ditambah dengan
tiga komponen yaitu migrasi kembali, kesempatan antara, dan migrasi paksaan
(force migration). Kalau Lee menekankan bahwa faktor individu14 adalah faktor
terpenting diantara 4 faktor tersebut. Norris berpendapat lain bahwa faktor daerah
asal merupakan faktor terpenting. Di daerah asal seseorang lahir, dan sebelum
sekolah orang itu hidup di daerah tersebut. Dia tahu benar tentang kondisi
lingkungan daerah asal, penuh nostalgia ketika hidup dan berdomisili di daerah
asal dan bermain dengan teman-teman sebaya. Itulah sebabnya, seseorang sangat
terikat dengan daerah asal. Walaupun sesudah berumah tangga harus pindah dan
berdomisili di daerah lain, mereka tetap menganggap bahwa daerah asal (daerah
tempat mereka dilahirkan) merupakan home pertama, dan daerah tempat mereka
berdomisili sekarang merupakan home kedua. Dapatlah dikatakan bahwa
penduduk migran adalah penduduk yang bersifat bi local population. Dimanapun
mereka bertempat tinggal, pasti mengadakan hubungan dengan daerah asal.
Jadi, hubungan migran dengan desa atau daerah asal di negara-negara
berkembang dikenal sangat erat (Connel, 1976) dan menjadi salah satu ciri
fenomena migrasi di negara-negara sedang berkembang. Hubungan tersebut
antara lain diwujudkan dengan pengiriman uang, barang-barang, bahkan ide-ide
pembangunan ke daerah asal (remitan), secara langsung atau tidak langsung.
Intensitas hubungan ini antara lain ditentukan oleh jarak, fasilitas transportasi,
lama merantau, status perkawinan, atau jarak hubungan kekeluargaan. Mantra
(1979) melihat adanya hubungan terbalik antara jarak dengan frekuensi
kunjungan. Semakin dekat tempat tinggal migran, semakin tinggi frekuensi

14
Individu memberikan penilaian apakah suatu daerah dapat memenuhi kebutuhannya atau tidak
kunjungan ke darah asal. Intensitas frekuensi hubungan ini sudah tentu akan
mempengaruhi pula intensitas dam pak mobilitas di perdesaan atau daerah asal
tersebut.

Gambar 30
Faktor-Faktor Determinan Mobilitas Penduduk Menurut Robert E. Norris (1992)

Menurut Mabongunje (1970) hubungan migran dengan desa asal dapat


dilihat dari materi informasi yang mengalir dari kota atau daerah tujuan ke desa
asal. Jenis informasi itu bersifat positif dan negatif. Informasi positif biasanya
datang dari para migran yang berhasil. Hal ini berakibat (a) stimulus untuk
pindah semakin kuat di kalangan migran potensial di desa, (b) pranata sosial yang
mengontrol mengalirnya warga desa keluar semakin longgar, (c) arah pergerakan
penduduk tertuju ke kota-kota atau daerah tertentu, dan (d) perubahan pola
investasi dan pemilikan tanah di desa karena tanah mulai dilihat sebagai komoditi
pasar. Sementara itu, informasi negatif biasanya datang dari para migran yang
gagal atau kurang berhasil sehingga mengakibatkan dampak sebaliknya.
Dalam diagram Norris, kesempatan antara merupakan kota-kota kecil atau
sedang yang terletak antara desa pengiriman migran dan kota besar tempa tujuan
migran. Sebagai contoh kota Sidoarjo, Jawa Timur dan kota besar Surabaya.
Migran potensial dari daerah burit (hinterland) yang ingin menuju ke kota besar
Surabaya melalui kota Sidoarjo. Di Sidoarjo sebagian dari mereka mendapat
pekerjaan, dan hanya sebagian (umumnya bagi mereka yang berkualitas lebih
baik) melanjutkan mencari pekerjaan menuju Surabaya. Disini mereka bersaing
dengan migran-migran dari daerah lain untuk mendapatkan pekerjaan.
Mitchell (1961) seorang ahli sosiologi dari Inggris menyatakan bahwa ada
beberapa kekuatan (forces) yang menyebabkan orang-orang terikat pada daerah
asal, dan ada juga kekuatan yang mendorong orang-orang untuk meninggalkan
daerah asal. Kekuatan yang mengingat orang-orang untuk tinggal di daerah asal
disebut dengan kekuatan sentripetal (centripetal forces) dan sebaliknya kekuatan
yang mendorong seseorang untuk meninggalkan daerah asal disebut dengan
kekuatan sentrifugal (centrifugal forces). Apakah seseorang akan tetap tinggal di
daerah asal ataukah pergi meninggalkan daerah asal untuk menetap di daerah lain
tergantung pada keseimbangan antara dua kekuatan tersebut (Gambar 31).

Daerah
asal

Kekuatan sentripetal (+) ←


Kekuatan yang mengikat orang-orang untuk tinggal di daerah asal, misalnya :
 Terikat tanah warisan
 Menunggu orang tua yang sudah lanjut usia
 Kegotongroyongan baik
 Daerah asal merupakan tempat kelahiran nenek moyang mereka

Kekuatan sentrifugal (-) →


Kekuatan yang mendorong seseorang untuk meningkatkan daerah asal, misalnya
 Terbatasnya fasilitas pendidikan

Gambar 31
Faktor Penarik dan Pendorong di Daerah Asal
Untuk wilayah pedesaan (di negara sedang berkembang) kekuatan
sentripetal dan sentrifugal hampir seimbang. Penduduk dihadapkan pada dua hal
yang sulit untuk dipecahkan :
1. Apakah tetap tinggal di daerah asal dengan keadaan ekonomi dan fasilitas
pendidikan yang terbatas, a tau
2. Berpindah ke daerah lain dengan meninggalkan sawah atau ladang yang
dimiliki

Untuk mengatasi problem diatas, di ambil suatu kompromi yaitu


mengadakan mobilitas penduduk nonpermanen (mobilitas penduduk sirkuler)
yang dapat lagi dibagi menjadi dua : komutasi (ulang alik) dan menginap/mondok
di daerah tujuan (Gambar 32). Itulah sebabnya, diantara ketiga bentuk mobilitas
penduduk (ulang alik, menginap/mondok, dan permanen) maka frekuensi yang
terbanyak terjadi di negara berkembang adalah mobilitas penduduk ulang alik,
disusul menginap/mondok di daerah tujuan, dan yang paling jarang terjadi adalah
mobilitas penduduk permanen (migrasi).

Gambar 32
Mobilitas Penduduk Non Permanen

Lee (1966), Todaro (1979), dan Titus (1982) berpendapat bahwa motivasi
seseorang untuk pindah adalah motif ekonomi. Motif tersebut berkembang karena
adanya ketimpangan ekonomi antar daerah. Todaro menyebut motif utama
tersebut sebagai per timbangan ekonomi yang rasional. Mobilitas ke perkotaan
mempunyai dua harapan, yaitu memperoleh pekerjaan dan harapan memperoleh
pendapatan yang lebih tinggi dari pada yang diperoleh di perdesaan. Dengan
demikian, mobilitas desa-kota sekaligus mencerminkan adanya
ketidakseimbangan antara desa dan kota. Oleh karena itu, arah pergerakan
penduduk juga cenderung ke kota yang memiliki kekuatan-kekuatan relatif besar
sehingga diharapkan dapat memenuhi pamrih-pamrih ekonomi mereka.
Meskipun demikian, arah pergerakan penduduk juga ditentukan oleh
beberapa faktor lain, seperti faktor jarak, biaya, dan informasi yang diperoleh.
Faktor jarak, barangkali dapat dilihat sebagai satu kesatuan karena dengan
kemampuan di bidang transportasi maka jarak sudah merupakan fungsi uang atau
biaya. Bagaimanapun juga, jarak tetap merupakan faktor penting dalam penentuan
arah, setidak-tidaknya dalam penentuan bentuk mobilitas penduduk. Kota atau
daerah tujuan yang berjarak jauh dengan desa asal cenderung menghasilkan
mobilitas penduduk permanen, sedangkan yang berjarak sedang menghasilkan
mobilitas dengan menginap/ mondok, dan yang berjarak dekat, cukup dilakukan
secara ulang alik (commuting). Sudah tentu faktor jarak tidak berdiri sendiri
karena juga dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi migran potensial di desa dan
informasi tentang daerah tujuan yang sering datang dari migran yang sudah lama
menetap di kota.
Mabogunje (1970) melihat bahwa kontribusi dari migran terdahulu di kota
sangat besar dalam membantu migran baru yang berasal dari desa atau daerah
yang sama dengan mereka, terutama pada tahap-tahap awal dari mekanisme
penyesuaian diri di daerah tujuan. Para migran baru tidak hanya sekedar
ditampung di rumah migran lama, tetapi juga dicukupi kebutuhan makan, dan
dibantu untuk mendapatkan pekerjaan sesuai dengan kemampuan dan relasi yang
dimiliki (Suratman, 1978). Hal ini menyebabkan lapangan pekerjaan tertentu di
suatu kota atau daerah sering di dominasi oleh migran yang berasal dari desa atau
daerah ter tentu pula karena proses mencari pekerjaan itu biasanya berkisar antar
relasi migran sedaerah juga.
11.3.2 Perilaku Mobilitas Penduduk
Disamping mengupas proses seperti tersebut diatas, beberapa ahli
9berdsarkan hasil penelitiannya) juga mengungkapkan beberapa perilaku
mobilitas penduduk. Di antara para ahli tersebut adalah Ravenstein (1885),
Thomas dan Stouffer (1940), dan Lee (1966). Secara singkat perilaku mobilitas
penduduk atau oleh Ravenstein disebut dengan hukum-hukum migrasi penduduk
adalah sebagai berikut :
1. Para migran cenderung memilih tempat terdekat sebagai daerah tujuan.
2. Faktor paling dominan yang mempengaruhi seseorang untuk bermigrasi adalah
sulitnya memperoleh pekerjaan di daerah asal dan kemungkinan untuk
memperoleh pekerjaan dan pendapatan yang lebih baik di daerah tujuan.
Daerah tujuan harus mempunyai nilai kefaedahan (place utility) lebih tinggi
dibandingkan dengan daerah asal.
3. Berita-berita dari sanak saudara atau teman yang telah berpindah ke daerah lain
merupakan informasi yang sangat penting bagi orang-orang yang ingin
bermigrasi.
4. Informasi negatif dari daerah tujuan mengurangi niat penduduk (migran
potensial) untuk bermigrasi.
5. Semakin tinggi pengaruh kekotaan terhadap seseorang, semakin besar tingkat
mobilitasnya.
6. Semakin tinggi pendapatan seseorang, semakin tinggi frekuensi mobilitasnya.
7. Para migran cenderung memilih daerah tempat teman atau sanak saudara
bertempat tinggal di daerah tujuan. Jadi, arah dan arus mobilitas penduduk
menuju ke arah asal datangnya informasi.
8. Pola migrasi bagi seseorang maupun sekelompok penduduk sulit diperkirakan.
Hal ini banyak dipengaruhi oleh kejadian yang mendadak seperti bencana
alam, peperangan, atau epidemi.
9. Penduduk yang masih muda dan belum kawin lebih banyak melakukan
mobilitas daripada mereka yang berstatus kawin.
10. Penduduk yang berpendidikan tinggi biasanya lebih banyak melaksanakan
mobilitas dari pada yang berpendidikan rendah.

Setelah para pelaku mobilitas sampai di daerah tujuan (terutama di kota),


beberapa perilaku mereka (terutama sikap mereka terhadap masyarakat kota)
dapat dipostulasikan sebagai berikut :
1. Pada mulanya para pelaku mobilitas memilih daerah tempat teman atau sanak
saudara bertempat tinggal di daerah tersebut.
2. Pada masa penyesuaian diri di kota, para migran terdahulu membantu mereka
dalam menyediakan tempat menginap, membantu mencari pekerjaan, dan
membantu bila kekurangan uang, dan lain-lain.
3. Kepuasan terhadap kehidupan di masyarakat baru tergantung pada hubungan
sosial para pelaku mobilitas dengan masyarakat tersebut
4. Kepuasan terhadap kehidupan di kota tergantung pada kemampuan
perseorangan untuk mendapatkan pekerjaan dan adanya kesempatan bagi anak-
anak untuk berkembang.
5. Setelah menyesuaikan diri dengan kehidupan kota, para pelaku mobilitas
pindah tempat tinggal dan pemilihan daerah tempat tinggal dipengaruhi oleh
lokasi tempat bekerja.
6. Keinginan untuk kembali ke daerah asal adalah fungsi kepuasan mereka
dengan kehidupan di kota. Mereka tidak enggan bertempat tinggal pada tempat
dengan kondisi yang serba kurang asal dapat memperoleh kesempatan ekonomi
yang tinggi.
7. Kehidupan masyarakat di kota adalah sedemikian rupa; hal ini menyebabkan
para migran cepat belajar untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi.
8. Perilaku migran adalah diantara orang kota dan orang desa.

11.4 SUMBER DATA MOBILITAS PENDUDUK


Pada umumnya ada tiga sumber data mobilitas penduduk yaitu : Sensus
Penduduk, Registrasi Penduduk, dan Survei Penduduk. Seperti telah diuraikan
pada Bab 2, data kependudukan yang didapat dari hasil registrasi penduduk k
urang dapat dipercaya. Misalnya, penduduk yang meninggalkan desanya
seharusnya melaporkan kepergiannya kepada kepala desa, tetapi karena letak
kantor desa jauh dari tempat tinggal orang tersebut, ia tidak melaporkan
kepergiannya. Disamping itu dengan membaiknya situasi keamanan, para petugas
keamanan tidak pernah menanyakan surat keterangan jalan bagi yang bepergian,
begitu pula bagi yang datang di suatu daerah.
Diantara ketiga sumber data mobilitas penduduk, data yang didapat dari
Sensus Penduduk yang paling lengkap, kelemahannya data tersebut hanya
meliputi mobilitas penduduk yang bersifat permanen. Dari hasil registrasi
penduduk dan survei penduduk diperoleh data baik dari mobilitas permanen dan
nonpermanen, hanya kelemahannya tidak semua mobilitas penduduk dicatat.
Dibawah ini akan dibicarakan ketiga sumber data mobilitas penduduk beserta
permasalahannya.
11.4.1 Sensus Penduduk
Seperti telah diuraikan dalam bab 2, di Indonesia pelaksanaan sensus penduduk
dibagi menjadi dua yaitu sensus lengkap, dan sensus sampel.15 Sensus lengkap
adalah pencacahan seluruh penduduk dengan responden kepala rumah tangga.
Responden ini memberikan informasi mengenai karakteristik demografi anggota
rumah tangganya.
Pertanyaan yang di ajukan sangat sederhana. Sebagia ocnoth, pertanyaan
yang diajukan pada sensus penduduk pada tahun 1990 untuk sensus lengkap
adalah sebagai berikut. Nama-nama anggota rumah tangga dan masing-masing
dari mereka ditanyakan mengenai :
a. Hubungan dengan kepala rumah tangga
b. Umur (tahun)
c. Jenis Kelamin
d. Status Perkawinan (BPS, 1989)

Untuk hal-hal yang spesifik, misalnya ketenagakerjaan, kesehatan,


pendidikan, ekonomi, pertanian, dan mobilitas penduduk ditanyakan dalam sensus
sampel. Pencacahan sampel yaitu pencacahan terhadap penduduk yang tinggal
dalam rumah tangga terpilih. Untuk pencacahan sampel telah dipilih sejumlah
wilcah, kemudian dari setiap wilcah tersebut dipilih sejumlah rumah tangga (BPS,
1989).
Tidak banyak informasi mengenai mobilitas penduduk yang dapat diperoleh
dari Sensus penduduk. Hal ini dapat dimengerti mengingat tujuan dari sensus

15
Pada tahun 2000 Pemerintah Indonesia hanya melaksanakan sensus lengkap
adalah untuk mengumpulkan informasi yang bersifat umum mengenai keadaan
sosial ekonomi dan demografi penduduk di suatu negara. Tidak banyak tempat
yang tersedia dalam kuesioner untuk menanyakan aspek tertentu secara
mendalam. Walaupun ada kelemahan-kelemahan menurut Sundrum (1976A), data
migrasi penduduk dari hasil sensus penduduk tahun 1971 di Indonesia merupakan
data migrasi yang terbaik di Asia.
Batas wilayah (space) yang digunakan oleh Biro Pusat Statistik dalam
penelitian mobilitas penduduk adalah propinsi dan batas waktu (time) ditetapkan
enam bulan. Jadi seseorang dikatakan melakukan migrasi apabila orang tersebut
melakukan gerak melintas batas propinsi menuju ke propinsi lain dan lamanya
berada di propinsi tujuan enam bulan atau lebih.
Ada beberapa masalah dalam menginterpretasi perilaku migrasi penduduk
dari hasil sensus penduduk terutama dengan penggunaan propinsi sebagai batas
wilayah (space). Propinsi-propinsi di Indonesia, bentuk, struktur dan luas
wilayahnya berbeda-beda. Luas wilayah misalnya, DKI Jakarta luasnya 660 km2
dan Irian Jaya 421.981 km2. Jumlah penduduknya (1990) untuk DKI Jakarta
8.2122.515 orang dengan Irian Jaya 1.628.087 orang. Bentuknya juga bervariasi,
ada yang berserakan karena terdiri dari pulau-pulau seperti Maluku, ada yang
memanjang seperti Sulawesi Utara, dan ada yang kompak seperti Jawa barat, D.I.
Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Semua itu berpengaruh pada
volume dan arus migrasi penduduk. Sebagai contoh, DKI Jakarta seseorang yang
bergerak 25 km dari pusat ke kota sudah melintasi bats DKI Jakarta, sebaliknya
untuk propinsi Irian Jaya seseorang yang bepergian sejauh kurang lebih 600 km
baru melintasi batas propinsi. Jadi frekuensi migrasi ke luar dari DKI Jakarta akan
lebih banyak dibandingkan dengan migrasi ke luar dari propinsi Irian Jaya. Hal ini
sesuai dengan penemuan Ravenstein tahun 1989 (Lee, 1995) yaitu umumnya
orang yang bepergian untuk memenuhi kebutuhannya pada jarak terdekat. Makin
jauh seuatu daerah makin sedikit migran yang menuju daerah tersebut.
Selain itu, migran cenderung meninggalkan daerah dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya. Apabila diperhatikan, batasan waktu yang digunakan BPS
enam bulan atau lebih maka migran yang meninggalkan BPS enam bulan atau
lebih maka migran yang meninggalkan daerah asal kurang dari enam bulan yang
sebenarnya lebih banyak terjadi, tidak dimonitor oleh petugas sensus.
Kelemahan ini mengakibatkan jaringan-jaringan migrasi pendukung yang
dihasilkan dari sensus penduduk tidak mencakup seluruh jaring-jaring migrasi
penduduk yang ada. Meskipun demikian hasil sensus penduduk tetap sangat
informatif untuk melihat kecenderungan arah dan arus migrasi penduduk selama
empat kali sensus penduduk di Indonesia.
Ada empat buah pertanyaan mengenai migrasi penduduk yang terdapat
dalam kuesioner Sensus Penduduk 1971, 1980 dan 1990. Tiga dari empat macam
pertanyaan tersebut sama, hanya susunannya yang berbeda (Tabel 11.2).
walaupun migrasi hanya bersumber pada empat pertanyaan, tetapi kombinasi dari
jawaban keempatnya dan data lain yang ditanyakan pada sensus sampel dapat
menghasilkan informasi mengenai migrasi penduduk yang cukup bervariasi.
Berdasarkan keempat pertanyaan diatas, orang-orang yang dicacah dapat
digolongkan menjadi dua migran dan bukan migran (lihat tabel 11.3).
Jenis Pertanyaan
1971* 1980, 1990
1. Propinsi tempat lahir 1. Propinsi tempat lahir
2. Pernah tinggal di propinsi lain 2. Lamanya tinggal di propinsi ini
3. Propinsi tempat tinggal terakhir 3. Tempat tinggal terakhir sebelum
sebelum disini tinggal di propinsi ini
4. Lama tinggal di propinsi tempat 4. Tempat tinggal 5 tahun yang lalu
tinggal sekarang
* Pertanyaan mobilitas penduduk jenis ini hanya ditanyakan pada tahun 1971
saja, untuk Sensus Penduduk selanjutnya jenis pertanyaannya seperti yang
digunakan tahun 1980.
Sumber : Ross Steele, 1983

Migran dapat dibedakan menjadi empat yaitu migran semasa hidup (lifetime
migrant), migran total (total migrant), migran kembali (return migrant) an migran
risen (recent migrant). Migran semasa hidup adalah seseorang yang dicacah di
suatu propinsi yang bukan propinsi tempat kelahirannya. Dengan tipe migrasi
semasa hidup ini, pengamatan hanya dipusatkan pada tempat tinggal saat lahir dan
saat pencacahan sehingga kapan perpindahan itu terjadi luput dari pencatatan.
Jadi, seseorang yang pernah pindah beberapa kali melintasi batas propinsi dalam
waktu lebih dari 6 bulan namun karena propinsi tempat lahir sama dengan
propinsi tempat tinggal saat pencacahan, ia dicatat sebagai nonmigran.
Tabel 11.3
Migran dan Bukan Migran Berdasarkan Keempat Pertanyaan dalam Sensus
Penduduk 1980
Pertanyaan Migran Bukan Migran
Propinsi Tempat Lahir Seseorang yang dicacah di Seseorang yang dicacah
satu suatu propinsi yang di propinsi di tempat ia
bukan propinsi tempat dilahirkan
kelahirannya. Migran ini di
sebut dengan migran
semasa hidup (lifetime
migrant)
Lamanya tinggal di Seseorang yang lamanya Seseorang yang
propinsi lain tinggal di propinsi sekarang bertempat tinggal di
lebih pendek dari umumnya propinsi sekarang selama
hidupnya
Tempat tinggal terakhir Seseorang yang propinsi Seseorang yang
sebelum tinggal di tempat tinggal terakhir bertempat tinggal di
propinsi lain berbeda dengan propinsi propinsi sekarang selama
tempat ia dicacah. Migran hidupnya
ini disebut dengan migran
total (total migrant)
Propinsi tempat tinggal Seseorang dimana propinsi Seseorang dimana
5 tahun yang lalu tempat tinggal sekarang propinsi tempat tinggal
berbeda dengan propinsi sekarang sama dengan
tempat tinggal 5 tahun yang tempat tinggal 5 tahun
lalu. Migran ini disebut yang lalu
migran risen (recent
migran)
Rencana tabel disesuaikan dengan Zachariah (1977)

Seperti telah disebutkan diatas kelemahan dari analisis migrasi semasa


hidup ialah tidak dapat diketahui kapan migran itu datang ke propinsi tujuan.
Sebagai contoh, seseorang lahir di Propinsi bali tinggal di D.I. Yogyakarta sejak
tahun 1955 hingga sekarang. Pada tahun 1961,1971,1980 dan 1990 d ia dicatat di
Yogyakarta sebagai migran semasa hidup. Jadi pada tahun 1990 ada empat migran
semasa hidup dari orang yang sama.
Dari hasil Sensus Penduduk 1971, penduduk migran semasa hidup di
Indonesia tercatat 5.843.173 jiwa, pada tahun 1980 naik 75,1 persen menjadi
10.230.789 jiwa, dan pada tahun 1990 naik 44,4 persen menjadi 14.779.303 jiwa
(Mantra et. el, 1993). Dari data ini dapat disimpulkan bahwa pada periode tahun
1971-1980 terjadi kenaikan arus migrasi penduduk yang tinggi.
Migran total adalah seseorang yang propinsi tempat tinggal terakhir berbeda
dengan propinsi tempat ia dicacah. Kelemahan pencatatan dari tipe migrasi
semasa hidup diatas tidak terjadi pada tipe migrasi total, sehingga hasil
pencacahan dari migrasi total akan menghasilkan jumlah migran masuk yang
lebih besar dari pada pencatatan berdasarkan migrasi semasa hidup. Selisih antara
keduanya akan menghasilkan jumlah migran kembali.
Jumlah migran total di Indonesia pada tahun 1971 sebesar 7.219.855 jiwa,
dan pada tahun 1980 meningkat menjadi 11.830174 jiwa, ini berarti selama 9
tahun terjadi kenaikan sebesar 58,5 persen. Pada tahun 1990 jumlah migran total
sebesar 17.830.555 jiwa, jadi selama periode waktu 1980-1990 terjadi kenaikan
sebesar 55,8 persen. Kalau dibandingkan dengan jumlah migran semasa hidup
selama tiga kali sensus penduduk, jumlah migran total lebih besar.
Migran risen adalah seseorang yang pindah ke propinsi tujuan pada periode
lima tahun terakhir atau dapat juga di katakan mereka yang tempat tinggal
sekarang, tidak sama dengan tempat tinggal l I ma tahun terakhir. Migran risen
akan memberi gambaran yang paling aktual tentang hal ikhwal migrasi penduduk.
Sehubungan dengan pertanyaan migrasi risen tidak ditanyakan pada sensus
penduduk 1971, analisis tentang migrasi risen hanya terbatas pada kondisi tahun
1981, 1985, 1990 dan 1995.
Dari data migrasi risen di Indonesia, juga menunjukkan adanya intensitas
gerak penduduk yang semakin tinggi, khususnya pada periode tahun 1975-1980
dan tahun 1985-1990. Pada periode tahun 1975-1980 jumlah migran risen sebesar
3.724.314 jiwa, pada periode tahun 1980-1985 menurun menjadi 2.790.038 jiwa,
dan pada periode tahun 1985-1990 meningkat menjadi 5.520.011 jiwa (Mantra et.
al, 1993).
11.4.2 Registrasi Penduduk
Seperti telah dibicarkana pada bab II, registrasi penduduk mencatat
kejadian-kejadian (events) kependudukan yang terjadi pada setiap saat, misalnya
kelahiran, kematian, mobilitas penduduk keluar, dan mobilitas penduduk masuk,
baik itu permanen maupun non permanen.
Diantara mobilitas penduduk permanen dan nonpermanen, catatan mobilitas
penduduk permanen lebih lengkap dibanding dengan mobilitas penduduk non
permanen. Orang-orang yang pindah domisili harus mempunyai surat pindah dari
daerah asal, selanjutnya disampaikan pada kantor kelurahan/desa dimana mereka
akan menetap.
Pada waktu situasi keamanan terganggu seperti pada peristiwa Gerakan Tiga
Puluh September PKI (G.30.S PKI) seseorang yang bepergian ke daerah lain,
melapor ke kantor kepala desa untuk mendapatkan surat jalan. Setelah keamanan
pulih kembali, penduduk yang bepergian ke daerah lain tidak lagi membutuhkan
surat jalan sehingga migran ke luar dan migran masuk ke suatu wilayah tidak lagi
dimonitor.
11.4.3 Survai Penduduk
Data mobilitas penduduk bisa juga didapatkan dari penelitian survei yang
dilaksanakan di suatu wilayah. Misalnya Survei Mobilitas tenaga kerja dari
Lombok menuju Malaysia, mobilitas sirkuler penduduk dari desa ke kota di
Kabupaten Bantul. Data mobilitas penduduk yang dihasilkan dari survei ini lebih
bervariasi dari pada data yang didapat dari sensus penduduk dan registrasi
penduduk.
Umumnya penelitian mobilitas penduduk yang dilaksanakan oleh instansi,
lembaga ter tentu, dan perseorangan berskala mikro. Umumnya yang diteliti
aspek-aspek ekonomi, proses, dan dampak mobilitas terhadap tingkat ekonomi
rumah tangga daerah asal.
Ada dua pendekatan dalam mendapatkan data tentang mobilitas penduduk
di suatu daerah, yaitu pendekatan retrospektif dan pendekatan prospektif.
Pendekatan retrospektif adalah menanyakan riwayat mobilitas penduduk yang
dilaksanakan oleh pelaku mobilitas yang telah kembali ke daerah asal. Sebagai
contoh penelitian mobilitas tenaga kerja Indonesia dari NTT, NTB, dan Pulau
Bawean ke Malaysia yang dikerjakan oleh PPK-UGM pada tahun 1997/1999.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi :
1. Karakteristik demografi dan sosial TKI ke Malaysia;
2. Faktor-faktor yang berpengaruh pada keputusan untuk melakukan mobilitas ke
Malaysia;
3. Cara-cara yang ditempuh pelaku mobilitas menuju Malaysia dan cara
memperoleh pekerjaan; dan
4. Dampak ekonomi dan non ekonomi terhadap daerah asal dari mobilitas TKI ke
Malaysia (Mantra, et. al, 1998).

Pendekatan prospektif, ialah pendekatan dengan memonitor dan perilaku


mobilitas dari migran potensial di daerah penelitian. Sebagai contoh pada tanggal
19 Mei 1975 hingga 31 Januari 1976 penulis memonitor mobilitas penduduk16
yang dilaksanakan oleh 244 migran potensial di Dukuh Piring Kabupaten Bantul.
Selama 8,5 bulan pengamatan, mereka melaksanakan mobilitas sebanyak 9.008
kali yang terdiri dari 8,575 mobilitas harian (ulang alik) dan 523 mobilitas dengan
jangka waktu lebih dari satu hari (mondok/nginap) (Tabel 11.4). lebih banyak

16
Seseorang dikatakan melakukan mobilitas penduduk apabila ia bergerak melewati bats dukuh
menuju dukuh lain, dan lama meninggalkan dukuh asal minimal 6 jam.
mobilitas ulang alik (harian) dibandingkan dengan yang mondok atau nginap di
daerah tujuan, sesuai dengan apa yang dibicarakan pada bab-bab sebelumnya.

Tabel 11.4
Frekuensi Mobilitas dan Lamanya Meninggalkan Dukuh Piring oleh 244 Migran
Potensial (19 Mei 1975 – 31 Januari 1976)
Laanya meninggalkan dukuh Piring Jumlah Persen
1. Kurang dari satu hari (minimum 6 jam 8.575 94,2
2. Satu hari < satu minggu 416 4,6
3. Satu minggu < satu bulan 89 1,0
4. Satu bulan < satu tahun 18 0,2
Jumlah 9.098 100,0
Sumber : Mantra (1981)
Bab XII
Mobilitas Penduduk:
Bentuk dan Perilaku Mobilitas

12.1 PENDAHULUAN
Dalam gambar 27 pada Bab XI dilukiskan tentang bentuk-bentuk mobilitas
penduduk.Dalam gambar, disebutkan ada dua bentuk mobilitas penduduk yaitu
mobilitas penduduk permanen (migrasi) dan mobilitas penduduk non permanen
(sirkulasi).Mobilitas penduduk itu dapat terjadi antar wilayah di suatu negara, dan
dapat pula terjadi antar negara, yang sering disebut dengan mobilitas penduduk
internasional.
Pada Bab 12 akan diuraikan bentuk dan perilaku mobilitas penduduk baik
nasional maupun internasional. Pertama-tama akan diuraikan mobilitas penduduk
non permanen, di susul dengan mobilitas penduduk permanen.

12.2 MOBILITAS PENDUDUK NONPERMANEN (SIRKULER)


12.2.1 Pengertian dan Ruang Lingkup
Mobilitas penduduk sirkuler atau mobilitas penduduk non permanen adalah
gerak penduduk dari suatu wilayah menuju ke wilayah lain dengan tidak ada
niatan menetap di daerah tujuan. Selinsky (1871) mendefinisikan mobilitas
sirkuler sebagai berikut.

…a great variety of movement, usually short term, repetitive, or cyclical in


nature, but all having in common the lack of any declared intention of a
permanent or long lasting change or residence.

Sebagai contoh, di Indonesia (menurut batasan sensus penduduk) mobilitas


penduduk sirkuler dapat didefinisikan sebagai gerak penduduk yang melintas
batas propinsi menuju ke propinsi lain dalam rangka waktu kurang dari enam
bulan. Hal ini sesuai dengan paradigma geografi yang didasarkan atas konsep
ruang (space) dan waktu (time).
Data mobilitas penduduk sirkuler sulit didapat. Hal ini disebabkan para
pelaku mobilitas sirkuler tidak memberitahu kepergian mereka kepada kantor desa
atau kantor kelurahan di daerah asal, begitu juga dengan kedatangan mereka di
daerah tujuan. Meskipun demikian, dengan segala keterbatasan data, mobilitas
penduduk Indonesia, baik permanen maupun nonpermanen (sirkuler), diduga
frekuensinyaakan terus meningkat dan semakin lama semakin cepat. Menurut
Ananta (1995), suatu revolusi mobilitas tampaknya juga telah terjadi di Indonesia.
Hal ini dipengaruhi oleh tersedianya prasarana transport dan komunikasi yang
memadai dan modern.

12.2.2 Peningkatan Prasarana Transport dan Komunikasi


Di Indonesia prasarana transport baik darat, laut, maupun udara telah
dibangun dengan baik. Di darat, jalan-jalan yang menghubungkan wilayah satu
dengan yang lain telah dan sedang dibangun (bagi yang belum ada) dan bagi yang
sudah ada ditingkatankualitasnya. Pembangunan jalan lintas Sumatera, lintas
Sulawesi, lintas Kalimantan, telah lama dimulai sehingga nantinya orang dari
Larantuka (Flores Timur) angin ke Aceh dapat menggunakan kendaraan bus tanpa
berganti kendaraan di perjalanan. Jumlah kendaraan umum yang menghubungkan
wilayah yang satu dengan yang lain makin meningkat. Mereka tidak hanya
menghubungkan antar kota tetapi juga kota dengan desa dan antar desa. Hal ini
menyebabkan hampir tidak ada tempat di Indonesia (terutama di Jawa dan Bali)
yang terisolasi. Hubungan desa dengan kota semakin erat sehingga dikotomi desa-
kota dalam bidang ekonomi dan sosial semakin menipis.
Hubungan antar wilayah melewati laut juga mengalami peningkatan
pesat.Jumlah kapal-kapal besar yang menghubungkan pulau-pulau di Nusantara
ini makin bertambah.Penyebrangan antar pulau, misalnya Merak-Bakauhuni,
Ketapang-Gilimanuk, Padangbai-lembar (Lombok) dilayani oleh kapal
feri.Beberapa jembatan penyeberangan terbuka 24 jam.
Prasarana transport udara juga tidak kalah maju dengan yang lain. Garuda
dan Merpati Nusantara didampingi oleh beberapa perusahaan penerbangan swasta
dengan pesawat jet terbaru siap menjadi jembatan udara antar wilayah di
Indonesia, begitu pula dengan kota-kota di luar negeri.
Kebijakan yang demikian ini disamping memperkecil rintangan antara juga
telah mendorong pertumbuhan pusat-pusat kegiatan di kota, terutama di kota-kota
sedang dan kecil, dan membuat pola arus penumpang dan barang berubah menjadi
lebih menyebar. Kota-kota sedang dan kecil tersebut lama kelamaan menjadi
semakin menarik sehingga mendorong terjadinya migrasi sirkuler dan
memungkinkan meningkatknya urbanisasi.
Khusus kebijakan di bidang transportasi darat di Jawa, terutama yang
menghubungkan desa dengan kota, sejak tahun 1970 diadakan perbaikan dan
penambahan. Jalan-jalan diperlebar dan diperkeras dengan aspal.Peningkatan
prasarana jalan diikuti pula oleh pengadaan kendaraan umum yang mengikuti
rute-rute terpencil. Kendaraan umum dari jepang buatan pabrik mitsubishi (di
Indonesia di kenal dengan nama colt) memadati rute-rute yang menghubungkan
desa dengan kota dan desa dengan desa sehingga frekuensi mobilitas orang,
barang dan remitan antara daerah satu dengan daerah lain meningkat. Pada tahun
1970-an revolusi transportasi ini di kenal dengan sebutan “revolusi colt”.
Di bidang komunikasi, di samping peningkatan penyiaran melalui radio dan
TV, juga dibangun jaring-jaring telepon untuk komunikasi domestik dan
internasional. Diluncurkan nya satelit komunikasi mengakibatkan daerah-daerah
terpencil [un bisa dijangkau oleh hubungan telepon dan oleh sarana yang lain.
Begitu pula halnya dengan hubungan internasional (mantra, 1995b).kemajuan di
bidang internet menyebabkan setiap saat kita berhubungan dengan luar negeri.
Sama seperti keadaan migrasi regional, dengan adanya peningkatan sarana
transportasi dan komunikasi, maka jangkauan mobilitas nonpermanen semakin
jauh dan waktu tempuh semakin singkat.Si samping itu, konsumen, produsen, dan
pekerja menjadi semakin mobil. Tenaga kerja akan mencari pekerjaan di wilayah
manapun selama di wilayah tersebut dia mendapatkan upah (penghasilan) yang
lebih tinggi (ananta, 1995).
Di muka telah dibicarakan bahwa di Indonesia frekuensi mobilitas sirkuler
jauh lebih tinggi dibandingkan dengan mobilitas penduduk permanen. Pada
umumnya frekuensi mobilitas sirkuler dari desa ke kota sangat tinggi karena
tersedianya pasaran kerja di kota, terutama di bidang non pertanian. Sebelum
diuraikan mobilitas penduduk sirkuler antara desa dan kota, terlebih dahulu akan
dibicarakan perbedaan kesempatan kerja di desa dan di kota.

12.2.3 Mobilitas Penduduk dari Desa ke Kota


Adanya perbedaan yang berarti antara desa dan kota dari segi ekonomi dan
kesempatan kerja, seperti disebutkan di atas, menyebabkan adanya mobilitas
penduduk dari desa ke kota. Makin tinggi perbedaan tersebut, makin banyak
penduduk yang melaksanakan mobilitas.Alasan utama mereka melaksanakan
mobilitas ialah alasan ekonomi.
Dari hasil penelitian terhadap 431 migran sirkuler di Kota Yogyakarta, 400
migran sirkuler di Kota Bandung, dan 401 migran sirkuler di Kota Samarinda
tampak bahwa alasan ekonomi sangat dominan baik di Yogyakarta, Bandung
maupun di Samarinda, masing-masing besarnya 79,9 persen, 71,7 persen, dan
66,1 persen. Di antara alasan ekonomi ini, sempitnya lahan pertanian di desa
menduduki alasan utama. Dari ketiga daerah pertanian didapatkan bahwa alasan
ingin mencari pengalaman di kota cukup besar. Hal ini diduga ada kaitannya
dengan sikap migran kelompok usia muda yang lari dari sektor pertanian untuk
mencari pengalaman di kota (Tabel 12.1)

Tabel 12.1
Alasan Utama Yang Mendorong Migran ke Kota-kota Yogyakarta, Bandung, dan
Samarinda 1986 (persen)
Alasan Utama Yogyakarta Bandung Samarinda
Ekonomi
- Tak punya lahan pertanian 2.3 4.5 10.2
- Lahan pertanian sempit 45.7 39.0 21.7
- Kurang pekerjaan di luar
pertanian 23.9 24.0 16.2
- Ingin membantu orang tua 8.8 4.2 18.0
Sosial
- Konflik dengan keluarga atau
masyarakat 2.6 1.1 3.0
kejiwaan
- Ingin mencari pengalaman 16.7 27.2 30.7
100 100 100
Jumlah
N=431 N=400 N=401
Sumber: Mantra et.al (1988)

Faktor daya dorong seperti yang diuraikan di atas pada umumnya relevan
dengan daya tarik. Kalau masalah ekonomi merupakan daya dorong yang besar
untuk meninggalkan desa (daya sentrifugal), mereka pun juga tertarik pada
harapan kesempatan ekonomi di kota yaitu harapan mendapatkan pekerjaan dan
pendapatan yang lebih besar (Tabel 12.2)

Tabel 12.2
Alasan Terpenting Migran Tertarik Bekerja di Kota-Kota Yogyakarta, Bandung
dan Samarinda 1986 (Persen)
Alasan Utama Yogyakarta Bandung Samarinda
Ekonomi
- Ingin mendapatkan hasil yang
lebih baik 51.0 41.5 23.9
- Di kota banyak pekerjaan 33.4 31.8 32.2
Alasan lain
- Dapat menambah pengalaman 14.4 21.3 22.9
- Di kota banyak hiburan 0.5 3.0 8.0
- Lainnya 1.2 2.4 13.0
100 100 100
Jumlah
N=431 N=400 N=401
Sumber: Mantra, et.al (1988)
Di dalam pendahuluan telah dibicarakan bahwa ada tiga bentuk mobilitas
penduduk, yaitu ulang alik (Jawa=nglaju, Inggris = Communiting), mondok atau
menginap di daerah tujuan, dan menetap di daerah tujuan atau migrasi
(migration). Hasil penelitian penulis di Dukuh Kadirojo dan Piring yang
memonitor mobilitas terhadap 196 responden di Kadirojo dan 244 responden di
Piring selama 8 bulan (19 Mei 1975 hingga 31 Januari 1976) mendapatkan bahwa
yang paling banyak di lakukan adalah mobilitas ulang-alik dibandingkan dengan
menginap/mondok dan migrasi. Kalau digabung antara mobilitas ulang alik dan
menginap/mondok, frekuensi mobilitas sirkuler ini menduduki lebih dari 90
persen dari seluruh mobilitas.

12.2.4 Dampak Mobilitas Sirkuler Terhadap Pembangunan Daerah Asal


Migran sirkuler yang banyak terjadi di Indonesia dan Negara-negara
berkembang lainnya secara resmi masih tercatat sebagai penduduk daerah asal.Hal
ini menyebabkan hubungan mereka dengan kampung halaman lebih intensif kalau
dibandingkan dengan migran permanen. Tujuan utama migran ke kota adalah
bekerja agar mendapatkan penghasilan untuk dibawahpulang(remitan).
Remitanmerupakan sarana hubungan yang penting.
Migran sirkuler berperilaku seperti semut.Apabila semut menemukan
makanan di suatu tempat, makanan itu tidak di makan di tempat itu, tetapi dibawa
bersama teman-teman ke sarangnya. Migran sirkuler, terutama migran ulang-alik,
akan berusaha membawa sebanyak-banyaknya pendapatan yang didapat dari
daerah tujuan akan berusaha untuk menggunakan sedikit mungkin pendapatan di
daerah tujuan. Sebagai contoh, tukang becak di Yogyakarta yang berasal dari
Klaten, pada waktu malah hari tidur di becaknya untuk menghindari pengeluaran
menyewa pondokan.Buruh-buruh bangunan yang berasal dari Jawa Timur yang
bekerja di proyek pariwisata di kawasan Nusa Dua Bali tinggal di Bedeng-bedeng
yang kumuh untuk mengurangi pengeluaran biaya pondokan.
Migran sirkuler dan anggota rumah tangga mereka di desa merupakan satu
kesatuan ekonomi.Oleh karena itu, remitan juga merupakan bagian dari kehidupan
ekonomi rumah tangga migran di desa.Remitan dalam bentuk uang besarnya
sangat bervariasi, begitu pula yang berbentuk barang.
Besarnya remitan yang dikirim ke daerah asal menurut Stahl (1989)
bergantung kepada pendapatan migran, porsi pendapatan yang dikirim dan
banyaknya penduduk yang meninggal daerahnya. Yang terakhir ini selain
berkorelasi positif dengan remitan juga menurut Standing (1981) berkorelasi
positif dengan tingkat kemiskinan suatu daerah. Artinya, semakin miskin suatu
daerah, semakin banyak penduduk yang meninggalkan daerahnya dan semakin
besar pula remitan yang dikirim ke daerah tersebut.
Secara mikro juga diketahui bahwa besarnya remitan yang dikirim ke daerah
asal juga berkaitan dengan lama migran menetap di darah tujuan. Dalam bulan-
bulan pertama biasanya belum ada remitan, tetapi apabila telah didapat
penghasilan, segera akan dikirim remitan ditujukan kepada orang tua yang berarti
bahwa ia telah berhasil di kota.
Kiriman kepada orang tua makin lama makin banyak jumlahnya seirama
dengan bertambahnya pendapatan migran.Makin mapan seseorang di rantau,
makin besar dan makin sering seseorang mengirim uang ke kampung
halaman.Naim (1979) menulis “the more stable one becomes in rantau, the more
frequent one sends money home”.
Menurut Sunarto HS (1995) meneliti remitan dituntut sikap hati-hati karena
mencari informasi tentang uang sering memperoleh jawaban yang tidak wajar. Di
samping itu, remitan bersifat tidak teratur, banyak media yang digunakan, banyak
pula famili yang memperoleh, apalagi barang yang diberikan untuk dikirim sangat
beraneka ragam mulai dari kaos kaki, alat dapur, alat sekolah, barang kosmetika,
sampai alat transportasi.
Besarnya remitan kalau dihitung dari waktu pengiriman sepanjang tahun
sangat bervariasi.Sebagai contoh, di Gunung Kidul (Yogyakarta) puncak remitan
adalah Idul Fitri dan paling rendah saat panen rendengan sekitar Maret-April
setiap tahun. Pengiriman uang baik lewat bank maupun kantor pos, mulai naik
pada awal bulan puasa dan mencapai puncaknya pada beberapa hari menjelang
lebaran. Pada saat ini volume peredaran uang di daerah asal migran naik dengan
pesat dan mencapai puncaknya pada Idul Fitri saat para migran mudik (Sunarto
HS, 1995).
Sebagai gambaran kasar, di Kabupaten Gunung Kidul tiap Idul Fitri
diperkirakan sejumlah 100.000 orang yang mudik. Kalau masing-masing
membawa uang Rp.200.000,- berarti bahwa ada Rp. 20 miliar uang masuk ke
Gunung Kidul. Selain itu, menurut penelitian sunarto HS (1995) pada tahun 1990,
rata-rata tiap 8 keluarga ada seseorang yang beboro dari Gunung Kidul tidak
kurang dari 17.400 orang. Hasil penelitian itu juga menunjukkan bahwa rata-rata
remitan mereka sebesar Rp.40.500 perbulan atau Rp. 486.000,00 per tahun. Hal
ini berarti bahwa uang masuk ke Gunung Kidul dari para pelaku beboro sekitar
Rp. 8,5 miliar. Menurut catatan Bappeda kabupaten Gunung Kidul, wesel yang
masuk dari luar daerah tahun 1994 sebesar Rp. 2,2 miliar. Nilai transfer yang
bersih (uang masuk dikurangi uang keluar) sebesar Rp. 12.4 miliar pada tahun
yang sama. Kalau setengah dari nilai transfer ini berasal dari migran, berarti
tercatat sebesar 6.2 miliar. Hal ini berarti bahwa jumlah uang masuk ke Gunung
Kidul dari pemudik, pelaku beboro transfer, dan wesel akan mencapai lebih dari
Rp. 35 miliar per tahun. Jumlah ini tentu amat besar bagi daerah Gunung Kidul
yang dikenal miskin.Jumlah ini belum termasuk remtan dari para penglaju,
kiriman melalui kawan yang pulang, dan remitan berupa barang dan uang yang
dibawa migran pada waktu berkunjung secara insidental. APBD tahun 1994/1995
di targetkan hanya sebesar Rp.19.6 miliar, hal ini berarti bahwa remitan ke
Gunung Kidul sebesar hampir dua kali lipat dari target APBD. Dengan demikian,
jelaskan bahwa ketiga pelaku mobilitas, mempunyai dampak positif yaitu
memperbesar volume peredaran uang didaerah asal pada sepanjang tahun.Remitan
ibarat air yang mengalir membasahi tanah yang tandus sepanjang masa dan tidak
pernah kering (Sunarto HS, 1995).
Migran sirkuler yang mondok di daerah tujuan tetap mengadakan kontak
dengan masyarakat daerah asal, baik melalui kunjungan-kunjungan rutin maupun
melalui kunjungan pada peristiwa-peristiwa penting, seperti kelahiran, kematian,
dan perkawinan. Di samping itu, kontak antara para migran dengan orang dari
daerah asal dilakukan pula pada hari-hari besar atau pada waktu migran terdahulu
dikunjungi di kota.

12.3 MOBILITAS PENDUDUK PERMANEN (MIGRASI)


12.3.1 Migrasi Penduduk dari Hasil Sensus Penduduk
Seperti telah dibicarakan pada Bab XI, pada sensus sampel ditanyakan
empat pertanyaan yang berhubungan dengan mobilitas penduduk, yaitu:
1. Propinsi tempat lahir
2. Lamanya tinggal di propinsi ini
3. Propinsi tempat tinggal terakhir sebelum tinggal di propinsi ini
4. Propinsi tempat tinggal 5 tahun yang lalu

Sehubungan dengan terbatasnya tempat maka hanya akan diulas data dari
pertanyaan ke empat yang menghasilkan migran risen (ricent migrant). Migrasi
risen adalah migrasi yang terjadi 5 tahun terakhir, misalnya antara tahun 1975-
1980 dan antara tahun 1985-1990. Keuntungan menggunakan jenis migrasi ini
ialah dapat memperbandingkan jumlah migran masuk atau migran keluar dari
suatu propinsi pada dua periode lima tahun sehingga diketahui apakah terjadi
peningkatan atau penurunan arus migrasi untuk propinsi yang bersangkutan.
Migran risen di Indonesia pada tahun 1971, 1980, dan 1990 dapat dilihat dalam
tabel 12.3 di bawah ini.
Dari tabel 12.3 terlihat bahwa jumlah migran masuk (umur 10 tahun ke atas)
untuk propinsi-propinsi antara tahun 1971-1990 meningkat dengan cepat. Pada
tahun 1971 jumlahnya sebanyak 1.713.500 orang pada tahun 1980 berjumlah
2.961.500 orang, dan pada tahun 1990 menjadi 4.919.400 orang (Gambar 31 dan
Gambar 32).
Satatus migrasi penduduk di berbagai propinsi dapat dengan jelas
menggambarkan apakah daerah tersebut mempunyai kelebihan-kelebihan tertentu
sehingga digandrungi oleh penduduk daerah lain untuk dimasuki sebagai tempat
tinggal yang baru. Propinsi yang mempunyai proporsi penduduk migran yang
besar sudah tentu karena memiliki kelebihan di bidang kehidupan sosial-ekonomi-
prolitik tertentu yang mendorong orang dari daerah lain untuk memasuki (Mantra
et.al, 1993).

Tabel 12.3
Jumlah Migran Risen Umur 10 Tahun ke Atas yang Masuk ke Masing-masing
Propinsi di Indonesia 1971, 1980, dan 1990 (dalam ribuan)
Propinsi 1971 1980 1990
Daerah Istimewa Aceh 21.2 41.8 53.6
Sumatera Utara 29.9 66.5 104.1
Sumatera Barat 85.2 69.2 122.0
Riau 61.5 92.8 224.8
Jambi 42.4 93.6 124.8
Sumatera Selatan 74.8 163.7 192.9
Bengkulu 14.0 49.3 74.0
Lampung 164.7 395.3 201.6
DKI Jakarta 488.4 699.9 794.0
Jawa Barat 179.3 389.0 1262.7
Jawa Tengah 168.8 129.3 365.5
Daerah Istimewa Yogyakarta 53.2 88.9 150.8
Jawa Timur 98.2 145.3 309.7
Bali 12.0 32.7 63.9
Nusa Tenggara Barat 8.4 19.9 36.3
Nusa Tenggara Timur 5.1 16.7 24.7
Kalimantan Barat 6.4 29.3 40.9
Kalimantan Tengah 11.8 38.6 73.4
Kalimantan Selatan 25.4 46.4 93.6
Kalimantan Timur 10.1 99.0 173.2
Sulawesi Utara 23.9 34.3 36.4
Sulawesi Tengah 13.7 59.8 63.5
Sulawesi Selatan 43.5 62.8 109.4
Sulawesi Tenggara 13.8 36.0 65.7
Maluku 9.7 33.4 66.7
Irian Jaya 18.1 28.0 66.5
Timor Timur - - 24.77
Indonesia Jumlah 1713.5 2961.5 4919.4
Persen2 2.1 2.8 3.7
Sumber: Urip (1995)
1. Untuk daerah perkotaan
2. Persentase berdasarkan jumlah penduduk Indonesia umur 10 Tahun ke atas

Dengan mengamati Tabel 12.3 terlihat bahwa hampir di seluruh propinsi


terjadi kenaikan jumlah migrasi masuk.Propinsi-propinsi di Jawa mengalami
kenaikan jumlah migran masuk lebih tinggi dibandingkan dengan propinsi-
propinsi di luar Jawa. Di Pulau Jawa, Propinsi Jawa Barat mengalami kenaikan
jumlah migran masuk tertinggi. Pada tahun 1971 jumlah migran masuk risen
sebanyak 179.300 orang, pada tahun 1990 meningkat menjadi 2.262.700 orang.
Seperti telah disebutkan di atas, perbedaan peningkatan jumlah migran risen
masuk antara propinsi satu dengan yang lain tidak sama karena adanya perbedaan
peluang kerja di antara propinsi tersebut. Seperti telah diketahui pada awal-awal
Pembangunan industri terpusat di Jakarta dan di Propinsi Jawa Barat (Urip, 1995).
Hal ini menyebabkan perkembangan ekonomi di Jakarta dan Propinsi-propinsi
lain. Begitu pesatnya pembangunan ekonomi di Jakarta, akhirnya aktivitas
tersebut meluber ke daerah-daerah di luar Jakarta. Daerah-daerah yang terkena
luberan perluasan industri Jakarta adalah Bogor, Tangerang dan Bekasi (Botabek)
merupakan pemusatan wilayah industri yang mampu menyerap banyak tenaga
kerja dari propinsi lain. Inilah penyebab migran masuk menuju DKI Jakarta dan
Jawa Barat berjumlah besar.Soegijoko dan Bulkin (1994) memperkirakan bahwa
hampir 50 persen dari pasaran kerja akibat penanaman modal domestik dan asing
terletak di wilayah Jabotabek.
Di samping perluasan penanaman modal dan industri di wilayah Botabek,
faktor-faktor lain yang menyebabkan meningkatnya migran masuk ke Propinsi
Jawa Barat terutama yang berasal dari DKI Jakarta adalah sebagai
berikut.Tingginya harga tanah dan sewa rumah di Jakarta menyebabkan banyak
orang membeli atau membangun rumah di daerah Bekasi, Bogor dan
Tangerang.Pada waktu hari kerja mereka melakukan mobilitas ulang alik ke
Jakarta. Hal ini dapat dilaksanakan dengan baik karena prasarana transport yang
menghubungkan Botabek dengan Jakarta sangat baik. Bagi golongan menengah
ke atas, pembangunan real estate memungkinkan bertempat tinggal di daerah
yang udaranya lebih nyaman dan lingkungannya lebih bersih (Dharmapatni dan
Firman, 1992).
Propinsi-propinsi lain di luar Jawa yang mengalami peningkatan migrasi
masuk adalah Riau, Jambi, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan.
Pembangunan ekonomi di propinsi-propinsi yang lain. Sebagai contoh, di propinsi
Kalimantan Timur pembangunan ekonomi berkembang dengan pesat terutama
dalam pertambangan minyak dan industri kayu. Banyak tenaga kerja migran yang
berasal dari Sulawesi dari berbagai daerah lain. Di samping peningkatan
pembangunan ekonomi yang menyerap migran tenaga kerja, penyebabnya adalah
propinsi-propinsi tersebut di atas mempunyai peran yang cukup besar sebagai
daerah permukiman transmigrasi, khususnya sejak pemerintahan Orde Baru.

Gambar 33
Jumlah Migran Risen 10 Tahun ke atas Antar Propinsi di Indonesia Tahun 1985
Gambar 34
Jumlah Migran Risen 10 Tahun ke atas Antar Propinsi di Indonesia Tahun 1990

Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa migrasi penduduk antar


propinsi di Indonesia semakin meningkat sejalan dengan intensitas pembangunan
yang semakin tinggi dan daerah tujuan migrasi melebar terutama ke wilayah-
wilayah Indonesia bagian timur. Penelitian Mantra dan Harahap (1993) mengenai
arah arus migrasi penduduk berdasar data Sensus Penduduk Indonesia tahun 1990
mendapatkan bahwa terjadi pergeseran arah arus migrasi penduduk selama
periode 1980-1990. Pada tahun 1980 arah migrasi penduduk didominasi oleh arus
migrasi penduduk dari Jawa ke Sumatera, tetapi pada tahun 1990 arus migrasi
penduduk yang menuju ke wilayah Indonesia bagian timur semakin meningkat.
Menurut Ananta (1995), dengan peningkatan sarana transportasi dan komunikasi,
penduduk akan semakin mobil. Revolusi informasi dan globalisasi yang kini
sedang melanda dunia akan mempercepat terjadinya transisi mobilitas penduduk,
yaitu suatu proses perubahan pola dan angka mobilitas penduduk nonpermanen
lagi.
Selanjutnya Ananta (1995) menyatakan bahwa revolusi mobilitas
menyebabkan “pasar” tidak lagi menghadapi kendala geografis.Paling tidak,
jangkauan pasar menjadi jauh lebih luas.

12.3.2 Transmigrasi
Pada bagian-bagian terhadulu telah dibicarakan mengenai ketimpangan
persebaran penduduk di Indonesia. Pulau Jawa yang luasnya 6.9 persen dari luas
seluruh daratan Indonesia pada tahun 1980 memberikan tempat tinggal lebih dari
60 persen penduduk Indonesia. Keadaan ini bukan merupakan hal yang baru di
Indonesia tetapi sudah terdapat sejak beberapa puluh tahun yang lalu.Dalam tahun
1930 persentase penduduk yang tinggal di Pulau Jawa sebesar 68.7 persen.
Persentase ini turun menjadi 65.0 persen dalam tahun 1961, kemudian menjadi
63.8 persen pada tahun 1971, dan pada tahun 1980 besarnya 61.9 persen (Biro
Pusat Statistik, 1981).
Penyebaran penduduk yang tidak merata ini menyebabkan beberapa
masalah, diantaranya terjadi kelebihan penduduk di Jawa yang terwujud dalam
sulitnya mendapatkan pasaran kerja, pendapatan penduduk yang rendah , dan
angka pengangguran meningkat. Di luar pulau Jawa sendiri banyak sumber daya
alam yang belum sempat dijamah oleh manusia. Memperhatikan hal tersebut di
atas karl J. Pelzer (1945) mengusulkan pemecahan masalah penduduk ini dengan
memindahkan penduduk dari Jawa menuju ke luar Jawa.
Gejala kelebihan penduduk di Pulau Jawa dan kekurangan penduduk di luar
pulau Jawa telah disadari oleh pemerintah
Belanda.menurutSoedigdoHarjosoedarmo (1965) kesadaran Pemerintah Belanda
tersebut dipengaruhi oleh lima hal. Pertama, sistem tanaman paksa yang
diterapkan oleh pemerintah Belanda di Jawa pada abad yang lalu menyebarkan
kemelaratan bagi rakyat di pulau ini. Kedua, sukses ekonomi yang dicapai kaum
liberal di negeri Belanda terasa pula pengaruhnay di Indonesia.Mereka membuka
perkebunan-perkebunan di luar pulau jawa, di daerah-daerah yang penduduknya
masih jarang.Ketiga, pertambahan penduduk yang cepat di pulau jawa
menyebabkan pemilikan lahan per keluarga menjadi semakin sempit, dan taraf
hidup penduduknya semakin menurun.Keempat, pada tahun 1899, c. Th. Van
Deventer melancarkan kritik terhadap kebijaksanaan Pemerintah yang diwujudkan
dalam sebuah tulisan “A Debt of Honor”.Akibat dari kritik ini pemerintah
melaksanakan politik etika (etische politik) pada tahun 1900. Politik etika ini
bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup penduduk di pulau jawa melalui tiga
cara: kolonisasi, irigasi, dan edukasi. Kelima, pertumbuhan penduduk yang cepat
di jawa sebagian besar pergi ke daerah pegunungan, menebang hutan dengan
tujuan memperluas daerah pertanian, sehingga mengganggu kelestarian
lingkungan (Oey, 1980).
Sebagai realisasi dari politik etika ini, pada tahun 1905 di pindahkan 155
keluarga di lampung.Di daerah ini desa-desa kolonisasi didirikan, dan tiap-tiap
tahun ke daerah ini dikirim kolonis-kolonis dari Pulau Jawa.Akhir tahun 1921
jumlah kolonis di Gedong Tataan mencapai 19.572 orang (AmralSjamsu, 1960).
Pada tahun 1922 sebuah permukiman yang lebih besar yang diberi nama
Wonosobo didirikan di dekat Kota Agung di Lampung Selatan. Di samping itu
didirikan pula beberapa permukiman besar dekat sukadana di Lampung Tengah,
sedangkan permukiman-permukiman yang lebih kecil didirikan di Sumatera
Selatan, Bengkulu, Kalimantan dan Sulawesi. Pada akhir tahun 1941 telah ada
173.959 orang yang tinggal dalam proyek-proyek kolonisasi di Lampung
(termasuk orang yang dilahirkan di desa-desa baru ini), dan telah ada lebih dari
56.000 orang di proyek kolonisasi didaerah lain (Pelzer, 1946).
Setelah perang dunia Ke II usaha pemindahan penduduk oleh pemerintah
Republik Indonesia dimulai dengan mendirikan Jawatan Transmigrasi17 dalam
tahun 1947 yang merupakan bagian dari kementerian sosial, kemudian menjadi
bagian kementerian pembangunan dan pemuda pada tahun 1948, kemudian
dipindahkan dalam kementerian Dalam Negeri. Baru setelah terbentuk Negara
kesatuan dalam tahun 1950 Jawatan Transmigrasi yang merupakan bagian dari
Kementrian sosial mulai dengan memindahkan penduduk dari Jawa ke luar Jawa.
Adapun tujuan dari program transmigrasi adalah:

17
Istilah “transmigrasi” di Indonesia secara resmi baru digunakan pada tahun 1946
(SiswonoYudohusodo 1998)
“…mempertinggi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat dengan jalan
mengadakan pemindahan penduduk dari suatu daerah (tempat) ke daerah
(tempat) lainnya, yang ditujukan ke arah pembangunan perekonomian
dalam segala lapangan …” (Keyfitz, et.al, 1964).
Jadi transmigrasi merupakan salah satu usaha untuk mengatasi kemiskinan di
Jawa.Tujuan transmigrasi seperti di atas berlaku hingga tahun 1960-an (Oey,
1980).
Pemerintah mengharapkan bahwa di masa mendatang proses perpindahan
penduduk dari satu wilayah ke wilayah lain dapat terjadi dengan sendirinya tanpa
ada bantuan dari pemerintah atau pihak lain penyelenggaraan transmigrasi harus
lebih mengutamakan swadaya masyarakat. Sejak Pelita III dan IV dari seluruh
transmigran yang dikirim, prosentase jumlah transmigran swakarsa meningkat,
sedangkan transmigrasi umum menurun.Sebagai contoh pada Pelita V
transmigrasi yang direncanakan untuk dipindahkan sebesar 550.000 KK, dari
jumlah ini sebesar 76.27 persen adalah transmigran swakarsa (Mantra, 1989).
Program redistribusi penduduk melalui kolonisasi dan transmigrasi hingga
tahun 2000 telah berusia 95 tahun, ini berarti bahwa program ini sangat penting
dan merupakan program yang sudah dapat diterima oleh masyarakat. Penduduk
yang mendaftarkan untuk mengikuti program transmigrasi cukup banyak, bahkan
melebihi kesanggupan pemerintah untuk melaksanakannya.
Program pemindahan penduduk dari Jawa ke luar Jawa dapat dibagi menjadi
dua tahap yaitu: tahap sebelum kemerdekaan dan tahap sesudah kemerdekaan.
Sesudah kemerdekaan program ini dibagi lagi menjadi dua yaitu tahap pra pelita
dan tahap pelita.Jumlah transmigran yang dapat dipindahkan hingga 21 Oktober
1985 sebesar 3.652.934 jiwa (Tabel 12.4).Dari sejumlah ini lebih dari dua pertiga
dipindahkan pada pelita III (tahun 1979-1984) dengan memindahkan sebesar
1.256.030 jiwa transmigran (Tabel 12.4).
Tabel 12.4
Jumlah Kolonis dan Transmigran yang Dipindahkan Tahun 1905 hingga 1986
Jumlah Jiwa yang
Periode Tahun Persen
dipindahkan
1905-1941 257.313 7.0
1950-1960 238.279 6.5
1961-1968 162.777 4.5
1968-1974 (pelita I) 210.600 5.8
1974-1979 (pelita II) 364.164 10.0
1979-1984 (pelita III) 1.256.030 34.4
1984-1986* 1.163.771 31.8
* terhitung sampai 21 Oktober 1986
Sumber: Sri Edi Swasono, 1985.

Jumlah penduduk jawa yang mampu ditransmigrasikan sangat kecil bila


dibandingkan dengan pertumbuhan penduduknya.Sebagai misal jumlah penduduk
Pulau Jawa tahun 1905 sebesar 29.924.000 jiwa (Bremen, 1971), dan pada tahun
1940 jumlahnya meningkat menjadi 49.024.000 jiwa (Widjojo, 1970). Jadi selama
35 tahun terjadi pertambahan penduduk yang mampu dipindahkan hanya sebesar
257.313 orang (1,3 persen dari jumlah pertumbuhan penduduk). Untuk periode
tahun 1961-1985, persentase penduduk yang dapat dipindahkan dari Pulau Jawa
dan Bali meningkat menjadi 8.2 persen dari jumlah pertumbuhan penduduk di
kedua pulau tersebut. Jadi walau terjadi peningkatan, tetapi persentase tetap
kecil.Seperti telah disebutkan bahwa, peningkatan persentase ini disebabkan oleh
meningkatnya pengiriman transmigrasi pada Pelita III.
Memperhatikan hal tersebut di atas dapat di simpulkan bahwa dari segi
demografis jumlah transmigran yang di pindahkan tidak banyak berarti bagi
daerah pengirim. Paradigma lama yang menyatakan bahwa program transmigrasi
akan dapat mengurangi tekanan dan kepadatan penduduk di pulau Jawa dan
Madura ternyata tidak berlaku.
Kalau dari daerah pengirim, terutama pulau Jawa, jumlah transmigran yang
mampu dipindahkan tidak begitu berarti dibandingkan dengan jumlah
pertumbuhannya, bagaimana keadaan di daerah penerima? Bank dunia dalam
laporannya yang berjudul “Indonesia, the trans migration program in
perspective” memuat data tentang transmigran umum di masing-masing propinsi
penerima pada periode tahun 1971-1980 dan tahun 1980-1985 seperti terlihat pada
tabel 12.5.
Dari tabel 12.5 terlihat bahwa pada periode tahun 1971-1980, sekitar 65
persen transmigran umum menuju ke Sumatera Selatan dan Lampung. Pada
periode tersebut memang Sumatera merupakan daerah tujuan utama bagi
pengiriman transmigran. Hal ini di sebabkan karena beberapa faktor, yaitu: dekat
dengan daerah pengirim utama (pulau jawa), daya t6ampuyng luas, dan prasarana
transport yang baik. Pada periode tersebut sebesar 32.2 persen dikirim ke
Sulawesi (terutama Kalimantan selatan dan Kalimantan Timur). Untuk propinsi
Maluku dan Irian Jaya persentasenya sangat kecil yaitu masing-masing hanya
0.005 dan 1.4 persen.
Sesudah tahun 1980-an pengiriman transmigrasi umum terutama diarahkan
ke Indonesia bagian timur. Propinsi-propinsi yang dijadikan daerah permukiman
transmigrasi dewasa ini adalah: Daerah Istimewa Aceh, Sumatera Utara, Sumatera
Barat, Riau, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan
Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Maluku Dan Irian Jaya. Sehubungan
dengan hal tersebut di atas pada periode tahun 1980-1985, persentase transmigran
yang menuju ke Sumatera menurun, sedangkan yang menuju ke Kalimantan ,
Maluku, dan Irian Jaya meningkat.
Tabel 12.5 juga memuat persentase transmigran berdasarkan jumlah
penduduk dari masing-masing propinsi penerima. Pada tahun 1980 jumlah
transmigran di masing-masing propinsi penerima sangat rendah, umumnya kurang
dari 4 persen kecuali propinsi jambi dan Bengkulu yang besarnya masing-masing
7 dan 5 persen. Pada tahun 1985 angka-angka tersebut meningkat, misalnya untuk
propinsi jambi, dan Sulawesi tenggara persentase transmigran masing-masing
besarnya 12 persen dari jumlah seluruh penduduknya. Propinsi Bengkulu dan
Kalimantan Tengah masing-masing besarnya 11 persen dan Sumatera Selatan 10
persen. Beberapa propinsi penerima dengan kepadatan penduduk relatif tinggi,
persentase transmigran nya rendah, misalnya Sumatera Utara dengan kepadatan
penduduk sebesar n133 orang/km2, persentase transmigran adalah 0, begitu juga
untuk Sulawesi Utara, angka kepadatan penduduk nya sebesar 1221 orang/km2
persentase transmigran umum besarnya 1 persen. Menurut laporan bank dunia
tersebut, pada pelita III sejumlah 9 dari 19 propinsi penerima, jumlah transmigran
yang datang lebih dari dua kali lipat. Jumlah transmigran di masing-masing
propinsi kurang dari 12 persen dari jumlah penduduknya. Jadi untuk propinsi
penerima, jumlah transmigran yang datang dari segi demografis juga tidak banyak
artinya.
Walaupun dampak demografis program transmigrasi sangat kecil baik bagi
daerah pengirim maupun daerah penerima, tetapi program ini dapat merangsang
transmigrasi swakarsa. Sebenarnya jumlah transmigran yang di kirim tidak perlu
terlalu besar, asalkan mereka yang dikirim mempunyai jiwa pioner dengan
motivasi tinggi. Keberhasilan mereka di daerah tujuan menghasilkan kekuatan
sentripetal tinggi yang dapat menarik penduduk di daerah asal untuk bermigrasi ke
daerah tersebut. Para transmigran akan menggambarkan keberhasilan mereka
kepada sanak saudara dan masy6arakat di daerah asal. Transmigran pioner ini
memegang peranan yang sangat penting dalam usaha meningkatkan jumlah
transmigran swakarsa. Sebagai contoh propinsi Lampung merupakan propinsi
tertutup untuk transmigran umum, tetapi hingga kini transmigran swakarsa tetap
mengalir ke propinsi ini melalui sistem migrasi berantai.
Mabogunje (1970) melihat bahwa kontribusi dari migran terdahulu di
daerah tujuan sangat besar dalam membantu transmigran baru yang berasal dari
daerah yang sama dengan dengan mereka. Bantuan ini terutama di berikan pada
tahap-tahap awal dari mekanisme penyesuaian diri di daerah tujuan. Para
transmigran lama, tetapi dicukupi kebutuhan makannya, dan di bantu untuk
mendapatkan pekerjaan sesuai dengan kemampuan dan relasi yang dimiliki.
Jadi keberhasilan transmigran umum di daerah tujuan akan disusul oleh
kedatangan transmigran swakarsa sehingga secara keseluruhan jumlah
transmigran menjadi besar. Hasil SUPAS 1985 banyak menjumpai penduduk
yang tempat kelahiran bukan propinsi di tempat mereka dicacah. Jumlah ini dari
tahun ke tahun terus meningkat. Pada tahun 1971 terdapat 5.7 juta penduduk yang
tinggal di luar propinsi tempat lahirnya, pada tahun 1980 angka tersebut
meningkat menjadi hampir 10 juta penduduk, dan tahun 1985 meningkat lagu
menjadi hampir 11.5 juta orang (Mantra, 1987).
Perlu di perhatikan, walaupun pemerintah berusaha meningkatkan jumlah
transmigran swakarsa, namun pelaksanaan nya tetap perlu dikoordinir oleh
pemerintah dalam hal ini oleh departemen transmigran. Jadi dalam penyediaan
olahan permukiman tetap harus memperhatikan prinsip-prinsip kelestarian
lingkungan. Transmigran spontan yang menuju lampung yang tidak di koordinir
oleh pemerintah banyak menimbulkan permasalahan. Menurut P.Levang dan
O.Sevin, di lampung transmigran menjadi korban keberhasilan nya sendiri.
Penduduk lampung yang pada tahun 1950 berjumlah 80.000 jiwa, pada tahun
1986 melampaui 5 juta. Laju pertumbuhan yang sedemikian pesatnya
menimbulkan keadaan-keadaan yang tidak seimbang. Hutan rimba sedikit demi
sedikit diserbu oleh transmigran spontan. Arus transmigran tanpa kendali tanpa
membabat lereng-lereng untuk membuka kebun kopi. Kita tidak menginginkan
kasus lampung akan terulang di daerah permukiman transmigrasi yang lain.
Akhir-akhir ini pemerintah mengembangkan program transmigrasi swakarsa
mandiri (TSM), pemerintah mempersiapkan permukiman di daerah penerima,
setelah siap diumumkan ke daerah pengirim. Bagi migran potensial yang berminat
dapat mendaftarkan. Di kantor transmigrasi setempat. Biaya pemberangkatan dan
lain-lain ditanggung oleh calon transmigran itu sendiri.
Sebagai penutup di bawah ini akan ditulis pengertian transmigrasi dan
transmigran menurut UURI No. 15 tahun 1997 tentang ketransmigrasian.
Transmigrasi adalah perpindahan penduduk secara sukarela untuk meningkatkan
kesejahteraan dan tetap di wilayah perkembangan transmigrasi atau lokasi
permukiman transmigrasi. Sedangkan transmigrasi adalah warga negara Indonesia
yang berpindah secara sukarela ke wilayah pengembangan transmigrasi atau
lokasi permukiman transmigrasi melalui pengaturan dan pelayanan pemerintah
(Deptrans, 1997).

12.3.3 Migrasi Internasional Tenaga Kerja Indonesia


12.3.3.1 Pendahuluan
Telah dikemukakan oleh berbagai kalangan, masalah ketenagakerjaan di
Indonesia merupakan masalah nasional yang berkepanjangan dari pelita ke pelita.
Dalam pengalaman pelaksanaan pembangunan selama ini, terlihat nyata bahwa
pertumbuhan angkatan kerja yang cukup pesat kurang dapat di imbangi oleh
kemampuan penciptaan kesempatan kerja sehingga terjadi pengangguran terbuka
yang terakumulasi setiap tahunnya.
Pada tahun 1990 jumlah angkatan kerja (labour force) di Indonesia sebesar
73.9 juta orang, pada tahun 1995 dan 2000 diperkirakan meningkat masing-
masing menjadi 86.1 dan 98.9 juta orang. Jadi dari tahun ke tahun jumlah
angkatan kerja meningkat terus, dan menurun proyeksi dari Ananta et.al (1994),
tahun 2010 jumlah angkatan kerja diperkirakan menjadi 123.6 juta orang.
Kemampuan pembangunan ekonomi untuk menciptakan kesempatan kerja
baru pada akhir pelita V maksimal diperkirakan 9 juta, itupun dengan berbagai
skenario pembangunan ekonomi Indonesia yang optimistik, yang oleh banyak
kalangan di ragukan realitasnya. Akibatnya pembengkalan jumlah pengangguran
terbuka pada periode tersebut sulit dihindari, belum lagi fenomena setengah
penganggur yang juga merupakan masalah ketenagakerjaan yang cukup besar dan
pelik (Mantra, et. Al, 1992).
Salah satu kebijakan yang di kembangkan oleh pemerintah untuk mengatasi
masalah ketenagakerjaan ini ialah dengan mendorong pengiriman tenaga kerja ke
luar negeri. Untuk mengimplementasikan kebijakan ini membutuhkan kebijakan
lembaga antar negara (AKAN) oleh departemen tenaga kerja republik Indonesia,
yang mengkoordinasikan penyelenggaraan penyaluran angkatan kerja ke luar
negeri. dalam penyelenggaraan kegiatan ini, AKAN bekerja sama dengan
berbagai perusahaan pengerah jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) yang didirikan
oleh swasta yang tergabung dalam Indonesia manpower supplier association
(IMSA).
Ada dua faktor yang mendorong pemerintah mengambil kebijakan ini.
Pertama, seperti telah diuraikan di muka, makin kompleksnya masalah
kependudukan yang terjadi di dalam negeri dengan berbagai implikasi sosial-
ekonominya, seperti masalah pengangguran, menyebabkan harus ditempuh
langkah-langkah inovatif untuk berusaha mengurangi tekanan masalah tersebut.
Kedua, terbukanya kesempatan kerja yang cukup luas di negara-negara yang
relatif kaya dan baru berkembang yang dapat menyerap tenaga kerja Indonesia
dalam jumlah yang cukup besar, terutama negara-negara kaya minyak seperti di
timur yengah, dan juga Malaysia, Singapura pada negara Negara ASEAN.
Kesempatan-kesempatan kerja tersebut selain dapat menyerap banyak tenaga
kerja juga menawarkan tingkat penghasilan dan fasilitas yang lebih menarik di
bandingkan dengan kesempatan kerja di dalam negeri. Tingkat penghasilan yang
lebih baik tersebut dapat meningkatkan taraf hidup keluarga pekerja, juga dapat
meningkatkan devisa negara.
Migrasi internasional di Indonesia dapat di bedakan atas dua pola. Pertama,
yang terdokumentasi pada lembaga AKAN yang secara resmi tercatat di
departemen tenaga kerja, salah satu contoh adalah pengiriman tenaga kerja ke
timur tengah. Kedua, tenaga kerja yang berangkat ke luar negeri secara ilegal
melalui calo, misalnya tenaga kerja Indonesia yang pergi ke Malaysia. Mereka-
mereka ini tidak tercatat di departemen tenaga kerja maupun di kantor imigrasi
Indonesia maupun Malaysia.

12.3.3.2 Perkiraan Jumlah tenaga Kerja Indonesia yang Bekerja di Luar


Negeri
Mobilitas tenaga kerja Indonesia ke luar negeri telah terjadi sejak dulu.
Sebelum perang dunia II telah banyak tenaga kerja Indonesia yang dikirim ke
Malaysia, Guyana, dan new Caledonia. Umumnya mereka berasal dari Pulau Jawa
dan di daerah tujuan mereka bekerja sebagai buruh perkebunan. Setelah perang
dunia II mulai terdapat tenaga kerja yang bekerja di Singapura dan di negara-
negara lainnya. Di samping itu banyak pula tenaga kerja Indonesia yang bekerja di
kapal-kapal dagang yang berbendera asing baik itu Eropa, Amerika Utara,
Australia dan Asia lainnya (Mantra, et.al, 1992).mobilitas tenaga kerja Indonesia
ke luar negeri pada masa tersebut hanya untuk mencukupi kebutuhan tenaga kerja
di negara-negara tersebut dan bukan merupakan kebijakan pemerintah di bidang
ketenagakerjaan.
Setelah tahun 1975 pengiriman tenaga kerja ke luar negeri secara resmi di
programkan oleh pemerintah. Apabila di bandingkan dengan negara-negara Asia
lainnya seperti Thailand, Philipina, Malaysia, dan Korea selatan, maka Indonesia
sangat terlambat memulai program ini sehingga jumlah tenaga kerja yang berhasil
dikirim keluar negeri lebih sedikit di banding negara-negara tersebut di atas.
Sebagai contoh, Indonesia hanya mampu mengirim kurang dari sepertiga jumlah
tenaga kerja yang dikirim oleh negara Thailand pada periode sama.
Jumlah tenaga kerja yang berhasil dikirim ke luar negeri menurut negara
tujuan dapat dilihat dalam tabel 12.6. dari tabel tersebut dapat diketahui sebesar
62.9 persen tenaga kerja Indonesia menuju Arab Saudi. 19.7 persen menuju
Malaysia dan Singapura merupakan negara tujuan kedua bagi tenaga kerja
Indonesia yang menuju ke luar negeri.
Tabel 12.6
Jumlah tenaga kerja Indonesia yang keluar negeri
Nenurut negara tujuan 1969-1993
Negara Pelita 1 Pelita II Pelita III Pelita IV Pelita V Jumlah persen
tujuan 1969/74 1979/79 1979/79 1984/1989 1989/94 total
Saudi arabia - 3817 55976 223573 268585 552224 62.9
Timteng lain - 1235 5349 3428 5145 15157 1.7
Malaysia 12 536 11441 37785 122941 172715 19.7
Singapura 8 2432 5007 10537 34496 52483 6.0
Brunei - - - 920 7794 8714 1.0
Hongkong 44 1297 1761 1735 3579 8512 1.0
Jepang 2925 451 920 395 2434 4497 0.2
Korea - - - - 16963 1693 0.5
Taiwan 37 - - 178 2025 2240 0.3
Belanda 3332 6637 10104 4375 4336 28784 3.3
AS 146 176 2981 6897 9842 20042 2.3
Lain-lain 1653 461 2871 2439 2832 10256 1.2
Total 5624 17042 96410 292262 465972 877310 100

Apabila daerah tujuan utama TKI yang menuju keluar negeri


dikelompokkan menjadi dua yaitu negara-negara Timur Tengah (Arab Saudi, Irak,
Kuwait, Persatuan Emirat Arab, Jordania) dan Malaysia + Singapura, tampak
bahwa dari tahun ke tahun jumlah migran TKI yang menuju ke negara-negara
tersebut makin meningkat (Tabel 12.7). ini menunjukkan bahwa pemerintah
berusaha untuk meningkatkan pengiriman tenaga kerja keluar negeri. Departemen
Tenaga Kerja pada Pelita VI (1994-1999) mentargetkan untuk mengirimkan
tenaga kerja ke luar negeri. Departemen Tenaga Kerja pada Pelita VI (1994-1999)
mentargetkan untuk mengirimkan tenaga kerja sebanyak 1,5 juta ke luar negeri
dan diperkirakan remitan yang dihasilkan sebesar 3 milyar dolar Amerika (Hugo,
1995).
Dalam Pelita IV (1984/1989) migran TKI yang menuju ke Timur tengah
lebih dari 95 persen menuju ke negara Arab Saudi, dan sekitar 83 persen terdiri
dari TKI wanita yang terkenal dengan sebutan Tenaga Kerja Wanita (TKW).
Menurut berita Harian Kompas (28 Februari 1990), besar remitan yang dikirim
antara tahun 1983 dan 1983 dan 1989 berjumlah US$ 551.523.406,- dan dari
sejumlah ini sebesar US$535.616.207,- berasal dari Arab Saudi
Persentase
Timur tengah Malaysia/singapura pertumbuhan
Tahun jumlah
dibanding tahun
Jumlah % Jumlah % sebelumnya
1992/93 96772 56 62535 36 172157 +15
1991/92 89244 60 51230 34 149872 +74
1990/91 39810 46 36983 43 96264 +3
1989/90 60456 72 16007 19 84074 +37
1988/89 50123 82 6614 11 61419 +1
1987/88 49723 81 7916 13 61092 +11
1986/87 45405 66 20349 30 68360 +26
1985/86 45024 83 6546 12 54297 +18
1984/85 35577 79 6034 13 46014 +58
1983/84 18691 66 5597 20 29291 +39
1982/83 9595 47 7801 38 21152 +18
1981/82 11484 63 1550 9 17904 +11
1980/81 11231 70 561 4 16186 +58
1979/80 7651 74 720 7 10378
1977 3675

Periode Repelita : 600163 +106


V : 1989/94* 291182 +207
IV : 1984/89 24921 +391
III : 1979/84 19332 +256
II : 1974/79 5423
I : 1969
* Data hingga Nopember 1993
* Sumber : Kantor Oakan Jakarta terdapat Hugo (1995)
Sulit ditentukan dengan pasti jumlah tenaga kerja yang bekerja di luar
negeri, karena banyak dari mereka yang berangkat tanpa melalui prosedur resmi ,
baik yang berangkat secara perseorangan maupun yang dikoordinasi oleh calo.
Sebagai contoh tenaga kerja Indonesia yang maju ke Malaysia ,di daerah pengirim
terdapat calo tenaga kerja yang terkenal dengan nama taikong. Jarang sekali calo
tersebut terdaftar di AKAN calo yang tidak terdaftar dengan resmi in menguasai
pengiriman tenaga kerja ilegal ke Malaysia. Calo-calo ini mempunyai jaringan
kerja yang rapi baik di Indonesia maupun di Malaysia . TKI yang akan ke
Malaysia melalui calo ini akan di lempar oleh calo satu ke calo yang lain sehingga
apabila terjadi sesuatu yang tidak di inginkan sulit untuk di telusuri siapa yang
harus bertanggung jawab (Hugo, n1993).
Berdasarkan fakta bahwa melalui jalur resmi (legal) yang dilakukan oleh
beberapa migran tenaga kerja, terlalu berbelit-belit menghabiskan biaya dan
waktu yang tidak sedikit hal ini menyebabkan calon migran potensial menjadikan
jalur tidak resmi yang di tawarkan ini jauh lebih mudah, lebih cepat dan biaya
pertama yang di keluarkan lebih murah (Mantra,et.el, 1999).
Perlu di ketahui bahwa sebenarnya masyarakat Malaysia tidak sepenuhnya
menyambut kedatangan TKI ilegal ke Malaysia karena banyak dari mereka yang
terlibat dalam berbagai kejahatan. Lee (1988) melaporkan bahwa 85 persen dari
berbagai macam kejahatan (pembunuhan, penodongan, perampokan, dan
pemerkosaan) yang terjadi di sabah dilakukan oleh pendatang haram, termasuk
ky6ang datang dari Indonesia di samping itu mereka dituduh menularkan penyakit
infeksi seperti malaria dan penyakit kotor.
Surat kabar kedaulatan rakyat yang terbit hari Sabtu 7 januari 1995 memuat
pernyataan Kakanwil departemen kehakiman riau, bahwa pada tahun 19994
puluhan ribu TKI pulangkan pemerintah kerajaan Malaysia tanpa surat-surat
resmi.
Hal yang sama terjadi pula pada TKI yang menuju ke timur tengah. Banyak
yang datang ke negara ini menggunakan visa turis atau banyak visa untuk
beribadah ke mekah. Hanya pada saat itu terjadi perang teluk, pengiriman tenaga
kerja ke timur tengah menurun dengan drastis, bahkan sekitar 250.00 TKI kembali
ke indonesia.

12.3.3.3 dampak migrasi internasional terhadap pendapatan keluarga dan


pembangunan nasional
Dilihat dari perpektif pembangunan keluarga dan pembangunan nasional,
kepergian atau pengiriman warga Indonesia ke luar negeri untuk bekerja
mempunyai beberapa makna strategis, antara lain sebagai berikut.
1. Peningkatan pendapatan keluarga
Dengan bekerja di luar negeri, maka pendapatan angkatan kerja bersama
keluarganya dapat ditingkatkan secara substansial. Informasi dari berbagai
pihak termasuk angkatan kerja yang sudah kembali ke tanah air menunjukkan
tingkat upah bagi tenaga kerja kasar di timur tengah seperti pramuwisma
mencapai setara Rp. 250.000 per bulan ,sopir atau yang sederajat mencapai
nilai upah Rp. 400.000 per bulan di samping itu umumnya mereka juga
mendapatkan fasilitas tempat tinggal dan jami8nan makanan sehari-hari.
Pendapatan tenaga kerja dengan status dan jenis pekerjaan yang lebih tinggi
tentunya juga jauh lebih besar .kondisi pengupahan yang kurang lebih sama
juga diperoleh TKI di negara – negara Malaysia.
Terdapat perbedaan upah yang kontras antara Malaysia dengan Indonesia
persatuan waktu kerja. Sebagai contoh pada tahun 1984 upah tiap hari di jawa
timur sebesar Rp. 3000 sedangkan pada tahun yang sama upah buruh per hari
di Malaysia sebesar Rp. 9000 jadi terdapat selisih 300 persen. Pada tahun 1991
upah buruh per hari di Semarang sebesar RP.2500 sedangkan di serawak
sebesar Rp. 1080 jadi ada selisih sebesar 432 persen (Tabel 12.8). dengan
tingkat pendapatan yang demikian ini berarti rata-rat yang diperoleh di dalam
negeri untuk jenis pekerjaan yang sama. Hasil penelitian yang pernah di
lakukan, misalnya oleh Mantra,et.al (1986) menunjukkan bahwa lebih dari 50
persen pendapatan TKI di timur tengah ditabung untuk dikirim kembali kepada
keluarga di tanah air.
2. Peningkatan Devisa Negara
Peningkatan devisa negara merupakan aspek paling penting yang
tercakup dalam pengiriman TKI ke luar negeri baik yang disponsori langsung
oleh pemerintah maupun lembaga-lembaga swasta atau perorangan. Dengan
peningkatan devisa dari p-ara TKI di luar negeri, ini seperti dapat memperbaiki
neraca perdagangan internasional namun demikian, peningkatan perolehan
devisa negara yang dimaksud akan sangat bergantung pada jumlah TKI yang
berada di luar negeri serta tingkat pendapatan mereka di sana. Juga akan di
pengaruhi oleh bagaimana pengolahan pendapatan tersebut oleh TKI yang
bersangkutan.
Dalam hal penerimaan devisa negara dari remitan (remittance) tenaga
kerja yang bekerja di luar negeri terutama di timur tengah ini, Indonesia relatif
tertinggal dibandingkan dengan beberapa negara Asia lainnya. Pakistan
misalnya , 40 persen dari nilai pertukaran luar negeri nya di peroleh dari dana
remitan yang berasal dari pengiriman tenaga kerja ke timur tengah. Penyebab
selain karena jumlah tenaga kerja mereka memang relatif lebih besar
jumlahnya juga karena jenis-jenis pekerjaan yang mereka masuki relatif lebih
tinggi statusnya (skilled and semi skilled jobs) dibandingkan dengan TKI di
timur tengah yang sebagian besar tenaga kerja kasar atau lapisan rendah.

3.peningkatan ketrampilan kerja


Salah satu keuntungan (benefit) yang terkandung dalam migrasi penduduk
ke luar negeri adalah pembentukan dan peningkatan keahlian kerja (skill) yang
amat penting bagi Pembangunan yang berlandaskan industrialisasi (Stahl,
1982). Hal ini jelas akan bermanfaat bagi Indonesia dalam melaksanakan
pembangunan ekonominya lebih lanjut yang banyak mengandalkan pada
penggunaan IPTEK. Hal ini lebih terasa lagi bagi Indonesia kalau dikaitkan
dengan mahalnya biaya yang harus dikeluarkan kalau pembangunan
peningkatan keterampilan itu harus dilakukan di dalam negeri dalam bentuk
latihan atau kursus keterampilan.
Dalam bekerja di luar negeri terutama di negara-negara yang secara
ekonomi sudah lebih maju, maka para tenaga kerja Indonesia akan mengalami
juga proses peningkatan keterampilan atas biaya negara di tempat mereka
bekerja. Proses ini terjadi karena kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan di
luar negeri pada umumnya sudah menggunakan perangkat teknologi yang
relatif lebih tinggi.

4. Pengurangan masalah pengangguran


Suatu argumentasi penting yang menyertai keberangkatan tenaga kerja ke
luar negeri, ialah bahwa kepergiannya dapat merupakan salah satu upaya
pemecahan atau pengurangan masalah pengangguran di dalam negeri. Hal ini
sangat penting bagi negara-negara yang dilanda tingkat pengangguran yang
tinggi seperti Indonesia. Selain itu, keperguan mereka juga dipandang dapat
membebaskan sebagian dana masyarakat yang turut dikonsumsi selama masih
tinggal. Kepergianya dapat mengurangi beban konsumsi masyarakat, tanpa
mengurangi produksi. Sedangkan untuk kepentingan pengembangan daerah
perdesaan, kepergian tenaga-tenaga yang menganggur itu dinilai dapat
memperbaiki padatan penduduk (land man ratio) yang berarti dapat
meningkatkan kapasitas produksi.
Namun demikian argumentasi-argumentasi diatas didasarkan pada
asumsi bahwa yang berangkat itu adalah angkatan kerja yang benar-benar
menganggur. Dalam hal angkatan kerja yang pergi tersebut adalah tenaga kerja
yang telah mempunyai pekerjaan tetap, maka pengaruhnya terhadap
pembangunan di tanah air dapat bersifat positif dan dapat juga negatif (Mantra,
et. Al, 1993).
Apabila tenaga kerja tersebut berangkat kemudian dapat menyumbang
produktivitas yang lebih tinggi, antara lain berupa remitan dan tabungan yang
lebih tinggi dari pada produktivitasnya sebelum berangkat, at au mendapatkan
keterampilan yang lebih baik untuk dimanfaatkan kelak setelah kembali, maka
hal ini dipandang sebagai pengaruh yang positif.
Bagi Indonesia yang mempunyai jumlah penduduk dan angkatan kerja
yang besar, pengaruh positif pengiriman tenaga kerja ke luar negeri terhadap
usaha pemecahan masalah pengangguran dan setelah pengangguran di dalam
negeri akan sangat ditentukan oleh besarnya proporsi angkatan kerja yang pergi
dari seluruh angkatan kerja yang ter sedia. Meskipun tingkat penghasilan yang
diperoleh di luar negeri lebih tinggi, tetapi jumlah yang dikirim relatif sedikit
dibandingkan dengan jumlah tenaga kerja yang ada di dalam masalah negeri,
maka maknanya terhadap upaya pemecahan masalah pengangguran di
Indonesia kurang penting.[]
BAB XIV
PROYEKSI PENDUDUK

14.1 PENDAHULUAN
Semua perencanaan pembangunan sangat membutuhkan data penduduk
tidak saja pada saat merencanakan pembangunan tetapi juga pada masa-masa
mendatang yang disebut dengan proyeksi penduduk. Proyeksi penduduk bukan
merupakan ramalan jumlah penduduk untuk masa mendatang, tetapi suatu
perhitungan ilmiah yang didasarkan asumsi dari komponen-komponen laju
pertumbuhan penduduk yaitu kelahiran, kematian, dan migrasi penduduk. Ketiga
komponen inilah yang menentukan besarnya jumlah penduduk dan struktur
penduduk di masa yang akan datang.
Ketajaman proyeksi penduduk sangat tergantung pada ketajaman tren
komponen pertumbuhan penduduk yang dibuat. Menurut BPS (1998), untuk
menentukan asumsi tingkat perkembangan kelahiran, kematian, dan perpindahan
di masa yang akan datang diperlukan data yang menggambarkan tren di masa
lampau hingga saat ini, faktor-faktor yang mempengaruhi masing-masing
komponen, dan hubungan antara satu komponen dengan yang lain serta target
yang akan dicapai atau diharapkan pada masa yang akan datang.
Proyeksi penduduk ini secara periodik perlu direvisi, karena sering terjadi
bahwa asumsi tentang kecenderungan tingkat kelahiran, kematian, dan
perpindahan penduduk (migrasi) yang melandasi proyeksi lama tidak sesuai lagi
dengan kenyataan. Biro Pusat Statistik (1998) sudah beberapa kali membuat
proyeksi penduduk yaitu pada setiap tersedianya data hasil sensus Penduduk (SP)
1971, 1980, 1990 dan Survai Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 1985 dan 1995.

14.2 DATA DASAR


Data dasar yang diperlukan untuk pembuatan proyeksi penduduk adalah
sebagai berikut :
a. Jumlah penduduk menurut kelompok umur dan jenis kelamin sebagai data
dasar pembuatan proyeksi penduduk;
b. Besar dan perkembangan angka kelahiran, kematian, dan migrasi penduduk;
c. Tabel kematian yang sesuai dengan perkembangan komponen demografi pada
periode proyeksi tersebut.
14.2.1 Evaluasi Data Umur dan Jenis Kelamin
Menurut BPS (1998), data yang diperoleh dari hasil sensus dan survei
biasanya masih mengandung kesalahan, walaupun telah diusahakan agar
kesalahan tersebut tidak terjadi atau sekecil mungkin. Kesalahan yang paling
sering ditemukan adalah kurang tepatnya pelaporan umur. Kesalahan ini sering
terjadi, antara lain karena banyak penduduk terutama di daerah perdesaan yang
tidak melaporkan umur dengan benar. Hal ini disebabkan karena memang
penduduk tersebut tidak mengetahui tanggal kelahirannya atau umurnya, sehingga
pelaporan umurnya hanya berdasarkan perkiraan dia sendiri atau perkiraan
pencacah. Selain itu walaupun ada penduduk yang mengetahui umurnya secara
pasti tetapi karena alasan-alasan tertentu melaporkan umurnya menjadi lebih tua
atau lebih muda.
Seperti telah disebutkan diatas, salah satu data dasar yang dibutuhkan untuk
membuat proyeksi penduduk dengan metode komponen adalah jumlah penduduk
yang dirinci menurut umur dan jenis kelamin. Oleh karena itu, untuk keperluan
proyeksi ini data dasar yang mengandung kesalahan-kesalahan tersebut perlu
dievaluasi secara cermat, kemudian dilakukan perapihan (adjustment) dengan
tujuan untuk menghapus atau memperkecil berbagai kesalahan yang ditemukan.
Mengingat pentingnya data mengenai umur, maka untuk memperoleh keterangan
tentang umur yang lebih baik, dalam sensus-sensus penduduk yang lalu dan
SUPAS 1995 oleh BPS telah ditempuh berbagai cara. Bagi responden yang tahu
tentang tanggal lahirnya dalam kalender Masehi, umur responden bisa langsung
dihitung, sedangkan bagi responden yang tahu tanggal kelahirannya dalam
kalender Islam, Jawa, dan Sunda, umur responden di hitung dengan menggunakan
tabel konversi kalender yang disediakan dalam buku pedoman pencacahan.
Terakhir, untuk responden yang tidak tahu tanggal kelahirannya, tetap diupayakan
memperoleh keterangan tentang umur dengan menghubungkan kejadian penting
setempat atau nasional, atau membandingkan dengan umur orang/tokoh setempat
yang diketahui waktu kelahirannya (BPS, 1998).
Setelah data SUPAS 1995 diperoleh, BPS membuat proyeksi penduduk
Indonesia per propinsi selama 10 tahun (hingga tahun 2005). Walaupun berbagai
usaha untuk memperoleh keterangan tentang umur sudah dilakukan namun data
penduduk menurut umur dalam SUPAS 1995 masih tidak terlepas dari kesalahan
dalam pelaporan. Kesalahan yang terjadi antara lain karena ada kebiasaan
penduduk terutama yang tidak tahu tanggal lahirnya, melaporkan umurnya pada
tahun-tahun yang berakhiran 0 dan 5. Disamping itu, seperti telah disebutkan
diatas terjadi juga kesalahan pada penduduk yang tahu secara pasti umurnya tetapi
karena alasan tertentu mereka melaporkan umurnya lebih tua atau lebih muda dari
yang sebenarnya.
Menurut BPS (1998) kesalahan pelaporan umur pada hasil SUPAS 1995
misalnya dapat dilihat pada data Rasio Jenis kelamin (RJK) menurut umur. Kalau
pelaporan umur baik, RJK pada suatu umur tertentu tidak berbeda besar dengan
umur yang disekitarnya. Pada usia 0-4 tahun biasanya sedikit di atas 100, setelah
umur tersebut RJK turun secara teratur dan mencapai nilai di bawah 100 pada usia
tua. Gambaran seperti ini tidak terlihat pada Tabel 14.1, karena RJK berfluktuasi
naik turun tidak menentu dan yang cukup menarik RJK pada usia 20-24 tahun, 25-
29 tahun, dan 30-34 tahun sangat rendah. Ada pendapat yang menyebutkan bahwa
hal ini karena mobilitas laki-laki pada usia tersebut sangat besar, sehingga banyak
yang lewat cacah pada waktu pencacahan.
Tabel 14.1
Rasio Jenis Kelamin Menurut Golongan Umur Tahun 1971-1995
Golongan umur 1971 1980 1990 1995
0-4 101,2 104,3 105,2 103,8
5-9 103,1 104,2 105,6 105,0
10-14 107,7 107,6 105,8 104,1
15-19 97,4 96,7 101,2 100,1
20-24 81,3 85,1 88,7 91,5
25-29 80,4 97,9 91,3 90,1
30-34 87,6 97,1 98,8 94,5
35-39 97,6 96,1 107,3 100,8
40-44 100,9 96,5 98,5 106,7
45-49 109,2 96,0 96,9 108,1
50-54 97,0 101,0 96,8 106,5
55-54 102,4 103,0 92,5 92,7
60-64 86,2 93,4 96,2 81,9
65-69 92,5 89,8 93,6 95,5
70-74 96,6 81,9 87,3 91,3
75+ 93,6 82,9 78,5 79,6
Jumlah 97,2 98,8 99,4 99,1

14.2.2 Perapihan Umur


Seperti telah di singgung di muka perapihan umur dilakukan dengan tujuan
untuk memperkecil kesalahan yang ada dalam data tersebut. Jika hal tersebut tidak
di lakukan maka kesalahan-kesalahan itu akan terbawa ke dalam perhitungan
proyeksi, sehingga akan mempengaruhi jumlah dan struktur umur penduduk
dalam periode proyeksi tersebut. Dalam melakukan perapihan umur kesulitan
yang dihadapi adalah tidak diketahui secara pasti letak kesalahan-kesalahan yang
ada, sehingga sulit menentukan umur-umur mana saja yang sudah pasti salah dan
mana yang benar, sehingga perapihan dilakukan untuk semua kelompok umur
(BPS, 1998).
BPS mengadakan perapihan data penduduk menurut umur dan jenis kelamin
(SUPAS 1995) dilakukan dalam tiga tahapan yang berbeda. Pertama, merapihkan
data penduduk umur (10-64) tahun. Kedua, merapihkan data penduduk umur 65
tahun ke atas, Ketiga tahap terakhir adalah merapihkan data penduduk umur (0-9)
tahun. Masing-masing tahap perapihan data dasar dilakukan dengan metode yang
berbeda.
Tahap pertama menggunakan metode dari Perserikatan Bangsa-Bangsa
(UN, 1956) yang disusun dalam paket komputer Micro Computer Programs for
Demographic Analysis (MCPDA). Secara umum formula yang digunakan adalah
sebagai berikut :
5Px
*
= 1/6 (-5Px-10 + 45Px-5 + 105Px + 45Px+5 – 5Px+10)
Catatan :
*
5Px = Jumlah penduduk yang telah dirapihkan menurut kelompok umur 5
tahunan
5Px = Jumlah penduduk dari data dasar menurut kelompok umur 5 tahunan

Sebagai contoh :
P25-29 = 1/16 (-P15-19) + 4P20-29 + 10P25-29 + 4P30-34 – P35-39)

Hasil perapihan jumlah penduduk menurut jenis kelamain kelompok umur


10-64 tahun menggambarkan keadaan pada tanggal 31 Oktober 1994 (masa
pencacahan SUPAS 1995). Sebagai dasar perhitungan proyeksi, data ini digeser
ke akhir tahun (31 Desember 1995) dengan menggunakan laju pertumbuhan
penduduk 1990-1995 dan dengan asumsi dalam 2 bulan terakhir di tahun 1995
tidak terjadi perubahan penting pada susunan umur dan jenis kelamin.
Tahap kedua adalah perapihan penduduk yang berusia 65 tahun ke atas,
menggunakan distribusi umur penduduk 65 tahun ke atas dari suatu negara yang
penduduknya sudah stabil. Kelompok penduduk ini tidak besar pengaruhnya
terhadap hasil proyeksi karena jumlahnya relatif kecil dan dalam waktu relatif
singkat akan berkurang dan menjadi nol.
Tahap terakhir adalah merapihkan penduduk yang berumur 0-4 dan 5-9
tahun. Jumlah penduduk yang berumur 0-4 dan 5-9 tahun. Jumlah penduduk
kelompok ini terutama yang berumur 0 dan 1 tahun, jauh lebih kecil dari pada
yang diharapkan yang diduga karena lewat cacah. Untuk merapihkan diperlukan
data tentang tingkat kelahiran (TFR) masa lampau yang menggambarkan keadaan
paling tidak 10 tahun sebelum pencacahan, dan jumlah dan susunan umur wanita
usia subur serta tingkat kematian dalam kurun waktu yang sama (BPS, 1998).
14.3 TEKNIK PEMBUATAN PROYEKSI PENDUDUK METODE
KOMPONEN
Metode komponen merupakan metode proyeksi terhadap komponen-
komponen demografi misalnya kematian (mortalitas), kelahiran (fertilitas), dan
migrasi penduduk. Untuk pembuatan proyeksi penduduk dengan metode
komponen perlu dipersiapkan data sebagai berikut.
14.3.1 Data Dasar
Data dasar berupa komposisi penduduk menurut umur. Karena pola
kematian menurut umur untuk penduduk laki-laki berbeda dengan penduduk
perempuan, maka pembuatan proyeksi penduduk harus dipisahkan antara
penduduk laki-laki dan perempuan. Sebagai contoh akan dibuat proyeksi
penduduk perempuan (desa dan kota) untuk Propinsi Jawa tengah dengan data
dasar Sensus Penduduk tahun 1990 seperti terlihat dalam Tabel 14.2

Tabel 14.2
Komposisi Penduduk Perempuan (Desa dan Kota)
Menurut Kelompok Umur Propinsi Jawa Tengah Tahun 1990
Kelompok Umur Jumlah Kelompok Umur Jumlah
0-4 1572492 40-44 683884
5-9 1721002 45-49 691052
10-14 1685712 50-54 583501
15-19 1331491 55-59 504613
20-24 1243806 60-64 381733
25-29 1114547 65-69 230606
30-34 851703 70-74 165885
35-39 659640 75+ 165943
Sumber : BPS (1993)
Data ini tidak perlu dirapihkan karena perapihan telah dilaksanakan oleh BPS
14.3.2 Tabel Kematian (Life Tabel)
Hingga kini tabel kematian (life table) untuk masing-masing propinsi di
Indonesia belum ada, maka untuk pembuatan proyeksi penduduk di Indonesia
juga untuk masing-masing propinsi digunakan Regional Model Life Table and
Stable Population karangan Ansley J. Coale, dan Paul Demeny (1994). Tabel
kematian yang sementara ini cocok digunakan di Indonesia adalah Model West.
Selanjutnya dari tabel-tabel ini dipilih tabel kematian yang sesuai dengan wilayah
yang akan dibuat proyeksinya. Pemilihan tabel kematian didasarkan kepada lefel
of mortality dan angka harapan hidup waktu lahir. Setelah dipilih tabel kematian
yang sesuai, maka kolom yang akan digunakan untuk keperluan pembuatan
proyeksi adalah Survival Ratio (SR) dengan simbol nPx.
Untuk Propinsi Jawa Tengah, angka harapan hidup bayi perempuan pada
waktu lahir pada tahun 1990 besarnya 60 tahun, maka tabel kematian yang
digunakan adalah level of mortality 17. Diasumsikan angka harapan hidup waktu
lahir bayi perempuan akan terus meningkat maka tiap 5 tahun tabel kematian yang
digunakan level of mortalitynya meningkat satu level. Angka Survival Ratio (SR)
yang akan digunakan untuk pembuatan proyeksi penduduk perempuan Propinsi
Jawa Tengah tahun 1990-2005 dapat dilihat dalam Tabel 14.3.
Tabel 14.3
Survival Ratio (nPx) untuk Level 17,18,19
Umur (x) Level 17 Level 18 Level 19
0 0,91708* 0,93024* 0,94282*
1 0,977411** 0,98003** 0,98514**
5 0,99024 0,99213 0,99389
10 0,98950 0,99143 0,99323
15 0,98553 0,98803 0,99038
20 0,98223 0,98518 0,98794
25 0,97953 0,98281 0,98590
30 0,97633 0,97990 0,98328
55 0,97216 0,97592 0,97951
40 0,96600 0,96981 0,97325
45 0,95502 0,95928 0,96347
50 0,93775 0,94289 0,94795
55 0,90968 0,91624 0,92276
60 0,86524 0,87338 0,88152
65 0,79681 0,80629 0,81584
70 0,69691 0,70747 0,71816
75 0,44309*** 0,45358*** 0,46443***
80 0 0 0
* P (kelahiran)
** P (0-4)
*** T (80)/T (75)
Sumber : Coal, Ansley J., and Paul Demeny (1944)
14.3.3 Angka Kelahiran
Untuk memproyeksikan penduduk umur (0-4) tahun diperlukan proyeksi
angka kelahiran. Sebagai contoh, kita telah mempunyai jumlah penduduk
perempuan (0-4) tahun pada tahun 1990 sebagai penduduk dasar proyeksi. Untuk
menghitung proyeksi penduduk perempuan umur (0-4) tahun pada tahun 1995
dibutuhkan angka kelahiran bayi perempuan antara tahun 1990 hingga tahun
1995.
Proyeksi angka kelahiran penduduk di tempuh dengan jalan mengalikan
tingkat kelahiran menurut kelompok umur (ABSRi) dengan proyeksi jumlah
penduduk perempuan pada kelompok umur yang bersangkutan dibagi dengan
1000 (k).
Bi
ASBRI = xk
Pfi
ASBRI x Pfi
Bi = k

Diasumsikan bahwa besarnya angka ASBRi selama periode waktu proyeksi


(mis. 1990-2005) tetap, maka untuk mendapatkan proyeksi angka kelahiran pada
5 tahun berikutnya di dapat dengan mengalikan ASBRi dengan proyeksi Pfi
dibagi dengan k. angka Bi ini adalah jumlah kelahiran bayi laki-laki dan
perempuan menurut kelompok umur. Untuk mendapatkan jumlah kelahiran
seluruh bayi laki-laki dan perempuan maka Bi dijumlahkan. Karena proyeksi
penduduk yang dibuat adalah proyeksi perempuan, maka perlu dicari angka
kelahiran bagi perempuan dengan menggunakan rasio jenis kelamin kelahiran (sex
ratio at birth).
Angka ASBRi untuk Propinsi jawa tengah (desa dan kota) pada tahun 1990
terlihat pada Tabel 14.4.
Tabel 14.4
Tingkat (Angka) Kelahiran Menurut Umur (ABSRi)
Propinsi jawa tengah (Desa dan Kota) pada Tahun 1990

Kelompok Umur Tingkat Kelahiran


(tahun) Menurut Umur (ASBRi)
15-19 73
20-24 176
25-29 153
30-34 111
35-39 65
40-44 25
45-49 6
Sumber : BPS, 1992

14.3.4 Rasio Kelahiran Menurut Jenis Kelamin


Pada tahun 1990 untuk Propinsi Jawa Tengah rasio kelahiran menurut jenis
kelamin (sex ratio at birth) adalah 107, yang berarti tiap kelahiran 100 bayi
perempuan terdapat 107 kelahiran bayi laki-laki. Di muka telah disebutkan bahwa
kita telah menghitung seluruh kelahiran bayi laki-laki dan perempuan dengan
menjumlahkan kelahiran menurut kelompok umur, atau dengan rumus ditulis.
(BM+F) = ∑Bi (M+F)
Dengan memperhatikan sex ratio at birth (SRB) sebesar 107 maka kelahiran bayi
perempuan dapat ditulis dengan rumus
100
BF = 207 𝑥𝐵 (𝑀 + 𝐹)
14.3.5 Estimasi Migrasi Penduduk
BPS (1998) berdasarkan data SUPAS 1995 mengikutsertakan komponen
migrasi penduduk dalam perhitungan proyeksi penduduk. Untuk keperluan
proyeksi ini data migran yang dipakai adalah migran risen yaitu migran yang
dihitung berdasarkan tempat tinggal 5 tahun yang lalu dibandingkan dengan
tempat tinggal sekarang. Unit migrasi yang dipakai adalah pindah antar propinsi,
sehingga pindah antar kabupaten/kotamadya tetapi masih dalam satu propinsi
dikategorikan bukan migran. Bagi Indonesia secara keseluruhan angka migrasi
internasional dapat diabaikan (diasumsikan 0). Estimasi migran risen masuk,
keluar, dan migran neto, dikelomok-kelompokkan menurut umur dengan jenjang 5
tahun. Dengan menerapkan metode Life Table Survival Ratio dari buku NM :
“Methode of Measuring Internal Migration Normal VI, dihitung besarnya migran
perkelompok umur.
Angka migrasi neto, ada yang positif dan ada pula yang negatif. Propinsi
Jawa Barat misalnya menunjukkan angka migrasi risen neto yang positif yang
relatif tinggi yang diduga mendapat limpahan dari penduduk Jawa Tengah.
Propinsi Jawa Tengah angka migran netonya negatif baik untuk laki-laki maupun
perempuan. Migran neto yang negatif untuk Propinsi Jawa Tengah tidak hanya
karena transmigrasi, tetapi termasuk juga mereka yang pindah secara swakarsa
(BPS, 1998).
Karena sulit untuk menentukan pola migrasi dimasa datang, dan keadaan
migrasi pada masa-masa yang akan datang tidak dapat diperkirakan, maka untuk
keperluan proyeksi diasumsikan bahwa p ola atau angka migran per tahun yang
terjadi pada periode 1990-1995 akan sama dengan pola atau angka migrasi untuk
periode 1995-2005.
Menurut BPS (1998) mungkin keadaan ini kurang tepat, tetapi karena belum
ada metode estimasi migrasi di masa yang akan datang maka estimasi ini dapat
dipergunakan. Setelah dilakukan penghitungan ternyata pengaruh migrasi
terhadap penduduk di setiap propinsi sangat kecil. Hal ini terjadi karena jumlah
atau angka migrasi masih relatif kecil, sedangkan jumlah penduduk di setiap
propinsi sudah relatif besar.
14.3.6 Langkah-langkah Pembuatan Proyeksi Penduduk
Setelah bahan-bahan untuk pembuatan proyeksi penduduk terkumpul
semua, maka urut-urutan pengerjaan selanjutnya adalah sebagai berikut (Baldwin,
KDS, 1975).
Langkah Pertama
Dari data dasar penduduk perempuan menurut umur di Propinsi Jawa Tengah,
masing-masing dikalikan dengan Survival rasio (SR), lalu didapat jumlah
penduduk perempuan pada tahun 1995 tetapi pada kelas yang lebih tinggi.
Sebagai contoh penduduk perempuan kelompok umur (0-4) tahun sebesar
1.572.492 orang dikalikan dengan Survival Ratio yang besarnya 0,97441
menghasilkan penduduk perempuan kelompok umur (5-9) tahun 1995 (Tabel
14.5).
Tabel 14.5
Proyeksi Penduduk Perempuan Jawa Tengah 1990-2005
Menurut Umur, Desa + Kota
Pdd prp SR 90/95 Pdd prp SR 95/00 Pdd prp SR 00/05 Pdd prp
Umur
SP 1990 Level 17 1995 Level 18 2000 Level 19 2005
0 1670741 0,91708 1900928 0,9324 2102565 0,94282 -
0-4 1572492 0,97441 1532203 0,98003 1768319 0,98514 1982340
5-9 1721002 0,99024 1532252 0,99213 1501605 0,99389 1742042
10-14 1685712 0,98950 1704205 0,99143 1520193 0,99323 1492430
15-19 1131491 0,98553 1668012 0,98803 1689600 0,99036 1509901
20-24 1243806 0,98223 1312224 0,98518 1648046 0,98794 1673312
25-29 1114547 0,97953 1221704 0,98281 1292777 0,98590 1628171
30-34 851703 0,97633 1071732 0,97990 1200703 0,98328 1274549
35-39 659640 0,97210 831543 0,97592 1069788 0,97951 1176100
40-44 683884 0,96600 676232 0,96981 811519 0,97352 104868
45-49 691052 0,95502 660632 0,95928 655817 0,96347 79003
50-54 583501 0,93775 659969 0,94289 633731 0,94796 631860
55-54 504613 0,90968 547178 0,91624 622278 0,92276 600752
60-64 381733 0,86524 45036 0,87338 501346 0,88152 574213
65-69 230606 0,79681 330291 0,80629 400913 0,81584 441947
70-74 165885 0,69691 183749 0,70747 266310 0,71816 327081
75+ 165943 0,44309 18915 0,45358 215785 0,46443 291470
Perlu dijelaskan bahwa proyeksi penduduk perempuan kelompok umur (0-
4) tahun pada tahun 1995 belum dapat dikerjakan karena harus dihitung lebih
dahulu jumlah kelahiran bayi perempuan tahun 1990/1995.
Sebenarnya ada baiknya terlebih dahulu membuat proyeksi penduduk
perempuan menurut kelompok umur, karena akan didapat proyeksi penduduk
perempuan usia reproduksi. Data ini akan dipergunakan untuk mencari proyeksi
angka kelahiran.
Dalam kasus ini diasumsikan bahwa tidak ada migrasi masuk dan migrasi
keluar dan kalau ada, jumlahnya hanya sedikit dan secara statistik tidak penting
(significance), tingkat kelahiran dan tingkat kematian turun dengan moderat
setelah tahun 1990.
Langkah Kedua
Untuk mendapatkan angka jumlah kelahiran pada masa-masa mendatang,
maka angka ASBRi yang sudah dipersiapkan dikalikan dengan proyeksi jumlah
penduduk perempuan menurut kelompok umur pada usia reproduksi.
Digunakannya angka ASBRi yang sama untuk seluruh proyeksi penduduk dengan
asumsi bahwa sifat kelahiran dan kematian stabil pada periode waktu-waktu
tertentu (dalam kasus Propinsi di Jawa Tengah periode 1990-2005). Perhitungan
proyeksi kelahiran pada periode proyeksi dapat dilihat dalam Tabel 14.6

Tabel 14.6
Proyeksi Jumlah Kelahiran di Propinsi Jawa Tengah
pada Tahun 1990 dan 1995
Kelompok Pdd prp i Kelahiran i Pdd prp i Kelahiran i
ASBRi
umur (th) 1990 1990 1995 1995
(6) –
(1) (2) (3) (4)=(2x3)/1000 (5)
(2x5)/1000
15-19 73 1331491 97199 1668012 121765
20-24 176 1243806 218910 1312224 230951
25-29 153 1114547 170526 1221704 186921
30-34 111 851703 94539 1091732 121182
35-39 65 659640 45217 831543 54050
40-44 25 683884 17097 676232 16906
45-49 6 691052 4146 660632 3964
647634 735739
(B 1990) (B 1995)

Langkah Ketiga
Dalam Tabel 14.6 telah dihitung jumlah kelahiran total tahun 1990 sebesar
64734 kelahiran dan pada tahun 1995 diproyeksikan sebesar 735739 kelahiran.
Pada periode tahun 1990-1995 jumlah kelahiran total (L+P) sebesar :
647634+735739
5x = 3458433 orang
2

Langkah Keempat
Setelah memproyeksikan jumlah kelahiran total (lk + p r), pada periode
1990-1995 perlu dihitung jumlah kelahiran bayi perempuan saja. Untuk ini perlu
di perhatikan rasio jenis kelamin kelahiran, yang besarnya 107. Jadi jumlah
kelahiran bayi perempuan pada periode 1990-1995 sebesar :
100
𝑥 3458433 kelahiran = 1670741
207

Letakkan angka ini pada kolom 2 (Tabel 14.5) pada kelahiran (umur 0
tahun). Kerjakan hal yang sama untuk kelahiran bayi perempuan periode 1995-
2000 dan 2000-2005 tahun.
Langkah Kelima
Angka kelahiran pada kolom 2 (Tabel 14.5) lalu dikalilkan dengan Survival
ratio di kolom 3 yang besarnya 0,91708 (lihat* Tabel 14.3) didapatkan proyeksi
penduduk perempuan umur 0-4 tahun sebesar 1532203 orang tahun 1995.
Langkah Keenam
Proyeksi penduduk pada kelompok terakhir (75+) digunakan rumus :
(P70-47) x (SR70-74) + (P75+) x (SR75+)
Contoh : penduduk perempuan umur 75+ pada tahun 1995
(165885 x 0,69691) + (165943 x 0.44309) = 115607 + 73528 = 18913

14.4 PROYEKSI PENDUDUK INDONESIA DENGAN DATA SUPAS 1995


Dengan tersedianya data SUPAS 1995, Biro Pusat Statistik telah membuat
proyeksi penduduk Indonesia berdasarkan propinsi. Tujuan pembuatan proyeksi
ini untuk menunjang perencanaan pembangunan jangka panjang tahap II
khususnya pada Pelita VII (1998/1999 – 2003/2004). Periode yang diambil tidak
terlalu lama dengan pert imbangan agar asumsi yang digunakan tidak terlalu
menyimpang, sehingga hasil proyeksi ini dianggap realistis. Uraian selanjutnya
dikutipkan hasil proyeksi penduduk dengan data dasar SUPAS 1995 yang dibuat
oleh BPS tahun 1998. Proyeksi tersebut dituangkan pada sebuah buku dengan
judul : Proyeksi Penduduk Indonesia Per Propinsi 1995-2005 Seri : 57.
14.4.1 Asumsi yang Digunakan
A. Proyeksi Penduduk Indonesia (1995-2005)
a. TFR Indonesia menurun sesuai dengan tren di masa lampau, dan
diproyeksikan akan mencapai NRR = 1 pada akhir Pelita IX (tahun 2013)
dengan menggunakan rumus fungsi logistik :
k
Y = L + 1+beat

Dimana :
Y = Perkiraan TFR
L = Perkiraan asymptot bahwa TFR pada saat NRR = 1
k = Suatu besaran (koknstanta), untuk menentukan asymptot atas a dan b
= koefisien kurva logistik
t = Waktu sebagai variabel bebas
e = Koknstanta eksponensial
dengan demikian TFR Indonesia turun dari 2,593 pada periode 1995-2000
menjadi 2,382 pada periode 2000-2005, seperti yang disajikan dalam Tabel
14.7
b. IMR Indonesia menurun sesuai dengan tren dimasa lampau dan di
proyeksikan akan mencapai IMR = 20 pada akhir PJPII dengan
menggunakan rumus fungsi logistik.
k
Y = L + 1+beat

Dimana :
Y = Perkiraan IMR
L = Perkiraan asymptot bawah (IMR = 20)
k = Suatu besaran, dimana k + L = 180 adalah asymptot atas (IMR = 160),
a dan b = Koefisien kurva logistik
t = Waktu sebagai variabel bebas
e = konstanta eksponensial
IMR Indonesia akan turun dari 51 pada tahun 1991 menjadi 36 pada tahun
2002 (lihat Tabel 14.7).
c. Migrasi Internasional neto dapat diabaikan (diasumsikan sama dengan nol),
karena orang yang keluar masuk Indonesia diperkirakan seimbang dan
relatif sangat kecil dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia.

Tabel 14.7
Estimasi Angka Kelahiran Total (TFR) dan Angka Kematian Bayi (IMR) menurut
Propinsi 1995-2005
TFR IMR
Propinsi
1995-2000 2000-2005 1995-2000 2000-2005
1. Daerah Istimewa Aceh 2,783 2,366 41,37 30,46
2. Sumatera Utara 3,076 2,746 43,60 35,12
3. Sumatera barat 2,936 2,632 50,57 40,31
4. Riau 2,847 2,501 40,46 31,64
5. Jambi 2,867 2,501 40,46 35,87
6. Sumatera Selatan 2,784 2,465 51,37 38,22
7. Bengkulu 2,826 2,578 51,79 38,54
8. Lampung 2,737 2,387 49,55 37,04
9. DKI Jakarta 2,002 2,002 26,30 18,37
10. Jawa Barat 2,610 2,377 56,05 42,01
11. Jawa Tengah 2,413 2,251 48,08 34,22
12. D.I. Yogyakarta 2,002 2,002 27,16 20,32
13. Jawa Timur 2,021 2,021 50,71 40,51
14. Bali 21,004 2,004 33,44 25,17
15. Nusa Tenggara Barat 3,115 2,800 85,21 67,05
16. Nusa Tenggara Timur 3,235 2,838 59,20 46,57
17. Timor Timur 4,075 3,506 89,70 72,72
18. Kalimantan Barat 2,919 2,436 56,53 45,12
19.Kalimantan Tengah 2,857 2,662 37,88 31,07
20.Kalimantan Selatan 2,583 2,362 66,97 50,37
21.Kalimantan Timur 2,599 2,392 39,43 31,74
22.Sulawesi Utara 2,376 2,321 39,14 31,09
23.Sulawesi Tengah 2,783 2,497 62,98 48,97
24.Sulawesi Selatan 2,698 2,491 45,14 34,86
25.Sulawesi Tenggara 3,003 2,390 53,20 41,57
26.Maluku 3,023 2,554 48,29 38,27
27.Irian Jaya 3,104 2,780 54,94 42,82
INDONESIA 2,593 2,382 49,66 36,48
Sumber : BPS 1998

B. Proyeksi Penduduk Per Propinsi (1995-2005)


a. - TFR di setiap propinsi menurun dengan kecepatan yang berbeda sesuai
dengan tren di masa lampau masing-masing propinsi dan diproyeksikan
dengan menggunakan rumus fungsi logistik seperti proyeksi TFR
Indonesia.
- Untuk propinsi-propinsi yang TFR-nya telah berada pada posisi TFR = 2,
maka kondisi tersebut tetap dipertahankan sampai akhir periode proyeksi.
Hal tersebut sebagai konsekuensi dari kebijaksanaan kependudukan
pemerintah Indonesia yang tidak menganut paham “One Child Family”.
- Asumsi penurunan TFR disajikan pada tabel 14.7
b. - IMR di setiap propinsi menurun dengan kecepatan yang berbeda, sesuai
dengan tren di masa lampau dari masing-masing propinsi, dan
diproyeksikan dengan menggunakan rumus fungsi logistik seperti
proyeksi IMR Indonesia.
- Di setiap propinsi IMR diproyeksikan akan mencapai sekitar 20 pada
akhir PJP II. Asumsi tersebut digunakan berdasarkan kecenderungan tren
masa lampau dan kebijaksanaan Departemen Kesehatan pada Pelita VI
yang menempatkan upaya kesehatan ibu dan anak sebagai prioritas
pembangunan, yaitu dengan melakukan berbagai terobosan strategis yang
bersifat inovatif seperti penggunaan obat generik, konversi rumah sakit
sebagai unit swadana dan sebagainya, sehingga penurunan IMR
diperkirakan menjadi lebih cepat.
- Asumsi Penurunan IMR per propinsi disajikan pada Tabel 14.7
c. - Dengan terbatasnya informasi mengenai pola migrasi penduduk, maka
tingkat migrasi neto rata-rata setiap tahun antara 1990-1995 diasumsikan
tetap hingga tahun 2005, seperti disajikan pada Tabel 14.6.
14.4.2 Hasil Proyeksi
A. Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk
Hasil proyeksi penduduk menunjukkan bahwa jumlah penduduk
Indonesia selama sepuluh tahun mendatang akan bertambah terus dari 195,3
juta pada tahun 1995 menjadi 225,7 juta pada tahun 2005 (lihat Tabel 14.8)
walaupun dengan tingkat pertumbuhan yang makin menurun. Pertumbuhan
rata-rata per tahun penduduk Indonesia selama periode 1995-2005
menunjukkan kecenderungan terus menurun. Dalam dekade 1990-1995,
penduduk Indonesia bertambah dengan kecepatan 1,66 persen per tahun,
kemudian antara 1995-1000 dan 2000-2005 turun menjadi 1,50 persen, dan
1,40 persen per tahun. Turunnya laju pertumbuhan ini lebih ditentukan oleh
turunnya tingkat kelahiran dan kematian, namun penurunan kelahiran lebih
cepat dari pada penurunan kematian. Crude Birth Rate (CBR) turun dari sekitar
21 per 1000 penduduk pada awal proyeksi menjadi 20 per 1000j penduduk
pada akhir periode proyeksi, sedang Crude Death Rate (CDR) pada akhir
periode proyeksi, sedang Crude Death Rate (CDR) tetap sebesar 7 per 1000
penduduk dalam kurun waktu yang sama.
Salah satu ciri dari penduduk Indonesia adalah persebarannya yang tidak
merata antar pulau dan propinsi. Sejak tahun 1930, sebagian besar penduduk
Indonesia tinggal di pulau Jawa, padahal luas pulau itu kurang dari tujuh
persen dari luas total wilayah daratan Indonesia. Namun se cara perlahan
persentase penduduk Indonesia yang tinggal di Pulau Jawa terus menurun yaitu
dari sekitar 58,9 persen pada tahun 1995 menjadi 57,9 persen pada tahun 2005.
Sebaliknya persentase penduduk yang tinggal di pulau-pulau lainnya
meningkat, seperti Pulau Sumatra naik dari 21,0 persen menjadi 21,4 persen,
Kalimantan naik dari 5,4 persen menjadi 5,6 persen dan Sulawesi naik dari 7,0
persen menjadi 7,2 persen pada periode yang sama. Hal tersebut disebabkan
karena selain pertumbuhan alami di pulau-pulau tersebut memang lebih tinggi
dari pertumbuhan alami di Jawa, faktor perpindahan yang mulai menyebar ke
pulau-pulau tersebut juga menentukan distribusi penduduk seperti diuraikan di
atas (Tabel 14.8).

Tabel 14.8
Estimasi Penduduk Menurut Propinsi 1995-2005 (x1000)
Propinsi 1995 2000 2005
1. Daerah Istimewa Aceh 3862,8 4213,4 4545,6
2. Sumatera Utara 11144,3 12155,7 13132,7
3. Sumatera Barat 4334,3 4657,3 4952,3
4. Riau 3923,0 4383,4 4849,0
5. Jambi 2382,6 2642,4 2909,1
6. Bengkulu 7239,3 7858,5 8479,0
7. Sumatera Selatan 1417,5 1593,8 1790,0
8. lampung 6680,1 7178,7 7650,8
Jumlah (%) 20,99 21,23 21,40
9. DKI Jakarta 9143,5 9720,4 10297,9
10. Jawa Barat 39339,9 43089,3 46913,2
11. Jawa Tengah 29691,1 31386,0 33120,0
12. Daerah Istimewa Yogyakarta 2916,8 3086,1 3255,2
13. Jawa Timur 33889,1 35478,0 37066,2
Jumlah (%) 58,88 58,32 57,88
14. Bali 2899,6 3091,2 3285,0
15. NTB 3655,3 3990,8 4357,3
16. NTT 3588,2 3915,7 4243,4
17. Timor Timur 843,0 939,3 1033,1
Jumlah (%) 5,63 5,67 5,72
18. Kalimantan Barat 3650,1 4015,1 4360,6
19. Kalimantan Tengah 1635,8 1805,4 1980,6
20. Kalimantan Selatan 2903,8 3152,7 3406,6
21. Kalimantan Timur 2330,4 2643,1 2970,2
Jumlah (%)
22. Sulawesi Utara 2655,0 2841,5 3024,8
23. Sulawesi Tengah 1946,3 2176,2 2435,1
24. Sulawesi Selatan 7578,2 8218,6 8862,6
25. Sulawesi Tenggara 1595,5 1781,1 1951,0
Jumlah (%) 7,05 7,13 7,21
26. Maluku 2094,7 2252,4 2378,0
27. Irian Jaya 1954,0 2219,5 2498,5
Jumlah 2,07 2,12 2,16
INDONESIA 195294,2 210485,6 225747,8
Laju pertumbuhan 1995-200 = 1,50 2000-2005 = 1,40
Sumber : BPS (1998)

Jumlah penduduk di setiap propinsi sangat beragam dan bertambah


dengan laju pertumbuhan yang sangat beragam pula. Dengan digunakannya
asumsi tingkat kelahiran (TFR) untuk setiap propinsi tidak ada yang lebih kecil
dari 2 dan tingkat kematian bayi yang rendah selama peri ode proyeksi
mengakibatkan beberapa propinsi laju pertumbuhannya naik dibandingkan
dengan periode sebelumnya yaitu 1990-1995 (data tidak di tampilkan) seperti
propinsi Sumatera Utara, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa
Timur, Nusa Tenggara barat, disamping juga karena adanya pengaruh migrasi.
Disamping itu ada juga propinsi yang mempunyai laju pertumbuhannya turun
dengan tajam seperti Kalimantan Timur. Hal ini disebabkan oleh karena
fertilitas dan mortalitas yang turun cukup cepat, juga pengaruh migran masuk
yang pada periode sebelum 1990-1995 sangat tinggi.

B. Susunan Umur Penduduk


Struktur umur penduduk Indonesia masih tergolong “muda”, walaupun
dari hasil sensus dan survei-survei yang lalu proporsi penduduk muda tersebut
menunjukkan kecenderungan makin menurun. Susunan umur penduduk hasil
proyeksi yang disajikan pada tabel 14.9 sampai dengan Tabel 14.11 juga
menunjukkan pola yang sama. Asumsi tentang penurunan tingkat kelahiran dan
kematian Indonesia seperti diuraikan diatas sangat mempengaruhi susunan
umur penduduk. Proporsi anak-anak berumur 0-4 tahun turun dari 32,8 pada
tahun 1995 menjadi 27,8 pada tahun 2005 (Tabel 14.9).

Tabel 14.9
Estimasi proporsi penduduk umur 0-14 Tahun
Menurut Propinsi, 1995-2005
Propinsi 1995 2000 2005
1. Daerah Istimewa Aceh 37,74 33,24 30,31
2. Sumatera Utara 37,62 33,30 30,60
3. Sumatera barat 35,14 30,96 28,87
4. Riau 36,39 32,71 30,90
5. Jambi 35,52 31,85 30,75
6. Sumatera Selatan 37,44 32,70 30,41
7. Bengkulu 36,45 31,80 30,59
8. Lampung 36,20 31,57 28,81

9. DKI Jakarta 27,77 25,30 25,39


10. Jawa Barat 32,68 29,55 28,00
11. Jawa Tengah 31,46 28,20 26,63
12. D.I. Yogyakarta 25,10 22,22 22,36
13. Jawa Timur 28,40 25,30 24,14

14. Bali 26,37 24,05 23,30


15. Nusa Tenggara Barat 38,74 35,04 32,71
16. Nusa Tenggara Timur 38,17 35,31 32,62
17. Timor Timur 42,98 40,64 335,80

18. Kalimantan Barat 37,20 32,85 27,50


19. Kalimantan Tengah 34,92 31,07 29,34
20. Kalimantan Selatan 33,55 30,71 29,47
21. Kalimantan Timur 39,58 35,32 31,73

22. Sulawesi Utara 30,05 28,06 27,50


23. Sulawesi Tengah 34,29 31,07 29,34
24. Sulawesi Selatan 33,55 30,71 29,47
25. Sulawesi Tenggara 39,58 35,32 31,73
26. Maluku 38,01 33,48 29,43
27. Irian Jaya 38,70 34,53 33,15
INDONESIA 32,77 29,44 27,83
Tabel 14.10
Estimasi Proporsi Penduduk Umur 15-64 Tahun
Menurut Propinsi, 1995-2005

Propinsi 1995 2000 2005


1. Daerah Istimewa Aceh 60,03 63,18 65,72
2. Sumatera Utara 59,05 62,94 64,96
3. Sumatera barat 59,70 63,14 64,58
4. Riau 61,69 64,92 66,15
5. Jambi 62,03 62,25 65,71
6. Sumatera Selatan 59,46 63,93 66,01
7. Bengkulu 60,50 64,65 65,42
8. Lampung 60,09 64,08 66,23

9. DKI Jakarta 70,04 71,84 70,71


10. Jawa Barat 63,74 66,33 67,36
11. Jawa Tengah 63,03 65,52 66,57
12. D.I. Yogyakarta 66,10 67,82 66,79
13. Jawa Timur 65,57 67,62 68,07

14. Bali 67,73 69,40 69,52


15. Nusa Tenggara Barat 58,12 61,49 63,44
16. Nusa Tenggara Timur 57,86 60,41 62,86
17. Timor Timur 55,31 57,10 61,19

18. Kalimantan Barat 60,09 64,08 66,29


19. Kalimantan Tengah 61,55 65,44 66,43
20. Kalimantan Selatan 63,43 66,04 67,63
21. Kalimantan Timur 62,68 65,78 67,18

22. Sulawesi Utara 66,15 67,59 67,76


23. Sulawesi Tengah 62,35 65,57 67,93
24. Sulawesi Selatan 62,12 64,39 61,11
25. Sulawesi Tenggara 57,52 61,16 64,07

26. Maluku 58,38 62,44 66,00


27. Irian Jaya 60,51 64,51 65,60
INDONESIA 63,00 65,72 60,80
Sumber : BPS (1998)
Tabel 14.11
Estimasi Proporsi Penduduk Umur 65+ Tahun
Menurut Propinsi, 1995-2005 (x 1000)

Propinsi 1995 2000 2005


1. Daerah Istimewa Aceh 3,23 3,58 3,97
2. Sumatera Utara 3,33 3,76 4,44
3. Sumatera barat 5,16 5,90 6,55
4. Riau 2,12 2,37 2,95
5. Jambi 2,45 2,90 3,54
6. Sumatera Selatan 3,10 3,37 3,58
7. Bengkulu 3,05 3,55 3,99
8. Lampung 3,71 4,35 4,94

9. DKI Jakarta 2,19 2,86 3,90


10. Jawa Barat 3,58 4,10 4,64
11. Jawa Tengah 5,51 6,28 6,80
12. D.I. Yogyakarta 8,80 9,96 10,85
13. Jawa Timur 6,03 7,08 7,79

14. Bali 5,90 6,55 7,18


15. Nusa Tenggara Barat 3,14 3,47 3,85
16. Nusa Tenggara Timur 3,97 4,28 4,52
17. Timor Timur 1,71 2,26 3,01

18. Kalimantan Barat 2,71 3,07 3,65


19. Kalimantan Tengah 2,16 2,48 2,97
20. Kalimantan Selatan 2,89 3,47 4,08
21. Kalimantan Timur 2,24 2,53 2,92

22. Sulawesi Utara 3,80 4,35 4,74


23. Sulawesi Tengah 2,73 3,36 2,73
24. Sulawesi Selatan 4,33 4,90 5,42
25. Sulawesi Tenggara 2,90 3,52 4,20

26. Maluku 3,61 4,08 4,57


27. Irian Jaya 0,79 0,96 1,25
INDONESIA 4,23 4,84 5,37
Sumber : BPS (1998)

Dalam kurun waktu yang sama mereka yang dalam usia kerja, 15-64
tahun meningkat dari 63,0 persen menjadi 66,8 persen (Tabel 14.10) dan
mereka yang berusia 65 tahun ke atas naik dari 4,2 persen menjadi 5,4 persen
(Tabel 14.11). Perubahan susunan ini mengakibatkan beberan ketergantungan
(dependency ratio) turun dari 58,7 persen pada tahun 1995 menjadi 49,7
persen pada tahun 2005. Menurunnya rasio beban ketergantungan
menunjukkan berkurangnya beban ekonomi bagi penduduk umur produktif
(usia kerja) yang menanggung penduduk umur non produktif.
Susunan umur setiap propinsi juga mengalami perubahan yang cukup
besar. Susunan umur penduduk di pulau jawa dan Bali sedikit lebih tua dari
propinsi lainnya artinya propinsi penduduk yang berusia lanjut, 65 tahun ke
atas sudah cukup tinggi. Sebagai contoh di Yogyakarta pada tahun 2005,
propinsi penduduk 65 tahun ke atas mencapai 10,8 persen Jawa Tengah dan
Jawa Timur masing-masing 6,8 persen 0-14 tahun di Pulau Jawa dan Bali jauh
lebih rendah dari propinsi lainnya. Pada tahun 2005 semua propinsi di luar
Jawa-Bali mempunyai proporsi anak-anak di bawah 15 tahun masih diatas 27
persen, walaupun sudah memperlihatkan kecenderungan menurun dari keadaan
tahun 1995.
Apabila di lihat Indonesia sebagai keseluruhan maka jumlah penduduk
perempuan lebih besar dibandingkan jumlah penduduk laki-laki. Pada tahun
2005 karena angka harapan hidup meningkat untuk semua umur, maka bentuk
piramida penduduk hampir berbentuk granat, tidak cepat meruncing sentase
umur 65+ tahun meningkat pada tahun 2005 (dari 4,23 persen tahun 1995
menjadi 5,37 persen tahun 2005). Untuk jelasnya lihat Tabel 14,12, dan
Gambar 34.

Tabel 14.12
Proyeksi Penduduk Menurut Jenis Kelamin
Dan Umur Tahun 1995-2005 (x1000)
Umur Laki-laki Perempuan
(tahun) 1995 2000 2005 1995 2000 2005 1995 2000 2005
0-4 999,8 11052,8 11183,0 9629,7 1066,1 10774,1 19621,5 21715,9 21957,1
5-9 10758,4 9884,5 10969,0 10243,3 9512,2 10601,6 21001,7 19356,7 21570,6
10-14 11920,9 10696,8 9804,1 11456,8 1095,2 9484,3 2377,7 20892,2 19288,4
15-19 10434,4 11835,5 10639,3 1424,4 1139,0 10158,1 20858,8 23227,5 20797,4
20-24 8479,3 10321,0 11739,4 9266,6 10338,8 11331,2 17745,9 20659,8 23070,6
25-29 7747,8 8368,5 10222,4 8602,4 9170,3 1026,7 16350,2 17538,8 20490,1
30-34 7513,7 7638,1 8281,4 7950,4 8497,1 9093,5 15464,1 16135,2 17374,9
35-39 7049,9 7387,1 7540,9 6996,5 7834,1 8407,9 14046,4 15221,2 15948,8
40-44 5852,7 6894,5 7259,3 5488,1 6868,9 7725,2 11340,8 13763,4 14984,5
45-49 4459,8 5670,9 6717,8 4127,6 5356,0 6734,8 8587,4 11026,9 1352,6
50-54 3694,3 4256,5 5445,5 3470,0 3988,4 52041,3 7164,3 8244,9 10646,8
55-54 3038,7 3443,3 3996,3 3277,0 3301,6 3818,6 6215,7 6744,9 7814,9
60-64 2325,3 2730,3 3123,8 2839,9 3039,2 3089,1 5165,2 5769,5 6212,9
65-69 2325,3 2730,3 3123,8 2839,9 3039,2 3089,1 5165,2 5769,5 6212,9
70-74 1359,9 1356,6 1562,7 1489,4 1486,0 2107,5 2848,9 2842,6 3670,0
75+ 824,1 1279,7 1518,9 1035,1 1570,1 1871,4 1859,2 2849,8 3390,3
Jumlah 97192,5 104751,8 112352,2 98101,7 105733,8 113395,6 195294,2 210485,6 225747,8
Sumber : BPS (1998)

Gambar 34. Piramida Pendidik Indonesia


Sumber : Tabel 4.12
C. Net Reproduction Rate (NRR)
NRR merupakan salah satu hasil (output) proyeksi penduduk yang sering
diinterpretasikan sebagai banyaknya anak perempuan yang dilahirkan oleh
setiap perempuan dalam masa reproduksinya. Sering ditanyakan, kapankah
Indonesia akan mencapai NRR = 1, tingkat replacement level, yaitu saat satu
ibu diganti oleh satu bayi perempuan. Dengan asumsi penurunan fertilitas dan
mortalitas serta perolehan susunan umur seperti telah diuraikan diatas,
Indonesia akan mencapai NRR = 1 pada sekitar tahun 2013. Pada saat itu
bukannya berarti laju pertumbuhan penduduk sama dengan nol, atau penduduk
tanpa pertumbuhan, tetapi penduduk akan tetap bertambah dengan laju
pertumbuhan yang relatif stabil. Propinsi di Jawi barat kecuali propinsi Jawa-
Bali dan Jawa Tengah sudah mencapai tingkat itu jauh sebelumnya misalnya
DKI Jakarta, Yogyakarta, Jawa Timur dan Bali yaitu pada periode 1990-1995.
Pada Tabel 14.13 disajikan NRR Indonesia dan juga NRR setiap propinsi.

Tabel 14.13
Estimasi Reproduction Rate (NRR)
Menurut Propinsi, 1995-2005
Periode
Propinsi
2000 – 2005 1995 – 2000
1. Daerah Istimewa Aceh 1,258 1,096
2. Sumatera Utara 1,382 1,259
3. Sumatera barat 1,295 1,191
4. Riau 1,291 1,157
5. Jambi 1,283 1,179
6. Sumatera Selatan 1,231 1,179
7. Bengkulu 1,249 67,37
8. Lampung 1,213 1,091
9. DKI Jakarta 0,936 0,948
10. Jawa Barat 1,138 1,073
11. Jawa Tengah 1,075 1,035
12. D.I. Yogyakarta 0,934 0,946
13. Jawa Timur 0,895 0,917
14. Bali 0,925 0,940
15. Nusa Tenggara Barat 1,255 1,186
16. Nusa Tenggara Timur 1,393 1,264
17. Timor Timur 1,612 1,455
18. Kalimantan Barat 1,273 1,094
19. Kalimantan Tengah 1,304 1,233
20. Kalimantan Selatan 1,096 1,046
21. Kalimantan Timur 1,183 1,107
22. Sulawesi Utara 1,081 1,075
23. Sulawesi Tengah 1,194 1,110
24. Sulawesi Selatan 1,208 1,143
25. Sulawesi Tenggara 1,321 1,082
26. Maluku 1,341 1,161
27. Irian Jaya 1,357 1,253
INDONESIA 1,149 1,090
Sumber : BPS (1998)
Tabel 14.14
Estimasi Angka Harapan Hidup (Eo) Menurut Propinsi, 1995-2005
Periode
Propinsi
2000 – 2005 1995 – 2000
1. Daerah Istimewa Aceh 66,69 69,47
2. Sumatera Utara 66,15 68,21
3. Sumatera barat 64,49 66,93
4. Riau 66,91 69,17
5. Jambi 65,64 68,01
6. Sumatera Selatan 64,32 67,45
7. Bengkulu 64,19 67,37
8. Lampung 64,74 67,71
9. DKI Jakarta 70,63 72,93
10. Jawa Barat 63,19 66,54
11. Jawa Tengah 65,10 68,46
12. D.I. Yogyakarta 70,39 72,37
13. Jawa Timur 64,47 66,88
14. Bali 68,66 70,95
15. Nusa Tenggara Barat 56,83 60,69
16. Nusa Tenggara Timur 62,48 65,45
17. Timor Timur 55,91 59,45
18. Kalimantan Barat 63,06 65,79
19. Kalimantan Tengah 67,52 69,32
20. Kalimantan Selatan 60,72 64,54
21. Kalimantan Timur 67,15 69,15
22. Sulawesi Utara 67,23 69,32
23. Sulawesi Tengah 61,62 64,88
24. Sulawesi Selatan 65,79 68,29
25. Sulawesi Tenggara 63,88 66,64
26. Maluku 65,03 67,42
27. Irian Jaya 63,46 66,35
INDONESIA 64,71 67,86

D. Harapan Hidup
Harapan hidup pada saat lahir (disingkat “harapan hidup”) dipakai
sebagai salah satu Indikator Kesejahteraan Rakyat. Dengan asumsi
kecenderungan “angka kematian bayi” yang menurun serta perubahan susunan
umur penduduk seperti telah diuraikan diatas maka harapan hidup penduduk
Indonesia (laki-laki dan perempuan) naik dari 64,7 persen pada periode 1995-
2000 menjadi 67,86 tahun pada periode 2000-2005. Dalam Tabel 14.14 juga
terlihat bahwa variasi harapan hidup menurut propinsi tidak terlalu besar pada
awal proyeksi, angka harapan hidup terendah 55,91 tahun untuk Timor Timur
dan tertinggi 70,63 tahun untuk DKI Jakarta. Pada akhir periode proyeksi
variasi itu menjadi berkisar antara 59,45 tahun 72,93 tahun untuk propinsi-
propinsi yang sama seperti pada awal proyeksi.[]

Anda mungkin juga menyukai