2. Kegunaan
Peranan epidemiologi, khususnya dalam konteks program kesehatan dan
keluarga berencana adalah sebagai tool (alat) dan sebagai metode atau
pendekatan. Epidemiologi sebagai alat diartikan bahwa dalam melihat suatu
masalah KB-Kes selalu mempertanyan siapa yang terkena masalah, di mana dan
bagaimana penyebaran masalah, serta kapan penyebaran masalah tersebut terjadi?
Demikian pula pendekatan pemecahan masalah tersebut selalu dikaitkan
dengan masalah, di mana atau dalam lingkungan bagaimana penyebaran masalah
serta bilamana masalah tersebut terjadi. Kegunaan lain dari epidemiologi
khususnya dalam program kesehatan adalah ukuran-ukuran epidemiologi seperti,
prevalensi, point of prevalence, dan sebagainya dapat digunakan dalam
perhitungan-perhitungan: prevalensi, kasus baru, case fatality rate, dan
sebagainya.
B. Metode-metode Epidemiologi
Di dalam epidemiologi terdapat 2 tipe pokok pendekatan atau metode,
yakni:
1. Epidemiologi Deskritif (Descriptive Epidemiology)
Di dalam epidemiologi deskriptif dipelajari bagaimana frekuensi penyakit
berubah menurut perubahan variable-variable epidemiologi yang terdiri dari orang
(person), tempat (place), dan waktu (time).
Orang (Person)
Di sini akan dibicarakan peranan umur, jenis kelamin, kelas sosial,
pekerjaan, golongan etnik, status perkawinan, besarnya keluarga, struktur
keluarga, dan paritas.
(1) Umur
Umur adalah variable yang selalu diperhatikan di dalam penyelidikan-
penyelidikan epidemiologi. Angka-angka kesakitan maupun kematian di
dalam hampir semua keadaan menunjukkan hubungan dengan umur.
Dengan cara ini dapat membacanya dengan mudah dan melihat pola
kesakitan atau kematian menurut golongan umur. Persoalan yang dihadapi
adalah apakah umur yang dilaporkan tepat, apakah panjangnya interval di
dalam pengelompokan cukup untuk tidak menyembunyikan peranan umur
pada pola kesakitan atau kematian, dan apakah pengelompokan umur dapat
dibandingkan dengan pengelompokan umur pada penelitian orang lain.
Di dalam mendapatkan laporan umur yang tepat pada masyarakat pedesaan
yang kebanyakan masih buta huruf hendaknya memanfaatkan sumber
informasi seperti catatan petugas agama, guru, lurah, dan sebagainya. Hal ini
tentunya tidak menjadi soal yang berat di kala mengumupulkan keterangan
umur bagi mereka yang telah bersekolah.
Untuk keperluan perbandingan maka WHO menganjurkan pembagian-
pembagian umur sebagai berikut:
(a) Menurut tingkat kedewasaan, yaitu:
0- 14 tahun : bayi dan anak-anak.
15 - 49 tahun : orang muda dan dewasa.
50 tahun ke atas : orang tua.
(b) Interval 5 tahun :
kurang dari 1 tahun,
1-4,
5-9,
10-14, dan sebagainya.
(c) Untuk mempelajari penyakit anak:
0 - 4 bulan 5 - 10 bulan
11- 23 bulan 2 - 4 tahun
5 - 9 tahun 9 - 14 tahun
(2) Jenis kelamin
Angka-angka dari luar negeri menunjukkan bahwa angka kesakitan lebih
tinggi di kalangan wanita sedangka angka kematian lebih tinggi di kalangan
pria pada semua golongan umur. Untuk Indonesia masih perlu dipelajari lebih
lanjut. Perbedaan angka kematian ini, dapat disebabkan oleh faktor-faktor
intrinsik.
Yang pertama diduga meliputi faktor keturunan yang terkait dengan jenis
kelamin, atau perbedaan hormonal, sedangkan yang kedua diduga karena
berperannya faktor-faktor lingkungan (lebih banyak pria mengisap rokok,
minum minuman keras, candu, bekerja berat, berhadapan dengan pekerjaan-
pekerjaan berbahaya, dan seterusnya).
Sebab-sebab adanya angka kematian yang. lebih tinggi di kalangan wanita, di
Amerika Serikat dihuungkan dengan kemungkinan bahwa wanita lebih bebas
untuk mencari perawatan. Di Indonesia keadaan tersebut belum diketahui.
Terdapat indikasi bahwa kecuali untuk beberapa penyakit alat kelamin, angka
kematian untuk berbagai penyakit lebih tinggi pada kalangan pria.
(3) Kelas sosial
Kelas sosial adalah variabel yang sering dilihat hubungannya dengan angka
kesakitan atau kematian, variabel ini menggambarkan tingkat kehidupan
seseorang. Kelas sosial ini ditentukan oleh unsur-unsur, seperti pendidikan,
pekerjaan, penghasilan, dan banyak contoh ditentukan pula tempat tinggal.
Karena hal-hal ini dapat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan termasuk
pemeliharaan kesehatan maka tidaklah mengherankan apabila kita melihat
perbedaan-perbedaan dalam angka kesakitan atau kematian antara berbagai
kelas sosial.
Masalah yang dihadapi di lapangan ialah bagaimana mendapatkan indikator
tunggal bagi kelas sosial. Di Inggris penggolongan kelas sosial ini didasarkan
atas dasar jenis pekerjaan seseorang, yakni I profesional, II menengah, III
tenaga terampil, IV tenaga setengah terampil, dan V tidak mempunyai
keterampilan. Di Indonesia penggolongan seperti ini sulit oleh karena jenis
pekerjaan tidak memberi jaminan perbedaan dalam penghasilan. Hubungan
antara kelas sosial dan angka kesakitan atau kematian kita dapat mempelajari
dalam hubungan dengan umur, dan kelamin.
(4) Jenis pekerjaan
Jenis pekerjaan dapat berperan di dalam timbulnya penyakit melalui beberapa
jalan, yakni:
(a) Adanya faktor-faktor lingkungan yang langsung dapat menimbulkan
kesakitan seperti bahan-bahan kimia, gas beracun, radiasi, benda-benda
fisik yang dapat menimbulkan kecelakaan, dan sebagainya.
(b) Situasi pekerjaan yang penuh dengan stres (yang telah dikenal sebagai
faktor yang berperan pada timbulnya hipertensi, dan ulcus lambung).
(c) Ada tidaknya ‘gerak badan’ di dalam pekerjaan; di Amerika Serikat
ditunjukkan bahwa penyakit jantung koroner sering ditemukan di
kalangan mereka yang mempunyai pekerjaan di mana kurang adanya
‘gerak badan’.
(d) Karena berkerumum dalam satu tempat yang relatif sempit maka dapat
terjadi proses penularan penyakit antara para pekerja.
(e) Penyakit karena cacing tambang telah lama diketahui terkait' dengan
pekerjaan di tambang.
Penelitian mengenai hubungan jenis pekerjaan dan pola kesakitan banyak
dikerjakan di Indonesia terutama pola penyakit kronis, misalnya penyakit
jantung, tekanan darah tinggi, dan kanker.
Jenis pekerjaan apa saja yang hendak dipelajari hubungannya dengan suatu
penyakit dapat pula memperhitungkan pengaruh variabel umur dan kelamin.
(5) Penghasilan
Yang sering dilakukan ialah menilai hubungan antara tingkat penghasilan
dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan maupun pencegahan. Seseorang
kurang memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada mungkin oleh karena
tidak mempunyai cukup uang untuk membeli obat, membayar transpor, dan
sebagainya.
(6) Golongan etnik
Berbagai golongan etnik dapat berbeda di dalam kebiasaan makan, susunan
genetika, gaya hidup, dan sebagainya yang dapat mengakibatkan perbedaan di
dalam angka kesakitan atau kematian.
Dalam memperbandingkan angka kesakitan atau kematian suatu penyakit
antargolongan etnik hendaknya diingat kedua golongan itu harus
distandardisasikan menurut susunan umur dan kelamin ataupun faktor-faktor
lain yang dianggap mempengaruhi angka kesakitan dan kematian itu.
Penelitian pada golongan etnik dapat memberikan keterangan mengenai
pengaruh lingkungan terhadap timbulnya suatu penyakit. Contoh yang klasik
dalam hal ini ialah penelitian mengenai angka kesakitan kanker lambung.
Dalam penelitian mengenai penyakit ini di kalangan penduduk ash di Jepang
dan keturunan Jepang di Amerika Serikat, ternyata bahwa penyakit ini
menjadi kurang prevalen di kalangan turunan Jepang di Amerika Serikat. Ini
menunjukkan bahwa peranan lingkungan penting di dalam etiologi kanker
lambung.
(7) Status perkawinan
Dari penelitian telah ditunjukkan bahwa terdapat hubungaxi antara angka
kesakitan maupun kematian dengan status kawin, tidak kawin, cerai, dan jada;
angka kematian karena penyakit-penyakit tertentu maupun kematian karena
semua sebab makin meninggi dalam urutan tertentu.
Diduga bahwa sebab-sebab angka kematian 1ebih. tinggi pada yang tidak
menikah dibandingkan dengan yang menikah ialah karena ada kecenderungan
orang-orang, yang tidak menikah kurang sehat. Kecenderungan bagi orang-
orang yang tidak menikah lebih sering berhadapan dengan penyakit atau
karena adanya perbedaan dalam gaya hidup yang berhubungan seearaa kausal
dengan penyebab penyakit tertentu.
(8) Besarnya keluarga
Di dalam keluarga besar dan miskin, anak-anak dapat menderita karena
penghasilan keluarga harus digunakan oleh banyak orang.
(9) Struktur keluarga
Struktur keluarga dapat mempunyai pengaruh terhadap kesakitan_(penyakit
menular dan gangguan gizi) dan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Suatu
keluarga besar karena besarnya tanggungan secara relatif mungkin harus
tinggal berdesak-desakan di dalam rumah yang luasnya terbatas hingga
memudahkan penularan penyakit menular di kalangan anggota-anggotanya
karena persediaan harus digunakan untuk anggota keluarga yang besar maka
mungkin pula tidak dapat membeli cukup makanan yang bernilai gizi cukup
atau tidak dapat memanfaatkan fasilitas kesehatan yang tersedia; dan
sebagainya.
(10) Paritas
Tingkat paritas telah menarik perhatian para peneliti dalam hubungan
kesehatan si ibu maupun si anak. Dikatakan umpamanya terdapat
kecenderungan kesehatan ibu yang berparitas rendah lebih baik dari yang
berparitas tinggi, terdapat asosiasi antara tingkat paritas dan penyakitpenyakit
tertentu, seperti asma bronchiale, ulkus peptikum, pilorik, stenosis, dan
seterusnya. Tetapi kesemuanya masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
Tempat (Place)
Pengetahuan mengenai distribusi geografis dari suatu penyakit berguna
untuk perencanaan pelayanan kesehatan dan dapat memberikan penjelasan
merigenai etiologi penyakit.
Perbandingan pola penyakit sering dilakukan antara:
(1) Batas daerah pemerintahan.
(2) Kota dan pedesaan.
(3) Daerah atau tempat berdasarkan batas alam (pegunungan, sungai, laut atau
padang pasir).
(4) Negara-negara dan
(5) ‘Regional’
Untuk kepentingan mendapatkan pengertian tentang etiologi penyakit,
perbandingan menurut batas-batas alam lebih berguna daripada menurut batas-
batas administrasi pemerintahan. Hal-hal yang memberikan kekhususan pola
penyakit di suatu daerah dengan batas-batas alam ialah: keadaan lingkungan yang
khusus seperti temperatur, kelembaban, turun hujan, ketinggian di atas permukaan
laut, keadaan tanah, sumber air, derajat isolasi terhadap pengaruh luar yang
tergambar dalam tingkat kemajuan ekonomi, pendidikan, industri, pelayanan
kesehatan, bertahannya tradisitradisi yang merupakan hambatan pembangunan,
faktor sosial budaya yang tidak menguntungkan kesehatan atau pengembangan
kesehatan, sifat-sifat lingkungan biologis (ada tidaknya vektor penyakit menular
tertentu, reservoir penyakit menular tertentu, dan susunan genetika), dan
sebagainya.
Pentingnya peranan tempat di dalam mempelajari etiologi suatu penyakit
menular dapat digambarkan dengan jelas pada penyelidikan suatu wabah, yang
akan diuraikan nanti.
Di dalam membicarakan perbedaan pola penyakit antara kota dan pedesaan,
faktor yang baru saja disebutkan di atas perlu diperhatikan. Hal lain yang perlu
diperhatikan selanjutnya ialah akibat migrasi ke kota atau ke desa terhadap pola
penyakit, di kota maupun di desa itu sendiri.
Migrasi antardesa tentunya dapat pula membawa akibat terhadap pola dan
penyebaran penyakit menular di desa-desa yang bersangkutan maupun desa-desa
di sekitarnya.
Peranan migrasi atau mobilitas geografis di dalam mengubah pola penyakit
di berbagai daerah menjadi lebih penting dengan.makin lancarnya perhubungan
darat, udara, dan lmt. Lihatlah umpamanya penyakit demam berdarah.
Pentingnya pengetahuan mengenai tempat dalam mempelejari etiologi suatu
penyakit dapat digambarkan dengan jelas pada penyelidikan suatu wabah dan
pada penyelidikanpenyelidikan me ngenai kaum migran. Di dalam memper-
bandingkan angka kesakitan atau kematian antar daerah (tempat) perlu
diperhatikan terlebih dahulu di tiap-tiap daerah (tempat).
(1) susunan umum.
(2) susunan kelamin.
(3) kualitas data, dan
(4) de-rajat representatif dari data terhadap seluruh penduduk.
Walaupun telah diadakan standardisasi berdasarkan umur dan jenis kelamin,
memperbandingkan pola penyakit antardaerah di Indonesia dengan menggunakan
data yang berasal dari fasilitas-fasilitas kesehatan, harus dilaksanakan dengan
hati-hati, sebab data tersebut belum tentu representatif dan baik kualitasnya.
Variasi geografis pada terjadinya beberapa penyakit atau keadaan lain
mungkin berhubungan dengan satu atau lebih dari beberapa fakto, yakni:
(1) Lingkungan fisis, kemis, biologis, sosial dan ekonomi yang berbeda-beda dari
suatu tempat ke tempat lainnya.
(2) Konstitusi genetis dan etnis dari penduduk yang berbeda, bervariasi seperti
karakteristik demografi.
(3) Variasi kultural terjadi dalam kebiasaan, pekerjaan, keluarga, praktik higeine
perorangan, dan bahkan persepsi tentang sakit dan sehat.
(4) Variasi administratif termasuk faktor-faktor seperti tersedianya dan efisiensi
pelayanan medis, program higeine (sanitasi) dan lain-lain.
Banyaknya penyakit hanya berpengaruh pada daerah tertentu. Misalnya
penyakit demam kuning, kebanyak terdapat di Amerika Latin. Distribusinya
disebabkan oleh adanya ‘resorvoir’ infeksi (manusia atau kera), vektor (yaitu
Aedes aegypty), penduduk yang rentan dan keadaan iklim yang memungkinkan
suburnya agen penyebab penyakit. Daerah di mana vektor dan persyaratan iklim
ditemukan, tetapi tidak ada sumber infeksi, disebut ‘receptiue area’ untuk demam
kuning.
Contoh-contoh penyakit lainnya yang terbatas pada daerah tertentu atau
yang frekuensinya tinggi pada daerah tertentu, misalnya Schistosomiasis di daerah
di mana terdapat vektor snail atau keong (Lembah Nil, Jepang), gondok andemik
(endemic goiter) di daerah yang kekurangan zat yodium.
Waktu (Time)
Mempelajari hubungan antara waktu dan penyakit merupakan kebutuhan
dasar di dalam analisis epidemiologis. Oleh karena itu, perubahan-perubahan
penyakit menurut waktu menunjiikkan adanya perubahan faktor-faktor etiologis.
Melihat panjangnya waktu di mana terjadi perubahan angka kesakitan maka
dibedakan (1) fluktuasi jangka pendek, di mana perubahan
angka kesakitan berlangsung beberapa jam, hari, minggu, dan bulan. (2)
perubahan-perubahan secara siklus di mana perubahan-perubahan angka kesakitan
terjadi secara berulang ulang dengan antara beberapa hari, beberapa bulan
(musiman), tahunan, beberapa tahun, dan (3) perubahan-perubahan angka
kesakitan yang berlangsung dalam periode waktu yang panjang, bertahun-tahun
atau puluhan tahun, yang disebut ‘secular trends’.
C. Pengukuran Epidemiologi
Di dalam uraian terdahulu telah diuraikan bagian dari epidemiologi yang
bertujuan melihat bagaimana penyebaran kesakitan dan kematian menurut sifat-
sifat orang, tempat dan waktu. Di dalam uraian ini akan diuraikan berbagai ukuran
kesakitan dan kematian yang lazim dipakai dalam survei atau penyelidikan-
penyelidikan epidemiologi. Ukuran dasar yang akan dibicarakan di sini adalah
‘rate’.
Dalam hubungan dengan kesakitan akan dibicarakan insidence rate,
prevalence rate (point period prevalence rate), attack rate, dan dalam hubungan
dengan kematian akan dibicarakan crude death rate, disease specific rate dan
adjusted death rate. Sebelum membicarakan masing-masing tersebut perlu
dikemukakan hal-hal aebagai berikut:
1) Untuk penyusunan rate dibutuhkan tiga elemen, yakni (a) jumlah orang yang
terserang penyakit atau yang meninggal, (b) jumlah penduduk dari mana
penderita berasal (reference population), dan (c) waktu atau periode di mana
orang-orang terserang penyakit.
2) Apabila pembilang terbatas pada umur, seks, atau golongan tertentu maka
penyebut juga harus terbatas pada umur, seks, atau golongan yang sama.
3) Bila penyebut terbatas pada mereka yang dapat terserang atau terjangkit
penyakit, maka penyebut tersebut dinamakan populasi yang mempunyai risiko
(population at risk).
1. Incidence Rate
Incidence rate dari suatu penyakit tertentu adalah jumlah kasus baru yang
terjadi di kalangan penduduk selama periode waktu tertentu.
Jumlah kasus baru suatu penyakit
selama periode tertentu
Incidence Rate = x 1000
Populasi yang mempunyai risiko
Contoh:
Pada bulan Desember 1988 di Kecamatan X terdapat penderita campak 88 anak
balita. Jumlah anak yang mempunyai risiko penyakit tersebut (anak balita) di
Kecamatan X = 8.000. Maka incidence rate penyakit campak tersebut adalah:
80 10
x 1.000 = atau 0,010
8.000 1000
Beberapa catatan:
(1) Di dalam mempelajari incidence diperlukan penentuan waktu atau saat
timbulnya penyakit. Bagi penyakit-penyakit yang akut seperti influenza,
infeksi stapilocacus, gastroenteritis, acute myocardial infarction, dan ‘cerebral
hemorrhage’, penentuan incidence rate ini tidak begitu sulit berhubung waktu
terjadinya dapat diketahui secara pasti atau mendekati pasti. Lain halnya
dengan penyakit di mana timbulnya tidak jelas di sini, waktu ditegakkan
‘diagnosis pasti’ diartikan sebagai waktu mulai penyakit.
(2) Incidence rate selalu dinyatakan dalam hubungan dengan periode waktu
tertentu seperti bulan, tahun, dan seterusnya. Apabila penduduk berada dalam
ancaman diserangnya penyakit hanya untuk waktu yang terbatas (seperti
hanya dalam epidemi suatu penyakit infeksi), maka periode waktu terjadinya
kasus-kasus baru adalah sama dengan lamanya epidemi. Incidence rate pada
suatu epidemi disebut attack rate.
2. Attack Rate
Jumlah kasus selama epidemi
Attack Rate = x 1000
Populasi yang mempunyai risiko − risiko
Contoh:
Pada waktu terjadinya wabah morbili di Kelurahan Y pada tahun 1987, terdapat
18 anak yang menderita morbili. Jumlah anak yang mempunyai risiko di
kelurahan tersebut = 2000 anak.
Attack rate penyakit tersebut adalah:
18 9
x 1.000 = atau 0,009
2.000 1000
(3) Untuk penyakit yang jarang maka incidence rate dihitung . untuk periode
waktu bertahun-tahun. Di dalam periode waktu yang panjang ini penyebut
dapat berubah karena dalam waktu itu jumlah populasi yang mempunyai
risiko juga dapat berubah.
(4) Pengetahuan mengenai incidence rate adalah berguna sekali di dalam
mempelajari faktor-faktor etiologi dari penyakit yang akut maupun kronis.
Incidence rate adalah satu ukuran = langsung dari kemungkinan (probabilitas)
untuk menjadi sakit. Dengan membandingkan incidence rate suatu penyakit ''
dari berbagai penduduk yang berbeda di dalam satu atau lebih faktor
(keadaan) maka kita dapat memperoleh keterangan faktor mana yang menjadi
faktor risiko dari penyakit bersangkmtan. Kegunaan seperti ini tidak dipunyai
oleh prevalence rate.
3. Prevalence Rate
Prevalence rate mengukur jumlah orang di kalangan penduduk yang
menderita suatu penyakit pada satu titik waktu tertentu.
Jumlah kasus − kasus penyakit
yang ada pada suatu titik tertentu
Prevalence Rate = x 1000
Jumlah penduduk seluruhnya
Contoh:
Kasus penyakit TBC paru di Kecamatan Moyang pada waktu dilakukan surnei
pada Juli 1988 adalah 48 orang dari 24.000 penduduk di kecamatan tersebut.
Maka prevalence rate TBC di Kecamatan tersebut adalah:
96 4
x 1.000 = atau 0,004
24.000 1000
Catatan:
(1) Prevalence rate bergantung pada dua faktor (a) ' berupa jumlah orang yang
telah sakit pada waktu, yang lalu dan (b) lamanya menderita sakit. Meskipun
hanya sedikit orang yang sakit dalam setahun, apabila penyakit tersebut
kronis, jumlahnya akan meningkat dari tahun ke tahun dan dengan demikian
prevalence secara relatif akan lebih tinggi dari incidence. ciclence.
Sehaliknya, apab-ila penyakitnya akut (lamanya sakit pendek baik oleh
karena penyembuhan ataupun oleh karena kematian) maka prevalence secara
relatif akan lebih rendah daripada incidence.
(2) Prevalence (terutama untuk penyakit kronis) penting untuk perencanaan
kebutuhan fasilitas, ;tenaga, dan pemberantasan berantasan penyakit.
Prevalence yang dibicarakan di atas ‘point’ prevalence. Jenis ukuran lain
yang juga digunakan ialah period prevalence.
4. Period Prevatensi
Jumlah kasus penyakit yang selama
periode
Period Prevalence = x 1000
Penduduk rata − rata dari periode
tersebut (′mid period population′ )
Contoh:
Pada periode tahun 1988 (Januari-Desember) di Kelurahan A terdapat 75
penderita malaria. Pada pertengahan tahun 1988 , penduduk kelurahan A tersebut
berjumlah 5.000 orang. Maka j period prevalence malaria di Kelurahan A adalah:
75 15
x 1.000 = atau 0,015
5.000 1000
Period prevalence terbentuk dari prevalence pada suatu titik waktu
ditambah kasus-kasus baru (insidence), dan kasuskasus yang kambuh selama
periode observasi.
Catatan:
(1) Jumlah penduduk di sini bukanlah merupakan penyebut yang sebenarnya,
oleh karena berbagai golongan umur mempunyai kemungkinan mati yang
berbeda-beda, sehingga perbedaan dalam susunan umur antara•beberapa
penduduk akan menyebabkan perbedaan dalam crude death rate meskipun
rate untuk berbagai golongan umur sama.
(2) Kekurangan-kekurangan dari crude death rate ini adalah (1) terlalu
menyederhanakan pola yang kbmpleks dari rate, dan (2) penggunaannya
dailam perbandingan angka kematian antarberbagai penduduk yang
mempunyai susunan umur yang berbeda-beda, tidak dapat secara langsung
melainkan harus melalui prosedur penyesuaian (adjustment).
(3) Meskipun mempunyai kekurangan-kekurangan tersebut di atas, crude death
rate ini digunakan secara luas oleh karena (a) sifatnya yang merupakan
‘summary rate’ dan (b) dapat dihitung dengan adanya informasi yang
minimal.
(4) Crude death rate digunakan untuk perbandingan-perbandingan menurut
waktu dan perbandingan-perbandingan internasional.
(5) Untuk penyelidikan epidemiologi akan diperlukan ‘summary rate’ yang tidak
mempunyai kelemahan-kelemahan, seperti crude rate. Rate seperti diperoleh
dengan mengadakan penyesuaian pada susunan umur dari berbagai penduduk
yang akan diperbandingkan angka kematiannya, dengan sendirinya
‘Adjustment rate’ ini adalah fiktif.
6. Age Specific Death Rate (Angka Kematian pada Umur Tertentu)
Sebagai contoh: age specific death rate pada golongan umur 20-30 tahun:
Jumlah kematian antara umur 20 − 30 tahun
Death Rate di suatu daerah dalam satu tahun
= x 1000
Age Specifik Jumlah penduduk berumur antara 20 −
30 tahun di daerah dan tahun yang sama
Menurut model ini, suatu penyakit tidak bergantung pada satu sebab yang
berdiri sendiri melainkan sebagai akibat dari serangkaian proses ‘sebab dan
akibat’. Dengan demikian maka timbulnya penyakit dapat dicegah atau dihentikan
dengan memotong rantai pada berbagai titik.
c. Roda
E. Imunisasi
1. Pengertian
Imunisasi berasal dari kata imun, kebal atau resisten. Anak diimunisasi,
berarti diberikan kekebaln terhadap suatu penyakit terteritu. Anak kebal atau
resisten terhadap suatu penyakit, tetapi belum tentu kebal terhadap penyakit yang
lain.
2. Macam Kekebablan
Kekebalan terhadap suatu penyakit menular dapat digolongkan menjadi 2,
yakni:
a. Kekebalan tidak spesifik (non-spesifik resistance)
Yang dimaksud dengan faktor-faktor non-khusus adalah pertahanan tubuh pada
manusia yang secara alamiah dapat melindungi badan dari suatu penyakit,
misalnya, kulit, air mata, cairan-cairan khusus yang ke luar dari perut (usus),
adanya reflek-reflek tertentu misalnya batuk, bersin dan sebagainya.
b. Kekebalan spesifik (specipic resistance)
Kekebalan spesifik dapat diperoleh dari dua sumber, yakni:
(1) Genetik
Kekebalan yang berasal dari sumber,genetik ini biasanya berhubungan
dengan ras (warna kulit) dan kelompokkelompok etnis, misalnya orang
kulit hitam (Negro) cenderung lebih resisten terhadap penyakit malaria
jenis vivax. Contoh lain, orang yang mempunyai hemoglobin S lebih
resisten terhadap penyakit plasmodium Falciparum, daripada orang yang
mempunyai hemoglobin AA.
(2) Kekebalan yang diperoleh (acquaied immunity)
Kebebalan ini diperoleh dari luar tubuh anak atau orang yang
bersangkutan. Kekebalan dapat bersifat aktif, dan dapat bersifat pasif.
Kekebalan aktif dapat diperoleh setelah orang sembuh dari penyakit
tertentu. Misalnya, anak yang telah sembuh dari penyakit campak ia akan
kebal terhadap penyakit campak. Kekebalan aktif juga dapat diperoleh
melalui imunisasi, yang berarti ke dalam tubuhnya dimasukkan organisme
patogen (bibit) penyakit. Kekebalan pasif diperoleh dari ibunya melalui
plasenta. Ibu yang telah memperoleh kekebalan terhadap penyakit tertentu,
misalnya campak, malaria dan tetanus, maka anaknya (bayi) akan
memperoleh kekebalan terhadap penyakit tersebut untuk beberapa bulan
pertama. Kekebalan pasif juga dapat diperoleh melalui serum anti body
dari manusia atau binatang. Kekebalan pasif ini hanya bersifat sementara
(dalam waktu pendek saja).
Masa inkubasi
Masa inkubasi adalah jarak waktu dari mulai terjadinya infeksi di dalam diri
orang sampai dengan munculnya gejala-gejala atau tanda-tanda penyakit pada
arang tersebut. Tiap-tiap penyakit infeksi mempunyai masa, inkubasi berbeda-
beda, mulai dari beberapa jam sampai beberapa tahun.
4 Jenis-jenis Imunisasi
Pada dasarnya ada 2 (dua) jenis imunisasi.
a) Imunisasi pasif (pasive immunization)
Imunisasi pasif ini adalah ‘inmuno globulin jenis imunisasi ini dapat mencegah
penyakit campak (measles) pada anakanak.
b) Imunisasi aktif (active immunization)
Imunisasi yang diberikan pada anak adalah:
- BCG, untuk penyakit TBC.
- DPT, untuk mencegah penyakit-penyakit diptheri, partusis dan tetanus.
- Polio, untuk mencegah penyakit poliomilitis.
- Campak, untuk mencegah penyakit campak (measles).
Imunisasi pada ibu hamil dan calon pengantin adalah imunisasi tetanus toxoid.
Imunisasi ini untuk mencegah terjadinya tetanus pada bayi yang dilabirkan.
6) Pemantauan
Pemantauan harus dilakukan oleh semua petugas baik pimpinan program,
supevisor dan petugas paksinasi. Tujuan pemantauan untuk mengetahui:
(a) Sampai di mana keberhasilan kerja kita.
(b)Mengetahui permasalahan yang ada
(c) Hal-hal yang perlu dilakukan untuk memperbaiki program.
(d)Bantuan yang diharapkan oleh petugas tingkat bawah.
Hal-hal yang perlu dipantau (dimonitor)
(1)Coverage dan drop out.
(2)Pengelolaan vaksin dan colk chain.
(3)Pengamatan penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.
Dilihat dari waktu, maka pemantauan dapat dilakukan dalam:
(a) Pemantauan ringan
Pemantauan ringan memantau hal-hal sebagai berikut:
- Apakah pelaksanaan memantau sesuai dengan jadwal.
- Apakah vaksin cukup.
- Pengecekan lemari es setiap hari dan dicatat temperaturnya.
- Melihat apakah suhu lemari es normal.
- Hasil imunisasi dibandingkan dengan sasaran yang telah ditentukan
- Peralatan yang cukup untuk penyuntikan yang aman dan steril.
- Adakah di antara 6 penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi
dijumpai dalam seminggu.
(b)Pemantauan bulanan
- Jumlah bayi yang seharusnya diimunisasi setiap bulan:
target bayi 1 tahun
Target 1 bulan =
12
- Presentasi bayi yang mendapat imunisasi setiap bulan, minimal DPT I
Jumlah yang menerima DPT I
= 100% bayi yang telah diimunisasi
Target perbulan
- Dihitung presentasi bayi yang telah mendapat imunisasi lengkap (BCG 1x,
DPT 3x, Campak 1x)
- Keadaan stok vaksin bulan lalu, apa sesuai dengan kebutuhan.
- Adakah anak di wilayah kerja yang menderita penyakit yang dapat dicegah
dengan imunisasi.
Cara menghitung target per bulan dari penduduk, misal jumlah kelahiran per
tahun 3,1% dari jumiah penduduk.
3,1
Jumlah penduduk x = target bayi pertahun
100
Target bayi per tahun
Untuk target per bulan ∶
12
Cara memantau cakupan imunisasi dapat dilakukan melalui beberapa cara antara
lain :
- Cakupan dari bulan ke bulan dibandingkan dengan target, dapat digambarkan
masing-masing bulan dengan cara komulatif.
- Hasil cakupan per triwulan untuk masing-masing desa.
Untuk mengetahui keberhasilan program dapat denan melhat hal-hal sebagai
berikut :
- Bila garis pencapaian dalam a tahun terlihat antara 75% 100% dari target,
berarti program sangat berhasil.
- Bila garis pencapaian dalam a tahun terlihat antara 50% - 75% dari target,
berarti program cukup berhasil.
- Bila garis pencapaian dalam a tahun terliha,t di bawah 50% dari target, berarti
program belum berhasil.
Bila garis pencapaian dalam setahun terlihat di bawah 25% dari target berarti,
program sama sekali tidak berhasil. Untuk tingkat kabupaten dan provinsi, maka
penilaian diarahkan pada penduduk tiap kecamatan atau Dati II. Di samping itu,
pada kedua tingkat ini perlu memperhitungkan pula/memonitoring efisiensi
pemakaian vaksin.
Jadwal Pemberian Imunisasi:
Pemberian Imunisasi pada bayi, ibu hamil, anak kelas I dan kelas VI
sekolah dasar dan calon pengantin mengikuti ketentuan jadwal sebagai berikut:
Jadwal Pemberian Imunisasi
Selang waktu
Jenis Vaksin Jumlah Vaksinsi Sasaran
pemberian
1. BCG 1 kali - Bayi
0-11
2. DPT 3 kali 4 minggu Bayi
(DPT 1,2,3) 2-11 bulan
3. POLIO 3 kali 4 minggu 2-11bulan
(POL 1,2,3)
4. CAMPAK 1 kali - Anak
9-11 bulan
5. TT.IH 1 kali - - Bila ibu hamil
(booster) (booster)
pernah mene-
rima 'TT 2 x
pada waktu
calon pengantin
atau pada
kehamilan
sebelumnya
2 kali 4 minggu - Bila ibu hamil
belum pernah
divaksinasi TT,
diberikan 2 x
selama keha-
milan. Bila
pada waktu
kontak beri-
kutnya (saat
pemberian TT2
tetap diberikan
dengan maksud
untuk mem-
berikan per-
lindungan pada
kehamilan beri-
kutnya.
6. DT 2 kali 4 minggu Anak kelas I SD
wanita
7. TT 2 kali 4 minggu Anak kelas IV SD
wanita
8. TT Calon 2 kali 4 minggu Calon pengantin
sebelum akad
nikah (waktu
melapor / waktu
menerima nasihat
perkawinan)
Pengantin wanita (TT 1,2)
Petunjuk pemberian vaksinasi depteria dan tetanus pada anak sekolah dasar.
1. Anak kelas I SD
a) Yang pernah mendapat vaksinasi DPT sewaktu bayi diberi DT lx suntikan
dengan dosis 0,5 cc 1M/SC dalam.
b) Yang belum pernah mendapat vaksixlasi DPT sewaktu bayi, diberikan
vaksinasi DT sebanyak 2x suntikan @ 0,5 cc dengan interval minimal 4
minggu.
c) Apabila meragukan apakah waktu bayi memperoleh DPT atau tidak, maka
diberi 2x suntikan seperti pada butir b.
2. Anak kelas VI SD
a) Yang pernah mendapatkan vaksinasi DPT/DT, diberikan vaksinasi TT lx
suntikan @ 0,5 cc IM/SC dalam.
b) Yang belum pernah mendapatkan vaksinasi DPT/DT, diberikan vaksinasi
DT sebanyak 2x suntikan @ 0,5 cc dengan interval minimum 4 minggu.
c) Apabila meragukan apakah anak sudah memperoleh vaksinasi DPT/DT atau
tidak, maka diberi 2x seperti pada butir b.
PENDIDIKAN DAN PERILAKU KESEHATAN
2) Kelompok Kecil
Apabila peserta kegiatan itu kurang dari 15 orang biasanya kita sebut
kelompok kecil. Metode-metode yang cocok untuk , kelompok kecil ini antara
lain:
a) Diskusi Kelompok
Dalam diskusi kelompok agar semua anggota kelompok dapat bebas
berpartisipasi dalam diskusi, maka formasi duduk para peserta diatur
sedemikian rupa sehingga mereka dapat berhadap-hadapan atau saling
memandang satu sama lain, misalnya, dalam bentuk lingkaran atau segi
empat. Pimpinan diskusi/penyuluh juga duduk di antara peserta, sehingga
tidak menimbulkan kesan ada yang lebih tinggi. Tepatnya mereka dalam
taraf yang sama, sehingga tiap anggota kelompok ada kebebasan/
keterbukaan untuk mengeluarkan pendapat.
Untuk memulai diskusi, pemimpin diskusi harus memberikan pancingan-
pancingan berupa pertanyaanpertanyaan atau kasus sehubungan dengan
topik yang dibahas. Agar terjadi diskusi yang hidup, pemimpin kelompok
harus mengarahkan dan mengatur sedemikian rupa sehingga semua orang
dapat kesempatan berbicara, sehingga tidak menimbulkan dominasi dari
salah seorang peserta.
b) Curah Pendapat (Brain Storming)
Metode ini merupakan modifikasi metode diskusi kelompok. Prinsipnya
sama dengan metode dikusi kelompok. Bedanya pada permulaan pemimpin
kelompok memancing dengan satu masalah, kemudian tiap peserta
memberikan jawaban-jawaban atau tanggapan (cara pendapat). Tanggapan
atau jawaban-jawaban tersebut ditampung dan ditulis dalam flipchart atau
papan tulis.
Sebelum semua peserta mencurahkam pendapatnya,, tidak boleh diberi
komentar oleh`siapa pun. Baru setelah semua anggota mengeluarkan
pendapatnya, tiap anggota dapat mengomentari, dan. akhirnya terjadilah
diskusi.
c) Bola Salju (Snow Balling)
Kelompok dibagi dalam pasangan=pasangan (1 pasang 2 orang). Kemudian
dilontarkan suatu pertanyaan atau masalah, setelah lebih kurang 5 menit tiap
2'pasang bergabung menjadi satu. Mereka tetap mendiskusikan masalah
tersebut dan mencari kesimpulannya. Kemuthan tiap 2 pasang yang sudah
beranggotakan 4 orang ini bergabung lagi dengan pasangan lainnya dan
demikian seterusnya akhirnya menjadi diskusi seluruh kelas.
d) Kelompok Kecil-kecil (Bruzz Group)
Kelompok langsung dibagi menjadi kelompok kecil-kecil (bruzz group)
kemudian dilontarkan suatu permasalahan sama/tidak dengan kelompok lain
dan masing-masing kelompok mendiskusikan masalah tersebut. Selanjutnya
kesimpulan dari tiap kelompok tersebut dan dicari kesimpulannya.
e) Role Play (Memainkan Peranan)
Dalam metode ini beberapa anggota kelompok ditunjuk sebagai pemegang
peranan tertentu untuk memainkan peranan, misalnya, sebagai dokter
Pukesmas, sebagai perawat atau bidan, dan sebagainya, sedangkan anggota
yang lain sebagai pasien atau anggota masyarakat. Mereka meragakan
misalnya bagaimana interaksi/ komunikasi sehari-hari dalam melaksanakan
tugas.
f) Permainan Simulasi (Simulation Game)
Metode ini merupakan gambaran antara role play dengan diskusi kelompok.
Pesan-pesan kesehatan disajikan dalam beberapa bentuk permainan seperti
permainan monopoli. Cara memainkannya persis seperti bermain monopoli
dengan menggunakan dadu, gaco (penunjuk arah), selain beberan atau
papan main. Beberapa orang menjadi pemain, dan sebagian lagi berperan
sebagai narasumber.
3. Metode Pendidikan Massa (Public)
Metode pendidikan (pendekatan) massa untuk meng4nsumsikan pesan-
pesan kesehatan yang ditujukan kepada masyarakat yang sifatnya massa atau
publik, maka cara yang paling tepat adalah pendekatan massa. Oleh karena
sasaran pendidikan ini bersifat umum dalam arti tidak menbedakan golongan
umur, jenis kalamin, pekerj,aan, status sosial ekonomi, tingkat pendidikan, dan
sebagianya maka pesan-pesan kesehatan yang akan disampaikan harus dirancang
sedemikian rupa sehingga dapat ditangkap oleh massa tersebut. Pendekatan ini
biasanya digunakan: untuk menggugah ‘awareness’ atau kesadaran masyarakat
terhadap suatu inovasi, belum begitu diharapkan sampai dengan perubahan
perilaku. Namun demikian bila sudah. sampai berpengaruh terhadap perubahan
perilaku adalah wajar.
Pada umumnya bentuk pendekatan (cara), massa iru tidak langsung.
Biasanya menggunakan atau melalui media massa. Beberapa contoh metode- ini,
antara, lain.
1) Ceramah umum (public speaking
Pada acara-acara tertentu, misalnya pada Hari Kesehatan Nasional Menteri
Kesehatan atau pejabat kesehatan lainnya berpidato di hadapan massa untuk
menyampa,ikan pesanpesan kesehatan. Safari KB juga merupakan salah satu
bentuk pendekatan massa.
2) Pidato-pidato diskusi tentang kesehatan melalui media elektronik baik tv
maupun radio, pada hakikatnya adalah bentuk pendidikan kesehatan massa.
3) Simulasi, dialog antara pasien dengan dokter atau petugas kesehatan lainnya
tentang suatu penyakit atau masalah kesehatan melalui tv atau radio juga
merupakan pendekatan pendidikan kesehatan massa. Contoh: ‘Praktik Dokter
Herman Susilo’ di televisi.
4) Sinetron ‘Dokter Sartika’ di dalam acara tv juga merupakan bentuk pendekatan
pendidikan kesehatan massa.
5) Tulisan-tulisan di majalah atau koran, baik dalam bentuk artikel maupun tanya
jawab/konsultasi tentang kesehatan antara penyakit juga merupakan bentuk
pendekatan pendidikan kesehatan massa.
6) Bill Board, yang dipasang di pinggir jalan, spanduk, poster, dan sebagainya
juga bentuk pendidikan kesehatan massa. Contoh: Billboard ‘Ayo ke
Posyandu’.
kurang efektif atau intensitasnya paling rendah. Jelas bahwa menggunakan alat
peraga adalah salah satu prinsip proses pendidikan.
Dalam rangka pendidikan kesehatan masyarakat sebagai konsumer juga
dapat dilibatkan dalam pembuatan alat peraga (alat bantu pendidikan). Untuk itu,
petugas kesehatan berperan untuk membimbing dan membina, bukan hanya dalam
hal kesehatan mereka sendiri, tetapi juga memotivasi mereka sehingga
meneruskan informasi kesehatan kepada anggota masyarakat yang lain.
Alat peraga akan membantu dalam melakukan penyuluhan, agar pesan-
pesan kesehatan dapat disampaikan lebih jelas, dan masyarakat sasaran dapat
menerima pesan orang tersebut dengan jelas dan tepat. Dengan alat peraga orang
dapat lebih mengerti fakta kesehatan yang dianggap rumit, sehingga mereka dapat
menghargai betapa bernilainya kesehatan itu bagi kehidupan.
a. Media cetak
Media cetak sebagai alat untuk menyampaikan pesanpesan kesehatan sangat
bervariasi antara lain:
1) Booklet: ialah suatu media untuk menyampaikan pesanpesan kesehatan dan
bentuk buku, baik tulisan maupun gambar.
2) Leaflet: ialah bentuk penyampaian informasi atau pesanpesan kesehatan
melalui lembaran yang dilipat. Isi informasi dapat dalam bentuk kalimat
maupun gambar, atau kombinasi.
3) Flyer (selebaran): ialah seperti leaflet tetapi tidak dalam bentuk lipatan.
4) Flip chart (lembar balik): media penyampaian pesan atau informasi-informasi
kesehatan dalam bentuk lembar balik. Biasanya dalam bentuk buku, di mana
tiap lembar (halaman) berisi gambar peragaan dan di baliknya berisi kalimat
sebagai pesan atau informasi berkaitan dengan gambar tersebut.
5) Rubrik atau tulisan-tulisan pada surat kabar atau majalah, mengenai bahasan
suatu masalah kesehatan, atau hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan.
6) Poster ialah bentuk media cetak berisi pesan-pesan/informasi kesehatan yang
biasanya ditempel di tembok-tembok, di tempat-tempat umum, atau di
kendaraan umum.
7) Foto yang mengungkapkan informasi-informasi kesehatan.
b. Media elektronik
Media elektronik sebagai sarana untuk menyampaikan pesan-pesan atau
informasi-informasi kesehatan dan jenisnya berbeda-beda, antara lain:
a) Televis: penyampaian pesan atau informasi-informasi kesehatan melalui media
televisi dapat dalam bentuk: sandiwara, sinetron, forum diskusi atau tanya
jawab sekitar masalah kesehatan, pidato (ceramah), TV, sport, quiz atau cerdas
cermat, dan sebagainya.
b) Radio: penyampaian informasi atau pesan-pesan kesehatan melalui radio juga
dapat berbentuk macam-macam antara lain: obrolan (tanya jawab), sandiwara
radio, ceramah, radio spot, dan sebagainya.
c) Video: penyampaian informasi atau pesan-pesan kesehatan dapat melalui
video.
d) Slide: slide juga dapat digunakan untuk menyampaikan pesan atau informasi-
informasi kesehatan.
e) Film strip juga dapat digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan kesehatan.
F. Perilaku Kesehatan
1. Konsep Peritaku
Sebelum kita bicarakan tentang perilaku kesehatan, terlebih dahulu akan
dibuat suatu batasan terlebih dahulu tentang perilaku itu sendiri. Perilaku dari
pandangan biologis merupakan suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang
bersangkutan. Jadi, perilaku manusia pada hakikatnya adalah suatu aktivitas dari
manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, perilaku manusia itu mempunyai bentangan
yang sangat luas, mencakup berjalan, berbicara, bereaksi, berpakaian, dan lain
sebagainya. Bahkan kegiatan internal (internal activity) seperti berpikir, persepsi
dan emosi juga merupakan perilaku manusia. Untuk kepentingan kerangka
analisis dapat dikatakan bahwa perilaku adalah apa yang dikerjakan-olsh
organisme tersebut, baik dapat diamati secara langsung atau secara tidak
langsung.
Perilaku dan gejala perilaku yang tampak pada kegiatan organisme tersebux
dipengaruhi baik oleh faktor genetik (keturunan) dan lingkungan. Secara umum
dapat dikatakan bahwa faktor genetik dan lingkungan itu merupakan penentu dari
perilaku makhluk hidup termasuk perilaku manusia. Hereditas atau faktor
keturunan adalah konsepsi dasar atau modal untuk perkembangan perilaku
makhluk hidup itu untuk selanjutnya. Sedangkan lingkungan adalah kondisi atau
lahan untuk perkembangan perilaku tersebut. Suatu mekanisme pertemuan antara
kedua faktor dalam rangka terbentuknya perilaku disebut proses belajar (learning
process).
Skinner (1938) seorang ahli perilaku mengemukakan bahwa perilaku
merupakan hasil hubungan antara perangsang (stimulus) dan tanggapan dan
respons. Ia membedakan adanya dua respons, yakni:
1. Respondent respos atau reflexive respons, ialah respons yang ditimbulkan oleh
rangsangan-rangsangan tertentu. Perangsangan-perangsangan yang semacam
ini disebut eliciting stimulasi, karena menimbulkan respons-respons yang
relatif tetap, misalnya, maknanan lezat menimbulkan keluarnya air liur, cahaya
yang kuat akan menyebabkan mata tertutup, dan sebagainya. Pada umumnya
perangsangan-perangsangan yang demikian ini mendahului respons yang
ditimbulkan.
Respondent respons (respondent behaviour) ini mencakup juga emosi respons
atau emotional behaviour. Emotional respons ini timbul karena hal yang
kurang mengenakkan organisme yang bersangkutan, misalnya menangis karena
sedih atau sakit, muka merah (tekanan darah meningkat karena marah).
Sebaliknya hal-hal yang mengenakkan pun dapat menimbulkan perilaku
emosional misalnya, tertawa, berjingkat-jingkat karena senang, dan
sebagainya.
2. Operant respons atau instrumental respons, adalah respons yang timbul dan
berkembangnya diikuti oleh perangsang tertentu. Perangsang semacam ini
disebut reinforcing stimuli atau reinforcer, karena perangsangan-perangsangan
tersebut memperkuat respons yang telah dilakukan oleh organisme. Oleh sebab
itu, perangsang yang demikian itu mengikuti atau memperkuat sesuatu perilaku
tertentu yang telah dilakukan. Apabila seorang anak belajar atau telah
melakukan suatu perbuatan, kemudian memperoleh hadiah, maka ia akan
menjadi lebih giat belajar atau akan lebih baik lagi melakukan perbuatan
tersebut. Dengan kata lain responsnya akan lebih intensif atau lebih kuat lagi.
Di dalam kehidupan sehari-hari, respons jenis pertama (respondent respons
atau respondent behaviour) sangat terbatas keberadaannya pada manusia. Hal ini
disebabkan karena hubungan yang pasti antara stimulus dan respons kemungkinan
untuk memodifikasikannya adalah sangat kecil. Sebaliknya operant respons atau
instrumental behaviour merupakan bagian terbesar dari perilaku manusia, dan
kemungkinan untuk memodifikasi sangat besar, bahkan dapat dikatakan tidak
terbatas. Fokus teori Skinner ini adalah pada respons atau jenis perilaku yang
kedua ini.
Bentuk perilaku
Secara lebih operasional perilaku dapat diartikan suatu respons organisme
atau seseorang terhadap rangsangan (stimulus) dari luar objek tersebut. Respons
ini berbentuk dua macam, yakni:
1. Bentuk pasif adalah respons internal, yaitu yang terjadi di dalam diri manusia
dan tidak secara langsung dapat terlihat oleh orang lain, misalnya berpikir,
tanggapan atau sikap batin dan pengetahuan. Misalnya, seorang ibu tahu bahwa
imunisasi itu dapat mencegah suatu penyakit tertentu, meskipun ibu tersebut
tidak membawa anaknya ke Puskesmas untuk diimunisasi. Contoh lain,
seorang yang menganjurkan orang lain untuk mengikuti keluraga berencana
meskipun ia sendiri tidak ikut keluarga berencana. Dari kedua contoh tersebut
terlihat bahwa si ibu telah tahu gunanya, imunisasi, dan contoh kedua orang
tersebut telah mempunyai sikap yang positif untuk mendukung keluarga
berencana, meskipun mereka sendiri belum melakukan secara konkret terhadap
kedua hal tersebut. Oleh sebab itu perilaku mereka ini masih terselubung
(covert behaviour).
2. Bentuk aktif, yaitu apabila perilaku itu jelas dapat diobservasi secara langsung.
Misalnya pada kedua contoh tersebut, si ibu sudah membawa anaknya ke
Puskesmas atau fasilitas kesehatan lain untuk imunisasi, dan pada kasus kedua
sudah ikut keluarga berencana dalam arti sudah menjadi akseptor KB. Oleh
karena perilaku mereka ini sudah tampak dalam bentuk tindakan nyata, maka
disebut ‘overt behaviour’.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengetahuan dan sikap
merupakan respons seseorang terhadap stimuslus atau rangsangan yang masih
bersifat terselubung, dan disebut ‘covert behaviour’. Sedangkan tindakan nyata
seseorang sebagai respons seseorang terhadap stimulus (practice) adalah ‘overt
behaviour’.
2 Perilaku Kesehatan
Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respons ieseorang
(organisme) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem
pelayanan-kesehatan, makanan, serta lingkungan.
Batasan ini mempunyai dua unsur pokok, yakni respons dan stimulus atau
perangsangan.
Respons atau reaksi manusia, baik bersifat pasif : (pengeahuan, persepsi,
dan sikap), maupun bersifat aktif (tindakan yang nyata atau praktis). Sedangkan
stimulus atau rangsangan di sini terdiri 4 unsur pokok, yakni: sakit dan penyakit,
sistem pelayanan kesehatan dan lingkungan. Dengan demikian secara I+ebih
terinci perilaku.kesehatan itu mencakup:
1. Perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit, yaitu bagaimana manusia
berespons, baik secara pasif (mengetahui, bersikap, dan mempersepsi penyakit
dan rasa sakit yang ada pada dirinya dan di luar dirinya, maupun aktif
(tindakan) yang dilakukan sehubungan dengan penyakit dan sakit tersebut.
Perilaku terhadap sakit dan penyakit ini dengan sendirinya sesuai dengan
tingkat-tingkat pencegahan penyakit, yakni:
a. Perilaku sehubungan dengan peningkatan dan pemeliharaan kesehatan
(health promotion behaviour). Misalnya makan makanan yang bergizi,
olahraga, dan sebagainya.
b. Perilaku pencegahan penyakit (health prevention behaviour), adalah respons
untuk melakukan pencegahan penyakit, misalnya: tidur memakai kelambu
untuk mencegah gigitan nyamuk malaria, imunisasi, dan sebagainya.
Termasuk juga perilaku untuk tidak menularkan penyakit kepada orang lain.
c. Perilaku sehubungan dengan pencarian pengobatan (health seeking
behaviour), yaitu perilaku untuk melakukan atau mencari pengobatan,
misalnya berusaha mengobati sendiri pengakitnya, atau mencari pengobatan
ke fasilitas-fasilitas kesehatan modern (puskesma, mantri, dokter praktik,
dan sebagainya), maupun ke fasilitas kesehatan tradisional (dukun, sinshe,
dan sebagainya).
d. Perilaku, sehubungan dengan pemulihan kesehatan (health rehabilitation
behaviour), yaitu perilaku yang berhubungan dengan usaha-usaha
pemulihan kesehatan setelah sembuh dari suatu penyakit. Misalnya
melakukan diet, mematuhi anjuran dokter dalam rangka pemulihan
kesehatannya.
2. Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan, adalah respons seseorang
terhadap sistem pelayanan kesehatan baik sistem pelayanan kesehatan modern
maupun tradisional. Perilaku ini menyangkut respons terhadap fasilitas
pelayanan, cara pelayanan, petugas kesehatan, dan obat-obatannya yang
terwujud dalam pengetahuan, persepsi, sikap dan penggunaan fasilitas, petugas,
dan obat-obatan.
3. Perilaku terhadap makanan (nutrition behaviour), yakni respons seseorang
terhadap makanan sebagai kebutuhan vital bagi kehidupan. Perilaku ini
meliputi pengetahuan, persepsi, sikap dan praktik kita terhadap makanan serta
unsur-unsur yang terkandung di dalamnya (zat gizi), pengolahan makanan, dan
sebagainya, sehubungan kebutuhan tubuh kita.
4. Perilaku terhadap lingkungan kesehatan (environmental health behaviour)
adalah respons seseorang terhadap lingkungan sebagai determinan kesehatan
manusia. Lingkup perilaku ini seluas lingkup kesehatan lingkungan itu sendiri.
Perilaku ini antara lain mencakup:
a. Perilaku sehubungan dengan air bersih, termasuk di dalamnya komponen,
manfaat, dan penggunaan air bersih untuk kepentingamkesehatan.
b. Perilaku sehubungan dengan pembuangan air kotor, yang menyangkut segi-
segi higiene pemeliharaan teknik, dan penggunaannya.
c. Perilaku sehubungan dengan limbah, baik limbah padat maupun limbah cair.
Termasuk di dalamnya sistem pembuangan sampah dan air limbah, serta
dampak pembuatan limbah yang tidak baik.
d. Perilaku sehubungan dengan rumah yang sehat, yang meliputi ventilasi,
pencahayan, lantai, dan sebagainya.
e. Perilaku sehubungan dengan pembersihan sarang sarang nyamuk (vektor)
dan sebagainya.
Keterangan:
1. Perilaku kesehatan individu; sikap dan kebiasaan individu yang erat kaitannya
dengan lingkungan.
2. Lingkungan keluarga; kebiasaan-kebiasaan tiap anggota keluarga mengenai
kesehatan.
3. Lingkungan terbatas; tradisi, adat-istiadat dan kepercayaan masyarakat
sehubungan dengan kesehatan.
4. Lingkungan umum; kebijakan-kebijakan pemerintah di bidang kesehatan.
Undang-undang kesehatan, program-program kesehatan, dan sebaginya.
Setiap individu sejak lahir tekait dalam suatu kelompok, terutama kelompok
keluarga. Dalam keterkaitannya dengan kelompok ini membuka kemungkinan
untuk dipengaruhi dan mempengaruhi anggota-anggota kelompok lain. Oleh
karena pada setiap kelompok senantiasa berlaku aturan-aturan dan norma-norma
sosial tertentu, maka perilaku tiap individu anggota kelompok berlangsung dalam
suatu jaringan normatif. Demikian pula perilaku individu tersebut terhadap
masalahmasalah kesehatan.
Kosa dan Robertson mengatakan bahwa perilaku kesehatan seseorang
cenderung dipengaruhi oleh kepercayaan orang yang bersangkutan terhadap
kondisi kesehatan yang diinginkan, dan kurang mendasarkan pada pengetahuan
biologi. Memang kenyataannya demikian, setiap individu mempunyai cara yang
berbeda dalam mengambil tindakan penyembuhan atau pencegahan berbeda,
meskipun gangguan kesehatan sama. Pada umumnya tindakan yang diambil
berdasarkan penilaian individu atau mungkin dibantu oleh orang lain terhadap
gangguan tersebut. Penilaian semacam ini menunjukkan bahwa gangguan yang
dirasakan individu menstimulasikan dimulainya suatu proses sosial psikologis.
Proses semacam ini menggambarkan berbagai tindakan yang dilakukan si
penderita mengenai gangguan yang dialami, dan merupakan bagian integral
interaksi sosial pada umumnya. Proses ini mengikuti suatu keteraturan tertentu
yang dapat diklasifikasikan dalam 4 bagian, yakni:
a. Ada suatu penilaian dari orang yang bersangkutan terhadap suatu gangguan
atau ancaman kesehatan. Dalam hal ini persepsi seseorang yang bersangkutan
atau orang lain (anggota keluarga) terhadap gangguan tersebut berperan.
Selanjutnya, gangguan dikomunikasikan kepada orang lain (anggota keluarga),
dan mereka yang diberi informasi tersebut menilai dengan kriteria subjektif.
b. Timbulnya kecemasan karena adanya persepsi terhadap gangguan tersebut.
Disadari bahwa setiap gangguan kesehatan akan menimbulkan kecemasan baik
bagi yang bersangkutan maupun bagi anggota keluarga lainnya. Bahkan
gangguan tersebut dikaitkan dengan ancaman adanya kematian. Dari ancaman-
ancaman ini akan menimbulkan bermacam-macam bentuk perilaku.
c. Penerapan pengetahuan orang yang bersangkutan mengenai hal-hal yang
berhubungan dengan masalah kesehatan, khususnya mengenai gangguan yang
dialami. Oleh karena gangguan kesehatan terjadi secara teratur dalam suatu
kelompok tertentu, maka setiap orang dalam kelompok tersebut dapat
menghimpun pengetahuan tentang berbagai macam gangguan kesehatan yang
mungkin terjadi. Dari sini I sekaligus orang menghimpun berbagai cara
mengenai gangguan kesehatan itu, baik secara tradisional maupun secara
modern. Berbagai cara penerapan pengetahuan baik dalam menghimpun
berbagai macam gangguan maupun cara-cara mengatasinya tersebut
merupakan pencerminan dari berbagai bentuk perilaku.
d. Dilakukannya tindakan manipulatif untuk meniadakan atau menghilangkan
kecemasan atau gangguan tersebut. Dalam hal ini baik orang awam maupun
tenaga kesehatan melakukan manipulasi tertentu dalam arti melakukan sesuatu
untuk mengatasi gangguan kesehatan. Dari sini lahirlah pranata-pranata
kesehatan baik trandisional maupun modern.
2. Sikap (Attitude)
Sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup
terhadap suatu stimulus atau objek. Beberapa batasan lain tentang sikap ini dapat
dikutip sebagai berikut:
“An enduring system of positive or negative evaluations, emotional feelings,
and pro or correction tendencies will respect to social object” (Krech et all,
1982).
“An individual’s social attitude is an syndrome of respons consistency with
regard to social objects” (Campell, 1950).
“A mental and neural state of rediness, organized through expertence,
exerting derective or dynamic influence up on the individual’s respons to all
objects and situations with which it is related” (Allport, 1954).
“Attitude entails an existing predisposition to respons to social objects
which in interaction with situational and other dispositional variables,
guides and direct the obert behaviour of the individual” (Cardno, 1955).
Dalam bagian lain Allport (1954) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3
komponen pokok, yakni:
a) Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek.
b) Kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek.
c) Kecenderungan untuk bertindak (trend to behave).
Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh
(total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan berpikir,
keyakinan, dan emosi memegang peranan penting. Satu contoh misalnya, seorang
ibu telah mendengarkan penyakit polio (penyebabnya, akibatnya, pencegahannya,
dan sebagainya). Pengetahuan ini akan membawa si ibu untuk berpikir dan
berusaha supaya anaknya tidak terkena polio. Dalam berpikir ini komponen emosi
dan keyakinan ikut bekerja sehingga si ibu tersebut berniat akan
mengimunisasikan anaknya untuk mencegah supaya anaknya tidak terkena polio.
Sehingga si ibu ini mempunyai sikap : tertentu terhadap objek yang berupa
penyakit polio itu.
Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan,
yakni:
1. Menerima (Receiving).
Menerima, diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus
yang diberikan (objek). Misalnya sikap orang terhadap gizi dapat dilihat dari
kesediaan dan perhatian itu terhadap ceramah-ceramah.
2. Merespons (Responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas
yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha
untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, lepas
pekerjaan itu benar atau salah, berarti orang menerima ide tersebut.
3. Menghargai (Valuing)
Mengajak orang lain untuk/fnengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain
terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. Misalnya,
Seorang ibu yang mengajak ibu yang lain (tetangganya, saudaranya, dan
sebagainya), untuk pergi menimbang anaknya ke Posyandu, atau
mendiskusikan tentang gizi, adalah suatu bukti bahwa si ibu tersebut telah
mempunyai sikap positif terhadap gizi anak.
4. Bertanggung jawab (Responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya
dengan segala risiko merupakan sikap yang paling tinggi. Misalnya, Seorang
ibu mau menjadi akseptor KB, meskipun mendapat tantangan dari mertua atau
orang tuanya sendiri.
Pengukuran sikap dilakukan dengan secara langsung dan tidak langsung.
Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden
terhadap suatu objek. Misalnya, bagaimana pendapat Anda tentang pelayanan
dokter di Rumah Sakit Cipto? Secara langsung dapat dilakukan dengan
pernyataan-pernyataan hipotesis,kemudian ditanyakan pendapat responden.
Misalnya, apabila rumah ibu luas, apakah boleh dipakai untuk kegiatan Posyandu?
Atau, saya akan menikah apabila saya sudah berumur 25 tahun? (Sangat setuju,
setuju, tidak setuju, sangat tidak setuju).
3 Praktik atau Tindakan (Practice)
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt
behaviour). Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbedaan nyata diperlukan
faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah
fasilitas. Sikap alu yang sudah positif terhadap imunisasi tersebut harus mendapat
konfirmasi dari suaminya, dan ada fasilitas imunisasi yang mudah dicapai, agar
ibu tersebut mengimunisasikan anaknya. Di samping faktor fasilitas juga
diperlukan faktor dukungan (support) dari pihak lain, misalnya suami atau istri,
orang tua atau mertua sangat penting untuk mendukung praktik keluarga
berencana.
Tingkat-tingkat Praktik
1. Persepsi (Perception)
Mengenal clan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan
diambil merupakan praktik tingkat pertama. Misalnya, seorang ibu dapat
memilih makanan yang bergizi tinggi bagi anak balitanya.
2. Respon Terpimpin (Guided Respons)
Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar : sesuai dengan
contoh adalah indikator praktik tingkat dua. Misalnya, seorang ibu dapat
memasak sayur dengan benar, mulai dari cara mencuci dan memotong-
motongnya, lamanya memasak, menutup pancinya, dan sebagainya.
3. Mekanisme (Mecanism)
Apabila seseorang telah melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau
sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan maka ia sudah mencapai praktik tingkat
tiga. Misalnya, seorang ibu yang sudah biasa mengimunisasikan bayi yang
pada umur-umur tertentu, tanpa menunggu perintah atau ajak orang lain.
4. Adaptasi (Adaptation)
Adaptasi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah ' berkembang dengan
baik. Artinya, tindakan itu sudah dimodifikasinya sendiri tanpa mengurangi
kebenaran : tindakannya tersebut. Misalnya, ibu dapat memilih dan memasak
makanan yang bergizi tingi berdasarkan bahanbahan yang murah dan
sederhana.
Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung, yakni dengan
wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari,
atau bulan yang lalu (recall). Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung,
yakni dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden.
H. Perubahan-perubahan Perilaku
Hal yang penting dalam perilaku kesehatan adalah masalah pembentukan
dan perubahan perilaku. Karena perubahan perilaku merupakan tujuan dari
pendidikan atau penyuluhan kesehatan sebagai penunjang program-program
kesehatan yang lainnya. Banyak teori tentang perubahan perilaku ini, antara lain
akan diuraikan di bawah ini.
1. Teori Stimulus-Organisme-Respon (S-O-R)
Teori ini mendasarkan asumsi bahwa penyebab terjadinya perubahan
perilaku tergantung pada kualitas rangsang (stimulus) yang berkomunikasi dengan
organisme. Artinya, kualitas dari sumber komunikasi (sources) misalnya,
kredibilitas, kepemimpinan, gaya berbicara sangat menentukan keberhasilan
perubahan perilaku seseorang, kelompok atau masyarakat.
Hosland, et al. (1953) mengatakan bahwa proses perubahan perilaku pada
hakikatnya adalah sama dengan proses belajar. Proses perubahan perilaku tersebut
menggambarkan proses belajar pada individu yang terdiri dari:
1. Stimulus (rangsang) yang diberikan pada organisme dapat diterima atau
ditolak. Apabila stimulus tersebut tidak diterima atau ditolak berarti stimulus
itu tidak efektif mempengaruhi perhatian individu dan berhenti di sini. Akan
tetapi bila stimulus diterima oleh organisme berarti ada perhatian dari individu
dan stimulus tersebut efektif.
2. Apabila stimulus telah mendapat perhatian dari organisme (diterima) maka ia
mengerti stimulus ini dan dilanjutkan kepada proses berikutnya.
3. Setelah itu organisme mengolah stimulus tersebut sehingga terjadi kesediaan
untuk bertindak demi stimulus yang telah diterimanya (bersikap).
4. Akhirnya dengan dukungan fasilitas serta dorongan dari lingkungan maka
stimulus tersebut mempunyai efek tindakan dari individu tersebut (perubahan
perilaku).
Selanjutnya teori ini mengartikan bahwa perilaku dapat berubah hanya
apabila stimulus (rangsang) yang diberikan benar-benar melebihi dari stimulus
semula. Stimulus yang dapat melebihi stimulus semula ini berarti stimulus yang
diberikan harus dapat meyakinkan organisme. Dalam meyakinkan wganisme ini
faktor reinforcement memegang peranan penting.
Proses perubahan perilaku berdasarkan teori S-O-R ini dapat digambarkan
seperti di halaman 152:
TEORI S-O-R
Contoh: Seorang ibu rumah tangga yang bekerja di kantor. Di satu pihak,
dengan bekerja ia dapat tambahan pendapatan bagi keluarganya, yang akhirnya
dapat memenuhi kebutuhan bagi keluarga dan anak-anaknya, termasuk kebutuhan
makanan yang bergizi. Apabila ia tidak bekerja, jelas ia tidak dapat memenuhi
kebutuhan pokok keluarga. Di pihak lain, apabila ia bekerja, ia khawatir terhadap
perawatan terhadap anakanaknya akan menimbulkan masalah. Kedua elemen
(argumentasi) tasi) ini sama-sama pentingnya, yakni rasa tanggung jawabnya
sebagai ibu rumah tangga yang baik.
Titik berat dari penyelesaian konflik ini adalah penyesuian diri secara
kognitif. Dengan penyesuaian diri ini maka akan terjadi keseimbangan kembali.
Keberhasilan tercapainya keseimbangan kembali ini menunjukkan adanya
perubahan, sikap, dan akhirnya akan terjadi perubahan perilaku.
3. Teori Fungsi
Teori ini berdasarkan anggapan bahwa perubahan perilaku individu itu
tergantung kepada keutuhan. Hal ini berarti bahwa stimulus yang dapat
mengakibatkan perubahan perilaku seseorang apabila stimulus tersebut dapat
dimengerti dalam konteks kebutuhan orang tersebut. Menurut Katz (1960)
perilaku dilatarbelakangi oleh kebutuhan individu yang bersangkutan. Katz
berasumsi bahwa:
1. Perilaku itu memiliki fungsi instrumental, artinya dapat berfungsi dan
memberikan pelayanan terhadap kebutuhan. Seseorang dapat bertindak
(berperilaku) positif terhadap objek demi pemenuhan kebutuhannya.
Sebaliknya bila objek tidak dapat memenuhi kebutuhannya maka ia akan
berperilaku negati£ Misalnya, orang mau membuat jamban apabila jamban
tersebut benar-benar sudah menjadi kebutuhannya.
2. Perilaku dapat berfungsi sebagai ‘defence mecanism’ atau sebagai pertahanan
diri dalam menghadapi lingkungannya. Artinya, dengan perilakunya, dengan
tindakan-tindakannya manusia dapat melindungi ancaman-ancaman yang
datang dari luar. Misalnya, orang dapat menghindari penyakit demam berdarah,
karena penyakit tersebut merupakan ancaman bagi dirinya.
3. Perilaku berfungsi sebagai penerima objek dan memberikan arti. Dalam
peranannya itu seseorang senantiasa menyesuaikan diri dengan lingkungannya
melalui tindakannya. Dengan tindakan sehari-hari tersebut seseorang telah ;
melakukan keputusan-keputusan sehubungan dengan objek atau stimulus yang
dihadapi. Pengambilan keputusan yang mengakibatkan tindakan-tindakan
tersebut dilakukan secara spontan dan dalam waktu yang singkat. Misalnya, ;
jika seseorang merasa sakit kepala maka mengatasi rasa sakit tersebut dengan
membeli obat di warung dan meminumnya, atau tindakan-tindakan lain.
4. Perilaku berfungsi sebagai nilai ekspresif dari diri seseorang dalam menjawab
suatu situasi. Nilai ekspresif ini berasal dari konsep diri seseorang dan
merupakan pencerminan dari hati sanubari. Oleh sebab itu, perilaku dapat
merupakan : ‘layar’ di mana segala ungkapan diri orang dapat dilihat.
Misalnya, orang yang sedang marah, senang, gusar, dan sebagainya dapat
dilihat dari perilaku atau tindakannya.
Akhirnya Bandura dan Walter menyatakan bahwa, teori proses pengganti ini
dapat pula menerangkan gejala timbulnya emosi pada peniru yang sama dengan
emosi yang ada pada model. Contohnya: seseorang yang mendengar atau melihat
gambar tentang kecelakaan yang mengerikan, maka ia berdesis, menyeringai,
bahkan sampai menangis ikut merasakan penderitaan tersebut.
B. Perumahan (Housing)
Rumah adalah salah satu persyaratan pokok bagi kehidupan manusia.
Rumah atau tempat tinggal manusia, dari zaman ke zaman mengalami
perkembangan. Pada zaman purba manusia bertempat tinggal di gua-gua,
kemudian berkembang, dengan mendirikan rumah tempat tinggal di hutan-hutan
dan di bawah pohon. Sampai pada abad modern ini manusia sudah membangun
rumah (tempat tinggalnya) bertingkat dan diperlengkapi dengan peralatan yang
serba modern. Sejak zaman dahulu manusia telah mencoba mendesain rumahnya,
dengan ide mereka masing-masing yang dengan sendirinya berdasarkan
kebudayaan masyarakat setempat dan membangun rumah mereka dengan bahan
yang ada setempat (local material) pula. Setelah manusia memasuki abad modern
ini meskipun rumah mereka dibangun dengan bukan bahan-bahan setempat, tetapi
kadang desainnya masih mewarisi kebudayaan generasi sebelumnya.
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam membangun sebuah rumah
1) Faktor lingkungan, baik lingkungan fisik, biologis maupun lingkungan sosial.
Maksudnya, membangun sebuah rumah harus memperhatikan tempat di mana
rumah itu didirikan. Di pengunungan ataukah di tepi pantai, di desa ataukah di
kota, di daerah dingin ataukah di daerah panas, di daerah dekat gunung berapi
(daerah gempa) atau di daerah bebas gempa, dan sebagainya. Rumah di daerah
pedesaan, sudah barang tentu disesuaikan kondisi sosial budaya pedesaan
misalnya bahannya, bentuknya, menghadapnya, dan lain sebagainya. Rumah di
daerah gempa harus dibuat dengan bahan-bahan yang ringan namun harus
kokoh, rumah di dekat hutan harus dibuat sedemikian rupa sehingga aman
terhadap serangan binatang buas.
2) Tingkat kemapuan ekonomi masyarakat
Hal ini dimaksudkan rumah dibangun berdasarkan kemampuan keuangan
penghuninya, untuk itu maka bahan-bahan setempat yang rumah misalnya dari
bambu, kayu atap rumbia, dan sebagainya, merupakan bahan-bahan pokok-
pokok pembuatan rumah. Perlu dicatat bahwa mendirikan rumah adalah bukan
sekadar berdiri pada saat itu saja, namun diperlukan pemeliharaan seterusnya.
Oleh karena itu, kemapuan pemeliharaan oleh penghuninya perlu
dipertimbangkan.
3) Teknologi yang dimiliki oleh masyarakat
Dewasa ini teknologi perumahan sudah bftitu maju dan begitu modern. Akan
tetapi teknologi modern itu sangat mahal dan bahkan kadang-kadang tidak
dimengerti masyarakat. Rakyat pedesaan bagaimanapun sederhananya, sudah
mempunyai teknologi perumahan sendiri yang dipunyai turun-temurun. Dalam
rangka penerapan teknologi tepat guna, maka teknologi yang sudah dipunyai
oleh masyarakat tersebut dimodifikasi. Segi-segi yang merugikan kesehatan
dikurangi, dan dipertahankan segi-segi yang sudah positif.
Contoh: Rumah limasan yang terbuat dari dinding dan atapnya dari daun
rumbia yang dihuni oleh orang yang memang kemampuannya sejauh itu, dapat
dipertahankan, hanya kesadaran dan kebiasaan membuat lubang angin
(jendela) yang cukup, perlu ditanamkan kepada mereka.
4) Kebijaksanaan (peraturan) pemerintah yang menyangkut tata guna tanah
Untuk hal ini, bagi perumahan masyarakat pedesaan belum merupakan
problem, namun di kota sudah menjadi masalah yang besar.
Sesuai dengan prinsip teknologi tepat guna di pedesaan, maka air minum
yang berasal dari mata air dan sumur dalam dapat-diterima sebagai air yang sehat,
dan memenuhi ketiga persayaratan tersebut, asalkan tidak tercemar oleh kotoran-
kotoran terutama kotoran manusia dan binatang. Oleh karena itu, mata air atau
sumur yang ada di pedesaan harus mendapatkan pengawasan dan perlindungan
agar tidak dicemari oleh penduduk yang menggunakan air tersebut.
Sumber-sumber Air Minum
Pada prinsipnya semua air dapat diproses menjadi air muium. Sumber-
sumber air ini dapat digambarkan seperti pada, Gambar 6.2 di halaman 175.
Keterangan:
1. Air Hujan
Air hujan dapat ditampung kemudian dijadikan air minum. Akan tetapi air
hujan ini tidak mengandung kalsium. Oleh , karena itu, agar dapat dijadikan air
minum yang sehatt perlu ditambahkan kalsium di dalamnya.
Gambar 6.2
Hal lain yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa kakus cemplung itu tidak
boleh terlalu dalam. Sebab bila terlalu dalam akan mengotori air tanah di
bawahnya. Dalamnya pitlatrine berkisar antara 1,5-3 meter saja. Sesuai dengan
daerah pedesaan maka rumah kakus tersebut dapat dibuat dari bambu, dinding
bambu, dan atap daun kelapa ataupun daun padi. Jarak dari sumber air minum
sekurangkurangnya 15 meter.
2) Jamban Cemplung Berventilasi (Ventilasi Improved Pit Latrine = VIP Latrine)
Jamban ini hampir sama dengan jamban cemplung, bedanya lebih lengkap,
yakni menggunakan ventilasi pipa. Untuk daerah pedasaan pipa ventilasi ini
dapat dibuat dengan bambu. Skema VIP latrine tersebut attalah sebagsi berikut:
Gambar 6.7
5) Septic tank
Latrin jenis septic tank ini merupakan cara yang paling memenuhi persyaratan,
oleh sebab itu, cara pembuangan tinja semacam ini yang dianjurkan. Septic
tank terdiri dari tangki sedimentasi yang kedap air, di mana tinja dan air
buangan masuk dan mengalami dekomposisi. Dalam tanki ini tinja akan berada
selama beberapa hari. Selama waktu tersebut tinja akan mengalami 2 proses,
yakni:
a. Proses kimiawi
Akibat penghancuran tinja akan direduksi dan sebagian besar (60-70%) zat-
zat padat akan mengendap dalam tanki sebagai ‘sludge’. Zat-zat yang tidak
dapat hancur bersama-sama dengan lemak dan busa akan mengapung
membentuk lapisan yang menutup permukaan air dalam tanki tersebut.
Lapisan-ini disebut ‘scum’ yang berfungsi mempertahankan suasana
anaerob dari cairan di bawahnya, yang memungkinkan bakteri-bakteri
anerob dan fakultatif anerob dapat tumbuh subur, yang akan : berfungsi
pada proses berikutnya.
b. Proses biologis
Dalam proses ini terjadi dekomposisi melalui aktivitas bakteri anerob dan
fakultatif anerob yang memakan zatzat organik alam Alkdge dan scum.
Hasilnya, selainn terbentuknya gas dan zat cair lainnya, adalah juga
pengurangan volume sludge, sehingga memungkinkan septic tank tidak
cepat penuh. Kemudian cairan ‘enfluent’ sudah tidak mengandung bagian-
bagian tinja dan mempunyai BOD yang retatif rendah. Cairan enfluent ini
akhirnya dialirkan ke luar melalui pipa dan masuk ke dalam tempat
perembesan.
Gambar 6.10
Skema Septic Tank
E. Pengolahan Sampah
Sampah adalah sesuatu bahan atau benda padat yang sudah tidak dipakai
lagi oleh manusia, atau bends, padat yang sudah digunakan lagi dalam suatu
kegiatan manusia dan dibuang. Para ahli kesehatan masyarakat Amerika membuat
batasan, sampah (waste) adalah sesuatu yang tidak digunakan, tidak dipakai, tidak
disenangi, atau sesuatu yang dibuang yang berasal dari kegiatan manusia, dan
tidak terjadi dengan sendirinya.
Dari batasan ini jelas bahwa sampah adalah hasil suatu kegiatan manusia
yang dibuang karena sudah tidak berguna. Sehingga bukan semua benda padat
yang tidak digunakan dan dibuang disebut sampah, misalnya: benda-benda alam,
bendabenda yang keluar dari bumi akibat dari gunung meletus, banjir, pohon di
hutan yang tumbang akibat angin ribut, dan sebagainya. Dengan demikian sampah
mengandung prinsipprinsip sebagai berikut:
a. Adanya sesuatu benda atau benda padat.
b. Adanya hubungan langsung/tidak langsung dengan kegiatan manusia.
c. Benda atau bahan tersebut tidak dipakai lagi.
1. Sumber-sumber Sampah
a. Sampah yang berasal dari pemukiman (domestic wastes)
Sampah ini terdiri dari bahan-bahan padat sebagai hasil kegiatan rumah tangga
yang sudah dipakai dan dibuang, seperti: sisa-sisa makanan baik yang sudah
dimasak atau yang belum, bekas pembungkus berupa kertas, plastik, daun, dan
sebagainya, pakaian-pakaian bekas, bahan-bahan bacaan, perabot rumah
tangga, daun-daun dari kebun atau taman.
b. Sampah yang berasal dari tempat-tempat umum
Sampah ini berasal dari tempat-tempat umum, seperti pasar, tempat-tempat
hiburan, terminal bus, stasiun kereta api, dan sebgainya. Sampah ini berupa:
kertas, plastik, botol, daun, dan sebagainya.
c. Sampah yang berasal dari perkantoran
Sampah dari perkantoran baik perkantoran pendidikan,perdagangan,
departemen, perusahaan, dan sebagainya. Sampah ini berupa kertas-kertas,
plastik, karbon, klip, dan sebagainya. Umumnya sampah ini bersifat kering,
dan mudah terbakar (rcsbbish).
d. Sampah yang berasal dari jalan raya
Sampah ini berasal dari pembersihan jalan, yang umumnya terdiri dari: kertas-
kertas, kardus-kardus, debu, batu`batuan, pasir, sobekan ban, onderdil-ondersil
kendaraan yang jatuh, daun-daunan, plastik, dan sebaginya.
e. Sampah yang berasal dari igdustri (industrial wastes)
Sampah ini berasal dari kawasan industri, termasuk sampah yang berasal dari
pembangunan industri, dan segala sampah yang berasal dari proses produksi,
misalnya: sampahsampah pengepakan barang, logam, plastik, kayu, potongan
tekstil, kaleng, dan sebagainya.
f. Sampah yang berasal dari pertanian/perkebunan
Sampah ini sebagai hasil dari perkebunan atau pertanian misalnya: jerami, sisa
sayur-mayur, batang padi, batang jagung, ranting kayu yang patah, dan
sebagainya.
g. Sampah yang berasal dari pertambangan
Sampah ini berasal dari daerah pertambangan, dan jenisnya tergantung dari
jenis usaha pertambangan itu sendiri, misalnya: batu-batuan, tanah/cadas, pasir,
sisa-sisa pembakaran (arang), dan sebagainya.
h. Sampah yang berasal dari peternakan dan perikanan
Sampah yang berasal dari peternakan dan perikanan ini, berupa: kotoran-
kotoran ternak, sisa-sisa makanan, bangkai binatang, dan sebagainya.
3. Pengelolaan Sampah
Sampah erat kaitannya dengan kesehatan masyarakat, karena dari sampah
tersebut akan hidup berbagai mikro organisme penyebab penyakit (bacteri
patogen), dan juga binatang serangga sebagai pemindah/penyebar penyakit
(vektor). Oleh sebab itu sampah hams dikelola dengan baik sampai sekecil
mungkin tidak mengganggu atau mengancam kesehatan masyarakat. Pengelolaan
sampah' yang baik, bukan untuk kepentingan kesehatan saja, tetapi juga untuk
keindahan lingkungan. Yang dimaksud dengan pengelolaan sampah di sun adalah
.meliputi peagumpulan, pengangkutan, sampai dengan pemusnahan atau
pengolahan sampah sedemikian rupa sehingga sampah tidak menjadi gangguan
kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup. Cara-cara pengelolaan sampah
antara lain:
a. Pengumpulan dan pengangkutan sampah
Pengumpulan sampah adalah menjadi tanggung jawab dari masing-masing
rumah tangga atau institusi yang menghasilkan sampah. Oleh-sebab itu,
mereka ini harus membangun bangun atau mengadakan tempat khusus untuk
mengumpulkan sampah. Kemudiann dari masing-masing tempat pengumpulan
sampah tersebut harus diangkut ke tempat penampungan sementara (TP5)
sampah, dan selanjutnya ke tempat penampungan akhir (TPA).
Mekanisme, sistem, atau cara pengangkutannya untuk di daerah perkotaan
adalah tanggung jawab pemerintah daerah setempat yang didukung oleh
partisipasi masyarakat produksi sampah, khususnya dalam hal pendanaan.
Sedangkan untuk daerah pedesaan pada umumnya sampah dapat dikelola oleh
masing-masing keluarga, taripa memerlukan TPS, maupun TPA. Sampah
rumah iangga daerah pedesaan umumnya didaur ulang menjadi pupuk.
b. Pemusnahan dan pengolahan sampah
Pemusnahan dan atau pengolahan sampgh padat ini dapat dilakukan melalui
berbagai cara, antara lain:
1. Ditanam (landfill), yaitu pemusnahan sampah dengan membuat lubang di
tanah kemudian sampah dimasukkan dan ditimbun dengan tanah.
2. Dibakar (inceneration), yaitu memusnahkan sampah dengan jalan membakar
di dalam tungku pembakaran (ineenerator).
3. Dijadikan pupuk (composting), yaitu pengolahan sampah menjadi pupuk
(kompos), khususnya untuk sampah organik daun-daunan, sisa makanan,
dan sampah lain yang dapat membusuk. Di daerah pedesaan hal ini sudah
biasa, sedangkan di dareah perkotaan hal ini perlu dibudayakan. Apabila
setiap rumah tarigga dibiasakan untuk memisahkan sampah organik dengan
an-orgaruk, kemudian sampah organik diolah menjadi pupuk tanaman dapat
dijual atau dipakai sendiri. Sedangkan sampah organik dibuang, dan akan
segera dipungut oleh para pemulung. Dengan demikian maka masalah
sampah akan berkurang.
Sesuai dengan zat-zat yang terkandung dalam air limbah : ini, maka air
limbah yang tidak diolah terlebih dahulu akan menyebabkan berbagai gangguan
kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup antara lain:
a. Menjadi transmisi atau media penyebaran berbagai penyakit, terutama: kolera,
tifus abdominalis, desentri baciler.
b. Menjadi media berkembang biaknya mikro-organisme patogen.
c. Menjadi tempat berkembang biaknya nyamuk atau tempat hidup , larva
nyamuk.
d. Menimbulkan bau yang tidak enak serta pandangan yang tidak sedap.
e. Merupakan sumber pencemaran air permukaan, tanah, dan lingkungan hidup
lainnya.
f. Mengurangi produktivitas manusia, karena orang bekerja dengan tidak
nyaman, daii sebagainya.
Untuk mencegah atau mengurangi akibat-akibat buruk tersebut diperlukan
kondisi, persyqratan dan upaya-upaya sedemikian rupa sehingga air limbah
tersebut:
a. Tidak mengakibatkan kontaminasi terhadap sumber air minum.
b. Tidak mengakibatkan pencemaran terhadap permukaan tanah.
c. Tidak menyebabkan pencemaran air untuk mandi, perikanan, air sungai, atau
tempat-tempat rekreasi.
d. Tidak dapat dihinggapi serangga, tikus dan tidak menjadi
a. tempat berkembang biaknya berbagai bibit penyakit dan vektor.
e. Tidak terbuka kena udara luar (jika tidak diolah) serta tidak-dapat dicapai oleh
anak-anak.
f. Baunya tidak mengganggu.
Beberapa ahli hanya membedakan adanya dua macam KKP saja, yakni:
KKP ringan atau gizi kurang dan KKP berat (gizi buruk) atau lebih sering disebut
marsmus (kwashiohor).
Anak atau penderita marsmus ini tampak sangat kurus, berat badan kurang
dan 60% dan berat badan ideal menurut umurnya muka berkerut seperti orang tua,
apatis terhadap sekitarnya, rambut kepala halus dan jarang berwarna kemerahan.
Penyakit KKP pada orang dewasa memberikan tanda-tanda kliniS: oedema
atau honger oedema (HO), atau juga disebut penyakit kurang makan, kelaparan
atau busung lapar. Oedema pada penderita biasanya tampak pada daerah kaki.
4. Kelompok Remaja
Pertumbuhan anak remaja pada umur ini juga sangat pesat, kemudian juga
kegiatan-kegiatan jasmani termasuk olahraga juga pada kondisi puncaknya. Oleh
sebab itu, apabila konsumsi makanan tidak seimbang dengan kebutuhan kalori
untuk pertumbuhan dan kegiatan-kegiatannya, maka akan terjadi defisiensi yang
akhirnya dapat menghambat pertumbuhannya. Pada anak remaja putri mulai
terjadi menarche (awal menstruasi), yang berarti mulai terjadi pembuangan Fe.
Oleh sebab itu, kalau konsumsi makanan khususnya Fe, maka akan terjadi
kekurangan Fe (anemia).
Upaya untuk membina kesehatan dan gizi kelompok ini juga dapat
dilakukan melalui sekolah (UKS), karena kelompok inipada umumnya berada di
bangku sekolah menengah pertama maupun atas (SLP atau SLA). Di samping itu,
pe•mbinaan melalui organisasi-orgazusasi kemasyarakatan misalnya: karang
taruna, remaja/pemuda gereja, remaja masjid, dan sebagainya juga tepat. Karena
kelompok pada remaja ini sudah mulai tertarik untuk berorganisasi, atau senang
berorganisasi.
6. Ibu Menyusui
Air Susu Ibu (ASI) adalah makanan utama bayi oleh sebab itu, maka untuk
menjamin kecukupan ASI bagi bayi, makanan ibu yang sedang menyusui harus
diperhatikan. Sekresi ASI ratarata 800-850 mililiter per hari, dan mengandung
kalori 60-65 kalori, 1,0-1,2 gram, dan lemak 2,5-3,5 gram setiap 100 mililiter.
Zat-zat ini diambil dari tubuh ibu, dan harus digantikan dengan suplai makanan
ibu sehari-hari. Untuk itu maka ibu yang sedang menyusui memerlukan tambahan
800 kalori sehari dan tambahan protein 25 gram sehari, di atas kebutuhan bila ibu
tidak menyusui.
Dalam batas-batas tertentu kebutuhan bayi akan zat-zat gizi ini diambil dari
tubuh ibunya, tanpa menghiraukan apakah ibunya mempunyai persediaan cukup
atau tidak. Apabila konsumsi makanan ibu tidak mencukupi, zat-zat dalam ASI
akan terpengaruh. Khusus untuk protein, meskipun konsumsi ibu tidak
mencukupi, ASI akan tetap memberikan jatah yang diperlukan oleh anaknya
dengan mengambil jaringan ibunya, akibatnya ibunya menjadi kurus. Bila
konsumsi Ca ibu yang berkurang, akan diambil cadangan Ca jaringan ibunya,
sehingga memberikan osteoporosis dan kerusakan gigi (caries dentis).
Tabel 8.1
Berat dan Tinggi Badan Menurut Umur (Umur 0-5 tahun, Jenis Kelamin
Tidak Dibedakan)
Umur Berat (kg) Tinggi (cm)
Tahun Bulan Normal Kurang Buruk Normal Kurang Buruk
Baku 80% 60% Baku 80% 60%
Baku Baku Baku Baku
0 - 3,4 2,7 2,0 60,5 43,0 35,0
1 4,3 3,4 2,5 65,0 46,0 38,0
2 5,0 4,0 2,9 68,0 49,0 40,5
3 5,7 4,5 3,4 60,0 51,0 42,0
4 6,3 5,0 3,8 62,0 53,5 43,5
5 6,9 5,5 4,2 64,5 54,5 45,0
6 7,4 5,9 4,5 66,0 56,0 46,0
7 8,0 6,3 4,9 67,5 57,5 47,0
8 8,4 6,7 5,1 62,0 52,0 48,5
9 8,9 7,1 5,3 70,5 60,0 42,5
10 9,3 7,4 5,5 72,0 61,5 50,5
11 9,6 7,7 5,8 73,5 63,0 51,5
1- 0 9,9 7,9 6,0 74,5 54,5 52,5
3 10,6 8,5 6,4 78,0 65,5 54,5
6 11,3 9,0 6,8 81,5 70,0 57,0
9 11,9 9,6 7,2 84,5 72,0 60,0
2- 0 12,4 9,9 7,5 87,0 74,0 61,0
3 12,9 10,5 7,8 88,5 76,0 62,5
6 13,5 11,2 8,1 92,0 78,0 64,0
9 14,0 11,7 8,4 94,0 80,0 66,5
3- 0 14,5 11,9 8,7 96,0 82,0 67,0
3 15,0 12,0 9,0 98,0 83,5 88,5
6 15,5 12,4 9,3 99,5 84,5 70,0
9 16,0 12,9 9,6 101,5 85,5 71,0
4- 0 16,5 13,2 9,9 103,5 87,5 72,0
3 17,0 13,6 10,2 105,0 89,5 73,5
6 17,4 14,0 10,6 107,0 90,0 74,5
9 17,9 14,4 10,8 108,0 91,5 75,5
5- 0 18,4 14,7 11,0 109,0 92,5 76,0
A. Pendahuluan
Salah satu basil pembangunan kesehatan di Indonesia adalah meningkatnya
angka harapan hidup (life expectancy). Dilihat dari sisi ini pembangunan
kesehatan di Indonesia sudah cukup berhasil, karena angka harapan hidup bangsa
kita telah meningkat secara bermakna. Namun, di sisi lain dengan meningkatnya
angka harapan hidup ini membawa beban bagi masyarakat, karena populasi
penduduk usia lanjut (lansia) meningkat. Hal ini berarti kelompok risiko dalam
masyarakat kita menjadi lebih tinggi lagi. Meningkatnya populasi lansia ini bukan
hanya fenomena di Indonesia saja tetapi juga secara global.
Menurut UU No. 13 tahun 1998 Pasal 1 Ayat 2 tentang Kesejahteraan
Lanjut Usia menyatakan bahwa lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai
usia 60 tahun ke atas. Pada tahun 2000 penduduk usia lanjutt di seluruh dunia
diperkirakan sebanyak 426 juta atau sekitar 6,8%. Jumlah ini akan meningkat
hampir dua kali lipat pada tahun 2025, yaitu menjadi sekitar 828 juta jiwa atau
sekitar 9,7% dari total penduduk dunia. Di negara-negara maju, jumlah lansia juga
ternyata mengalami peningkatan, antara lain: Jepang (17,2%), Singapura (8,7%),
Hongkong (12,9%), dan Korea Selatan (7,5%) sudah cukup besar sejak dekade
1990-an. Sementara negaranegara seperti Belanda, Jerman, dan Perancis sudah
lebih dulu menghadapi masalah yang serupa.
Gejala menuanya struktur penduduk (ageing population) juga terjadi di
Indonesia. Pusat Statistik (BPS, 2004) menyimpulkan bahwa abad 21 bagi bangsa
Indonesia merupakan abad lansia (era of population aging), karena pertumbuhan
penduduk lansia di Indonesia diperkirakan lebih cepat dibandingkan dengan
negara-negara lain. Di Indonesia pada tahun 2000 diperkirakan 7,4% dari jumlah
penduduk Indonesia atau sekitar 15,3 juta orang akan berusia di atas 60 tahun
(SUPAS, Lembaga Demografi UI 1985) dengan umur median penduduk
Indonesia adalah 23 tahun. Persentase lansia dan umur median penduduk tersebut
menunjukkan bahwa penduduk Indonesia tidak- dapat lagi dikategorikan sebagai
penduduk muda melainkan sudah tergolong pada penduduk `intermediate'. Secara
geografis, distribusi penduduk lansia di Indonesia terbanyak di Pulau Jawa, yaitu
sekitar 66,84% dari seluruh penduduk lansia. Dilihat dari proporsi penduduk
lansia di masing-masing provinsi di Indonesia, proporsi terbesar berturut-turut
adalah mereka yang tinggal di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Timur,
yaitu sebesar 12,58% dan 9,46%. Sedangkan proporsi terkecil adalah penduduk
lansia yang tinggal di Irian Jaya, sebesar 1,65%.
Proyeksi penduduk oleh Biro Pusat Statistik menggambarkan bahwa antara
2005-2010 jumlah penduduk usia lanjut sekitar 19 juta jiwa atau 8,5% dari
seluruh jumlah penduduk. WHO pun telah memperhitungkan bahwa di tahun
2025, Indonesia akan mengalami peningkatan jumlah warga lansia sebesar 41,4%,
yang merupakan sebuah peningkatan tertinggi di dunia. Bahkan Perserikatan
Bangsa-Bangsa memperkirakan bahwa di tahun 2050 jumlah warga lansia di
Indonesia akan mencapai ± 60 juta jiwa. Hal ini menyebabkan Indonesia berada
pada peringkat ke-4 untuk jumlah penduduk lansia terbanyak setelah China, India,
dan Amerika Serikat. Meningkatnya jumlah penduduk usia lanjut (lansia)
menimbulkan masalah terutama dari segi kesehatan dan kesejahteraan lansia.
Masalah tersebut jika tidak ditangani akan berkembang menjadi masalah yang
lebih kompleks. Masalah yang kompleks pada lansia baik dari segi fisik, mental,
dan sosial berkaitan dengan kesehatan dan kesejahteraan mereka, sehingga
menyebabkan kebutuhan terhadap pelayanan kesehatan meningkat. Pelayanan
kesehatan yang diperlukan oleh lansia pun tidak hanya rehabilitatif dan kuratif
saja melainkan secara komprehensif (terpadu) yang mencakup pelayanan
preventif, promotif, rehabilitatif, dan kuratif. Namun, pelayanan kesehatan khusus
lansia (geriatri) seperti ini belum semuanya tersedia di seluruh rumah sakit, baik
swasta maupun pemerintah dan Puskesmas di Indonesia. Bahkan di provinsi
dengan distribusi penduduk lans.ia terbanyak pun, masih belum merata pelayanan
kesehatannya. Rumah sakit yang memiliki penanganan klinis masalah lanjut, yaitu
fasilitas geriatri hanya terdapat pada beberapa rumah sakit seperti RSUPN Cipto
Mangunkusumo Jakarta, RS Karyadi Semarang, RS Dr.Sutomo Surabaya, dan RS
Hasan Sadikin Bandung. Selain terbatasnya fasilitas kesehatan yang tersedia,
tenaga kesehatan untuk menangani pasien lansia (geriatri) juga masih terbatas.
Padahal, tenaga kesehatan yang mengerti tentang pelayanan dan perawatan
kesehatan khusus lansia (geriatri) sangat dibutuhkan.
B. Gerontologi
1. Pengertian
Gerontologi merupakan ilmu pengetahuan cukup populer yang mempelajari
masalah usia lanjut (lansia). Beberapa pengertian Gerontologi antara lain:
a. Menurut Kamus ‘Dorland’
Gerontologi = Gerontology yang terdiri dari kata: geronto dan logy. Geronto
atau gero dari bahasa Yunani: Gems (umur tua); Geron, gerontos (orang tua)
merupakan bentuk gabungan yang menunjukkan hubungan dengan umur tua
atau orang tua. Logy dari bahasa Yunani: Logos (perkataan, alasan) merupakan
akhiran kata yang berarti ilmu atau studi tentang atau uraian tentang suatu
subjek yang di depannya. Jadi Gerontologi adalah ilmu tentang problema umur
tua dalam semua segi klinik, biologik, historik dan sosiologik..
b. Menurut PERGERI (Perhimpunan Gerontologi Indonesia)
Gerontologi adalah pengetahuan yang mencakup segala bidang persoalan
mengenai orang berusia lanjut yang didasarkan pada hasil-hasil penyelidikan
ilmu antropologi, antropometri, sosiologi, pekerjaan sosial, gerontologi medik,
psikologi, dan ekonomi.
c. Menurut WHO
Gerontology : Comprenhensive study of aging and problems of the aged (ilmu
yang mempelajari proses menua dan masalahnya ) and old age: Has been
commonly defined as beginning at the age of 60. Lansia merupakan mereka
yang berusia 65 ke atas untuk Amerika Serikat dan Eropa Barat. Sedangkan di
negara-negara Asia, lansia adalah mereka yang berusia 60 tahun ke atas.
Simposium Geriatri (1978) di Jakarta, mencoba memformulasikan tujuan
Gerontologi di Indonesia sebagai berikut: “Mengadakan upaya dan tindakan-
tindakan sehingga orang-orang lanjut usia selama mungkin tetap dalam keadaan
sehat, baik fisik, mental, dan sosial sehingga masih bermanfaat bagi masyarakat,
atau sekurang-kurangnya tidak menjadikan beban bagi masyarakat.”
A. Pendahuluan
Indonesia dewasa ini mengalami beban ganda dalam menghadapi masalah
penyakit. Di satu sisi penyakit-penyakit menular (communicable diseases) masih
tinggi bahkan cenderung meningkat, di sisi yang lain penyakit tidak menular (non
commincable diseases) yang pada umumnya tergolong penyakit degeneratif mulai
meningkat. Salah satu penyakit degeneratif merupakan penyebab kematian
terbesar adalah penyakit jantung koroner (PJK). Penyakit ini pada umumnya
disebabkan oleh perilaku atau pola hidup yang tidak sehat.
Menurut Institut Jantung, Paru-paru, dan Darah Nasional Amerika Serikat
(National Heart, Lung, and Blood Institute), penyakit jantung koroner merupakan
penyebab kematian nomor satu, baik bagi pria maupun wanita di Amerika Serikat,
di mana jumlah kematian akibat penyakit ini mencapai lebih dari 500.000 jiwa
setiap tahunnya. Menurut data dari Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
SKRT tahun 2002 PJK menempati urutan pertama sebagai penyebab kematian.
Selain itu dari hasil berbagai penelitian, penderita PJK dari tahun ke tahun
meningkat.
Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan penyakit yang tidak disadari
oleh kebanyakan orang dan tidak memberikan keluhan yang berarti karena hanya
keluhan ringan saja, seperti nyeri dada sebelah kiri yang berlangsung sebentar-
sebentar sehingga membuat penderita tahap dini kurang waspada, bahkan
dianggap seperti masuk angin atau salah urat dan hanya dipijat atau dikerok. Dari
80.812 penderita di rumah sakit, di antaranya 2.836 adalah penderita penyakit
kardiovaskular yang terdiri 43,2 persen penyakit jantung koroner, 30,1 persen
hipertensi, 14,5 persen demam rematik dan rematik jantung, 8,4 persen penyakit
jantung bawaan, 2,5 persen penyakit jantung pulmonair, dan 1,3 persen radang
katup jantung (Buletin Kesehatan Indonesia, 2003).
PJK adalah penyakit penyempitan pembuluh darah arteri koronaria yang
memberi pasokan nutrisi dan oksigen ke otototot jantung, terutama ventrikel kiri
yang memompa darah ke seluruh tubuh. Penelitian menunjukkan bahwa
sekurangnya 50% dari kematian dini akibat PJK sebenarnya dapat dicegah dengan
perbaikan gaya hidup dengan mengontrol faktor risiko, seperti merokok,
kegemukan, kurang bergerak atau berolahraga, dan tingginya kadar kolesterol atau
tekanan darah. Sampai kini berbagai upaya telah dilakukan, tetapi belum berhasil
dengan baik karena belum diketahui secara persis faktor risiko yang sebenarnya di
tengah masyarakat. Pengendalian tekanan darah merupakan cara yang relevan
mengurangi angka kematian kardiovaskular.
Faktor utama untuk mencegah penyakit jantung ialah pola konsumsi
makanan yang sehat. Apa yang kita makan dapat mempengaruhi kesehatan
jantung kita. Makanan cepat saji atau junk food merupakan faktor risiko PJK bila
sering dikonsumsi. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa orang yang
mengonsumsi makanan berserat sekitar 35 gram per hari memiliki risiko terkena
penyakit jantung 1/3 kali lebih rendah dibandingkan dengan orang yang
mengonsumsi serat kurang dan 15 gram per hari. Pola makan rendah kalori
dengan bijibijian, buah serta sayuran dapat membantu menurunkan kadar
kolesterol dan mempertahankan berat badan. Dari penelitian Alison (1993)
menyimpulkan efek diet dan berhenti merokok pada 1.232 laki-laki yang
mempunyai risiko PJK tinggi, dalam periode 5 tahun terdapat penurunan kejadian
infark miokard sebesar 47,0%. Penelitian di Belanda menunjukkan bahwa di
kalangan masyarakat yang suka makan ikan rata-rata 30 gram per hari angka
kematian karena PJK 50% lebih rendah. Dari penelitian yang melibatkan.582 pria
Belanda selama 20 tahun disimpulkan bahwa makan ikan 1 atau 2 kali,tiap
minggu cukup efektif 'xnenekan kadar kolesterol.
Selain pola konsumsi makanan sehat, faktor-faktor yang berhubungan
dengan pencegahan PJK adalah menjaga tekanan darah normal, berat badan
normal, kolesterol rendah, tidak merokok, dan aktivitas fisik yang teratur.
Menurut SKRT 1996, hipertensi merupakan penyabab utama kematian pada PJK
di Indonesia, yaitu 42.8% per 100.000 kasus kematian. Penderita obesitas
mempunyai kadar kolesterol total dan LDL lebih tinggi. Di universitas
Pensilvenya, orang yang ikut program penurunan berat badan selama 4 bulan
mengalami penurunan berat badan 8,9-10,7 kg,. penurunan LDL 25,8%, dan HDL
meningkat 3,34,7% (Barras Faisa1,1987). Framingharm Heart Study di Amerika
Serikat yang dimulai sejak 1948-1980-an menyatakan bila kolesterol total berkisar
antara 200 sampai 220 mg% maka risiko PJK konstan. Jika kolesterol total 220-
250 mg% risiko PJK meningkat 2 kali jika kolesterol total 250-300 mg%
meningkat 4 kali. Framingharm Heart Study tahun 1984 meniliti 2.000 wanita dan
2.000 laki-laki usia 20-49, HDL menurun pada perokok sekitar 4,5-6,o %. Suatu
studi yang dilakukan G Harley Hartung dari Baylor College of Medicine
menyatakan bahwa melakukan aktivitas fisik seperti joging 11 km selama
seminggu berturut-turut akan meningkatkan HDL hingga 35%. Suatu penelitian
longitudinal selama 2 tahun pada 200 orang yang, pernah kehilangan: pekerjaan
kadar kolesterol meningkat pada saat kehilangan pekerjaan kemudian menurun
lagi pada saat mendapat pekerjaan. Kehilangan pekerjaan merupakan faktor stress
yang kuat dan mempengaruhi kadar kolesterol.
A. Pendahuluan
Mengakhiri abad ke-20, dunia kesehatan dikejutkan dengan munculnya
penyakit baru yang sangat berbahaya dan ganas menyerang kehidupan manusia,
yakni penyakit HIV/AIDS. AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome)
merupakan penyakit menular yang disebabkan virus HIV (Human Immuno
Deficiency Virus). Penyebarannya sangat cepat ke seluruh dunia. Pada tahun 1999
dilaporkan 191.000 kasus AIDS ke WHO oleh 145 negara: Sampai pertengahan
tahun 2000 diperkirakan 30 juta orang di dunia terinfeksi HIV, yang terdiri dari
24,5 juta orang dewasa dan 5;5 juta anak-anak. Pada akhir abad ke-20
diperkirakan terdapat 40 juta orang yang terinfeksi HIV.
Penyakit AIDS pertama kali ditemukan pada tahun 1981 di Amerika Serikat
yang kemudian dengan pesatnya menyebar ke seluruh dunia. Pada tahun 1988
jumlah kasus AIDS di Amerika Serikat mencapai 48.139 orang. Di negara-negara
Amerika Latin dilaporkan 7.215 kasus AIDS melanda kaum muda berusia 20-49
tahun yang sebagian besar adalah kaum homoseksual dan pengguna obat-obat
suntik ke pembuluh darah. Berdasarkan informasi kesehatan yang terbatas di
negaranegara Asia, tercatat beberapa manifestasi klinis paling umum pada pasien
AIDS di Asia, meliputi Pneumonia pneumocystis carinii, Candidiasis,
Tuberculosis (TBC), Varicella zoster. Herpes simplex, Cytomegalovirus, dan
Sarkoma kaposi.
Pada perkembangan selanjutnya manifestasi klinis tuberkulosis Paru atau
TBC merupakan manifestasi klinis paling umum di negara-negara sedang
berkembang (khususnya Asia dan Afrika) dan memiliki arti kesehatan masyarakat
yang sangat penting. Hal itu dikarenakan penyakit TBC yang sangat menular dan
mudah menyebar melalui saluran pernafasan (batuk). Sedangkan penyakit TBC di
negara-negara berkembang, khususnya di Indonesia merupakan masalah
kesehatan yang khas, karena penyakit ini berkaitan dengan rendahnya tingkat
ekonomi. Oleh sebab itu, munculnya HIV/AIDS sebagai penyakit baru (emerging
diseases) yang dibarengi dengan meningkatnya manifestasi Mini.,; TBC
merupakan penyaldt lama (reemerging diseases) yang menjadi beban ganda bagi
kesehatan masyarakat di Indonesia.
Wabah ganda TBC dan HIV/AIDS khususnya di Indonesia dan negara-
negara berkembang pada umumnya memperlihatkan kecenderungan untuk bersatu
dan bersama-sama menyerang kesehatan masyarakat. WHO memperkirakan
sekurang-kurangnya terdapat 4,5 juta orang di dunia, dan 98% di antaranya berada
di negara berkembang telah terinfeksi HIV dan TBC secara bersamaan. Lebih
lanjut WHO mengungkapkan bahwa infeksi gabungan antara mycobacterium
tuberculosis dengan HIV akan memicu tuberkulosis menjadi aktif (pada pengidap
TBC laten) akibat lemahnya sistem kekebalan tubuh. Riset terbaru menunjukkan
bahwa ‘bakteri TBC’ dapat mengaktifkan HIV tahap laten yang ada dalam sel-sel
yang telah terinfeksi” (World AIDS 24, November 1992). Oleh sebab itu, dapat
disimpulkan bahwa pengidap HIV mempunyai kemungkinan lebih besar untuk
terserang TBC aktif.
Pada saat ini wabah TBC berkembang pesat di negaranegara sedang
berkembang. Di Uganda, kasus TBC aktif meningkat 2 kali lipat dalam 3 tahun
terkhir ini. Dilaporkan juga bahwa pada tahun 1999 kasus TBC telah meningkat
lebih dari 2 kali di Zambia, yaitu dari 7.000 kasus menjadi 17.000 kasus pada 3
tahun terakhir. Peningkatan kasus TBC ini erat kaitannya dengan meningkatnya
jumlah kasus pengidap HIV. WHO memperkirakan sekitar 60% pasien TBC di
Uganda dan Zambia telah terinfeksi HIV. Orang dengan HIV positif dan
menderita TBC aktif berisiko meninggal 3-4 kali dam orang yang HIV negatif dan
menderita TBC aktif. Di Afrika penyakit TBC menjadi penyebab utama kematian
di kalangan orang dewasa pengidap HIV.
Asia sebagai benua terbesar dengan lebih dari 50% penduduk dunia ternyata
terdapat 2/3 penderita TBC dari seluruh dunia. Beberapa ahli epidemiologi
mengungkapkan bahwa dengan penyebaran HIV yang sangat pesat di India dan
Thailan dewasa ini, maka berarti akan menghadapi lebih banyak lagi kasus TBC.
Hal ini berarti merupakan bencana yang sedang menunggu saatnya untuk meletus.
Indonesia dengan ± 202 juta penduduk menghadapi masalah yang besar dengan
adanya infeksi oportunistik TBC dan HIV. Sampai akhir tahun 2003 dilaporkan
2.157 kasus penderita HIV/AIDS. Hal ini merupakan masalah besar karena kasus
AIDS sendiri merupakan fenomena gunung es, yaitu penderita sebenarnya lebih
besar dari yang dilaporkan. Indonesia sendiri belum dapat menuntaskan penderita
TBC yang ada sebab ketidakmampuan pembiayaan i pengobatan, ketidaktahuan
bahaya TBC dan rantai penularannya, serta ketidaktuntasan pasien menyelesaikan
pengobatan TBC yang dideritanya.
B. Penyakit HIV/AIDS
1. Batasan
AIDS didefinisikan sebagai suatu sindrom atau kumpulan gejala penyakit
dengan karakteristik defisiensi kekebalan tubuh yang berat dan merupakan
manifestasi stadium akhir infeksi virus “HIV” (Tuti Parwati, 1996). Batasan lebih
rinci yang biasanya digunakan oleh negara-negara yang mempunyai fasilitas
diagnostik yang memadai, definisi AIDS adalah sebagai berikut:
a. Suatu penyakit yang menunjukkan adanya defisiensi imun selular, misalnya
Sarkoma kaposi atau, satu atau lebih infeksi oportunistik yang didiagnostik
dengan cara yang dapat dipercaya.
b. Tidak adanya sebab-sebab lain imuno defisiensi seluler yang , diketahui
berkaitan dengan penyakit tersebut. Untuk negara-negara yang tidak
mempunyai fasilitas diagnostik yang memadai, telah disusun suatu ketentuan
klinik menurut hasil workshop di Bangui, Afrika Tengah, Oktober 1985,
sebagai berikut:
a. Dicurigai AIDS pada orang dewasa bila terdapat paling sedikit 2 gejala
mayor dan 1 gejala minor dan tidak ada sebab-sebab imunosupresi yang lain
seperti kanker, malnutrisi berat, atau pemakaian kortikosteroid yang lain.
Gejala mayor tersebut adalah:
1) Penurunan berat badan lebih dari 10%.
2) Diare kronik lebih dari 1 bulan.
3) Demam lebih dari 1 bulan (kontinu/intermitten).
Sedangkan gejala minor adalah:
1) Batuk lebih dari 1 bulan
2) Dermatitis pruritik umum
3) Herpes zoster recurrens.
4) Kandidiasis oro-faring.
5) Limfadenopati generalisata.
6) Herpes simpleks diseminata yang kronik progresif.
b. Dicurigai AIDS pada anak, bila terdapat paling sedikit 2 gejala mayor dan 2
gejala minor dan tidak ada sebab-sebab imunosupresi yang lain seperti
kanker, malnutrisi berat, atau pemakaian kortikosteroid yang lama.
Adapun gejala mayor tersebut adalah:
1) Penurunan berat badan atau pertumbuhan yang lambat dan abnormal.
2) Diare kronik lebih dari 1 bulan.
3) Demam lebih dari 1 bulan (kontinu/intermitten).
Sedangkan gejala minor adalah:
1) Batuk persisten.
2) Dermatitis generalisata.
3) Infeksi umum yang berulang.
4) Kandidiasis oro-faring.
5) Limfadenopati generalisata.
6) Infeksi HIV pada ibunya.
2. Sejarah AIDS
Pertamah kali kasus AIDS dilaporkan oleh Centre for Disease Control
(CDC) di Amerika Serikat pada sekelompok kaum homoseks di California dan
New York pada tahun 1981. Pada mereka ditemukan adanya Sarkoma kaposi dan
Pneumonia pneumocystis carinii dan beberapa gejala klinis yang jarang muncul.
Gejala penyakit tersebut semakin jelas diketahui sebagai akibat adanya kegagalan
sistem imun dan karenanya disebut AIDS. Kasus serupa dengan cepat dilaporkan
dari Eropa Barat, Australia, Amerika Latin, Afrika, dan Asia. Teori tentang
adanya faktor infeksi sebagai penyebab baru dapat dikonfirmasi pada tahun 1983
dengan diisolasinya virus penyebab AIDS yang sekarang disebut HIV (Human
Immuno Deficiency Virus), dan tes serologi pertama kali dapat dilakukan pada
tahun 1984.
Etiologi AIDS sampai tahun 1994 diketahui ada dua subtipe virus HIV,
yaitu HIV 1 dan HIV 2. HIV 1 dan HIV 2 merupakan suatu virus RNA yang
termasuk retrovirus dan lentivirus. HIV 1 penyebarannya meluas di hampir
seluruh dunia, sedangkan HIV 2 ditemukan pada pasien-pasien dari Afrika Barat
dan Portugal. HIV 2 lebih mirip ‘monkey’ virus yang disebut SIV (Simian
Immuno Deficiency Virus). Antara HIV 1 dan HIV 2 intinya mirip, tetapi
selubung luarnya sangat berbeda.
3. Cara penularan
Virus AIDS atau HIV terdapat dalam darah dan cairan tubuh seseorang yang
telah tertular, walaupun orang tersebut belum menunjukkan keluhan atau gejala
penyakit. HIV hanya dapat ditularkan bila terjadi kontak langsung dengan cairan
tubuh atau darah. Dosis virus memegang peranan penting. Makin besar jumlah
virusnya, makin besar kemungkinan terinfeksi. Jumlah virus yang banyak terdapat
pada darah, sperma, cairan vagina, dan serviks, serta cairan otak. Dalam saliva, air
mata, urine, keringat, dan air susu hanya ditemukan dalam jumlah sedikit sekali.
Terdapat 3 cara penularan HIV, yaitu
a. Hubugan seksual, baik secara vagina, oral, maupun anal dengan seorang
pengidap. Ini adalah cara yang paling umum terjadi, meliputi 80-90% dari total
kasus sedunia. Penularan lebih mudah terjadi apabila terdapat lesi penyakit
kelamin dengan ulkus atau peradangan jaringan seperti Herpes genitalis, sifilis,
gonorea, klamidia, kankroid, dan trikomoniasis. Risiko pada seks anal lebih
besar dibanding seks vagina, dan risiko lebih besar pada reseptive daripada
pada insertive.
b. Kontak langsung dengan darah atau produk dtzrah/jarum suntik
1) Transfusi darah/produk darah yang tercemar HIV, risikonya sangat tinggi
sampai 90%. Ditemukan sekitar 3-5% dari total kasus sedunia.
2) Pemakaian jarum tidak steril/pemakaian bersama jarum suntik dan
sempritnya pada para pecandu narkotika suntik. Risikonya sekitar 0,5-1%
dan terdapat 5-10% dari total kasus sedunia.
3) Penularan lewat kecelakaan, tertusuk jarum pada petugas kesehatan,
risikonya kurang dari 0,5% dan telah terdapat kurang dari 0,1 % dari total
kasus sedunia.
c. Secara vertikal, dari ibu hamil pengidap HIV kepada bayinya, baik selama
hamil, saat melahirkan, atau setelah melahirkan. Risiko sekitar 25-40% dan
terdapat 0,1% dari total kasus sedunia.
4. Perjalanan penyakit
Sesudah HIV memasuki tubuh manusia, partikel virus tersebut bergabung
dengan DNA sel penderita, seumur hidup akan terinfeksi, sehingga sebagai
akibatnya, satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap
terinfeksi (Zubairi Djoerban, 1995). Dari semua orang yang terinfeksi, hanya
sedikit yang menjadi AIDS pada tiga tahun pertama hanya sebagian kecil,
sedangkan sesudah 10 tahun kira-kira 50% berkembang menjadi AIDS. Hampir
semua orang yang terinfeksi HIV akan menderita AIDS. Perjalanan penyakit
tersebut menunjukkan gambaran penyakit yang kronis, sesuai dengan perusakan
sistem kekebalan tubuh yang juga bertahap. Sel yang terutama diserang oleh HIV
adalah salah satu jenis sel darah putih yang disebut limfosit, sub jenis limfosit T
helper.
Gejala penyakit AIDS merupakan manifestasi rendahnya kadar limfosit T
helper, yang secara bertahap dirusak HIV. Segera sesudah terinfeksi HIV, jumlah
limfosit T helper akan berkurang dari sekitar 2000/mm3 menjadi kurang lebih
1000/mm3 dan kemudian secara bertahap jumlahnya makin berkurang. Limfosit T
memegang peranan penting dalam sistem kekebalan tubuh manusia, sehingga bila
jumlah dan fungsinya terganggu menyebabkan seseorang mudah diserang
penyakit infeksi dan kanker.
Manifestasi klmis infeksi HIV sangat luas spektrumnya, karena itu ada
beberapa klasifikasi yang salah satunya dibuat oleh CDC. USA berdasarkan
klasifikasi Infeksi HIV (CDC, USA, 1987) yang membagi dalam 4 kelompok,
yakni: Grup I: Infeksi akut, Grup II : Infeksi kronis asimtomatik,Grup III: PGL
(Persistent generalized lymphadenopathy), dan Grup IV: Penyakit lain.
a. Infeksi akut
Sekitar 30-50% dari mereka yang terinfeksi HIV akan memperlihatkan gejala
infeksi akut yang mirip dengan gejala infeksi mononukleosis, yaitu demam,
sakit tenggorokan, letargi, batuk, mialgia, keringat malam, dan keluhan berupa
nyeri menelan, mual, muntah, dan diare. Mungkin bisa ditemukan adanya
pembengkakan kelenjar limfe leher, faringitis, macular rash, dan aseptik
meningitis yang akan sembuh dalam 6 minggu. Patogenesis simtom ini tidak
jelas diketahui, tetapi sangat mungkin akibat adanya reaksi imun yang aktif
terhadap masuknya HIV dalam darah. Saat ini mungkin pemeriksaan antibodi
HIV masih negatif, tetapi pemeriksaan Ag p24 sudah positif. Pasien pada tahap
ini dikatakan sangat infeksius.
b. Infeksi kronik asimtomatik
Fase akut akan diikuti fase kronik asimtomatik yang lamanya bisa bertahun-
tahun. Walaupun tidak ada gejala, virus masih dapat diisolasi dari darah pasien.
Hal ini berarti pasien masih infeksius. Pada fase ini terjadi replikasi lambat
pada sel-sel tertentu dan laten pada sel-sel lain. Aktivitas HIV tetap terjadi dan
ini dibuktikan dengan menurunnya fungsi sistem imun dari waktu ke waktu.
c. PGL (pembengkakan kelenjar limfe)
Pada kebanyakan kasus, gejala pertama yang muncul adalah PGL. Ini
menunjukkan adanya hiperaktivitas sel limfosit B dalam kelenjar limfe, dapat
persisten bertahun-tahun dan pasien tetap merasa sehat. Terjadi progresif
bertahap dari adanya hiperplasia folikel dalam kelenjar limfe sampai timbulnya
involusi dengan adanya invasi sel limfosit T8. Ini merupakan reaksi tubuh
untuk menghancurkan sel dendritik folikel yang terinfeksi HIV. Di samping itu
infeksi pada otak juga sering terjadi.
d. Penyakit lain
Dengan menurunnya sel limfosit T4, makin jelas tampak gejala klinis yang
dapat dibedakan menjadi beberapa keadaan, yaitu:
1) Gejala dan keluhan yang disebabkan oleh hal-hal tidak langsung
berhubungan dengan HIV, seperti: diare, demam lebih dari 1 bulan, keringat
malam, rasa lelah berlebihan, batuk kronik lebih dari 1 bulan, dan
penurunan berat badan 10% atau lebih. Apabila yang mencolok adalah
penurunan berat badan, maka ini merupakan salah satu indikator AIDS.
2) Gejala langsung akibat HIV, seperti : miopati, neuropati perifer, dan
penyakit susunan saraf otak. Hampir 30% pasien dalam stadium akhir AIDS
akan menderita dementia kompleks, yaitu menurun sampai hilangnya daya
ingat, gangguan flingsi motorik dan kognitif, sehingga pasien sulit
berkomunikasi dan tidak bisa jalan.
3) Infeksi oportunistik dan neoplasma: Pada stadium kronik simtomatik ini
sangat sedikit keluhan dan gejala yang benar-benar langsung akibat HIV.
Sebagian besar adalah akibat menurunnya sel limfosit T4, sehingga dengan
terganggunya sentral sistem imun seluler ini, maka infeksi oportunistik yang
sering dialami adalah infeksi virus, parasit, dan mikobakterium. Neoplasma
yang dikenal sebagai penyakit indikator AIDS adalah Sarkoma kaposi dan
Limfoma sel B.
5. Epidemiologi AIDS
Dewasa ini dunia tengah mengalami pandemi virus HIV. : Pandemi ini tidak
hanya menimbulkan dampak negatif di bidang kesehatan, tetapi juga di bidang
sosial, ekonomi, dan politik. Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia, Departemen
Kesehatan RI pada akhir tahun 2003 prevalensi HIV/AIDS berkisar antara 0% -
26,5%, provinsi Papua menduduki peringkat tertinggi untuk HIV/AID ini.
Selanjutnya dari laporan yang sama dari 32 provinsi yang ada sampai dengan
tahun 2003 telah 22 provinsi yang telah mempunyai kasus HIV/AIDS. Secara
terinci jumlah kasus HIV/AIDS dan upaya pengobatan masing-masing provinsi
terlihat pada tabel berikut.
Jumlah Kasus, dan Pengobatan Per Provinsi, 2003
No Provinsi Jumlah kasus diobati Diobati % Yang
1 Riau 10 6 60,00
2 Jambi 323 281 87,00
3 Sumatra Utara 214 90 42,06
4 Bengkulu 10 10 100,00
5 Lampung 1 1 100,00
6 Bangka Belitung 1 1 100,00
7 DKI Jakarta 10 10 100,00
8 Jawa Barat 693 425 61,33
9 Jawa Tengah 56 49 87,50
10 Yogyakarta 89 89 100,00
11 Jawa Timur 322 140 43,48
12 Banten 19 19 100,00
13 Bali 190 94 49,47
14 Nusa Tengara Timur 2 1 50,00
15 Kalimantan Barat 19 15 78,95
16 Kalimantan Selatan 1 1 100,00
17 Kalimantan Timur 19 19 100,00
18 Sulawesi Utara 14 4 28,57
19 Sulawesi Tengah 1 1 100,00
20 Sulawesi Tengara 86 86 100,00
21 Maluku 25 25 100,00
22 Papua 52 52 100,00
TOTAL 2.156 1.419 65,79
Sumber: Indonesia Health Profile, 2003
Dilihat penyebaran penderita HIV/AIDS berdasarkan gender, laki-laki
57,71% dan pada perempuan 42,29%. Sedangkan penyebaran berdasarkan umur,
HIV/AIDS terbanyak mengenai pada kelompok umur produktif (15-60 tahn)
dengan jumlah terbesar pada kelompok umur 20-29 tahun (HIV (55,09%), AIDS
(24,58%)
Walaupun jumlah kasus infeksi HIV/AIDS di Indonesia yang dilaporkan
sampai tahun 2003 mencapai 2,156 orang, namun estimasi jumlah yang
sebenarnya saat ini diperkirakan lebih dari 30.000; bahkan ada tim ahli yang
memperkirakan saat ini sudah lebih dari 150.000 orang yang terinfeksi HIV. 2 tim
peneliti yang berbeda memproyeksikan jumlah penderita infeksi HIV di Indonesia
lebih dari 500.000 orang pada tahun 2.000 yang lalu. Jadi infeksi HIV/AIDS
memang sudah menjadi masalah yang serius di Indonesia.
4. Epidemiologi
TBC kembali muncul ke permukaan sebagai pembunuh utama oleh satu
jenis kuman. Di dunia diperkirakan terdapat 8 juta orang terserang TBC dengan
kematian 3 juta orang. Dengan munculnya epidemi HIV/AIDS di dunia, jumlah
penderita TBC meningkat. Menurut WHO, kematian wanita karena TBC lebih
banyak daripada kematian karena kehamilan, bersalin, dan nifas. Oleh karena itu,
WHO mencanangkan kedaruratan global pada tahun 1993 karena diperkirakan 1/4
penduduk dunia telah terinfeksi kuman TBC (Ditjen PPML & PLP, 2001). Di
Indonesia, penyakit tuberkulosis paru masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 1998 menunjukkan
bahwa tuberkulosis merupakan penyebab kematian nomor 2 (11%) setelah
penyakit kardiovaskuler pada semua golongan usia dan nomor 1 dari golongan
penyakit infeksi.
Penyakit TB paru menyerang sebagian besar kelompok usia produktif dan
kelompok sosio ekonomi rendah. Dengan meningkatnya infeksi HIV/AIDS di
Indonesia, penderita TB paru cenderung meningkat pula. Diperkirakan setiap
tahun terdapat 500.000 kasus baru TBC, yaitu sekitar 200.000 penderita terdapat
di sekitar Puskesmas, sedangkan 200.000 ditemukan pada pelayanan rumah sakit
atau klinik pemerintah dan swasta dan sisanya belum terjangkau unit pelayanan
kesehatan. Angka kematian karena TBC diperkirakan 175.000 per tahun sedang
selebihnya belum terjangkau.
A. Pendahuluan
Obat tradisional di Indonesia sangat besar peranannya dalam pelayanan
kesehatan masyarakat di Indonesia dan sangat potensial untuk dikembangkan.
Karena memang negara kita kaya akan tanaman obat-obatan. Namun, sayang
kekayaan alam tersebut tampaknya masih belum dimanfaatkan secara optimal
untuk kesehatan. Padahal saat ini biaya pengobatan modern cukup mahal
ditambah lagi dengan krisis ekonomi yang melanda bangsa ini belum sepenuhnya
berakhir. Hal tersebut dikhawatirkan dapat membuat kemampuan masyarakat
untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang optimal semakin menurun.
Indonesia diketahui memiliki keragaman hayati terbesar kedua di dunia
setelah Brasil. Dari berbagai penelitian menyebutkan, dari sekitar 30.000 spesies
tumbuhan di Indonesia sebanyak 6.000 jenis berkhasiat obat. Sumber lain
menyebutkan, tumbuhan di Indonesia diperkirakan mencapai lebih dari 7.000
jenis, sekitar 1.000 jenis digunakan untuk mencegah dan mengobati penyakit.
Indonesia termasuk 25 negara yang telah memiliki dan menerapkan kebijakan
obat bahan alam. Dalam upaya memberikan pelayanan kesehatan secara merata
untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal ; bagi masyarakat Indonesia, tidak
cukup hanya dilakukan oleh Departemen Kesehatan dan profesi kesehatan saja,
melainkan perlu melibatkan semua potensi sumber daya termasuk obat tradisional.
Hal ini sesuai dengan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang
mengamanatkan bahwa dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan secara
lebih luas dan merata sekaligus memelihara dan mengembangkan warisan budaya
bangsa, perlu terus dilakukan penggalian, penelitian, pengujian dan
pengembangan obat-obatan, serta pengobatan tradisional. Di samping itu terus
didorong langkah-langkah mengembangkan budi daya tanaman obat tradisional
yang secara medis dapat dip ertanggungj awabkan. Penggunaan obat tradisional
perlu terus dikembangkan di Indonesia karena potensi bahan alam yang besar.
(Hargono Djoko, 1995).
Obat tradisional merupakan warisan budaya bangsa yang perlu terus
dilestarikan dan dikembangkan untuk menunjang pembangunan kesehatan
sekaligus untuk meningkatkan perekonomian rakyat. Untuk dapat ikut
meningkatkan pelayanan dan meningkatkan pemerataan obat-obatan tradisional
maka perlu dukungan dari pemerintah dan masyarakat itu sendiri. Selama ini
industri jamu ataupun obat-obat tradisional bertahan tanpa dukungan yang
memadai dari pemerintah maupun industri farmasi. Sementara itu tantangan dari
dalam negeri sendiri adalah sikap dari dunia medis yang belum sepenuhnya
menerima jamu dan obat tradisional. Merebaknya jamu palsu maupun jamu yang
bercampur bahan kimia beberapa waktu lalu, semakin menambah keraguan
masyarakat akan khasiat dan keamanan mengonsumsi jamu dan obat tradisional.
Padahal penggunaan obat tradisional sudah lama dilakukan oleh masyarakat. Obat
tradisional ini tentunya sudah diuji bertahun-tahun bahkan berabad-abad sesuai
dengan perkembangan kebudayaan bangsa Indonesia.
Dokter dan apotik belum dapat menerima jamu sebagai obat yang dapat
mereka rekomendasikan kepada pasien sehingga pemasaran produk jamu tidak
bisa menggunakan tenaga detailer seperti pada obat modern. Di pihak dokter,
sistem pendidikan masih mengacu kepada pengobatan modern dan tidak
menyentuh substansi pengobatan dengan bahan alam (fitofarmaka). Dengan
kondisi di atas, tidak heran bila pasar industri jamu dan obat tradisional sulit
berkembang pesat.
Padahal, dengan jumlah masyarakat Indonesia yang mencapai lebih dari 200
juta jiwa, sesungg,uhnya potensi pasar bagi produk jamu ataupun obat tradisional
amatlah besar. Terlebih lagi, saat ini tampak ada kecenderungan hidup sehat pada
masyarakat kelas menengah atas untuk menggunakan produk berasal dari alam
(back to nature). Saat ini masalah dalam pengembangan obat bahan alam di
antaranya kurangnya pembuktian keamanan dan khasiat obat tersebut, sehingga
tidak memenuhi kriteria untuk dapat diterima dan digunakan dalam pelayanan
kesehatan.
B. Potensi Obat Tradisional
Dalam masyarakat sendiri sebenarnya terdapat suatu dinamika yang
membuat mereka mampu bertahan dalam keadaan sakit dan hal ini sebenarnya
merupakan potensi yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan derajat
kesehatannya. Potensi yang berarti kemampuan, daya, kesanggupan, kekuatan
yang dapat dikembangkan. Selama ini perkembangan pelayanan kesehatan
tradisional dan alternatif tampak semakin pesat sekitar 32% masyarakat kita
memakai pengobatan dan obat tradisional ketika sakit. Perkembangan ini telah
mendorong pertumbuhan usaha di bidang obat tradisional, mulai dari budidaya
tanaman obat, industri obat, dan distribusi. Akhirakhir ini banyak muncul
penyakit-penyakit baru yang belum ditemukan obatnya. Hal ini membuat cemas
masyarakat, padahal bahan-bahan untuk obat tradisional yang berkhasiat obat
banyak terdapat di seluruh pelosok tanah air, meskipun masih belum
dimanfaatkan secara optimal untuk pengobatan penyakit. Hal ini berarti obat
tradisional memiliki potensi besar dalam pelayanan kesehatan.
Obat dan Obat Tradisional
Suatu zat merupakan obat bila dalam pengobatan atau eksperimen sudah
diperoleh informai, di antaranya tentang (B. Zulkarnaen, 1999):
a. Hubungan dosis dan efek (dose - effect- relationship), selain dari hanya
diketahui adanya suatu efek.
b. Absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi zat tersebut.
c. Tempat zat tersebut bekerja (site of action).
d. Cara bekerja zat (mechanism of action).
e. Hubungan struktur dan respon (structure - respons relationship).
Informasi tentang lima hal di atas diperlukan dan dievaluasi dalam menilai
suatu obat. Penisilin umpamanya sudah diketahui bahwa besar responsnya
berkaitan erat dengan besar dosis, ia diketahui kapan mencapai kadar efektif
dalam darah menusia dan dalam bentuk apa sisa penisilin diekskresi. Diketahui
pula pada bagian apa dari kuman penisilin bekerja, serta bagaimana bekerjanya,
dan diketahui pula hubungan kerja dengan struktur molekul penisilin. Informasi
seperti ini dipunyai obat modern yang dipasarkan, sementara kurangnya informasi
menyebabkan suatu obat tidak dapat diedarkan sebagai obat.
Untuk memperoleh informasi seperti di atas, diperlukan penelitian, tenaga,
dana, dan waktu yang sangat banyak. Diperkirakan dari ditemukannya suatu obat,
dibutuhkan sekitar 25 tahun, sebelum suatu zat diperbolehkan beredar sebagai
obat. Penelitian berkenaan dengan hal di atas dimulai dari penapisan tahap
pertama, yaitu:
a. Penentuan toksitas dan pengaruh terhadap gelagat (behaviour)
b. Pengaruh zat terhadap tekanan darah dan semua percobaan yang ada kaitannya
dengan tekanan darah.
c. Pengaruh zat terhadap organ-organ terisolasi yang kemudian diikuti dengan
ratusan percobaan untuk melengkapi informasi yang diperlukan.
Tiga jenis penapisan ini banyak memberikan arah penelitian dan sifat bahan
yang diteliti, mulai dari pengaruh terhadap Susunan Saraf Pusat (SSP), Susunan
Saraf Otonom (SSO), respirasi, relaksan otot, dan sebagainya.
Sedangkan obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa
bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan galenik atau campuran
dari bahan-bahan tersebut, yang secara tradisional telah digunakan untuk peng-
obatan berdasarkan pengalaman (Ditjen POM, 1999). Sediaan galenik adalah hasil
ekstraksi bahan atau campuran bahan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan dan
hewan. Obat tradisional sering dipakai untuk pengobatan penyakit yang belum ada
obatnya yang memuaskan seperti penyakit kanker, penyakit virus termasuk AIDS
dan penyakit degeneratif, serta pada keadaan terdesak di mana obat jadi tidak
tersedia atau karena tidak terjangkau oleh daya beli masyarakat.
Pada tabel di bawah ini dapat dilihat daftar beberapa tanaman obat yang
mempunyai prospek pengembangan yang potensial.
Tabel 1
Tanaman Obat Fitofarmaka yang Prospektif
No Tanaman Obat Bagian Indikasi potensi
tan. Obat
1 Temulawak Umbi 1 Hepatitis, arthritis
(Curcuma Xantorrhiza)
2 Kunyit (Curcuma domestica Umbi Hepatitis, arthritis,
Val) antiseptik
3 Bawang putih (Allium Umbi Kandidiasis,
sativuum lynn) hiperlipidemia
4 Jati Blanda (Guazuma Daun Anti hiperlipidemia
ulmitblia lamk)
5 Handeuleum (daun ungu) Daun Heromoid
(gratophyllum picium griff)
6 Tempuyung (sonshus arvensis Daun Nefrolitiasis, diuretik
linn)
7 Kejibeling (sonchus arvensis Daun Nefrolitiasis, diuretik
linn)
8 Labu merah (cucurbita Biji Taeniasis
muschata duch)
9 Katuk (sauropus androgynus Daun Meningkatkan
merr) produksi ASI
10 Kumis kucing (Orthosiphon Daun Diuretic
stamineus benth)
11 Seledri (apium graveolens linn) Daun Hipertensi
12 Pare (Momordica charantia Buah biji Diabetes melitus
linn)
13 Jambu biji (klutuk) (peidium Daun Diare
guajava linn)
14 Ceguk (wudani) (quisqualis Biji Askariasis, oksiurtasis
indica linn)
15 Jambu mede (anacardium Daun Analgesic
occidentale)
16 Sirih (piper betle linn) Daun Antiseptic
17 Saga telik (abrus precatorius Daun Stomatitis attosa
linn)
18 Sebung (blumca balsamitera Daun Analgesic, antipiretik
D.C)
19 Benalu teh (loranthus spec, batang ahli kanker
div)
20 Papaya (carica papaya linn) Getah daun biji Sumber papain anti
malaria kontrasepsi
pria
21 Butrawali (tinospora rumphii Batang Anti malaria, diabetes
boerl) mellitus
22 Pegagan (kaki kuda) (centella Daun Diuretika, antiseptic,
asiatica urban) antikeloid, hipertensi
23 Legundi (Vitcx trifolia linn) Daun Antiseptic
24 Inggu (ruta graveolens linn) Daun Analgesic, antipiretik
25 Sidowajah (woodfordia Daun Artiscptik, diuretic
floribunda salibs)
26 Pala (myristica fragrans houtt) Buah Sedative
27 Sambilata (adrographis Seluruh Antiseptic, diabetes
paniculata ness) tanaman daun mellitus
28 Jahe (halia) (zingibers Umbi Analgesic. Antipiretik,
officinale rose) antiinflamasi
29 Delima putih (punica granalum Kulit buah Antiseptic, antidiare
linn)
30 Dringo (acorus calamus linn) Umbi Sedative
31 Jeruk nipis (citrus aurantifolia Buah Antibatuk
svviqk)
A. Pendahuluan
Teknologi adalah bentuk aplikasi dari ilmu pengetahuan dalam mewujudkan
kesejahteraan umat manusia. Teknologi diciptakan agar hidup manusia
dipermudah, dan lebih produktif atau lebih efisien, yang akhirnya manusia akan
hidup lebih nyaman dan lebih sejahtera. Namun belakangan ini teknologi ibarat
pisau bermata dua, satu sisi teknologi memang dapat mempermudah dan
mensejahterakan umat manusia, namun di sisi yang lain teknologi mempunyai
dampak yang negatif terhadap kehidupan manusia. Dengan meningkatnya
teknologi dan pemanfaatannya bag kehidupan umat manusia, justru manusia
dihadapkan pads berbagai masalah, terutama adalah masalah kesehatan. Semua
sektor pembangunan dewasa ini mengalami peningkatan yang luar biasa berkat
kemajuan teknologi, tetapi ironisnya semua kemajuan teknologi di semua sektor
pembangunan tersebut mempunyai dampak negatif pada kesehatan masyarakat.
Perkembangan teknologi peftanian misalnya, penggunaan pupuk buatan dan
penggunaan pestisida untuk pemberantasan hama, jelas akan merugikan
kesehatan. Perkembangan tekno logi pangan seperti pengawetan makanan,
penggunaan kemasan makanan dari plastik dan foam, penggunaan penyedap
makanan, dan sebagainya jugs merugikan kesehatan. Perkembangan teknologi
pertambangan dengan menggunakan bahan-bahan kimia, limbahnya juga akan
mengancam kesehatan manusia, seperti kasus di Buyat beberapa waktu yang lalu.
Di sektor perhubungan, khususnya transportasi, dengan meningkatnya peggunaan
kendaraan bermotor maka emisi atau gas buangan kendaraan bermotor tersebut
akan mengganggu kesehatan masyarakat.
Baru-baru ini pemerintah dalam hal ini Presiden RI, mengeluarkan Inpres
(Instruksi Presiden) No. 10 tahun 2005 berkaitan dengan penghematan BBM
(bahan bakar minyak). Akan tetapi Inpres tersebut lebih didorong oleh alasan
ekonomi, dan tidak didasari oleh alasan yang lebih bersifat global. Sebenarnya di
samping alasan ekonomi dan politik, penghematan bahan bakar minyak akan lebih
berbobot lagi kalau dilandasi pula alasan global, yakni adanya efek rumah kaca
yang mengakibatkan ‘global warming’ (pemanasan bumi) sebagai dampak dari
polusi udara (air pollution). Dengan kata lain, pemanasan global atau efek rumah
kaca merupakan salah satu dampak dari sektor pembangunan (teknologi
transportasi), khususnya asap kendaraan bermotor. Meskipun gas buangan
kendaraan bermotor atau teknologi transportasi ini bukan satusatunya penyebab
efek rumah kaca atau pemanasan bumi, namun gas buangan kendaraan motor di
Indonesia saat ini mempunyai kontribusi yang cukup besar dalam efek rumah kaca
(nurhasanah zis@yahoo.co).
Undang-Undang Republik Indonesia No. 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 4 Ayat 6 menyebutkan
bahwa baku mutu lingkungan adalah batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi,
atau komponen yang ada atau harus ada dan atau unsur pencemar yang ditenggang
adanya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup. Udara
adalah salah satu lingkungan hidup kita, oleh sebab itu zat-zat atau gas-gas yang
ada di dalamnya harus sesuai dengan baku mutu lingkungan seperti yang diatur
dalam undang-undang tersebut. Apabila melebihi dari ambang batas yang
ditentukan akan terjadi polusi udara, dan mengganggu kesehatan masyarakat.
Salah satu bentuk implementasi Undang-Undang No. 4' tahun 1982 ini
adalah Keputusan Menteri Negara Kependuduk an dan Lingkungan Hidup (KLH)
No. 2 tahun 1988 tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan. Dalam
undang-undang ini telah ditetapkan baku mutu lingkungan, termasuk gas buangan
kendaraan bermotor (CO2) meskipun masingmasing pemerintah daerah dalam hal
ini gubernur bersama Badan Meteorologi dan Geofisika setempat diberikan
keleluasaan untuk menetapkan baku mutu berdasarkan daerah masing-masing
berdasarkan pertimbangan kondisi setempat, sepanjang masih dalam batas
ambang.