1.1 PENDAHULUAN
Dalam perencanaan pembangunan, data kependudukan memegang peranan
yang penting. Makin lengkap dan akurat data kependudukan yang tersedia makin
mudah dan tepat rencana pembangunan itu dibuat. Sebagai contoh, dalam
perencanaan pembangunan pendidikan, diperlukan data mengenai jumlah
penduduk dalam usia sekolah. Kantor Badan Koordinasi Keluarga Berencana
Nasional membutuhkan data jumlah pasangan usia subur, dan para pekerja dalam
bidang kesehatan masyarakat memerlukan informasi tentang tinggi rendahnya
angka kematian dan angka morbiditas penduduk. Banyak lagi contoh-contoh lain
data kependudukan sangat diperlukan dalam perencanaan pembangunan.
Untuk dapat memahami keadaan kependudukan di suatu daerah atau Negara
maka perlu didalami kajian Demografi. Di Negara-negara yang sedang
membangun data mengenai unsure-unsur demografi hakiki tidak lengkap, dan
andaikata ada reabilitasnya sangat rendah. Untuk mengatasi kekurangan ini ahli
demografi membuat perkiraan-perkiraan (estimasi) mengenai unsur-unsur
demografi tersebut berdasarkan data yang tidak lengkap.
Antropologi Geografi
sosial Sosial
Demografi
Sosiologi
Gambar 1
Demografi dalam kajian ilmu-ilmu lain
1
Yang dimaksud dengan penduduk dalam Undang-Undang RI No. 10 tahun 1992 adalah orang
dalam matranya sebagai diri pribadi, anggota keluarga, anggota masyarakat, warga negara, dan
himpunan kuantitas yang bertempat tinggal di suatu tempat dalam batas wilayah negara pada
waktu tertentu.
1.3 STUDI KEPENDUDUKAN
Studi kependudukan (population studies) lebih luas dari kajian demografi
murni, karena di dalam memahami struktur dan proses kependudukan di suatu
daerah, faktor-faktor non demografis ikut dilibatkan, misalnya di dalam
memahami trend fertililtas di suatu daerah tidak hanya cukup diketahui trend
pasangan usia subur, tetapi juga faktor sosial budaya yang ada di daerah tersebut.
Pada masyarakat patrilinial dimana tiap keluarga mendambakan anak laki-laki,
maka besarnya jumlah anak tergantung pada sudah ada tidaknya anak laki-laki
pada keluarga tersebut. Jadi untuk mengetahui perkembangan penduduk di suatu
daerah perlu diketahui faktor-faktor determinan yang tidak hanya berasal dari
faktor demografi tetapi juga berasal dari faktor non demografi.
Yaukey (1990) menggambarkan hubungan yang kompleks diatas dapat
memilahkan antara variabel demografi dan variabel non demografi di dalam dua
buah lingkaran (Gambar 2).
Variabel Demografi
Karakteristik Penduduk
- Jumlah
- Persebaran
- Komposisi Penduduk
Proses Demografi
- Kematian
- Kelahiran
- Migrasi
Gambar 2
Hubungan antara variabel demografi
dengan variabel non demografi
Variabel demografi terletak pada lingkaran I dan variabel non demografi
terletak pada lingkaran II. Apabila variabel-variabel pada lingkungan I berasosiasi
akan menghasilkan kajian demografi, dan apabila asosiasi tersebut antara variabel
pada lingkungan I dengan variabel pada lingkaran II akan menghasilkan kajian
studi kependudukan. Sebagai contoh produktifitas angkatan kerja (lingkaran II)
akan dipengaruhi oleh besarnya jumlah angkatan kerja (lingkaran I).
Panah bermata dua, baik pada lingkaran I, maupun antara variabel-variabel
tersebut bersifat timbal balik. Dengan adanya hubungan timbal balik seperti ini,
akan memberikan kebebasan pada pakar-pakar ilmu lain (terutama ilmu sosial)
untuk menganalisis lebih hubungan antara variabel demografi dengan variabel non
demografi dan akhirnya m ncullah kajian-kajian : demografi sosial (social-
demography) dan demografi ekonomi (economic demography), IUSSP (1982).
Kammeyer (1971) memperjelas perbedaan antara demografi formal dengan
studi kependudukan lewat perbedaan antara variabel pengaruh dengan variabel
terpengaruh. Kalau variabel pengaruh dan variabel terpengaruh kedua-duanya
terdiri dari variabel demografi maka tipe studi tersebut adalah demografi murni.
Apabila salah satu variabelnya adalah variabel non demografi, maka kajian
tersebut adalah studi kependudukan (Tabel 1.1).
Tabel 1.1
Contoh Analisis Demografi formal
dan Studi Kependudukan Berdasarkan Jenis Variabel
Pengaruh dan Variabel Terpengaruh
Tabel 2.1
Topik-topik Minimal yang Harus Ditanyakan
Pada Sensus Penduduk
1. Geografi dan Migrasi Penduduk
Tempat tinggal tetap atau tempat tinggal pada saat pencacahan
1.1 Tempat lahir
1.2 Lama tinggal di daerah sekarang
1.3 Tempat tinggal beberapa tahun lalu
2. Rumahtangga
Hubungan masing-masing anggota rumahtangga dengan kepala rumahtangga
3. Karakteristik sosial dan demografi
3.1 Jenis Kelamin 3.5 Agama
3.2 Umur 3.6 Bahasa
3.3 Status Perkawinan 3.7
3.4 Kewarganegaraan
4. Fertilitas dan Mortalitas
4.1 Anak lahir hidup 4.6 Jumlah bayi yang meninggal 12
4.2 Anak masih hidup bulan sebelum hari sensus
4.3 Umur waktu kawin 4.7 Yatim karena kematian ibu
4.4 Lama kawin
4.5 Jumlah anak lahir hidup 12
bulan sebelum hari sensus
5. Karakteristik Pendidikan
5.1 Tingkat pendidikan 5.3 School attendance
5.2 Melek huruf 5.4 Educational qualifications
6. Karakteristik Ekonomi
6.1 Aktivitas Ekonomi 6.4 Status pekerja
6.2 Kedudukan Dalam Aktivitas 6.5 Jam kerja
6.3 Industri 6.6 Pendapatan
6.7 Aktivitas menurut sektor
Sumber: Yaukey (1990)
4
Kelahiran dalam demografi adalah lahir hidup (live birth), yaitu lahir dengan ada tanda-tanda
kehidupan (denyut jantung, menangis, bernafas). Sedangkan mati adalah hilangnya tanda-tanda
kehidupan secara permanen.
Banyak lagi sebab-sebab yang lain yang menyebabkan peristiwa kelahiran
tidak dilaporkan.
Catatan mengenai kematian lebih lengkap dibandingkan dengan catatan
kelahiran disebabkan hal-hal sebagai berikut:
1. Kematian hanya terjadi selama hidup, dan peristiwa kematian tidak melibatkan
orang lain. Sedang kelahiran bagi seorang wanita dapat terjadi lebih dari satu
kelahiran dan melibatkan dua orang, suami dan istri.
2. Peristiwa kematian adalah peristiwa duka dan orang lain pasti datang untuk
menyatakan ikut berduka cita dan juga mempersiapkan upacara pemakaman
jenazah.
Sering pada tabel komposisi penduduk menurut umur dan jenis kelamin
terdapat kelompok penduduk yang tidak diketahui umurnya, kelompok ini sering
disebut dengan kelompok “not stated” (NS). Sudah tentu penduduk NS ini tidak
dapat digambarkan dalam piramida penduduk. Jika jumlah penduduk yang
tergolong kategori ini sedikit dibandingkan dengan jumlah penduduk seluruhnya,
maka kelompok penduduk umur yang lain dengan menggunakan teknik prorating.
Pro-rating dikerjakan dengan dua cara:
1. Mengalikan masing-masing kelompok penduduk menurut dengan faktor
pengali k yang dapat dicari dengan rumus:
jumlah seluruh penduduk
𝑘 = jumlah seluruh penduduk−NS
Tabel 3.3
Penduduk menurut kelompok umur dan jenis kelamin
Di wilayah tertentu, pada tahun tertentu sebelum dan sesudah
Dilaksanakannya pro-rating (X1000)
Umur Sebelum Sesudah pro-rating
0-4 8.462 8.473
5-9 7.684 7.694
10-14 4.319 4.324
15-19 3.834 3.456
25-34 7.334 7.343
45-54 3.559 3.563
55-64 1.898 1.900
65-74 796 797
75+ 376 378
Tak terjawab (not stated) 60 -
Catatan:
Sebagai ilustrasi diambil kelompok penduduk umur 10-14 tahun, dipro-
rating dengan du cara:
Cara 1. K= 47.497 : 47.463 = 1,0012648
Jumlah penduduk sebelum di pro-rating: 4.319.000
Setelah di pro-rating menjadi:
4.319.000 x 1,0012648 = 4.324.000
K= bilangan pengali
Cara 2. Jumlah penduduk setelah di pro-rating
4.319.000 +(4.319.000/47.496.000) x 60 = 4.324.000
Gambar 6
Perkembangan Pertumbuhan Dunia Sejak Permulaan Tahun Masehi
5
Untuk jelasnya baca uraian mengenai transisi demografi pada sub bab 4.2
Berkaitan dengan tahap perkembangan teknologi maupun peristiwa-
peristiwa sosial ekonomi yang penting yang dialami penduduk dunia sejak tahun
1650, maka Thompson dan Lewis (1978) membagi periode perkembangan
penduduk dunia ke dalam lima periode :
1. Periode 1650 – 1800
2. Periode 1800 – 1850
3. Periode 1850 – 1900
4. Periode 1900 – 1930
5. Periode 1930 hingga sekarang
Tabel 4.2
Tahap-Tahap Transisi Demografi
Tingkat Tingkat Pertumbuhan
Tahap Contoh
Kelahiran Kematian alami
1. Stasioner Tinggi Tinggi Nol/sangat Eropa pada
tinggi rendah abad 14
2. Awal Lambat Lambat India
perkemban menurun sebelum PD
gan II
3. Akhir Menurun Menurun Cepat Eropa
perkemban lebih cepat Selatan dan
gan dari pada Timur
tingkat sebelum PD
kelahiran II, India
setelah PD II
4. Stasioner Rendah Rendah Nol/sangat Australia,
rendah rendah Selandia
baru,
Amerika
Serikat, pada
tahun 1939-
an
5. Menurun Rendah Lebih tinggi Negatif Perancis
dari pada sebelum PD
tingkat II. Jerman
kelahiran Timur dan
Barat pada
tahun 1975.
Sumber : Davis Lucas (1982 : 28)
Tabel 4.3
Perkiraan Komponen Perubahan Penduduk di Indonesia Tahun 1980-2000 (per
1000 jiwa)
Periode Tahun
Ukuran
1980-1985 1986-1990 1991-1995 1996-2000
1. Tingkat Kelahiran Kasar 33,72 31,26 28,90 26,91
2. Tingkat Kematian Kasar 11,86 10,28 8,92 7,80
3. Pertumbuhan Penduduk 21,86 20,98 19,98 19,11
4. Harapan Hidup 55,30 58,19 61,12 64,05
5. Tingkat Kematian Bayi 92,78 78,62 65,16 52,46
Sumber : Biro Pusat Statistik (1983)
PENDAHULUAN
Pada Bab IV telah dibicarakan bahwa mulai tahun 1650 laju pertumbuhan
penduduk dunia meningkat dengan cepat. Pada tahun 1650 jumlah penduduk
negara-negara Eropa, Amerika Serikat, Amerika tengah dan Amerika Selatan
sebesar 113 juta jiwa, pada tahun 1750 menjadi 152,4 juta, dan kemudian pada
tahun 1850 menjadi 325 juta jiwa. Jadi dalam dua abad jumlahnya menjadi tiga
kali lipat, sedangkan untuk benua Asia – Afrika dalam jangka waktu yang sama
jumlah penduduknya hanya berubah dua kali banyaknya (Tabel 5.1).
Tingginya laju pertumbuhan penduduk di beberapa bagian dunia ini
menyebabkan jumlah penduduk meningkat dengan cepat. Di beberapa bagian di
dunia ini telah terjadi kemiskinan dan kekurangan pangan. Fenomena ini
menggelisahkan beberapa ahli, dan masing-masing dari mereka berusaha mencari
faktor-faktor yang menyebabkan kemiskinan tersebut. Kalau faktor-faktor
penyebab tersebut telah diketemukan maka masalah kemiskinan akan dapat
diatasi.
Umumnya para ahli dikelompokkan menjadi tiga kelompok. Kelompok
pertama terdiri dari penganut aliran Malthusian. Aliran Malthusian dipelopori oleh
Thomas Robert Malthus, dan aliran Neo Malthusian dipelopori oleh Garreth
Hardin dan Paul Ehrlich. Kelompok kedua terdiri dari penganut aliran Marxist
yang dipelopori oleh Karl Marx dan Friedrich Engels. Kelompok ketiga terdiri
dari pakar-pakar teori kependudukan mutakhir yang merupakan reformulasi teori-
teori kependudukan yang ada. Beberapa dari pakar tersebut yang akan dibicarakan
disini adalah John Stuart Mill, Arsene Domont dan Emile Durkheim (Weeks,
1992).
Aliran Malthusian dan Marxist masing-masing mempunyai pengikut yang
luas. Aliran Malthusian umumnya dianut di negara-negara kapitalis dan aliran
Marxist dianut di negara-negara sosialis. Di bawah ini secara singkat diuraikan
pandangan dari masing-masing aliran tersebut.
Tabel 5.1
Perkiraan Jumlah Penduduk Dunia Berdasarkan Benua/Wilayah, 1650-1950
Distribusi Penduduk (dalam jutaan)
Benua/Wilayah 1650 1750 1800 1850 1900 1950
Jml % Jml % Jml % Jml % Jml % Jml %
1. Eropa 100 18,3 140 19,2 187 20,7 266 22,7 401 24,9 541 22,5
2. Amerika Utara* 1 0,2 1,3 0,1 5,7 0,7 26 2,3 81 5,1 166 6,9
3. Amerika tengah dan Selatan 12 2,2 11,1 1,5 18,9 2,1 33 2,8 63 3,9 162 6,8
4. Oseanea 2 0,4 2 0,3 2 0,2 2 0,2 6 0,4 13 0,5
5. Afrika 100 18,3 95 13,1 90 9,9 95 9,1 120 7,4 198 8,5
6. Asia 330 60,0 479 65,8 602 66,4 749 63,9 937 58,3 1320 55,0
Jumlah 545 10,0 728 100,0 906 100,0 1171 100,0 1608 100,0 2400 100,0
Tidak termasuk Amerika tengah
Sumber : Landis and Hatt, 1959
5.2 ALIRAN MALTHUSIAN
Aliran ini dipelopori oleh Thomas Robert Malthus, seorang pendeta Inggris,
hidup pada tahun 1766 hingga tahun 1834. Pada permulaan tahun 1798 lewat
karangannya yang berjudul : “Essay on Principle of Populations as it Affect the
Future Improvement of Society, with remarks on the Speculations of MR. Godwin,
M. Condorcet, and Other Writers”, menyatakan bahwa penduduk (seperti juga
tumbuh-tumbuhan dan binatang) apabila tidak ada pembatasan, akan berkembang
biak dengan cepat dan memenuhi dengan cepat beberapa bagian dari permukaan
bumi ini (Weeks, 1992). Tingginya pertumbuhan penduduk ini disebabkan karena
hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan tidak bisa dihentikan.
Disamping itu Malthus berpendapat bahwa manusia untuk hidup memerlukan
bahan makanan, sedangkan laju pertumbuhan bahan makanan jauh lebih lambat
dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk. Apabila tidak diadakan
pembatasan terhadap pertumbuhan penduduk, maka manusia akan mengalami
kekurangan bahan makanan. Inilah sumber dari kemelaratan dan kemiskinan
manusia. Hal ini jelas diuraikan oleh Malthus sebagai berikut :
… Human species would increase as the number 1,2,4,8,16,32,64,128,256,
and substance as 1,2,3,4,5,6,7,8,9. In two centuries the population would be
to the means of and in two thousand years the difference would be almost
incalculable….
(Malthus, edisi fogarty, 1948)
Seperti telah disebutkan diatas, untuk dapat keluar dari permasalahan
kekurangan pangan tersebut, pertumbuhan penduduk harus dibatasi. Menurut
Malthus pembatasan tersebut, dapat dilaksanakan dengan dua cara yaitu
preventive checks, dan positive checks. Preventive checks ialah pengurangan
penduduk melalui penekanan kelahiran. Preventive checks dapat dibagi menjadi
dua, yaitu : moral restraint dan vice. Moral restraint (pengekangan diri) yaitu
segala usaha untuk mengekang nafsu seksual, dan penundaan pengurangan
kelahiran seperti : pengangguran kandungan, penggunaan alat-alat kontrasepsi,
homoseksual, promiscuity, adultery (Yaukey, 1990). Bagi Malthus moral restraint
merupakan pembatasan kelahiran yang paling penting, sedangkan penggunaan
alat-alat kontrasepsi belum dapat diterimanya.
Positive checks adalah pengurangan penduduk melalui proses kematian.
Apabila di suatu wilayah jumlah penduduk melebihi jumlah persediaan bahan
pangan, maka tingkat kematian akan meningkat akibat terjadinya kelaparan,
wabah penyakit dan lain sebagainya. Proses ini akan terus berlangsung sampai
jumlah penduduk seimbang dengan persediaan bahan pangan. Positive checks
dapat dibagi lagi menjadi dua yaitu :vice dan misery. Vice (kejahatan) ialah segala
jenis pencabutan nyawa sesama manusia seperti pembunuhan anak-anak
(infanticide), pembunuhan orang-orang cacat, dan orang-orang tua. Misery
(kemelaratan) ialah segala keadaan yang menyebabkan kematian seperti berbagai
jenis penyakit dan epidemi, bencana alam, kelaparan, kekurangan pangan dan
peperangan (Tabel 5.2).
Tabel 5.2
Pembatasan Pertumbuhan Penduduk
Preventive Check Positive Checks
(lewat penekanan kelahiran) (lewat proses kematian)
Moral Restraint Vice Usaha Vice (Segala Jenis Misery (Keadaan
(pengekangan Pengurangan Pencabutan yang
diri) Kelahiran) Nyawa) menyebabkan
kematian)
- Segala usaha - Pengguguran - Pembunuhan - Epidemi
mengekang kandungan anak-anak - Bencana alam
nafsu seksual - Homoseksual - Pembunuhan - Peperangan
- Penundaan - Promiscuity orang-orang - Kelaparan
perkawinan - Adultery cacat - Kekurangan
- Penggunaan - Pembunuhan pangan
alat-alat orang-orang tua
kontrasepsi
* Thomas Robert Malthus hanya percaya pada Moral restraint sebagai Preventive Checks (Weeks,
1992).
Sumber : Weeks (1992) yang disesuaikan
Gambar 8
Hubungan antara Sumber daya Alam, Penduduk, Makanan Perkapita, Hasil
Industri Perkapita, dan Polusi, dari The Limits to Griwth
Ahli-ahli biologi dan ahli-ahli lingkungan menyambut baik buku The Limit
to growth ini, karena mempunyai kesamaan dengan dunia binatang dan tumbuhan
dimana pertumbuhannya sangat dibatasi oleh daya tampung alam. Sebaliknya
ahli-ahli ilmu sosial memberikan kritik terhadap karya Meadow karena tidak
memasukkan unsur-unsur sosial budaya dalam pembuatan modelnya. Meadow
mengasumsikan bahwa faktor sosial-budaya dianggap sama dan konstan.
Dengan memperhatikan kritik-kritik diatas, Mesarovic dan Pestel (1974)
merevisi model Meadow ini. Mereka memperhatikan adanya variasi unsur-unsur
lingkungan antara tempat satu dengan yang lain sehingga masalah lingkungan
yang akan menimpa daerah-daerah datangnya tidak bersamaan.
6.1 PENDAHULUAN
Ada dasarnya ukuran-ukuran yang dipergunakan dalam demografi sama dengan
ukuran-ukuran yang digunakan pada ilmu-ilmu yang lain yaitu ukuran absolut dan
ukuran relatif. Ukuran-ukuran relatif yang sering digunakan dalam pengukuran
demografi adalah : perbandingan, rasio, proporsi, persentase dan tingkat atau
angka (rate). Khusus untuk ukuran tingkat atau angka digunakan untuk proses
demografi misalnya : kelahiran, kematian, dan mobilitas penduduk, sedangkan
ukuran-ukuran lainnya digunakan untuk mengukur struktur demografi yang
datang diperoleh dari Sensus Penduduk atau Penelitian Kependudukan yang
dilaksanakan oleh suatu Lembaga tertentu.
Dalam Bab VI ini terutama akan dibahas pengukuran-pengukuran struktur
demografi, sedangkan pengukuran komponen demografi yang dinamis (proses
demografi) akan dibahas pada waktu membicarakan komponen kelahiran,
kematian dan mobilitas penduduk. Di dalam mengukur peristiwa-peristiwa
tersebut perlulah diketahui dengan pasti :
a. Pada periode waktu mana peristiwa itu terjadi
b. Kelompok penduduk mana yang mengalami peristiwa tersebut
c. Peristiwa mana yang diukur
Tabel 6.1
Jumlah Penduduk Indonesia Menurut Pulau Tahun 1930, 1961, 1971, 1980, 1985
dan 1990 (juta)
Data ini merupakan data awal yang perlu dianalisis lebih lanjut agar lebih
banyak mempunyai arti.Misalnya jumlah penduduk setiap pulau dinyatakan dalam
bentuk relatif misalnya persentase terhadap total penduduk Indonesia, agar lebih
mudah menggambarkan persebaran penduduk.
6.3 RASIO
6.3.1 Rasio Jenis Kelamin (Sex Ratio = SR)
Rasio adalah perbandingan dua perangkat yang dinyatakan dalam suatu
satuan tertentu sebagai contoh, kelas 1A, SMP I Negeri Denpasar mempunyai 20
Orang murid yang terdiri dari 12 orang murid laki-laki, dan 8 orang murid
perempuan. Perbandingan jenis kelamin murid laki-laki terhadap murid
perempuan adalah:
12 : 8 = 1,5
Atau 1,5 murid laki-laki dibanding dengan seorang murid perempuan. Agar tidak
terjadi pecahan desimal, angka ini dikalikan dengan 100, sehingga dapat
dikatakan bahwa kelas tersebut mempunyai perbandingan jenis kelamin 150 laki-
laki dibanding dengan 100 perempuan, dan perbandingan ini disebut dengan
Rasio (Ratio).
Kalau jumlah laki-laki dinyatakan dengan simbol a, dan jumlah murid
perempuan dengan simbol b, maka rasio jenis kelamin (Sex Ratio = SR) dapat
ditulis dengan rumus:
a
SR = b x k
Ini berarti bahwa untuk setiap 99 penduduk laki-laki sebanding dengan 100
penduduk perempuan. Apabila angka tersebut jauh di bawah 100, dapat
menimbulkan berbagai masalah, karena ini berarti di wilayah tersebut kekurangan
penduduk laki-laki, atau kekurangan tenaga laki-laki untuk melaksanakan
pembangunan, atau masalah lain yang berhubungan dengan perkawinan. Hal ini
dapat terjadi apabila di suatu daerah banyak penduduk laki-laki meninggalkan
daerahnya, atau kematian banyak terjadi pada penduduk laki-laki.Tabel 6.2
menggambarkan rasio jenis kelamin penduduk Indonesia tahun 1971, 1980, dan
1985 menurut rincian propinsi.
Tabel 16.2
Rasio Jenis Kelamin Penduduk Indonesia Menurut Propinsi
Tahun 1971, 1980 dan 1985
No. Propinsi 1971 1980 1985
1. Daerah Istimewa Aceh 100 102 101
2. Sumatera Utara 101 101 101
3. Sumatera Barat 94 96 95
4. Riau 105 104 103
5. Jambi 107 106 103
6. Bengkulu 100 102 101
7. Sumatera Selatan 102 103 103
8. Lampung 102 107 105
9. DKI Jakarta 102 103 130
10. Jawa Barat 97 99 99
11. Jawa Tengah 95 97 99
12. Daerah Istimewa Yogyakarta 94 96 96
13. Jawa Timur 94 96 96
14. Bali 98 98 98
15. NTB 104 98 99
16. NTT 102 100 105
17. Timor Timur - 104 105
18. Kalimantan Barat 104 104 104
19. Kalimantan Tengah 102 106 102
20. Kalimantan Selatan 96 99 99
21. Kalimantan Timur 107 112 109
22. Sulawesi Utara 101 102 103
23. Sulawesi Tengah 105 106 105
24. Sulawesi Selatan 95 95 96
25. Sulawesi Tenggara 91 97 101
26. Maluku 103 105 102
27. Irian Jaya 141 109 108
INDONESIA 97 99 99
Sumber: BPS (1998)
6.3.2 Rasio Jenis Kelamin Menurut Umur
Rasio jenis kelamin dapat pula dibuat berdasarkan kelompok umur.Di
wilayah yang sedang dilaksanakan pembangunan, misalnya perluasan Pabrik
Semen Nusantara di Cilacap, pada waktu masa konstruksi banyak tenaga buruh
laki-laki datang dari luar daerah bekerja sebagai buruh konstruksi. Akibat dari
kedatangan buruh laki-laki tersebut maka rasio jenis kelamin kelompok usia
produktif besarnya akan lebih dari 100.
Tabel 6.3 adalah rasio jenis kelamin penduduk Indonesia menurut kelompok
umur, hasil Sensus Penduduk Indonesia tahun 1990.Pada tabel tersebut dapat
dilihat bahwa sampai kelompok umur tertentu (misalnya 20 tahun) rasio jenis
kelamin besarnya di atas 100.Hal ini disebabkan jumlah kelahiran bayi laki-laki
lebih banyak dibandingkan dengan kelahiran bayi perempuan. Tetapi karena
angka harapan hidup bayi laki-laki lebih rendah dibandingkan dengan bayi
perempuan, maka untuk kelompok umur selanjutnya angka SR akan lebih rendah
dari 100. Untuk keseluruhan jumlah penduduk perempuan lebih banyak dibanding
jumlah penduduk laki-laki sehingga secara total SR lebih kecil dari 100. Lebih
jelasnya SR menurut umur dapat digambarkan dengan grafik (Gambar 9)
Tabel 6.3
Rasio Jenis Kelamin (Sex Ratio) Penduduk Indonesia Menurut Kelompok
Umur Tahun 1990
Golongan Umur Penduduk Laki-laki Penduduk Perempuan Rasio jenis
Kelamin (SR)
0-4 10.761.117 10.244.530 105
5-9 11.928.381 11.295.234 106
10-14 11.044.392 10.438.264 106
15-19 9.520.668 9.406.769 101
20-24 7.583.487 8.545.262 89
25-29 7.457.329 8.116.576 91
30-34 6.584.483 6.661.629 99
35-39 5.788.580 5.395.905 107
40-44 4.010.350 4.071.479 98
45-49 3.724.011 3.841.834 97
50-54 3.289.268 3.398.477 98
55-59 2.321.677 2.510.136 92
60-64 2.219.122 2.307437 96
65-69 1.329.194 1.420.596 93
70-74 945.899 1.083.176 87
75+ 867.657 1.104.746 78
Jumlah 89.375.677 89.872.106 99,4
Sumber: BPS, 1991
Rasio jenis kelamin (SR) menurut kelompok umur dapat dituliskan dengan
rumus sebagai berikut:
Mi
SRi = xk
Fi
Keterangan:
SRi = rasio jenis kelamin pada umur atau golongan umur i tahun
Mi = jumlah penduduk laki-laki pada umur atau golongan umur i tahun
Fi = jumlah penduduk perempuan pada umur atau golongan umur i tahun
k = konstanta, biasanya nilainya 100
Ga
mb
ar
9.
Gra
fik
Ras
io
Jeni
s
Kel
Kel
ami
om
n
pok
(Se
Um
x
ur
Rati
o)
Me
nur
ut
Kel
om
pok
Um
ur
Pen
dud
uk
Ind
one
sia
6.3.3 Rasio Menurut Jenis Kelamin Kelahiran (Sex Ratio at Birth = SRB)
Rasio jenis kelamin sering digunakan untuk menghitung jumlah kelahiran
bayi laki-laki dan kelahiran bayi perempuan apabila hanya diketahui angka
kelahiran total (laki-laki + perempuan). Di muka telah disebutkan bahwa di suatu
wilayah jumlah kelahiran bayi laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan bayi
perempuan. Sebagai contoh di suatu wilayah pada tahun 1990 terdapat 214
kelahiran bayi laki-laki dan 200 kelahiran bayi perempuan, maka rasio jenis
kelamin kelahiran adalah
214
x 100 = 107
200
Ini berarti tiap kelahiran 100 bayi perempuan akan terdapat 107 kelahiran bayi
laki-laki. Rasio jenis kelamin kelahiran (sex Ratio at Birth) ini dapat ditulis
dengan rumus:
BM
SRB = xk
BF
Keterangan:
SRB = Rasio jenis kelamin kelahiran
BM = Kelahiran bayi laki-laki
BF = Jumlah kelahiran bayi perempuan
k = konstanta (umumnya nilainya 100)
Contoh:
Pada tahun tertentu jumlah kelahiran total di suatu wilayah sebesar 300 bayi
apabila SRB di wilayah tersebut sebesar 105, hitunglah berapa jumlah kelahiran
bayi perempuan dan berapa jumlah kelahiran bayi laki-laki?
Jawab:
Jumlah kelahiran bayi perempuan adalah:
100
x 300 = 154 bayi
205
Keterangan:
CWR = Rasio Anak Perempuan (Child Women Ratio)
P(0-4) = Jumlah penduduk usia di bawah 5 tahun
Pf(15-49) = Jumlah penduduk perempuan usia 15-49 tahun
k = Angka konstanta, dalam rumus ini biasanya bernilai 1000
Sebagai contoh, pada tahun 1971 penduduk Indonesia yang berumur (0-14)
tahun besarnya 52.454.000, sedangkan yang berumur (15-64) tahun dan 65+
masing-masing besarnya 63.180.000 dan 3.576.000 orang. Dari data ini dapat
dihitung DR sebagai berikut:
52.454.000+3.576.000
Rasio Beban Tanggungan (DR) = x 100
63.180.000
= 88,7
DR sebesar 88,7 berarti tiap 100 orang kelompok produktif harus
menanggung 88,7 kelompok yang tidak produktif. Angka DR ini termasuk tinggi.
Untuk tahun-tahun selanjutnya walaupun angka DR telah menurun, tetapi secara
keseluruhan masih tetap tinggi (Tabel 6.5).
Tabel 6.5
Penduduk Indonesia Umur: 0-14; 15-64; 65+
dan Rasio Beban Tanggungan (DR) 1971-2000
Kelompok Umur 1971 1980 1985 1990 1995 2000
(tahun) (000) (000) (000) (000) (000) (000)
0–4 52.454 60.324 64.567 65.997 65.420 64.394
(44,0) (40,9) (39,4) (36,7) (33,5) (30,6)
15 – 64 63.180 82.299 93.736 106.998 121.661 136.364
(53,0) (55,8) (57,2) (59,5) (62,3) (64,8)
65+ 3.576 4.867 5.572 6.834 8.202 9.680
(3,0) (3,3) (3,4) (3,8) (4,2) (4,6)
Jumlah 119.208 147.470 163.875 179.829 195.283 210.438
Persen (x) (100.0) (100.0) (100.0) (100.0) (100.0) (100.0)
DR 88,7 72,2 74,8 68,1 60,5 54,3
Sumber: Kasto dan Sembiring 1996
Tingginya angka Rasio Beban tanggungan ini merupakan faktor
penghambat pembangunan ekonomi Indonesia, karena sebagian dari pendapatan
yang diperoleh golongan yang produktif, terpaksa harus dikeluarkan untuk
memenuhi kebutuhan mereka yang belum produktif.Negara-negara yang sedang
berkembang dengan tingkat fertilitas yang tinggi, mempunyai angka rasio beban
tanggungan yang tinggi pula, dikarenakan besarnya proporsi anak-anak dalam
kelompok penduduk tersebut.
Jumlah penduduk yang digunakan sebagai pembilang dapat berupa jumlah seluruh
penduduk di wilayah tersebut, atau bagian-bagian penduduk tertentu seperti;
penduduk daerah perdesaan, atau penduduk yang bekerja di sektor pertanian,
sedangkan sebagai penyebut dapat berupa luas seluruh wilayah, luas daerah
pertanian, atau luas daerah perdesaan.
Kepadatan penduduk di suatu wilayah dapat dibagi menjadi tiga bagian:
1. Kepadatan Penduduk Kasar (Crude Density of Population) atau sering pula
disebut dengan Kepadatan Penduduk Aridmatika.
2. Kepadatan Penduduk Fisiologis (Physiological Density)
3. Kepadatan penduduk Agraris (Agricultural Density)
4. Kepadatan Penduduk Ekonomi (Economical Density of Population)
Tabel 6.6
Kepadatan Penduduk Indonesia Menurut Pulau dan Propinsi
Tahun 1961, 1971, 1980, dan 1990 (per 1 km2)
No Propinsi 1961 1971 1980 1990
SUMATERA 33 44 59 -
1. Daerah Istimewa Aceh 29 36 47 62
2. Sumatera Utara 70 93 118 145
3. Sumatera Barat 47 56 68 80
4. Riau 13 17 23 35
5. Jambi 17 22 32 45
6. Sumatera Selatan 27 33 45 61
7. Bengkulu 19 24 355 6
8. Lampung 50 83 139 180
JAWA 476 576 690 -
9. DKI Jakarta 5039 7761 11023 13936
10. Jawa Barat 380 467 593 764
11. Jawa Tengah 530 640 742 834
12. D.I. Yogyakarta 707 785 868 919
13. Jawa Timur 455 532 609 678
NUSA TENGGARA 63 75 96 -
14. Bali 320 381 444 -
15. Nusa Tenggara Barat 90 109 135 499
16. Nusa Tenggara Timur 41 48 57 167
17. Timor Timur - - 37 68
50
KALIMANTAN 8 10 12 -
18. Kalimantan Barat 11 14 17 22
19. Kalimantan Tengah 3 5 6 9
20. Kalimantan Selatan 39 45 55 -
21. Kalimantan Timur 3 4 6 9
SULAWESI 38 45 55 -
22. Sulawesi Utara 69 90 111 130
23. Sulawesi Tengah 10 13 18 24
24. Sulawesi Selatan 62 71 83 98
25. Sulawesi Tenggara 20 26 34 49
26. Maluku 11 15 19 25
27. Irian Jaya 2 2 3 4
INDONESIA 51 99 77 93
Sumber: BPS, 1987; Kasto dan Sembiring, 1996
Di Indonesia pada tahun 1973, dari seluas 1.904.570 km2 daratan, terdapat
163.940 km2 lahan pertanian. Kalau pada tahun 1971 jumlah penduduk
Indonesia besarnya 119.232.000, maka kepadatan penduduk fisiologis adalah;
119.232.000
= 727,29 orang per km2
163.940
76.546.949
= 446,9 per km2
163.940
@
= ∆ c x 100
Di mana
@ = indeks dari jumlah penduduk
c = indeks umum dari produksi pada tahun yang sama
∆ = Kepadatan Penduduk Ekonomi
6.3.7 Tekanan Penduduk Terhadap Lahan Pertanian
Kepadatan penduduk agraris bukanlah merupakan suatu indikator yang baik
mengenai ada tidaknya tekanan penduduk terhadap lahan pertanian di suatu
wilayah karena luas lahan pertanian yang digunakan sebagai
penyambutkualitasnya tidak sama. Kualitas lahan pertanian antara wilayah satu
dengan wilayah lain sangat bervariasi. Kualitas lahan pertanian (z) adalah fungsi
dari unsur:
K = Standar hidup yang layak
L = Penggunaan lahan
T = Teknologi
H = Kandungan hara
I = Intensitas tanaman
E = Nilai ekonomi
Atau dapat pula ditulis sebagai berikut:
Z= f (K, L, T, H, I, E)
Untuk mengatasi hal tersebut Otto Sumarwoto (1985) membuat rumus
tekanan penduduk terhadap lahan pertanian.Menurut Suyono (1996) ada tida
model tekanan penduduk yang dikaji oleh Suwarwoto.
1. Tekanan penduduk model I menganggap bahwa penduduk hanya hidup dari
lahan pertanian yang digarapnya dengan rumus:
ft.Po(1+r)𝑡
TKt = zt. Lt
ft.Po(1+r)𝑡
TKt = (1-αt).zt. Lt
3. Tekanan penduduk model III menambahkan nilai manfaat lahan untuk petani
penggarap. Makin tinggi produktifitas lahan, maka banyak pendapatan petani
penggarap dan makin besar pendapatan yang bekerja di luar sektor pertanian
makin rendah tekanan penduduk terhadap lahan pertanian. Model III ini dapat
dilukiskan dengan rumus sebagai berikut:
ft.Po(1+r)𝑡
TKt = (1-αt).zt. β Lt
Dimana:
TK = tekanan penduduk terhadap lahan pertanian
t = periode waktu perhitungan
z = luas lahan yang diperlukan untuk mendukung kehidupan seorang petani
pada tingkat hidup yang diinginkan (ha/orang)
f = persentase petani di dalam populasi
Po = besarnya penduduk pada acuan waktu 0 (orang)
r = rata-rata tingkat pertambahan penduduk tahunan
L = luas lahan pertanian yang ada di wilayah yang bersangkutan
α = fraksi pendapatan nonpertanian
β = bagian manfaat lahan yang dinikmati oleh petani atau penggarap (0<β<1)
P0(1+r)t = Pt = besarnya penduduk pada acuan waktu + (orang)
6
Lembaga Demografi. FE, UI Jakarta lebih senang menggunakan “angka” untuk terjemahan kata
rate sedangkan beberapa pakar demografi lebih senang menggunakan “tingkat”
Yang perlu diperhatikan disini ialah penduduk yang mempunyai resiko
(oxposed to risk) dalam peristiwa tersebut yang digunakan untuk pembagi di
atas.Sebagai misal, kita menghitung tingkat kematian (mortalitas) untuk periode
satu tahun.Semua penduduk yang hidup dalam seluruh tahun di wilayah tersebut
mempunyai resiko kematian.Kelompok penduduk ini digunakan sebagai pembagi
dalam perhitungan tingkat mortalitas di atas.Bagi penduduk yang meninggal
sebelum akhir tahun, tidak mempunyai resiko kematian untuk seluruh tahun,
begitu juga untuk bayi-bayi yang lahir pada pertengahan tahun atau
sebelumnya.Bagi penduduk yang pindah ke wilayah tersebut beberapa bulan
sebelum akhir tahun, tidak mempunyai resiko kematian untuk seluruh tahun.
Konsep jumlah tahun kehidupan (person years-lived) sering digunakan
untuk menghitung jumlah penduduk yang mempunyai resiko terhadap suatu
peristiwa demografis.Misalnya di suatu wilayah pada tanggal 1 Januari 1993
penduduknya berjumlah 700 orang.Dari 700 orang di atas sebanyak 200 orang
yang meninggal pada tanggal 15 Januari 1983.Jadi 200 orang diatas hanya hidup
selama 3.000 hari pada tahun 1983.Mereka mempunyai tahun kehidupan sebesar
8.22).7
Seorang lahir tanggal 13 Januari 1983 dan meninggal pada tanggal 9
November 1983, berarti orang ini hidup selama 302 hari atau jumlah tahun
kehidupan sebesar 0.83. begitu seterusnya hingga tanggal 31 Desember 1983,
jumlah kumulatif tahun kehidupan 598,41.
Perhitungan jumlah tahun kehidupan dengan cara ini untuk penduduk yang
jumlahnya besar, memakan waktu yang lama.Untuk keperluan ini dipergunakan
perkiraan (anapproximation).Diasumsikan bahwa jumlah kelahiran, kematian,
migrasi masuk dan migrasi keluar, tersebar merata pada periode tahun yang
dihitung, maka jumlah kumulatif tahun kehidupan besarnya tidak jauh berbeda
dengan jumlah penduduk pertengahan tahun (Juni).8Penduduk yang hidup pada
pertengahan tahun tersebut disebut dengan penduduk pertengahan tahun (midyear
or central population).Untuk menghitung jumlah penduduk pertengahan tahun
7
Angka 8.22 di dapat dari pembagian 3000 dengan 365 hari
8
Dengan alasan untuk mendapatkan jumlah penduduk pertengahan tahun dari hasil Sensus
Penduduk, maka mulai tahun 2000 Sensus Penduduk di Indonesia di laksanakan pada bulan Juni.
(Pm), dapat dilaksanakan dengan membagi dua penjumlahan penduduk pada
permulaan tahun (P1) dengan penduduk pada akhir tahun (P2). Atau dengan
rumus dapat ditulis sebagai berikut:
P1+P2
Penduduk Pertengahan Tahun (Pm) = atau
2
P1+P2
(Pm) = P1 + [ ]
2
4.931.500
CBR = x 1000 = 35
140.900.000
Tingkat Kelahiran Kasar sebesar 35 berarti bahwa tiap tahun, tiap 1000
penduduk terdapat 35 kelahiran bayi.
Pt = Po + (B – D) + (IM – OM)
Di mana:
Pt = banyaknya penduduk pada tahun akhir (+)
Po = banyaknya penduduk pada tahun awal (0)
B = banyaknya kelahiran
D = banyaknya kematian
IM = banyaknya migran masuk
OM = banyaknya migran keluar
(B-D) = pertumbuhan penduduk alamiah (rate of natural increase)
IM-OM = migrasi neto
Contoh:
Dalam bulan Januari tahun 1998 jumlah penduduk Kecamatan X sebesar
214.300 orang; jumlah kelahiran sebesar 3.165 orang dan jumlah kematian
sebesar 1.912 orang.Pada tahun itu jumlah migrasi masuk sebesar 400 dan migrasi
keluar jumlahnya 40 orang. Pada bulan Januari 1999 jumlah penduduk Kecamatan
X adalah:
Pt = Po + (B-D) + (IM-OM)
= 214.300 + (3.165-1.912) + (400-40)
= 215.913
Jadi pada bulan Januari 1999 jumlah penduduk Kecamatan X besarnya 215.913
orang.
Besar kecilnya laju pertambahan penduduk di suatu wilayah sangat
dipengaruhi oleh besar kecilnya komponen pertumbuhan penduduk. Sebagai
contoh pada periode tahun 1980-1990 laju pertumbuhan penduduk Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta besarnya 0,57 persen per tahun. Rendahnya angka
laju pertumbuhan penduduk di Daerah Istimewa Yogyakarta disebabkan karena
besarnya angka migrasi penduduk yang keluar.Sebaliknya untuk Propinsi
Kalimantan Timur pada periode tahun 1980-1990 jumlah migran masuk jauh
melebihi jumlah migran keluar, sehingga migran neto positif.
Untuk Indonesia sebagai keseluruhan laju pertumbuhan penduduk per tahun
hanya dipengaruhi oleh selisih jumlah kelahiran dengan jumlah kematian atau
pertumbuhan penduduk alami karena jumlah orang Indonesia yang menetap di
luar Indonesia jumlahnya sedikit (tidak signifikan dalam artian statistik) begitu
pula orang-orang luar negeri yang menetap di Indonesia. Tingkat pertumbuhan
penduduk alami di Indonesia pada periode tahun 1971-1980 dan 1980-1990
masing-masing sebesar 2,32 persen dan 1,97 persen. Laju masing-masing propinsi
di Indonesia pada kedua periode tahun di atas dapat dilihat pada Tabel 6.9
Tabel 6.9
Jumlah dan Pertumbuhan Penduduk Indonesia Menurut Propinsi
Tahun 1971-1990
Pertumbuhan penduduk
Jumlah Penduduk (000)
No Propinsi per tahun (%)
1971a 1980a 1990a 1971-1980 1980-1990a
1 Daerah Istimewa Aceh 2.009 2.611 3.416 2.93 2.72
2 Sumatera Utara 6.622 8.361 10.256 2.60 2.06
3 Sumatera Barat 2.793 3.407 3.999 2.21 1.62
4 Riau 1.643 2.169 3.306 3.11 4.31
5 Jambi 1.006 1.446 2.016 4.07 3.38
6 Sumatera Selatan 3.441 4.630 6.277 3.32 3.09
7 Bengkulu 519 768 1.179 4.39 4.38
8 Lampung 2.777 4.625 6.006 5.77 2.65
9 DKI Jakarta 4.579 6.503 8.254 3.93 2.41
10 Jawa Barat 21.624 27.454 35.381 2.66 2.57
11 Jawa Tengah 21.877 25.373 28.522 1.64 1.18
12 D.I. Yogyakarta 2.489 2.751 2.913 1.10 0.57
13 Jawa Timur 25.517 29.189 32.504 1.49 1.08
14 Bali 2.120 2.470 2.778 1.69 1.18
15 Nusa Tenggara Barat 2.204 2.275 3.370 2.36 2.15
16 Nusa Tenggara Timur 2.295 2.737 3.269 1.95 1.79
17 Timor Timur - 555 748 - 3.02
18 Kalimantan Barat 2.020 2.486 3.239 2.31 2.68
19 Kalimantan Tengah 702 954 1.396 3.43 3.88
20 Kalimantan Selatan 1.699 2.065 2.598 2.16 2.32
21 Kalimantan Timur 734 1.218 1.877 5.73 4.42
22 Sulawesi Utara 1.718 2.115 2.479 2.31 1.60
23 Sulawesi Tengah 914 1.290 1.711 3.86 2.87
24 Sulawesi Selatan 5.181 6.062 6.982 1.74 1.42
25 Sulawesi Tenggara 714 942 1.350 3.09 3.66
26 Maluku 1.090 1.411 1.856 2.88 2.78
27 Irian Jaya 923 1.174 1.641 2.67 3.41
Pt = Po (1 + r)2
Dimana:
Pt = banyaknya penduduk pada tahun akhir perhitungan
Po = banyaknya penduduk pada tahun awal perhitungan
r = angka pertumbuhan penduduk pertahun
t = jangka waktu (dalam banyaknya tahun)
Dari persamaan di atas terdapat empat bilangan yang tidak diketahui yaitu:
1 = Pt = Jumlah Penduduk pada tahun t
2 = Po = Jumlah Penduduk pada tahun dasar
3 = r = Rata-rata laju pertumbuhan penduduk per tahun
4 = t = Jangka waktu (dalam banyaknya tahun)
Kalau 3 dari 4 bilangan yang tidak diketahui kita ketahui, maka bilangan yang lain
dapat dihitung.
Contoh:
Jumlah penduduk Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 1961 sebesar
2.163.000, dan pada tahun 1971 meningkat manjadi 2.490.000 orang, hitunglah
besarnya laju pertumbuhan penduduk per tahun (r, persen) pada periode tahun
1961-1971.
Jawab:
Pt = Po(1+r)t
2.490.000 =2.163.000 (1+r)10
2.490.000
(1+r)10 =2.163.000
=1,151179
10 log((1+r) = log 1,157179
= 0,0611429
Log (1+r) = 0,00611429
(1+r) = 1,014178
r = 1,014178-1
r = 0,014178
= 1,42%
Pt = Po.erf
Dimana:
Pt = banyaknya penduduk pada tahun akhir
Po = banyaknya penduduk pada tahun awal
r = angka pertumbuhan penduduk
t = jangka waktu
e = Angka eksponensial (2,718282)
contoh:
1. Penduduk Indonesia pada tahun 1961 berjumlah 97.019.000 orang dan pada
tahun 1971 meningkat menjadi 119.232.000 orang. Maka pertumbuhan
penduduk geometris, r = 0,0208 atau 2,08 persen per tahun, sedang
pertumbuhan eksponensial, r = 0,020617 atau 2,06 persen per tahun.
2. Apabila laju pertumbuhan penduduk per tahun suatu negara sebesar 1 persen
atau 0,01, setelah berapa tahunkah jumlah penduduknya berlipat dua?
Jawab:
Rumus:
Pt = Po.erf
7.1 PENDAHULUAN
Kematian atau mortalitas adalah salah satu dari tiga komponen demografi
yang berpengaruh terhadap struktur dan jumlah penduduk. Dua komponen
demografi lainnya adalah kelahiran (fertilitas), dan mobilitasi penduduk. Tinggi
rendahnya tingkat mortalitas penduduk suatu daerah tidak hanya mempengaruhi
pertumbuhan penduduk, tetapi juga merupakan barometer dari tinggi rendahnya
tingkat kesehatan masyarakat di daerah tersebut. Dengan memperhatikan trend
dari tingkat mortalitas di masa lampau dan estimasi di masa mendatang dapatlah
di buat sebuah proyeksi penduduk wilayah bersangkutan.
Yang dimaksud dengan mati ialah peristiwa menghilangnya semua tanda-
tanda kehidupan secara permanen, yang bisa terjadi setiap saat setelah kelahiran
hidup* (Budi Utomo, 1985). Dari definisi ini terlihat bahwa keadaan “mati” hanya
bisa terjadi kalau sudah terjadi kelahiran hidup.9 Dengan demikian keadaan mati
selalu didahului oleh keadaan hidup. Dengan kata lain, mati tidak pernah ada
kalau tidak ada kehidupan. Sedangkan hidup selalu dimulai dengan lahir hidup
(live birth).
Di samping mortalitas, dikenal istilah morbiditas yang diartikan sebagai
penyakit atau kesakitan. Penyakit dan kesakitan dapat menimpa manusia lebih
dari satu kali dan selanjutnya rangkaian morbiditas ini atau sering disebut
morbiditas kumulatif pada akhirnya menghasilkan peristiwa yang disebut
kematian. Penyakit atau kesakitan adalah penyimpangan dari keadaan yang
normal, yang biasanya dibatasi pada kesehatan fisik dan mental (Budi Utomo,
1985).
Pada gambar 6 terlihat beberapa definisi atau istilah kematian sekitar
kelahiran dan sebelumnya. Disini dibedakan peristiwa-peristiwa kematian yang
terjadi di dalam rahim (intra uterin) dan di luar rahim (extra uterin). Pada masa
9
Lahir hidup (live birth) adalah peristiwa keluarnya hasil konsepsi dari rahim seorang ibu secara
lengkap, dengan disertai tanda-tanda hidup (denyut jantung, denyut tali pusat atau gerakan-
gerakan otot) tanpa memandang apakah tali pusat sudah dipotong atau belum.
janin masih dalam kandungan ibu (intra uterin), terdapat peristiwa-peristiwa
kematian janin sebagai berikut:
1. Abortus, kematian janin menjelang dan sampai 16 minggu;
2. Immature, kematian janin antara umur kandungan di atas 16 minggu sampai
pada umur kandungan 28 minggu;
3. Prematur, kematian janin di dalam kandungan pada umur di atas 28 minggu
sampai waktu lahir.
Angka ini berarti, bahwa pada tahun 1975 setiap tahun, setiap 1000
penduduk, terdapat kematian sebesar 16,9 penduduk.
Atau:
Di
𝐴𝑆𝐷𝑅 𝑖 = x 1000
Pmi
Tingkat kematian menurut kelompok umur (ASDR) dapat dihitung dengan rumus:
ASDRi laki-laki = (Di lk / Pi lk) x 1000
ASDRi perempuan = (Di pr / Pi pr) x 1000
Contohnya untuk kelompok umur 5-9 tahun dapat di hitung sebagai berikut:
Untuk laki-laki
ASDR 5-9 laki-laki = (21.285 / 5.601.294) x 1000 = 3,80, dan seterusnya
Tingkat kematian menurut umur dapat digambarkan dalam sebuah grafik
seperti terlihat pada gambar 10. Pada gambar ini terlihat pada tingkat kematian
menurut umur untuk perempuan sejak umur 20 hingga 75 tahun lebih rendah
dibandingkan dengan laki-laki, dan pada kelompok umur anak-anak tingkat
kematian tinggi kemudian menurun pada usia dewasa dan meningkat kembali
pada usia tua.
Memperhatikan angka-angka kematian menurut umur seperti tersebut di
atas, terlihatlah bahwa pada umur 0-4 tahun angka kematian sangat tinggi, lebih-
lebih angka kematian bayi (umur di bawah satu tahun). Karena hal tersebut di
atas dibuatlah perhitungan tersendiri untuk kematian bayi.
Do
𝐼𝑀𝑅 = xk
B
Sebagai contoh, di suatu daerah pada tahun 1970 jumlah kematian bayi
sebesar 263.000 orang dan jumlah kelahiran pada tahun tersebut sebesar
1.594.000, maka basarnya tingkat kematian bayi (IMR) dapat dihitung sebagai
berikut:
263.000
𝐼𝑀𝑅 = X 1000 = 164,99
1.594.000
Ini berarti, pada tahun 1970 di daerah yang bersangkutan terdapat 164,99
bayi meninggal tiap 1000 kelahiran.
Tingkat kematian bayi (IMR) di Indonesia walaupun terlihat adanya penurunan
setalah tahun 1980,an dari 145 pada tahun 1971 menjadi 109 pada tahun 1980,
tetapi tetap menunjukkan angka yang tinggi (di atas 100). Negara-negara AS EAN
yang lain pada tahun 1978 besarnya IMR kurang dari 100 (Malaysia 41, Philipina
80, Muangthai 80,an, Singapura 12, (Pop Ref Bureau, 1978). Di Indonesia satelah
tahun 1990 besarnya IMR mulai lebih kecil dari 100 (Tabel 7.2) dan pada tahun
1997 besarnya mencapai 52 per seribu kelahiran.
Tabel 7.2
Estimasi tingkat kematian bayi (IMR) tahun 1971, 1980, 1990
Apabila di lihat per- propinsi, terlihat bahwa propinsi Nusa Tenggara Barat
tingkat kematian bayinya tertinggi di antara propinsi-propinsi yang lain yaitu 221
pada tahun 1971 dan 195 pada tahun 1990, dan propinsi-propinsi di Jawa dan
Bali, tingkat kematian bayinya lebih rendah dari propinsi-propinsi yang lain (
Tabel 7.2).
Terdapat variasi tingkat kematian bayi antara negara bertingkat kematian
bayi bisa mencapai 200 per 1000 kelahiran hidup, sedangkan di negara-negara
maju angka tersebut bisa di bawah 15 per 1000 kelahiran (Budi Utomo, 1983).
Demi negara, misalnya antara kota dan desa, antara bagian golongan sosial
ekonomi penduduk. Di samping itu, angka kematian bayi pada suatu tempat juga
bervariasi menurut waktu.
Angka kematian bayi merupakan indikator yang sangat berguna, tidak saja
terhadap status penduduk keseluruhan dan kondisi ekonomi di mana penduduk
tersebut bertempat tinggal. Angka kematian bayi tidak hanya merefleksikan
besarnya masalah kesehatan yang bertanggung jawab langsung terhadap kematian
bayi, seperti diare, infeksi saluran pernafasan, salah gizi, penyakit-penyakit infeksi
dan kondisi prenatal, tetapi juga merefleksikan tingkat kesehatan ibu, kondisi
kesehatan lingkungan dan secara umum tingkat perkembangan sosial ekonomi
masyarakat. Baik di negara maju, maupun di negara yang sedang berkembang,
terdapat hubungan terbalik antara tingkat kematian bayi dengan status ekonomi
orang tua.
Angka kematian bayi juga telah menunjukkan fungsinya sebagai indikator
ampuh dalam menilai perubahan kondisi kesehatan di suatu negara. Pada negara-
negara dimana angka kematian bayi telah dihitung selama periode yang lama,
terlihat reduksi angka kematian bayi yang sejajar dengan perbaikan standar hidup
dan kondisi sanitasi termasuk juga kemudahan pelayanan kesehatan yang sebaik-
baiknya bagi masyarakat.
Dalam penerapannya, angka kematian bayi dipakai sebagai angka
probabilitas untuk mengukur resiko kematian dari seorang manusia atau bayi dari
saat kelahirannya sampai menjelang ulang tahunnya yang pertama. Apabila
penduduk mempunyai angka kematian bayi 200 per 1000 kelahiran hidup, ini
berarti bahwa probabilitas mati seorang bayi yang baru lahir pada penduduk
tersebut sebelum mencapai ulang tahunnya yang pertama adalah 20 persen.
Sehingga kalau diterapkan secara agregat, dari 1000 kelahiran misalnya, 200
diantaranya mati sebelum ulang tahun yang pertama atau dapat juga dikatakan
bahwa hanya 800 dari 1000 kelahiran yang dapat menikmati ulang tahun yang
pertama. Dengan perkataan lain, resiko kematian bayi pada penduduk dengan
angka kematian bayi 200 per 1000 kelahiran hidup adalah kurang lebih 13 sampai
14 kali lebih tinggi di banding dengan resiko kematian bayi pada penduduk
dengan angka kematian bayi 15 per 1000 kelahiran.
10
Kasto dan sembiring (1995) begitu pula McNicoll dan Mamas (1973) menghitung tingkat
kematian anak balita sebagai jumlah kematian anak balita selama satu tahun pert 1000 kelahiran.
Perhitungan dengan menggunakan jumlah kelahiran atau jumlah anak balita sebagai penyebut
walaupun hasilnya sedikit berbeda, tetapi perbedaan itu tidak signifikan.
Tabel 7.3
7.2 STANDARISASI
Tabel 7.4
Negara A Negara B
Penyebab endogen dan eksogen dari kematian bayi dalam sub bab ini
disarikan dari tulisan Budi Utomo (1985) dalam makalah dengan judul
“mortalitas: pengertian dan contoh kasus di Indonesia”, yang ditulis tahun 1985.
Berbeda dengan kematian pada umur-umur selanjutnya, kematian pada bayi
memerlukan perhatian sendiri.
` kematian pada bayi dan juga anak sampai menjelang umur lima tahun relatif
sangat tinggi seperti halnya mereka yang berusia lanjut. Kalau mereka yang
berusia lanjut banyak bertanggung jawab sendiri terhadap kematiannya, maka
kematian bayi dan anak lebih banyak ditentukan oleh kemampuan orang tua
dalam memberikan pemeliharaan dan perawatan terhadap anak-anaknya karena
faktor sosio-ekonomi berkaitan dengan kemampuan tersebut, maka kematian bayi
dan anak-anak sering kali digunakan sebagai indikator status kesehatan dan status
sosio- ekonomi penduduk (Uni9ted nation, 1973).
Banyak sekali faktor yang dapat dikaitkan dengan kematian bayi. Secara
garis besar, dari segi penyebabnya, kematian bayi dibedakan menjadi dua jenis
yaitu endogen dan eksogen. Kematian bayi endogen adalah kematian bayi yang di
sebabkan oleh faktor-faktor anak yang dibawa sejak lahir, diwarisi orang tuanya
pada saat konsepsi atau didapat dari ibunya selama kehamilan. Sedangkan
kematian bayi eksogen adalah kematian bayi yang di sebabkan oleh faktor-faktor
yang bertalian dengan pengaruh lingkungan luar. Pembedaan antara kedua jenis
penyebab kematian tersebut idealnya dapat dilakukan melalui data statistik
penyebab kematian, tetapi dalam praktek tidak mudah karena masalah kualitas
data (United Natuons, 1973).
Dengan semakin meningkatnya usia, kematian endogen mengurang dan
kematian eksogen meningkat. Sementara semua kematian bayi yang terjadi
setelah usia satu bulan (post neonatal) merupakan kematian eksogen, maka
kematian eksogen pada bayi sebelum usia satu bulan (neonatal) besarnya kira-kira
25% dari seluruh kematian bayi pada post neo natal (bourgouis pichat, 1952).
Dengan kata lain, jumlah kematian eksogen pada bayi adalah 1,25 kali lipat dari
kematian bayi pada periode post neonatal. Gambaran ini menunjukkan bahwa
faktor lingkungan luar berkontribusi besar sebagai penyebab kematian bayi.
Kualitas lingkungan pada bentuk kondisi higiene, sanitasi dan sosial ekonomi
akan sangat menentukan terhadap tinggi-rendahnya kematian bayi.
Apabila kematian bayi tinggi, maka rasio kematian bayi post neonatal adlah
juga tinggi. Rasio ini menurun dengan semakin rendahnya kematian bayi yang
sampai pada suatu saat dengan terkontrolnya faktor lingkungan luar, porsi
kematian neonatal menjadi lebih dominan. Pada keadaan ini , kematian bayi lebih
banyak di sebabkan faktor endogen, yang pengontrolannya memerlukan
kemampuan untuk menembus pengetahuan tentang masalah-masalah biologi yang
lebih mendasar (keyfitz, 1977). Di Indonesia dan di banyak negara berkembang
lainnya, keadaan tersebut masih jauh dari jangkauan.
Akibat ketidak lengkapan serta kurang dapat dipercaya angka sttistik vital di
Indonesia, maka sangatlah sulit untuk memperkirakan dengan tepat tren mortalitas
di Indonesia dari masa ke masa. Larry Heligman (1976) dalam tulisannya
mengenai mortalitas di Indonesia 1961-1971 menguraikan tentang perkembangan
mortalitas di Indonesia seperti disarikan di bawah ini .
Setelah tahun 1960, memang telah ada tendensi penurunan tingkat kematian,
tetapi penurunan ini tidak stabil kadang-kadang mengalami fluktuasi yang
dipengaruhi oleh naik turunnya produk pangan, situasi politik dan sataf kesehatan
masyarakat. Produksi pangan dalam tahun 1960-an tidak dapat mengimbangi
tingkat pertambahan penduduk . produksi pangan pada waktu itu kenaikannya 1,8
persen per tahun, sedang tingkat pertambahan penduduk sebesar 2,4 persen.
Meskipun produksi beras sebagai bahan pangan pokok naik hampir sama cepatnya
dengan kenaikan jumlah penduduk tiap tahun, tetapi pertambahan itu tidak merata
selama jangka waktu tersebut. Misalnya hingga tahun 1968 produksi beras naik
kurang dari 1 persen. Walaupun luas areal yang ditanami meningkat tetapi ada
kemerosotan sistem iri grasi. Dari tahun 1968 produksi padi meningkat lagi
karena adanya program intensifikasi dalam bidang pertanian. Program ini
dipusatkan pada penggunaan bibit-bibit jenis unggul, pupuk dan perbaikan
intrastruktur serta fasilitasi kredit.
Susu merupakan faktor penting bagi penurunan penyakit dan tingkat
kematian anak. Berbeda dengan produksi pangan, produksi susu naik dengan
cepat selama beberapa tahun pertama tahun 1960-an. Sesudah tahun 1966,
produksi susu menurun dengan cepatnya. Penurunan produksi ini terjadi bersama
dengan berakhirnya program sumbangan susu dari UNICEF. Akibatnya penyakit
kanak-kanak merupakan sebab kematian yang penting dalam periode 1960-an.
Pada periode ini, terjadi pula peningkatan harga-harga pangan dan hal ini
mengakibatkan turunnya tingkat konsumsi pangan dan nutrisi baik dalam
kuantitas (jumlah kalori per orang per hari) maupun kualitas. Jadi walaupun
terjadi kenaikan produksi pangan, tetapi karena tingkat pertambahan penduduk
lebih tinggi maka tingkat konsumsi di Indonesia (ditinjau dari segi nutrisi)
tidaklah pernah memadai.
Sumber : penduduk Indonesia hasil pengolahan sub sampel I sensus penduduk 1980, BPS
7.6 MEKANISME PENURUN KEMATIAN BAYI DAN ANAK
Kematian bayi dan anak secara umum merupakan konsekuensi akhir dari
perjalanan kumulatif dengan berbagi pengalaman morbiditas dan jarang karena
sarangan penyakit tunggal. Ini berarti bahwa reduksi kematian melalui program-
program kesehatan tidak cukup hanya dengan membrantas penyakit-penyakit
penyebab kematian ttetapi harus memasukan pula tindakan-tindakan yang
mengarah kepada permasalahan yang lebih mendasar yang menyangkut proses
morbiditas dan mortalitas secara keseluruhan.
Faktor sosio-ekonomi merupakan faktor penentu mortalitas bayi dan anak.
Namun faktor sosio-ekonomi bersifat tidak langsung, yaitu harus melalui
mekanisme biologi tertentu (variabel antara) yang kemudian baru akan
menimbulkan resiko morbiditas, dan selanjutnya bayi dan anak sakit dan apabila
tidak sembuh akhirnya cacat atau meninggal. Dalam mekanisme ini, penyakit dan
kurang gizi bukan merupakan variabel independen, tetapi lebih merupakan
indikator yang merefleksikan mekanisme kerja variabel antara. Dengan demikian,
dalam merencanakan dan melaksanakan program-program kesehatan untuk
menurunkan morbiditas dan mortalitas perlu dibekali dengan peningkatan
pengetahuan yang lebih luas dan lebih mendalam mengenai mekanisme di atas,
dan tidak hanya di batasi oleh penyakit penyebab kematian, walaupun itu juga
penting.
Penanganan terhadap masalah kematian bayi dan anak menurut adanya
kerangka kosepsual tentang faktor-faktor yang mempunyai morbiditas dan
mortalitas bayi dan anak (lihat gambar 11). Komponen dari kerangka ini terdiri
atas morbiditas dan mortalitas sebagai masalah pokok, dan faktor sosial-ekonomi
serta variabel antara sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi .termasuk dalam
faktor faktor sosial ekonomi ialah faktor-faktor yang ada dalam individu,
keluarga, sedang suasana politik, ekonomi dan keamanan merupakan faktor-faktor
yang mempengaruhi morbiditas dan mortalitas dalam masyarakat.
Faktor-faktor maternal, lingkungan, gizi, cedera dan pelayanan kesehatan
merupakan beberapa dari variabel antara morbiditas dalam masyarakat ditentukan
atas dasar prevalensi dan insidensi penyakit-penyakit yang merupakan penyebab
kematian utama (Budi Utomo, 1985).
Kesehatan Sakit
pencegahan
pengobatan
Pengendalian Gangguan Mati
penyakit perorangan pertumbuhan
gambar 11.
Pengaruh sosio-ekonomi terhadap mortalitas bayi dan anak lewat variabel antara
Sumber: mosley, W.H. dan L.C Chen n(1984).
7.7 ANGKA HARAPAN HIDUP PADA SUATU UMUR
Angka harapan hidup pad suatu usia merupakan indikator yang baik untuk
menunjukkan tingkat sosial-ekonomi secara umum. Indikator yang sering dipakai
adalah angka harapan hidup waktu lahir (expection of live at birth). Angka
tersebut berkisar pada kurang lebih 470 tahun pada negara berkembang, dan 70
tahun pada negara maju. Diperkirakan angka harapan hidup waktu lahir di
Indonesia pada tahun 200 sebesar 64 tahun dengan asumsi tingkat kematian mulai
tahun 1980 sampai 2000 juga turun sesuai dengan kecenderungan di masa lampau
( 1967-179 ). Di samping itu level of mortality diasumsikan naik sebesar 1,2 setiap
5 t6ahun, sehingga angka harapan hidup waktu lahir naik dari 55,30 tahun dalam
periode 1981 (Tabel 7.7) Kasto 1993). Angka rata-rata di dunia di perkirakan
sebesar 61 tahun (Budi Utomo, 1993).
Rata-rata
kenaikan
propinsi 1971 1980 1990 2000
1971- 1980-
1980 2000
Daerah Istimewa Aceh 46 55 63 66 1.96 1.37
Sumatera utara 50 56 63 65 1.25 1.84
Sumatera barat 45 50 60 65 1.25 1.84
Riau 47 52 61 66 1.11 1.61
Jambi 44 51 60 65 1.62 1.64
Sumatera selatan 45 50 60 63 1.15 1.84
Bengkulu 43 53 61 65 2.30 1.42
Lampung 46 54 60 64 1.76 1.06
DKI Jakarta 49 58 68 70 1.85 1.60
Jawa Barat 4 48 56 62 1.21 1.55
Jawa Tengah 47 55 61 65 1.73 1.04
D.I. Yogyakarta 55 63 67 68 1.49 0.06
Jawa Timur 50 55 62 65 1.05 1.21
Bali 49 56 65 68 1.47 1.50
Nusa Tenggara Barat 35 39 46 55 1.19 1.66
Nusa Tenggara Timur 45 49 59 65 0.94 1.87
Timor Timur - - 58 63 - -
Kalimantan Barat 46 51 58 63 1.13 1.29
Kalimantan Tengah 49 54 63 67 1.07 1.55
Kalimantan Selatan 43 50 56 60 1.66 1.14
Kalimantan Timur 53 54 63 67 0.21 1.55
Sulawesi Utara 51 55 62 65 0.83 1.21
Sulawesi Tengah 46 49 56 61 0.69 1.34
Sulawesi Selatan 44 52 60 65 1.84 1.44
Sulawesi Tenggara 42 52 59 63 2.35 1.27
Maluku 46 50 59 64 0.92 1.67
Irian Jaya 51 53 58 61 0.42 1.20
INDONESIA 46 53 60 64 1.56 1.25
Tabel 7.8
Laki-laki perempuan
propinsi
1971 1980 1990 1971 1980 1990
Daerah Istimewa Aceh 44.6 53.5 60.8 47.6 56.8 64.5
Sumatera utara 48.4 54.4 60.3 51.3 57.8 63.9
Sumatera barat 43.1 48.4 57.5 46.0 51.4 60.9
Riau 44.0 50.5 59.4 47.0 55.1 63.0
Jambi 42.7 48.5 57.6 45.7 51.4 61.0
Sumatera selatan 42.6 51.9 58.1 45.5 55.1 61.6
Bengkulu 40.9 50.2 58.5 43.7 53.2 62.0
Lampung 44.1 52.4 58.5 47.1 55.6 62.0
DKI Jakarta 47.1 55.8 64.3 50.0 59.2 68.2
Jawa Barat 40.8 46.2 54.2 43.6 49.1 57.4
Jawa Tengah 44.4 52.5 59.4 47.4 55.7 62.9
D.I. Yogyakarta 51.8 59.9 64.7 55.0 63.6 68.5
Jawa Timur 48.8 52.7 59.7 51.5 56.000 63.3
Bali 46.8 55.8 62.5 49.7 57.0 66.2
Nusa Tenggara Barat 33.7 37.7 44.6 36.3 40.4 47.3
Nusa Tenggara Timur 42.9 47.2 56.9 -45.8 50.1 60.3
Timor Timur - - 55.3 - - 58.6
Kalimantan Barat 44.4 48.8 56.8 47.3 51.8 59.3
Kalimantan Tengah 46.9 52.2 53.8 49.8 55.4 64.7
Kalimantan Selatan 41.1 48.1 58.3 44.0 51.0 57.3
Kalimantan Timur 51.5 52.2 56.6 54.7 55.4 64.5
Sulawesi Utara 49.7 53.5 59.8 52.7 56.8 63.4
Sulawesi Tengah 43.4 46.9 53.8 46.4 49.7 57.0
Sulawesi Selatan 41.7 50.3 58.3 44.6 53.3 61.7
Sulawesi Tenggara 40.8 49.3 56.8 43.6 52.3 60.2
Maluku 44.5 48.1 57.0 47.5 51.0 60.4
Irian Jaya 54.9 51.3 56.2 58.3 54.5 59.5
INDONESIA 44.2 50.6 58.1 47.2 53.7 61.5
Waktu lahir untuk bayi perempuan lebih tinggi dari bayi laki-laki (tabel 7.8).
rumus angka harapan hidup pada waktu lahir, dan setelah mencapai tepat umur X
tahun dapat dilihat pada pembicaraan tabel kematian (life table) pada bab 9 []
BAB X
KELAHIRAN (FERTILITAS)
Contoh :
Pada tahun 1975 jumlah penduduk Indonesia pada pertengahan tahun
sebesar 136.000.000 orang, sedangkan jumlah kelahiran pada tahun tersebut
sebesar 5.834.400 bayi Tingkat kelahiran Kasar untuk Indonesia pada tahun 1975
dapat dihitung seperti dibawah ini :
5.834.400
CBR = 𝑥1000
136.000.000
= 42,9
Ini berarti di Indonesia pada tahun 1975 tiap 1.000 penduduk terdapat 42,3
kelahiran bayi.
Tabel 10.1
Negara-negara Yang Berpenduduk Lebih Dari 500.000 Jiwa Dengan Tingkat
Fertilitas Kasar Tertinggi dan Terendah Tahun 1982
Negara dan wilayah Tingkat Fertilitas Kasar
Afrika
Tertinggi : Kenya 53
Terendah : Mauritius 27
Amerika Latin
Tertinggi Honduras 47
Nkaragua 47
Terendah Kuba 14
Amerika Utara
Tertinggi : Kanada 16
Terendah : Amerika Serikat 16
Asia
Tertinggi : Oman 49
Yaman Utara 49
Terendah : Jepang 14
Singapura 17
Hongkong 17
Eropa
Tertinggi : Albania 29
Irlandia 22
Polandia 20
Terendah Jerman Barat 10
Denmark 11
Italia 11
Oseania
Tertinggi : Papua Nu Gini 44
Terendah : Australia 15
Selandia Baru 17
Uni Soveit
Tertinggi Uni Soviet 18
dan
Terendah
Sumber : 1982 World Population data Sheet, Prop. Ref : Burean
Tabel 10.2
Taksiran Tingkat Fertilitas Kasar di Indonesia Tahun 1930 – 1971
Periode Tingkat Fertilitas Kasar
-1930 47,4
1931 – 1936 47,2
1936 – 1941 47,1
1941 – 1946 42,8
1946 – 1951 43,8
1951 – 1956 48,9
1956 – 1961 47,7
1961 – 1966 45,5
166 – 1971 43,8
Sumber : Alden Speare (1976)
Dari Tabel 10.2 diatas dapatlah disimpulkan bahwa Tingkat Fertilitas Kasar
di Indonesia sebelum PD II besarnya sekitar 47, kemudian pada masa PD II dan
Perang Kemerdekaan Tingkat Fertilitas menurun menjadi sekitar 43. Pada saat itu
suasana perang terasa sekali sehingga orang takut untuk menambah kelahiran.
Baru setelah tahun 1950-an suasana menjadi aman kembali, terjadilah ledakan
penduduk (baby boom). Periode 1951 – 1956 ditandai dengan angka Tingkat
Fertilitas Kasar tertinggi, yaitu sebesar 48,9 kelahiran per 1.000 penduduk.
Setelah tahun 1961 Tingkat Fertilitas kasar mulai menurun.
Dampak kebijaksanaan demografi yang “pronatalis” pada jaman Orde Lama
adalah tingginya angka kelahiran. Di lain pihak angka kematian sudah mulai
menurun sehingga lajupertambahan penduduk alami terus meningkat (Tabel 10.3).
Sehubungan dengan hal tersebut Pemerintah Orde Baru memprioritaskan
kebijaksanaan demografi dengan usaha penurunan kelahiran dengan
mengimplementasikan Program Keluarga Berencana (KB).11 Pelaksanaan
program Keluarga Berencana mula-mula dilaksanakan di Pulau Jawa dan Bali
dengan alasan bahwa kedua pulau ini menghadapi malah demografi yang serius
yang perlu mendapatkan penyelesaian dengan segera. Setelah PELITA I program
Keluarga Berencana diperluas pelaksanaannya ke luar Pulau Jawa dan Bali.
Perlu dicatat bahwa tujuan program KB tidak hanya menurunkan jumlah
anak yang dilahirkan, tetapi merupakan upaya utama untuk ikut mewujudkan
keluarga sejahtera. Menurut Undang-Undang nomor 10 tahun 1992, keluarga
berencana telah mendapatkan definisi yang baru dan semakin luas yaitu upaya
peningkatan kepedulian dan peran serta masyarakat melalui pendewasaan usia
perkawinan, pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga, dan
peningkatan kesejahteraan keluarga untuk mewujudkan keluarga kecil bahagia
dan sejahtera (Siswanto, 1996).
Akibat dari pelaksanaan program ini terjadi penurunan angka kelahiran
kasar dan 39,9 kelahiran per 1.000 penduduk pada tahun 1970 menurun menjadi
35,9 pada tahun 1976. Jadi selama enam tahun terjadi penurunan fertilitas sebesar
10 persen. Pada tahun 2005 diperkirakan angka kelahiran kasar sebesar 19,5
kelahiran per 1.000 penduduk (Ananta, 1989).
11
Setelah tahun 1967 pemerintah menyadri perlunya dilaksanakan program Keluarga Berencana
dalam usaha mengurangi laju pertumbuhan penduduknya. Lembaga Keluarga berencana Nasional
(semi pemerintah) didirikan untuk mengkoordinir perkumpulan-perkumpulan Keluarga Berencana
yang telah ada. Pada tahun 1970, lembaga ini dirubah menjadi Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN) yang merupakan lembaga pemerintah dengan tugas : a. membantu
Presiden merumuskan kebijaksanaan pemerintah mengenai Keluarga Berencana dan b.
mengkoordinir semua kegiatan keluarga berencana yang kemudian dijabarkan dalam tugas-tugas
pokok (Mantra, 1985).
Tabel 10.3
Laju Pertumbuhan Penduduk Indonesia Per Pulau Tahun 1930-1990 (%)
Pulau 1960-1961 1961-1971 1971-1980 1980-1990
Jawa dan Madura 1,3 1,9 2,0 1,3
Sumatera 2,1 2,9 3,3 2,6
Kalimantan 2,1 2,4 2,8 3,0
Sulawesi 1,7 1,8 2,2 1,4
Pulau-pulau lain 1,8 2,0 2,8 2,0
INDONESIA 1,5 2,1 2,3 1,9
Sumber : Biro Pusat Statistik, 1982 dan 1991
Dimana :
GFR = Tingkat Fertilitas Umum
B = Jumlah Kelahiran
Pf (15-49) = Jumlah penduduk perempuan umur 15-49 tahun pada pertengahan
tahun
Contoh :
Pada tahun 1964 jumlah penduduk perempuan umur 15-49 tahun di
Indonesia besarnya 30.351.000n jiwa, sedangkan jumlah kelahiran pada tahun
tersebut sebesar 2.982.000 bayi. Tingkat Fertilitas Umum (GFR) untuk Indonesia
tahun 1964 dapat dihitung seperti berikut :
2.982.000
GFR = 30.351.000 𝑥 1.000
Umur i
Atau
Bi
ASFRi = xk
Pfi
Dimana :
Bi = jumlah kelahiran bayi pada kelompok umur i
Pfi = jumlah perempuan kelompok umur i pada pertengahan tahun
k = angka konstanta = 1.000
Contoh :
Perhitungan tingkat fertilitas menurut umur untuk Jawa Tengah pada
periode tahun 1971-1976 (Tabel 10.4).
Tabel 10.4
Perhitungan Tingkat Fertilitas Menurut Umar untuk Jawa Tengah pada Periode
Tahun 1971 – 1976
Tingkat fertilitas
Kelompok umur Jumlah menurut umur
Jumlah kelahiran
(th) perempuan (ASFR) per 1.000
perempuan
1 2 3 4=3/2 x 1.000
15 – 19 1.170.505 151.697 129,6
20 – 24 859.154 208.001 242,1
25 – 29 777.519 186.138 239,4
30 – 34 842.807 169.910 201,6
35 – 39 810.804 103.621 127,8
40 – 44 683.817 44.927 65,7
45 – 49 504.942 4.999 9,9
Sumber : Muryati (1980)
Gambar 22
Tingkat Fertilitas Menurut Umur untuk Jawa Tengah Periode Tahun 1971-1976,
dan Amerika Serikat Tahun 1963
Dari Gambar 22 terlihat bahwa Tingkat Fertilitas untuk Jawa Tengah lebih
tinggi dari Amerika Serikat untuk seluruh kelompok umur. Yang menarik
perhatian ialah tingkat fertilitas kelompok umur di bawah 20 tahun dimana untuk
Amerika Serikat sangat rendah dan jawa tengah sangat tinggi (sekitar 130). Hal ini
di pengaruhi oleh umur perkawinan pertama yang tinggi untuk Amerika Serikat,
dan rendah untuk jawa tengah.
Di Indonesia penurunan kelahiran akibat dari pelaksanaan program
Keluarga Berencana (KB) tidak hanya dapat dilihat pula dari penurunan tingkat
kelahiran kasar (CBR) dapat pula dilihat dari penurunan Tingkat Kelahiran
menurut kelompok umur (ASFR) seperti terlihat pada Tabel 10.5. Dari tabel ini
terlihat bahwa perempuan dari seluruh umur mengalami penurunan angka
kelahiran, tetapi kelompok umur 15-19 mengalami penurunan angka kelahiran,
tetapi kelompok umur 15-19 mengalami penurunan tertinggi yaitu 54,2 persen
selama 29 tahun. Tingkat fertilitas menurut kelompok umur berdasarkan propinsi
pada tahun 1980 dan 1990 dapat dilihat pada tabel 10.12.
Tabel 10.5
Tingkat Fertilitas Menurut Kelompok Umur (ASFR)
Indonesia Tahun 1971, 1980,1990
Kelompok Umur 1971 1980 1990
15 – 19 155 166 71
20 – 24 286 218 178
25 – 29 273 232 172
30 – 34 211 177 128
35 – 39 124 104 73
40 – 44 55 46 31
45 – 49 17 13 9
Sumber : BPS, 1994
Kelahiran
Atau
Boi
𝐵𝑂𝑆𝐹𝑅 = xk
Pf (15 − 49)
Dimana :
BOSFR = Birth Order Specific Fertility Rate
Boi = Jumlah kelahiran urutan ke i
Pf (15-49) = Jumlah perempuan umur 15 – 49 pertengahan tahun
k = bilangan konstan = 1.000
Tabel 10.7
Tingkat fertilitas Umum Negara India, Swedia, Philipina, dengan Penduduk
Perempuan Swedia Standar
Penduduk
Kelompok Tingkat fertilitas menurut Angka standardisasi yang
Perempuan
Umur umur distandardisasi
Swedia
15 – 19 164.788 151,6 32,47 69,13 24.982 5.515 11.392
20 – 24 130.496 275,7 127,20 346,59 35.978 16.599 45.229
25 – 29 122.088 255,5 138,01 377,91 31.193 16.849 46,138
30 – 34 132.429 197,0 83,45 315,09 26.089 11.051 41.727
35 – 39 149.895 149.895 133,8 11,94 20.056 20.056 38.093
40 – 44 150.342 150.342 51,9 103,62 7.803 1.795 15.578
45 – 49 149.962 19,2 0,85 27,55 2.879 0.127 4.131
Jumlah 1.000.000 148.980 57.885 202.288
B 148,98 57,89 202,29
GFR = x 1000
Pf (15−49)
Sumber : Palmore (1971 : 34)
10.3 PENGUKURAN FERTILITAS KUMULATIF
Dalam pengukuran fertilitas kumulatif, kita mengukur rata-rata jumlah anak
laki-laki da perempuan yang dilahirkan oleh perempuan pada waktu perempuan
itu memasuki usia subur hingga melampaui batas reproduksinya (15-49 tahun).
Ada tiga macam ukuran fertilitas kumulatif yang akan dibicarakan dalam bab ini
yaitu: Tingkat Fertilitas Total (Total Fertility Rates = TFR). Gros Reproduction
Rates (GPR) dan Net Reproduction Rates (NRR).
10.3.1 Tingkat Fertilitas Total (Total Fertility Rates = TFR)
Tingkat Fertilitas Total didefinisikan sebagai jumlah kelahiran hidup laki-
laki dan perempuan tiap 1.000 perempuan yang hidup hingga akhir masa
reproduksinya dengan catatan :
1. Tidak ada seorang perempuan yang meninggal sebelum mengakhiri masa
reproduksinya;
2. Tingkat fertilitas menurut umur tidak berubah pada periode waktu tertentu.
Ini berarti tiap 1.000 perempuan setelah melewati masa suburnya akan melahirkan
5.080,5 bayi laki-laki dan perempuan atau setiap perempuan Jawa Tengah pada
periode 1971-1976 melahirkan 5,08 bayi laki-laki dan perempuan. Diantara pulau-
pulau di Indonesia pada periode tahun 1961 – 1970, J awa mempunyai tingkat
fertilitas total terendah (5,2) dan Sumatra tertinggal (6,5), sedangkan untuk
Kalimantan besarnya 5,7; Sulawesi 5,8; dan pulau-pulau lain besarnya 6,1 (Cho
et. al, 1976).
Tabel 10.8
Perkiraan Tingkat Fertilitas Total Beberapa Wilayah di Indonesia Periode 1967 –
1970 dan 1971 – 1975
Wilayah Tingkat Fertilitas Total
1967 – 1970 1971 – 1975
Jakarta 4,9 4,8
Jawa Barat 5,8 5,6
Jawa Tengah 5,4 4,9
Yogyakarta 4,7 5,3
Jawa Timur 4,7 4,3
Jawa dan Bali 5,2 4,9
Bali 5,7 5,2
Sumatera 6,6 6,1
Kalimantan 6,1 5,6
Sulawesi 6,2 5,9
Indonesia 5,6 5,2
Sumber : Sam Suharto dan Lee Jay Cho (1978)
Di Indonesia setelah tahun 1970-an, terjadi penurunan tingkat fertilitas total
dari 5,6 pada periode tahun 1967 – 1970, menjadi 5,2 pada periode tahun 1971 –
1975. Penurunan tingkat fertilitas pada kedua periode diatas juga terjadi pada
beberapa wilayah di Indonesia (Tabel 10.8).
Berdasarkan data diatas, selama periode 1961 – 1970 dan 1971 – 1975,
Tingkat fertilitas total untuk Indonesia menurun 7 persen, dan untuk pulau Jawa
dan Bali menurun 6 persen. Penurunan Tingkat Fertilitas Total di Indonesia
antara lain dipengaruhi oleh keberhasilan program Keluarga Berencana di
Indonesia antara lain dipengaruhi oleh keberhasilan program Keluarga Berencana
di Indonesia.
Tabel 10.9 menunjukkan TFR yang bervariasi untuk setiap propinsi. Pada
tahun 1971 TFR terendah dicapai oleh Propinsi Jawa Timur (4,72) dan Daerah
Istimewa Yogyakarta (4,76). Selain kedua propinsi ini, masih dicapai angka di
atas lima dan yang paling tinggi di Irian Jaya dan Sumatera Utara, keduanya
mencapai 7,20. Telah banyak diketahui bahwa penurunan atau perubahan fertilitas
selain dipengaruhi oleh pemakaian alat kontrasepsi juga dipengaruhi oleh
pemakaian alat kontrasepsi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial, ekonomi,
dan budaya. Kiranya determinan yang berbeda antara propinsi satu dengan
propinsi lainnya inilah yang menyebabkan bervariasinya angka kelahiran total
(TFR). Irian Jaya dan Sumatera Utara pada tahun 1971 mengalami fertilitas
paling tinggi, pada tahun 1990 berubah cepat masing-masing menjadi 4,70 dan
4,29 per perempuan. Angka tertinggi pada tahun 1990 ini dialami oleh Timor
Timur, Sulawesi Tenggara, dan Nusa Tenggara Barat yakni 5,73; 4,91 dan 4,98,
sedangkan yang terendah dialami oleh Daerah Istimewa Yogyakarta (2,08).
Dengan demikian, pada tahun 1990 dapat dikatakan Daerah Istimewa Yogyakarta
adalah satu-satunya propinsi di Indonesia yang sudah berada di bawah
replacement index yang ditandai dengan TFR sama dengan 2,2, sedangkan Bali,
DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Sumatera Utara baru mendekati replacement index
tersebut (Ediastuti, 1996).
Perkiraan BPS pada periode 1995-2000 nanti, selain Daerah Istimewa
Yogyakarta, yang dapat mencapai TFR dibawah 2,2 adalah DKI Jakarta, Jawa
Timur, Bali, dan Sumatra Utara. Meskipun demikian, dilihat secara nasional
hingga tahun 2000 nanti Indonesia belum dapat mencapai TFR 2,2. Trend
fertilitas dapat dikatakan cenderung menurun dengan cepat, yakni sekitar 52
persen dalam kurun waktu 29 tahun. Untuk trend ini dapat dilihat pada Gambar
23.
Tabel 10.9
Angka fertilitas Total (TFR) Menurut Propinsi
Propinsi SP1971 SP1980 SP1990 BPS1995 BPS2000
Daerah Istimewa Aceh 6,265 5,235 4,367 3,539 3,009
Sumatera Utara 7,195 5,935 4,289 3,499 2,988
Sumatera Barat 6,180 5,755 3,890 3,286 2,869
Riau 5,940 5,435 4,088 3,394 2,930
Jambi 6,390 5,570 3,759 3,212 2,827
Sumatera Selatan 6,325 5,585 4,223 3,465 2,969
Bengkulu 6,175 6,195 4,054 3,329 2,894
Lampung 6,355 5,750 3,969 3,375 2,920
Selain itu pola angka kelahiran menurut kelompok umur ibu (ASFR), baik
menurut propinsi maupun secara nasional tampaknya tidak banyak berubah, dan
polanya dari tahun 1971 hingga tahun 1980 masih tetap sama, menyerupai huruf
U terbalik, seperti tampak pada Gambar 24 hanya bentuknya agak melebar. Hal
ini disebabkan penurunan kelahiran khususnya pada kelompok-kelompok umur
muda (Ediastuti, 1996).
GRR = 5 ∑ ASFR fi
i
Dimana :
ASFRfi adalah tingkat fertilitas menurut umur ke-i dari kelompok berjenjang
5 tahunan (Tabel 10.9).
Tabel 10.9
Perkiraan Gross Reproduction Rate Tahun 1964 – 1965 Untuk Indonesia
ASFRfi – per
Jumlah Jumlah kelahiran
Golongan umur 1.000
Perempuan bayi perempuan
perempuan
15-19 3.755 199 52,99
20-24 3.675 365 99,32
25-29 4.430 366 82,62
30-34 3.779 267 70,65
35-39 3.303 163 49,35
40-44 2.644 61 23,07
45-49 1.944 14 7,20
∑ ASFR fi = 385,20
i
GRR = ∑i ASFR fi = 5 x 385,20 = 1926,0
Sumber : Mantra, 1985
Cil memperkirakan bahwa pada periode 1970-1980 angka GRR akan turun dari
1420 menjadi 1360 per 1.000 perempuan (The Population Council, 1974).
Kelemahan dari perhitungan GRR ialah mengabaikan kemungkinan
perempuan meninggal sebelum masa reproduksinya. Agar hal ini tidak diabaikan
maka digunakan perhitungan Net Reproduction Rate.
10.3.3 Net Reproduction Rates (NRR)
Net Reproduction Rate ialah jumlah kelahiran bayi perempuan oleh sebuah
kohor hipotesis dari 1.000 perempuan dengan memperhitungkan kemungkinan
meninggalkan perempuan-perempuan itu sebelum mengakhiri masa
reproduksinya. Misalnya sebuah kohor yang ter diri dari 1.000 bayi perempuan,
beberapa dari perempuan tersebut mempunyai kesempatan melahirkan hingga
umur 20, sebagian hingga umur 30, sebagian hingga umur 40, dan seterusnya dan
hanya sebagian yang dapat melewati usia 50 tahun (usia reproduksi). Jadi dari
kohor tersebut dihitung jumlah perempuan-perempuan yang dapat bertahan hidup
umur tertentu dengan mengalikannya dengan kemungkinan hidup dari waktu lahir
hingga mencapai umur tersebut.
nLx
Io
Dalam prakteknya perhitungan Net Reproduction Rate dapat didekati dengan
rumus di bawah ini :
nLx
NRR = ∑i ASFR fi x 1o
Angka NRR sebesar 1.390,83 berarti bahwa dari 1.000 wanita selama periode
masa reproduksinya rata-rata mempunyai 1.391 anak perempuan.
Menurut Kasto (1996), NRR adalah salah satu hasil (output) proyeksi sering
diinterpretasikan sebagai banyaknya anak perempuan yang dilahirkan per
perempuan dalam masa reproduksinya. Sering ditanyakan, kapankah Indonesia
akan mencapai NRR = 1, tingkat replacement level, yaitu saat satu ibu diganti
oleh satu bayi perempuan. Dengan asumsi penurunan fertilitas dan mortalitas serta
perolehan susunan umur seperti telah diuraikan diatas, Indonesia akan mencapai
NRR = 1 pada tahun sekitar 2007, pada tahun 2000 NRR Indonesia baru mencapai
1,166 (Tabel 10.11). Pada saat itu bukannya berarti laju pertumbuhan, tetapi
penduduk akan tetap bertambah karena struktur umur belum konstan. Beberapa
propinsi sudah mencapai tingkat itu jauh sebelumnya, misal DKI Jakarta, Daerah
Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, dan Bali dalam tahun 1990-1995 (Tabel
10.11).
Tabel 10.11
Estimasi Net Reproduction Rate (NRR) Menurut Propinsi 1990-2000
Periode
Propinsi
1990 – 1995 1995 – 200
Daerah Istimewa Aceh 1,565 1,352
Sumatera Utara 1,530 1,326
Sumatera Barat 1,416 1,270
Riau 1,490 1,315
Jambi 1,391 1,256
Sumatera Selatan 1,487 1,297
Bengkulu 1,449 1,288
Lampung 1,452 1,278
Gambar 25
Skema Dari Faktor Sosial Yang Mempengaruhi Fertilitas Lewat Variabel Antara
Dalam tulisan tersebut Davis dan Blake juga menyatakan bahwa proses
reproduksi seorang perempuan usia subur melalui tiga tahap yaitu : hubungan
kelamin, konsepsi, kehamilan dan kelahiran. Dalam menganalisis pengaruh sosial
budaya terhadap fertilitas, dapatlah ditinjau faktor-faktor yang mempunyai kaitan
langsung dengan ketiga proses diatas. Davis dan Blake (1956) menyebutkan 11
variabel antara yang dikelompokkan sebagai berikut :
10.4.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi kemungkinan hubungan kelamin
pada usia reproduksi
1. Umur memulai hubungan kelamin
2. Selibat permanen, yaitu proporsi wanita yang tidak pernah mengadakan
hubungan kelamin
3. Lamanya masa reproduksi yang hilang karena :
a. Perceraian, perpisahan, atau ditinggal pergi oleh suami
b. Suami meninggal dunia
4. Abstinensi sukarela
5. Abstinensi karena terpaksa (impotensi, sakit, berpisah sementara yang tidak
bisa dihindari)
6. Frekuensi hubungan seks (tidak termasuk abstinensi)
10.4.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi kemungkinan konsepsi
7. Kesuburan dan kemandulan biologis (fekunditas dan infekunditas) yang tidak
disengaja
8. Menggunakan atau tidak menggunakan alat kontrasepsi
9. Kesuburan atau kemandulan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor disengaja,
misalnya sterilisasi
10.4.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi kehamilan dan kelahiran selama
10. Kematian janin karena faktor-faktor yang tidak disengaja
11. Kematian janin karena faktor-faktor yang disengaja
Sumber : WPS, 1977. Untuk kerangka yang sama lihat Jones (1977) dan
Freedman (1975).
Gambar 26
Suatu Kerangka Dasar Sederhana Untuk Analisis Fertilitas
Tabel 10.12
Tingkat Kelahiran Menurut Kelompok Umur di Indonesia Berdasarkan Propinsi
Tahun 1980 dan 1990
Propinsi Tahun 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49
D.I. Aceh 1980 105 281 265 204 120 55 17
1990 74 224 333 177 105 45 14
11.1 PENDAHULUAN
Di muka telah dibicarakan bahwa ada tiga komponen pertumbuhan penduduk
yaitu kelahiran (fertilitas), kematian (mortalitas), dan mobilitas penduduk.
Komponen pertama dan kedua telah dibicarakan, dan pada bab 11 ini akan
dibicarakan komponen yang ketiga yaitu mobilitas penduduk.
Perilaku kelahiran dan kematian berbeda dengan mobilitas penduduk.
Angka kelahiran dan kematian pada periode waktu tertentu mempunyai sifat-sifat
keajegan (stabil). Sebagai contoh pada tahun 1993 di Indonesia tingkat kelahiran
kasar dan tingkat kematian kasar masing-masing besarnya 24,1 dan 7,8 per seribu
penduduk pertengahan tahun. Angka-angka ini besarnya tidak berubah sampai
akhir tahun 1995. Tetapi untuk mobilitas penduduk tidak ada sifat keteraturan
(keajegan) seperti angka kelahiran dan kematian.
Berdasarkan sifat-sifat seperti tersebut diatas, maka perhitungan proyeksi
penduduk tidak mengikutsertakan komponen mobilitas penduduk. Apabila ada
yang mengikutsertakan dalam perhitungan proyeksi penduduk, mereka
mengasumsikan volume dan arah mobilitas penduduk di suatu wilayah mengikuti
rata-rata dari pola yang terjadi selama beberapa tahun.
Sebelum dibicarakan determinan, proyeksi, dan bentuk-bentuk mobilitas
penduduk di Indonesia terlebih dahulu akan dibicarakan pengertian dan ruang
lingkup mobilitas penduduk.
12
Pelaku mobilitas penduduk adalah orang yang melakukan mobilitas, sedangkan adalah proses
gerak penduduk dari satu wilayah menuju wilayah lain dalam jangka waktu tertentu
Gerak penduduk yang non permanen (sirkulasi, circulation) ini dapat pula
dibagi menjadi dua yaitu ulang alik (Jawa = nglaju, Inggris = commuting), dan
dapat menginap atau mondok di daerah tujuan. Ulang alik adalah gerak penduduk
dari daerah asal menuju ke daerah tujuan dalam batas waktu tertentu dengan
kembali ke daerah tujuan dalam batas waktu tertentu dengan kembali ke daerah
asal pada hari itu juga. Pada umumnya penduduk yang melakukan mobilitas ingin
kembali ke daerah asal secepatnya sehingga kalau dibandingkan frekuensi
penduduk yang melakukan mobilitas ulang alik, menginap/mondok, dan migrasi,
frekuensi mobilitas penduduk ulang-alik terbesar, disusul oleh menginap/mondok
dan migrasi. Secara operasional, macam-macam bentuk mobilitas penduduk
tersebut diukur berdasarkan konsep ruang dan waktu. Misalnya mobilitas
penduduk ulang alik, konsep waktunya diukur dengan enam jam atau lebih
meninggalkan daerah asal dan kembali pada hari yang sama; menginap/mondok
diukur dari lamanya meninggalkan daerah asal lebih dari satu hari, tetapi kurang
dari enam bulan; sedangkan mobilitas permanen diukur dari lamanya
meninggalkan daerah asal enam bulan atau lebih kecuali orang yang sudah sejak
semua berniat menetap di daerah tujuan seperti seorang istri yang berpindah ke
tempat suami bertempat tinggal (Tabel 11.1). untuk jelasnya, bentuk-bentuk
mobilitas penduduk dapat dilihat pada gambar 27.
Tabel 11.1
Batasan ruang dan Waktu Dalam Penelitian Mobilitas Penduduk Yang
Dilaksanakan Oleh Ida Bagoes Mantra Tahun 1975 di Dukuh Piring dan Kadirojo
Dengan Batasan Wilayah Dukuh (Dusun)
Bentuk Mobilitas Batas Wilayah Batas Waktu
1. Ulang alik (commutting-) Dukuh Enam jam atau lebih dan
kembali pada hari yang sama
2. Menginap/mondok di (Dusun) Lebih dari satu hari, tetapi
daerah tujuan Dukuh kurang dari enam bulan
(Dusun)
Gambar 27
Skema Bentuk-Bentuk Mobilitas Penduduk
Mobilitas nonpermanen
Komuter Menginap/
(ulang alik) mondok
Gambar 28
Hubungan Antara Kebutuhan dan Pola Mobilitas Penduduk
13
Mobilitas penduduk dalam hubungan ini adalah proses mobilitas yang tidak di pengaruhi oleh
orang lain atau keadaan ter tentu, misalnya tidak dipaksa untuk p indah karena masalah politik atau
bencana alam
Secara umum dapat dikatakan bahwa mobilitas penduduk itu terjadi apabila
terdapat perbedaan nilai kefaedahan antara dua wilayah. Pada dasarnya teori-teori
migrasi didasarkan atas prinsip-prinsip diatas. Dibawah ini dibicarakan beberapa
teori mobilitas tersebut.
Everettt S. Lee (1976) dalam tulisannya berjudul A Theory of Migration
mengungkapkan bahwa volume migrasi di suatu wilayah berkembang sesuai
dengan tingkat keanekaragaman daerah-daerah di wilayah tersebut. Didaerah asal
da daerah tujuan ada faktor-faktor positif (+), negatif (-), ada pula faktor-faktor
netral (0). Faktor positif adalah faktor yang memberikan nilai menguntungkan
kalau bertempat tinggal di daerah tersebut, misalnya didaerah tersebut terdapat
sekolah, kesempatan kerja, atau iklim yang baik. Faktor negatif adalah faktor
yang memberikan nilai negatif pada daerah yang bersangkutan sehingga seseorang
ingin p indah dari tempat tersebut. Perbedaan nilai kumulatif antara kedua tempat
tersebut cenderung menimbulkan arus migrasi penduduk (Gambar 29).
Selanjutnya, Lee menambahkan bahwa besar kecilnya arus migrasi juga
dipengaruhi oleh rintangan antara, misalnya berupa ongkos pindah yang tinggi,
topografi antara daerah asal dengan daerah tujuan berbukit-bukit, dan terbatasnya
sarana transportasi. Faktor yang tidak kalah pentingnya adalah faktor individu
karena dialah yang menilai positif dan negatifnya suatu daerah, dia pulalah yang
memutuskan apakah akan pindah dari asal atau tidak. Kalau pindah, daerah mana
yang akan dituju.
Gambar 29
Faktor-faktor Determinan Mobilitas Penduduk
Menurut Everett S. Lee (1976)
Menurut Lee proses migrasi itu dipengaruhi oleh empat faktor :
1. Faktor individu
2. Faktor-faktor yang terdapat di daerah asal
3. Faktor-faktor yang terdapat di daerah tujuan, dan
4. Rintangan antara daerah asal dengan daerah tujuan.
14
Individu memberikan penilaian apakah suatu daerah dapat memenuhi kebutuhannya atau tidak
kunjungan ke darah asal. Intensitas frekuensi hubungan ini sudah tentu akan
mempengaruhi pula intensitas dam pak mobilitas di perdesaan atau daerah asal
tersebut.
Gambar 30
Faktor-Faktor Determinan Mobilitas Penduduk Menurut Robert E. Norris (1992)
Daerah
asal
Gambar 31
Faktor Penarik dan Pendorong di Daerah Asal
Untuk wilayah pedesaan (di negara sedang berkembang) kekuatan
sentripetal dan sentrifugal hampir seimbang. Penduduk dihadapkan pada dua hal
yang sulit untuk dipecahkan :
1. Apakah tetap tinggal di daerah asal dengan keadaan ekonomi dan fasilitas
pendidikan yang terbatas, a tau
2. Berpindah ke daerah lain dengan meninggalkan sawah atau ladang yang
dimiliki
Gambar 32
Mobilitas Penduduk Non Permanen
Lee (1966), Todaro (1979), dan Titus (1982) berpendapat bahwa motivasi
seseorang untuk pindah adalah motif ekonomi. Motif tersebut berkembang karena
adanya ketimpangan ekonomi antar daerah. Todaro menyebut motif utama
tersebut sebagai per timbangan ekonomi yang rasional. Mobilitas ke perkotaan
mempunyai dua harapan, yaitu memperoleh pekerjaan dan harapan memperoleh
pendapatan yang lebih tinggi dari pada yang diperoleh di perdesaan. Dengan
demikian, mobilitas desa-kota sekaligus mencerminkan adanya
ketidakseimbangan antara desa dan kota. Oleh karena itu, arah pergerakan
penduduk juga cenderung ke kota yang memiliki kekuatan-kekuatan relatif besar
sehingga diharapkan dapat memenuhi pamrih-pamrih ekonomi mereka.
Meskipun demikian, arah pergerakan penduduk juga ditentukan oleh
beberapa faktor lain, seperti faktor jarak, biaya, dan informasi yang diperoleh.
Faktor jarak, barangkali dapat dilihat sebagai satu kesatuan karena dengan
kemampuan di bidang transportasi maka jarak sudah merupakan fungsi uang atau
biaya. Bagaimanapun juga, jarak tetap merupakan faktor penting dalam penentuan
arah, setidak-tidaknya dalam penentuan bentuk mobilitas penduduk. Kota atau
daerah tujuan yang berjarak jauh dengan desa asal cenderung menghasilkan
mobilitas penduduk permanen, sedangkan yang berjarak sedang menghasilkan
mobilitas dengan menginap/ mondok, dan yang berjarak dekat, cukup dilakukan
secara ulang alik (commuting). Sudah tentu faktor jarak tidak berdiri sendiri
karena juga dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi migran potensial di desa dan
informasi tentang daerah tujuan yang sering datang dari migran yang sudah lama
menetap di kota.
Mabogunje (1970) melihat bahwa kontribusi dari migran terdahulu di kota
sangat besar dalam membantu migran baru yang berasal dari desa atau daerah
yang sama dengan mereka, terutama pada tahap-tahap awal dari mekanisme
penyesuaian diri di daerah tujuan. Para migran baru tidak hanya sekedar
ditampung di rumah migran lama, tetapi juga dicukupi kebutuhan makan, dan
dibantu untuk mendapatkan pekerjaan sesuai dengan kemampuan dan relasi yang
dimiliki (Suratman, 1978). Hal ini menyebabkan lapangan pekerjaan tertentu di
suatu kota atau daerah sering di dominasi oleh migran yang berasal dari desa atau
daerah ter tentu pula karena proses mencari pekerjaan itu biasanya berkisar antar
relasi migran sedaerah juga.
11.3.2 Perilaku Mobilitas Penduduk
Disamping mengupas proses seperti tersebut diatas, beberapa ahli
9berdsarkan hasil penelitiannya) juga mengungkapkan beberapa perilaku
mobilitas penduduk. Di antara para ahli tersebut adalah Ravenstein (1885),
Thomas dan Stouffer (1940), dan Lee (1966). Secara singkat perilaku mobilitas
penduduk atau oleh Ravenstein disebut dengan hukum-hukum migrasi penduduk
adalah sebagai berikut :
1. Para migran cenderung memilih tempat terdekat sebagai daerah tujuan.
2. Faktor paling dominan yang mempengaruhi seseorang untuk bermigrasi adalah
sulitnya memperoleh pekerjaan di daerah asal dan kemungkinan untuk
memperoleh pekerjaan dan pendapatan yang lebih baik di daerah tujuan.
Daerah tujuan harus mempunyai nilai kefaedahan (place utility) lebih tinggi
dibandingkan dengan daerah asal.
3. Berita-berita dari sanak saudara atau teman yang telah berpindah ke daerah lain
merupakan informasi yang sangat penting bagi orang-orang yang ingin
bermigrasi.
4. Informasi negatif dari daerah tujuan mengurangi niat penduduk (migran
potensial) untuk bermigrasi.
5. Semakin tinggi pengaruh kekotaan terhadap seseorang, semakin besar tingkat
mobilitasnya.
6. Semakin tinggi pendapatan seseorang, semakin tinggi frekuensi mobilitasnya.
7. Para migran cenderung memilih daerah tempat teman atau sanak saudara
bertempat tinggal di daerah tujuan. Jadi, arah dan arus mobilitas penduduk
menuju ke arah asal datangnya informasi.
8. Pola migrasi bagi seseorang maupun sekelompok penduduk sulit diperkirakan.
Hal ini banyak dipengaruhi oleh kejadian yang mendadak seperti bencana
alam, peperangan, atau epidemi.
9. Penduduk yang masih muda dan belum kawin lebih banyak melakukan
mobilitas daripada mereka yang berstatus kawin.
10. Penduduk yang berpendidikan tinggi biasanya lebih banyak melaksanakan
mobilitas dari pada yang berpendidikan rendah.
15
Pada tahun 2000 Pemerintah Indonesia hanya melaksanakan sensus lengkap
adalah untuk mengumpulkan informasi yang bersifat umum mengenai keadaan
sosial ekonomi dan demografi penduduk di suatu negara. Tidak banyak tempat
yang tersedia dalam kuesioner untuk menanyakan aspek tertentu secara
mendalam. Walaupun ada kelemahan-kelemahan menurut Sundrum (1976A), data
migrasi penduduk dari hasil sensus penduduk tahun 1971 di Indonesia merupakan
data migrasi yang terbaik di Asia.
Batas wilayah (space) yang digunakan oleh Biro Pusat Statistik dalam
penelitian mobilitas penduduk adalah propinsi dan batas waktu (time) ditetapkan
enam bulan. Jadi seseorang dikatakan melakukan migrasi apabila orang tersebut
melakukan gerak melintas batas propinsi menuju ke propinsi lain dan lamanya
berada di propinsi tujuan enam bulan atau lebih.
Ada beberapa masalah dalam menginterpretasi perilaku migrasi penduduk
dari hasil sensus penduduk terutama dengan penggunaan propinsi sebagai batas
wilayah (space). Propinsi-propinsi di Indonesia, bentuk, struktur dan luas
wilayahnya berbeda-beda. Luas wilayah misalnya, DKI Jakarta luasnya 660 km2
dan Irian Jaya 421.981 km2. Jumlah penduduknya (1990) untuk DKI Jakarta
8.2122.515 orang dengan Irian Jaya 1.628.087 orang. Bentuknya juga bervariasi,
ada yang berserakan karena terdiri dari pulau-pulau seperti Maluku, ada yang
memanjang seperti Sulawesi Utara, dan ada yang kompak seperti Jawa barat, D.I.
Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Semua itu berpengaruh pada
volume dan arus migrasi penduduk. Sebagai contoh, DKI Jakarta seseorang yang
bergerak 25 km dari pusat ke kota sudah melintasi bats DKI Jakarta, sebaliknya
untuk propinsi Irian Jaya seseorang yang bepergian sejauh kurang lebih 600 km
baru melintasi batas propinsi. Jadi frekuensi migrasi ke luar dari DKI Jakarta akan
lebih banyak dibandingkan dengan migrasi ke luar dari propinsi Irian Jaya. Hal ini
sesuai dengan penemuan Ravenstein tahun 1989 (Lee, 1995) yaitu umumnya
orang yang bepergian untuk memenuhi kebutuhannya pada jarak terdekat. Makin
jauh seuatu daerah makin sedikit migran yang menuju daerah tersebut.
Selain itu, migran cenderung meninggalkan daerah dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya. Apabila diperhatikan, batasan waktu yang digunakan BPS
enam bulan atau lebih maka migran yang meninggalkan BPS enam bulan atau
lebih maka migran yang meninggalkan daerah asal kurang dari enam bulan yang
sebenarnya lebih banyak terjadi, tidak dimonitor oleh petugas sensus.
Kelemahan ini mengakibatkan jaringan-jaringan migrasi pendukung yang
dihasilkan dari sensus penduduk tidak mencakup seluruh jaring-jaring migrasi
penduduk yang ada. Meskipun demikian hasil sensus penduduk tetap sangat
informatif untuk melihat kecenderungan arah dan arus migrasi penduduk selama
empat kali sensus penduduk di Indonesia.
Ada empat buah pertanyaan mengenai migrasi penduduk yang terdapat
dalam kuesioner Sensus Penduduk 1971, 1980 dan 1990. Tiga dari empat macam
pertanyaan tersebut sama, hanya susunannya yang berbeda (Tabel 11.2).
walaupun migrasi hanya bersumber pada empat pertanyaan, tetapi kombinasi dari
jawaban keempatnya dan data lain yang ditanyakan pada sensus sampel dapat
menghasilkan informasi mengenai migrasi penduduk yang cukup bervariasi.
Berdasarkan keempat pertanyaan diatas, orang-orang yang dicacah dapat
digolongkan menjadi dua migran dan bukan migran (lihat tabel 11.3).
Jenis Pertanyaan
1971* 1980, 1990
1. Propinsi tempat lahir 1. Propinsi tempat lahir
2. Pernah tinggal di propinsi lain 2. Lamanya tinggal di propinsi ini
3. Propinsi tempat tinggal terakhir 3. Tempat tinggal terakhir sebelum
sebelum disini tinggal di propinsi ini
4. Lama tinggal di propinsi tempat 4. Tempat tinggal 5 tahun yang lalu
tinggal sekarang
* Pertanyaan mobilitas penduduk jenis ini hanya ditanyakan pada tahun 1971
saja, untuk Sensus Penduduk selanjutnya jenis pertanyaannya seperti yang
digunakan tahun 1980.
Sumber : Ross Steele, 1983
Migran dapat dibedakan menjadi empat yaitu migran semasa hidup (lifetime
migrant), migran total (total migrant), migran kembali (return migrant) an migran
risen (recent migrant). Migran semasa hidup adalah seseorang yang dicacah di
suatu propinsi yang bukan propinsi tempat kelahirannya. Dengan tipe migrasi
semasa hidup ini, pengamatan hanya dipusatkan pada tempat tinggal saat lahir dan
saat pencacahan sehingga kapan perpindahan itu terjadi luput dari pencatatan.
Jadi, seseorang yang pernah pindah beberapa kali melintasi batas propinsi dalam
waktu lebih dari 6 bulan namun karena propinsi tempat lahir sama dengan
propinsi tempat tinggal saat pencacahan, ia dicatat sebagai nonmigran.
Tabel 11.3
Migran dan Bukan Migran Berdasarkan Keempat Pertanyaan dalam Sensus
Penduduk 1980
Pertanyaan Migran Bukan Migran
Propinsi Tempat Lahir Seseorang yang dicacah di Seseorang yang dicacah
satu suatu propinsi yang di propinsi di tempat ia
bukan propinsi tempat dilahirkan
kelahirannya. Migran ini di
sebut dengan migran
semasa hidup (lifetime
migrant)
Lamanya tinggal di Seseorang yang lamanya Seseorang yang
propinsi lain tinggal di propinsi sekarang bertempat tinggal di
lebih pendek dari umumnya propinsi sekarang selama
hidupnya
Tempat tinggal terakhir Seseorang yang propinsi Seseorang yang
sebelum tinggal di tempat tinggal terakhir bertempat tinggal di
propinsi lain berbeda dengan propinsi propinsi sekarang selama
tempat ia dicacah. Migran hidupnya
ini disebut dengan migran
total (total migrant)
Propinsi tempat tinggal Seseorang dimana propinsi Seseorang dimana
5 tahun yang lalu tempat tinggal sekarang propinsi tempat tinggal
berbeda dengan propinsi sekarang sama dengan
tempat tinggal 5 tahun yang tempat tinggal 5 tahun
lalu. Migran ini disebut yang lalu
migran risen (recent
migran)
Rencana tabel disesuaikan dengan Zachariah (1977)
16
Seseorang dikatakan melakukan mobilitas penduduk apabila ia bergerak melewati bats dukuh
menuju dukuh lain, dan lama meninggalkan dukuh asal minimal 6 jam.
mobilitas ulang alik (harian) dibandingkan dengan yang mondok atau nginap di
daerah tujuan, sesuai dengan apa yang dibicarakan pada bab-bab sebelumnya.
Tabel 11.4
Frekuensi Mobilitas dan Lamanya Meninggalkan Dukuh Piring oleh 244 Migran
Potensial (19 Mei 1975 – 31 Januari 1976)
Laanya meninggalkan dukuh Piring Jumlah Persen
1. Kurang dari satu hari (minimum 6 jam 8.575 94,2
2. Satu hari < satu minggu 416 4,6
3. Satu minggu < satu bulan 89 1,0
4. Satu bulan < satu tahun 18 0,2
Jumlah 9.098 100,0
Sumber : Mantra (1981)
Bab XII
Mobilitas Penduduk:
Bentuk dan Perilaku Mobilitas
12.1 PENDAHULUAN
Dalam gambar 27 pada Bab XI dilukiskan tentang bentuk-bentuk mobilitas
penduduk.Dalam gambar, disebutkan ada dua bentuk mobilitas penduduk yaitu
mobilitas penduduk permanen (migrasi) dan mobilitas penduduk non permanen
(sirkulasi).Mobilitas penduduk itu dapat terjadi antar wilayah di suatu negara, dan
dapat pula terjadi antar negara, yang sering disebut dengan mobilitas penduduk
internasional.
Pada Bab 12 akan diuraikan bentuk dan perilaku mobilitas penduduk baik
nasional maupun internasional. Pertama-tama akan diuraikan mobilitas penduduk
non permanen, di susul dengan mobilitas penduduk permanen.
Tabel 12.1
Alasan Utama Yang Mendorong Migran ke Kota-kota Yogyakarta, Bandung, dan
Samarinda 1986 (persen)
Alasan Utama Yogyakarta Bandung Samarinda
Ekonomi
- Tak punya lahan pertanian 2.3 4.5 10.2
- Lahan pertanian sempit 45.7 39.0 21.7
- Kurang pekerjaan di luar
pertanian 23.9 24.0 16.2
- Ingin membantu orang tua 8.8 4.2 18.0
Sosial
- Konflik dengan keluarga atau
masyarakat 2.6 1.1 3.0
kejiwaan
- Ingin mencari pengalaman 16.7 27.2 30.7
100 100 100
Jumlah
N=431 N=400 N=401
Sumber: Mantra et.al (1988)
Faktor daya dorong seperti yang diuraikan di atas pada umumnya relevan
dengan daya tarik. Kalau masalah ekonomi merupakan daya dorong yang besar
untuk meninggalkan desa (daya sentrifugal), mereka pun juga tertarik pada
harapan kesempatan ekonomi di kota yaitu harapan mendapatkan pekerjaan dan
pendapatan yang lebih besar (Tabel 12.2)
Tabel 12.2
Alasan Terpenting Migran Tertarik Bekerja di Kota-Kota Yogyakarta, Bandung
dan Samarinda 1986 (Persen)
Alasan Utama Yogyakarta Bandung Samarinda
Ekonomi
- Ingin mendapatkan hasil yang
lebih baik 51.0 41.5 23.9
- Di kota banyak pekerjaan 33.4 31.8 32.2
Alasan lain
- Dapat menambah pengalaman 14.4 21.3 22.9
- Di kota banyak hiburan 0.5 3.0 8.0
- Lainnya 1.2 2.4 13.0
100 100 100
Jumlah
N=431 N=400 N=401
Sumber: Mantra, et.al (1988)
Di dalam pendahuluan telah dibicarakan bahwa ada tiga bentuk mobilitas
penduduk, yaitu ulang alik (Jawa=nglaju, Inggris = Communiting), mondok atau
menginap di daerah tujuan, dan menetap di daerah tujuan atau migrasi
(migration). Hasil penelitian penulis di Dukuh Kadirojo dan Piring yang
memonitor mobilitas terhadap 196 responden di Kadirojo dan 244 responden di
Piring selama 8 bulan (19 Mei 1975 hingga 31 Januari 1976) mendapatkan bahwa
yang paling banyak di lakukan adalah mobilitas ulang-alik dibandingkan dengan
menginap/mondok dan migrasi. Kalau digabung antara mobilitas ulang alik dan
menginap/mondok, frekuensi mobilitas sirkuler ini menduduki lebih dari 90
persen dari seluruh mobilitas.
Sehubungan dengan terbatasnya tempat maka hanya akan diulas data dari
pertanyaan ke empat yang menghasilkan migran risen (ricent migrant). Migrasi
risen adalah migrasi yang terjadi 5 tahun terakhir, misalnya antara tahun 1975-
1980 dan antara tahun 1985-1990. Keuntungan menggunakan jenis migrasi ini
ialah dapat memperbandingkan jumlah migran masuk atau migran keluar dari
suatu propinsi pada dua periode lima tahun sehingga diketahui apakah terjadi
peningkatan atau penurunan arus migrasi untuk propinsi yang bersangkutan.
Migran risen di Indonesia pada tahun 1971, 1980, dan 1990 dapat dilihat dalam
tabel 12.3 di bawah ini.
Dari tabel 12.3 terlihat bahwa jumlah migran masuk (umur 10 tahun ke atas)
untuk propinsi-propinsi antara tahun 1971-1990 meningkat dengan cepat. Pada
tahun 1971 jumlahnya sebanyak 1.713.500 orang pada tahun 1980 berjumlah
2.961.500 orang, dan pada tahun 1990 menjadi 4.919.400 orang (Gambar 31 dan
Gambar 32).
Satatus migrasi penduduk di berbagai propinsi dapat dengan jelas
menggambarkan apakah daerah tersebut mempunyai kelebihan-kelebihan tertentu
sehingga digandrungi oleh penduduk daerah lain untuk dimasuki sebagai tempat
tinggal yang baru. Propinsi yang mempunyai proporsi penduduk migran yang
besar sudah tentu karena memiliki kelebihan di bidang kehidupan sosial-ekonomi-
prolitik tertentu yang mendorong orang dari daerah lain untuk memasuki (Mantra
et.al, 1993).
Tabel 12.3
Jumlah Migran Risen Umur 10 Tahun ke Atas yang Masuk ke Masing-masing
Propinsi di Indonesia 1971, 1980, dan 1990 (dalam ribuan)
Propinsi 1971 1980 1990
Daerah Istimewa Aceh 21.2 41.8 53.6
Sumatera Utara 29.9 66.5 104.1
Sumatera Barat 85.2 69.2 122.0
Riau 61.5 92.8 224.8
Jambi 42.4 93.6 124.8
Sumatera Selatan 74.8 163.7 192.9
Bengkulu 14.0 49.3 74.0
Lampung 164.7 395.3 201.6
DKI Jakarta 488.4 699.9 794.0
Jawa Barat 179.3 389.0 1262.7
Jawa Tengah 168.8 129.3 365.5
Daerah Istimewa Yogyakarta 53.2 88.9 150.8
Jawa Timur 98.2 145.3 309.7
Bali 12.0 32.7 63.9
Nusa Tenggara Barat 8.4 19.9 36.3
Nusa Tenggara Timur 5.1 16.7 24.7
Kalimantan Barat 6.4 29.3 40.9
Kalimantan Tengah 11.8 38.6 73.4
Kalimantan Selatan 25.4 46.4 93.6
Kalimantan Timur 10.1 99.0 173.2
Sulawesi Utara 23.9 34.3 36.4
Sulawesi Tengah 13.7 59.8 63.5
Sulawesi Selatan 43.5 62.8 109.4
Sulawesi Tenggara 13.8 36.0 65.7
Maluku 9.7 33.4 66.7
Irian Jaya 18.1 28.0 66.5
Timor Timur - - 24.77
Indonesia Jumlah 1713.5 2961.5 4919.4
Persen2 2.1 2.8 3.7
Sumber: Urip (1995)
1. Untuk daerah perkotaan
2. Persentase berdasarkan jumlah penduduk Indonesia umur 10 Tahun ke atas
Gambar 33
Jumlah Migran Risen 10 Tahun ke atas Antar Propinsi di Indonesia Tahun 1985
Gambar 34
Jumlah Migran Risen 10 Tahun ke atas Antar Propinsi di Indonesia Tahun 1990
12.3.2 Transmigrasi
Pada bagian-bagian terhadulu telah dibicarakan mengenai ketimpangan
persebaran penduduk di Indonesia. Pulau Jawa yang luasnya 6.9 persen dari luas
seluruh daratan Indonesia pada tahun 1980 memberikan tempat tinggal lebih dari
60 persen penduduk Indonesia. Keadaan ini bukan merupakan hal yang baru di
Indonesia tetapi sudah terdapat sejak beberapa puluh tahun yang lalu.Dalam tahun
1930 persentase penduduk yang tinggal di Pulau Jawa sebesar 68.7 persen.
Persentase ini turun menjadi 65.0 persen dalam tahun 1961, kemudian menjadi
63.8 persen pada tahun 1971, dan pada tahun 1980 besarnya 61.9 persen (Biro
Pusat Statistik, 1981).
Penyebaran penduduk yang tidak merata ini menyebabkan beberapa
masalah, diantaranya terjadi kelebihan penduduk di Jawa yang terwujud dalam
sulitnya mendapatkan pasaran kerja, pendapatan penduduk yang rendah , dan
angka pengangguran meningkat. Di luar pulau Jawa sendiri banyak sumber daya
alam yang belum sempat dijamah oleh manusia. Memperhatikan hal tersebut di
atas karl J. Pelzer (1945) mengusulkan pemecahan masalah penduduk ini dengan
memindahkan penduduk dari Jawa menuju ke luar Jawa.
Gejala kelebihan penduduk di Pulau Jawa dan kekurangan penduduk di luar
pulau Jawa telah disadari oleh pemerintah
Belanda.menurutSoedigdoHarjosoedarmo (1965) kesadaran Pemerintah Belanda
tersebut dipengaruhi oleh lima hal. Pertama, sistem tanaman paksa yang
diterapkan oleh pemerintah Belanda di Jawa pada abad yang lalu menyebarkan
kemelaratan bagi rakyat di pulau ini. Kedua, sukses ekonomi yang dicapai kaum
liberal di negeri Belanda terasa pula pengaruhnay di Indonesia.Mereka membuka
perkebunan-perkebunan di luar pulau jawa, di daerah-daerah yang penduduknya
masih jarang.Ketiga, pertambahan penduduk yang cepat di pulau jawa
menyebabkan pemilikan lahan per keluarga menjadi semakin sempit, dan taraf
hidup penduduknya semakin menurun.Keempat, pada tahun 1899, c. Th. Van
Deventer melancarkan kritik terhadap kebijaksanaan Pemerintah yang diwujudkan
dalam sebuah tulisan “A Debt of Honor”.Akibat dari kritik ini pemerintah
melaksanakan politik etika (etische politik) pada tahun 1900. Politik etika ini
bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup penduduk di pulau jawa melalui tiga
cara: kolonisasi, irigasi, dan edukasi. Kelima, pertumbuhan penduduk yang cepat
di jawa sebagian besar pergi ke daerah pegunungan, menebang hutan dengan
tujuan memperluas daerah pertanian, sehingga mengganggu kelestarian
lingkungan (Oey, 1980).
Sebagai realisasi dari politik etika ini, pada tahun 1905 di pindahkan 155
keluarga di lampung.Di daerah ini desa-desa kolonisasi didirikan, dan tiap-tiap
tahun ke daerah ini dikirim kolonis-kolonis dari Pulau Jawa.Akhir tahun 1921
jumlah kolonis di Gedong Tataan mencapai 19.572 orang (AmralSjamsu, 1960).
Pada tahun 1922 sebuah permukiman yang lebih besar yang diberi nama
Wonosobo didirikan di dekat Kota Agung di Lampung Selatan. Di samping itu
didirikan pula beberapa permukiman besar dekat sukadana di Lampung Tengah,
sedangkan permukiman-permukiman yang lebih kecil didirikan di Sumatera
Selatan, Bengkulu, Kalimantan dan Sulawesi. Pada akhir tahun 1941 telah ada
173.959 orang yang tinggal dalam proyek-proyek kolonisasi di Lampung
(termasuk orang yang dilahirkan di desa-desa baru ini), dan telah ada lebih dari
56.000 orang di proyek kolonisasi didaerah lain (Pelzer, 1946).
Setelah perang dunia Ke II usaha pemindahan penduduk oleh pemerintah
Republik Indonesia dimulai dengan mendirikan Jawatan Transmigrasi17 dalam
tahun 1947 yang merupakan bagian dari kementerian sosial, kemudian menjadi
bagian kementerian pembangunan dan pemuda pada tahun 1948, kemudian
dipindahkan dalam kementerian Dalam Negeri. Baru setelah terbentuk Negara
kesatuan dalam tahun 1950 Jawatan Transmigrasi yang merupakan bagian dari
Kementrian sosial mulai dengan memindahkan penduduk dari Jawa ke luar Jawa.
Adapun tujuan dari program transmigrasi adalah:
17
Istilah “transmigrasi” di Indonesia secara resmi baru digunakan pada tahun 1946
(SiswonoYudohusodo 1998)
“…mempertinggi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat dengan jalan
mengadakan pemindahan penduduk dari suatu daerah (tempat) ke daerah
(tempat) lainnya, yang ditujukan ke arah pembangunan perekonomian
dalam segala lapangan …” (Keyfitz, et.al, 1964).
Jadi transmigrasi merupakan salah satu usaha untuk mengatasi kemiskinan di
Jawa.Tujuan transmigrasi seperti di atas berlaku hingga tahun 1960-an (Oey,
1980).
Pemerintah mengharapkan bahwa di masa mendatang proses perpindahan
penduduk dari satu wilayah ke wilayah lain dapat terjadi dengan sendirinya tanpa
ada bantuan dari pemerintah atau pihak lain penyelenggaraan transmigrasi harus
lebih mengutamakan swadaya masyarakat. Sejak Pelita III dan IV dari seluruh
transmigran yang dikirim, prosentase jumlah transmigran swakarsa meningkat,
sedangkan transmigrasi umum menurun.Sebagai contoh pada Pelita V
transmigrasi yang direncanakan untuk dipindahkan sebesar 550.000 KK, dari
jumlah ini sebesar 76.27 persen adalah transmigran swakarsa (Mantra, 1989).
Program redistribusi penduduk melalui kolonisasi dan transmigrasi hingga
tahun 2000 telah berusia 95 tahun, ini berarti bahwa program ini sangat penting
dan merupakan program yang sudah dapat diterima oleh masyarakat. Penduduk
yang mendaftarkan untuk mengikuti program transmigrasi cukup banyak, bahkan
melebihi kesanggupan pemerintah untuk melaksanakannya.
Program pemindahan penduduk dari Jawa ke luar Jawa dapat dibagi menjadi
dua tahap yaitu: tahap sebelum kemerdekaan dan tahap sesudah kemerdekaan.
Sesudah kemerdekaan program ini dibagi lagi menjadi dua yaitu tahap pra pelita
dan tahap pelita.Jumlah transmigran yang dapat dipindahkan hingga 21 Oktober
1985 sebesar 3.652.934 jiwa (Tabel 12.4).Dari sejumlah ini lebih dari dua pertiga
dipindahkan pada pelita III (tahun 1979-1984) dengan memindahkan sebesar
1.256.030 jiwa transmigran (Tabel 12.4).
Tabel 12.4
Jumlah Kolonis dan Transmigran yang Dipindahkan Tahun 1905 hingga 1986
Jumlah Jiwa yang
Periode Tahun Persen
dipindahkan
1905-1941 257.313 7.0
1950-1960 238.279 6.5
1961-1968 162.777 4.5
1968-1974 (pelita I) 210.600 5.8
1974-1979 (pelita II) 364.164 10.0
1979-1984 (pelita III) 1.256.030 34.4
1984-1986* 1.163.771 31.8
* terhitung sampai 21 Oktober 1986
Sumber: Sri Edi Swasono, 1985.
14.1 PENDAHULUAN
Semua perencanaan pembangunan sangat membutuhkan data penduduk
tidak saja pada saat merencanakan pembangunan tetapi juga pada masa-masa
mendatang yang disebut dengan proyeksi penduduk. Proyeksi penduduk bukan
merupakan ramalan jumlah penduduk untuk masa mendatang, tetapi suatu
perhitungan ilmiah yang didasarkan asumsi dari komponen-komponen laju
pertumbuhan penduduk yaitu kelahiran, kematian, dan migrasi penduduk. Ketiga
komponen inilah yang menentukan besarnya jumlah penduduk dan struktur
penduduk di masa yang akan datang.
Ketajaman proyeksi penduduk sangat tergantung pada ketajaman tren
komponen pertumbuhan penduduk yang dibuat. Menurut BPS (1998), untuk
menentukan asumsi tingkat perkembangan kelahiran, kematian, dan perpindahan
di masa yang akan datang diperlukan data yang menggambarkan tren di masa
lampau hingga saat ini, faktor-faktor yang mempengaruhi masing-masing
komponen, dan hubungan antara satu komponen dengan yang lain serta target
yang akan dicapai atau diharapkan pada masa yang akan datang.
Proyeksi penduduk ini secara periodik perlu direvisi, karena sering terjadi
bahwa asumsi tentang kecenderungan tingkat kelahiran, kematian, dan
perpindahan penduduk (migrasi) yang melandasi proyeksi lama tidak sesuai lagi
dengan kenyataan. Biro Pusat Statistik (1998) sudah beberapa kali membuat
proyeksi penduduk yaitu pada setiap tersedianya data hasil sensus Penduduk (SP)
1971, 1980, 1990 dan Survai Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 1985 dan 1995.
Sebagai contoh :
P25-29 = 1/16 (-P15-19) + 4P20-29 + 10P25-29 + 4P30-34 – P35-39)
Tabel 14.2
Komposisi Penduduk Perempuan (Desa dan Kota)
Menurut Kelompok Umur Propinsi Jawa Tengah Tahun 1990
Kelompok Umur Jumlah Kelompok Umur Jumlah
0-4 1572492 40-44 683884
5-9 1721002 45-49 691052
10-14 1685712 50-54 583501
15-19 1331491 55-59 504613
20-24 1243806 60-64 381733
25-29 1114547 65-69 230606
30-34 851703 70-74 165885
35-39 659640 75+ 165943
Sumber : BPS (1993)
Data ini tidak perlu dirapihkan karena perapihan telah dilaksanakan oleh BPS
14.3.2 Tabel Kematian (Life Tabel)
Hingga kini tabel kematian (life table) untuk masing-masing propinsi di
Indonesia belum ada, maka untuk pembuatan proyeksi penduduk di Indonesia
juga untuk masing-masing propinsi digunakan Regional Model Life Table and
Stable Population karangan Ansley J. Coale, dan Paul Demeny (1994). Tabel
kematian yang sementara ini cocok digunakan di Indonesia adalah Model West.
Selanjutnya dari tabel-tabel ini dipilih tabel kematian yang sesuai dengan wilayah
yang akan dibuat proyeksinya. Pemilihan tabel kematian didasarkan kepada lefel
of mortality dan angka harapan hidup waktu lahir. Setelah dipilih tabel kematian
yang sesuai, maka kolom yang akan digunakan untuk keperluan pembuatan
proyeksi adalah Survival Ratio (SR) dengan simbol nPx.
Untuk Propinsi Jawa Tengah, angka harapan hidup bayi perempuan pada
waktu lahir pada tahun 1990 besarnya 60 tahun, maka tabel kematian yang
digunakan adalah level of mortality 17. Diasumsikan angka harapan hidup waktu
lahir bayi perempuan akan terus meningkat maka tiap 5 tahun tabel kematian yang
digunakan level of mortalitynya meningkat satu level. Angka Survival Ratio (SR)
yang akan digunakan untuk pembuatan proyeksi penduduk perempuan Propinsi
Jawa Tengah tahun 1990-2005 dapat dilihat dalam Tabel 14.3.
Tabel 14.3
Survival Ratio (nPx) untuk Level 17,18,19
Umur (x) Level 17 Level 18 Level 19
0 0,91708* 0,93024* 0,94282*
1 0,977411** 0,98003** 0,98514**
5 0,99024 0,99213 0,99389
10 0,98950 0,99143 0,99323
15 0,98553 0,98803 0,99038
20 0,98223 0,98518 0,98794
25 0,97953 0,98281 0,98590
30 0,97633 0,97990 0,98328
55 0,97216 0,97592 0,97951
40 0,96600 0,96981 0,97325
45 0,95502 0,95928 0,96347
50 0,93775 0,94289 0,94795
55 0,90968 0,91624 0,92276
60 0,86524 0,87338 0,88152
65 0,79681 0,80629 0,81584
70 0,69691 0,70747 0,71816
75 0,44309*** 0,45358*** 0,46443***
80 0 0 0
* P (kelahiran)
** P (0-4)
*** T (80)/T (75)
Sumber : Coal, Ansley J., and Paul Demeny (1944)
14.3.3 Angka Kelahiran
Untuk memproyeksikan penduduk umur (0-4) tahun diperlukan proyeksi
angka kelahiran. Sebagai contoh, kita telah mempunyai jumlah penduduk
perempuan (0-4) tahun pada tahun 1990 sebagai penduduk dasar proyeksi. Untuk
menghitung proyeksi penduduk perempuan umur (0-4) tahun pada tahun 1995
dibutuhkan angka kelahiran bayi perempuan antara tahun 1990 hingga tahun
1995.
Proyeksi angka kelahiran penduduk di tempuh dengan jalan mengalikan
tingkat kelahiran menurut kelompok umur (ABSRi) dengan proyeksi jumlah
penduduk perempuan pada kelompok umur yang bersangkutan dibagi dengan
1000 (k).
Bi
ASBRI = xk
Pfi
ASBRI x Pfi
Bi = k
Tabel 14.6
Proyeksi Jumlah Kelahiran di Propinsi Jawa Tengah
pada Tahun 1990 dan 1995
Kelompok Pdd prp i Kelahiran i Pdd prp i Kelahiran i
ASBRi
umur (th) 1990 1990 1995 1995
(6) –
(1) (2) (3) (4)=(2x3)/1000 (5)
(2x5)/1000
15-19 73 1331491 97199 1668012 121765
20-24 176 1243806 218910 1312224 230951
25-29 153 1114547 170526 1221704 186921
30-34 111 851703 94539 1091732 121182
35-39 65 659640 45217 831543 54050
40-44 25 683884 17097 676232 16906
45-49 6 691052 4146 660632 3964
647634 735739
(B 1990) (B 1995)
Langkah Ketiga
Dalam Tabel 14.6 telah dihitung jumlah kelahiran total tahun 1990 sebesar
64734 kelahiran dan pada tahun 1995 diproyeksikan sebesar 735739 kelahiran.
Pada periode tahun 1990-1995 jumlah kelahiran total (L+P) sebesar :
647634+735739
5x = 3458433 orang
2
Langkah Keempat
Setelah memproyeksikan jumlah kelahiran total (lk + p r), pada periode
1990-1995 perlu dihitung jumlah kelahiran bayi perempuan saja. Untuk ini perlu
di perhatikan rasio jenis kelamin kelahiran, yang besarnya 107. Jadi jumlah
kelahiran bayi perempuan pada periode 1990-1995 sebesar :
100
𝑥 3458433 kelahiran = 1670741
207
Letakkan angka ini pada kolom 2 (Tabel 14.5) pada kelahiran (umur 0
tahun). Kerjakan hal yang sama untuk kelahiran bayi perempuan periode 1995-
2000 dan 2000-2005 tahun.
Langkah Kelima
Angka kelahiran pada kolom 2 (Tabel 14.5) lalu dikalilkan dengan Survival
ratio di kolom 3 yang besarnya 0,91708 (lihat* Tabel 14.3) didapatkan proyeksi
penduduk perempuan umur 0-4 tahun sebesar 1532203 orang tahun 1995.
Langkah Keenam
Proyeksi penduduk pada kelompok terakhir (75+) digunakan rumus :
(P70-47) x (SR70-74) + (P75+) x (SR75+)
Contoh : penduduk perempuan umur 75+ pada tahun 1995
(165885 x 0,69691) + (165943 x 0.44309) = 115607 + 73528 = 18913
Dimana :
Y = Perkiraan TFR
L = Perkiraan asymptot bahwa TFR pada saat NRR = 1
k = Suatu besaran (koknstanta), untuk menentukan asymptot atas a dan b
= koefisien kurva logistik
t = Waktu sebagai variabel bebas
e = Koknstanta eksponensial
dengan demikian TFR Indonesia turun dari 2,593 pada periode 1995-2000
menjadi 2,382 pada periode 2000-2005, seperti yang disajikan dalam Tabel
14.7
b. IMR Indonesia menurun sesuai dengan tren dimasa lampau dan di
proyeksikan akan mencapai IMR = 20 pada akhir PJPII dengan
menggunakan rumus fungsi logistik.
k
Y = L + 1+beat
Dimana :
Y = Perkiraan IMR
L = Perkiraan asymptot bawah (IMR = 20)
k = Suatu besaran, dimana k + L = 180 adalah asymptot atas (IMR = 160),
a dan b = Koefisien kurva logistik
t = Waktu sebagai variabel bebas
e = konstanta eksponensial
IMR Indonesia akan turun dari 51 pada tahun 1991 menjadi 36 pada tahun
2002 (lihat Tabel 14.7).
c. Migrasi Internasional neto dapat diabaikan (diasumsikan sama dengan nol),
karena orang yang keluar masuk Indonesia diperkirakan seimbang dan
relatif sangat kecil dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia.
Tabel 14.7
Estimasi Angka Kelahiran Total (TFR) dan Angka Kematian Bayi (IMR) menurut
Propinsi 1995-2005
TFR IMR
Propinsi
1995-2000 2000-2005 1995-2000 2000-2005
1. Daerah Istimewa Aceh 2,783 2,366 41,37 30,46
2. Sumatera Utara 3,076 2,746 43,60 35,12
3. Sumatera barat 2,936 2,632 50,57 40,31
4. Riau 2,847 2,501 40,46 31,64
5. Jambi 2,867 2,501 40,46 35,87
6. Sumatera Selatan 2,784 2,465 51,37 38,22
7. Bengkulu 2,826 2,578 51,79 38,54
8. Lampung 2,737 2,387 49,55 37,04
9. DKI Jakarta 2,002 2,002 26,30 18,37
10. Jawa Barat 2,610 2,377 56,05 42,01
11. Jawa Tengah 2,413 2,251 48,08 34,22
12. D.I. Yogyakarta 2,002 2,002 27,16 20,32
13. Jawa Timur 2,021 2,021 50,71 40,51
14. Bali 21,004 2,004 33,44 25,17
15. Nusa Tenggara Barat 3,115 2,800 85,21 67,05
16. Nusa Tenggara Timur 3,235 2,838 59,20 46,57
17. Timor Timur 4,075 3,506 89,70 72,72
18. Kalimantan Barat 2,919 2,436 56,53 45,12
19.Kalimantan Tengah 2,857 2,662 37,88 31,07
20.Kalimantan Selatan 2,583 2,362 66,97 50,37
21.Kalimantan Timur 2,599 2,392 39,43 31,74
22.Sulawesi Utara 2,376 2,321 39,14 31,09
23.Sulawesi Tengah 2,783 2,497 62,98 48,97
24.Sulawesi Selatan 2,698 2,491 45,14 34,86
25.Sulawesi Tenggara 3,003 2,390 53,20 41,57
26.Maluku 3,023 2,554 48,29 38,27
27.Irian Jaya 3,104 2,780 54,94 42,82
INDONESIA 2,593 2,382 49,66 36,48
Sumber : BPS 1998
Tabel 14.8
Estimasi Penduduk Menurut Propinsi 1995-2005 (x1000)
Propinsi 1995 2000 2005
1. Daerah Istimewa Aceh 3862,8 4213,4 4545,6
2. Sumatera Utara 11144,3 12155,7 13132,7
3. Sumatera Barat 4334,3 4657,3 4952,3
4. Riau 3923,0 4383,4 4849,0
5. Jambi 2382,6 2642,4 2909,1
6. Bengkulu 7239,3 7858,5 8479,0
7. Sumatera Selatan 1417,5 1593,8 1790,0
8. lampung 6680,1 7178,7 7650,8
Jumlah (%) 20,99 21,23 21,40
9. DKI Jakarta 9143,5 9720,4 10297,9
10. Jawa Barat 39339,9 43089,3 46913,2
11. Jawa Tengah 29691,1 31386,0 33120,0
12. Daerah Istimewa Yogyakarta 2916,8 3086,1 3255,2
13. Jawa Timur 33889,1 35478,0 37066,2
Jumlah (%) 58,88 58,32 57,88
14. Bali 2899,6 3091,2 3285,0
15. NTB 3655,3 3990,8 4357,3
16. NTT 3588,2 3915,7 4243,4
17. Timor Timur 843,0 939,3 1033,1
Jumlah (%) 5,63 5,67 5,72
18. Kalimantan Barat 3650,1 4015,1 4360,6
19. Kalimantan Tengah 1635,8 1805,4 1980,6
20. Kalimantan Selatan 2903,8 3152,7 3406,6
21. Kalimantan Timur 2330,4 2643,1 2970,2
Jumlah (%)
22. Sulawesi Utara 2655,0 2841,5 3024,8
23. Sulawesi Tengah 1946,3 2176,2 2435,1
24. Sulawesi Selatan 7578,2 8218,6 8862,6
25. Sulawesi Tenggara 1595,5 1781,1 1951,0
Jumlah (%) 7,05 7,13 7,21
26. Maluku 2094,7 2252,4 2378,0
27. Irian Jaya 1954,0 2219,5 2498,5
Jumlah 2,07 2,12 2,16
INDONESIA 195294,2 210485,6 225747,8
Laju pertumbuhan 1995-200 = 1,50 2000-2005 = 1,40
Sumber : BPS (1998)
Tabel 14.9
Estimasi proporsi penduduk umur 0-14 Tahun
Menurut Propinsi, 1995-2005
Propinsi 1995 2000 2005
1. Daerah Istimewa Aceh 37,74 33,24 30,31
2. Sumatera Utara 37,62 33,30 30,60
3. Sumatera barat 35,14 30,96 28,87
4. Riau 36,39 32,71 30,90
5. Jambi 35,52 31,85 30,75
6. Sumatera Selatan 37,44 32,70 30,41
7. Bengkulu 36,45 31,80 30,59
8. Lampung 36,20 31,57 28,81
Dalam kurun waktu yang sama mereka yang dalam usia kerja, 15-64
tahun meningkat dari 63,0 persen menjadi 66,8 persen (Tabel 14.10) dan
mereka yang berusia 65 tahun ke atas naik dari 4,2 persen menjadi 5,4 persen
(Tabel 14.11). Perubahan susunan ini mengakibatkan beberan ketergantungan
(dependency ratio) turun dari 58,7 persen pada tahun 1995 menjadi 49,7
persen pada tahun 2005. Menurunnya rasio beban ketergantungan
menunjukkan berkurangnya beban ekonomi bagi penduduk umur produktif
(usia kerja) yang menanggung penduduk umur non produktif.
Susunan umur setiap propinsi juga mengalami perubahan yang cukup
besar. Susunan umur penduduk di pulau jawa dan Bali sedikit lebih tua dari
propinsi lainnya artinya propinsi penduduk yang berusia lanjut, 65 tahun ke
atas sudah cukup tinggi. Sebagai contoh di Yogyakarta pada tahun 2005,
propinsi penduduk 65 tahun ke atas mencapai 10,8 persen Jawa Tengah dan
Jawa Timur masing-masing 6,8 persen 0-14 tahun di Pulau Jawa dan Bali jauh
lebih rendah dari propinsi lainnya. Pada tahun 2005 semua propinsi di luar
Jawa-Bali mempunyai proporsi anak-anak di bawah 15 tahun masih diatas 27
persen, walaupun sudah memperlihatkan kecenderungan menurun dari keadaan
tahun 1995.
Apabila di lihat Indonesia sebagai keseluruhan maka jumlah penduduk
perempuan lebih besar dibandingkan jumlah penduduk laki-laki. Pada tahun
2005 karena angka harapan hidup meningkat untuk semua umur, maka bentuk
piramida penduduk hampir berbentuk granat, tidak cepat meruncing sentase
umur 65+ tahun meningkat pada tahun 2005 (dari 4,23 persen tahun 1995
menjadi 5,37 persen tahun 2005). Untuk jelasnya lihat Tabel 14,12, dan
Gambar 34.
Tabel 14.12
Proyeksi Penduduk Menurut Jenis Kelamin
Dan Umur Tahun 1995-2005 (x1000)
Umur Laki-laki Perempuan
(tahun) 1995 2000 2005 1995 2000 2005 1995 2000 2005
0-4 999,8 11052,8 11183,0 9629,7 1066,1 10774,1 19621,5 21715,9 21957,1
5-9 10758,4 9884,5 10969,0 10243,3 9512,2 10601,6 21001,7 19356,7 21570,6
10-14 11920,9 10696,8 9804,1 11456,8 1095,2 9484,3 2377,7 20892,2 19288,4
15-19 10434,4 11835,5 10639,3 1424,4 1139,0 10158,1 20858,8 23227,5 20797,4
20-24 8479,3 10321,0 11739,4 9266,6 10338,8 11331,2 17745,9 20659,8 23070,6
25-29 7747,8 8368,5 10222,4 8602,4 9170,3 1026,7 16350,2 17538,8 20490,1
30-34 7513,7 7638,1 8281,4 7950,4 8497,1 9093,5 15464,1 16135,2 17374,9
35-39 7049,9 7387,1 7540,9 6996,5 7834,1 8407,9 14046,4 15221,2 15948,8
40-44 5852,7 6894,5 7259,3 5488,1 6868,9 7725,2 11340,8 13763,4 14984,5
45-49 4459,8 5670,9 6717,8 4127,6 5356,0 6734,8 8587,4 11026,9 1352,6
50-54 3694,3 4256,5 5445,5 3470,0 3988,4 52041,3 7164,3 8244,9 10646,8
55-54 3038,7 3443,3 3996,3 3277,0 3301,6 3818,6 6215,7 6744,9 7814,9
60-64 2325,3 2730,3 3123,8 2839,9 3039,2 3089,1 5165,2 5769,5 6212,9
65-69 2325,3 2730,3 3123,8 2839,9 3039,2 3089,1 5165,2 5769,5 6212,9
70-74 1359,9 1356,6 1562,7 1489,4 1486,0 2107,5 2848,9 2842,6 3670,0
75+ 824,1 1279,7 1518,9 1035,1 1570,1 1871,4 1859,2 2849,8 3390,3
Jumlah 97192,5 104751,8 112352,2 98101,7 105733,8 113395,6 195294,2 210485,6 225747,8
Sumber : BPS (1998)
Tabel 14.13
Estimasi Reproduction Rate (NRR)
Menurut Propinsi, 1995-2005
Periode
Propinsi
2000 – 2005 1995 – 2000
1. Daerah Istimewa Aceh 1,258 1,096
2. Sumatera Utara 1,382 1,259
3. Sumatera barat 1,295 1,191
4. Riau 1,291 1,157
5. Jambi 1,283 1,179
6. Sumatera Selatan 1,231 1,179
7. Bengkulu 1,249 67,37
8. Lampung 1,213 1,091
9. DKI Jakarta 0,936 0,948
10. Jawa Barat 1,138 1,073
11. Jawa Tengah 1,075 1,035
12. D.I. Yogyakarta 0,934 0,946
13. Jawa Timur 0,895 0,917
14. Bali 0,925 0,940
15. Nusa Tenggara Barat 1,255 1,186
16. Nusa Tenggara Timur 1,393 1,264
17. Timor Timur 1,612 1,455
18. Kalimantan Barat 1,273 1,094
19. Kalimantan Tengah 1,304 1,233
20. Kalimantan Selatan 1,096 1,046
21. Kalimantan Timur 1,183 1,107
22. Sulawesi Utara 1,081 1,075
23. Sulawesi Tengah 1,194 1,110
24. Sulawesi Selatan 1,208 1,143
25. Sulawesi Tenggara 1,321 1,082
26. Maluku 1,341 1,161
27. Irian Jaya 1,357 1,253
INDONESIA 1,149 1,090
Sumber : BPS (1998)
Tabel 14.14
Estimasi Angka Harapan Hidup (Eo) Menurut Propinsi, 1995-2005
Periode
Propinsi
2000 – 2005 1995 – 2000
1. Daerah Istimewa Aceh 66,69 69,47
2. Sumatera Utara 66,15 68,21
3. Sumatera barat 64,49 66,93
4. Riau 66,91 69,17
5. Jambi 65,64 68,01
6. Sumatera Selatan 64,32 67,45
7. Bengkulu 64,19 67,37
8. Lampung 64,74 67,71
9. DKI Jakarta 70,63 72,93
10. Jawa Barat 63,19 66,54
11. Jawa Tengah 65,10 68,46
12. D.I. Yogyakarta 70,39 72,37
13. Jawa Timur 64,47 66,88
14. Bali 68,66 70,95
15. Nusa Tenggara Barat 56,83 60,69
16. Nusa Tenggara Timur 62,48 65,45
17. Timor Timur 55,91 59,45
18. Kalimantan Barat 63,06 65,79
19. Kalimantan Tengah 67,52 69,32
20. Kalimantan Selatan 60,72 64,54
21. Kalimantan Timur 67,15 69,15
22. Sulawesi Utara 67,23 69,32
23. Sulawesi Tengah 61,62 64,88
24. Sulawesi Selatan 65,79 68,29
25. Sulawesi Tenggara 63,88 66,64
26. Maluku 65,03 67,42
27. Irian Jaya 63,46 66,35
INDONESIA 64,71 67,86
D. Harapan Hidup
Harapan hidup pada saat lahir (disingkat “harapan hidup”) dipakai
sebagai salah satu Indikator Kesejahteraan Rakyat. Dengan asumsi
kecenderungan “angka kematian bayi” yang menurun serta perubahan susunan
umur penduduk seperti telah diuraikan diatas maka harapan hidup penduduk
Indonesia (laki-laki dan perempuan) naik dari 64,7 persen pada periode 1995-
2000 menjadi 67,86 tahun pada periode 2000-2005. Dalam Tabel 14.14 juga
terlihat bahwa variasi harapan hidup menurut propinsi tidak terlalu besar pada
awal proyeksi, angka harapan hidup terendah 55,91 tahun untuk Timor Timur
dan tertinggi 70,63 tahun untuk DKI Jakarta. Pada akhir periode proyeksi
variasi itu menjadi berkisar antara 59,45 tahun 72,93 tahun untuk propinsi-
propinsi yang sama seperti pada awal proyeksi.[]