Anda di halaman 1dari 223

EPIDEMIOLOGI

A. Pengertian dan Peranan Epidemiologi


Pada mulanya epidemiologi diartikan sebagai studi tentang epidemi. Hal ini
berarti epidemiologi hanya mempelajari penyakit-penyakit menular saja, tetapi
dalam perkembangan selanjutnya epidemiologi juga mempelajari penyakit-
penyakit non-infeksi, sehingga epidemiologi dapat diartikan sebagai studi tentang
penyebaran penyakit pada manusia di dalam konteks lingkungannya. Mencakup
juga studi tentang pola-pola penyakit serta pencarian deter ininan-determinan
penyakit tersebut. Dapat disimpulkan bahwa epidemiologi adalah ilmu yang
mempelajari penyakit tersebut:
Dalam batasan epidemiologi ini sekurang-kurangnya mencakup 3 elemen,
yakni:
a. Mencakup semua penyakit
Epidemiologi mempelajari semua penyakit, baik penyakit infeksi maupun non-
infeksi, seperti kanker, penyakit kekurangan gizi (malnutrition), kecelakaan
lalu lintas maupun kecelakaan kerja, sakit jiwa dan sebagainya. Bahkan di
negara-negara maju epidemiologi ini mencakup juga kegiatan pelayanan
kesehatan.
b. Populasi
Apabila kedokteran klinik berorientasi pada gambaran-gambaran penyakit
individu, maka epidemiologi ini memusatkan perhatiannya pada distribusi
penyakit pada populasi (masyarakat) atau kelompok.
c. Pendekatan ekologi
Frekuensi dan distribusi penyakit dikaji dari latar belakang pada kesehatan
lingkungan manusia baik lingkungan fisik, biologis, maupun sosial. Hal inilah
yang dimaksud pendekatan ekologis. Terjadinya penyakit pada seseorang
dikaji dari manusia dan total lingkungannya.
1. Penyebaran Penyakit
Di dalam epidemiologi biasanya timbul pertanyaan yang perlu direnungkan,
yakni:
1) siapa (who). Siapakah yang menjadi sasaran penyebaran penyakit itu atau
orang yang terkena penyakit.
2) Di mana (where). Di mana penyebaran atau terjadinya penyakit.
3) Kapan (when). Kapan penyebaran atau terjadinya penyakit tersebut.
Jawaban atau pertanyaan-pertanyaan ini merupakan faktor-faktor yang
menentukan terjadinya suatu penyakit. Dengan kata lain terjadinya atau
penyebaran suatu penyakit ditentukan oleh 3 faktor utama, yakni: orang, tempat
dan waktu.

2. Kegunaan
Peranan epidemiologi, khususnya dalam konteks program kesehatan dan
keluarga berencana adalah sebagai tool (alat) dan sebagai metode atau
pendekatan. Epidemiologi sebagai alat diartikan bahwa dalam melihat suatu
masalah KB-Kes selalu mempertanyan siapa yang terkena masalah, di mana dan
bagaimana penyebaran masalah, serta kapan penyebaran masalah tersebut terjadi?
Demikian pula pendekatan pemecahan masalah tersebut selalu dikaitkan
dengan masalah, di mana atau dalam lingkungan bagaimana penyebaran masalah
serta bilamana masalah tersebut terjadi. Kegunaan lain dari epidemiologi
khususnya dalam program kesehatan adalah ukuran-ukuran epidemiologi seperti,
prevalensi, point of prevalence, dan sebagainya dapat digunakan dalam
perhitungan-perhitungan: prevalensi, kasus baru, case fatality rate, dan
sebagainya.

B. Metode-metode Epidemiologi
Di dalam epidemiologi terdapat 2 tipe pokok pendekatan atau metode,
yakni:
1. Epidemiologi Deskritif (Descriptive Epidemiology)
Di dalam epidemiologi deskriptif dipelajari bagaimana frekuensi penyakit
berubah menurut perubahan variable-variable epidemiologi yang terdiri dari orang
(person), tempat (place), dan waktu (time).

Orang (Person)
Di sini akan dibicarakan peranan umur, jenis kelamin, kelas sosial,
pekerjaan, golongan etnik, status perkawinan, besarnya keluarga, struktur
keluarga, dan paritas.
(1) Umur
Umur adalah variable yang selalu diperhatikan di dalam penyelidikan-
penyelidikan epidemiologi. Angka-angka kesakitan maupun kematian di
dalam hampir semua keadaan menunjukkan hubungan dengan umur.
Dengan cara ini dapat membacanya dengan mudah dan melihat pola
kesakitan atau kematian menurut golongan umur. Persoalan yang dihadapi
adalah apakah umur yang dilaporkan tepat, apakah panjangnya interval di
dalam pengelompokan cukup untuk tidak menyembunyikan peranan umur
pada pola kesakitan atau kematian, dan apakah pengelompokan umur dapat
dibandingkan dengan pengelompokan umur pada penelitian orang lain.
Di dalam mendapatkan laporan umur yang tepat pada masyarakat pedesaan
yang kebanyakan masih buta huruf hendaknya memanfaatkan sumber
informasi seperti catatan petugas agama, guru, lurah, dan sebagainya. Hal ini
tentunya tidak menjadi soal yang berat di kala mengumupulkan keterangan
umur bagi mereka yang telah bersekolah.
Untuk keperluan perbandingan maka WHO menganjurkan pembagian-
pembagian umur sebagai berikut:
(a) Menurut tingkat kedewasaan, yaitu:
0- 14 tahun : bayi dan anak-anak.
15 - 49 tahun : orang muda dan dewasa.
50 tahun ke atas : orang tua.
(b) Interval 5 tahun :
kurang dari 1 tahun,
1-4,
5-9,
10-14, dan sebagainya.
(c) Untuk mempelajari penyakit anak:
0 - 4 bulan 5 - 10 bulan
11- 23 bulan 2 - 4 tahun
5 - 9 tahun 9 - 14 tahun
(2) Jenis kelamin
Angka-angka dari luar negeri menunjukkan bahwa angka kesakitan lebih
tinggi di kalangan wanita sedangka angka kematian lebih tinggi di kalangan
pria pada semua golongan umur. Untuk Indonesia masih perlu dipelajari lebih
lanjut. Perbedaan angka kematian ini, dapat disebabkan oleh faktor-faktor
intrinsik.
Yang pertama diduga meliputi faktor keturunan yang terkait dengan jenis
kelamin, atau perbedaan hormonal, sedangkan yang kedua diduga karena
berperannya faktor-faktor lingkungan (lebih banyak pria mengisap rokok,
minum minuman keras, candu, bekerja berat, berhadapan dengan pekerjaan-
pekerjaan berbahaya, dan seterusnya).
Sebab-sebab adanya angka kematian yang. lebih tinggi di kalangan wanita, di
Amerika Serikat dihuungkan dengan kemungkinan bahwa wanita lebih bebas
untuk mencari perawatan. Di Indonesia keadaan tersebut belum diketahui.
Terdapat indikasi bahwa kecuali untuk beberapa penyakit alat kelamin, angka
kematian untuk berbagai penyakit lebih tinggi pada kalangan pria.
(3) Kelas sosial
Kelas sosial adalah variabel yang sering dilihat hubungannya dengan angka
kesakitan atau kematian, variabel ini menggambarkan tingkat kehidupan
seseorang. Kelas sosial ini ditentukan oleh unsur-unsur, seperti pendidikan,
pekerjaan, penghasilan, dan banyak contoh ditentukan pula tempat tinggal.
Karena hal-hal ini dapat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan termasuk
pemeliharaan kesehatan maka tidaklah mengherankan apabila kita melihat
perbedaan-perbedaan dalam angka kesakitan atau kematian antara berbagai
kelas sosial.
Masalah yang dihadapi di lapangan ialah bagaimana mendapatkan indikator
tunggal bagi kelas sosial. Di Inggris penggolongan kelas sosial ini didasarkan
atas dasar jenis pekerjaan seseorang, yakni I profesional, II menengah, III
tenaga terampil, IV tenaga setengah terampil, dan V tidak mempunyai
keterampilan. Di Indonesia penggolongan seperti ini sulit oleh karena jenis
pekerjaan tidak memberi jaminan perbedaan dalam penghasilan. Hubungan
antara kelas sosial dan angka kesakitan atau kematian kita dapat mempelajari
dalam hubungan dengan umur, dan kelamin.
(4) Jenis pekerjaan
Jenis pekerjaan dapat berperan di dalam timbulnya penyakit melalui beberapa
jalan, yakni:
(a) Adanya faktor-faktor lingkungan yang langsung dapat menimbulkan
kesakitan seperti bahan-bahan kimia, gas beracun, radiasi, benda-benda
fisik yang dapat menimbulkan kecelakaan, dan sebagainya.
(b) Situasi pekerjaan yang penuh dengan stres (yang telah dikenal sebagai
faktor yang berperan pada timbulnya hipertensi, dan ulcus lambung).
(c) Ada tidaknya ‘gerak badan’ di dalam pekerjaan; di Amerika Serikat
ditunjukkan bahwa penyakit jantung koroner sering ditemukan di
kalangan mereka yang mempunyai pekerjaan di mana kurang adanya
‘gerak badan’.
(d) Karena berkerumum dalam satu tempat yang relatif sempit maka dapat
terjadi proses penularan penyakit antara para pekerja.
(e) Penyakit karena cacing tambang telah lama diketahui terkait' dengan
pekerjaan di tambang.
Penelitian mengenai hubungan jenis pekerjaan dan pola kesakitan banyak
dikerjakan di Indonesia terutama pola penyakit kronis, misalnya penyakit
jantung, tekanan darah tinggi, dan kanker.
Jenis pekerjaan apa saja yang hendak dipelajari hubungannya dengan suatu
penyakit dapat pula memperhitungkan pengaruh variabel umur dan kelamin.
(5) Penghasilan
Yang sering dilakukan ialah menilai hubungan antara tingkat penghasilan
dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan maupun pencegahan. Seseorang
kurang memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada mungkin oleh karena
tidak mempunyai cukup uang untuk membeli obat, membayar transpor, dan
sebagainya.
(6) Golongan etnik
Berbagai golongan etnik dapat berbeda di dalam kebiasaan makan, susunan
genetika, gaya hidup, dan sebagainya yang dapat mengakibatkan perbedaan di
dalam angka kesakitan atau kematian.
Dalam memperbandingkan angka kesakitan atau kematian suatu penyakit
antargolongan etnik hendaknya diingat kedua golongan itu harus
distandardisasikan menurut susunan umur dan kelamin ataupun faktor-faktor
lain yang dianggap mempengaruhi angka kesakitan dan kematian itu.
Penelitian pada golongan etnik dapat memberikan keterangan mengenai
pengaruh lingkungan terhadap timbulnya suatu penyakit. Contoh yang klasik
dalam hal ini ialah penelitian mengenai angka kesakitan kanker lambung.
Dalam penelitian mengenai penyakit ini di kalangan penduduk ash di Jepang
dan keturunan Jepang di Amerika Serikat, ternyata bahwa penyakit ini
menjadi kurang prevalen di kalangan turunan Jepang di Amerika Serikat. Ini
menunjukkan bahwa peranan lingkungan penting di dalam etiologi kanker
lambung.
(7) Status perkawinan
Dari penelitian telah ditunjukkan bahwa terdapat hubungaxi antara angka
kesakitan maupun kematian dengan status kawin, tidak kawin, cerai, dan jada;
angka kematian karena penyakit-penyakit tertentu maupun kematian karena
semua sebab makin meninggi dalam urutan tertentu.
Diduga bahwa sebab-sebab angka kematian 1ebih. tinggi pada yang tidak
menikah dibandingkan dengan yang menikah ialah karena ada kecenderungan
orang-orang, yang tidak menikah kurang sehat. Kecenderungan bagi orang-
orang yang tidak menikah lebih sering berhadapan dengan penyakit atau
karena adanya perbedaan dalam gaya hidup yang berhubungan seearaa kausal
dengan penyebab penyakit tertentu.
(8) Besarnya keluarga
Di dalam keluarga besar dan miskin, anak-anak dapat menderita karena
penghasilan keluarga harus digunakan oleh banyak orang.
(9) Struktur keluarga
Struktur keluarga dapat mempunyai pengaruh terhadap kesakitan_(penyakit
menular dan gangguan gizi) dan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Suatu
keluarga besar karena besarnya tanggungan secara relatif mungkin harus
tinggal berdesak-desakan di dalam rumah yang luasnya terbatas hingga
memudahkan penularan penyakit menular di kalangan anggota-anggotanya
karena persediaan harus digunakan untuk anggota keluarga yang besar maka
mungkin pula tidak dapat membeli cukup makanan yang bernilai gizi cukup
atau tidak dapat memanfaatkan fasilitas kesehatan yang tersedia; dan
sebagainya.
(10) Paritas
Tingkat paritas telah menarik perhatian para peneliti dalam hubungan
kesehatan si ibu maupun si anak. Dikatakan umpamanya terdapat
kecenderungan kesehatan ibu yang berparitas rendah lebih baik dari yang
berparitas tinggi, terdapat asosiasi antara tingkat paritas dan penyakitpenyakit
tertentu, seperti asma bronchiale, ulkus peptikum, pilorik, stenosis, dan
seterusnya. Tetapi kesemuanya masih memerlukan penelitian lebih lanjut.

Tempat (Place)
Pengetahuan mengenai distribusi geografis dari suatu penyakit berguna
untuk perencanaan pelayanan kesehatan dan dapat memberikan penjelasan
merigenai etiologi penyakit.
Perbandingan pola penyakit sering dilakukan antara:
(1) Batas daerah pemerintahan.
(2) Kota dan pedesaan.
(3) Daerah atau tempat berdasarkan batas alam (pegunungan, sungai, laut atau
padang pasir).
(4) Negara-negara dan
(5) ‘Regional’
Untuk kepentingan mendapatkan pengertian tentang etiologi penyakit,
perbandingan menurut batas-batas alam lebih berguna daripada menurut batas-
batas administrasi pemerintahan. Hal-hal yang memberikan kekhususan pola
penyakit di suatu daerah dengan batas-batas alam ialah: keadaan lingkungan yang
khusus seperti temperatur, kelembaban, turun hujan, ketinggian di atas permukaan
laut, keadaan tanah, sumber air, derajat isolasi terhadap pengaruh luar yang
tergambar dalam tingkat kemajuan ekonomi, pendidikan, industri, pelayanan
kesehatan, bertahannya tradisitradisi yang merupakan hambatan pembangunan,
faktor sosial budaya yang tidak menguntungkan kesehatan atau pengembangan
kesehatan, sifat-sifat lingkungan biologis (ada tidaknya vektor penyakit menular
tertentu, reservoir penyakit menular tertentu, dan susunan genetika), dan
sebagainya.
Pentingnya peranan tempat di dalam mempelajari etiologi suatu penyakit
menular dapat digambarkan dengan jelas pada penyelidikan suatu wabah, yang
akan diuraikan nanti.
Di dalam membicarakan perbedaan pola penyakit antara kota dan pedesaan,
faktor yang baru saja disebutkan di atas perlu diperhatikan. Hal lain yang perlu
diperhatikan selanjutnya ialah akibat migrasi ke kota atau ke desa terhadap pola
penyakit, di kota maupun di desa itu sendiri.
Migrasi antardesa tentunya dapat pula membawa akibat terhadap pola dan
penyebaran penyakit menular di desa-desa yang bersangkutan maupun desa-desa
di sekitarnya.
Peranan migrasi atau mobilitas geografis di dalam mengubah pola penyakit
di berbagai daerah menjadi lebih penting dengan.makin lancarnya perhubungan
darat, udara, dan lmt. Lihatlah umpamanya penyakit demam berdarah.
Pentingnya pengetahuan mengenai tempat dalam mempelejari etiologi suatu
penyakit dapat digambarkan dengan jelas pada penyelidikan suatu wabah dan
pada penyelidikanpenyelidikan me ngenai kaum migran. Di dalam memper-
bandingkan angka kesakitan atau kematian antar daerah (tempat) perlu
diperhatikan terlebih dahulu di tiap-tiap daerah (tempat).
(1) susunan umum.
(2) susunan kelamin.
(3) kualitas data, dan
(4) de-rajat representatif dari data terhadap seluruh penduduk.
Walaupun telah diadakan standardisasi berdasarkan umur dan jenis kelamin,
memperbandingkan pola penyakit antardaerah di Indonesia dengan menggunakan
data yang berasal dari fasilitas-fasilitas kesehatan, harus dilaksanakan dengan
hati-hati, sebab data tersebut belum tentu representatif dan baik kualitasnya.
Variasi geografis pada terjadinya beberapa penyakit atau keadaan lain
mungkin berhubungan dengan satu atau lebih dari beberapa fakto, yakni:
(1) Lingkungan fisis, kemis, biologis, sosial dan ekonomi yang berbeda-beda dari
suatu tempat ke tempat lainnya.
(2) Konstitusi genetis dan etnis dari penduduk yang berbeda, bervariasi seperti
karakteristik demografi.
(3) Variasi kultural terjadi dalam kebiasaan, pekerjaan, keluarga, praktik higeine
perorangan, dan bahkan persepsi tentang sakit dan sehat.
(4) Variasi administratif termasuk faktor-faktor seperti tersedianya dan efisiensi
pelayanan medis, program higeine (sanitasi) dan lain-lain.
Banyaknya penyakit hanya berpengaruh pada daerah tertentu. Misalnya
penyakit demam kuning, kebanyak terdapat di Amerika Latin. Distribusinya
disebabkan oleh adanya ‘resorvoir’ infeksi (manusia atau kera), vektor (yaitu
Aedes aegypty), penduduk yang rentan dan keadaan iklim yang memungkinkan
suburnya agen penyebab penyakit. Daerah di mana vektor dan persyaratan iklim
ditemukan, tetapi tidak ada sumber infeksi, disebut ‘receptiue area’ untuk demam
kuning.
Contoh-contoh penyakit lainnya yang terbatas pada daerah tertentu atau
yang frekuensinya tinggi pada daerah tertentu, misalnya Schistosomiasis di daerah
di mana terdapat vektor snail atau keong (Lembah Nil, Jepang), gondok andemik
(endemic goiter) di daerah yang kekurangan zat yodium.
Waktu (Time)
Mempelajari hubungan antara waktu dan penyakit merupakan kebutuhan
dasar di dalam analisis epidemiologis. Oleh karena itu, perubahan-perubahan
penyakit menurut waktu menunjiikkan adanya perubahan faktor-faktor etiologis.
Melihat panjangnya waktu di mana terjadi perubahan angka kesakitan maka
dibedakan (1) fluktuasi jangka pendek, di mana perubahan
angka kesakitan berlangsung beberapa jam, hari, minggu, dan bulan. (2)
perubahan-perubahan secara siklus di mana perubahan-perubahan angka kesakitan
terjadi secara berulang ulang dengan antara beberapa hari, beberapa bulan
(musiman), tahunan, beberapa tahun, dan (3) perubahan-perubahan angka
kesakitan yang berlangsung dalam periode waktu yang panjang, bertahun-tahun
atau puluhan tahun, yang disebut ‘secular trends’.

Fluktuasi jangka pendek


Pola perubahan kesakitan ini terlihat pada epidemi ompamanya epidemi
keracunan makanan (beberapa jam), epidemi influenza (beberapa hari atau
minggu), epidemi cacar (beberapa bulan).
Fluktuasi jangka pendek atau epidemi ini memberikan petunjuk bahwa:
(1) Penderita terserang penyakit yang sama dalam waktu bersamaan atau hampir
bersamaan.
(2) Waktu inkubasi rata-rata pendek.

Perubahan perubahan secara siklus


Perubahan secara siklus ini didapatkan pada keadaan dimana timbulnya dan
memuncaknya angka-angka kesakitan atau kematian terjadi berulang-ulang tiap
beberapa bulan, tiap tahun, atau tiap beberapa tahun. Peristiwa semacam ini dapat
berjadi baik pada penyakit infeksi maupun pada penyakit bukan infeksi
Timbulnya atau memuncaknya angka kesakitan atau kematian suatu
penyakit yang ditularkan melalui vektor secara siklus ini adalah berhubungaa
dengan (1) ada tidaknya keadaan yang memungkinkan tranamisi penyakit oleh
vektor yang bersangkutan, yakni apakah termperatur dan kelembaban,
memungkinkan transmisi, (2) adanya tempat perkembangbiakan alami dari vektor
sedemikian banyak untuk menjamin adanya kepadatan vektor yang perlu dalam
transmisi. (3) selalu adanya kerentanan dan atau (4) adanya kegiatan-kegiatan
berkala dari orang-orang yang rentan yang menyebabkan mereka terserang oleh
‘vektor bornedisease’ tertentu. (5) tetapnya kemampuan agen infektif untuk
menimbulkan penyakit. (6) adanya faktor-faktor lain yang belum diketahui.
Hilangnya atau berubahnya siklus berarti adanya perubahan dari salah satu atau
lebih hal-hal tersebut.
Penjelasan mengenai timbulnya atau memuncaknya penyakit menular yang
berdasarkan pengetahuan yang kita kenal sebagai bukan vektor borne secara
siklus masih jauh lebih kurang dibandingkan dengan vektor borne diseases yang
telah kita kenal. Sebagai contoh, belum dapat diterangkan secara pasti mengapa
wabah influenza A bertendensi timbul setiap 2 - 3 tahun, mengapa influenza B
timbul setiap 4 - 6 tahun, mengapa wabah campak timbul 2 - 3 tahun (di Amerika
Serikat).
Sebagai salah satu sebab yang disebutkan ialah berkurangnya penduduk
yang kebal (meningkatnya kerentanan) dengan asumsi faktor-faktor lain tetap.
Banyak penyakit yang belum diketahui etiologinya menunjukkan variasi angka
kesakitan secara bermusim. Tentunya observasi ini dapat membantu di dalam
memulai dicarinya etiologi penyakit-penyakit tersebut dengan catatan bahwa
interpretasinya sulit karena banyak keadaan yang berperan terhadap timbulnya
penyakit pada perubahan musim, perubahan populasi hewan, perubahan tumbuh-
tumbuhan yang berperan tempat perkembangbiakan. Perubahan dalam susunan
reservoir penyakit, perubahan dalam berbagai aspek perilaku manusia, seperti
yang menyangkut pekerjaan, makanan, rekreasi dan sebagainya.
Sebab-sebab timbulnya dan memuncaknya beberapa penyakit karena
gangguan gizi secara bermusim belum dapat diterangkan secara jelas.
Variasi musiman ini telah dihubung-hubungkan dengan perubahan secara
bermusim dari produksi, distribusi dan konsumsi dan bahan-bahan makanan yang
mengandung bahan yang dibutuhkan untuk pemeliharaan gizi, maupun keadaan
kesehatan individu-individu terutama dalam hubungan dengan penyakit infeksi
dan sebagainya.

2. Epidemiologi Analitik (Analytic Epidemiology)


Pendekatan atau studi iru dipergunakan untuk menguji data dan informasi-
informasi yang diperoleh studi epidemiologi deskriptif.
Ada tiga studi tentang epidemiologi ini, yaitu:
1) Studi riwayat kasus (case history studies). Dalam studi ini akan dibandingkan
antara dua kelompok orang, yakni kelompok yang terkena penyakit dengan
kelompok orang tidak terkena (keloippok kontrol).
Contoh: Ada hipotesis yang mengatakan bahwa penyebab utama kanker paru-
paru adalah rokok. Untuk menguji hipotesis ini diambil sekelompbk orang
penderita kanker paru-paru. Kepada penderita ini ditanyakan tentang kebiasaan
merokok.
Dari jawaban pertanyaan tersebut akan terdapat dua kelompok, yakni penderita
yang mempunyai kebiasaan merokok dan penderita yang tidak merokok.
Kemudian, kedua kelompok ini diuji dengan uji statistik, apakah ada perbedaan
yang bermakna antara kedua kelompok tersebut.
2) Studi Kohort (kohort studies). Dalam studi ini sekelompok orang dipaparkan
(exposed) pada suatu penyebab penyakit (agent). Kemudian, diambil
sekelompok orang lain yang mempunyai ciri-ciri yang sama dengan kelompok
pertama, tetapi tidak dipaparkan atau dikenakan pada penyebab penyakit.
Kelompok kedua ini disebut kelompok kontrol. Setelah beberapa saat yang
telah ditentukan kedua kelompok tersebut dibandingkan, dicari perbedaan
antara kedua kelompok tersebut bermakna atau tidak.
Contoh: Untuk membuktikan bahwa merokok merupakan faktor utama
penyebab kanker paru-paru, diambil dua kelompok orang yang satu kelompok
terdiri dari orang-orang yang merokok dan satu kelompok lagi terdiri dari
orang-orang yang tidak merokok. Kemudian, diperiksa apakah ada perbedaan -
pengidap kanker paru-paru antara kelompok perokok dan kelompok non-
perokok.
3. Epidemiologi Eksprimen
Studi ini dilakukan dengan mengadakan eksprimen (percobaan) kepada
kelompok subjek, kemudian dibandingkan dengan kelompok kontrol (yang tidak
dikenakan percobaan). Contoh: untuk menguji keampuhan suatu vaksin, dapat
diambil suatu kelompok anak kemudian diberikan vaksi tersebut.
Sementara itu diambil sekelompok anak pula sebagai kontrol yang hanya
diberikan placebo. Setelah beberapa tahun kemudian, dilihat kemungkinan-
kemungkinan timbulnya penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin tersebut,
kemudian dibandingkan antara kelompok percobaan dan kelompok kontrol.

C. Pengukuran Epidemiologi
Di dalam uraian terdahulu telah diuraikan bagian dari epidemiologi yang
bertujuan melihat bagaimana penyebaran kesakitan dan kematian menurut sifat-
sifat orang, tempat dan waktu. Di dalam uraian ini akan diuraikan berbagai ukuran
kesakitan dan kematian yang lazim dipakai dalam survei atau penyelidikan-
penyelidikan epidemiologi. Ukuran dasar yang akan dibicarakan di sini adalah
‘rate’.
Dalam hubungan dengan kesakitan akan dibicarakan insidence rate,
prevalence rate (point period prevalence rate), attack rate, dan dalam hubungan
dengan kematian akan dibicarakan crude death rate, disease specific rate dan
adjusted death rate. Sebelum membicarakan masing-masing tersebut perlu
dikemukakan hal-hal aebagai berikut:
1) Untuk penyusunan rate dibutuhkan tiga elemen, yakni (a) jumlah orang yang
terserang penyakit atau yang meninggal, (b) jumlah penduduk dari mana
penderita berasal (reference population), dan (c) waktu atau periode di mana
orang-orang terserang penyakit.
2) Apabila pembilang terbatas pada umur, seks, atau golongan tertentu maka
penyebut juga harus terbatas pada umur, seks, atau golongan yang sama.
3) Bila penyebut terbatas pada mereka yang dapat terserang atau terjangkit
penyakit, maka penyebut tersebut dinamakan populasi yang mempunyai risiko
(population at risk).
1. Incidence Rate
Incidence rate dari suatu penyakit tertentu adalah jumlah kasus baru yang
terjadi di kalangan penduduk selama periode waktu tertentu.
Jumlah kasus baru suatu penyakit
selama periode tertentu
Incidence Rate = x 1000
Populasi yang mempunyai risiko

Contoh:
Pada bulan Desember 1988 di Kecamatan X terdapat penderita campak 88 anak
balita. Jumlah anak yang mempunyai risiko penyakit tersebut (anak balita) di
Kecamatan X = 8.000. Maka incidence rate penyakit campak tersebut adalah:
80 10
x 1.000 = atau 0,010
8.000 1000
Beberapa catatan:
(1) Di dalam mempelajari incidence diperlukan penentuan waktu atau saat
timbulnya penyakit. Bagi penyakit-penyakit yang akut seperti influenza,
infeksi stapilocacus, gastroenteritis, acute myocardial infarction, dan ‘cerebral
hemorrhage’, penentuan incidence rate ini tidak begitu sulit berhubung waktu
terjadinya dapat diketahui secara pasti atau mendekati pasti. Lain halnya
dengan penyakit di mana timbulnya tidak jelas di sini, waktu ditegakkan
‘diagnosis pasti’ diartikan sebagai waktu mulai penyakit.
(2) Incidence rate selalu dinyatakan dalam hubungan dengan periode waktu
tertentu seperti bulan, tahun, dan seterusnya. Apabila penduduk berada dalam
ancaman diserangnya penyakit hanya untuk waktu yang terbatas (seperti
hanya dalam epidemi suatu penyakit infeksi), maka periode waktu terjadinya
kasus-kasus baru adalah sama dengan lamanya epidemi. Incidence rate pada
suatu epidemi disebut attack rate.
2. Attack Rate
Jumlah kasus selama epidemi
Attack Rate = x 1000
Populasi yang mempunyai risiko − risiko

Contoh:
Pada waktu terjadinya wabah morbili di Kelurahan Y pada tahun 1987, terdapat
18 anak yang menderita morbili. Jumlah anak yang mempunyai risiko di
kelurahan tersebut = 2000 anak.
Attack rate penyakit tersebut adalah:
18 9
x 1.000 = atau 0,009
2.000 1000
(3) Untuk penyakit yang jarang maka incidence rate dihitung . untuk periode
waktu bertahun-tahun. Di dalam periode waktu yang panjang ini penyebut
dapat berubah karena dalam waktu itu jumlah populasi yang mempunyai
risiko juga dapat berubah.
(4) Pengetahuan mengenai incidence rate adalah berguna sekali di dalam
mempelajari faktor-faktor etiologi dari penyakit yang akut maupun kronis.
Incidence rate adalah satu ukuran = langsung dari kemungkinan (probabilitas)
untuk menjadi sakit. Dengan membandingkan incidence rate suatu penyakit ''
dari berbagai penduduk yang berbeda di dalam satu atau lebih faktor
(keadaan) maka kita dapat memperoleh keterangan faktor mana yang menjadi
faktor risiko dari penyakit bersangkmtan. Kegunaan seperti ini tidak dipunyai
oleh prevalence rate.

3. Prevalence Rate
Prevalence rate mengukur jumlah orang di kalangan penduduk yang
menderita suatu penyakit pada satu titik waktu tertentu.
Jumlah kasus − kasus penyakit
yang ada pada suatu titik tertentu
Prevalence Rate = x 1000
Jumlah penduduk seluruhnya
Contoh:
Kasus penyakit TBC paru di Kecamatan Moyang pada waktu dilakukan surnei
pada Juli 1988 adalah 48 orang dari 24.000 penduduk di kecamatan tersebut.
Maka prevalence rate TBC di Kecamatan tersebut adalah:
96 4
x 1.000 = atau 0,004
24.000 1000
Catatan:
(1) Prevalence rate bergantung pada dua faktor (a) ' berupa jumlah orang yang
telah sakit pada waktu, yang lalu dan (b) lamanya menderita sakit. Meskipun
hanya sedikit orang yang sakit dalam setahun, apabila penyakit tersebut
kronis, jumlahnya akan meningkat dari tahun ke tahun dan dengan demikian
prevalence secara relatif akan lebih tinggi dari incidence. ciclence.
Sehaliknya, apab-ila penyakitnya akut (lamanya sakit pendek baik oleh
karena penyembuhan ataupun oleh karena kematian) maka prevalence secara
relatif akan lebih rendah daripada incidence.
(2) Prevalence (terutama untuk penyakit kronis) penting untuk perencanaan
kebutuhan fasilitas, ;tenaga, dan pemberantasan berantasan penyakit.
Prevalence yang dibicarakan di atas ‘point’ prevalence. Jenis ukuran lain
yang juga digunakan ialah period prevalence.

4. Period Prevatensi
Jumlah kasus penyakit yang selama
periode
Period Prevalence = x 1000
Penduduk rata − rata dari periode
tersebut (′mid period population′ )

Contoh:
Pada periode tahun 1988 (Januari-Desember) di Kelurahan A terdapat 75
penderita malaria. Pada pertengahan tahun 1988 , penduduk kelurahan A tersebut
berjumlah 5.000 orang. Maka j period prevalence malaria di Kelurahan A adalah:
75 15
x 1.000 = atau 0,015
5.000 1000
Period prevalence terbentuk dari prevalence pada suatu titik waktu
ditambah kasus-kasus baru (insidence), dan kasuskasus yang kambuh selama
periode observasi.

5. Crude Death Rate (CDR)


Jumlah kematian di kalangan penduduk
CDR = di suatu daerah dalam satu tahun x 1000
Jumlah penduduk rata − rata (pertengahan
tahun di daerah dan tahun yang sama

Catatan:
(1) Jumlah penduduk di sini bukanlah merupakan penyebut yang sebenarnya,
oleh karena berbagai golongan umur mempunyai kemungkinan mati yang
berbeda-beda, sehingga perbedaan dalam susunan umur antara•beberapa
penduduk akan menyebabkan perbedaan dalam crude death rate meskipun
rate untuk berbagai golongan umur sama.
(2) Kekurangan-kekurangan dari crude death rate ini adalah (1) terlalu
menyederhanakan pola yang kbmpleks dari rate, dan (2) penggunaannya
dailam perbandingan angka kematian antarberbagai penduduk yang
mempunyai susunan umur yang berbeda-beda, tidak dapat secara langsung
melainkan harus melalui prosedur penyesuaian (adjustment).
(3) Meskipun mempunyai kekurangan-kekurangan tersebut di atas, crude death
rate ini digunakan secara luas oleh karena (a) sifatnya yang merupakan
‘summary rate’ dan (b) dapat dihitung dengan adanya informasi yang
minimal.
(4) Crude death rate digunakan untuk perbandingan-perbandingan menurut
waktu dan perbandingan-perbandingan internasional.
(5) Untuk penyelidikan epidemiologi akan diperlukan ‘summary rate’ yang tidak
mempunyai kelemahan-kelemahan, seperti crude rate. Rate seperti diperoleh
dengan mengadakan penyesuaian pada susunan umur dari berbagai penduduk
yang akan diperbandingkan angka kematiannya, dengan sendirinya
‘Adjustment rate’ ini adalah fiktif.
6. Age Specific Death Rate (Angka Kematian pada Umur Tertentu)
Sebagai contoh: age specific death rate pada golongan umur 20-30 tahun:
Jumlah kematian antara umur 20 − 30 tahun
Death Rate di suatu daerah dalam satu tahun
= x 1000
Age Specifik Jumlah penduduk berumur antara 20 −
30 tahun di daerah dan tahun yang sama

Kecamatan B jumlah penduduk yang berumur 20-30 bthun pada


pertengahan tahun 1988 adalah 1.000 orang. -Dari jumlah tersebut selama tahun
1988 meninggal 3 orang.
Jadi age specific rate adalah:
3 3
x 1.000 = atau 0,003
1.000 1000

7. Cause Disease Specific Death Rate (Angka Kematian Akibat Penyakit


Tertentu)
Sebagai contoh: Kematian karena TBC:
Jumlah kematian karena TBC di
Cause (TB) satu daerah dalam waktu satu tahun
= x 1000
Specifik Death Rate Jumlah penduduk rata − rata (pertengahan tahun)
pada daerah dan tahun yang sama

Pada pertengahan tahun 1988 di Kecamatan Manggar jumlah penduduknya


2.000. Selama tahun 1988 tersebut terdapat 2 orang yang meninggal karena TBC.
Maka kematian akibat TBC adalah:
3 1,5
x 1.000 = atau 0,0015
2.000 1000
Jenis-jenis rate lain infant mortality rate, neonatal mortality rate, mordibity
rate, dan sebagainya dapat dibaca di dalam buku-buku biostatistik dan demografi.

D. Epidemiologi Penyakit-penyakit Menular


1. Konsep Dasar Terjadinya Penyakit
Suatu penyakit timbul akibat dari beroperasinya berbagai faktor baik dari
agen, induk semang atau lingkungan. Pendapat ini tergambar di dalam istilah yang
dikenal luas dewasa ini, yaitu penyebab majemuk (‘multiple causation of disease’)
sebagai lawan dari penyebab tunggal (‘single causation’). Di dalam usaha para
ahli untuk mengumpulkan pengetahuan mengenai timbulnya penyakit, mereka
telah membuat model-model timbulnya penyakit dan atas dasar model-model
tersebut dilakukanlah eksperimen terkendali untuk menguji sampai di mana
kebenaran dari model-model tersebut.
Tiga model yang dikenal dewasa ini.ialah (1) segitiga epidemiologi (the
epidemiologic triangle), (2) jaring-jaring sebab akibat (the web of causation), dan
(3) roda (the wheel).
a. Segitiga Epidemiologi
Induk semang (Host)

Penyebab penyakit Lingkungan


(Agent) (Enviroment)

b. Jaring jaring sebab-akibat


Menurut model ini perubahan dari salah satu faktor akan mengubah
keseimbangan antara mereka, yang berakibat bertambah atau berkurangnya
penyakit yang bersangkutan.

Menurut model ini, suatu penyakit tidak bergantung pada satu sebab yang
berdiri sendiri melainkan sebagai akibat dari serangkaian proses ‘sebab dan
akibat’. Dengan demikian maka timbulnya penyakit dapat dicegah atau dihentikan
dengan memotong rantai pada berbagai titik.

c. Roda

Seperti halnya dengan model jaring-jaring sebab akibat, model roda


memerlukan identifikasi dari berbagai faktor yang berperan dalam timbulnya
penyakit dengan tidak begitu menekankan pentingnya agent. Di sini dipentingkan
hubungan antara manusia dengan lingkungan hidupnya. Besarnya peranan dari
masing-masing, lingkungan bergantung pada penyakit yang bersangkutan.
Sebagai contoh, peranan lingkungan sosial lebih besar dari yang lainnya pada
stres mental, peranan lingkungan pisik lebih, besar dari yang lainnya pada
‘sunburn’ peranan lingkungan biologis lebih besar dari yang lainnya pada
penyakir yang penularannya melalui vektor (vektor home disease) dan peranan
inti genetic lebih besar dari yang lainnya pada penyakit keturunan.
Dengan model-model tersebut di atas hendaknya ditunjukkan bahwa
pengetahuan yang lengkap mengenai, mekanisme-mekanisme terjadinya penyakit
tidaklah diperlukan : bagi usaha-usaha pemberantasan yang efektif. Oleh karena
banyaknya interaksi-interaksi ekologis maka seringkali kita dapat mengubah
penyebaran penyakit dengan mengubah aspek-aspek tertentu dari interaksi
manusia dengan lingkungan hidupnya, tanpa intervensi langsung pada penyebab
penyakit.
2. Penyakir Menular
Yang dimaksud dengan penyakit menular adalah penyakit yang dapat
ditularkan (berpindah dari orang yang satu ke orang yang lain, baik secara
langsung maupun melalui perantara). Penyakit menular ini ditandai dengan
adanya (hadirnya) agent atau penyebab penyakit yang hidup dan dapat berpindah.
Suatu penyakit dapat menular dari orang yang satu Ioepada yang lain karena 3
faktor berikut:
a. Agent (penyebab penyakit)
b. Host (induk semang)
c. Route of transmission (jalannya penularan).
Keadaan tersebut dapat dianalogikan seperti perkembangan suatu tanaman.
Agent diumpamakan sebagai biji, host sebagai tanah, dan route of transmission
sebagai iklim.

a. Agent-agent infeksi (Penyebab infeksi)


Makhluk hidup sebagai pemegang peranan penting,di dalam epidemiologi yang
merupakan penyebab penyakit dapat dikelompokkan menjadi:
1) Golongan virus, misalnya influenza, trachoma, cacar dan sebagainya.
2) Golongan riketsia, misalnya: tifus.
3) Golongan bakteri, misalnya disentri.
4) Golongan protozoa, misalnya malaria, filaria, schistosoma, dan sebagainya.
5) Golongan jamur yakni bermacam-macam panu, kurap, dan sebagainya.
6) Golongan cacing, yakni bermacam-macam cacing perut seperti ascaris
(cacing gelang), cacing kremi, cacing pita, cacing tambang, dan sebagainya.
Agar agent atau penyebab penyakit menular ini tetap hidup (survive), maka
perlu- persyaratan-persyaratan sebagai berikut:
1) Berkembang baik.
2) Bergerak atau berpindah dari induk semang.
3) Mencapai induk semang baru.
4) Menginfeksi induk semang baru tersebut.
Kemampuan agent penyakit,ini untuk tetap hidup pada lingkungan manusia
adalah suatu faktor penting dalam epidemiologi infeksi. Setiap bibit penyakit
(penyebab penyakit) mempunyai habitat sendiri-sendiri, sehingga ia dapat tetap
hidup. Dari sini timbul istilah reservoir, yang diartikan sebagai berikut: 1)
Habitat, tempat bibit penyakit tersebut hidup dan berkembang, 2) Survival,
tempat bibit penyakit tersebut sangat tergantung pada habitat, sehingga ia dapat
tetap hidup.
Reservoir tersebut dapat berupa manusia, binatang atau benda-benda mati.
Reservoir di dalam manusia
Penyakit-penyakit yang mempunyai reservoir dalam tubuh manusia antara lain,
campak (measles), cacar air (small pox), tifus (typho4, miningitis, gonoirhoea,
dan sifilis. Manusia sebagai reservoir dapat menjadi kasus yang aktif dan
carrtier.
Carrier
Carrier adalah orang yang mempunyai bibit penyakit dalam tubuhnya, tanpa
menunjukkan adanya gejala penyakit, tetapi orang tersebut dapat menularkan
penyakitnya kepada orang lain. Convalescant Carriers adalah orang masih
mengandung bibit penyakit setelah sembuh dari suatu penyakit.
Carriers adalah sangat penting dalam epidemiologi penyakitpenyakit polio,
tifus, meningococal meningitis dan amebiasis. Hal ini disebabkan karena:
a) Jumlah (banyaknya carriers jauh lebih banyak daripada orang yang
sakitnya).
b) Carriers maupun orang yang ditulari sama sekali tidak tahu bahwa mereka
menderita/kena penyakit.
c) Carriers tidak menurunkan kesehatannya karena masih dapat melakukan
pekerjaan sehari-hari.
d) Carriers mungkin sebagai sumber infeksi untuk jangka waktu yang relatif
lama.
Reservoir pada binatang
Penyakit-penyakit yang mempunyai reservoir pada binatang umumnya adalah
penyakit zoonosis. Zoonosis adalah penyakit pada binatang vertabrata yang
dapat menular pada manusia. Penularan penyakit-penyakit pada binatang ini
melalui berbagai cara, yakni.
1) Orang makan daging binatang yang menderita penyakit misalnya, cacing
pita.
2) Melalui gigitan binatang sebagai vektornya, misalnya pes melalui pinjal
tikus, malaria, filariasis, demam berdarah melalui gigitan nyamuk.
3) Binatang penderita penyakit langsung menggigit orang, misalnya rabies.
Benda-benda mati sebagai reservoir
Penyakit-penyakit yang mempunyai reservoir pada bendabenda mati pada
dasarnya adalah saprofit hidup dalam tanah. Pada umumnya bibit penyakit ini
berkembang biak pada iingkungan yang cocok untuknya. Oleh karena itu, bila
terjadi perubahan temperatur atau kelembaban dari kondisi di mana ia dapat
hidup, maka ia berkembang biak dan siap infektif. Contoh clostradium tetani
penyebab tetanus, C. otulinum penyebab keracunan makanan, dan sebagainya.

b. Sumber infeksi dan penyebaran penyakit


Yang dimaksud sumber infeksi adalah semua benda, termasuk orang atau
binatang yang dapat melewatkan/menyebabkan penyakit pada orang. Sumber
penyakit ini mencakup juga reservoir seperti telah dijelaskan sebelumnya.
Macam-macam penularan (mode of transmission)
Mode penularan adalah suatu mekanisme di mana agent/ penyebab penyakit
tersebut ditularkan dari orang ke orang lain, atau dari reservoir kepada induk
semang baru. Penularan ini melalui berbagai cara antara lain:
a) Kontak (contact)
Kontak di sini dapat terjadi kontak langsung maupun kontak tidak langsung
melalui benda-benda yang terkontaminasi. Penyakit-penyakit yang
ditularkan melalui kontak langsung ini pada umumnya terjadi pada
masyarakat yang hidup berjubel. Oleh karena itu, lebih cenderung terjadi di
kota daripada di desa yang penduduknya masih jarang.
b) Pernapasan (inhalation)
Yaitu penularan melalui udara/pernapasan. Oleh karena itu, ventilasi rumah
yang kurang, berjejalan (over crowding), dan tempat-tempat umum adalah
faktor yang sangat penting dalam epidemiologi penyakit ini. Penyakit yang
ditularkan melalui udara ini sexing disebut `air birne infection' (penyakit
yang ditularkan melalui udara).
c) Infeksi
Penularan melalui tangan, makanan atau minuman.
d) Penetrasi pada kulit
Hal ini dapat langsung oleh organisme itu sendiri. Penetrasi pada kulit
misalnya cacing tambang, melalui gigitan vektor misalnya malaria atau
melalui luka, misalnya tetanus.
e) Infeksi melalui placenta
Yakni infeksi yang diperoleh melalui placenta dari ibu penderita penyakit
pada waktu mengandung, misalnya sifilis dan toxoplasmosis.

c. Faktor induk semang (host)


Terjadinya suatu penyakit (infeksi) pada seseorang ditentukan oleh faktor-
faktor yang ada pada in(luk semang itu sendiri. Dengan kata lain penyakit-
penyakit dapat terjadi pada seseorang tergantung/ditentukan oleh kekebalan/
resistensi orang yang bersangkutan.

d. Pencegahan dan penanggulangan penyakit menular


Untuk pencegahan dan penanggulangan ini ada 3 pendekatan atau cara yang
dapat dilakukan:
a) Eliminasi reservoir (sumber penyakit)
Eliminasi reservoir manusia sebagai sumber penyebaran penyakit dapat
dilakukan dengan:
(1) Mengisolasi penderita (pasien), yaitu menempatkan pasien di tempat
yang khusus untuk mengurangi kontak dengan orang lain.
(2) Karantina, adalah membatasi ruang gerak penderita dan
menempatkannya bersama-sama penderita lain yang sejenis pada
tempat yang khusus didesain untuk itu. Biasanya dalam waktu yang
lama, misalnya karantina untuk penderita kusta.
b) Memutus mata rantai penularan
Meningkatkan sanitasi lingkungan dan higiene perorangan merupakan usaha
yang penting untuk memutuskan hubungan atau mata rantai penularan
penyakit menular.
c) Melindungi orang-orang (kelompok) yang rentan
Bayi dan anak balita merupakan kelompok usia yang rentan terhadap
penyakit menular. Kelompok usia yang rentan ini perlu perlindungan khusus
(specific protection) dengan imunisasi, baik imunisasi aktif maupun pasif.
Obat-obat prophylacsis tertentu juga dapat mencegah penyakit malaria
meningitis dan disentri baksilus.
Pada anak usia muda gizi yang kurang akan menyebabkan kerentanan pada anak
tersebut. Oleh sebab itu, meningkatkan gizi anak merupakan usaha pencegahan
penyakit infeksi pada anak.

E. Imunisasi
1. Pengertian
Imunisasi berasal dari kata imun, kebal atau resisten. Anak diimunisasi,
berarti diberikan kekebaln terhadap suatu penyakit terteritu. Anak kebal atau
resisten terhadap suatu penyakit, tetapi belum tentu kebal terhadap penyakit yang
lain.
2. Macam Kekebablan
Kekebalan terhadap suatu penyakit menular dapat digolongkan menjadi 2,
yakni:
a. Kekebalan tidak spesifik (non-spesifik resistance)
Yang dimaksud dengan faktor-faktor non-khusus adalah pertahanan tubuh pada
manusia yang secara alamiah dapat melindungi badan dari suatu penyakit,
misalnya, kulit, air mata, cairan-cairan khusus yang ke luar dari perut (usus),
adanya reflek-reflek tertentu misalnya batuk, bersin dan sebagainya.
b. Kekebalan spesifik (specipic resistance)
Kekebalan spesifik dapat diperoleh dari dua sumber, yakni:
(1) Genetik
Kekebalan yang berasal dari sumber,genetik ini biasanya berhubungan
dengan ras (warna kulit) dan kelompokkelompok etnis, misalnya orang
kulit hitam (Negro) cenderung lebih resisten terhadap penyakit malaria
jenis vivax. Contoh lain, orang yang mempunyai hemoglobin S lebih
resisten terhadap penyakit plasmodium Falciparum, daripada orang yang
mempunyai hemoglobin AA.
(2) Kekebalan yang diperoleh (acquaied immunity)
Kebebalan ini diperoleh dari luar tubuh anak atau orang yang
bersangkutan. Kekebalan dapat bersifat aktif, dan dapat bersifat pasif.
Kekebalan aktif dapat diperoleh setelah orang sembuh dari penyakit
tertentu. Misalnya, anak yang telah sembuh dari penyakit campak ia akan
kebal terhadap penyakit campak. Kekebalan aktif juga dapat diperoleh
melalui imunisasi, yang berarti ke dalam tubuhnya dimasukkan organisme
patogen (bibit) penyakit. Kekebalan pasif diperoleh dari ibunya melalui
plasenta. Ibu yang telah memperoleh kekebalan terhadap penyakit tertentu,
misalnya campak, malaria dan tetanus, maka anaknya (bayi) akan
memperoleh kekebalan terhadap penyakit tersebut untuk beberapa bulan
pertama. Kekebalan pasif juga dapat diperoleh melalui serum anti body
dari manusia atau binatang. Kekebalan pasif ini hanya bersifat sementara
(dalam waktu pendek saja).

c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kekebalan


Banyak faktor yang mempengaruhi kekebalan, antara lain umur, seks,
kehamilan, gizi, dan trauma.
a) Umur
Untuk beberapa penyakit tertentu pada bayi (anak balita), dan orang tua lebih
mudah terserang. Sedangkan pada usia sangat muda atau usia tua lebih rentan,
kurang kebal terhadap penyakit-penyakit menular tentu. Hal ini mungkin
disebabkan karena kedua kelompok umur tersebut daya tahan tubuhnya rendah.
b) Seks
Untuk penyakit-penyakit menular tententu seperti polio dan diphteia lebih
parah terjadi pada wanita daripada pria.
c) Kehamilan
Wanita yang sedang hamil pada umumnya lebih rentan terhadap penyakit-
penyakit menular tertentu misalnya penyakit polio, pnemonia, malaria serta
amebiosis. Sebaliknya untuk penyakit typhoid dan meningitis jarang terjadi
pada wanita hamil.
d) Gizi
Gizi yang baik pada umumnya akan meningkatkan resistensi tubuh terhadap
penyakit-penyakit infeksi, sebaliknya kekurangan gizi berakibat kerentanan
seseorang terhadap penyakit infeksi.
e) Trauma
Stres salah satu bentuk trauma merupakan penyebab kerentanan sesebrang
terhadap suatu penyakit infeksi tertentu.

Kekebalan masyarakat (heard immunity)


Kekebalan yang terjadi pada tingkat komuniti disebut ‘heard immunity’.
Apabila heard immunity di masyarakat randah, masyarakat tersebut akan mudah
terjadi wahah, oebaliknya apabila heard immunity tinggi, maka wabah jarang
terjadi pada masyarakat tersebut.

Masa inkubasi
Masa inkubasi adalah jarak waktu dari mulai terjadinya infeksi di dalam diri
orang sampai dengan munculnya gejala-gejala atau tanda-tanda penyakit pada
arang tersebut. Tiap-tiap penyakit infeksi mempunyai masa, inkubasi berbeda-
beda, mulai dari beberapa jam sampai beberapa tahun.

4 Jenis-jenis Imunisasi
Pada dasarnya ada 2 (dua) jenis imunisasi.
a) Imunisasi pasif (pasive immunization)
Imunisasi pasif ini adalah ‘inmuno globulin jenis imunisasi ini dapat mencegah
penyakit campak (measles) pada anakanak.
b) Imunisasi aktif (active immunization)
Imunisasi yang diberikan pada anak adalah:
- BCG, untuk penyakit TBC.
- DPT, untuk mencegah penyakit-penyakit diptheri, partusis dan tetanus.
- Polio, untuk mencegah penyakit poliomilitis.
- Campak, untuk mencegah penyakit campak (measles).
Imunisasi pada ibu hamil dan calon pengantin adalah imunisasi tetanus toxoid.
Imunisasi ini untuk mencegah terjadinya tetanus pada bayi yang dilabirkan.

5 Tujuan Program Imunisaai


a) Tujuan
Program imunisasi bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian
dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Pada saat ini penyakit-
penyakit tersebut adalah disentri, tetanus, batuk rejan (pertusis), campak
(measles), polio, dan tuberkulosis.
b) Sasaran
- Bayi di bawah umur 1 tahun (0 - 11 bulan)
- Ibu hamil (awal kehamilan - 8 bulan).
- Wanita usia subur (calon mempelai wanita).
- Anak sekolah dasar kelas I dan VI.
c) Pokok-pokok kegiatan
1) Pencegahan terhadap bayi (imuriisasi lengkap)
- Imunisasi BCG I
- Imunusasi DPT 3 x
- Imunisasi Polio 3 x
- Imunisasi campak 1 x
2) Pencegahan terhadap anak sekolah dasar - Imunisasi DT
- Imunisasi TT
3) Pencegahan lengkap terhadap ibu hamil dan PUS/calon mempelai wanita.
- Imunisasi TT 2 x
d) Jadwal pemberian imunisasi seperti terlihat pada bagan di halaman 42
e) Petunjuk pemberian vaksinasi diphteri, terutama pada anak SD, seperti yang
sudah ditentukan.

6) Pemantauan
Pemantauan harus dilakukan oleh semua petugas baik pimpinan program,
supevisor dan petugas paksinasi. Tujuan pemantauan untuk mengetahui:
(a) Sampai di mana keberhasilan kerja kita.
(b)Mengetahui permasalahan yang ada
(c) Hal-hal yang perlu dilakukan untuk memperbaiki program.
(d)Bantuan yang diharapkan oleh petugas tingkat bawah.
Hal-hal yang perlu dipantau (dimonitor)
(1)Coverage dan drop out.
(2)Pengelolaan vaksin dan colk chain.
(3)Pengamatan penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.
Dilihat dari waktu, maka pemantauan dapat dilakukan dalam:
(a) Pemantauan ringan
Pemantauan ringan memantau hal-hal sebagai berikut:
- Apakah pelaksanaan memantau sesuai dengan jadwal.
- Apakah vaksin cukup.
- Pengecekan lemari es setiap hari dan dicatat temperaturnya.
- Melihat apakah suhu lemari es normal.
- Hasil imunisasi dibandingkan dengan sasaran yang telah ditentukan
- Peralatan yang cukup untuk penyuntikan yang aman dan steril.
- Adakah di antara 6 penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi
dijumpai dalam seminggu.
(b)Pemantauan bulanan
- Jumlah bayi yang seharusnya diimunisasi setiap bulan:
target bayi 1 tahun
Target 1 bulan =
12
- Presentasi bayi yang mendapat imunisasi setiap bulan, minimal DPT I
Jumlah yang menerima DPT I
= 100% bayi yang telah diimunisasi
Target perbulan
- Dihitung presentasi bayi yang telah mendapat imunisasi lengkap (BCG 1x,
DPT 3x, Campak 1x)
- Keadaan stok vaksin bulan lalu, apa sesuai dengan kebutuhan.
- Adakah anak di wilayah kerja yang menderita penyakit yang dapat dicegah
dengan imunisasi.
Cara menghitung target per bulan dari penduduk, misal jumlah kelahiran per
tahun 3,1% dari jumiah penduduk.
3,1
Jumlah penduduk x = target bayi pertahun
100
Target bayi per tahun
Untuk target per bulan ∶
12
Cara memantau cakupan imunisasi dapat dilakukan melalui beberapa cara antara
lain :
- Cakupan dari bulan ke bulan dibandingkan dengan target, dapat digambarkan
masing-masing bulan dengan cara komulatif.
- Hasil cakupan per triwulan untuk masing-masing desa.
Untuk mengetahui keberhasilan program dapat denan melhat hal-hal sebagai
berikut :
- Bila garis pencapaian dalam a tahun terlihat antara 75% 100% dari target,
berarti program sangat berhasil.
- Bila garis pencapaian dalam a tahun terlihat antara 50% - 75% dari target,
berarti program cukup berhasil.
- Bila garis pencapaian dalam a tahun terliha,t di bawah 50% dari target, berarti
program belum berhasil.
Bila garis pencapaian dalam setahun terlihat di bawah 25% dari target berarti,
program sama sekali tidak berhasil. Untuk tingkat kabupaten dan provinsi, maka
penilaian diarahkan pada penduduk tiap kecamatan atau Dati II. Di samping itu,
pada kedua tingkat ini perlu memperhitungkan pula/memonitoring efisiensi
pemakaian vaksin.
Jadwal Pemberian Imunisasi:
Pemberian Imunisasi pada bayi, ibu hamil, anak kelas I dan kelas VI
sekolah dasar dan calon pengantin mengikuti ketentuan jadwal sebagai berikut:
Jadwal Pemberian Imunisasi
Selang waktu
Jenis Vaksin Jumlah Vaksinsi Sasaran
pemberian
1. BCG 1 kali - Bayi
0-11
2. DPT 3 kali 4 minggu Bayi
(DPT 1,2,3) 2-11 bulan
3. POLIO 3 kali 4 minggu 2-11bulan
(POL 1,2,3)
4. CAMPAK 1 kali - Anak
9-11 bulan
5. TT.IH 1 kali - - Bila ibu hamil
(booster) (booster)
pernah mene-
rima 'TT 2 x
pada waktu
calon pengantin
atau pada
kehamilan
sebelumnya
2 kali 4 minggu - Bila ibu hamil
belum pernah
divaksinasi TT,
diberikan 2 x
selama keha-
milan. Bila
pada waktu
kontak beri-
kutnya (saat
pemberian TT2
tetap diberikan
dengan maksud
untuk mem-
berikan per-
lindungan pada
kehamilan beri-
kutnya.
6. DT 2 kali 4 minggu Anak kelas I SD
wanita
7. TT 2 kali 4 minggu Anak kelas IV SD
wanita
8. TT Calon 2 kali 4 minggu Calon pengantin
sebelum akad
nikah (waktu
melapor / waktu
menerima nasihat
perkawinan)
Pengantin wanita (TT 1,2)

Petunjuk pemberian vaksinasi depteria dan tetanus pada anak sekolah dasar.
1. Anak kelas I SD
a) Yang pernah mendapat vaksinasi DPT sewaktu bayi diberi DT lx suntikan
dengan dosis 0,5 cc 1M/SC dalam.
b) Yang belum pernah mendapat vaksixlasi DPT sewaktu bayi, diberikan
vaksinasi DT sebanyak 2x suntikan @ 0,5 cc dengan interval minimal 4
minggu.
c) Apabila meragukan apakah waktu bayi memperoleh DPT atau tidak, maka
diberi 2x suntikan seperti pada butir b.
2. Anak kelas VI SD
a) Yang pernah mendapatkan vaksinasi DPT/DT, diberikan vaksinasi TT lx
suntikan @ 0,5 cc IM/SC dalam.
b) Yang belum pernah mendapatkan vaksinasi DPT/DT, diberikan vaksinasi
DT sebanyak 2x suntikan @ 0,5 cc dengan interval minimum 4 minggu.
c) Apabila meragukan apakah anak sudah memperoleh vaksinasi DPT/DT atau
tidak, maka diberi 2x seperti pada butir b.
PENDIDIKAN DAN PERILAKU KESEHATAN

A. Prinsip-prinsip Pendidikan Kesehatan


Semua petugas kesehatan telah mengakui bahwa pendidikan kesehatan itu
penting untuk menunjang programprogram kesehatan yang lain. Akan tetapi pada
kenyataannya, pengakuan ini tidak didukung oleh kenyataan. Artinya, dalam
program-program pelayanan kesehatan kurang melibatkan pendidikan kesehatan.
Meskipun program itu telah melibatkan pendidikan kesehatan, tetapi kurang
memberikan bobot. Argumentasi mereka adalah karena pendidikan kesehatan itu
tidak segera dan jelas memperlihatkan hash. Dengan kata lain, pendidikan
kesehatan itu tidak segera membawa manfaat bagi masyarakat dan yang mudah
dilihat atau diukur. Hal ini memang benar karena pendidikan merupakan
‘behavioral investmen’ jangka panjang. Hasil investmen pendidikan kesehatan
baru dapat dilihat beberapa tahun kemudian. Dalam waktu yang pendek
(immediate impact) Pendidikan kesehatan hanya menghasilkan perubahan atau
peningkatan pengetahuan masyarakat. Sedangkan peningkatan pengetahuan raja
belum akan berpengaruh langsung terhadap indikator kesehatan.
Pengetahuan kesehatan akan berpengaruh kepada perilaku sebagai hash
jangka menengah (intermediate impact) dari pendidikan kesehatan. Selanjutnya
perilaku kesehatan akan berpengaruh pada meningkatnya indikator kesehatan
masyarakat sebagai keluaran (outcome) pendidikan kesehatan. Hal ini berbeda
dengan program kesehatan yang lain, terutama program pengobatan yang dapat
langsung memberikan hasil (immediate impact) teradap penurunan kesakitan.
1. Peranan Pendidikan Kesehatan
Semua ahli kesehatan masyarakat dalam membicarakan status kesehatan
mengacu kepada H.L. Blum. Dari hasil penelitiannya di Amerika Serikat, sebagai
salah satu negara yang sudah maju. Belum menyimpulkan bahwa lingkungan
mempunyai andil yang paling besar terhadap kesehatan.
Kemudian berturut-turut disusul oleh perilaku mempunyai andil nomor dua,
pelayanan kesehatan. Bagaimana proporsi pengaruh faktor-faktor tersebut
terhadap status kesehatan di negara-negara berkembang, terutama di Indonesia,
belum ada penelitian. Apabila dilakukan penelitian mungkin perilaku mempunyai
konstribusi yang lebih besar. Penelitian penulis di Kecamatan Pasar Rebo Jakarta
Timur, tentang status gizi anak balita dengan menggunakan analisis stepwise,
terbukti variabel perilaku terseleksi, sedangkan variabel pendapatan per kapita
(ekonomi) tidak terseleksi. Meskipun variabel ekonomi di sini belum mewakili
seluruh variabel-variabel lain
Selanjutnya Lewrence Green menjelaskan bahwa perilaku itu
dilatarbelakangi atau dipengaruhi oleh tiga faktor pokok, yakni faktor prediposisi
(predisposing factors) faktor yang mendukung (enabling factors) dan faktor yang
memperkuat atau mendorong (reinforcing factors). Oleh sebab itu, pendidikan
kesehatan sebagai faktor usaha intervensi perilaku harus diarahkan pada ketiga
faktor pokok tersebut. Skema dari Blum dan Green tersebut dapat dimodifikasi
sebagai berikut (lihat Bagan 5.1. halaman 108)
Dari diagram tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa peranan
pendidikan kesehatan adalah melakukan intervensi faktor perilaku sehingga
perilaku individu, kelompok atau masyarakat sesuai dengan nilai-nilai kesehatan.
Dengan kata lain, pendidikan kesehatan adalah suatu usaha untuk menyediakan
kondisi psikologis dan sasaran agar mereka berperilaku sesuai dengan tuntunan
nilai-nilai kesehatan.
Bagan 5.1
Hubungan Status Kesehatan Perilaku, dan Pendidikan
Kesehatan
2. Konsep Pendidikan Kesehatan
Pendidikan kesehatan adalah suatu penerapan konsep pendidikan dalam
bidang kesehatan. Dilihat dari segi pendidikan, pendidikan kesehatan adalah suatu
pedagogik praktis atau praktik pendidikan. Oleh sebab itu konsep pendidikan
kesehatan adalah konsep pendidikan yang diaplikasikan pada bidang kesehatan.
Konsep dasar pendidikan adalah suatu proses belajar yang berarti dalam
pendidikan itu terjadi proses pertumbuhan, perkembangan, atau perubahan ke arah
yang lebih dewasa, lebih baik, dan lebih matang pada diri individu, kelompok atau
masyarakat. Konsep ini berangkat dari suatu asumsi bahwa manusia sebagai
makhluk sosial dalam kehidupannya untuk mencapai nilai-nilai hidup dalam -
masyarakat selalu memerlukan bantuan orang lain yang mempunyai kelebihan
(lebih dewasa, lebih pandai, lebih mampu, lebih tahu, dan sebaginya). Dalam
mencapai tujuan tersebut, seorang individu, kelompok atau masyarakat tidak
terlepas dari kegiatan belajar.
Kegaitan atau proses belajar dapat terjadi di mana saja, kapan saja, dan oleh
siapa saja. Seseorang dapat dikatakan belajar apabila dalam dirinya terjadi
perubahan, dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak dapat mengerjakan menjadi
dapat mengerjakan sesuatu. Namun demikian, tidak semua perubahan itu terjadi
karena belajar saja, misalnya, perkembangan anak dari tidak dapat berjalan
menjadi dapat berjalan. Perubahan ini terjadi bukan hasil proses belajar, tetapi
karena proses kematangan. Dari uraian singkat ini dapat disimpulkan bahwa
kegiatan belajar itu mempunyai ciri-ciri: belajar adalah kegiatan yang
menghasilkan perubahan pada diri individu, kelompok, atau masyarakat yang
sedang belajar, baik aktual maupun potensial. Ciri kedua dari hasil belajar adalah
bahwa, perubahan tersebut didapatkan karena kemampuan baru yang berlaku
untuk waktu yang relatif lama. Ciri ketiga adalah: bahwa perubahan itu terjadi
karena usaha dan didasari bukan karena kebetulan.
Bertitik tolak dari konsep pendidikan tersebut, maka konsep pendidikan
kesehatan itu juga proses belajar pada mdividu, kelompok atau masyarakat dam
tidak tahu tentang nilai-nilai kesehatan menjadi tahu, dari tidak mampu mengatasi
masalah-masalah kesehatannya sendiri menjadi mampu, dan lain sebaginya.
Berangkat dari konsep pendidikan kesehatan dan diagram 5.1 tersebut, pendidikan
kesehatan didefinisikan sebagai usaha atau kegiatan untuk membantu individu,
kelompok atau masyarakat dalam meningkatkan kemampuan (perilakunya/
mereka, untuk mencapai kesehatannya/ kesehatan nereka secara optimal.
Di samping konsep pendidikan kesehatan tersebut, para ahli pendidikan
kesehatan juga telah mencoba membuat batasan tentang pendidikan kesehatan
yang berbeda-beda, sesuai dengan konsep mereka masing-masing tentang
pendidikan. Batasanbatasan yang sering dijadikan acuan antara lain dari:
Nyswander, Stuart, Green, tim ahli WHO, dan lain sebaginya.

3. Proses Pendidikan Kesehatan


Seperti telah disebutkan si atas bahwa prinsip pokok pendidikan kesehatan
adalah proses belajar. Di dalam kegiatan belajar terdapat tiga persoalan pokok,
yakni persoalan masukan input), proses, dan persoalan keluaran (out put).
Persoalan masukan dalam pendidikan kesehatan adalah menyangkut sasaran
belajar (sasaran didik), yaitu individu, kelompok atau masyarakat yang sedang
belajar itu sendiri dengan berbagai latar belakangnya. Persoalan proses adalah
mekanisme dan interaksi terjadinya perubahan kemampuan (perilaku) pada diri
subjek belajar tersebut. Dalam proses ini terjadi pengaruh timbal balik antara
berbagai faktor, antara lain : subjek belajar, pengajar (pendidik atau fasilitator)
metode dan teknik belajar, alat bantu belajar, dan materi atau bahan yang
dipelajari. Sedangkan keluaran adalah hasil belajar itu sendiri, yaitu berapa
kemampuan atau perubahan perilaku dari subjek belajar. Proses kegiatan belajar
tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.
Bagan 5.2 Proses Belajar

Beberapa ahli pendidikan mengelompokan faktor-faktor yang


mempengaruhi proses belajar ini ke dalam 4 kelompok besar, yakni faktor materi
(bahan belajar), lingkungan, instrumental ini terdiri dari perangkat keras
(hardware) seperti perlengkapan belajar dan alat-alat peraga dan perangkat lunak
(softtware) seperti fasilitator belajar, metode belajar, organisasi, dan sebagainya.
Dalam pendidikan kesehatan subjek belajar ini dapat berupa individu kelompok
atau masyarakat.

B. Ruang Lingkup Pendidikan Kesehatan


Ruang lingkup pendidikan kesehatan dapat dilihat dari berbagai dimensi,
antara lain dimendi sasaran pendidikan, dimensi tempat pelaksanaan atau
aplikasinya, dan dimensi tingkat pelayanan kesehatan. Dari dimensi sasaranya,,
pendidikan kesehatan dapat dikelompokan menjadi 3 yakni:
a. Pendidikan kesehatan individual, dengan sasaran individu
b. Pendidikan kesehatan kelompok dengan sasaran kelompok.
c. Pendidikan kesehatan masyarakat dengan sasaran masyarakat luas.
Dimensi tempat pelaksanaannya, pendidikan kesehatan dapat berlangsung di
berbagai tempat, dengan sendirinya sasarannya berbeda pula, misalnya:
a. Pendidikan kesehatan di sekolah, dilakukan di sekolah dengan sasaran murid.
b. Pendidikan kesehatan di rumah sakit, dilakukan di rumah sakit-rumah sakit
dengan sasaran pasien atau keluarga pasien atau keluarga pasien, di Puskesmas
dan sebagainya.
c. Pendidikan kesehatan di tempat-tempat kerja dengan sasaran buruh atau
karyawan yang bersangkutan.
Dimensi tingkat pelayanan kesehatan, pendidikan kesehatan dapat dilakukan
berdasarkan lima tingkat penoegahan (five levels of prevention) dari (Leavel and
Clark), dan sebagai berikut :
a. Promosi kesehatan (Health promotion)
Dalam tingkat ini pendidikan kesehatan diperlukan misalnya dalam
peningkatan gizi, kebiasaan hidup, perbaikan sanitasi lingkungan higiene
perorangan, dan sebagainya.
b. Perlindungan khusus (Specific protection)
Dalam program imunisasi sebagai bentuk pelayan perlindungan khusus ini
pendidikan kesehatan sangat diperlukan terutama di negara-negara
berkembang. Hal ini karena kesadaran masyarakat tentang pentingnya
imunisasi sebagai perlindungan terhadap penyakit pada dirinya maupun pada
anak-anaknya masih rendah.
c. Diagnosis dini dan pengobatan segera (Early diagnosis and prampt treatment)
Dikarenakan rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap
kesehatan dan penyakit, maka sulit mendektesi penyakit-penyakit yang terjadi
dalam masyarakat. Bahkan kadang-kadang masyarakat ulit atau tidak mau
diperiksa dan diobati penyakitnya.. Hal ini akan menyebabkan masyarakat
tidak memperoleh pelayanan kesehatan yang layak. Oleh sebab itu, pendidikan
kesehatan sangat diperlukan pada tahap ini.
d. Pembatasan cacat (Disability limitation)
Oleh karena kurangnya pengertian dan kesadaran masyarakat tentang
kesehatan dan penyakit, maka sering masyarakat tidak melanjutkan
pengobatannya sampai tuntas. Dengan kata lain mereka tidak melakukan
pemeriksaan dan pengobatan yang komplit terhadap, penyakitnya. Pengobatan
yang tidak layak dan sempurna dapat mengakibatkan orang yang bersangkutan
cacat atau ketidakmampuan. Oleh karena itu, pendidikan kesehatan juga
diperlukan pada tahap
e. Rehabilitasi (rehabilitation)
Setelah sembuh dari suatu penyakit tertentu, kadangkadang orang menjadi
cacat. Untuk memulihkan cacatnya tersebut kadang-kadang diperlukan latihan-
latihan tertentu. Oleh karena kurangnya pengertian dan kesadaran orang
tersebut, ia tidak atau segan melakukan latihan-latihan yang dianjurkan. Di
samping itu, orang yang cacat setelah sembuh dari penyakit, kadang-kadang
malu untuk kembali ke masyarakat. Sering terjadi pula masyarakat tidak mau
menerima mereka sebagai angota masyarakat yang normal. Oleh sebab itu,
jelas pendidikan kesehatan diperlukan bukan saja untuk orang yang cacat
tersebut, tetapi juga perlu ; pendidikan kesehatan kepada masyarakat.
C. Sub Bidang Keilmuan Pendidikan Kesehatan
Dalam diagram 2.1 di atas telah diilustrasikan bahwa pendidikan kesehatan
sebagai usaha intervensi perilaku diarahkan pada 3 faktor pokok, yakni faktor-
faktor predisposisi, faktor-faktor pendukung, dan faktor-faktor pendorong.
Strategi dan pendekatan untuk ketiga faktor-faktor tersebut berbedabeda,
meskipun tidak secara eksplisit. Dari perbedaan strategi dan pendekatan tersebut
berakibat dikembangkannya mata ajaran-mata ajaran atau sub disiplin ilmu
sebagai bahan dari pendidikan kesehatan. Mata ajaran-mata ajaran tersebut
adalah:
1. Komunikasi
Komunikasi di sini, diperlukan untuk mengkondisikan faktor-faktor
predisposisi. Kurangnya pengetahuan, dan sikap masyarakat terhadap
kesehatan dan penyakit, adanya tradisi, kepercayaan yang negatif tentang
penyakit, makanan, lingkungan, dan sebagainya, mereka tidak berperilaku
sesuai dengan nilai-nilai kesehatan. Untuk itu maka diperlukan komunikasi,
pemberian informasiinformasi tentang kesehatan. Untuk berkomunikasi yang
efektif para petugas kesehatan perlu dibekali ilmu komunikasi, termasuk media
komunikasinya.
2. Dinamika Kelompok
Dinamika kelompok adalah salah satu metode pendidikan kesekatan yang
efektif untuk menyampaikan pesan-pesan kesehatan kepada sasaran
pendidikan. Oleh sebab itu, dinamika kelompok diperlukan dalam
mengkondisikan faktor-faktor predisposisi perilaku kesehatan, dan harus
dikuasai oleh setiap petugas kesehatan.
3. Pengembangan dan Pengorganisasian Masyarakat (PPM)
Untuk memperoleh perubahan perilaku yang diharapkan secara efektif
diperlukan faktor-faktor pendukung yang berupa sumber dan fasilitas yang
memadai. Sumber-sumber dan fasilitas-fasilitas tersebut sebagian harus digali
dan dikembangkan dari masyarakat itu sendiri. Masyarakat harus mampu untuk
mengorganisasi komunitasnya sendiri untuk berperan serta dalam penyediaan
fasilitas-fasilitas. Untuk itu maka para petugas kesehatan harus dibekali ilmu
Pengembangan dan Pengorganisasian Masyarakan (PPM).
4. Pengembangan Kesehatan Masyarakat Desa (PKDM)
PKMD pada dasarnya adalah bagian dari PPM, bedanya PKMD ini lebih
khusus, mengarah pada kesehatan. PKMD pada prinsipnya adalah wadah
partisipasi masyarakat dalam bidang pengengamban kesehatan. Filosofi dari
PKMD adalah pelayanan kesehatan untuk mereka, dari mereka, dan oleh
mereka. Di samping itu PKMD adalah bentuk operasional dari Primary Health
Care yang merupakan wahana untuk mencapai kesehatan internasional.
(Deklarasi Alma Atta). Oleh sebab itu, semua petugas kesehatan harus dibekali
dengan PKMD ini.
5. Pemasaran Sosial (Social Marketing)
Untuk memasyarakatkan produksi (products) kesehatan baik yang berupa
peralatan, fasilitas maupun jasa-jasa pelayanan perlu usaha pemasaran.
Pemasaran jasa-jasa pelayanan ini menurut istilah dunia bisnis disebut
pemasaran sosial (social marketing). Dalam rangka pendidikan kesehatan,
pemasaran sosial diperlukan untuk intervensi pada faktor-faktor pendukung
dan faktor-faktor pendorong dalam perubahan perilaku masyarakat.
6. Pengembangan Organisasi
Agar institusi kesehatan sebagai organisasi pelayanan kesehatan dan
organisasi-organisasi masyarakat mampu berfungsi sebagai faktor pendukung
dan pendorong perubahan perilaku kesehatan masyarakat, maka perlu
dinamisasi dari organisasi-organisasi tersebut. Oleh sebab itu, mahasiswa
sebagai calon petugas kesehatan harus menguasai ilmu pengembangan
organisasi (PO) tersebut.
7. Pendidikan dan Pelatihan (Diklat)
Semua petugas kesehatan, baik dilihat dari jenis dan tingkatnya pada
dasarnya adalah pendidik kesehatan (health educator). Di tengah-tengah
masyarakat petugas kesehatan adalah menjadi tokoh panutan di bidang
kesehatan. Untuk itu maka petugas kesehatan harus mempunyai sikap dan
perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai kesehatan. Demikian pula petugas-
petugas lain atau tokoh-tokoh masyarakat, juga merupakan panutan perilaku
(termasuk) perilaku kesehatan. Oleh sebab itu, mereka harus mempunyai sikap
dan perilaku yang positif, sikap dan perilaku petugas .kesehatan dan petugas-
petugas lain merupakan pendorong atau penguat perilaku sehat masyarakat.
Untuk mencapai hal tersebut petugas kesehatan dan para petugas lain harus
memperolah pendidikan dan pelatihan khusus tentang kesehatan atau
pendidikan kesehatan dan ilmu perilaku. Maka dari itu, mahasiswa kesehatan
harus memperoleh keterampilan pendidikan dan pelatihan.
8. Pengembangan Media (Teknologi Pendidikan Kesehatan)
Dalam proses pendidikan kesehatan, agar diperoleh hasil yang efektif
diperlukan alat bantu atau media pendidikan. Fungsi media dalam pendidikan
adalah sebagai alat peraga untuk menyampaikan informasi atau pesan-pesan
tentang kesehatan. Oleh sebab itu, mahasiswa kesehatan harus menguasai
teknik-teknik pengembangan media ini.
9. Perencanaan dan Eualuacsi Pendidikan Kesehatan
Untuk mencapai tujuan program dan kegiatan yang efektif dan efisien
diperlukan perencanaan dan evaluasi. Perencanaan dan evaluasi program
pendidikan kesehatan mempunyai kekhususan bila dibandingkan dengan
program dan evaluasi program-program kesehatan yang lain. Hal ini
disebabkan karena tujuan program pendidikan sebagai indikator keberhasila
dari program pendidikan kesehatan adalah perubahan pengetahuan, sikap dan
perilaku sasaran yang memerlukan pengukuran khusus. Oleh sebab itu,
meskipun mahasiswa telah memperoleh perencanaan dan evaluasi secara
umum; mereka perlu diberikan perencanaan dan evaluasi secara umum, mereka
perlu diberikan perencaan dan evaluasi pendidikan kesehatan.
10.Antropologi Kesehatan
Perilaku manusia dipengaruhi oleh lingkungannya, baik lingkungan fisik
maupun lingkungan sosial budaya. Untuk melakukan pendekatan perubahan
perilaku kesehatan, petugas kesehatan harus menguasai berbagai macam latar
belakang sosio budaya masyarakat yang bersangkutan. Oleh sebab itu, petugas
kesehatan harus menguasai antropologi, khususnya antropologi kesehatan.
11.Sosiologi Kesehatan
Latar belakang sosial, struktur sosial dan ekonomi mempunyai pengaruh
terhadap perilaku kesehatan masyarakat. Petugas kesehatan juga perlu
mendalami tentang aspek-aspek sosial masyarakat dan oleh karenanya mereka
harus menguasai sosiologi terutama sosiologi kesehatan.
12.Psikologi Sosial
Psikologi merupakan dasar dari ilmu perilaku. Untuk memahami perilaku
individu, kelompok maupun masyarakat, maka tidak lepas dari mempelajari
psikologi. Dalam memahami perilaku masyarakat, psikologi sosial sangat
diperlukan. Oleh sebab itu, semua petugas kesehatan harus menguasai
psikologi, terutama psikologi sosial.

D. Metode Pendidikan Perilaku


Pendidikan kesehatan pada hakikatnya adalah suatu kegiatan atau usaha
untuk menyampaikan pesan kesehatan kepada masyarakat, kelompok atau
individu. Dengan harapan bahwa dengan adanya pesan tersebut, masyarakat,
kelompok atau individu dapat memperoleh pengetahuan tentang kesehatan yang
lebih baik. Akhirnya pengetahuan tersebut diharapkan dapat berpengaruh terhadap
perilakunya. Dengan kata lain, dengan adanya pendidikan tersebut dapat
membawa akibat terhadap perubahan perilaku sasaran.
Pendidikan kesehatan juga sebagai suatu proses, di mana proses tersebut
mempunyai masukan (input) dan keluaran (output). Dalam suatu proses
pendidikan kesehatan yang menuju tercapainya tujuan pendidikan yakni
perubahan perilaku dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor yang mem-
pengaruhi suatu proses pendidikan di samping masuknya sendiri juga metode
materi atau pesannya, pendidik atau petugas yang melakukannya, dan alat-alat
bantu/alat peraga pendidikan. Agar dicapai suatu hasil yang optimal, maka faktor-
faktor tersebut harus bekerja sama secara harmonis. Hal ini berarti bahwa
masukan (sasaran pendidikan) tertentu harus menggunakan cara tertentu pula,
materi juga harus disesuaikan dengan sasaran, demikian juga alat bantu
pendidikan disesuaikan. Untuk sasaran kelompok, metodenya harus berbeda
dengan sasaran massa dan sasaran individual. Untuk sasaran massa pun harus
berbeda dengan sasaran individual dan sebagainya.
Di bawah ini akan diuraikan beberapa metode pendidikan individual,
kelompok, dan massa (public).
1. Metode Pendidikan Individual (Perorangan)
Dalam pendidikan kesehatan, metode pendidikan yang bersifat individual
ini digunakan untuk membina perilaku baru, atau seseorang yang telah mulai
tertarik pada suatu perubahan perilaku atau inovasi. Misalnya, seorang ibu yang
baru saja menjadi akseptor atau seorang ibu hamil yang sedang tertarik terhadap
imunisasi TT karena baru saja memperoleh/ mendengarkan penyuluhan kesehatan.
Pendekatan yang digunakan agar ibu tersebut menjadi akseptor lestari atau ibu
hamil tersebut segera minta imunisasi, maka harus didekati secara perorangan.
Perorangan di sini tidak hanya berarti kepada ibu-ibu yang bersangkutan, tetapi
mungkin juga kepada suami atau keluarga dari ibu tersebut. Dasar digunakannya
pendekatan individual ini disebabkan karena setiap orang mempunyai masalah
atau alasan yang berbeda-beda sehubungan dengan penerimaan atau perilaku baru
tersebut. Agar petugas kesehatan mengetahui dengan tepat, serta membantunya
maka perlu menggunakan metode (cara ini).
Bentuk dari pendekatan ini, antara lain:
1) Bimbingan dan penyuluhan (guidance and counseling).
Dengan cara ini kontak antara klien dengan petugas lebih intensif, setiap
masalah yang dihadapi oleh klien dapat dikorek dan dibantu penyelesaiannya.
Akhirnya klien tersebut akan dengan sukarela dan berdasarkan kesadaran,
penuh pengertian akan menerima perilaku tersebut (mengubah perilaku).
2) Wawancara (Interview)
Cara ini sebenarnya merupakan bagian dari bimbingan dan penyuluhan.
Wawancara antara petugas kesehatan dengan klien untuk menggali informasi
mengapa ia tidak atau belum menerima perubahan, ia tertarik atau belum
menerima perubahan, untuk mengetahui apakah perilaku yang sudah atau yang
akan diadopsi itu belum mempunyai dasar pengertian dan kesadaran yang kuat.
Apabila belum maka perlu penyuluhan yang lebih mendalam lagi.
2. Metode Pendidikan Kelompok
Dalam memilih metode pendidikan kelompok, harus mengingat besarnya
kelompok sasaran serta tingkat pendidikan formal pada sasaran. Untuk kelompok
yang besar, metodenya akan lain dengan kelompok kecil. Efektivitas suatu metode
akan tergantung pula pada besarnya sasaran pendidikan.
1) Kelompok Besar:
Yang dimaksud kelompok besar di sini adalah apabila peserta penyuluhan itu
lebih dari 15 orang. Metode yang baik untuk kelompok besar itu, antara lain:
a) Ceramah: Metode ini baik untuk sasaran yang berpendidikan tinggi maupun
rendah. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menggunakan metode
caramah :
1) Persiapan
Ceramah yang berhasil apabila penceramah itu sendiri menguasai
materi dari yang akan diceramahkan. Untuk itu penceramah harus
mempersiapkan diri dengan :
- Mempelajari materi dengan sistematika yang baik, lebih baik lagi
kalau disusun dalam diagram atau skema.
- Menyiapkan alat-alat bantu pengajaran misalnya, makalah singkat,
slide, transparan, sound sistem, dan sebagainya.
2) Pelaksanaan
Kunci dari keberhasilan pelaksanaan ceramah adalah apabila
penceramah tersebut dapat menguasai sasaran ceramah. Untuk dapat
menguasai sasaran (dalam arti psikologis), penceramah dapat
melakukan hal-hal sebagai berikut:
- Sikap dan penampilan yang meyakinkan, tidak boleh bersikap ragu-
ragu, dan gelisah.
- Suara hendaknya cukup keras dan jelas.
- Pandangan harus tertuju ke seluruh peserta ceramah.
- Berdiri di depan (di pertengahan), tidak boleh duduk.
- Menggunakan alat-alat bantu lain (AVA) semaksimal mungkin.
b) Seminar
Metode ini hanya cocok untuk sasaran kelompok besar dengan pendidikan
menengah ke atas. Seminar adalah suatu penyajian (presentasi) dari satu ahli
atau beberapa ahli tentang suatu topik yang dianggap penting dan biasanya
dianggap hangat di masyarakat.

2) Kelompok Kecil
Apabila peserta kegiatan itu kurang dari 15 orang biasanya kita sebut
kelompok kecil. Metode-metode yang cocok untuk , kelompok kecil ini antara
lain:
a) Diskusi Kelompok
Dalam diskusi kelompok agar semua anggota kelompok dapat bebas
berpartisipasi dalam diskusi, maka formasi duduk para peserta diatur
sedemikian rupa sehingga mereka dapat berhadap-hadapan atau saling
memandang satu sama lain, misalnya, dalam bentuk lingkaran atau segi
empat. Pimpinan diskusi/penyuluh juga duduk di antara peserta, sehingga
tidak menimbulkan kesan ada yang lebih tinggi. Tepatnya mereka dalam
taraf yang sama, sehingga tiap anggota kelompok ada kebebasan/
keterbukaan untuk mengeluarkan pendapat.
Untuk memulai diskusi, pemimpin diskusi harus memberikan pancingan-
pancingan berupa pertanyaanpertanyaan atau kasus sehubungan dengan
topik yang dibahas. Agar terjadi diskusi yang hidup, pemimpin kelompok
harus mengarahkan dan mengatur sedemikian rupa sehingga semua orang
dapat kesempatan berbicara, sehingga tidak menimbulkan dominasi dari
salah seorang peserta.
b) Curah Pendapat (Brain Storming)
Metode ini merupakan modifikasi metode diskusi kelompok. Prinsipnya
sama dengan metode dikusi kelompok. Bedanya pada permulaan pemimpin
kelompok memancing dengan satu masalah, kemudian tiap peserta
memberikan jawaban-jawaban atau tanggapan (cara pendapat). Tanggapan
atau jawaban-jawaban tersebut ditampung dan ditulis dalam flipchart atau
papan tulis.
Sebelum semua peserta mencurahkam pendapatnya,, tidak boleh diberi
komentar oleh`siapa pun. Baru setelah semua anggota mengeluarkan
pendapatnya, tiap anggota dapat mengomentari, dan. akhirnya terjadilah
diskusi.
c) Bola Salju (Snow Balling)
Kelompok dibagi dalam pasangan=pasangan (1 pasang 2 orang). Kemudian
dilontarkan suatu pertanyaan atau masalah, setelah lebih kurang 5 menit tiap
2'pasang bergabung menjadi satu. Mereka tetap mendiskusikan masalah
tersebut dan mencari kesimpulannya. Kemuthan tiap 2 pasang yang sudah
beranggotakan 4 orang ini bergabung lagi dengan pasangan lainnya dan
demikian seterusnya akhirnya menjadi diskusi seluruh kelas.
d) Kelompok Kecil-kecil (Bruzz Group)
Kelompok langsung dibagi menjadi kelompok kecil-kecil (bruzz group)
kemudian dilontarkan suatu permasalahan sama/tidak dengan kelompok lain
dan masing-masing kelompok mendiskusikan masalah tersebut. Selanjutnya
kesimpulan dari tiap kelompok tersebut dan dicari kesimpulannya.
e) Role Play (Memainkan Peranan)
Dalam metode ini beberapa anggota kelompok ditunjuk sebagai pemegang
peranan tertentu untuk memainkan peranan, misalnya, sebagai dokter
Pukesmas, sebagai perawat atau bidan, dan sebagainya, sedangkan anggota
yang lain sebagai pasien atau anggota masyarakat. Mereka meragakan
misalnya bagaimana interaksi/ komunikasi sehari-hari dalam melaksanakan
tugas.
f) Permainan Simulasi (Simulation Game)
Metode ini merupakan gambaran antara role play dengan diskusi kelompok.
Pesan-pesan kesehatan disajikan dalam beberapa bentuk permainan seperti
permainan monopoli. Cara memainkannya persis seperti bermain monopoli
dengan menggunakan dadu, gaco (penunjuk arah), selain beberan atau
papan main. Beberapa orang menjadi pemain, dan sebagian lagi berperan
sebagai narasumber.
3. Metode Pendidikan Massa (Public)
Metode pendidikan (pendekatan) massa untuk meng4nsumsikan pesan-
pesan kesehatan yang ditujukan kepada masyarakat yang sifatnya massa atau
publik, maka cara yang paling tepat adalah pendekatan massa. Oleh karena
sasaran pendidikan ini bersifat umum dalam arti tidak menbedakan golongan
umur, jenis kalamin, pekerj,aan, status sosial ekonomi, tingkat pendidikan, dan
sebagianya maka pesan-pesan kesehatan yang akan disampaikan harus dirancang
sedemikian rupa sehingga dapat ditangkap oleh massa tersebut. Pendekatan ini
biasanya digunakan: untuk menggugah ‘awareness’ atau kesadaran masyarakat
terhadap suatu inovasi, belum begitu diharapkan sampai dengan perubahan
perilaku. Namun demikian bila sudah. sampai berpengaruh terhadap perubahan
perilaku adalah wajar.
Pada umumnya bentuk pendekatan (cara), massa iru tidak langsung.
Biasanya menggunakan atau melalui media massa. Beberapa contoh metode- ini,
antara, lain.
1) Ceramah umum (public speaking
Pada acara-acara tertentu, misalnya pada Hari Kesehatan Nasional Menteri
Kesehatan atau pejabat kesehatan lainnya berpidato di hadapan massa untuk
menyampa,ikan pesanpesan kesehatan. Safari KB juga merupakan salah satu
bentuk pendekatan massa.
2) Pidato-pidato diskusi tentang kesehatan melalui media elektronik baik tv
maupun radio, pada hakikatnya adalah bentuk pendidikan kesehatan massa.
3) Simulasi, dialog antara pasien dengan dokter atau petugas kesehatan lainnya
tentang suatu penyakit atau masalah kesehatan melalui tv atau radio juga
merupakan pendekatan pendidikan kesehatan massa. Contoh: ‘Praktik Dokter
Herman Susilo’ di televisi.
4) Sinetron ‘Dokter Sartika’ di dalam acara tv juga merupakan bentuk pendekatan
pendidikan kesehatan massa.
5) Tulisan-tulisan di majalah atau koran, baik dalam bentuk artikel maupun tanya
jawab/konsultasi tentang kesehatan antara penyakit juga merupakan bentuk
pendekatan pendidikan kesehatan massa.
6) Bill Board, yang dipasang di pinggir jalan, spanduk, poster, dan sebagainya
juga bentuk pendidikan kesehatan massa. Contoh: Billboard ‘Ayo ke
Posyandu’.

E. Alat Bantu dan Media Pendidikan Kesehatan


1. Alat Bantu (Peraga)
a. Pengertian
Yang dimaksud alat bantu pendidikan adalah alat-alat yang digunakan oleh
pendidik dalam menyampaikan bahan pendidikan/pengajaran. Alat bantu ini lebih
sering disebut ‘alat peraga’, karena berfungsi untuk membantu dan meragakan
sesuatu dalam proses pendidikan pengajaran.
Alat peraga ini disusun berdasarkan prinsip bahwa pengetahuan yang ada
pada setiap manusia itu diterima atau ditangkap melalui panca indra. Semakin
banyak indra yang digunakan untuk menerima sesuatu maka semakin banyak dan
semakin jelas pula pengertian/pengetahuan yang diperoleh. Dengan kata lain, alat
peraga ini dimaksudkan untuk mengerahkan indra sebanyak mungkin kepada
suatu objek, sehingga mempermudah persepsi.
Seseorang atau masyarakat di dalam proses pendidikan dapat memperoleh
pengalaman/pengetahuan melalui berbagai macam alat bantu pendidikan. Tetapi
masing-masing alat mempunyai intensitas yang berbeda-beda dalam membantu
persepsi , seseorang. Elgar Dale membagi alat peraga tersebut menjadi 11 macam,
dan sekaligus menggambarkan tingkat intensitas tiap-tiap alat tersebut dalam
suatu kerucut. (lihat Gambar 5.1 halaman 123)
Dari gambar kerucut tersebut dapat dilihat bahwa lapisan yang paling dasar
adalah benda asli dan yang paling atas adalah 'kata-kata'. Hal ini berarti bahwa
dalam proses pendidikan, benda ash mempunyai intensitas yang paling tinggi
untuk mempersepsi bahan pendidikan/pengajaran. Sedangkan penyampaian bahan
yang hanya dengan kata-kata saja sangat
Gambar 5.1
Kerucut Edgar Dale

kurang efektif atau intensitasnya paling rendah. Jelas bahwa menggunakan alat
peraga adalah salah satu prinsip proses pendidikan.
Dalam rangka pendidikan kesehatan masyarakat sebagai konsumer juga
dapat dilibatkan dalam pembuatan alat peraga (alat bantu pendidikan). Untuk itu,
petugas kesehatan berperan untuk membimbing dan membina, bukan hanya dalam
hal kesehatan mereka sendiri, tetapi juga memotivasi mereka sehingga
meneruskan informasi kesehatan kepada anggota masyarakat yang lain.
Alat peraga akan membantu dalam melakukan penyuluhan, agar pesan-
pesan kesehatan dapat disampaikan lebih jelas, dan masyarakat sasaran dapat
menerima pesan orang tersebut dengan jelas dan tepat. Dengan alat peraga orang
dapat lebih mengerti fakta kesehatan yang dianggap rumit, sehingga mereka dapat
menghargai betapa bernilainya kesehatan itu bagi kehidupan.

b. Faedah Alat Bantu Pendidikan


Secara terperinci, faedah alat peraga antara lain:
1) Menimbulkan minat sasaran pendidikan.
2) Mencapai sasaran yang lebih banyak.
3) Membantu mengatasi hambatan bahasa.
4) Merangsang sasaran pendidikan untuk melaksanakan pesan-pesan kesehatan.
5) Membantu sasaran pendidikan untuk belajar lebih banyak dan tepat.
6) Merangsang sasaran pendidikan untuk meneruskan pesanpesan yang diterima
kepada orang lain.
7) Mempermudah penyampaian bahan pendidikan/informasi oleh para
pendidik/pelaku pendidikan.
8) Mempermudah penerimaan informasi oleh sasaran pendidikan. Seperti
diuraikan di atas bahwa pengetahuan yang ada pada seseorang diterima melalui
indra. Menurut penelitian para ahli indra, yang paling banyak menyalurkan
pengetahuan ke dalam otak adalah ‘mata’. Kurang lebih 75% sampai 87% dari
pengetahuan manusia diperoleh/disalurkan melalui mata. Sedangkan 13%
sampai 25% lainnya tersalur melalui indra yang lain. Dari sini dapat
disimpulkan bahwa alat-alat visual lebih mempermudah cara penyampaian dan
penerimaan informasi atau bahan pendidikan.
9) Mendorong keinginan orang untuk mengetahui, kemudian lebih mendalami,
dan akhirnya memberikan pengertian yang lebih baik. Orang yang melihat
sesuatu yang memang diperlukan akan menimbulkan perhatiannya. Dan apa
yang dilihat dengan penuh perhatian akan memberikan pengertian baru
baginya, yang merupakan pendorong untuk melakukan/memakai sesuatu yang
baru tersebut.
10) Membantu menegakkan pengertian yang diperoleh. Di dalam menerima
sesuatu yang baru, manusia mempunyai kecenderungan untuk melupakan atau
lupa. Untuk mengatasi hal tersebut, ‘AVA’ akan membantu menegakkan
pengetahuan-pengetahuan yang telah diterima oleh manusia, sehingga apa yang
diterima, akan lebih lama tinggaUdisimpan di-dalam ingatan.

c. Macam-macam Alat Bantu Pendidikan


Pada garis besarnya, hanya ada dua macam alat bantu pendidikan (alat peraga):
1. Alat Bantu Lihat (Visual Aids)
Alat ini berguna dalam membantu menstimulasi indra mata (penglihatan) pada
waktu terjadinya proses pendidikan. Alat ini ada 2 bentuk:
a. Alat yang diproyeksikan, misalnya: slide, film, film strip, dan sebagainya.
b. Alat-alat yang tidak diproyeksikan:
1) dua dimensi, gambar peta, bagan, dan sebagainya.
2) tiga dimensi misal, bola dunia, boneka, dan sebagainya.
2. Alat-alat Bantu Dengar (Audio Aids)
Ialah alat yang dapat membantu menstimulasi indra pendengar, pada waktu
proses penyampaian bahan pendidikan/pengajaran. Misalnya: piringan hitam,
radio, pita suara, dan sebagainya.
3. Alat Bantu Lihat-Dengar, seperti: Televisi dan video cassette.
Alat-alat bantu pendidikan ini lebih dikenal dengan Audio Visual Aids (AVA).

Di samping pembagian tersebut, alat peraga juga dapat dibedakan menjadi


dua macam menurut pembuatannya dan penggunaannya.
a) Alat peraga yang ‘complicated’ (rumit), seperti film, film stripe slide, dan
sebagainya yang memerlukan listrik dan proyektor.
b) Alat peraga yang sederhana, yang mudah dibuat sendiri, dengan bahan-bahan
setempat yang mudah diperoleh seperti: bambu, karton, kaleng bekas, kertas
koran, dan sebagainya. Beberapa contoh alat peraga yang sederhana yang dapat
dipergunakan di berbagai tempat, misalnya:
(1) Di rumah tangga seperti: leaflet, model buku bergambar, benda-benda yang
nyata seperti buah-buahan, sayur-sayuran, dan sebagainya.
(2) Di kantor-kantor dan sekolah-sekolah, seperti papan tulis, flipchart, poster,
leaflet, buku cerita dan bergambar, kotak gambar gulung, boneka, dan
sebagainya.
(3) Di masyarakat umum: misalnya poster, spanduk, leaflet, flanel graph, boneka
wayang, dan sebagainya.
Ciri-ciri alat peraga kesehatan yang sederhana antara lain:
(1) Mudah dibuat.
(2) Bahan-bahannya dapat diperoleh dari bahan-bahan lokal.
(3) Mencerminkan kebiasaan, kehidupan dan kepercayaan setempat.
(4) Ditulis (digambar) dengan sederhana.
(5) Bahasa setempat dan mudah dimengerti oleh masyarakat.
(6) Memenuhi kebutuhan-kebutuhan petugas kesehatan dan masyarakat.

d. Sasaran yang Dicapai Alat Bantu Pendidikan


Menggunakan alat peraga harus didasari pengetahuan tentang sasaran
pendidikan yang akan dicapai alat peraga tersebut.
1) Individu atau kelompok.
2) Kategori-kategori sasaran seperti: kelompok umur, pendidikan, pekerjaan, dan
sebagainya.
3) Bahasa yang mereka gunakan.
4) Adat-istiadat serta kebiasaan.
5) Minat dan perhatian.
6) Pengetahuan dan pengalaman mereka tentang pesan yang akan diterima.
Tempat memasang (menggunakan) alat-alat peraga:
1) Di dalam keluarga; antara lain dalam kesempatan kunjungan rumah, waktu
menolong persalinan merawat bayi, atau menolong orang sakit, dan
sebagainya.
2) Di masyarakat, misalnya seperti pada waktu perayaan hari-hari besar, arisan-
arisan, pengajaran dan sebagainya, serta dipasang juga di tempat-tempat umum
yang strategis.
3) Di instansi-instansi, antara lain: Puskesmas, rumah sakit, kantor-kantor,
sekolah-sekolah, dan sebagainya.
Alat-alat peraga tersebut sedapat mungkin dapat dipergunakan oleh:
a) Petugas-petugas Puskesmas/Kesehatan.
b) Kader Kesehatan.
c) Guru-guru sekolah dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya.
d) Pamong Desa.

e. Merencanakan dan Menggunakan Alat Peraga


Biasanya kita menggunakan alat peraga sebagai pengganti objek-objek yang
nyata sehingga dapat memberikan pengalaman yang tidak langsung bagi sasaran.
Dalam menggunakan alat peraga untuk memperjelas pesan-pesan yang
disampaikan kepada masyarakat, benda-benda yang sebenarnya mempermudah
masyarakat untuk mengerti serta memahaminya, karena alat peraga seperti ini
merupakan benda-benda yang mereka jumpai sehari-hari. Oleh karena itu,
sebelum mempergunakan alat peraga lain sebagai pengganti benda-benda ash,
perlu ditelaah terlebih dahulu apakah penggunaan benda-benda ash
memungkinkan atau tidak. Sebaliknya kalau tidak ada benda-benda ash, maka
dibuatlah alat peraga dari benda-benda pengganti.
Sebelum membuat alat-alat peraga kita harus merencanakan dan memilih
alat peraga yang paling tepat untuk digunakan. Untuk itu perlu diperhatikan antara
hal-hal sebagai berikut:
Tujuan yang Hendak Dicapai
a) Tujuan pendidikan. Tujuan ini dapat untuk:
(1) Mengubah pengetahuan/pengertian, pendapat dan konsep-konsep.
(2) Mengubah sikap dan persepsi.
(3) Menanamkan tingkah laku/kebiasaan yang baru.
b) Tujuan penggunaan alat peraga.
(1) Sebagai alat bantu dalam latihan/penataran/pendidikan.
(2) Untuk menimbulkan perhatian terhadap sesuatu masalah.
(3) Untuk mengingatkan sesuatu pesan/informasi.
(4) Untuk menjelaskan fakta-fakta, prosedur, dan tindakan.
Perencanaan dan pemilihan alat peraga ditentukan sebagian besar oleh tujuan
ini.
Kalau tujuannya itu rumit maka mungkin diperlukan lebih dari satu macam
alat peraga. Kemampuan penyampaian pesan masing-masing alat peraga berbeda-
beda, misalnya leaflets dan pamplets lebih banyak berisi pesan, sedangkan poster
lebih sedikit pesan-pesan,,tetapi bersifat pemberitahuan dan propaganda. Dengan
sendirinya alat peraga yang dipergunakan untuk meningkatkan pengetahuan, akan
berbeda dengan alat peraga yang dipergunakan untuk meningkatkan keterampilan.
Persiapan Penggunaan Alat Peraga
Semua alat peraga yang dibuat berguna sebagai alat bantu belajar dan tetap
harus diingat bahwa alat ini dapat berfungsi mengajar dengan sendirinya. Kita
harus mengembangkan keterampilan dalam memilih, mengadakan alat peraga
secara tepat sehingga mempunyai hasil yang maksimal.
Misalnya, satu set flip chart tentang makanan sehat untuk bayi/anak-anak
harus diperlihatkan satu per satu secara berurutan sambil menerangkan tiap-tiap
gambar beserta pesannya. Kemudian diadakan pembahasan sesuai dengan
kebutuhan pendengarnya agar terjadi komunikasi dua arah. Apabila kita tidak
mempersiapkan diri dan hanya mempertunjukkan lembaran-lembaran flip chart
satu demi satu tanpa menerangkan atau membahasnya maka peggunaan flip chart
tersebut mungkin gagal.
Sebelum penggunaan alat peraga sebaiknya petugas mencoba terlebih
dahulu alat-alat tersebut, yang masih dalam bentuk kasar sebelum diproduksi
seluruhnya. Gunanya tes percobaan ini adalah untuk mengetahui sejauh mana alat
peraga tersebut dapat dimengerti oleh sasaran pendidikan.
Contoh: Sepergi poster yang akan dipergunakan menunjang program
keluarga berencana dibuat desain/rancangan beberapa buah. Lalu ini dicobakan
pada sekelompok kecil sasaran yang dianggap mempunyai ciritciri yang sama
dengan sasaran pada umumnya, kepada siapa poster ini nantinya ditujukan. Salah
satu desain yang paling mudah dipahami, terutama yang dapat dikenal pesan-
pesannya dengan baik itulah yang akan diproduksi dan diperbanyak.
Cara melakukan percobaan tersebut antara lain:
1) Merencanakan terlebih dahulu tes pendahuluan untuk suatu media yang akan
diproduksi.
2) Menentukan pokok-pokok yang akan dipesankan dalam media tersebut.
3) Menentukan gambar-gambar pokok atau simbol-simbol yang disesuaikan
dengan ciri-ciri sasaran.
4) Memperlihatkan alat peragalmedia tersebut kepada sasaran tercoba.
5) Menanyakan kepada sasaran tercoba:
a) Apakah mereka mengalami kesukaran dalam memahami pesan-pesan, kata-
kata dan gambar-gambar dalam media tersebut.
b) Menanyakan hal-hal yang tidak dimengerti.
c) Mencatat komentar-komenter dari sasaran tercoba.
d) Melakukan perbaikan alat peraga (media) tersebut.
6) Mendiskusikan alat yang dibuat tersebut dengan orang lain (teman-teman) atau
dengan para ahli.

Cara Memperguncxkhn Alat Peraga


Cara mempergunakan alat peraga sangat tergantung pada alatnya.
Menggunakan gambar sudah barang tentu lain dengan menggunakan film strip
dan sebagainya. Di samping itu juga dipertimbangkan faktor sasaran
pendidikannya. Untuk masyarakat yang buta huruf akan lain dengan masyarakat
yang telah berpendidikan. Dan yang lebih penting bagi alat yang digunakan harus
menarik, sehingga menimbulkan minat para pesertanya. Pada waktu
menggunakan AVA hendaknya memperhatikan hal-hal berikut:
a) Senyum adalah lebih baik, untuk mencari simpati.
b) Tunjukkan perhatian, bahwa hal yang akan dibicarakan/ diragakan itu, adalah
penting.
c) Pandangan mata hendaknya ke seluruh pendengar, agar
mereka tidak kehilangan kontrol dari pihak pendidik.
d) Nada suara hendakriya ditukar-tukar agar pendengar tidak bosan dan tidak
mengantuk.
e) Ikut sertakan para peserta/pendengar, berikan kesempatan untuk memegang
dan atau mencoba alat-alat tersebut.
f) Jika perlu berilah-selingan humor, guna menghidupkan suasana dan
sebagainya.

2. Media Pendidikan Kesehatan


Yang dimaksud dengan media pendidikan kesehatan pada hakikatnya adalah
alat bantu pendidikan (AVA). Disebut media pendidikan karena alat-alat tersebut
merupakan alat saluran (channel) untuk menyampaikan kesehatan karena alatalat
tersebut digunakan untuk mempermudah penerimaan pesan-pesan kesehatan bagi
masyarakat atau ‘klien’. Berdasarkan fungsinya sebagai penyaluran pesan-pesan
kesehatan (media), media ini dibagi menjadi 3, yakni:
a) Media cetak
b) Media elektronik
c) Media papan (bill board)

a. Media cetak
Media cetak sebagai alat untuk menyampaikan pesanpesan kesehatan sangat
bervariasi antara lain:
1) Booklet: ialah suatu media untuk menyampaikan pesanpesan kesehatan dan
bentuk buku, baik tulisan maupun gambar.
2) Leaflet: ialah bentuk penyampaian informasi atau pesanpesan kesehatan
melalui lembaran yang dilipat. Isi informasi dapat dalam bentuk kalimat
maupun gambar, atau kombinasi.
3) Flyer (selebaran): ialah seperti leaflet tetapi tidak dalam bentuk lipatan.
4) Flip chart (lembar balik): media penyampaian pesan atau informasi-informasi
kesehatan dalam bentuk lembar balik. Biasanya dalam bentuk buku, di mana
tiap lembar (halaman) berisi gambar peragaan dan di baliknya berisi kalimat
sebagai pesan atau informasi berkaitan dengan gambar tersebut.
5) Rubrik atau tulisan-tulisan pada surat kabar atau majalah, mengenai bahasan
suatu masalah kesehatan, atau hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan.
6) Poster ialah bentuk media cetak berisi pesan-pesan/informasi kesehatan yang
biasanya ditempel di tembok-tembok, di tempat-tempat umum, atau di
kendaraan umum.
7) Foto yang mengungkapkan informasi-informasi kesehatan.

b. Media elektronik
Media elektronik sebagai sarana untuk menyampaikan pesan-pesan atau
informasi-informasi kesehatan dan jenisnya berbeda-beda, antara lain:
a) Televis: penyampaian pesan atau informasi-informasi kesehatan melalui media
televisi dapat dalam bentuk: sandiwara, sinetron, forum diskusi atau tanya
jawab sekitar masalah kesehatan, pidato (ceramah), TV, sport, quiz atau cerdas
cermat, dan sebagainya.
b) Radio: penyampaian informasi atau pesan-pesan kesehatan melalui radio juga
dapat berbentuk macam-macam antara lain: obrolan (tanya jawab), sandiwara
radio, ceramah, radio spot, dan sebagainya.
c) Video: penyampaian informasi atau pesan-pesan kesehatan dapat melalui
video.
d) Slide: slide juga dapat digunakan untuk menyampaikan pesan atau informasi-
informasi kesehatan.
e) Film strip juga dapat digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan kesehatan.

c. Media papan (Bill board)


Papan (Bill board) yang dipasang di tempat-tempat umum dapat dipakai dan
diisi dengan pesan-pesan atau informasiinformasi kesehatan. Media papan di sini
juga mencakup pesanpesan yang ditulis pada lembaran seng yang ditempel pada
kendaraan-kendaraan umum (bus dan taksi).

F. Perilaku Kesehatan
1. Konsep Peritaku
Sebelum kita bicarakan tentang perilaku kesehatan, terlebih dahulu akan
dibuat suatu batasan terlebih dahulu tentang perilaku itu sendiri. Perilaku dari
pandangan biologis merupakan suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang
bersangkutan. Jadi, perilaku manusia pada hakikatnya adalah suatu aktivitas dari
manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, perilaku manusia itu mempunyai bentangan
yang sangat luas, mencakup berjalan, berbicara, bereaksi, berpakaian, dan lain
sebagainya. Bahkan kegiatan internal (internal activity) seperti berpikir, persepsi
dan emosi juga merupakan perilaku manusia. Untuk kepentingan kerangka
analisis dapat dikatakan bahwa perilaku adalah apa yang dikerjakan-olsh
organisme tersebut, baik dapat diamati secara langsung atau secara tidak
langsung.
Perilaku dan gejala perilaku yang tampak pada kegiatan organisme tersebux
dipengaruhi baik oleh faktor genetik (keturunan) dan lingkungan. Secara umum
dapat dikatakan bahwa faktor genetik dan lingkungan itu merupakan penentu dari
perilaku makhluk hidup termasuk perilaku manusia. Hereditas atau faktor
keturunan adalah konsepsi dasar atau modal untuk perkembangan perilaku
makhluk hidup itu untuk selanjutnya. Sedangkan lingkungan adalah kondisi atau
lahan untuk perkembangan perilaku tersebut. Suatu mekanisme pertemuan antara
kedua faktor dalam rangka terbentuknya perilaku disebut proses belajar (learning
process).
Skinner (1938) seorang ahli perilaku mengemukakan bahwa perilaku
merupakan hasil hubungan antara perangsang (stimulus) dan tanggapan dan
respons. Ia membedakan adanya dua respons, yakni:
1. Respondent respos atau reflexive respons, ialah respons yang ditimbulkan oleh
rangsangan-rangsangan tertentu. Perangsangan-perangsangan yang semacam
ini disebut eliciting stimulasi, karena menimbulkan respons-respons yang
relatif tetap, misalnya, maknanan lezat menimbulkan keluarnya air liur, cahaya
yang kuat akan menyebabkan mata tertutup, dan sebagainya. Pada umumnya
perangsangan-perangsangan yang demikian ini mendahului respons yang
ditimbulkan.
Respondent respons (respondent behaviour) ini mencakup juga emosi respons
atau emotional behaviour. Emotional respons ini timbul karena hal yang
kurang mengenakkan organisme yang bersangkutan, misalnya menangis karena
sedih atau sakit, muka merah (tekanan darah meningkat karena marah).
Sebaliknya hal-hal yang mengenakkan pun dapat menimbulkan perilaku
emosional misalnya, tertawa, berjingkat-jingkat karena senang, dan
sebagainya.
2. Operant respons atau instrumental respons, adalah respons yang timbul dan
berkembangnya diikuti oleh perangsang tertentu. Perangsang semacam ini
disebut reinforcing stimuli atau reinforcer, karena perangsangan-perangsangan
tersebut memperkuat respons yang telah dilakukan oleh organisme. Oleh sebab
itu, perangsang yang demikian itu mengikuti atau memperkuat sesuatu perilaku
tertentu yang telah dilakukan. Apabila seorang anak belajar atau telah
melakukan suatu perbuatan, kemudian memperoleh hadiah, maka ia akan
menjadi lebih giat belajar atau akan lebih baik lagi melakukan perbuatan
tersebut. Dengan kata lain responsnya akan lebih intensif atau lebih kuat lagi.
Di dalam kehidupan sehari-hari, respons jenis pertama (respondent respons
atau respondent behaviour) sangat terbatas keberadaannya pada manusia. Hal ini
disebabkan karena hubungan yang pasti antara stimulus dan respons kemungkinan
untuk memodifikasikannya adalah sangat kecil. Sebaliknya operant respons atau
instrumental behaviour merupakan bagian terbesar dari perilaku manusia, dan
kemungkinan untuk memodifikasi sangat besar, bahkan dapat dikatakan tidak
terbatas. Fokus teori Skinner ini adalah pada respons atau jenis perilaku yang
kedua ini.

Prosedur pembentukan perilaku


Seperti telah disebutkan di atas sebagian besar perilaku manusia adalah
operant respons. Untuk itu, untuk membentuk jenis respons atau perilaku ini perlu
diciptakan adanya suatu kondisi tertentu, yang disebut operant conditioning.
Prosedur pembentukan perilaku dalam operant conditioning ini menurut Skinner
adalah sebagai berikut:
1. Melakukan identifikasi tentang hal-hal yang merupakan penguat atau reinforcer
berupa hadiah-hadiah atau rewards bagi perilaku yang akan dibentuk.
2. Melakukan analisis untuk mengidentifikasi komponenkomponen kecil yang
membentuk perilaku yang dikehendaki. Kemudian komponen-komponen
tersebut disusun dalam urutan yang tepat untuk menuju kepada terbentuknya
perilaku yang dimaksud.
3. Dengan menggunakan secara urut komponen-komponen itu sebagai tujuan-
tujuan sementara, mengidentifikasi reinforcer atau hadiah untuk masing-
masing komponen tersebut.
4. Melakukan pembentukan perilaku, dengan menggunakan urutan komponen
yang telah tersusun itu. Apabila komponen pertama telah dilakukan, maka
hadiahnya diberikan, hal ini akan mengakibatkan komponen atau perilaku
(tindakan) tersebut cenderung akan sering dilakukan. Kalau perilaku ini sudah
terbentuk, kemudian dilakukan komponen (perilaku) yang kedua yang diberi
hadiah (komponen pertama tidak memerlukan hadiah lagi), demikian berulang-
ulang, sampai komponen kedua terbentuk. Setelah itu dilanjutkan dengan
komponen ketiga, keempat dan selanjutnya sampai seluruh perilaku yang
diharapkan terbentuk.

Sebagai ilustrasi, misalnya dikehendaki agar anak mempunyai kebiasaan


menggosok gigi sebelum tidur. Untuk berperilaku seperti ini maka anak tersebut
harus:
a. Pergi ke kamar mandi sebelum tidur.
b. Mengambil sikat dan odol.
c. Mengambil air dan berkumur.
d. Melaksanakan gogok gigi.
e. Menyimpan sikat gigi dan odol.
f. Pergi ke kamar tidur.
Kalau dapat diidentifikasi hadiah-hadiah (tidak berupa uang) bagi masing-
masing komponen perilaku tersebut (komponen a - e), maka akan dapat dilakukan
pembentuk kebiasan tersebut. Contoh di atas adalah suatu penyederhanaan
prosedur pembentukan perilaku melalui operant conditoining. Di dalam
kenyataannya prosedur itu banyak dan bervariasi sekali dan lebih kompleks
daripada contoh di atas. Teori Skinner ini sangat besar pengaruhnya terutama di
Amerika Serikat. Konsep-konsep ‘behaviour control’, ‘behaviour therapy’, dan
‘behaviour modification’ yang dewasa ini berkembang adalah bersumber dari
teori ini.

Bentuk perilaku
Secara lebih operasional perilaku dapat diartikan suatu respons organisme
atau seseorang terhadap rangsangan (stimulus) dari luar objek tersebut. Respons
ini berbentuk dua macam, yakni:
1. Bentuk pasif adalah respons internal, yaitu yang terjadi di dalam diri manusia
dan tidak secara langsung dapat terlihat oleh orang lain, misalnya berpikir,
tanggapan atau sikap batin dan pengetahuan. Misalnya, seorang ibu tahu bahwa
imunisasi itu dapat mencegah suatu penyakit tertentu, meskipun ibu tersebut
tidak membawa anaknya ke Puskesmas untuk diimunisasi. Contoh lain,
seorang yang menganjurkan orang lain untuk mengikuti keluraga berencana
meskipun ia sendiri tidak ikut keluarga berencana. Dari kedua contoh tersebut
terlihat bahwa si ibu telah tahu gunanya, imunisasi, dan contoh kedua orang
tersebut telah mempunyai sikap yang positif untuk mendukung keluarga
berencana, meskipun mereka sendiri belum melakukan secara konkret terhadap
kedua hal tersebut. Oleh sebab itu perilaku mereka ini masih terselubung
(covert behaviour).
2. Bentuk aktif, yaitu apabila perilaku itu jelas dapat diobservasi secara langsung.
Misalnya pada kedua contoh tersebut, si ibu sudah membawa anaknya ke
Puskesmas atau fasilitas kesehatan lain untuk imunisasi, dan pada kasus kedua
sudah ikut keluarga berencana dalam arti sudah menjadi akseptor KB. Oleh
karena perilaku mereka ini sudah tampak dalam bentuk tindakan nyata, maka
disebut ‘overt behaviour’.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengetahuan dan sikap
merupakan respons seseorang terhadap stimuslus atau rangsangan yang masih
bersifat terselubung, dan disebut ‘covert behaviour’. Sedangkan tindakan nyata
seseorang sebagai respons seseorang terhadap stimulus (practice) adalah ‘overt
behaviour’.

2 Perilaku Kesehatan
Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respons ieseorang
(organisme) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem
pelayanan-kesehatan, makanan, serta lingkungan.
Batasan ini mempunyai dua unsur pokok, yakni respons dan stimulus atau
perangsangan.
Respons atau reaksi manusia, baik bersifat pasif : (pengeahuan, persepsi,
dan sikap), maupun bersifat aktif (tindakan yang nyata atau praktis). Sedangkan
stimulus atau rangsangan di sini terdiri 4 unsur pokok, yakni: sakit dan penyakit,
sistem pelayanan kesehatan dan lingkungan. Dengan demikian secara I+ebih
terinci perilaku.kesehatan itu mencakup:
1. Perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit, yaitu bagaimana manusia
berespons, baik secara pasif (mengetahui, bersikap, dan mempersepsi penyakit
dan rasa sakit yang ada pada dirinya dan di luar dirinya, maupun aktif
(tindakan) yang dilakukan sehubungan dengan penyakit dan sakit tersebut.
Perilaku terhadap sakit dan penyakit ini dengan sendirinya sesuai dengan
tingkat-tingkat pencegahan penyakit, yakni:
a. Perilaku sehubungan dengan peningkatan dan pemeliharaan kesehatan
(health promotion behaviour). Misalnya makan makanan yang bergizi,
olahraga, dan sebagainya.
b. Perilaku pencegahan penyakit (health prevention behaviour), adalah respons
untuk melakukan pencegahan penyakit, misalnya: tidur memakai kelambu
untuk mencegah gigitan nyamuk malaria, imunisasi, dan sebagainya.
Termasuk juga perilaku untuk tidak menularkan penyakit kepada orang lain.
c. Perilaku sehubungan dengan pencarian pengobatan (health seeking
behaviour), yaitu perilaku untuk melakukan atau mencari pengobatan,
misalnya berusaha mengobati sendiri pengakitnya, atau mencari pengobatan
ke fasilitas-fasilitas kesehatan modern (puskesma, mantri, dokter praktik,
dan sebagainya), maupun ke fasilitas kesehatan tradisional (dukun, sinshe,
dan sebagainya).
d. Perilaku, sehubungan dengan pemulihan kesehatan (health rehabilitation
behaviour), yaitu perilaku yang berhubungan dengan usaha-usaha
pemulihan kesehatan setelah sembuh dari suatu penyakit. Misalnya
melakukan diet, mematuhi anjuran dokter dalam rangka pemulihan
kesehatannya.
2. Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan, adalah respons seseorang
terhadap sistem pelayanan kesehatan baik sistem pelayanan kesehatan modern
maupun tradisional. Perilaku ini menyangkut respons terhadap fasilitas
pelayanan, cara pelayanan, petugas kesehatan, dan obat-obatannya yang
terwujud dalam pengetahuan, persepsi, sikap dan penggunaan fasilitas, petugas,
dan obat-obatan.
3. Perilaku terhadap makanan (nutrition behaviour), yakni respons seseorang
terhadap makanan sebagai kebutuhan vital bagi kehidupan. Perilaku ini
meliputi pengetahuan, persepsi, sikap dan praktik kita terhadap makanan serta
unsur-unsur yang terkandung di dalamnya (zat gizi), pengolahan makanan, dan
sebagainya, sehubungan kebutuhan tubuh kita.
4. Perilaku terhadap lingkungan kesehatan (environmental health behaviour)
adalah respons seseorang terhadap lingkungan sebagai determinan kesehatan
manusia. Lingkup perilaku ini seluas lingkup kesehatan lingkungan itu sendiri.
Perilaku ini antara lain mencakup:
a. Perilaku sehubungan dengan air bersih, termasuk di dalamnya komponen,
manfaat, dan penggunaan air bersih untuk kepentingamkesehatan.
b. Perilaku sehubungan dengan pembuangan air kotor, yang menyangkut segi-
segi higiene pemeliharaan teknik, dan penggunaannya.
c. Perilaku sehubungan dengan limbah, baik limbah padat maupun limbah cair.
Termasuk di dalamnya sistem pembuangan sampah dan air limbah, serta
dampak pembuatan limbah yang tidak baik.
d. Perilaku sehubungan dengan rumah yang sehat, yang meliputi ventilasi,
pencahayan, lantai, dan sebagainya.
e. Perilaku sehubungan dengan pembersihan sarang sarang nyamuk (vektor)
dan sebagainya.

Menurut Ensiklopedi Amerika perilaku diartikan sebagai suatu aksi dan


reaksi organisme terhadap lingkungannya. Hal ini berarti bahwa perilaku baru
terjadi apabila ada sesuatu yang diperlukan untuk menimbulkan reaksi, yakni yang
disebut rangsangan. Dengan demikian, maka tentu rangsangan tertentu akan
menghasilkan reaksi atau perilaku tertentu.
Robert Kwick (1974) menyatakan bahwa perilaku adalah tindakan atau
perbuatan suatu organisme yang dapat diamati dan bahkan dapat dipelajari.
Perilaku tidak sama dengan sikap. Sikap adalah hanya suatu kecenderungan untuk
mengadakan tindakan terhadap suatu objek, dengan suatu cara yang menyatakan
adanya tanda-tanda untuk menyenangi atau tidak menyenangi objek tersebut.
Sikap hanyalah sebagian dari perilaku manusia.
Dalam proses pembentukan dan atau perubahan, perilaku dipengaruhi oleh
beberapa faktor yang berasal dari dalam dan dari luar individu itu sendiri. Faktor-
faktor tersebut antara lain: susunan saraf pusat, persepsi, motivasi, emosi, proses
belajar, lingkungan, dan sebagainya. Susunan saraf pusat memegang peranan
penting dalam perilaku manusia, karena merupakan sebuah bentuk perpindahan
dari rangsangan yang masuk menjadi perbuatan atau tindakan. Perpindahan ini
dilakukan oleh susunan saraf pusat dengan unit-unit dasarnya yang disebut
neuron. Neuron memindahkan energi-energi dalam impuls-impuls saraf. Impuls-
impuls saraf indra pendengaran, penglihatan, pembauan, pencicipan dan perabaan
disalurkan dari tempat terjadinya rangsangan melalui impuls-impuls saraf ke
susunan saraf pusat.
Perubahan-perubahan perilaku dalam diri seseorang dapat diketahui melalui
persepsi. Persepsi adalah sebagai pengalaman yang dihasilkan melalui panca
indra. Setiap orang mempunyai persepsi yang berbeda, meskipun mengamati
terhadap objek yang sama. Motivasi yang diartikan sebagai suatu dorongan untuk
bertindak mencapai suatu tujuan juga dapat terwujud dalam bentuk perilaku.
Perilaku juga dapat timbul karena emosi. Aspek psikologis yang mempengaruhi
emosi berhubungan erat dengan keadaan jasmani, yang pada hakikatnya
merupakan faktor turunan (bawaan). Manusia dalam mencapai kedewasaan semua
aspek tersebut di atas akan berkembang sesuai dengan hukum perkembangan.
Belajar diartikan sebagai suatu proses perubahan perilaku yang dihasilkan
dari praktik-praktik dalam lingkungan kehidupan. Belajar adalah suatu perubahan
perilaku yang didasari oleh perilaku terdahulu (sebelumnya). Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa perilaku itu dibentuk melalui suatu proses dan
berlangsung dalam interaksi manusia dengan lingkungannya. Faktor-faktor yang
mempengaruhi terbentuknya perilaku dibedakan menjadi dua, yakni faktor-faktor
intern dan ekstern.
Faktor intern mencakup: pengetahuan, kecerdasan, persepsi, emosi,
motivasi, dan sebagainya yang berfungsi untuk mengolah rangsangan dari luar.
Sedangkan faktor ekstern meliputi lingkungan sekitar, baik fisik maupun non-fisik
seperti: iklim, manusia, sosial-ekonomi, kebudayaan, dan sebagainya.
Dari uraian di atas tampak jelas bahwa perilaku merupakan konsepsi yang
tidak sederhana, sesuatu yang kompleks, yakni suatu pengorganisasian proses-
proses psikologis oleh seseorang yang memberikan predisposisi untuk melakukan
respons menurut cara tertentu terhadap suatu objek.
Becker (1979) mengajukan klasifikasi perilaku yang berhubungan dengan
kesehatan (health related behaviour) sebagai berikut:
a. Perilaku kesehatan (health behaviour), yaitu hal-hal yang berkaitan dengan
tindakan atau kegiatan seseorang dalam memelihara dan meningkatkan
kesehatannya. Termasuk juga tindakan-tindakan untuk mencegah penyakit,
kebersihan perorangan, memilih makanan, sanitasi, dan sebagainya.
b. Perilaku sakit (the sick role behaviour), yakni segala tindakan atau kegiatan
yang dilakukan oleh individu yang merasa sakit, untuk merasakan dan
mengenal keadaan kesehatannya atau rasa sakit. Termasuk di sini juga
kemampuan atau pengetahuan individu untuk mengidentifikasi penyakit,
penyebab penyakit, serta usa)la-usaha mencegah penyakit tersebut.
c. Perilaku peran sakit (the sidk role behaviour), yakni segala tindakan atau
kegiatan yang dilakukan oleh indivifu yang sedang sakit untuk memperoleh
kesembuhan. Perilaku ini di samping berpengaruh terhadap
kesehatan/kesakitannya sendiri, juga berpengaruh terhadap orang lain. terutama
kepada anak-anak yang belum mempunyai kesadaran dan tanggung jawab
terhadap kesehatannya.
Saparinah Sadli (1982) menggambarkan individu dengan lingkungan sosial
yang saling berpengaruh dalam suatu diagram sebagai berikut:
Interaksi Perilaku Kesehatan

Keterangan:
1. Perilaku kesehatan individu; sikap dan kebiasaan individu yang erat kaitannya
dengan lingkungan.
2. Lingkungan keluarga; kebiasaan-kebiasaan tiap anggota keluarga mengenai
kesehatan.
3. Lingkungan terbatas; tradisi, adat-istiadat dan kepercayaan masyarakat
sehubungan dengan kesehatan.
4. Lingkungan umum; kebijakan-kebijakan pemerintah di bidang kesehatan.
Undang-undang kesehatan, program-program kesehatan, dan sebaginya.

Setiap individu sejak lahir tekait dalam suatu kelompok, terutama kelompok
keluarga. Dalam keterkaitannya dengan kelompok ini membuka kemungkinan
untuk dipengaruhi dan mempengaruhi anggota-anggota kelompok lain. Oleh
karena pada setiap kelompok senantiasa berlaku aturan-aturan dan norma-norma
sosial tertentu, maka perilaku tiap individu anggota kelompok berlangsung dalam
suatu jaringan normatif. Demikian pula perilaku individu tersebut terhadap
masalahmasalah kesehatan.
Kosa dan Robertson mengatakan bahwa perilaku kesehatan seseorang
cenderung dipengaruhi oleh kepercayaan orang yang bersangkutan terhadap
kondisi kesehatan yang diinginkan, dan kurang mendasarkan pada pengetahuan
biologi. Memang kenyataannya demikian, setiap individu mempunyai cara yang
berbeda dalam mengambil tindakan penyembuhan atau pencegahan berbeda,
meskipun gangguan kesehatan sama. Pada umumnya tindakan yang diambil
berdasarkan penilaian individu atau mungkin dibantu oleh orang lain terhadap
gangguan tersebut. Penilaian semacam ini menunjukkan bahwa gangguan yang
dirasakan individu menstimulasikan dimulainya suatu proses sosial psikologis.
Proses semacam ini menggambarkan berbagai tindakan yang dilakukan si
penderita mengenai gangguan yang dialami, dan merupakan bagian integral
interaksi sosial pada umumnya. Proses ini mengikuti suatu keteraturan tertentu
yang dapat diklasifikasikan dalam 4 bagian, yakni:
a. Ada suatu penilaian dari orang yang bersangkutan terhadap suatu gangguan
atau ancaman kesehatan. Dalam hal ini persepsi seseorang yang bersangkutan
atau orang lain (anggota keluarga) terhadap gangguan tersebut berperan.
Selanjutnya, gangguan dikomunikasikan kepada orang lain (anggota keluarga),
dan mereka yang diberi informasi tersebut menilai dengan kriteria subjektif.
b. Timbulnya kecemasan karena adanya persepsi terhadap gangguan tersebut.
Disadari bahwa setiap gangguan kesehatan akan menimbulkan kecemasan baik
bagi yang bersangkutan maupun bagi anggota keluarga lainnya. Bahkan
gangguan tersebut dikaitkan dengan ancaman adanya kematian. Dari ancaman-
ancaman ini akan menimbulkan bermacam-macam bentuk perilaku.
c. Penerapan pengetahuan orang yang bersangkutan mengenai hal-hal yang
berhubungan dengan masalah kesehatan, khususnya mengenai gangguan yang
dialami. Oleh karena gangguan kesehatan terjadi secara teratur dalam suatu
kelompok tertentu, maka setiap orang dalam kelompok tersebut dapat
menghimpun pengetahuan tentang berbagai macam gangguan kesehatan yang
mungkin terjadi. Dari sini I sekaligus orang menghimpun berbagai cara
mengenai gangguan kesehatan itu, baik secara tradisional maupun secara
modern. Berbagai cara penerapan pengetahuan baik dalam menghimpun
berbagai macam gangguan maupun cara-cara mengatasinya tersebut
merupakan pencerminan dari berbagai bentuk perilaku.
d. Dilakukannya tindakan manipulatif untuk meniadakan atau menghilangkan
kecemasan atau gangguan tersebut. Dalam hal ini baik orang awam maupun
tenaga kesehatan melakukan manipulasi tertentu dalam arti melakukan sesuatu
untuk mengatasi gangguan kesehatan. Dari sini lahirlah pranata-pranata
kesehatan baik trandisional maupun modern.

G. Domain Perilaku Kesehatan


Perilaku manusia itu sangat kompleks dan mempunyai ruang lingkup yang
sangat luas. Benyamin Bloom (1908) seorang ahli psikologi pendidikan membagi
perilaku itu ke dalam 3 domain (ranah/kawasan), meskipun kawasan-kawasan
tersebut tidak mempunyai batasan yang jelas dan tegas. Pembagian kawasan ini
dilakukan untuk kepentingan tujuan pendidikan. Bahwa dalam tujuan suatu
pendidikan adalah mengembangkan atau meningkatkan ketiga domain perilaku
tersebut, yang terdiri dari: a) ranah kognitif (cognitive domain), b) ranah afektif
(affective domain), dan c) ranah psikomotor (psychomotor domain).
Dalam perkembangan selanjutnya oleh para ahli pendidikan, dan untuk
kepentingan pengukuran hasil pendidikan, ketiga domain ini diukur dari:
a. pengetahuan peserta didik terhadap materi pendidikan yang diberikan
(knowledge).
b. sikap atau tanggapan peserta didik terhadap materi pendidikan yang diberikan
(attitude).
c. praktik atau tindakan yang dilakukan oleh peserta didik sehubungan dengan
materi pendidikan yang diberikan (practice).
Terbentuknya suatu perilaku baru, terutama pada orang dewasa dimulai
pada domain kognitif, dalam arti subjek tahu terlebih dahulu terhadap stimulus
yang berupa materi atau objek di luarnya.
Sehingga menimbulkan pengetahuan baru pada subjek tersebut, dan
selanjutnya menimbulkan respons batin dalam bentuk sikap si subjek terhadap
objek yang diketahui itu. Akhirnya rangsangan yakni objek yang telah diketahui
dan disadari sepenuhnya tersebut akan menimbulkan respons lebih jauh lagi, yaitu
berupa tindakan (action) terhadap atau sehubungan dengan stimulus atau objek
tadi. Namun demikian, dalam kenyataan stimulus yang diterima oleh subjek dapat
langsung menimbulkan tindakan. Artinya seseorang dapat bertindak atau
berperilaku baru tanpa mengetahui terlebih dahulu terhadap makna stimulus yang
diterimanya. Dengan kata lain tindakan (practice) seseorang tidak harus didasari
oleh pengetahuan atau sikap.
Menurut Ki Hajar Dewantara tokoh pendidikan nasional kita, ketiga
kawasan perilaku ini disebut: cipta (kognisi), rasa (emosi), dan karsa (konasi).
Tokoh pendidikan kita ini mengajarkan bahwa tujuan pendidikan adalah
membentuk dan atau meningkatkan kemampuan manusia yang mencakup cipta,
rasa, dan karsa tersebut. Ketiga kemampuan tersebut harus dikembangkan
bersama-sama secara seimbang, sehingga terbentuk manusia Indonesia yang
seutuhnya (harmonis).
1. Pengetahuan (Knowledge)
Pengetahuan adalah hasil ‘tahu’, dan ini terjadi setelah orang melakukan
pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Penghindraan terjadi melalui
pancaindra manusia, yakni: indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan
raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang (overt behaviour).
Karena dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasarkan
oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh
pengetahuan. Penelitian Rogers (1974) mengungkapkan bahwa sebelum orang
mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), dalam diri orang tersebut terjadi
proses yang berurutan, yakni:
a. Awareness (kesadaran), di mana orang tersebut menyadari dalam arti
mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).
b. Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut. Di sini sikap
subjek sudah mulai timbul.
c. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus
tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.
d. Trial, di mana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuni dengan apa
yang dikehendaki oleh stimulus.
e. Adoption, di mana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,
kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.
Namun demikian, dari penelitian selanjutnya Rogers menyimpulkan bahwa
perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap-tahap tersebut.
Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses
seperti ini, di mana didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif
maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng (long lasting). Sebali.knya apabila
perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran akan tidak berlangsung
lama. Satu contoh dapat dikemukakan di sini; ibuibu peserta KB yang
diperintahkan oleh lurah atau ketua RT, tanpa ibu-ibu tersebut mengetahui makna
dan tujuan KB, mereka akan segera keluar dari peserta KB setelah beberapa saat
perintah tersebut diterima.
Pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat,
yakni:
1. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat
kembali (recall) terhadap suatu yan spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari
atau rangsaugan yang telah diterima. Oleh sebab itu, 'tahu' ini merupakan
tingkat pengetahuan yang paling,rendah. Kata kerja untuk mengumr~bahwa
orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain: menyebutkan, menguraikan,
mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya. Contoh: Dapat menyebutkan
tanda-tanda kekurangan kalori dan protein pada anak balita.
2. Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar
tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasi materi tersebut secara
benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat
menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan
sebagainya terhadap objek yang dipelajari. Misalnya dapat menjelaskan
mengapa harus makan maYanan yang bergizi.
3. Apalikasi (Application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan urituik menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi di sini dapat
diartikan aplikasi atau penggunaan htikum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan
sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. Misalnya dapat menggunakan
rumus statistik- dalam perhitunganperhitungan hasil penelitian, dapat
menggunakan prinsipprinsip siklws pemeeahan masalah (problem solving
cycle) dalam pemecahan masalah kesehatan dari kasus yang diberikan.
4. Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek
ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur orgariisasi
tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini
dapat dilihat dari penggunaan kata-kata kerja: dapat menggambarkan
(membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan
sebagainya.
5. Sintesis (Synthesis)
Sintesis menunjuk pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
Dengan kata lain sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru
dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya: dapat menyusun, dapat
merencanakan, dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan, dan sebagainya,
terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.
6. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan
suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang
telah ada. Misalnya: dapat membandingkan antara anak-anak yang cukup gizi
dengan anak yang kekurangan gizi, dapat menanggapi terjadinya wabah diare
di suatu tempat, dapat menafsirkan sebab ibu-ibu tidak mau ikut KB, dan
sebagainya.

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket


yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau
responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat
kita sesuaikan dengan tingkat-tingkat tersebut di atas.

2. Sikap (Attitude)
Sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup
terhadap suatu stimulus atau objek. Beberapa batasan lain tentang sikap ini dapat
dikutip sebagai berikut:
“An enduring system of positive or negative evaluations, emotional feelings,
and pro or correction tendencies will respect to social object” (Krech et all,
1982).
“An individual’s social attitude is an syndrome of respons consistency with
regard to social objects” (Campell, 1950).
“A mental and neural state of rediness, organized through expertence,
exerting derective or dynamic influence up on the individual’s respons to all
objects and situations with which it is related” (Allport, 1954).
“Attitude entails an existing predisposition to respons to social objects
which in interaction with situational and other dispositional variables,
guides and direct the obert behaviour of the individual” (Cardno, 1955).

Dari batasan-batasan di atas dapat disimpulkan bahwa manifestasi sikap itu


tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari
perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya
kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu. Dalam kehidupan sehari-hari
merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Newcomb
salah seorang ahli psikologi sosial menyatakan bahwa sikap itu merupakan
kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksana motif
tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi
merupakan ‘pre-disposisi’ tindakan atau perilaku. Sikap itu masih merupakan
reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka tingkah laku yang terbuka. Lebih
dapat dijelaskan lagi bahwa sikap merupakan reaksi terhadap objek di lingkungan
tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek.
Diagram di bawah ini dapat menjelaskan uraian tersebut.

Dalam bagian lain Allport (1954) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3
komponen pokok, yakni:
a) Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek.
b) Kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek.
c) Kecenderungan untuk bertindak (trend to behave).
Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh
(total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan berpikir,
keyakinan, dan emosi memegang peranan penting. Satu contoh misalnya, seorang
ibu telah mendengarkan penyakit polio (penyebabnya, akibatnya, pencegahannya,
dan sebagainya). Pengetahuan ini akan membawa si ibu untuk berpikir dan
berusaha supaya anaknya tidak terkena polio. Dalam berpikir ini komponen emosi
dan keyakinan ikut bekerja sehingga si ibu tersebut berniat akan
mengimunisasikan anaknya untuk mencegah supaya anaknya tidak terkena polio.
Sehingga si ibu ini mempunyai sikap : tertentu terhadap objek yang berupa
penyakit polio itu.
Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan,
yakni:
1. Menerima (Receiving).
Menerima, diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus
yang diberikan (objek). Misalnya sikap orang terhadap gizi dapat dilihat dari
kesediaan dan perhatian itu terhadap ceramah-ceramah.
2. Merespons (Responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas
yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha
untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, lepas
pekerjaan itu benar atau salah, berarti orang menerima ide tersebut.
3. Menghargai (Valuing)
Mengajak orang lain untuk/fnengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain
terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. Misalnya,
Seorang ibu yang mengajak ibu yang lain (tetangganya, saudaranya, dan
sebagainya), untuk pergi menimbang anaknya ke Posyandu, atau
mendiskusikan tentang gizi, adalah suatu bukti bahwa si ibu tersebut telah
mempunyai sikap positif terhadap gizi anak.
4. Bertanggung jawab (Responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya
dengan segala risiko merupakan sikap yang paling tinggi. Misalnya, Seorang
ibu mau menjadi akseptor KB, meskipun mendapat tantangan dari mertua atau
orang tuanya sendiri.
Pengukuran sikap dilakukan dengan secara langsung dan tidak langsung.
Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden
terhadap suatu objek. Misalnya, bagaimana pendapat Anda tentang pelayanan
dokter di Rumah Sakit Cipto? Secara langsung dapat dilakukan dengan
pernyataan-pernyataan hipotesis,kemudian ditanyakan pendapat responden.
Misalnya, apabila rumah ibu luas, apakah boleh dipakai untuk kegiatan Posyandu?
Atau, saya akan menikah apabila saya sudah berumur 25 tahun? (Sangat setuju,
setuju, tidak setuju, sangat tidak setuju).
3 Praktik atau Tindakan (Practice)
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt
behaviour). Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbedaan nyata diperlukan
faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah
fasilitas. Sikap alu yang sudah positif terhadap imunisasi tersebut harus mendapat
konfirmasi dari suaminya, dan ada fasilitas imunisasi yang mudah dicapai, agar
ibu tersebut mengimunisasikan anaknya. Di samping faktor fasilitas juga
diperlukan faktor dukungan (support) dari pihak lain, misalnya suami atau istri,
orang tua atau mertua sangat penting untuk mendukung praktik keluarga
berencana.
Tingkat-tingkat Praktik
1. Persepsi (Perception)
Mengenal clan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan
diambil merupakan praktik tingkat pertama. Misalnya, seorang ibu dapat
memilih makanan yang bergizi tinggi bagi anak balitanya.
2. Respon Terpimpin (Guided Respons)
Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar : sesuai dengan
contoh adalah indikator praktik tingkat dua. Misalnya, seorang ibu dapat
memasak sayur dengan benar, mulai dari cara mencuci dan memotong-
motongnya, lamanya memasak, menutup pancinya, dan sebagainya.
3. Mekanisme (Mecanism)
Apabila seseorang telah melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau
sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan maka ia sudah mencapai praktik tingkat
tiga. Misalnya, seorang ibu yang sudah biasa mengimunisasikan bayi yang
pada umur-umur tertentu, tanpa menunggu perintah atau ajak orang lain.
4. Adaptasi (Adaptation)
Adaptasi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah ' berkembang dengan
baik. Artinya, tindakan itu sudah dimodifikasinya sendiri tanpa mengurangi
kebenaran : tindakannya tersebut. Misalnya, ibu dapat memilih dan memasak
makanan yang bergizi tingi berdasarkan bahanbahan yang murah dan
sederhana.
Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung, yakni dengan
wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari,
atau bulan yang lalu (recall). Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung,
yakni dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden.
H. Perubahan-perubahan Perilaku
Hal yang penting dalam perilaku kesehatan adalah masalah pembentukan
dan perubahan perilaku. Karena perubahan perilaku merupakan tujuan dari
pendidikan atau penyuluhan kesehatan sebagai penunjang program-program
kesehatan yang lainnya. Banyak teori tentang perubahan perilaku ini, antara lain
akan diuraikan di bawah ini.
1. Teori Stimulus-Organisme-Respon (S-O-R)
Teori ini mendasarkan asumsi bahwa penyebab terjadinya perubahan
perilaku tergantung pada kualitas rangsang (stimulus) yang berkomunikasi dengan
organisme. Artinya, kualitas dari sumber komunikasi (sources) misalnya,
kredibilitas, kepemimpinan, gaya berbicara sangat menentukan keberhasilan
perubahan perilaku seseorang, kelompok atau masyarakat.
Hosland, et al. (1953) mengatakan bahwa proses perubahan perilaku pada
hakikatnya adalah sama dengan proses belajar. Proses perubahan perilaku tersebut
menggambarkan proses belajar pada individu yang terdiri dari:
1. Stimulus (rangsang) yang diberikan pada organisme dapat diterima atau
ditolak. Apabila stimulus tersebut tidak diterima atau ditolak berarti stimulus
itu tidak efektif mempengaruhi perhatian individu dan berhenti di sini. Akan
tetapi bila stimulus diterima oleh organisme berarti ada perhatian dari individu
dan stimulus tersebut efektif.
2. Apabila stimulus telah mendapat perhatian dari organisme (diterima) maka ia
mengerti stimulus ini dan dilanjutkan kepada proses berikutnya.
3. Setelah itu organisme mengolah stimulus tersebut sehingga terjadi kesediaan
untuk bertindak demi stimulus yang telah diterimanya (bersikap).
4. Akhirnya dengan dukungan fasilitas serta dorongan dari lingkungan maka
stimulus tersebut mempunyai efek tindakan dari individu tersebut (perubahan
perilaku).
Selanjutnya teori ini mengartikan bahwa perilaku dapat berubah hanya
apabila stimulus (rangsang) yang diberikan benar-benar melebihi dari stimulus
semula. Stimulus yang dapat melebihi stimulus semula ini berarti stimulus yang
diberikan harus dapat meyakinkan organisme. Dalam meyakinkan wganisme ini
faktor reinforcement memegang peranan penting.
Proses perubahan perilaku berdasarkan teori S-O-R ini dapat digambarkan
seperti di halaman 152:
TEORI S-O-R

2. Teori Festinger (Dissonance Theory)


Teori Finger (1957)-telah banyak pengaruhnya dalam psikologi sosial. Teori
ini sebenarnya sama dengan konsep ‘imbalance’ (= tidak seimbang). Hal ini
berarti bahwa keadaan ‘cognitive dissonance’ merupakan keadaan
ketidakseimbangan psikologis yang diliputi oleh ketegangan diri yang berusaha
untuk mencapai keseimbangan kembali. Apabila terjadi keseimbangan dalam diri
individu, maka berarti sudah tidak terjadi ketegangan diri lagi, dan keadaan ini
disebut ‘consonanee’ (keseimbangan).
Dissonance (ketidakseimbangan) terjadi karena dalam diri individu terdapat
dua elemen kognisi yang saling bertentangan. Yang dimaksud elemen kognisi
adalah pengetahuan, pendapat atau keyakinan. Apabila individu menghadapi suatu
stimulus atau objek, dan stimulus tersebut menimbulkan pendapat atau keyakinan
yang berbeda/bertentangan dalam diri individu sendiri; maka terjadilah
dissonance. Sherwood dan Borrou merumuskan dissonance itu sebagai berikut:
Pentingnya stimulus x jumlah kognitif dissonance
Dissonance =
Pentingnya stimulus x jumlah kognitif cosonane
Rumus ini menjelaskan bahwa ketidakseimbangan dalam diri seseorang
yang akan menyebabkan perubahan perilaku terjadi disebabkan karena adanya
perbedaan jumlah elemen kognitif yang seimbang dengan jumlah elemen kognitif
yang tidak seimbang serta sama-sama pentingnya. Hal ini akan menimbulkan
konflik pada diri individu tersebut.

Contoh: Seorang ibu rumah tangga yang bekerja di kantor. Di satu pihak,
dengan bekerja ia dapat tambahan pendapatan bagi keluarganya, yang akhirnya
dapat memenuhi kebutuhan bagi keluarga dan anak-anaknya, termasuk kebutuhan
makanan yang bergizi. Apabila ia tidak bekerja, jelas ia tidak dapat memenuhi
kebutuhan pokok keluarga. Di pihak lain, apabila ia bekerja, ia khawatir terhadap
perawatan terhadap anakanaknya akan menimbulkan masalah. Kedua elemen
(argumentasi) tasi) ini sama-sama pentingnya, yakni rasa tanggung jawabnya
sebagai ibu rumah tangga yang baik.
Titik berat dari penyelesaian konflik ini adalah penyesuian diri secara
kognitif. Dengan penyesuaian diri ini maka akan terjadi keseimbangan kembali.
Keberhasilan tercapainya keseimbangan kembali ini menunjukkan adanya
perubahan, sikap, dan akhirnya akan terjadi perubahan perilaku.

3. Teori Fungsi
Teori ini berdasarkan anggapan bahwa perubahan perilaku individu itu
tergantung kepada keutuhan. Hal ini berarti bahwa stimulus yang dapat
mengakibatkan perubahan perilaku seseorang apabila stimulus tersebut dapat
dimengerti dalam konteks kebutuhan orang tersebut. Menurut Katz (1960)
perilaku dilatarbelakangi oleh kebutuhan individu yang bersangkutan. Katz
berasumsi bahwa:
1. Perilaku itu memiliki fungsi instrumental, artinya dapat berfungsi dan
memberikan pelayanan terhadap kebutuhan. Seseorang dapat bertindak
(berperilaku) positif terhadap objek demi pemenuhan kebutuhannya.
Sebaliknya bila objek tidak dapat memenuhi kebutuhannya maka ia akan
berperilaku negati£ Misalnya, orang mau membuat jamban apabila jamban
tersebut benar-benar sudah menjadi kebutuhannya.
2. Perilaku dapat berfungsi sebagai ‘defence mecanism’ atau sebagai pertahanan
diri dalam menghadapi lingkungannya. Artinya, dengan perilakunya, dengan
tindakan-tindakannya manusia dapat melindungi ancaman-ancaman yang
datang dari luar. Misalnya, orang dapat menghindari penyakit demam berdarah,
karena penyakit tersebut merupakan ancaman bagi dirinya.
3. Perilaku berfungsi sebagai penerima objek dan memberikan arti. Dalam
peranannya itu seseorang senantiasa menyesuaikan diri dengan lingkungannya
melalui tindakannya. Dengan tindakan sehari-hari tersebut seseorang telah ;
melakukan keputusan-keputusan sehubungan dengan objek atau stimulus yang
dihadapi. Pengambilan keputusan yang mengakibatkan tindakan-tindakan
tersebut dilakukan secara spontan dan dalam waktu yang singkat. Misalnya, ;
jika seseorang merasa sakit kepala maka mengatasi rasa sakit tersebut dengan
membeli obat di warung dan meminumnya, atau tindakan-tindakan lain.
4. Perilaku berfungsi sebagai nilai ekspresif dari diri seseorang dalam menjawab
suatu situasi. Nilai ekspresif ini berasal dari konsep diri seseorang dan
merupakan pencerminan dari hati sanubari. Oleh sebab itu, perilaku dapat
merupakan : ‘layar’ di mana segala ungkapan diri orang dapat dilihat.
Misalnya, orang yang sedang marah, senang, gusar, dan sebagainya dapat
dilihat dari perilaku atau tindakannya.

Teori ini berkeyakinan bahwa perilaku itu mempunyai fungsi untuk


menghadapi dunia luar individu, dan senantiasa menyesuaikan diri dengan
lingkungannya menurut kebutuhannya. Oleh sebab itu, di dalam kehidupan
manusia, perilak itu tampak terus-menerus dan berubah secara relatif.

4 Teori Kurt Lewin


Kurt Lewin (1970) berpendapat bahwa perilaku manusia itu adalah suatu
keadaan yang seimbang antara kekuatan kekuatan pendorong (driving forces) dan
kekuatan-kekuatan penahan (restrining forces). Perilaku itu dapat berubah apabila
terjadi ketidakseimbangan antara kedua kekuatan tersebut di dalam diri seseorang.
Sehingga ada tiga kemungkinan terjadinya perubahan perilaku pada diri
seseorang itu, yakni:
1. Kekuatan-kekuatan pendorong meningkat. Hal ini terjadi adanya stimulus-
stimulus yang mendorong untuk terjadinya perubahan-perubahan perilaku.
Stimulus ini berupa penyuluhan-penyuluhan atau informasi-informasi
sehubungan dengan perilaku yang bersangkutan. Misalnya, seseorang yang
belum ikut KB (ada keseimbangan antara pentingnya anak sedikit, dengan
kepercayaan banyak anak banyak reseki) dapat berubah perilakunya (ikut KB)
kalau kekuatan pendorong yakni pentingnya ber-KB dinaikkan dengan
penyuluhan-penyuluhan atau usaha-usaha lain

2. Kekuatan-kekuatan penahan menurun. Hal ini akan terjadi adanya stimulus-


stimulus yang memperlemah kekuatan penahan tersebut. Misalnya, contoh di
atas, dengan pemberian pengeritan kepada orang tersebut bahwa banyak anak
banyak rezeki, adalah kepercayaan yang salah, maka kekuatan penahan
tersebut melemah, dan akan terjadi perubahan perilaku pada orang tersebut.
3. Kekuatan pendorong meningkat, kekuatan pendorong menurun. Dengan
keadaan semacam ini jelas juga akan terjadi perubahan perilaku. Seperti pada
contoh di atas, penyuluhan KB yang berisikan memberikan pengertian terhadap
orang tersebut tentang pentingnya ber-KB dan tidak benarnya kepercayaan
banyak anak banyak rezeki akan meningkatkan kekuatan pendorong, dan
sekaligus menurunkan kekuatan penahan.

I. Perubahan Perilaku dan Proses Belajar


Terbentuknya perilaku dapat terjadi karena proses kematangan dan dari
proses interaksi dengan lingkungan. Cara yang kedua inilah yang paling besar
pengaruhnya terhadap perilaku manusia. Terbentuknya dan perubahan perilaku
karena proses interaksi antara individu dengan lingkungan ini melalui suatu
proses, yakni proses belajar. Oleh sebab itu, perubahan perilaku dan proses belajar
itu sangat erat kaitannya. Perubahan perilaku merupakan hasil dari proses belajar.
D bawah ini akan diuraikan beberapa teori proses belajar.
1. Teori Stimulus dan Transformasi
Perkembangan teori proses belajar yang ada dapat dikelompokkan ke dalam
dua kelompok besar, yakni stimulusrespons yang kurang memperhitungkan faktor
internal dan teori transofrmasi yang telah memperhitungkan faktor internal. Teori
stimulus-stimulus yang berpangkal pada psikologi asosiasi dirintis oleh John
Locke dan Heart. Dalam teori ini apa yang terjadi pada diri subjek belajar adalah
merupakan rahasia atau bisa dilihat sebagai kotak hitam (black box). Belajar
adalah mengambil tanggapan-tanggapan dan menghubungkan tanggapan-
tanggapan dengan mengulang-ulang. Tanggapan-tanggapan tersebut diperoleh
melalui pemberian stimulus atau rangsangan-rangsangan. Makin banyak dan
sering diberikan stimulus maka makin memperkaya tanggapan pada subjek
belajar. Teori ini tidak memperhitungkan aktor internal yang terjadi pada subjek
belajar.
Kelompok teori proses belajar yang kedua sudah memperhitungkan faktor
internal, antara lain:
1. Teori transformasi yang berlandaskan pada psikologi kognitif, seperti yang
dirumuskan oleh Neiser, yang mengatakan bahwa proses belajar adalah
transformasi dari masukan (input), kemudian input tersebut direduksi,
diuraikan, disimpan, ditemukan kembali, dan dimanfaatkan. Transfromasi dari
input sensoris bersifat aktif melalui proses seleksi untuk dimasukkan ke dalam
ingatan (memory). Meskipun teori ini dikembangkan berdasarkan psikologi
kognitif, tetapi tidak membatasi penelaahannya pada domain pengetahuan
(kognitif) saja, tetapi juga meliputi domain yang lain (afektif dan psikomotor).
Para ahli psikologi kognitif juga memperhitungkan faktor eksternal dan
internal dalam mengembangkan teorinya. mereka berpendapat bahwa kegiatan
belajar merupakan proses yang bersifat internal di mana setiap proses tersebut
dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, antara lain metode pengajaran. Proses
ini,dapat digambarkan pada diagram di bawah ini.
2. Teori Gestalt mendasarkan pada teori belajar pada psikologi Gestalt, yang
beranggapan bahwa setiap fenomena terdiri dari suatu kesatuan esensial yang
melebihi jumlah unurunsurnya.

Bahwa keseluruhan itu lebih daripada bagian-bagiannya. Dalam peristiwa


belajar, keseluruhan situasi belajar itu amat penting karena belajar merupakan
interaksi antara subjek belajar dengan lingkungannya. Selanjutnya para ahli
psikologi gestalt menyimpulkan, seorang dikatakan belajar bila ia memperoleh
pemahaman (insight) dalam situasi yang problematis. Pemahaman itu ditandai
dengan adanya: a) suatu perubahan yang tiba-tiba dari keadaan yang tidak berdaya
menjadi keadaan yang mampu menguasai atau memecahkan masalah (problema).
b) adanya retensi, dan c) adanya peristiwa transfer. Pemahaman yang diperoleh
dari situasi, dibawa dan dimanfaatkan atau ditransfer ke dalam situasi lain yang
mempunyai pola atau struktur yang sama atau hampir sama secara keseluruhannya
(bukan detailnya).

2 Teori-teori Belajar Sosial (Social Learning)


Untuk melangsungkan kehidupan, manusia perlu belajar. Dalam hal ini ada
dua macam belajar, yaitu belajar secara fisik, misalnya, menari, olahraga,
mengendarai mobil, dan sebagainya, dan belajar psikis. Dalam belajar psikis ini
termasuk juga belajar sosial (social learning), di mana seseorang mempelajari '
perannya dan peran-peran orang lain dalam konteks sosial : Selanjutnya orang
tersebut akan menyesuaikan tingkah lakunya dengan peran orang lain atau peran
sosial yang telah dipelajari : Cara yang sangat penting dalam belajar sosial
menurut teori ‘stimulus-respons’ adalah tingkah laku tiruan (imitation). Teori
tentang tingkah laku tiruan yang penting disajikan di sini adalah teori dari Millers,
NE. dan Dollard serta teori Bandura, ; A. dan Walter, R.H.

1. Teori Belajar Sosial dan Tiruan dari Millers dan Dollard


Pandangan Millers dan Dollard bertitik tolak dari teori Hull yang kemudian
dikembangkan menjadi teori tersendiri Mereka berpendapat bahwa tingkah laku
manusia itu merupakan hasil belajar. Oleh karena itu, untuk memahami tingkah
laku sosial dan proses belajar sosial, kita harus mengetahui prinsip-prinsip
psikologi belajar. Prinsip belajar ini terdiri dari 4, yakni: dorongan (drive), isyarat
(cue), tingkah laku balas (respons), dan ganjaran (reward). Keempat prinsip ini
saling mengkait satu sama lain, yaitu dorongan menjadi isyarat, isyarat menjadi
ganjaran, dan seterusnya.
Dorongan adalah rangsangan yang sangat kuat terhadap organisme
(manusia) untuk bertingkah laku. Stimulus-stimulus yang cukup kuat pada
umumnya bersifat dorongan seperti: lapar, haus, seks, kejenuhan, dan sebagainya.
Stimulus-stimulus ini disebut dorongan primer yang menjadi dasar utama untuk
motivasi. Menurut Miller dan Dollard semua tingkah laku (termasuk tingkah laku
tiruan) didasari oleh dorongan - dorongan primer ini.
Isyarat adalah rangsangan yang menentukan ‘bila’ dan ‘di mana’ suatu
respons akan timbul dan terjadi. Isyarat ini dapat disamakan dengan rangsangan
deskriminitif. Dalam belajar sosial, isyarat yang terpenting adalah tingkah laku
orang lain, baik yang langsung ditujukan kepada orang tertentu maupun yang
tidak, misalnya: anggukan kepala merupakan isyarat untuk setuju, uluran tangan
merupakan isyarat untuk berjabatan tangan. Mengenai tingkah laku balas
(respons), mereka berpendapat bahwa manusia mempunyai hierarki bawaan
tingkah laku. Pada saat manusia dihadapkan untuk pertama kali kepada suatu
rangsangan tertentu, maka respons (tingkah laku balas) yang timbul didasarkan
pada hierarki bawaan tersebut. Setelah beberapa kali terjadi ganjaran dan
hukuman, maka timbul tingkah laku balas yang sesuai dengan faktor-faktor
penguat tersebut. Tingkah laku balas yang sudah disesuaikan dengan faktor-faktor
penguat tersebut disusun menjadi hierarki resultan (resultan hierarchy of perpons).
Di sinilah pentingnya belajar dengan cara coba-coba dan ralat (trial and error
learning). Dalam tingkah laku soal, belajar coba ralat dikurangi dengan belajar
tiruan, di mana seseorang tinggal meniru tingkah laku orang lain untuk dapat
memberikan respons yang tepat. Sehingga ia tidak perlu membuang waktu untuk
belajar dengan coba-ralat.
Ganjaran adalah rangsang yang menetapkan apakah tingkah laku balas
diulang atau tidak dalam kesempatan yang lain. Menurut Miller dan Dollard ada
dua reward atau ganjaran, yakni ganjaran primer yang memenuhi dorong-
dorongan primer dan ganjaran sekunder yang memenuhi dorongan-dorongan
primer. Lebih lanjut mereka membedakan dengan 3 macam mekanisme tingkah
laku tiruan, yakni:
a) Tingkah laku sama (same behaviour):
Tingkah laku ini terjadi pada dua orang yang bertingkah laku balas (respons)
sama terhadap rangsangan atau isyarat yang sama. Contoh: dua orang yang
berbelanja di toko yang sama dan dengan barang yang sama. Tingkah laku
yang sama ini tidak selalu hasil tiruan, maka tidak dibahas lebih lanjut oleh
pembuat teori.
b) Tingkah laku tergantung (matched dependent behaviour):
Tingkah laku ini timbul dalam interaksi antara dua pihak, di mana salah satu
pihak mempunyai kelebihan (lebih pandai, lebih mampu, lebih tua, dan
sebagainya) dari pihak yang lain. Dalam hal ini pihak yang lain atau pihak
yang kurang tersebut akan menyesuaikan tingkah laku (match) dan akan
tergantung (dependent) pada pihak yang lebih. Misalnya: kakak-adik yang
sedang bermain menunggu ibunya pulang dari pasar. Biasanya ibu mereka
membawa coklat. Terdengar ibunya pulang, kakak segera menjemput ibunya,
kemudian diikuti oleh adiknya. Ternyata mereka mendapatkan coklat
(ganjaran). Adiknya yang semula hanya meniru tingkah laku kakaknya, di lain
waktu meskipun kakaknya tidak ada, ia akan lari menjemput ibunya yang ' baru
pulang dari pasar.
c) Tingkah laku salinan (copying behaviour):
Seperti tingkah laku tergantung, pada tingkah laku salinan, peniru bertingkah
laku atas dasar isyarat yang berupa tingkah laku pula yang diberikan oleh
model. Demik;an juga ~ dalam tingkah laku salinan ini, pengaruh ganjaran dan
hukuman sangat besar terhadap kuat atau lemahnya + tingkah laku tiruan.
Perbedaannya dengan tingkah laku ; tergantung adalah: dalam tingkah laku
tergantung ini peniru hanya bertingkah laku terhadap isyarat yang diberikan
oleh model pada saat itu saja. Sedangkan pada tingkah laku salinan, si peniru
memperhatikan juga tingkah laku model di masa yang lalu maupun yang akan
dilakukan di waktu mendatang. Hal ini berarti perkiraan tentang tingkah laku
model dalam kurun waktu yang relatif panjang akan dijadikan patokan oleh si
peniru untuk memperbaiki tingkah lakunya sendiri di masa yang akan datang,
sehingga lebih mendekati tingkah laku model.

2. Teori Belajar Sosial dari Bandura dan Walter:


Teori belajar sosial yang dikemukakan oleh Bandura dan Walter ini disebut
teori proses pengganti. Teori ini menyatakan bahwa tingkah laku ti'ruan adalah
suatu bentuk asosiasi dari rangsang dengan rangsang lainnya. Penguat
(reinforcement) memang memperkuat tingkah laku balas (respons), tetapi dalam
proses belajar sosial, hal ini tidak terlalu penting. Aplikasi teori ini adalah: apabila
seseorang melihat suatu rangsang dan ia melihat model bereaksi secara tertentu
terhadap rangsang itu, naka dalam khayalan atau imajinasi orang tersebut terjadi
rangkaian simbol-sixflbol yang menggambarkan rangsang dari tingkah laku
tersebut. Rangkaian simbol-simbol ini merupakan pengganti dari hubungan
rangsang balas yang nyata dan melalui asosiasi, si peniru akan melakukan tingkah
laku yang sama aengan tingkah laku model. Terlepas dari ada atau tidak adanya
rangsang, proses asosiasi tersembunyi ini sangat dibantu oleh iemampuan verbal
seseorang. Selain dari itu, dalam proses ini hdak ada cara -coba dan ralat (trial and
error) yang berupa tingkah laku nyata, karena semuanya berlangsung secara
tersembunyi dalam diri individu. Hal yang penting di sini adalah pengaruh tingkah
laku model pada tingkah laku peniru. Menurut Bandura, pengaruh tingkah laku
model terhadap tingkah laku peniru ini dibedakan menjadi 3 macam, yakni:
a) Efek modeling (modelling effect), yaitu peniru melakukan tingkah laku-
tingkah laku baru melalui asosiasi sehingga sesuai dengan tingkah laku model.
b) Efek menghambat (inhibition) dan menghapus hambatan (disinhibition), di
mana tingkah laku-tingkah laku yang tidak sesuai dengan tingkah laku model
dihambat timbulnya, sedangkah tingkah laku yang sesuai dengan tingkah laku
model dihapuskan hambatannya sehingga timbul tingkah laku yang dapat
menjadi nyata.
c) Efek kemudahan (facilitation effect), yaitu tingkah laku – tingkah laku yang
sudah pernah dipelajari oleh peniru lebih mudah muncul kembali dengan
mengamati tingkah laku model.

Akhirnya Bandura dan Walter menyatakan bahwa, teori proses pengganti ini
dapat pula menerangkan gejala timbulnya emosi pada peniru yang sama dengan
emosi yang ada pada model. Contohnya: seseorang yang mendengar atau melihat
gambar tentang kecelakaan yang mengerikan, maka ia berdesis, menyeringai,
bahkan sampai menangis ikut merasakan penderitaan tersebut.

J. Bentuk-bentuk Perubahan Perilaku


Bentuk perubahan perilaku sangat bervariasi, sesuai dengan konsep yang
digunakan oleh para ahli dalam pemahamannya terhadap perilaku. Di bawah ini
diuraikan bentuk-bentuk perubahan perilaku menurut WHO. Menurut WHO,
perubahan perilaku itu dikelompokkan menjadi 3, yakni:
1. Perubahan Alamiah (natural change)
Perilaku manusia selalu- berubah, di mana sebagian perubahan itu disebabkan
karena kejadian alamiah. Apabila dalam masyarakat sekitar terjadi suatu
perubahan i lingkungan fisik atau sosial budaya dan ekonomi, maka anggota-
anggota masyarakat di dalamnya juga akan { mengalami perubahan. Misalnya:
Bu Ani apabila sakit ; kepala (pusing) membuat ramuan daun-daunan yang ada
di ; kebunnya, lalu meminumnya. Tetapi karena intensifikasi '' kebunnya, maka
daun-daunan untuk obat tersebut terbabat habis diganti dengan tanaman-
tanaman untuk bahan makanan. Maka dengan tidak berpikir panjang lebar lagi
Bu Ani berganti minum jamu yang dapat dibeli di warung.
2. Perubahan Rencana (Planned change)
Perubahan perilaku ini terjadi karena memang direncana- i kan sendiri oleh
subjek. Misalnya Pak Anwar adalah perokok ~; berat. Akan tetapi karena pada
suatu saat ia terserang batuk-batuk yang sangat mengganggu, maka ia
memutuskan untuk mengurangi merokok sedikit demi sedikit, dan akhirnya ia
berhenti merokok sama sekali.
3. Kesediaan untuk Berubah (Readiness to change)
Apabila terjadi suatu inovasi atau program-program pembangu-nan di dalam
masyarakat, maka yang sering terjadi adalah sebagian orang sangat cepat untuk
menerima inovasi atau perubahan tersebut (berubah perilakunya). Tetapi
sebagian orang lagi sangat lambat untuk menerima inovasi atau perubahan
tersebut. Hal ini disebabkan karena pada setiap orang mempunyai kesediaan
untuk berubah (readiness to change) yang berbeda-beda.
Setiap orang dalam suatu masyarakat mempunyai kesediaan untuk berubah
yang berbeda-beda, meskipun kondisinya yang sama.

Dalam program-program kesehatan, agar diperoleh perubahan perilaku yang


sesuai dengan norma-norma kesehatan, sangat diperlukan usaha-usaha konkret
dan positif. Beberapa strategi untuk memperoleh perubahan perilaku tersebut oleh
WHO dikelompokkan menjadi 3 yakni:
1. Menggunakan kekuatan/kekuasaan atau dorongan:
Dalam hal ini perubahan perilaku dipaksakan pada sasaran atau masyarakat
sehingga ia mau melakukan (berperilaku) seperti yang diharapkan. Cara ini
dapat ditempuh, misalnya dengan adanya peraturan-peraturan/perundang-
undangan yang harus dipatuhi oleh masyarakat. Cara ini akan menghasilkan
perubahan perilaku yang cepat, akan tetapi perubahan tersebut belum tentu
akan berlangsung lama, karena perubahan perilaku yang terjadi tidak atau
belum berdasarkan kesadaran sendiri.
2. Pemberian informasi
Dengan memberikan informasi-informasi tentang cara-cara mencapai hidup
sehat, cara pemeliharaan kesehatan, caracara menghindari penyakit, dan
sebagainya akan meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang hal tersebut.
Selanjutnya dengan pengetahuan-pengetahuan itu akan menimbulkan
kesadaran mereka, dan akhirnya akan menyebabkan orang berperilaku sesuai
dengan pengetahuan yang dimilikinya itu. Hasil atau perubahan perilaku
dengan cara ini akan memakan waktu lama, tetapi perubahan yang dicapai akan
bersifat langgeng karena didasari pada kesadaran mereka sendiri (bukan karena
paksaan).
3. Diskusi dan Partisipasi
Cara ini adalah sebagai peningkatan cara yang kedua. Di mana dalam
memberikan informasi-informasi- tentang kesehatan tidak bersifat searah saja,
tetapi dua arah. Hal ini berarti bahwa masyarakat tidak hanya pasif menerima
informasi, tetapi juga harus aktif berpartisipasi melalui diskusi-diskusi tentang
informasi yang diterimanya. Dengan demikian maka pengetahuan-pengetahuan
kesehatan sebagai dasar perilaku mereka diperoleh secara mantap dan lebih
mendalam, dan akhirnya perilaku mereka peroleh akan lebih mantap juga,
bahkan merupakan referensi perilaku orang lain. Sudah barang tentu cara ini
akan memakan waktu yang lebih lama dari cara yang kedua, dan jauh lebih
baik dengan cara yang pertama. Diskusi partisipasi adalah salah satu cara yang
baik dalam rangka memberikan informasi-informasi dan pesan-pesan
kesehatan.
KESEHATAN LINGKUNGAN

A. Pengertian dan Ruang Lingkup Kesehatan Lingkungan


Masalah kesehatan adalah suatu masalah yang sangat kompleks, yang sating
berkaitan dengan masalah-masalah lain di luar kesehatan sendiri. Demikian pula
pemecahan masalah kesehatan masyarakat, tidak hanya dilihat dari segi
kesehatannya sendiri, tapi hares dilihat dari segi-segi yang ada pengaruhnya
terhadap masalah ‘sehat-sakit’ atau kesehatan tersebut. Banyak faktor yang
mempengaruhi kesehatan, baik kesehatan individu maupun kesehatan masyarakat,
untuk hal ini Hendrik L. Blum (1974) menggambarkan secara ringkas lihat
Gambar 6.1 halaman 166.
Keempat faktor tersebut (keturunan, lingkungan, perilaku, dan pelayan
kesehatan) di samping berpengaruh langsung kepada kesehatan, juga sating
berpengaruh sate sama lainnya. Status kesehatan akan tercapai secara optimal,
bilamana keempat faktor tersebut secara bersama-sama mempunyai kondisi yang
optimal pula. salah sate faktor saja berada dalam keadaan yang terganggu (tidak
optimal), maka status kesehatan akan tergeser di bawah optimal.
Kesehatan lingkungan pada hakikatnya adalah suatu kondisi atau keadaan
Lingkungan yang optimum sehingga berpengaruh positif terhadap terwujudnya
status kesehatan yang optimal pula. Ruang lingkup kesehatan lingkungan tersebut
Gambar 6.1

antara lain mencakup: perumahan, pembuangan kotoran manusia (tinja),


penyediaan air bersih, pembuangan sampah, pembuangan air kotor (air limbah),
rumah hewan ternak (kandang), dan sebagainya. Adapun yang dimaksud dengan
usaha kesehatan lingkungan adalah suatu usaha untuk memperbaiki atau
mengoptimumkan lingkungan hidup manusia agar merupakan media yang baik
untuk terwujudnya kesehatan yang optimum bagi manusia yang hidup di
dalamnya.
Usaha memperbaiki atau meningkatkan kondisi lingkungan ini dari masa ke
masa, dan dari masyarakat satu ke masyarakat yang lain bervariasi dan bertingkat-
tingkat, dari usaha yang paling sederhana (primitif) sampai pada yang paling
mutakhir (modern).
Dengan kata lain bahwa teknologi di bidang kesehatan lingkungan sangat
bervariasi, dari teknologi prim,itif, teknologi menengah (teknologi tepat guna)
sampai dengan teknologi mutakhir.
Mengingat bahwa masalah kesehatan lingkungan di negara-negara yang
sedang berkembang adalah berkisar pada sanitasi (jamban), penyediaan air
minum, perumahan (housing), pembuangan sampah, dan pembuangan air limbah
(air kotor) maka hanya akan dibahas kelima masalah tersebut.

B. Perumahan (Housing)
Rumah adalah salah satu persyaratan pokok bagi kehidupan manusia.
Rumah atau tempat tinggal manusia, dari zaman ke zaman mengalami
perkembangan. Pada zaman purba manusia bertempat tinggal di gua-gua,
kemudian berkembang, dengan mendirikan rumah tempat tinggal di hutan-hutan
dan di bawah pohon. Sampai pada abad modern ini manusia sudah membangun
rumah (tempat tinggalnya) bertingkat dan diperlengkapi dengan peralatan yang
serba modern. Sejak zaman dahulu manusia telah mencoba mendesain rumahnya,
dengan ide mereka masing-masing yang dengan sendirinya berdasarkan
kebudayaan masyarakat setempat dan membangun rumah mereka dengan bahan
yang ada setempat (local material) pula. Setelah manusia memasuki abad modern
ini meskipun rumah mereka dibangun dengan bukan bahan-bahan setempat, tetapi
kadang desainnya masih mewarisi kebudayaan generasi sebelumnya.
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam membangun sebuah rumah
1) Faktor lingkungan, baik lingkungan fisik, biologis maupun lingkungan sosial.
Maksudnya, membangun sebuah rumah harus memperhatikan tempat di mana
rumah itu didirikan. Di pengunungan ataukah di tepi pantai, di desa ataukah di
kota, di daerah dingin ataukah di daerah panas, di daerah dekat gunung berapi
(daerah gempa) atau di daerah bebas gempa, dan sebagainya. Rumah di daerah
pedesaan, sudah barang tentu disesuaikan kondisi sosial budaya pedesaan
misalnya bahannya, bentuknya, menghadapnya, dan lain sebagainya. Rumah di
daerah gempa harus dibuat dengan bahan-bahan yang ringan namun harus
kokoh, rumah di dekat hutan harus dibuat sedemikian rupa sehingga aman
terhadap serangan binatang buas.
2) Tingkat kemapuan ekonomi masyarakat
Hal ini dimaksudkan rumah dibangun berdasarkan kemampuan keuangan
penghuninya, untuk itu maka bahan-bahan setempat yang rumah misalnya dari
bambu, kayu atap rumbia, dan sebagainya, merupakan bahan-bahan pokok-
pokok pembuatan rumah. Perlu dicatat bahwa mendirikan rumah adalah bukan
sekadar berdiri pada saat itu saja, namun diperlukan pemeliharaan seterusnya.
Oleh karena itu, kemapuan pemeliharaan oleh penghuninya perlu
dipertimbangkan.
3) Teknologi yang dimiliki oleh masyarakat
Dewasa ini teknologi perumahan sudah bftitu maju dan begitu modern. Akan
tetapi teknologi modern itu sangat mahal dan bahkan kadang-kadang tidak
dimengerti masyarakat. Rakyat pedesaan bagaimanapun sederhananya, sudah
mempunyai teknologi perumahan sendiri yang dipunyai turun-temurun. Dalam
rangka penerapan teknologi tepat guna, maka teknologi yang sudah dipunyai
oleh masyarakat tersebut dimodifikasi. Segi-segi yang merugikan kesehatan
dikurangi, dan dipertahankan segi-segi yang sudah positif.
Contoh: Rumah limasan yang terbuat dari dinding dan atapnya dari daun
rumbia yang dihuni oleh orang yang memang kemampuannya sejauh itu, dapat
dipertahankan, hanya kesadaran dan kebiasaan membuat lubang angin
(jendela) yang cukup, perlu ditanamkan kepada mereka.
4) Kebijaksanaan (peraturan) pemerintah yang menyangkut tata guna tanah
Untuk hal ini, bagi perumahan masyarakat pedesaan belum merupakan
problem, namun di kota sudah menjadi masalah yang besar.

Syarat-syarat rumah yang sehat


1. Bahan bangunan
a. Lantai: ubin atau semen adalah baik, namun tidak cocok untuk kondisi
ekonomi pedesaan. Lantai kayu sering terdapat pada rumah-rumah orang
yang mampu di pedesaan, dan ini pun mahal. Oleh karena itu, untuk lantai
rumah pedesaan cukuplah tanah biasa yang dipadatkan. Syarat yang penting
di sini adalah tidak berdebu pada musim kemarau dan tidak basah pada
musim hujan. Untuk memperoleh lantai tanah yang padat (tidak berdebu)
dapat ditempuh dengan menyiram air _kemudiaan dipadatkan dengan
benda-benda yang berat, dan dilakukan berkali-kali. Lantai yang basah dan
berdebu menimbulkan sarang penyakit.
b. Dinding: Tembok adalah baik, namun di samping mahal, tembok
sebenarnya kurang cocok untuk daerah tropis, lebih-lebih bila ventilasi tidak
sukup. Dinding rumah di daerah tropis khususnya di pedesaan, lebih baik
dinding atau papan. Sebab meskipun jendela tidak cukup, maka lubang-
lubang pada dinding atau papan tersebut dapat merupakan ventilasi, dan
dapat menambah penerangan alamiah.
c. Atap genteng adalah umum dipakai baik di daerah perkotaan, maupun di
pedesaan.Di samping atap genteng adalah cocok untuk daerah tropis, juga
dapat terjangkau oleh masyarakat dan bahakan masyarakat dapat
membuatnya sendiri. Namun demikian, banyak masyarakat pedesaan yang
tidak mampu untuk itu, maka atap daun rumbai atau daun kelapa pun dapat
dpertahankan. Atap seng atau asbes tidak cocok untuk rumah pedesaan, di
samping mahal juga menimbulkan suhu panas di dalam rumah.
d. Lain-lain (tiang, kaso, dan reng)
Kayu untuk tiang, bambu untuk kaso dan reng adalah umum di pedesaan.
Menurut pengalaman bahan-bahan ini tahan lama. Tetapi perlu diperhatikan
bahwa lubanglubang bambu merupakan sarang tikus yang baik. Untuk
menghindari ini maka cara memotongnya harus menurut ruas-ruas bambu
tersebut, apabila tidak pada ruasnya, maka lubang pada ujung-ujung bambu
yang, digunakan untuk kaso tersebut ditutup dengan kayu.
2. Ventilasi
Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertam;a adalah untuk
menjaga agar aliran udara dalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti
keseimbangan 02 yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga.
Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya OZ dalam rumah yang
berarti kadar C02 yang bersifat racun bagi penghuninya menjadi meningkat. Di
samping itu, tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan kelembaban udara
dalam ruangan naik karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan
penyerapan. Kelembaban ini akan merupakan media yang baik untuk bakteri-
bakteri, patogen (bakteri-bakteri penyebab penyakit)
Fungsi kedua dari ventilasi adalah untuk membebaskan udara ruangan dari
bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen, karena di situ selalu terjadi aliran
udara yang terus-menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu
mengalir. Fungsi lainya adalah untuk menjaga agar ruangan rumah selalu tetap
dalam kelembaban (humudity) yang optimum.
Ada dua macam ventilasi, yakni:
a) Ventilasi alamiah, di mana aliran udara dalam ruangan tersebut terjadi
secara almiah melalui jendela, pintu, lubang angin, lubang-lubang pada
dinding, dan sebagainya. Di pihak lain ventilasi alamiah ini tidak mengun-
tungkan, karena juga merupakan jalan masuknya nyamuk dan seranga
lainnya ke dalam rumah. Untuk itu harus ada usaha-usaha lain untuk
melindungi kita dari gigitan nyamuk tersebut.
b) Ventilasi buatan, yaitu dengan mempergunakan alat-alat khusus untuk
mengalirkan udara tersebut, misalnya kipas angin, dan mesin pengisap
udara. Tetapi jelas alat ini tidak cocok dengan kondisi rumah di pedesaan.
Perlu diperhatikan di sini bahwa sistem pembuatan ventilasi harus dijaga agar
udara tidak mandeg atau membalik lagi, harus mengalir. Artinya dalam
ruangan rumah harus ada jalan masuk dan keluarnya udara.
3. Cahaya
Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang dan tidak
terlalu banyak. Kurangnya cahaya yang masuk ke dalam rumah, terutama
cahaya mata hari, di samping kurang nyaman, juga merupakan media atau
tempat yang baik untuk hidup dan berkembangnya bibit penyakit. Sebaliknya
terlalu banyak cahaya dalam rumah akan menyebabkan silau, dan akhirnya
dapat merusak mata. Cahaya dapat dibedakan menjadi 2, yakni :
a) Cahaya alamiah, yakni matahari. Cahaya ini sangat penting, karena dapat
membunuh bakteri-bakteri patogen dalam rumah, misalnya baksil TBC.
Oleh karena itu, rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya
yang cukup. Seyogianya jalan masuk cahaya (jendela) luasnya sekurang-
kurangnya 15% sampai 20% dari luas lantai yang terdapat dalam ruangan
rumah. Perlu diperhatikan dalam membuat jendela diusahakan agar sinar
matahari dapat langsung masuk ke dalam ruangan, tidak terhalang oleh
bangunan lain. Fungsi jendela di sini, di samping sebagai ventilasi, juga
sebagai jalan masuk cahaya.
Lokasi penempatan jendela pun harus diperhatikan dan diusahakan agar
sinar matahari lama menyinari lantai (bukan menyinari dinding). Maka
sebaiknya jendela itu harus di tengah-tengah tinggi dinding (tembok).
Jalan masuknya cahaya alamiah juga diusahakan dengan genteng kaca.
Genteng kaca pun dapat dibuat secara sederhana, yakni dengan melubangi
genteng biasa pada waktu pembuatannya, kemudian menutupnya dengan
pecahan kaca.
b) Cahaya buatan, yaitu menggunakan sumber cahaya yang bukan alamiah,
seperti lampu minyak tanah, listrik, dan sebagainya.
4. Luas Bangunan Rumah
Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di dalamnya,
artinya luas lantai bangunan tersebut harus disesuaikan dengan jumah
penghuninya. Luas bangunan yang tidak sebanding dengan jumlah
penghuninya akan menyebabkan perjubelan (Overcrowded). Hal ini tidak
sehat, sebab di samping menyebabkan kurangnya konsumsi O2 juga bila salah
satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, akan mudah menular kepada
anggota keluarga yang lain. Luas bangunan yang optimum adalah apabila dapat
menyediakan 2,5-3mz untuk setiap orang (tiap anggota keluarga).
5. Fasilitas-fasilitas dalam rumah sehat
Rumah yang sehat harus mempunyai fasilitas-fasilitas sebagai berikut:
a) Penyediaan air bersih yang cukup
b) Pembuangan tinja
c) Pembuangan air limbah (air bekas)
d) Pembuangan sampah e) Fasilitas dapur
e) Ruang berkumpul keluarga
Untuk rumah di pedesaan iebih cocok adanya serambi (serambi muka atau
belakang)
Di samping fasilitas-fasilitas tersebut, ada fasilitas lain yang perlu diadakan
tersendiri untuk rumah pedesaan, yakni:
a) Gudang merupakan tempat menyimpan hasil panen. ;
Gudang dapat berupa bagian dari rumah tempat tinggal atau bangunan
tersendiri.
b) Kandang ternak. Oleh karena ternak adalah bagian p hidup para petani,
maka kadang-kadang ternak tersebut ditaruh di dalam rumah. Hal ini tidak
sehat karena ternak kadang-kadang merupakan sumber penyakit = pula.
Maka sebaiknya demi kesehatan, ternak harus terpisah +dari rumah tinggal,
atau dibikinkan kandang tersendiri.

C. Penyediaan Air Bersih


Air adalah sangat penting bagi kehidupan manusia. Manusia akan lebih
cepat meninggal karena kekurangan air daripada kekurangan makanan. Dalam
tubuh manusia itu sendiri sebagian besar terdiri dari air. Tubuh orang dewasa,
sekitar 55-60% berat badan terdiri dari air, untuk anak-anak sekitar 65%, dan
untuk ; bayi sekitar 80%.
Kebutuhan manusia akan air sangat kompleks antara lain untuk minum,
masak, mandi, mencuci (bermacam-macam cucian), dan sebagainya. Menurut
perhitungan WHO di negaranegara maju setiap orang memerlukan air antara 60-
120 liter per hari. Sedangkan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia
setiap orang memerlukan air antara 30-60 liter per hari.
Di antara kegunaan-kegunaan air tersebut yang sangat penting adalah
kebutuhan untuk minum. Oleh karena itu, untuk keperluan minum (termasuk
untuk masak) air harus mempunyai persyaratan khusus agar air tersebut tidak
menimbulkan penyakit bagi manusia.
Syarat-syarat air minum yang sehat
Agar air minum tidak menyebabkan penyakit, maka air tersebut hendaknya
diusahakan memenuhi persyaratanpersyaratan kesehatan, se-tidaknya diusahakan
mendekati persyaratan tersebut. Air yang sehat harus mempunyai persyaratan
sebagai berikut:
a. Syarat fisik
Persyaratan fisik untuk air minum yang sehat adalah bening (tidak berwarna),
tidak berasa, suhu di bawah suhu udara di luarnya. Cara mengenal air yang
memenuhi persyaratan fisik ini tidak sukar.
b. Syarat bakteriologis
Air untuk keperluan minum yang sehat harus bebas dari segala bakteri,
terutama bakteri patogen. Cara ini untuk mengetahui apakah air minum
terkontaminasi oleh bakteri patogen, adalah dengan memeriksa sampel
(contoh) air tersebut. Dan bila dari pemeriksaan 100 cc air terdapat kurang dari
4 bakteri E. Coli maka air tersebut sudah memenuhi syarat kesehatan.
c. Syarat kimia
Air minum yang sehat harus mengandung`zat-zat tertentu dalam jumlah yang
tertentu pula. Kekurangan atau kelebihan salah satu zat kimia dalam air, akan
menyebabkan gangguan fisiologis pada manusia. Bahan-bahan atau zat kimia
yang terdapat dalam air yang ideal antara lain sebagai berikut:
Tabel 6.1
Jenis bahan Kadar yang dibenarkan
Flour (F) 1-1,5
Chlor (CI) 250
Arsen (As) 0,05
Tembaga (Cu) 1,0
Besi (Fe) 0,3
Zat Organik 10
Ph, (keasaman) 6,5-9,0
CO2 0

Sesuai dengan prinsip teknologi tepat guna di pedesaan, maka air minum
yang berasal dari mata air dan sumur dalam dapat-diterima sebagai air yang sehat,
dan memenuhi ketiga persayaratan tersebut, asalkan tidak tercemar oleh kotoran-
kotoran terutama kotoran manusia dan binatang. Oleh karena itu, mata air atau
sumur yang ada di pedesaan harus mendapatkan pengawasan dan perlindungan
agar tidak dicemari oleh penduduk yang menggunakan air tersebut.
Sumber-sumber Air Minum
Pada prinsipnya semua air dapat diproses menjadi air muium. Sumber-
sumber air ini dapat digambarkan seperti pada, Gambar 6.2 di halaman 175.
Keterangan:
1. Air Hujan
Air hujan dapat ditampung kemudian dijadikan air minum. Akan tetapi air
hujan ini tidak mengandung kalsium. Oleh , karena itu, agar dapat dijadikan air
minum yang sehatt perlu ditambahkan kalsium di dalamnya.
Gambar 6.2

2. dan 3. Air Sungai dan Danau


Menurut asalnya sebagian dari air sungai dan air danau ini juga dari air hujan
yang mengalir melalui saluran-saluran ke dalam sungai atau danau. Kedua
sumbePair ini sering juga disebut air permukaan. Oleh karena air sungai dan
danau ini sudah terkontaminasi atau tercemar oleh berbagai macam kotoran
maka bila akan dijadikan air minum harus diolah terlebih dahulu.
4. Mata Air
Air yang keluar dari mata air ini biasanya berasal dari air tanah yang muncul
secara alamiah. Oleh karena itu, air dari mata air ini, bila belum tercemar oleh
kotoran sudah dapat dijadikan air minum langsung. Akan tetapi karena kita
belum yakin apakah betul belum tercemar, maka alangkah baiknya air tersebut
direbus dahulu sebelum diminum.
5. Air Sumur Dangkal
Air ini keluar dari dalam tanah, juga disebut air tanah. Air berasal dari lapisan
air di dalam tanah yang dangkal. Dalamnya lapisan air ini dari permukaan
tanah dari tempat yang satu ke yang lain berbeda-beda. Biasanya berkisar
antara 5 sampai dengan 15 meter dari permukaan tanah. Air sumur pompa
dangkal ini belum begitu sehat, karena kontamisasi kotoran dari permukaan
tanah masih ada. Oleh karena itu, perlu direbus dahulu sebelum diminum.
6. Air Sumur Dalam
Air ini berasal dari lapisan air kedua di dalam tanah. Dalamnya dari permukaan
tanah biasanya di atas 15 meter. Oleh karena itu, sebagian besar air sumur
kedalaman seperti ini sudah cukup sehat untuk dijadikan air minum yang
langsung (tanpa melalui proses pengolahan).

Pengolahan Air Minum Secara Sederhana


Seperti telah disebutkan dalam uraian terdahulu, bahwa air minum yang
sehat harus memenuhi persyaratanpersyaratan tertentu. Sumber-sumber air minum
pada umumnya dan di daerah pedesaan khususnya tidak terlindung (protected),
sehingga air tersebut tidak atau kurang memenuhi persyaratan kesehatan. Untuk
itu perlu pengolahan terlebih dahulu. Ada beberapa cara pengolahan air minum
antara lain sebagai berikut:
1. Pengolahan Secara Alamiah
Pengolahap ini dilakukan dalam bentuk penyimpangan (storage) dari air yang
diperoleh dari berbagai macam sumber, seperti air danau, air kali, air sumber,
dan sebagainya. Dalam penyimpanan ini air dibiarkan untuk beberapa jam di
tempatnya. Kemudian akan terjadi kongulasi dari zat-zat yang terdapat dalam
air, dan akhirnya terbentuk endapan. Air akan menjadi jernih karena partikel-
partikel yang ada dalam air akan ikut mengendap.
2. Pengolahan Air dengan Menyaring
Penyaringan air secara sederhana dapat dilakukan dengan ' kerikil, ijuk, dan
pasir. Lebih lanjut akan diuraikan kemudian. Penyaringan pasir dengan
teknologi tinggi dilakukan oleh PAM. (Perusahaan Air Minum) yang hasilnya
dapat dikonsumsi umum.
3. Pengolahan Air dengan Menambahkan Zat Kimia
Zat kimia yang digunakan dapat berupa 2 macam, yakni zat kimia yang
berfungsi untuk kongulasi, dan akhirnya mempercepat pengendapan, (misalnya
tawas). Zat kimia yang kedua adalah berfungsi untuk menyucihamakan
(membunuh bibit penyakit yang ada dalam air, misalnya chlor).
4. Pengolahan Air dengan Mengalirkan Udara
Tujuan utamanya adalah untuk menghilangkan rasa serta bau yang tidak enak,
menghilangkan gas-gas yang tidak diperlukan, misalnya COZ dan juga
menaikkan derajat keasaman air.
5. Pengolahan Air dengan Memanaskah Sampai Mendidih
Tujuannya untuk membunuh kuman-kuman yang terdapat pada air. Pengolahan
semacam ini lebih tepat hanya untuk konsumsi kecil, misalnya untuk
kebutuhan rumah tangga. Dilihat dari segi konsumennya, pengolahan air pada
prinsipnya dapat digolongkan menjadi 2 yakni:
1) Pengolahan Air Minum untuk Umum
a) Penampungan Air Hujan
Air hujan dapat ditampung dalam suatu dam (danau buatan), yang
dibangun berdasarkan partisipasi masyarakat setempat. Semua air hujan
dialirkan ke danau tersebut melalui alur-alur air. Kemudian di sekitar
danau tersebut dibuat sumur pompa atau sumber gali' untuk umum. Air
hujan juga dapat ditampung dengan bak-bak ferosemen, dan di sekitarnya
dibangun atap-atap untuk mengumpulkan air hujan. Di sekitar bak
tersebut dibuat saluran-saluran keluar untuk pengambilan air untuk
umum. Air hujan, baik yang berasal dari sumur (danau) dan bak
penampungan tersebut secara bakteriologik belum terjamin, untuk itu
maka kewajiban keluarga untuk memasaknya, misalnya dengan merebus
air tersebut.
b) Pengolahan Air Sungai
Air sungai dialirkan ke dalam suatu bak penampung I, melalui saringan
kasar yang dapat memisahkan benda-benda padat dalam partikel besar.
Bak penampung I tadi diberi saringan yang terdiri dari ijuk, pasir, kerikil,
dan sebagainya. Kemudian air dialirkan ke bak penampung II, di sini
dibutuhkan tawas dan chlor. Dari sini bare dialirkan ke penduduk atau
diambil penduduk sendiri langsung ke tempat itu. Agar bebas dari
bakteri, bila air akan diminum hares direbus terlebih dahulu.
c) Pengolahan Mata Air
Mata air yang secara alamiah timbal di desa-desa perlu dikelola dengan
melindungi somber mats air tersebut, agar tidak tercemar oleh kotoran.
Dari sini air tersebut dapat dialirkan ke rumah-rumah penduduk melalui
pipa-pipa bambu, atau penduduk dapat langsung mengambilnya sendiri
ke sumber yang sudah terlindung tersebut.
2) Pengolahan Air untuk Rumah Tangga
a. Air Sumur
Air sumur pompa, terutama air sumur pompa dalam sudah cukup
memenuhi persyaratan kesehatan. Tetapi sumur pompa ini di daerah
pedesaan masih mahal, di samping itu, teknologi masih dianggap tinggi
untuk masyarakat pedesaan. Yang lebih umum di daerah pedesaan adalah
sumur gall. Agar air Sumur pompa gall ini tidak tercemar oleh kotoran di
sekitarnya, perlu adanya syarat-syarat sebagai berikut:
- Harus ada bibir sumur, agar bila musim hujan tiba, air tanah tidak
akan masuk ke dalamnya.
- Pada bagian atas kurang lebih 3 m dari permukaan tanah hares
ditembok, agar air dari atas tidak dapat mengotori air sumur.
- Perlu diberi lapisan kerikil di bagian bawah sumur tersebut untuk
mengurangi kekeruhan.
Hal ini dapat digambarkan seperti tertera pada Gambar 6.3 halaman 179.
Sebagai pengganti kerikil, ke dalam sumur ini dapat dimasukkan suatu
zat yang dapat membentuk endapan, misalnya alumunium sulfat (tawas).
Gambar 6.3

Membersihkan air sumur yang keruh ini dapat dilakukan dengan


menyaringkan dengan saringan yang dapat dibuat sendiri dari kaleng
bekas. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 6.4
b. Air Hujan
Kebutuhan rumah tangga akan air dapat pula dilakukan melalui
penampungan air hujan. Tiap-tiap keluarga dapat melakukan
penampungan air hujan dari atapnya masing-masing melalui aliran
talang. Pada musim hujan hal ini tidak jadi masalah, tetapi pada musim
kemarau mungkin menjadi masalah. Untuk mengatasi keluarga
memerlukan tempat penampungan air hujan yang lebih besar agar
mempunyai tandon (storage) untuk musim kemarau.
D. Pembuangan Kotoran Manusia
Yang dimaksud kotoran manusia adalah semua benda atau zat yang tidak
dipakai lagi oleh tubuh dan yang harus dikeluarkan dari dalam tubuh. Zat-zat yang
harus dikeluarkan dari dalam tubuh ini berbentuk tinja (feces), air seni (urine), dan
CO2. Dalam buku ini hanya akan dibahas tempat pembuangan dua kotoran
manusia berupa tinja dan air seni yang disebut jamban atau kakus (latrine).
Dengan bertambahnya penduduk yang tidak sebanding dengan area
pemukiman, masalah pembuangan kotoran manusia meningkat. Dilihat dari segi
kesehatan masyarakat, masalah pembuangan kotoran manusia merupakan masalah
yang pokok untuk sedini mungkin diatasi. Karena kotoran manusia (feces) adalah
sumber penyebaran penyakit yang multikompleks. Penyebaran penyakit yang
bersumber pada feces dapat melalui berbagai macam jalan atau cara. Hal ini dapat
diilustrasikan seperti pada Gambar 6.5 halaman 181.
Dari skema tersebut tampak jelas bahwa peranan tinja dalam penyebaran
penyakit sangat besar. Di samping dapat langsung mengkontainisasi makanan,
minuman, sayuran, dan sebagainya, juga air, tanah, serangga (lalat, kecoa, dan
sebagainya) dan bagian-bagian tubuh kita dapat terkontaminasi oleh tinja tersebut.
Benda-benda yang telah terkontaminasi oleh tinja dari seseorang yang sudah
menderita suatu penyakit tertentu, sudah barang tentu akan penyebab penyakit
bagi orang lain. Kurangnya perhatian terhadap pengelolahan tinja disertai dengan
cepatnya pertambahan penduduk, jelas akan mempercepat-
Gambar 6.5

penyebaran penyakit-penyakit yang ditularkan melalui tinja. Berdasarkan hasil


penelitian yang ada, seorang yang normal diperkirakan meng-hasilkan tinja rata-
rata sehari 330 gram, dan menghasilkan air seni 970 gram. Jadi, bila penduduk
indonesia dewasa saat ini 200 juta, maka setiap hari,tinja yang dikeluarkan sekitar
194.000 juta gram (194.000 ton). Maka bila pengelolaan tinja, tidak baik, jelas
penyakit, akan mudah tersebar.
Beberapa penyakit yang dapat disebarkan oleh tinja manusia antara lain:
tifus, disentri, kolera,bermacam-macam, cacing (gelang, kremi, tambang, pita),
schistosomiasis dan sebagainya.
Pengelolaan Pembuangan Kotoran Manusia
Untuk mencegah sekurang-kurangnya mengurangi kontaminasi tinja
terhadap lingkungan.maka pembuangan kotoran manusia harus dikelola dengan
baik, maksudnya pembuangan kotoran harus di suatu tempat tertentu atau jamban
yang sehat. Suatu jamban disebut sehat untuk daerah, pedesaan apabila memenuhi
persyaratan-persyaratan sebagai berikut:
1) Tidak mengotori permukaan tanah di sekeliling jamban tersebut.
2) Tidak mengotori air permukaan di sekitarnya.
3) Tidak mengotori air tanah di sekitarnya.
4) Tidak terjangkau oleh serangga terutama lalat dan kecoa, dan binatang-
binatang lainnya.
5) Tidak menimbulkan bau.
6) Mudah digunakan dan dipelihara (maintenance).
7) Sederhana desainnya.
8) Murah.
9) Dapat diterima oleh pemakainya.
Agar persyaratan-persyaratan ini dapat dipenuhi, maka perlu diperhatikan
antara lain:
1) Sebaiknya jamban tersebut tertutup, artinya bangunan jamban terlindung dari
panas dan hujan, serangga dan binatang-binatang lain, terlindung dari
pandangan orang (pravacy) dan sebagainya.
2) Bangunan jamban sebaiknya mempunyai lantai yang kuat, tempat berpijak
yang kuat, dan sebagainya.
3) Bangunan jamban sedapat mungkin ditempatkan pada lokasi yang tidak
mengganggu pandangan, tidak menimbulkan bau; dan sebagainya.
4) Sedapat mungkin disediakan alat pembersih seperti air atau kertas pembersih.

Teknologi Pembuangan Kotoran Manusia Secara Sederhana


Teknologi pembuangan kotoran manusia untuk daerah pedesaan sudah tentu
berbeda dengan teknologi jamban di daerah perkotaan. Oleh karena itu, teknologi
jamban di daerah pedesaan di samping harus memenuhi persyaratan jamban sehat
seperti telah diuraikan di atas, juga harus didasarkan pada sosiobudaya dan
ekonomi masyarakat pedesaan. Tipe-tipe jamban yang sesuai dengan teknologi
pedesaan antara lain:
1) Jamban Cemplung, Kakus (Pit Latrine)
Jamban cemplung ini sering kita jumpai di daerah pedesaan di Jawa. Tetapi
sering dijumpai jamban cemplung yang kurang sempurna, misalnya tanpa
rumah jamban dan tanpa tutup. Sehingga serangga mudah masuk, dan bau
tidak bisa dihindari. Di samping itu, karena tidak ada rumah jamban, bila
musim hujan tiba maka jamban itu akan penuh oleh air. Skema jamban
cemplung adalah:
Gambar 6.6

Hal lain yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa kakus cemplung itu tidak
boleh terlalu dalam. Sebab bila terlalu dalam akan mengotori air tanah di
bawahnya. Dalamnya pitlatrine berkisar antara 1,5-3 meter saja. Sesuai dengan
daerah pedesaan maka rumah kakus tersebut dapat dibuat dari bambu, dinding
bambu, dan atap daun kelapa ataupun daun padi. Jarak dari sumber air minum
sekurangkurangnya 15 meter.
2) Jamban Cemplung Berventilasi (Ventilasi Improved Pit Latrine = VIP Latrine)
Jamban ini hampir sama dengan jamban cemplung, bedanya lebih lengkap,
yakni menggunakan ventilasi pipa. Untuk daerah pedasaan pipa ventilasi ini
dapat dibuat dengan bambu. Skema VIP latrine tersebut attalah sebagsi berikut:
Gambar 6.7

3) Jamban Empang (Fishpond Latrine)


Jamban ini dibangun di atas empang ikan. Dalam sistem jamban empang ini
disebut daur-ulang (recyling), yakni tinja dapat langsung dimakan ikan, ikan
dimakan orang, dan selanjutnya orang mengeluarkan tinja yang dimakan,
demikian seterusnya.
Jamban empat ini mempunyai fungsi, yaitu di samping mencegah tercemarnya
lingkungan oleh tinja, juga-dapat menambah protein bagi masyarakat
(menghasilkan ikan).
Gambar 6.8

4) Jamban Pupuk (The Compost Privy)


Pada prinsipnya jamban ini seperti kakus cemplung, hanya lebih dangkal
galiannya. Di samping itu jamban ini juga untuk membuang kotoran binatang
dan sampah, daun-daunan. Prosedurnya adalah:
- Mula-mula membuat jamban cemplung biasa.
- Di lapisan bawah sendiri ditaruh sampah daun-daunan.
- Di atasnya ditaruh kotoran dan kotoran binatang (kalau ada) setiap hari.
- Setelah ± 20 inchi, ditutup lagi dengan daun-daunan sampah, selanjutnya
ditaruh kotoran lagi.
- Demikian selanjutnya sampai penuh.
- Setelah penuh ditimbun tanah, dan membuat jamban baru.
- Lebih kurang 6 bulan kemudian dipergunakan pupuk tanaman.
Gambar 6.9
Jamban Pupuk yang Sudah Pupuk

5) Septic tank
Latrin jenis septic tank ini merupakan cara yang paling memenuhi persyaratan,
oleh sebab itu, cara pembuangan tinja semacam ini yang dianjurkan. Septic
tank terdiri dari tangki sedimentasi yang kedap air, di mana tinja dan air
buangan masuk dan mengalami dekomposisi. Dalam tanki ini tinja akan berada
selama beberapa hari. Selama waktu tersebut tinja akan mengalami 2 proses,
yakni:
a. Proses kimiawi
Akibat penghancuran tinja akan direduksi dan sebagian besar (60-70%) zat-
zat padat akan mengendap dalam tanki sebagai ‘sludge’. Zat-zat yang tidak
dapat hancur bersama-sama dengan lemak dan busa akan mengapung
membentuk lapisan yang menutup permukaan air dalam tanki tersebut.
Lapisan-ini disebut ‘scum’ yang berfungsi mempertahankan suasana
anaerob dari cairan di bawahnya, yang memungkinkan bakteri-bakteri
anerob dan fakultatif anerob dapat tumbuh subur, yang akan : berfungsi
pada proses berikutnya.
b. Proses biologis
Dalam proses ini terjadi dekomposisi melalui aktivitas bakteri anerob dan
fakultatif anerob yang memakan zatzat organik alam Alkdge dan scum.
Hasilnya, selainn terbentuknya gas dan zat cair lainnya, adalah juga
pengurangan volume sludge, sehingga memungkinkan septic tank tidak
cepat penuh. Kemudian cairan ‘enfluent’ sudah tidak mengandung bagian-
bagian tinja dan mempunyai BOD yang retatif rendah. Cairan enfluent ini
akhirnya dialirkan ke luar melalui pipa dan masuk ke dalam tempat
perembesan.
Gambar 6.10
Skema Septic Tank

E. Pengolahan Sampah
Sampah adalah sesuatu bahan atau benda padat yang sudah tidak dipakai
lagi oleh manusia, atau bends, padat yang sudah digunakan lagi dalam suatu
kegiatan manusia dan dibuang. Para ahli kesehatan masyarakat Amerika membuat
batasan, sampah (waste) adalah sesuatu yang tidak digunakan, tidak dipakai, tidak
disenangi, atau sesuatu yang dibuang yang berasal dari kegiatan manusia, dan
tidak terjadi dengan sendirinya.
Dari batasan ini jelas bahwa sampah adalah hasil suatu kegiatan manusia
yang dibuang karena sudah tidak berguna. Sehingga bukan semua benda padat
yang tidak digunakan dan dibuang disebut sampah, misalnya: benda-benda alam,
bendabenda yang keluar dari bumi akibat dari gunung meletus, banjir, pohon di
hutan yang tumbang akibat angin ribut, dan sebagainya. Dengan demikian sampah
mengandung prinsipprinsip sebagai berikut:
a. Adanya sesuatu benda atau benda padat.
b. Adanya hubungan langsung/tidak langsung dengan kegiatan manusia.
c. Benda atau bahan tersebut tidak dipakai lagi.

1. Sumber-sumber Sampah
a. Sampah yang berasal dari pemukiman (domestic wastes)
Sampah ini terdiri dari bahan-bahan padat sebagai hasil kegiatan rumah tangga
yang sudah dipakai dan dibuang, seperti: sisa-sisa makanan baik yang sudah
dimasak atau yang belum, bekas pembungkus berupa kertas, plastik, daun, dan
sebagainya, pakaian-pakaian bekas, bahan-bahan bacaan, perabot rumah
tangga, daun-daun dari kebun atau taman.
b. Sampah yang berasal dari tempat-tempat umum
Sampah ini berasal dari tempat-tempat umum, seperti pasar, tempat-tempat
hiburan, terminal bus, stasiun kereta api, dan sebgainya. Sampah ini berupa:
kertas, plastik, botol, daun, dan sebagainya.
c. Sampah yang berasal dari perkantoran
Sampah dari perkantoran baik perkantoran pendidikan,perdagangan,
departemen, perusahaan, dan sebagainya. Sampah ini berupa kertas-kertas,
plastik, karbon, klip, dan sebagainya. Umumnya sampah ini bersifat kering,
dan mudah terbakar (rcsbbish).
d. Sampah yang berasal dari jalan raya
Sampah ini berasal dari pembersihan jalan, yang umumnya terdiri dari: kertas-
kertas, kardus-kardus, debu, batu`batuan, pasir, sobekan ban, onderdil-ondersil
kendaraan yang jatuh, daun-daunan, plastik, dan sebaginya.
e. Sampah yang berasal dari igdustri (industrial wastes)
Sampah ini berasal dari kawasan industri, termasuk sampah yang berasal dari
pembangunan industri, dan segala sampah yang berasal dari proses produksi,
misalnya: sampahsampah pengepakan barang, logam, plastik, kayu, potongan
tekstil, kaleng, dan sebagainya.
f. Sampah yang berasal dari pertanian/perkebunan
Sampah ini sebagai hasil dari perkebunan atau pertanian misalnya: jerami, sisa
sayur-mayur, batang padi, batang jagung, ranting kayu yang patah, dan
sebagainya.
g. Sampah yang berasal dari pertambangan
Sampah ini berasal dari daerah pertambangan, dan jenisnya tergantung dari
jenis usaha pertambangan itu sendiri, misalnya: batu-batuan, tanah/cadas, pasir,
sisa-sisa pembakaran (arang), dan sebagainya.
h. Sampah yang berasal dari peternakan dan perikanan
Sampah yang berasal dari peternakan dan perikanan ini, berupa: kotoran-
kotoran ternak, sisa-sisa makanan, bangkai binatang, dan sebagainya.

2. Jenis jenis Sampah


Kalau kita berbicara tentang sampah, sebenarnya meliputi 3 jenis sampah
yakni: sampah padat, sampah cair, dan sampah dalam bentuk gas (fume, smoke).
Akan tetapi seperti telah dibuatkan batasan di atas, bahwa dalam konteks ini
hanya akan dibahas sampah padat. Sampah cair yang berupa air limbah akan
dibahas di bagian lain dalam buku ini. Sedangkan sampah dalam bentuk gas yang
menimbulkan polusi udara seperti asap kendaraan, asap pabrik, dan sebagainya
tidak dibahas dalam buku ini.
Sampah padat (selanjutnya akan disebut sampah saja), dapat dibagi menjadi
berbagai jenis, yakni:
1. Berdasarkan zat kimia yang terkandung di dalamnya, sampai dibagi menjadi:
a. Sampah an-organik, adalah sampah yang umumnya tidak dapat membusuk,
misalnya: loganlbesi, pecahan gelas, plastik, dan sebagainya.
b. Sampah organik, adalah sampah yang pada umumnya dapat membusuk,
misalnya: sisa-sisa makanan, daundaunan, buah-buahan, dan sebagainya.
2. Berdasarkan dapat dan tidaknya dibakar
a. Sampah yang mudah terbakar, misalnya: kertas, karet, kayu, plastik, kain
bekas, dan sebagainya.
b. Sampah yang tidak dapat terbakar, misalnya: kaleng-kaleng bekas,
besi/logam bekas, pecahan gelas, kaca, dan sebagainya.
3. Berdasarkan karakteristik sampah
a. Garbage, yaitu jenis sampah hasil pengolahan atau pembuatan makanan,
yang umumnya mudah membusuk, dan berasal dari rumah tangga, restoran,
hotel, dan sebagainya.
b. Rabish, yaitu sampah yang berasal dari perkantoran, perdagangan baik yang
mudah terbakar, seperti kertas, karton, plastik, dan sebagainya, maupun
yang tidak mudah terbakar, seperti kaleng bekas, klip, pecahan kaca, gelas,
dan sebagainya.
c. Ashes (abu), yaitu sisa pembakaran dari bahan-bahan yang mudah terbakar,
termasuk abu rokok.
d. Sampah jalanan (street sweeping), yaitu sampah yang berasal dari
pembersihan jalan, yang terdiri dari campuran bermacam-macam sampah,
daun-daunan, kertas, plastik, pecahan kaca, besi, debu, dan sebagainya.
e. Sampah industri, yaitu sampah yang berasal dari industri atau pabrik-pabrik.
f. Bangkai binatang (dead animal), yaitu bangkai binatang yang mati karena
alam, ditabrak kendaraan, atau dibuang oleh orang.
g. Bangkai kendaraan (abandoned vehicle); adalah bangkai mobil, sepeda,
sepeda motor, dan sebagainya.
h. Sampah pembangunan (construction waste), yaitu sampah dari proses
pembangunan gedung, rumah dan sebagainya, yang rupa puing-puing,
potonganpotongan kayu, besi beton, bambu, dan sebagainya.

3. Pengelolaan Sampah
Sampah erat kaitannya dengan kesehatan masyarakat, karena dari sampah
tersebut akan hidup berbagai mikro organisme penyebab penyakit (bacteri
patogen), dan juga binatang serangga sebagai pemindah/penyebar penyakit
(vektor). Oleh sebab itu sampah hams dikelola dengan baik sampai sekecil
mungkin tidak mengganggu atau mengancam kesehatan masyarakat. Pengelolaan
sampah' yang baik, bukan untuk kepentingan kesehatan saja, tetapi juga untuk
keindahan lingkungan. Yang dimaksud dengan pengelolaan sampah di sun adalah
.meliputi peagumpulan, pengangkutan, sampai dengan pemusnahan atau
pengolahan sampah sedemikian rupa sehingga sampah tidak menjadi gangguan
kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup. Cara-cara pengelolaan sampah
antara lain:
a. Pengumpulan dan pengangkutan sampah
Pengumpulan sampah adalah menjadi tanggung jawab dari masing-masing
rumah tangga atau institusi yang menghasilkan sampah. Oleh-sebab itu,
mereka ini harus membangun bangun atau mengadakan tempat khusus untuk
mengumpulkan sampah. Kemudiann dari masing-masing tempat pengumpulan
sampah tersebut harus diangkut ke tempat penampungan sementara (TP5)
sampah, dan selanjutnya ke tempat penampungan akhir (TPA).
Mekanisme, sistem, atau cara pengangkutannya untuk di daerah perkotaan
adalah tanggung jawab pemerintah daerah setempat yang didukung oleh
partisipasi masyarakat produksi sampah, khususnya dalam hal pendanaan.
Sedangkan untuk daerah pedesaan pada umumnya sampah dapat dikelola oleh
masing-masing keluarga, taripa memerlukan TPS, maupun TPA. Sampah
rumah iangga daerah pedesaan umumnya didaur ulang menjadi pupuk.
b. Pemusnahan dan pengolahan sampah
Pemusnahan dan atau pengolahan sampgh padat ini dapat dilakukan melalui
berbagai cara, antara lain:
1. Ditanam (landfill), yaitu pemusnahan sampah dengan membuat lubang di
tanah kemudian sampah dimasukkan dan ditimbun dengan tanah.
2. Dibakar (inceneration), yaitu memusnahkan sampah dengan jalan membakar
di dalam tungku pembakaran (ineenerator).
3. Dijadikan pupuk (composting), yaitu pengolahan sampah menjadi pupuk
(kompos), khususnya untuk sampah organik daun-daunan, sisa makanan,
dan sampah lain yang dapat membusuk. Di daerah pedesaan hal ini sudah
biasa, sedangkan di dareah perkotaan hal ini perlu dibudayakan. Apabila
setiap rumah tarigga dibiasakan untuk memisahkan sampah organik dengan
an-orgaruk, kemudian sampah organik diolah menjadi pupuk tanaman dapat
dijual atau dipakai sendiri. Sedangkan sampah organik dibuang, dan akan
segera dipungut oleh para pemulung. Dengan demikian maka masalah
sampah akan berkurang.

F. Pengolahan Air Limbah


Air limbah atau air buangan adalah sisa air yang dibuang yang berasal dari
rumah tangga, industri maupun tempattempat umum lainnya dan pada umumnya
mengandung bahanbahan atau zat-zat yang dapat membahayakan bagi kesehatan
manusia serta mengganggu lingkungan hidup. Batasan lain mengatakan bahwa air
limbah adalah kombinasi dari cairan dan sampah cair yang berasal dari daerah
pemukiman, perdagangan, ; perkantoran dan industri, bersama-sama dengan air
tanah, air permukaan dan air hujan yang mungkin ada (Haryoto Kusnoputranto,
1985).
Dari batasan tersebut dapat disimpulkan bahwa air buangan adalah airryang
tersisa dari kegiatan manusia, baik kegiatan rumah tangga maupun kegiatan lain
seperti industri, perhotelan, dan sebagainya. Meskipun merupakan air sisa, namun
volumenya besar, karena lebih kurang 80% dari air yang digunakan bagi kegiatnn-
kegiatan manusia sehari-hari tersebut dibuang lagi dalafln bentuk yang sudah
kotor (tercemar). Selanjutnya air limbah ini akhirnya akan mengahr ke sungai dan
akan digunakan oleh manusia lagi. Oleh sebab itu, air huangan ihi harus dikelola
dan atau diolah secara baik.
Air iimbah ini berasal dari berbagai sumber, secara garis besar dapat
dikelompokkan menjadi:
1. Air buangan yang bersumber dari rumah tangga (domestic wastes water), yaitu
air limbah yang berasal dari pemukiman penduduk. Pada uniumnya air limbah
ini terdiri dari ekstreta (tinja dan air seni), air bekas cucian dapur dan kamar
mandi, dan umumnya terdiri dari bahan-bahan organik.
2. Air buangan industri (industrial wastes water), yang berasal dari berbagai jenis
industri akibat proses produksi. Zat-zat yang terkandung di dalamnya sangat
bervariasi sesuai dengan bahan baku yang dipakai oleh masing-masing industri,
antara lain: nitrogen, sulfida, amoniak, lemak, garam-garam, zat pewarna,
mineral, logam berat, zat pelarut, dan sebagainya. Oleh sebab itu, pengolahan
jenis air limbah ini agar tidak menimbulkan polusi lingkungan menjadi lebih
rumit.
3. Air buangan kotapraja (municipal wastes water), yaitu air buangan yang
berasal dari daerah: perkantoran, perdagangan, hotel, restoran, tempat-tempat
umum, tempat-tempat ibadah, dan sebagainya. Pada umumnya zat-zat yang
terkandung dalam jenis air limbah ini sama dengan air limbah rumah tangga.
1. Karakteristik Air Limbah
Karakteristik air limbah perlu dikenal karena hal ini akan menentukan cara
pengolahan yang tepat, sehingga tidak mencemari ingkungari hidup. Secara
garis besar karakteristik air limbah ini digolongkan menjadi:
a. Karekteristik fisik
Sebagian besar terdiri dari air dan sebagian kecil terdiri dari bahan-bahan
padat dan suspensi. Terutama air limbah rumah tangga, biasanya berwarna
suram seperti laturan sabun, sedikit berbau. Kadang-kadang mengandung
sisa-sisa kertas,berwarna bekas cucian beras dan sayur, bagianbagian tinja,
dan sebagainya.
b. Karakteristik kimiawi
Biasanya air buangan ini mengandung campuran zat-zat kimia anorganik
yang berasal dari air bersih serta bermacam-macam zat organik berasal dari
penguraian tinja, urine, dan sampah-sampah lainnya. Oleh sebab itu, pada
umumnya bersifat basah pada waktu masih baru, dan cenderung bau asam
apabila sudah memulai membusuk. Substansi organik dalam air buangan
terdiri dari dua gabungan, yakni:
a. Gabungan yang mengandung- nitrogen, misalnya: urea, protein, amine,
dan asam amino.
b. Gabungan yang tidak mengandung nitrogen, misalnya: lemak, sabun, dan
karbohidrat, termasuk selulosa.
c. Karakteristik bakteriologis
Kandungan bakteri patogen serta organisme golongan coil terdapat juga
dalam air limbah tergantung dari mana sumbernya, namun keduanya tidak
berperan dalam proses pengolahan air buangan.

Sesuai dengan zat-zat yang terkandung dalam air limbah : ini, maka air
limbah yang tidak diolah terlebih dahulu akan menyebabkan berbagai gangguan
kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup antara lain:
a. Menjadi transmisi atau media penyebaran berbagai penyakit, terutama: kolera,
tifus abdominalis, desentri baciler.
b. Menjadi media berkembang biaknya mikro-organisme patogen.
c. Menjadi tempat berkembang biaknya nyamuk atau tempat hidup , larva
nyamuk.
d. Menimbulkan bau yang tidak enak serta pandangan yang tidak sedap.
e. Merupakan sumber pencemaran air permukaan, tanah, dan lingkungan hidup
lainnya.
f. Mengurangi produktivitas manusia, karena orang bekerja dengan tidak
nyaman, daii sebagainya.
Untuk mencegah atau mengurangi akibat-akibat buruk tersebut diperlukan
kondisi, persyqratan dan upaya-upaya sedemikian rupa sehingga air limbah
tersebut:
a. Tidak mengakibatkan kontaminasi terhadap sumber air minum.
b. Tidak mengakibatkan pencemaran terhadap permukaan tanah.
c. Tidak menyebabkan pencemaran air untuk mandi, perikanan, air sungai, atau
tempat-tempat rekreasi.
d. Tidak dapat dihinggapi serangga, tikus dan tidak menjadi
a. tempat berkembang biaknya berbagai bibit penyakit dan vektor.
e. Tidak terbuka kena udara luar (jika tidak diolah) serta tidak-dapat dicapai oleh
anak-anak.
f. Baunya tidak mengganggu.

2. Cara Pengolahan Air Limbah Secara Sederhana


Pengolahan air limbah dimaksudkan untuk melindungi lingkungan hidup
terhadap pencemaran air limbah tersebut. Secara ilmiah sebenarnya lingkungan
mempunyai daya dukung yang cukup besar terhadap gangguan yang timbul
karena pencemaran air limbah tersebut. Namun demikian, alam mempunyai
kemampuan-yang terbatas dalam daya dukungnya, sehingga air limbah perlu
diolah sebelum dibuang. Beberapa cara sederhana pengolahan air buangan antara
lain:
a. Pengeceren (dilution)
Air limbah diencerkan sampai mencapai konsentrasi yang cukup rendah,
kemudian baru dibuang ke badan-badan air. Akan tetapi, dengan makin
bertambahnya penduduk yang berarti makin meningkatnya kegiatan manusia,
maka jumlah air limbah yang harus dibuang terlalu banyak, dan diperlukan air
pengenceran terlalu banyak pula, maka cara ini tidak dapat dipertahankan lagi.
Di samping itu, cara ini menimbulkan kerugian lain, di antaranya; bahaya
kontaminasi terhadap badan-badan air masih tetap ada, pengendapan yang
akhimYa menimbulkan pendangkalan terhadap badan-badan air, aeperti
selokan, sungai, danau, dan sebagainya. Selanjutnya dapat menimbulkan
banjir.
b. Kolam Oksidasi (Oxidation ponds)
Pada prinsipnya cara pengolahan ini adalah pemanfaatan sinar matahari,
ganggang (algae), bakteri dan oksigen dalam proses pembersihan alamiah. Air
limbah dialirkan ke dalam kolam besar berbentuk segi empat dengan
kedalaman antara 1-2 meter. DjAding dan dasar.k91am tidak perlu diberi
lapisan apa pun. Lokasi kolam harus jauh dari daerah pemukiman, dan di
daerah yang terbuka, sehingga memungkinkan sirkulasi angin dengan baik.
Gambar 6.11
Diagram Kolam Oksidasi

Cara kerjanya antara lain:


Empat unsur yang berperan dalam proses pembersihan alamiah ini adalah:
sinar matahari, ganggang, bakteri, dan oksigen. Ganggang dengan butir
klorofilnya dalam air limbah melakukan proses fotosintetis dengan bantuan
sinar matahari, sehingga tumbuh dengan subur. Pada proses sinstesis untuk
pembentukan karbohidrat dari H2O dan CO2 oleh klorofil di bawah pengaruh
sinar matahari terbentuk O2 (oksigen). Kemudian oksigen ini digunakan untuk
bakteri aerobik untuk melakukan dekompoqjsi zat-zat organik yang terdapat
dalam air buangan. Di samping itu, terjadi pengendapan. Sebagai hasilnya nilai
BOD dari air limbah tersebut akan berkurang, sehingga relatif aman bila akan
dibuang ke dalam badan-badan air (kali, danau, dan sebagainya).
c. Irigasi
Air limbah dialirkan ke dalam parit-parit terbuka yang digali, dan air- akan
merembes masuk ke dalam tanah melalui dasar dan dinding parit-parit tersebut.
Dalam keadaan tertentu air buangan dapat digunakan untuk pengairan ladang
pertanian atau perkebunan dan sekaligus berfungsi untuk pemupukan. Hal ini
terutama dapat dilakukan untuk air limbah dari rumah tangga, perusahaan susu
sapi, rumah potong hewan, dan lain-lainnya di mana kandungan zat-zat organik
dan protein cukup tinggi yang diperlukan oleh tanam-tanaman.
GIZI MASYARAKAT

A. Gizi dan Fungsinya


Dalam kehidupan manusia sehari-hari, orang tidak terlepas lepas dari
makanan karena makanan adalah salah satu persyaratan pokok untuk manusia, di
samping udara (oksigen). Empat fungsi pokok makanan bagi kehidupan manusia
adalah untuk:
a) Memelihara proses tubuh dalain pertumbuhan/perkembangan serta mengganti
jaringan tubuh yang rusak.
b) Memperoleh energi guna melakukan kegiatan sehari-hari.
c) Mengatur metabolisme dan mengatur berbagai keseimbangan air, mineral, dan
cairan tubuh yang lain.
d) Berperan dalam mekanisme pertahanan tubuh terhadap berbagai penyakit.
Agar makanan dapat berfungsi seperti itu maka makanan yang kita makan
sehari-hari tidak hanya sekadar makanan. Makanan harus mengandung zat-zat
tertentu sehingga memenuhi fungsi tersebut, dan zat-zat ini disebut gizi. Makanan
yang kita makan sehari-hari harus dapat memelihara dan dapat meningkatkan
kesehatan.
Ilmu yang mempelajari atau mengkaji masalah makanan yang dikaitkan
dengan kesehatan ini disebut gizi. Batasan klasik iengatakan bahwa ilmu gizi ialah
ilmu yang mempelojari nasib miakanan sejak ditelan dampai diubah menjadi
bagian tubuh dan energi serta dieksresikan sebagai sisa (Achmad Djaeni, 1987).
Dalam perkembangan selanjutnya ilmu gizi mulai dari pengadaan, pemilihan,
pengolahan, sampai dengan penyajian makanan tersebut. Dari batasan tersebut,
dapat ditarik kesimpulan bahwa ilmu gizi itu mencakup dua komponen penting,
yaitu makanan dan kesehatan.
Untuk mencapai kesehatan yang optimal diperlukan, makanan bukan
sekadar makanan, tetapi makanan yang mengandung gizi atau zat-zat gizi. Zat-zat
makanan yang diperlukan untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan ini
dikelompokan menjadi 5 macam, yakni protein, lemak, karbohidrat, vitamin, dan
mineral. Fungsi-fungsi zat makanan itu antara lain:
a. Protein, diperoleh dari makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan (protein
nabati), dan makanan dari hewan (protein hewani). Fungsi protein bagi tubuh
antara lain:
- Membangun sel-sel yang rusak.
- Membentuk zat-zat pengatur, seperti enzim dan hormon.
- Membentuk zat inti energi (1 gram energi kira-kira akan menghasilkan 4,1
kalori).
b. Lemak, berasal dari minyak goreng, daging, margarin, dan sebagainya. Fungsi
pokok lemak bagi tubuh ialah:
- Menghasilkan kalori terbesar dalam tubuh manusia (1 gram lemak
menghasilkan sekitar 9,3 kalori).
- Sebagai pelarut vitamin: A, D, E, dan K.
- Sebagai pelindung terhadap bagian-bagian tubuh tertentu dan pelindung
bagian tubuh pada temperatur rendah.
c. Karbohidrat, berdasarkan gugus penyusun gulanya dapat dibedakan menjadi
monosakarida, disakarida, dan polisakarida. Fungsi karbohidrat adalah salah
satu pembentuk energi yang paling murah karena pada umumnya sumber
karbohidrat ini berasal dari tumbuh-tumbuhan (beras, jagung, singkong, dan
sebagainya) yang merupakan makanan pokok.
d. Vitamin-vitamin, yang dibedakan menjadi dua, yakni vitamin yang larut dalam
air (vitamin A dan B), dan vitamin yang larut dalam lemak (vitamin A, D, E,
dan K).
Fungsi masing-masing vitamin ini antara lain:
1) Vitamin A berfungsi bagi pertumbuhan sel-sel epitel dan sebagai pengatur
kepekaan rangsang sinar pada saraf dan mata.
2) Vitamin B 1 berfungsi untuk metabolisme karbohidrat, keseimbangan air
dalam tubuh, dan membantu penyerapan zat lemak oleh usus.
3) Vitamin B2 berfungsi dalam pemindahan rangsang sinar ke saraf mata dan
enzim berfungsi dalam proses oksidasi dalam sel-sel.
4) Vitamin B6 berfungsi dalam pembuatan sel-sel darah dan dalam proses
pertumbuhan serta pekerjaan urat saraf.
5) Vitamin C, berfungsi sebagai aktivator macam-macam fermen perombak
protein dan lemak dalam oksidasi dan dehidrasi dala.m sel, penting dalam
pembentukan trombosit.
6) Vitamin D, berfungsi mengatur kadar kapur dan fostor dalam bersama-sama
kelenjar anak gondok, memperbesar penyerapan kapur dan fosfor dari usus,
dan mempengaruhi kerja kelenjar endoktrin.
7) Vitamin E, berfungsi mencegah pendarahan bagi wanita hamil serta
mencegah keguguran dan diperlukan pada sel-sel sedang membelah.
8) Vitamin K, berfungsi dalam pembentukan protombin yang berarti penting
dalam proses pembekuan darah.
e. Mineral, terdiri dari zat kapur (Ca), zat besi (Fe), zat fluor (F), natrium (Na)
dan chlor (Cl), kalium (K), dan iodium (I). Secara umum fungsi mineral adalah
sebagai bagian dari zat yang aktif dalam metabolisme atau sebagai bagian
penting dari struktur sel dan jaringan.

B. Gizi Klinik dan Gizi Masyarakat


Dilihat dari segi sifatnya ilmu gizi dibedakan menjadi dua, yakni gizi yang
berkaitan dengan kesehatan perorangan yang disebut gizi kesehatan perorangan
dan gizi yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat yang disebut gizi kesehatan
masyarakat (public health nutrition). Kedua sifat keilmuan ini akhirnya masing-
masing berkembang menjadi cabang ilmu sendiri, yakni cabang ilmu gizi
kesehatan perorangan atau disebut gizi klinik (clinik clinical nutrition) dan cabang
ilmu gizi kesehatan masyarakat atau gizi masyarakat (community nutrition).
Kedua cabang ilmu gizi dibedakan berdasarkan hakikat masalahnya. Gizi
klinik berkaitan dengan nasabah gizi pada individu yang. sedang menderita.
gangguan kesehatan akibat kekurangan atau kelebihan gizi. Oleh sebab itu, sifat
dari gizi klinik adalah lebih menitikberatkan pada kuratif daripada preventif dan
promotifnya. Sedangkan gizi masyarakat berkaitan dengan gangguan gizi pada
kelompok masyarakat, oleh sebab itu, sifat dari gizi masyarakat lebih ditekankan
pada pencegahan (prevensi) dan peningkatan (promosi).
Oleh karena sifat kedua keilmuan ini berbeda maka akan menyebabkan
perbedaan jenis profesi yang menangani kedua pokok masalah tersebut. Gizi
klinik berurusan dengan masalah klinis pada individu yang mengalami gangguan
gizi maka profesi kedokteranlah yang lebih tepat untuk menanganinya. Sebaliknya
gizi masyarakat yang berurutan gangguan gizi pada masyarakat, di mana
masyarakat mempunyai aspek yang sangat luas maka penanganannya harus secara
multisektor dan multidisiplin. Profesi dokter saja belum cukup untuk menangani
masalah gizi masyarakat.
Penanganan gizi masyarakat tidak cukup dengan upaya terapi para penderita
saja karena apabila setelah mereka sembuh akan kembali ke masyarakat. Oleh
karena itu, terapi penderita gangguan gizi masyarakat tidak saja ditunjukkan
kepada penderitanya saja, tetapi seluruh masyarakat tersebut.
Masalah gizi masyarakat bukan menyangkut aspek kesehatan saja,
melainkan aspek-aspek terkait yang lain, seperti ekonomi, sosial-budaya,
pendidikan, kependudukan, dan sebagainya. Oleh sebab itu, penanganan atau
perbaikan gizi sebagai upaya terapi tidak hanya diarahkan pada gangguan gizi
atau kesehatan saja, melainkan juga ke arah bidang-bidang yang lain. Misalnya,
penyakit gizi KKP (kekurangan kalori dan protein) pada anak-anak balita, tidak
cukup dengan hanya pemberian makanan tambahan saja (PMT), tetapi juga
dilakukan perbaikan ekonomi keluarga, peningkatan pengetahuan, dan
sebagainya.

C. Penyakit-penyakit Kekurangan Gizi


Konsumsi gizi makanan pada seseorang dapat menentukan tercapainya
tingkat kesehatan, atau sering disebut status gizi. Apabila tubuh berada dalam
tingkat kesehatan gizi optimum, di mana jaringan jenuh oleh semua zat gizi, maka
disebut status gizi optimum. Dalam konsisi demikian tubuh terbebas dari penyakit
dan mempunyai daya tahan yang setinggi-tingginya. Apabila konsumsi gizi
makanan pada seseorang tidak seimbang dengan kebutuhan tubuh maka akan
terjadi kesalahan akibat gizi (malnutrition). Malnutrition ini mencakup kelebihan
nutrisi/gizi disebut gizi lebih (overnutrition), dan kekurangan gizi atau gizi kurang
(undernutrition).
Penyakit-penyaki atau gangguan-gangguan kesehatan akibat dari kelebihan
atau kekurangan zat gizi, dan yang nerupakan masalah kesehatan masyarakat,
khususnya di Indonesia, antara lain:
1. Penyakit Kurang Kalori dan Protein (KKP)
Penyakit ini terjadi karena ketidakseimbangan antara konsumsi kalori atau
karbohidrat dan protein dengan kebutuhan energi, atau terjadinya defisiensi
atau defisi energi dan protein. Pada umumnya penyakit ini terjadi pada anak
balita, karena pada umur tersebut anak mengalami pertumbuhan yang pesat.
Apabila konsumsi makanan tidak seimbang dengan kebutuhan kalori maka
akan terjadi defisiensi tersebut (kurang kalori dan protein). Penyakit ini dibagi
dalam tingkat-tingkat, yakni:
a. KKP ringan, kalau berat badan anak mencapai antara 8495% dari berat
badan menurut standar Harvard.
b. KKP sedang, kalau berat badan anak hanya mencapai 4460% dari berat
badan menurut standar Harvard.
c. KKP berat (gizi buruk), kalau berat badan anak kurang dari 60% dari berat
badan menurut standar Harvard.

Beberapa ahli hanya membedakan adanya dua macam KKP saja, yakni:
KKP ringan atau gizi kurang dan KKP berat (gizi buruk) atau lebih sering disebut
marsmus (kwashiohor).
Anak atau penderita marsmus ini tampak sangat kurus, berat badan kurang
dan 60% dan berat badan ideal menurut umurnya muka berkerut seperti orang tua,
apatis terhadap sekitarnya, rambut kepala halus dan jarang berwarna kemerahan.
Penyakit KKP pada orang dewasa memberikan tanda-tanda kliniS: oedema
atau honger oedema (HO), atau juga disebut penyakit kurang makan, kelaparan
atau busung lapar. Oedema pada penderita biasanya tampak pada daerah kaki.

2. Penyakit Kegemukan (Obesitas)


Penyakit ini terjadi ketidakseimbangan antara konsumsi kalori dan
kebutuhan energi, yakni konsumsi kalori terlalu berlebih dibandingkan dengan
kebutuhan atau pemakaian energi. Kelebihan energi dalam tubuh ini disimpan
dalam bentuk lemak. Pada keadaan normal, jaringan lemak ini ditimbun di
tempat-tempat tertentu di antaranya dalam jaringan subcutan, dan di dalam
jaringan tirai usus. Seseorang dikatakan menderita obesitas bila berat badannya
pada laki-lald melebihi 15% dan pada wanita melebihi 20% dari berat badan ideal
menurut umurnya.
Pada orang yang menderita obesitas ini organ-organ tubuhnya dipaksa untuk
bekerja lebih berat, karena harus membawa kelebihan berat badan. Oleb sebab itu,
pada umumnya lebih cepat .gerah, capai, dan mempunyai kecenderungan untuk
membuat kekeliruan dalam bekerja. Akibat dari penyakit obesitas ini, para
penderitanya cenderung menderita penyakit-penyakit: kardio-vaskuler, hipertensi,
dan diabetes melitus.
Berat badan yang ideal pada orang dewasa menurut rumus Dubois ialah:
B (kg) = (Tcm - 10) + 10%, dengan:
B = Berat badan hasil perkiraan/pengukuran
T = Tinggi badan.
Oleh bagian gizi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
dilakukan.koreksi sebagai berikut:
B (kg) = {(Tcm-100)-10%}+10%
Contoh:
Si Ali (dewasa) diukur tinggi badannya 160 meter maka berat badan Ali yang
ideal adalah antara 54 kilogramdengan 66 kilogram (paling rendah 54 kilogram
dan paling tinggi 66 kilogram). Apabila orang dewasa yang tinggi badannya 160
cm, dengan berat badan di bawah 54 kg maka ia kekurangan gizi dan bila lebih
dari 66 kg ia termasuk obesitas (kegemukan).

3. Anemia (penyakit kurang darah)


Penyakit ini terjadi karena konsumsi zat besi (Fe) pada tubuh tidak
seimbang atau kurang dari kebutuhan tubuh. Zat besi merupakan mikro elemen
yang esensial bagi tubuh, yang sangat diperlukan dalam pembentuk darah, yakni
dalam hemoglobin (Hb). Di samping itu Fe juga diperlukan enzim sebagai
penggiat. Zat besi (Fe) lebih mudah diserap oleh usus halus dalam bentuk Ferro.
Penyerapan ini mempunyai mekanisme autoregular yang diatur oleh kadar Ferritin
yang terdapat dalam sel-sel mukosa usus. Dalam kondisi Fe yang baik, hanya
sekitar 10% saja dari Fe yang terdapat dalam makanan diserap ke dalam mukosa
usus. Ekskresi Fe dilakukan melalui kulit, dalam bagian-bagian tubuh yang aus
dan dilepaskan oleh permukaan tubuh yang jumlahnya sangat kecil sekali.
Sedangkan pada wanita ekskresi Fe lebih banyak melalui menstruasi. Oleh sebab
itu, kebutuhan Fe pada wanita dewasa, lebih banyak dibandingkan dengan pria.
Pada wanita hamil kebutuhan Fe meningkat karena bayi yang dikandung juga
memerlukan Fe ini.
Defisiensi Fe atau anemia besi di Indonesia jumlahnya besar sehingga sudah
menjadi masalah kesehatan masyarakat. Program penanggulangan anemi besi,
khususnya untuk ibu hamil sudah dilakukan melalui pemberian Fe secara cuma-
cuma melalui Puskesmas atau Posyandu. Akan tetapi karena masih rendahnya
pengetahuan sebagian besar ibu-ibu hamil masih rendah maka program ini tampak
berjalan lambat.

4. Zerophthalmia (Defisiensi Vitamin A)


Penyakit ini disebabkan karena kekurangan konsumsi vitamin A dalam
tubuh. Gejala-gejala penyakit ini adalah kekeringan epithel biji mata dan kornea,
karena glandula lacrimalis menurun. Terlihat selaput bolamata keriput dan kusam
bila biji mata bergerak. Fungsi mata berkurang menjadi hemeralopia atau
nictalpia, yang oleh awam disebut buta senja atau buta ayam, tidak sanggup
melihat pada cahaya remangremang. Pada stadium lanjut mata mengoreng karena
sel-selnya menjadi lunak yang disebut keratomalacia dan dapat menimbulkan
kebutaan.
Fungsi vitamin A sebenarnya mencakup 3 fungsi, yakni: fungsi dalam
proses melihat, dalam proses metabolisme, dan proses reproduksi. Gangguan yang
diakibatkan karena kekurangan vitamin A yang menonjol, khususnya di Indonesia
adalah gangguan dalam proses melihat yang disebut zerophalmia. Oleh sebab itu,
penanggulangan defisensi kekurangan vitamin A yang penting di sini ditujukan
pada pencegahan kebutaan pada anak balita. Program penanggulangan
zerophalmia ditujukan pada anak balita dengan pemberian vitamin A secara
cuma-cuma melalui Puskesmas atau Posyandu. Di samping itu, program
pencegahan dapat dilakukan melalui penyuluhan gizi masyarakat tentang
makanan-makanan yang bergizi, khususnya makanan-makanan sebagai sumber
vitamin.

5. Penyakit Gondok Endemik


Zat Iodium merupakan zat gizi esensial bagi tubuh karena merupakan
komponen dari hormon thyroxin. Zat iodium ini dikonsentrasikan dalam kelenjar
gondok (glandula thyroidea) yang dipergunakan dalam sintesa hormon thyroxin.
Hormon ini ditimbun dalam folikel kelenjar gondok, terkonjugasi dengan protein
(globulin) maka disebut thyroglobulin. Apabila diperlukan thyroglobulin ini
dipecah dan terlepas hormon thyroxin yang dikeluarkan dari folikel kelenjar ke
dalam aliran darah.
Kekurangan zat iodium ini berakibat kondisi hypothyroidisme (kekurangan
Iodium) dan tubuh mencoba untuk mengkonpensasi dengan menambah jaringan
kelenjar gondok. Akhirnya terjadi hypertrophi (membesarnya kelenjar thyroid),
yang kemudian disebut penyakit gondok. Apabila kelebihan zat iodium maka akan
mengakibatkan gejala-gejala pada kulit yang disebut iodium dermatitis. Penyakit
gondok ini di Indonesia merupakan endemik terutama di daerah-daerah terpencil
di pegunungan, yang air minumnya kekurangan zat iodium. Oleh sebab itu,
penyakit kekurangan iodium ini disebut gondok endemik.
Kekurangan iodium juga dapat menyebabkan gangguan kesehatan lain,
yakni: ‘Cretinnisma’. Cretinisma adalah suatu kondisi,penderita dengan tinggi
badan di bawah normal (cebol). Kondisi ini disertai berbagai tingkat
keterlambatan perkembangan jiwa dan kecerdasan, dari hambatan ringan sampai
dengan sangat berat (debil). Ekspresi muka seorang cretin ini memberikan kesan
orang bodoh karena tingkat kecerdasannya sangat rendah. Pada umumnya orang
cretin ini dilahirkan dari ibu yang sewaktu hamil kekurangan zat iodium.
Terapi penyakit ini pada penderita dewasa pada umumnya tidak
memuaskan. Oleh sebab itu, penanggulangan yang paling baik adalah
pencegahan, yaitu dengan memberikan dosis Iodium kepada para ibu hamil.
Untuk penanggulangan penyakit akibat kekurangan iodium dalam rangka
peningkatan kesehatan masyarakat dapat dilakukan melalui program iodiumisasi.
Yaitu dengan penyediaan garam dapur yang diperkaya dengan iodium. Dalam
kaitan ini pemerintah Indonesia melalui Departemen Perindustrian telah
memproduksi khusus garam iodium untuk daerah-daerah endemik gondok.

D. Kelompok Rentan Gizi


Kelompok rentan gizi adalah suatu kelompok dalam masyarakat yang paling
mudah menderita gangguan kesehatannya atau rentan karena kekurangan gizi.
Biasanya kelompok rentan gizi ini berhubungan dengan proses kehidupan
manusia, oleh sebab itu, kelompok ini terdiri dari kelompok umur tertentu dalam
siklus kehidupan manusia. Pada kelompok-kelompok umur tersebut berada pada
suatu siklus pertumbuhan atau perkembangan yang memerlukan zat-zat gizi dalam
jumlah yang lebih besar dari kelompok umur yang lain. Oleh sebab itu, apabila
kekurangan zat gizi maka akan terjadi gangguan gizi atau kesehatannya.
Kelompok-kelompok rentan gizi ini terdiri dari:
a. Kelompok bayi, umur 0-1 tahun.
b. Kelompok di bawah lima tahun (balita): 1-5 tahun.
c. Kelompok anak sekolah, umur 6-12 tahun.
d. Kelompok remaja, umur 13-20 tahun.
e. Kelompok ibu hamil dan menyusui.
f. Kelompok usia (usia lanjut).
Kelompok usia lanjut termasuk kelompok rentan gizi, meskipun kelompok
ini tidak dalam proses pertumbuhan dan perkembangan. Hal ini disebabkan karena
pada usia lanjut terjadi proses degenerasi yang menyebabkan kelompok usia ini
mengalami kelaianan gizi.
1. Kelompok Bayi
Dalam siklus kehidupan manusia, bayi berada dalam masa pertumbuhan dan
perkembangan yang paling pesat. Bayi yang dilahirkan dengan sehat, pada umur 6
bulan akan mencapai pertumbuhan atau berat badan 2 kali lipat dari berat badan
pada waktu dilahirkan. Untuk pertumbuhan bayi dengan baik zat-zat gizi yang
sangat dibutuhkan ialah:
a. Protein, dibutuhkan 3-4 gram/kilogram berat badan.
b. Calsium (Cl).
c. Vitamin D, tetapi karena Indonesia berada di daerah tropis maka hal ini tidak
begitu menjadi masalah.
d. Vitamin A dan K yang harus diberikan sejak post natal.
e. Fe (zat besi) diperlukan karena dalam proses kelahiran sebagian Fe ikut
terbuang.
Secara alamiah sebenarnya zat-zat gizi tersebut sudah terkandung dalam
ASI (Air Susu Ibu). Oleh sebab itu, apabila gizi makan ibu cukup baik, dan anak
diberi ASI pada umur sampai 4 bulan, zat-zat gizi tersebut sudah dapat
mencukupi. Pemberian ASI saja tanpa makanan tambahan lain sampai pada umur
4 bulan ini disebut pemberian ASI eksklusif. Di samping itu ASI juga mempunyai
keunggulan, yakni mengandung immunoglobolin yang memberi daya tahan tubuh
pada bayi, yang berasal dari tubuh ibu. Immunoglobolin ini dapat bertahan pada
anak sampai dengan bayi berumur 6 bulan.
Peralihan ASI pada makanan tambahan (PMT) harus dilakukan sesuai
dengan kondisi anatomi dan fungsional alat pencernaan bayi. Setelah masa
pemberian ASI ekslusif berakhir, maka mulai umur 4 bulan bayi diberi makanan
tambahan, itu pun makanan yang sangat halus. Kemudian mulai umur 9 bulan
sudah dapat diberikan makanan tambahan yang binak, sampai dengan umur 18
bulan. ASI tetap diteruskan, dan mulai berumur 18 bulan dapat diberikan makanan
tambahan agak keras (semi solid), sampai dengan umur 2 tahun. Akhirnya pada
umur 2 tahun ASI dihentikan (anak disapih), dan sudah dapat diberi makanan
seperti makanan orang dewasa. Mengenai jumlah makanan tambahan pun makin
lama makin ditingkatkan, sesuai dengan kebutuhan kalori yang diperlukan
bayi/anak untuk berkembang.
Tabel Peralihan ASI ke Makanan dan Kebutuhan Kalori
Umur Anak PMT Kebutuhan Kalori
0-4 bulan ASI saja 300 kalori
4-9 bulan Makanan halus 800 kalori
9-12 bulan Makanan lunak 1100 kalori
18-24 bulan Makanan semi keras 1300 kalori
24 bulan (2 th.) Makanan dewasa
dan disapih

2. Kelompok Anak Balita


Anak balita juga merupakan kelompok umur yang rawan gizi dan rawan
penyakit. Kelompok ini yang merupakan kelompok umur yang paling menderita
akibat gizi (KKP), dan jumlahnya dalam populasi besar. Beberapa kondisi atau
anggapan yang menyebabkan anak balita ini rawan gizi dan rawan kesehatan
antara lain:
a. Anak balita baru berada dalam masa transisi dari makanan bayi ke makanan
orang dewasa.
b. Biasanya anak balita ini sudah mempunyai adik, atau ibunya sudah bekerja
penuh sehingga perhatian ibu sudah berkurang.
c. Anak balita sudah mulai main di tanah, dan sudah dapat main di luar rumahnya
sendiri, sehingga lebih terpapar dengan lingkungan yang kotor dan kondisi
yang memungkinkan untuk terinfeksi dengan berbagai macam penyakit.
d. Anak balita belum dapat mengurus dirinya sendiri, termasuk dalam memilih
makanan. Di pihak lain ibunya ' sudah tidak begitu memperhatikan lagi
makanan anak balita, karena dianggap sudah dapat makan sendiri.
Dengan adanya Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu), yang sasaran utamanya
adalah anak balita sangat tepat untuk ' meningkatkan gizi dan kesehatan anak
balita.
3. Kelompok Anak Sekolah
Pada umumnya kelompok umur ini mempunyai kesehatan yang lebih baik
dibandingkan dengan kesehatan anak balita. Masalah-masalah yang timbul pada
kelompok ini antara lain: berat badan rendah, defisiensi Fe (kurang darah), dan
defisiensi vitamin E. Masalah ini timbul karena pada umur-umur ini anak sangat
aktif bermain dan banyak kegiatan, baik di sekolah maupun di lingkungan
rumah/tetangganya. Di pihak lain anak, kelompok ini kadang-kadang nafsu makan
mereka menurun, sehingga konsumsi makanan tidak seimbang dengan kalori yang
diperlukan.
Program UKS (Usaha Kesehatan Sekolah) adalah sangat tepat untuk
membina dan meningkatkan gizi dan kesehatan kelompok ini. Di samping anak
sekolah adalah kelompok yang sudah terorganisasi sehingga mudah untuk
dijangkau oleh program, juga karena kelompok ini merupakan kelompok yang
mudah menerima upaya pendidikan. Ahli pendidikan berpendapat bahwa
kelompok umur ini sangat sensitif untuk menerima pendidikan, termasuk
pendidikan gizi.

4. Kelompok Remaja
Pertumbuhan anak remaja pada umur ini juga sangat pesat, kemudian juga
kegiatan-kegiatan jasmani termasuk olahraga juga pada kondisi puncaknya. Oleh
sebab itu, apabila konsumsi makanan tidak seimbang dengan kebutuhan kalori
untuk pertumbuhan dan kegiatan-kegiatannya, maka akan terjadi defisiensi yang
akhirnya dapat menghambat pertumbuhannya. Pada anak remaja putri mulai
terjadi menarche (awal menstruasi), yang berarti mulai terjadi pembuangan Fe.
Oleh sebab itu, kalau konsumsi makanan khususnya Fe, maka akan terjadi
kekurangan Fe (anemia).
Upaya untuk membina kesehatan dan gizi kelompok ini juga dapat
dilakukan melalui sekolah (UKS), karena kelompok inipada umumnya berada di
bangku sekolah menengah pertama maupun atas (SLP atau SLA). Di samping itu,
pe•mbinaan melalui organisasi-orgazusasi kemasyarakatan misalnya: karang
taruna, remaja/pemuda gereja, remaja masjid, dan sebagainya juga tepat. Karena
kelompok pada remaja ini sudah mulai tertarik untuk berorganisasi, atau senang
berorganisasi.

5. Kelompok Ibu Hamil


Ibu hamil sebenarnya juga berhubungan dengan proses pertumbuhan, yaitu
pertumbuhan janin yang dikandungnya dan pertumbuhan berbagai organ tubuhnya
sebagai pendukung proses kehamilan tersebut, misalnya mammae. Untuk
mendukung berbagai proses pertumbuhan ini maka kebutuhan makanan sebagai
sumber energi juga meningkat. Kebutuhan kalori tambahan bagi ibu hamil sekitar
300-350 kalori per hari. Demikian pula kebutuhan protein meningkat dengan 10
gram sehari. Peningkatan metabolisme berbagai zat gizi pada ibu hamil juga
memerlukan peningkatkan suplai vitamin, terutama thiamin, reboflafin, vitamin A
dan D. Kebutuhan berbagai mineral, khususnya Fe dan Calsium juga meningkat.
Apabila kebutuhan kalori, protein, vitamin, dan mineral yang meningkat ini tidak
dapat dipenuhi melalui konsumsi makanan oleh ibu hamil, akan terjadi
kekurangan gizi. Kekurangan gizi pada ibu hamil dapat berakibat:
a. Berat badan bayi pada waktu lahir rendah atau sering disebut Berat Badan Bayi
Rendah (BBLR).
b. Kelahiran prematur (lahir belum cukup umur kehamilan).
c. Lahir dengan berbagai kesulitan, dan lahir mati.

6. Ibu Menyusui
Air Susu Ibu (ASI) adalah makanan utama bayi oleh sebab itu, maka untuk
menjamin kecukupan ASI bagi bayi, makanan ibu yang sedang menyusui harus
diperhatikan. Sekresi ASI ratarata 800-850 mililiter per hari, dan mengandung
kalori 60-65 kalori, 1,0-1,2 gram, dan lemak 2,5-3,5 gram setiap 100 mililiter.
Zat-zat ini diambil dari tubuh ibu, dan harus digantikan dengan suplai makanan
ibu sehari-hari. Untuk itu maka ibu yang sedang menyusui memerlukan tambahan
800 kalori sehari dan tambahan protein 25 gram sehari, di atas kebutuhan bila ibu
tidak menyusui.
Dalam batas-batas tertentu kebutuhan bayi akan zat-zat gizi ini diambil dari
tubuh ibunya, tanpa menghiraukan apakah ibunya mempunyai persediaan cukup
atau tidak. Apabila konsumsi makanan ibu tidak mencukupi, zat-zat dalam ASI
akan terpengaruh. Khusus untuk protein, meskipun konsumsi ibu tidak
mencukupi, ASI akan tetap memberikan jatah yang diperlukan oleh anaknya
dengan mengambil jaringan ibunya, akibatnya ibunya menjadi kurus. Bila
konsumsi Ca ibu yang berkurang, akan diambil cadangan Ca jaringan ibunya,
sehingga memberikan osteoporosis dan kerusakan gigi (caries dentis).

7. Kelompok Usia Lanjut (Usila)


Meskipun usia ini sudah tidak mengalami penurunan fungsinya maka sering
terjadi gangguan gizi. Contohnya, pada usila beberapa gigi-geligi, bahkan
semuanya tanggal, sehingga terjadi kesulitan dalam mengunyah makanan. Oleh
sebab itu, apabila makanan tidak diolah sedemikian rupa tehingga tidak
memerlukan pengunyahan, maka akan terjadi gangguan dalam pencernaan dan
penyerapan oleh usus.
Di samping itu, alat pencernaan dan kelenjar-kelenjarnya juga sudah
menurun, sehingga makanan yang mudah dicerna dan tidak memberatkan fungsi
kelenjar pencernaan. Makanan yang tidak banyak mengandung lemak pada
umumnya mudah dicerna. Kadar serat yang tidak dapat dicerna sebaiknya tidak '
dikonsumsi oleh usila, namun demikian makanan yang mengam dung serta yang
lain harus banyak, agar dapat melancarkan peristaltik dan dengan demikian
melancarkan defikasi (buang air besar).
Keperlukan energi pada usila sudah menurun, oleh sebab itu, konsumsi
makanan untuk usila secara kuantitas tidak sama dengan pada kelompok rentan
yang lain. Yang penting di sini kualitas makanan dalam arti keseimbangan zat gizi
harus dijaga. Kegemukan pada usila sangat merugikan bagi usila itu sendiri,
karena merupakan risiko untuk berbagai penyakit seperti: kardio vaskuler,
diabetes melitus, hipertensi, dan sebagainya.
E. Pengukuran Status Gizi Masyarakat
Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa di antara kelompok umur yang
rentan terhadap penyakit-penyakit kekurangan gizi adalah kelompok bayi dan
anak balita. Oleh sebab itu, indikator yang paling baik untuk mengukur status gizi
masyarakat adalah melalui status gizi balita (bayi dan anak balita). Selama ini
telah banyak dihasilkan berbagai pengukuran status gizi tersebut, dan masing-
masing ahli mempunyai argumentasi sendiri dalam mengembangkan pengukuran
tersebut.
Studi-studi telah menguji berbagai pengukuran status gizi dan membuat
berbagai rekomendasi. Wattelow (1973) menyarankan, untuk pengukuran status
gizi pada saat ini digunakan ukuran berat badan per tinggi badan. Sedangkan
ukuran tinggi badan per umur hanya cocok untuk mengukur status gizi pada saat
yang lalu. Ia menyebabkan pula bahwa berat badan per umur berguna bagi
pengukuran seri untuk anak di bawah 1 tahun.
Throwbridge, F. (1970) dari hasil studinya menyimpulkan bahwa ukuran
berat badan per umur tidak atau kurang mampu membedakan antara malnutrisi
akut dan malnutrisi kronik. Oleh sebab itu, ia menyarankan bahwa berat badan per
tinggi badan dan lingkar lengan atas adalah indikator yang paling baik untuk
mengetahui prevalensi malnutrisi akut pada anak. Sedangkan untuk prevalensi
malnutrisi kronik dipergunakan ukuran tinggi badan per umur.
Zetlin, N.F. (1673) menyarankan, untuk anak berumur kurang dari 2 tahun
sebagai indikator pertumbuhan anak cukup menggunakan ukuran berat badan per
umur saja. Dari hasil pengamatan, untuk anak berumur 2-5 tahun yang
mempunyai berat badan rendah menunjukan adanya gejala malnutrisi yang berat.
Selanjutnya, ia menyarankan bahwa berat badan per umur saja sudah dapat
digunakan untuk mengukur status gizi pada anak di bawah 5 tahun, bahkan anakg
yang lebih tua pun dapat mempergunakan ukuran tersebut.
Morley, D. (1971) membahas bahwa pengukuran berat dan tinggi badan
mempunyai beberapa kelemahan, antara lain kurang akuratnya dalam pelaksanaan
pengukuran oleh para petugas. Tetapi ia menyatakan bahwa ukuran lain pun tidak
mempunyai wilayah dinamis untuk pertumbuhan anak akhirnya ia berkesimpulan
bahwa berat dan tinggi badan per umur dapat mencerminkan status gizi anak, baik
pada waktu yang lampau maupun status pada saat ini.
Dan akhirnya untuk berat dan tinggi per umur sebagai indikator status gizi
anak, pada umumnya para peneliti cenderung mengadu kepada standar Harvard
dengan berbagai modifikasi di bawah ini akan diuraikan 4 macam cara
pengukuran yang sering digunakan di bidang gizi masyarakat serta kiasifikasinya:

1. Berat badan per umur


Berdasrkan klasifikasi dari Universitas Harvard, keadaan gizi anak
dikiasifikasikan menjadi 3 tingkat, yakni:
- Gizi lebih (over weight).
- Gizi baik (well nourished).
- Gizi kurang (under weight), yang mencakup kekurangan kalori dan protein
(KKP) tingkat I dan II.
Untuk negara-negara sedang berkembang pada umumnya menggunakan
klasifikasi dari Harvard (Standard Harvard) tersebut, dengan berbagai modifikasi.
Oleh karena standar Harvard tersebut dikembangkan untuk mengukur status gizi
anak dari negara-negara Barat maka prinsip utama dalam modifikasi adalah
disesuaikan dengan kondisi anak-anak dari negara-negara Asia dan Afrika.
Sehingga untuk negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia, klasifikasi
status gizi anak didasarkan pada 50 ‘percentile’ dari 100% standar Harvard.
Klasifikasi dari standar Harvard yang sudah dimodifikasi tersebut adalah:
- Gizi baik, adalah apabila berat badan bayi/anak menurut umurnya lebih dari
89% standar Harvard.
- Gizi kurang, adalah apabila berat badan bayi/anak menurut umur berada di
antara 60,1% - 80% standar Harvard.
- Gizi buruk, adalah apabila berat badan bayilanak menurut umurnya 60% atau
kurang dari standar Harvard.
Secara terperinci, pengukuran status gizi bayi/anak balita berdasarkan berat
dan tinggi badan adalah menggunakan tabel seperti terlihat pada Tabel 8.1.
2. Tinggi badan menurut umur
Pengukuran status gizi bayi dan anak balita berdasarkan tinggi badan
menurut umur, juga menggunakan modifikasi standar Harvard, dengan
klasifikasinya adalah:
- Gizi baik, yakni apabila panjang tinggi badan bayi/anak menurut umurnya
lebih dari 80% standar Harvard.
- Gizi kurang, apabila panjang/tinggi badan bayi/anak menurut umurnya berada
di antara 70,1%-80% dari standar Harvard.
- Gizi buruk, apabila panjang/tinggi badan bayi/anak menurut umurnya 70% atau
kurang dari standar Harvard.

3. Berat badan menurut tinggi


Pengukuran berat badan menurut tinggi badan ini diperoleh dengan
mengombinasikan berat badan dan tinggi badan per umur menurut standar
Harvard Klasifikasinya adalah:
- Gizi baik, apabila berat badan bayi/anak menurut panjang/ tingginya lebih dari
90% dari standar Harvard.
- Gizi kurang, bila berat bayi/anak menurut panjang/tingginya berada di antara
70,1%-90% dari standar Harvard.
- Gizi buruk, apabila berat bayi/anak menurut panjang/ tingginya 70% atau
kurang dari standar Harvard.

4. Lingkar tengan atas (LLA) menurut umur


Klasifikasi pengukuran status gizi bayi/anak berdasarkan lingkar lengan
atas, yang sering digunakan adalah mengacu kepada standar Harvard,
klasifikasinya adalah:
- Gizi baik, apabila LLA bayi/anak menurut umurnya lebih dari 85% standar
Wolanski.
- Gizi kurang, apabila LLA bayi/anak menurut umurnya di berada antara ?0,1%-
85% standar Wolanski.
- Gizi buruk, apabila LLA bayi/anak menurut umurnya 70% atau kurang dari
standar Wolanski.
Pengukuran status gizi bayi/anak berdasarkan lingkar lengan atas secara
terperinci adalah menggunakan tabel seperti terlihat pada Tabel 8.2.

5. Indeks Massa Tubuh (IMT)


Untuk menentukan status gizi orang dewasa dapat menggunakan indeks
massa tubuh atau ‘body mass index’ (BMI). Formula untuk menentukan IMT
adalah :
BB2 (Berat Badan) dalam kg
IMT =
TB (Tinggi Badan) dalam m
Hasil perhitungan dengan formula ini akan mengindikasikan status gizi
dengan klasifikasi sebagai berikut:
a. < 18 : kurus
b. 18-24 : normal
c. 25-30 : gemuk
d. >30 : gemuk sekali (abes).

Tabel 8.1
Berat dan Tinggi Badan Menurut Umur (Umur 0-5 tahun, Jenis Kelamin
Tidak Dibedakan)
Umur Berat (kg) Tinggi (cm)
Tahun Bulan Normal Kurang Buruk Normal Kurang Buruk
Baku 80% 60% Baku 80% 60%
Baku Baku Baku Baku
0 - 3,4 2,7 2,0 60,5 43,0 35,0
1 4,3 3,4 2,5 65,0 46,0 38,0
2 5,0 4,0 2,9 68,0 49,0 40,5
3 5,7 4,5 3,4 60,0 51,0 42,0
4 6,3 5,0 3,8 62,0 53,5 43,5
5 6,9 5,5 4,2 64,5 54,5 45,0
6 7,4 5,9 4,5 66,0 56,0 46,0
7 8,0 6,3 4,9 67,5 57,5 47,0
8 8,4 6,7 5,1 62,0 52,0 48,5
9 8,9 7,1 5,3 70,5 60,0 42,5
10 9,3 7,4 5,5 72,0 61,5 50,5
11 9,6 7,7 5,8 73,5 63,0 51,5
1- 0 9,9 7,9 6,0 74,5 54,5 52,5
3 10,6 8,5 6,4 78,0 65,5 54,5
6 11,3 9,0 6,8 81,5 70,0 57,0
9 11,9 9,6 7,2 84,5 72,0 60,0
2- 0 12,4 9,9 7,5 87,0 74,0 61,0
3 12,9 10,5 7,8 88,5 76,0 62,5
6 13,5 11,2 8,1 92,0 78,0 64,0
9 14,0 11,7 8,4 94,0 80,0 66,5
3- 0 14,5 11,9 8,7 96,0 82,0 67,0
3 15,0 12,0 9,0 98,0 83,5 88,5
6 15,5 12,4 9,3 99,5 84,5 70,0
9 16,0 12,9 9,6 101,5 85,5 71,0
4- 0 16,5 13,2 9,9 103,5 87,5 72,0
3 17,0 13,6 10,2 105,0 89,5 73,5
6 17,4 14,0 10,6 107,0 90,0 74,5
9 17,9 14,4 10,8 108,0 91,5 75,5
5- 0 18,4 14,7 11,0 109,0 92,5 76,0

Sumber : Puslitbang Gizi, Depkes. RI


Pedoman Ringkas Pengukuran Antropometri, hal 10
Tabel 8.2
Standar Baru Lingkar Lengan Atas (LLA) Menurut Umur
Umur
Tahun Bulan Standar 85% 70%
(dalam cm) (dalam cm) (dalam cm)
0 6-8 14,75 12,50 10,50
0 9-11 15,1 13,25 11,00
1- 16,0 13,50 11,25
2- 16,25 13,75 11,50
3- 16,50 14,00 11,60
4- 16,75 14,25 11,75
5- 17,0 14,50 12,00

Sumber : Pedoman Ringkas Pengukuran Antropometri, hal 18


PROBLEMA LANSIA
DAN
ELAYANAN KESEHATAN MASYARAKAT

A. Pendahuluan
Salah satu basil pembangunan kesehatan di Indonesia adalah meningkatnya
angka harapan hidup (life expectancy). Dilihat dari sisi ini pembangunan
kesehatan di Indonesia sudah cukup berhasil, karena angka harapan hidup bangsa
kita telah meningkat secara bermakna. Namun, di sisi lain dengan meningkatnya
angka harapan hidup ini membawa beban bagi masyarakat, karena populasi
penduduk usia lanjut (lansia) meningkat. Hal ini berarti kelompok risiko dalam
masyarakat kita menjadi lebih tinggi lagi. Meningkatnya populasi lansia ini bukan
hanya fenomena di Indonesia saja tetapi juga secara global.
Menurut UU No. 13 tahun 1998 Pasal 1 Ayat 2 tentang Kesejahteraan
Lanjut Usia menyatakan bahwa lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai
usia 60 tahun ke atas. Pada tahun 2000 penduduk usia lanjutt di seluruh dunia
diperkirakan sebanyak 426 juta atau sekitar 6,8%. Jumlah ini akan meningkat
hampir dua kali lipat pada tahun 2025, yaitu menjadi sekitar 828 juta jiwa atau
sekitar 9,7% dari total penduduk dunia. Di negara-negara maju, jumlah lansia juga
ternyata mengalami peningkatan, antara lain: Jepang (17,2%), Singapura (8,7%),
Hongkong (12,9%), dan Korea Selatan (7,5%) sudah cukup besar sejak dekade
1990-an. Sementara negaranegara seperti Belanda, Jerman, dan Perancis sudah
lebih dulu menghadapi masalah yang serupa.
Gejala menuanya struktur penduduk (ageing population) juga terjadi di
Indonesia. Pusat Statistik (BPS, 2004) menyimpulkan bahwa abad 21 bagi bangsa
Indonesia merupakan abad lansia (era of population aging), karena pertumbuhan
penduduk lansia di Indonesia diperkirakan lebih cepat dibandingkan dengan
negara-negara lain. Di Indonesia pada tahun 2000 diperkirakan 7,4% dari jumlah
penduduk Indonesia atau sekitar 15,3 juta orang akan berusia di atas 60 tahun
(SUPAS, Lembaga Demografi UI 1985) dengan umur median penduduk
Indonesia adalah 23 tahun. Persentase lansia dan umur median penduduk tersebut
menunjukkan bahwa penduduk Indonesia tidak- dapat lagi dikategorikan sebagai
penduduk muda melainkan sudah tergolong pada penduduk `intermediate'. Secara
geografis, distribusi penduduk lansia di Indonesia terbanyak di Pulau Jawa, yaitu
sekitar 66,84% dari seluruh penduduk lansia. Dilihat dari proporsi penduduk
lansia di masing-masing provinsi di Indonesia, proporsi terbesar berturut-turut
adalah mereka yang tinggal di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Timur,
yaitu sebesar 12,58% dan 9,46%. Sedangkan proporsi terkecil adalah penduduk
lansia yang tinggal di Irian Jaya, sebesar 1,65%.
Proyeksi penduduk oleh Biro Pusat Statistik menggambarkan bahwa antara
2005-2010 jumlah penduduk usia lanjut sekitar 19 juta jiwa atau 8,5% dari
seluruh jumlah penduduk. WHO pun telah memperhitungkan bahwa di tahun
2025, Indonesia akan mengalami peningkatan jumlah warga lansia sebesar 41,4%,
yang merupakan sebuah peningkatan tertinggi di dunia. Bahkan Perserikatan
Bangsa-Bangsa memperkirakan bahwa di tahun 2050 jumlah warga lansia di
Indonesia akan mencapai ± 60 juta jiwa. Hal ini menyebabkan Indonesia berada
pada peringkat ke-4 untuk jumlah penduduk lansia terbanyak setelah China, India,
dan Amerika Serikat. Meningkatnya jumlah penduduk usia lanjut (lansia)
menimbulkan masalah terutama dari segi kesehatan dan kesejahteraan lansia.
Masalah tersebut jika tidak ditangani akan berkembang menjadi masalah yang
lebih kompleks. Masalah yang kompleks pada lansia baik dari segi fisik, mental,
dan sosial berkaitan dengan kesehatan dan kesejahteraan mereka, sehingga
menyebabkan kebutuhan terhadap pelayanan kesehatan meningkat. Pelayanan
kesehatan yang diperlukan oleh lansia pun tidak hanya rehabilitatif dan kuratif
saja melainkan secara komprehensif (terpadu) yang mencakup pelayanan
preventif, promotif, rehabilitatif, dan kuratif. Namun, pelayanan kesehatan khusus
lansia (geriatri) seperti ini belum semuanya tersedia di seluruh rumah sakit, baik
swasta maupun pemerintah dan Puskesmas di Indonesia. Bahkan di provinsi
dengan distribusi penduduk lans.ia terbanyak pun, masih belum merata pelayanan
kesehatannya. Rumah sakit yang memiliki penanganan klinis masalah lanjut, yaitu
fasilitas geriatri hanya terdapat pada beberapa rumah sakit seperti RSUPN Cipto
Mangunkusumo Jakarta, RS Karyadi Semarang, RS Dr.Sutomo Surabaya, dan RS
Hasan Sadikin Bandung. Selain terbatasnya fasilitas kesehatan yang tersedia,
tenaga kesehatan untuk menangani pasien lansia (geriatri) juga masih terbatas.
Padahal, tenaga kesehatan yang mengerti tentang pelayanan dan perawatan
kesehatan khusus lansia (geriatri) sangat dibutuhkan.

B. Gerontologi
1. Pengertian
Gerontologi merupakan ilmu pengetahuan cukup populer yang mempelajari
masalah usia lanjut (lansia). Beberapa pengertian Gerontologi antara lain:
a. Menurut Kamus ‘Dorland’
Gerontologi = Gerontology yang terdiri dari kata: geronto dan logy. Geronto
atau gero dari bahasa Yunani: Gems (umur tua); Geron, gerontos (orang tua)
merupakan bentuk gabungan yang menunjukkan hubungan dengan umur tua
atau orang tua. Logy dari bahasa Yunani: Logos (perkataan, alasan) merupakan
akhiran kata yang berarti ilmu atau studi tentang atau uraian tentang suatu
subjek yang di depannya. Jadi Gerontologi adalah ilmu tentang problema umur
tua dalam semua segi klinik, biologik, historik dan sosiologik..
b. Menurut PERGERI (Perhimpunan Gerontologi Indonesia)
Gerontologi adalah pengetahuan yang mencakup segala bidang persoalan
mengenai orang berusia lanjut yang didasarkan pada hasil-hasil penyelidikan
ilmu antropologi, antropometri, sosiologi, pekerjaan sosial, gerontologi medik,
psikologi, dan ekonomi.
c. Menurut WHO
Gerontology : Comprenhensive study of aging and problems of the aged (ilmu
yang mempelajari proses menua dan masalahnya ) and old age: Has been
commonly defined as beginning at the age of 60. Lansia merupakan mereka
yang berusia 65 ke atas untuk Amerika Serikat dan Eropa Barat. Sedangkan di
negara-negara Asia, lansia adalah mereka yang berusia 60 tahun ke atas.
Simposium Geriatri (1978) di Jakarta, mencoba memformulasikan tujuan
Gerontologi di Indonesia sebagai berikut: “Mengadakan upaya dan tindakan-
tindakan sehingga orang-orang lanjut usia selama mungkin tetap dalam keadaan
sehat, baik fisik, mental, dan sosial sehingga masih bermanfaat bagi masyarakat,
atau sekurang-kurangnya tidak menjadikan beban bagi masyarakat.”

2. Sejarah dan Perkembangan Gerontologi


Sejak zaman dahulu, ada dua hal yang saling bertentangan, yaitu aksi anti
lanjut usia dan mereka yang menganggap para lanjut usia adalah komunitas yang
penting dalam kehidupan sosial. Contoh nyata dapat ditemukan di Mesir pada
upacara peringatan raja Amenophis III, di mana para lanjut usia dibunuh. Orang
Jepang (yang tinggal berdekatan dengan Cina) belajar dari kebudayaan Cina
tentang berbakti pada orang tua. Menurut buku kuno, tidak mengasihi para lanjut
usia adalah karakteristik dari suku Ain. Sumber ini juga merujuk bahwa pada abad
ke-10 sebelum Masehi sudah ada rumah sakit ketika wabah penyakit pes terjadi.
Pada abad ke-8 setelah Masehi, Kekaisaran Konyo menciptakan pelayanan
kesehatan untuk para orang sakit, bagi para orang tua dan tidak mampu..
Dari hal-hal yang telah disebut di atas, terlihat bahwa budaya Cina lebih
unggul dan merupakan contoh terbaik dari peradaban di mana para orang tua
dianggap mulia dan diberi perlakuan khusus, serta patut dihormati. Dari awal
mereka telah menerapkan sistem Patriakal di mana orang tua adalah inti dan
sumber dari kebijaksanaan.
Gerontologi di Indonesia tidaklah berkembang secara instan, melainkan
berkembang secara bertahap dari waktu ke waktu. Perkembangan tersebut tampak
nyata setelah dirumuskannya beberapa undang-undang yang berhubungan dengan
gerontologi, di antaranya:
- Undang-Undang No.4 tahun 1965 tentang Pemberian Bantuan bagi Orang
Jompo
- Undang-Undang No.6 tahun 1974 tentang Ketentuan ketentuan Pokok
Kesejahteraan Sosial
- Undang-Undang No. 10 tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan
Pembangunan Keluarga Sejahtera.
Setelah PBB menggelar WAA (World Assembly on Ageing) pada tahun
1982 di Wina, Indonesia pun mendirikan Perhimpunan Gerontologi Indonesia
(PERGERI) pada tahun 1984, yang merupakan hasil dari sumbangsih beberapa
tokoh masyarakat rakat dari Fakullas Kedokteran Universitas Diponegoro, Uni-
versitas Indonesia, dan Universitas Trisakti dengan menggelar simposium yang
bertujuan meningkatkan kesadaran masyarakat akan masalah lansia yang semakin
kompleks. Dengan didirikannya PERGERI maka terbentuklah organisasi satu-
satunya satunya yang mewakili Indonesia dalam International Association of
Gerontology (IAG). Selain itu PERGERI juga diakui sebagai anggota Forum
Organisasi Profesi di Indonesia (FOPI).
Demikian pula di-tingkat regional oleh UN-ESCAP (United Nations
Economic and Social Commission for Asia and the Pacific) yang merupakan
perwakilan PBB untuk regional Asia Pasifik. Pada akhirnya Indonesia
mencanangkan Hari Lanjut Usia Nasional pada tanggal 29 Mei 1996 di Semarang.

3. Definisi Lanjut Usia (Lansia)


Usia lanjut sebagai tahap akhir siklus kehidupan merupakan tahap
perkembangan normal yang akan dialami oleh setiap individu yang mencapai usia
lanjut dan merupakan kenyataan yang tidak dapat dihindari. Usia lanjut adalah
kelompok orang yang sedang mengalami suatu proses perubahan yang bertahap
dalam jangka waktu beberapa dekade. Menurut WHO (1989), dikatakan usia
lanjut tergantung dari konteks kebutuhan yang tidak dipisah-pisahkan. Konteks
kebutuhan tersebut dihubungkan secara biologis, sosial, dan ekonomi dan
dikatakan usia lanjut dimulai paling tidak saat masa puber dan prosesnya
berlangsung sampai kehidupan dewasa (Depkes RI, 1999). Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (1995), lanjut usia (lansia) adalah tahap masa tua dalam
perkembangan individu dengan batas usia 60 tahun ke atas.
Lebih rinci batasan penduduk lansia dapat dilihat dari aspek-aspek biologi,
ekonomi, sosial, dan usia atau batasan usia, yaitu:
a. Aspek Biologi
Penduduk lansia ditinjau dari aspek biologi adalah penduduk yang telah
menjalani proses penuaan, dalam arti menurunnya daya tahan fisik yang
ditandai dengan semakin rentannya tubuh terhadap serangan berbagai penyakit
yang dapat menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan seiring meningkatnya
usia, sehingga terjadi perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan, serta
sistem organ. Proses penuaan berbeda dengan ‘pikun’ (senila dementia) yaitu
perilaku aneh atau sifat pelupa dari seseorang di usia tua. Pikun merupakan
akibat dari tidak berfungsinya beberapa organ otak, yang dikenal dengan
penyakit Alzheimer.
b. Aspek Ekonomi
Aspek ekonomi menjelaskan bahwa penduduk lansia dipandang lebih sebagai
beban daripada potensi sumber daya bagi pembangunan. Warga tua dianggap
sebagai warga yang tidak produktif dan hidupnya perlu ditopang oleh generasi
yang lebih muda. Bagi penduduk lansia yang masih memasuki lapangan
pekerjaan, produktivitasnya sudah menurun dan pendapatannya lebih rendah
dibandingkan pekerja usia produktif. Akan tetapi, tidak semua penduduk yang
termasuk dalam kelompok umur lansia ini tidak memiliki kualitas dan
produktivitas rendah.
c. Aspek Sosial
Dari sudut pandang sosial, penduduk lansia merupakan kelompok sosial
tersendiri. Di negara Barat, penduduk lansia menduduki strata sosial di bawah
kaum muda. Di masyarakat tradisional di Asia seperti Indonesia, penduduk
lansia menduduki kelas sosial yang tinggi yang harus dihormati oleh
masyarakat yang usianya lebih muda.
d. Aspek Umur
Dari ketiga aspek di atas, pendekatan umur atau usia adalah yang paling
memungkinkan untuk mendefinisikan penduduk usia lanjut.
Batasan usia lanjut didasarkan atas Undang-Undang No. 13 Tahun 1998
adalah 60 tahun. Namun, berdasarkan pendapat beberapa ahli dalam program
kesehatan Usia Lanjut, Departemen Kesehatan membuat pengelompokan seperti
di bawah ini:
a. Kelompok Pertengahan Umur:
Kelompok usia dalam masa virilitas, yaitu masa persiapan usia lanjut yang
menampakkan keperkasaan fisik dan kematangan jiwa (45-54 tahun).
b. Kelompok Usia Lanjut Dini:
Kelompok dalam masa prasenium, yaitu kelompok yang mulai memasuki usia
lanjut (55-64 tahun)
c. Kelompok Usia Lanjut:
Kelompok dalam masa senium (65 tahun ke atas) d. Kelompok Usia Lanjut
dengan Risiko Tinggi:
d. Kelompok yang berusia lebih dari 70 tahun atau kelompok usia lanjut yang
hidup sendiri, terpencil, menderita penyakit berat atau cacat.
Sedangkan menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) lanjut usia
meliputi:
a. Usia pertengahan (middle age) adalah kelompok usia 45-59 tahun.
b. Usia lanjut (elderly) adalah kelompok usia antara 60-70 tahun.
c. Usia lanjut tua (old) adalah kelompok usia antara 75-90 tahun.
d. Usia sangat tua (very old) adalah kelompok usia di atas 90 tahun.

C. Problema Usia Lanjut Saat Ini


Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa panjangnya angka harapan hidup
penduduk usia lanjut perempuan berhubungan dengan pengaruh hormonal pada
wanita usia reproduktif di mana hormon estrogen mempunyai peranan sebagai
pelindung yang menyebabkan angka harapan hidup waktu lahir untuk perempuan
lebih tinggi daripada laki-laki. Namun, pada laki-laki peranan estrogen sangat
sedikit dan juga mempunyai beban kerja fisik yang lebih berat selain perilaku
merokok dan kebiasaan makan yang kurang berimbang. Dengan meningkatnya
usia harapan hidup masyarakat Indonesia saat ini membuat jumlah penduduk yang
tergolong lanjut usia (lansia) semakin meningkat. Ini menimbulkan permasalahan
tersendiri yang menyangkut aspek kesehatan dan kesejahteraan mereka.
Aspek kesehatan pada lansia ditandai dengan adanya perubahan faali akibat
proses menua meliputi: (Pedoman Pembinaan Kesehatan Usila, Depkes, 2005).
1. Gangguan penglihatan, yang biasanya disebabkan oleh degenerasi makular
senilis, katarak dan glaukoma. Secara rinci dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Degenerasi makular senilis
Penyebab penyakit ini belum diketahui namun dapat dicetuskan oleh
rangsangan cahaya berlebihan. Kelainan ini mengakibatkan distorsi visual,
penglihatan menjadi kabur serta dapat timbul distorsi persepsi visual.
b. Katarak
Katarak pada lansia dapat diakibatkan oleh pengobatan steroid yang lama,
trauma maupun radiasi. Bila tidak ditemukan penyebabnya, biasanya
disebut idiopatik akibat proses menua.
c. Glaukoma
Peningkatan tekanan di dalam bola mata dapat terjadi secara akut maupun
mendadak. Gejalanya adalah kabur penglihatan disertai nyeri, pusing,
muntah dan kemerahan pada mata.
2. Gangguan pendengaran, gangguan ini meliputi presbikusis (gangguan
pendengaran pada lansia) dan gangguan komunikasi.
a. Presbikusis
Gangguan pendengaran pada lansia disebut presbikusis. Laki-laki umumnya
lebih sering menderita presbikusis daripada perempuan.
b. Gangguan komunikasi
Gangguan komunikasi dapat timbul akibat pembicaraan terjadi dalam
interferensi karena terganggu suara lain, sumber suara mengalami distorsi
dan kondisi akustik ruangan yang tidak sempurna seperti ruang pertemuan
yang berdinding mudah memantulkan suara.
3. Perubahan komposis tubuh
Dengan bertambahnya usia maka massa bebas lemak (terutama terdiri atas
otot) berkurang 6,3 % berat badan per dekade seiring dengan penambahan
massa lemak 2% per dekade. Masa air mengalami penurunan sebesar 2,5% per
dekade.
4. Saluran cerna
Dengan bertambahnya usia maka jumlah gigi berangsurangsur berkurang
karena tanggal atau ekstraksi atas indikasi tertentu. Ketidaklengkapan alat
cerna mekanik tentu mengurangi kenyamanan makan serta membatasi jenis
makanan yang dapat dimakan. Produksi air liur dengan berbagai enzim yang
terkandung di dalamnya juga mengalami penurunan. Selain mengurangi
kenyamanan makan, kondisi mulut yang kering juga mengurangi kel'ancaran
saat makan.
5. Hepar
Hati mengalami penurunan aliran darah sampai 35% pada usia 80 tahun ke
atas, sehingga obat-obatan yang memerlukan proses metabolisme pada organ
ini harus ditentukan dosisnya secara saksama agar para lansia terhindar dari
efek samping yang tidak diinginkan.
6. Ginjal
Ginjal merupakan alat untuk mengeluarkan sisa metabolisme tubuh melalui air
seni. Darah masuk ke ginjal kemudian disaring oleh unit terkecil ginjal yang
disebut nefron. Pada lansia terjadi penurunan jumlah nefron sebesar 5-7% per
dekade mulai usia 25 tahun. Hal ini mengakibatkan berkurangnya kemampuan
ginjal untuk mengeluarkan sisa metabolisme melalui air seni termasuk sisa
obat-obatan.
7. Sistem kardiovaskuler
Perubahan pada jantung dapat terlihat dari bertambahnya jaringan kolagen,
ukuran miokard bertambah, jumlah miokard berkurang, dan jumlah air jaringan
berkurang. Selain itu, akan terjadi pula penurunan jumlah sel-sel pacu jantung
serta serabut berkas His dan Purkinye. Keadaan tersebut akan mengakibatkan
menurunnya kekuatan dan kecepatan kontraksi mioikard disertai
memanjangnya waktu pengisian diastolik. Hasil akhirnya adalah berkurangnya
fraksi ejeksi sampai 10-20%.
8. Sistem pernafasan
Kemampuan pegas dinding dada dan kekuatan otot pernafasan akan menurun
seiring dengan penambahan usia. Sendi-sendi tulang iga akan menjadi kaku.
Keadaankeadaan tersebut mengakibatkan penurunan laju ekspirasi paksa satu
detik sebesar ± 0,2 liter/dekade serta berkurangnya kapasitas vital. Sistem
pertahanan yang terdiri atas gerak bulu getar, leukosit, dan antibodi serta
refleks batuk akan menurun. Hal tersebut menyebabkan warga usia lanjut lebih
rentan terhadap infeksi.
9. Sistem hormonal
Produksi testosteron dan sperma menurun mulai usia 45 tahun tetapi tidak
mencapai titik nadir. Pada usia 70 tahun, seorang laki-laki masih memiliki
libido dan mampu melakukan kopulasi. Pada wanita, karena jumlah ovum dan
foli.kel yang sangat rendah maka kadar estrogen akan sangat menurun setelah
menopause (usia 45-50 tahun). Keadaan ini menyebabkan dinding rahim
menipis, selaput lendir mulut rahim dan saluran kemih menjadi kering. Pada
wanita yang sering melahirkan keadaan di atas akan memperbesar
kemungkinan terjadinya inkontinensia.
10. Sistem muskuloskeletal
Dengan bertambahnya usia maka jelas terhadap sendi dan sistem
muskuloskeletal semakin banyak. Sebagai resporeparatif maka dapat terjadi
pembentukan tulang baru, penebalan selaput sendi dan firosin. Ruang lingkup
gerak sendi yang berkurang dapat diperberat pula dengan tendon yang semakin
kaku.
Aspek Kesejahteraan lansia berdasarkan kelayakan hidup lansia dalam
lingkungan hidupnya. Dalam meningkatkan kesejahteraan lansia diperlukan
peningkatan program dan aksi nasional untuk mendorong partisipasi lansia dalam
masyarakat dan pembangunan termasuk pengambil keputusan. Hal lain yang perlu
dilakukan adalah peningkatan upaya membentuk sistem perlindungan dan
keamanan sosial bagi lansia melalui pengembangan dan pemberdayaan
masyarakat serta dunia usaha terhadap lansia melalui pengembangan dan pem-
berdayaan lembaga dan organisasi sosial dan dunia usaha: Media atau pers juga
punya potensi besar terhadap program peningkatan kesejahteraan dan perlakuan
salah.
Usia lanjut yang tidak memiliki jaminan hari tua, sumber pendapatannya
makin terbatas tetapi bagi usia lanjut yang memiliki aset dan tabungan yang cukup
barangkali tidak menjadi masalah. Akan tetapi bagi usia lanjut yang tidak memliki
jaminan hari tua dan tidak memiliki aset dan tabungan yang cukup maka jika
mereka tidak bekerja berarti mereka harus memperoleh bantuan dari keluarga,
kerabat atau orang lain untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Masih
banyaknya usia lanjut yang belum ditanggung oleh sistem jaminan sosial melalui
program pensiun, pesai3gon, dan asuransi hari tua mengisyaratkan banyaknya usia
lanjut yang perlu mendapat dukungan dari keluarga, pengembangan program
jaminan hari tua bagi pemerintah dan swasta serta perlunya penyediaan berbagai
sarana dan prasarana dari pemerintah sehingga terpeliharanya kualitas hidup usia
lanjut.

D. Pelayanan Kesehatan Usia Lanjut (Lansia)


Secara umum pelayanan kesehatan pada lansia dapat dibagi menjadi 2,
yakni:
a. Pelayanan kesehatan lansia berbasis rumah sakit (Hospital Based Geriatric
Service).
b. Pelayanan kesehatan lansia di masyarakat (Community Based Geriatric
Service). Jenis pelayanan inilah yang dewasa ini menjadi tantangan bagi
kesehatan masyarakat di Indonesia, dan yang lebih memerlukan perhatian bagi
para akademisi dan praktisi kesehatan masyarakat di Indonesia.
Pada upaya pelayanan kesehatan lansia di masyarakat, semua upaya
kesehatan yang berhubungan dan dilaksanakan oleh masyarakat harus diupayakan
berperan serta dalam menangani kesehatan para lansia. Puskesmas dan dokter '
praktik swasta merupakan tulang punggung layanan di tingkat ini. Puskesmas
berperan dalam membentuk kelompok atau klub lansia. Di dalam dan melalui
klub lansia ini pelayanan kesehatan dapat lebih mudah dilaksanakan baik usaha
promotif, preventif, kuratif, atau rehabilitatif. Pelayanan kesehatan di kelompok
lansia meliputi pemeriksaan kesehatan fisik, mental, dan emosional. Adapun jenis
pelayanan kesehatan yang dapat diberikan kepada lansia antara lain:
1. Pemeriksaan aktivitas kegiatan sehari-hari meliputi kegiatan dasar dalam
kehidupan, seperti makan atau minum, berjalan, mandi, berpakaian, dan lain-
lain.
2. Pemeriksaan status mental.
3. Pemeriksaan status gizi melalui penimbangan berat badan dan pengukuran
tinggi badan dan dicatat dalam grafik indeks massa tubuh.
4. Pengukuran tekanan darah.
5. Pemeriksaan laboratorium sederhana (hemoglobin) pemeriksaan gula dalam air
seni sebagai deteksi awal adanya penyakit diabetes melitus, dan pemeriksaan
protein dalam air seni sebagai deteksi awal adanya penyakit ginjal.
6. Pelaksanaan rujukan ke puskesmas bila diperlukan
7. Penyuluhan, bisa dilakukan di dalam atau di luar kelompok dalam rangka
kunjungan rumah dan konseling kesehatan sesuai. dengan masalah kesehatan
yang dihadapi oleh individu atau kelompok lansia.
8. Dokter praktik swasta terutama menangani para lansia : yang memerlukan
tindakan kuratif insidental. Seperti telah ditemukan di atas, semua pelayanan
kesehatan harus diintegrasikan dengan layanan kesejahteraan yang lain dari
dinas sosial, agama, pendidikan, kebudayaan, dan lain-lain.
Selain pelayanan di atas, bagi lansia juga diperlukan kualitas pelayanan
yang baik, intensitas perawatan yang tinggi, maupun pengkajian komprehensif
yang meliputi pengkajian terhadap status fisik, mental-psikologis, sosial, nutrisi,
lingkungan. Semua hal tersebut harus dilakukan oleh sebuah tim multidisipliner.
Pelayanan semacam itu kemudian disebut juga oleh pelayanan geriatri terpadu.
Pelayanan kesehatan geriatri terpadu bagi lansia berdasarkan fasilitas yang
dimilikinya untuk pasien geriatri dikategorikan sebagai berikut :
1. Pelayanan sederhana (hanya memiliki fasilitas poliklinik)
Jenis kegiatan yang dapat dilakukan berupa pengkajian, konsultasi,
pemeriksaan, penyuluhan, dan supervisi ke puskesmas. Bentuk fasilitas
pelayanannya berupa poliklinik, sedangkan sumber daya manusia yang
diperlukan adalah intern ist -geriatrist, perawat geriatri, ahli gizi, dan pekerja
sosio-medik.
2. Pelayanan sedang (memiliki fasilitas poliklinik dan klinik siang)
Pelayanan sedang merupakan gabungan antara pelayanan tingkat.sederhana
yang ditambah terapi fisik, terapi okupasi, terapi bicara, rekreasi dan
pemeriksaan maupun perawatan gigi-mulut sederhana. Adapun bentuk fasilitas
pelayanannya berupa poliklinik dan `Day Hospital'. Dengan demikian sumber
daya manusia yang diperlukan disesuaikan dengan jenis pelayanan tersebut.
3. Pelayanan lengkap (mem;liki fasilitas poliklinik, klinik siang, ruang rawat akut,
dan kronik)
Pada tingkat ini, jenis pelayanan maupun SDM relatif sama dengan tipe sedang
namun telah memiliki ruang rawat akut.
4. Pelayanan paripurna (pelayanan lengkap ditambah fasilitas panti werdha) Pada
tingkat paripurna, selain semua jenis pelayanan yang terdapat di tingkat
lengkap ditambah dengan ruang rawat kronik atau panti werdha.
Dewasa ini, Departemen Kesehatan RI mempunyai tiga program kesehatan
bagi lansia berupa Puskesmas Santun Usia Lanjut, Pembinaan Kelompok Usia
Lanjut, dan Posyandu Usia Lanju (Pedoman Puskesmas Santun Usia Lanjut,
Depkes RI, 2005).
1. Puskesmas Santun Usia Lanjut
Puskesmas Santun Lansia merupakan bentuk pendekatan pelayanan proaktif
bagi usia lanjut untuk mendukung peningkatan kualitas hidup dan kemandirian
usia lanjut, yang mengutamakan aspek promotif dan preventif, di samping
aspek kuratif dan rehabilitatif. Puskemas Santun Lansia mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut:
a. Pelayanan yang baik berkualitas dan sopan
b. Memberikan kemudahan dalam pelayanan kepada usia lanjut
c. Memberikan keringanan atau penghapusan biaya pelayanan kesehatan bagi
usia lanjut dari keluarga miskin atau tidak mampu,
d. Memberikan dukungan atau bimbingan pada usia lanjut , dalam memelihara
dan meningkatkan kesehatannya agar tetap sehat dan mandiri
e. Melakukan pelayanan secara proaktif untuk dapat menjangkau sebanyak
mungkin sasaran usia lanjut yang ada di wilayah kerja puskesmas.
f. Melakukan kerja sama dengan lintas program dan lintas program terkait di
tingkat kecamatan dengan asas kemitraan, untuk bersama-sama melakukan
pembinaan dalam rangka meningkatkan kualitas hidup usia lanjut.
2. Pembinaan kelompok Lanjut Usia
Pembinaan Kesehatan Usia Lanjut melalui Puskesmas dapat dilakukan
terhadap sasaran usia lanjut yang dikelompokkan sebagai berikut:
a. Sasaran langsung
1) Pra-usia lanjut 45-59 tahun.
2) Usia lanjut 60-69 tahun.
3) Usia lanjut risiko tinggi, yaitu usia lebih dari 70 tahun atau usia lanjut
berumur 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan.
b. Sasaran tidak langsung
1) Keluarga di mana usia lanjut berada.
2) Masyarakat di lingkungan usia lanjut berada.
3) Organisasi sosial yang bergerak dalam pembinaan kesehatan usia lanjut.
4) Masyarakat luas.
c. Kegiatan-kegiatan pembinaan kesehatan usia lanjut yang dilakukan melalui
Puskesmas adalah:
1) Pendataan sasaran usia lanjut
Kegiatan ini dilakukan paling tidak 2 kali setahun yang lebih efektif bila
dilakukan bekerja sama dengan petugas desa atau kelurahan setempat dan
dibantu oleh kader dasawisma.
2) Penyuluhan kesehatan usia lanjut, pembinaan kebugaran melalui senam
usia lanjut maupun rekreasi bersama.
3) Deteksi dini keadaan kesehatan dan pemeriksaan kesehatain secara
berkala yang dilakukan setiap bulan melalui Kelompok Usia Lanjut
(Posyandu/ Posbindu/Karang Lansia, dan lain-lain) atau di Puskesmas
dengan instrumen KMS Usia Lanjut sebagai alat pencatat yang
merupakan teknologi tepat guna.
4) Pengobatan penyakit yang ditemukan pada sasaran usia lanjut sampai
kepada upaya rujukan ke rumah sakit bila diperlukan.
5) Upaya rehabilitatif (pemulihan) berupa upaya medik, psikososial, dan
edukatif yang dimaksudkan untuk mengembalikan semaksimal mungkin
kemampuan fungsional dan kemandirian usia lanjut.
6) Melakukan/memantapkan kerjasama dengan lintas sektor terkait melalui
asas kemitraan dengan melakukan pembinaan terpadu pada kegiatan
yang dilaksanakan di Kelompok Usia Lanjut atau kegiatan lainnya.
7) Melakukan fasilitasi dan bimbingan dalam rangka meningkatkan peran
serta dan pemberdayaan masyarakat dalam pembinaan kesehatan usia
lanjut antara lain dengan pengembangan Kelompok Usia Lanjut, dan
Dana Sehat.
8) Melaksanakan pembinaan kesehatan usia lanjut secara optimal dalam
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi secara berkala. Upaya ini dapat
dilakukan melalui pelaksanaan Lokakarya Mini di Puskesmas secara
berkala untuk menentukan strategi, target dan langkah-langkah
selanjutnya dalam pembinaan kesehatan usia lanjut.
3. Posyandu Lansia
Posyandu lansia merupakan wahana pelayanan bagi laum usia lanjut, yang
dilakukan dari, oleh, dan untuk kaum usila yang menitikberatkan pada
pelayanan promotif dan preventif, tanpa mengabaikan upaya kuratif dan
rehabilitatif. Kegiatannya adalah pemeriksaan kesehatan secara berkala,
peningkatan olahraga, pengembangan keterampilan, bimbingan pendalaman
agama, dan pengelolaan dana sehat.
Selain program dari Departemen Kesehatan, pemerintah juga mempunyai
program dari Departemen Sosial yaitu rencana aksi nasional kesejahteraan lansia
yang terdiri dari lima program pokok penduduk lansia yaitu:
1. Kesejahteraan sosial dan jaminan sosial
Bertujuan untuk meningkatkan kualitas penghidupan dan kehidupan para lanjut
usia dengan memelihara dan meningkatkan taraf kesejahteraan sosial mereka
serta melembagakan usaha kesejahteraan sosial bagi para lanjut usia. Selain itu,
program ini juga bertujuan untuk memelihara, memberi perlindungan, dan
meningkatkan taraf kesejahteraan para lanjut usia. Berbagai kegiatan
kesejahteraan sosial bagi lanjut usia antara lain:
a) Peningkatan jumlah dan mutu pensiun.
b) Peningkatan penyuluhan dan bimbingan usaha kesejahteraan sosial bagi
para lanjut usia.
c) Peningkatan panti petirahan dan panti rehabilitasi sosial bagi lanjut usia.
d) Peningkatan pengembangan pelayanan kesejahteraan sosial bagi para lansia
yang berbasis masyarakat.
e) Penyediaan bantuan sosial bagi lansia terlantar.
f) Pembinaan dan pengaturan peran serta para relawan lansia dalam kegiatan
kesejahteraan sosial.
g) Penyelenggaraan akomodasi hostel type bagi lanjut usia.
h) Pengembangan sistem jaminan sosial hari tua.
i) Pengembangan asuransi kesejahteraan sosial bagi usia lanjut.
j) Pengembangan sistem asuransi tenaga kerja lanjut usia.
k) Perlindungan kesejahteraan sosial bagi lanjut usia dari penganiayaan dan
perlakuan salah dan atau korban kekerasan/kejahatan.
2. Peningkatan sistem pelayanan kesehatan
Bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan dan mutu kehidupan para
lanjut usia dengan menanamkan pola hidup sehat. Program pokok kesehatan
bagi lanjut usia diprioritaskan pada upaya pencegahan penyakit (preventive)
dan peningkatan kesehatan (promotive) tanpa mengabaikan upaya pengobat.An
(curative) dan upaya penyembuhan (rehabilitative). Pelayanan kesehatan bagi
para lanjut usia yang tergolong miskin dan tidak mampu diupayakan untuk
dapat diberikan secara subsidi melalui prosedur yang berlaku.
Berbagai kegiatan pelayanan kesehatan bagi para lanjut usia yang
dikembangkan dalam program ini antara lain:
a) Peningkatan komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) kesehatan lanjut
usia.
b) Pengembangan program pemberian makanan tambahan (gizi) bagi lanjut
usia.
c) Peningkatan mutu perawatan kesehatan bagi lanjut usia dalam keluarga.
d) Peningkatan peran serta masyarakat dalam upaya kesehatan lanjut usia.
e) Pengembangan lembaga hospitium terutama untuk perawatan lanjut usia
yang menderita penyakit kronik yang berprognosis buruk dan atau
menderita penyakit terminal.
f) Pengembangan upaya kesehatan reproduksi lanjut usia di sarana pelayanan
kesehatan dasar dan pelayanan kesehatan rujukan.
g) Pengembangan Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat
(JPKM) sebagai basis utama pendanaan untuk pemeliharaan kesehatan
lanjut usia.
3. Penguatan dukungan keluarga dan masyarakat, bertujuan untuk
a) Menggalakkan, membina, dan meningkatkan peran keluarga untuk semakin
membudayakan dan melembagakan kegiatan sehari-hari seluruh anggota
keluarga dalam memberikan pelayanan, pembinaan kualitas dan
peningkatan kesejahteraan kepada anggota keluarganya yang berusia lanjut.
b) Menggalakkan, membina, dan meningkatkan peran serta masyarakat,
organisasi sosial, LSM, dan sektor swasta dalam kegiatan pelayanan bagi
lanjut usia di berbagai bidang.
c) Memelihara, memperkuat, dan memasyarakatkan nilainilai budaya bangsa
yang menghormati, menghargai, dan memberikan perhatian terhadap para
lanjut usia dalam kehidupan sehari-hari.
d) Memberdayakan lansia untuk tetap berperan sebagai panutan dan teladan
dalam memelihara dan meneruskan nilai dan norma pada anak cucunya.
4. Peningkatan kualitas hidup lansia bertujuan untuk
a) Memberikan kesempatan bagi para lanjut usia yang potensial untuk
meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya, baik untuk berkarya lebih
lanjut ataupun untuk pengembangan hobi mereka melalui lembaga-lembaga
pendidikan dan pelatihan formal maupun nonformal.
b) Memberikan kesempatan dengan memberdayakan para lanjut usia yang
potensial dan produktif untuk berkarya sesuai dengan kemampuan,
pengetahuan, dan pengalamannya.
c) Meningkatkan dan memantapkan iman dan ketakwaan para lansia sesuai
agamanya atau kepercayaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa serta
memandu pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-hari.
5. Peningkatan sarana dan fasilitas khusus bagi lansia
Program ini bertujuan untuk mewujudkan apa yang dikehendaki oleh undang-
undang dasar dan sebagai pernyataan rasa hormat dan penghargaan kepada
para lanjut usia dengan memberikan kemudahan khusus bagi para lanjut usia
untuk melaksanakan kegiatan sehari-hari maupun dalam melaksanakan kerja
dan melakukan perjalanan. Beberapa kegiatan dalam program pokok ini antara
lain:
a) Pemberian keringanan biaya pelayanan kesehatan.
b) Pelayanan sarana transportasi bagi lanjut usia.
c) Penyediaan sarana rekreasi dan olah raga bagi para lanjut usia.
d) Pemberian kemudahan pariwisata bagi lanjut usia.
e) Pemberian KTP seumur hidup.
f) Pelayanan konsultasi kesehatan reproduksi bagi lansia.
Strategi-strategi dan program-program pokok untuk meningkatkan
kesejahteraan lansia ini dimaksudkan agar para lansia di masa depan dapat
hidup dengan sehat, produktif, mandiri, dan sejahtera lahir dan batin.
Implementasi dari strategi-strategi dan program-program tersebut sangat
diperlukan. Dengan demikian, ketergantungan lansia pada penduduk usia
produktif dapat diminimalkan.
Upaya pemantapan pelayanan kesehatan bagi lansia perlu mendapatkan
perhatian yang serius dan menjadi bagian dari strategi dalam peningkatan
kesejahteraan lansia melalui upaya promotif dan preventif atau yang disebut
sebagai paradigma sehat. Paradigma sehat adalah wawasan pembangunan yang
berorientasi pada peningkatan, pemeliharaan, dan perlindungan kesehatan dengan
lebih menekankan kepada upaya preventif, promotif tanpa mengabaikan penduduk
yang sakit. Untuk itu diperlukan beberapa hal, yaitu:
a) Publikasi atau kampanye bentuk-bentuk pelayanan kesehatan lansia.
b) Pemaksimalan peran institusi kesehatan seperti posyandu, pustu, puskesmas,
dan pusat-pusat pelayanan kesehatan lainnya untuk kepentingan lansia.
c) Peningkatan profesionalitas sumber daya manusia (SDM) di bidang kesehatan
lansia.
d) Penyediaan obat-obatan dan perawatan kesehatan yang efektif dan terjangkau
oleh lansia termasuk di dalamnya cara-cara alternatif lewat pengobatan
tradisional dan sebagainya.
Mengingat fisik lansia yang lemah sehingga mereka tidak dapat leluasa
menggunakan berbagai sarana dan prasarana maka upaya pemantapan pelayanan
kesehatan lainnya adalah penyediaan sarana dan fasilitas khusus bagi lansia. Hal
ini dimaksudkan untuk memudahkan lansia melakukan aktivitasnya dan sebagai
bentuk penghormatan kepada generasi tua yang telah banyak berkorban ketika
masih muda. Upaya itu antara lain, penyediaan sarana dan fasilitas khusus bagi
lansia yang diprioritaskan dan disesuaikan dengan kebutuhan lansia, penyediaan
sarana dan fasilitas khusus bagi lansia dengan melibatkan peran serta masyarakat,
dan sebagainya.
POLA MAKAN SEBAGAI UPAYA MENCEGAH
PENYAKIT JANTUNG KORONER

A. Pendahuluan
Indonesia dewasa ini mengalami beban ganda dalam menghadapi masalah
penyakit. Di satu sisi penyakit-penyakit menular (communicable diseases) masih
tinggi bahkan cenderung meningkat, di sisi yang lain penyakit tidak menular (non
commincable diseases) yang pada umumnya tergolong penyakit degeneratif mulai
meningkat. Salah satu penyakit degeneratif merupakan penyebab kematian
terbesar adalah penyakit jantung koroner (PJK). Penyakit ini pada umumnya
disebabkan oleh perilaku atau pola hidup yang tidak sehat.
Menurut Institut Jantung, Paru-paru, dan Darah Nasional Amerika Serikat
(National Heart, Lung, and Blood Institute), penyakit jantung koroner merupakan
penyebab kematian nomor satu, baik bagi pria maupun wanita di Amerika Serikat,
di mana jumlah kematian akibat penyakit ini mencapai lebih dari 500.000 jiwa
setiap tahunnya. Menurut data dari Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
SKRT tahun 2002 PJK menempati urutan pertama sebagai penyebab kematian.
Selain itu dari hasil berbagai penelitian, penderita PJK dari tahun ke tahun
meningkat.
Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan penyakit yang tidak disadari
oleh kebanyakan orang dan tidak memberikan keluhan yang berarti karena hanya
keluhan ringan saja, seperti nyeri dada sebelah kiri yang berlangsung sebentar-
sebentar sehingga membuat penderita tahap dini kurang waspada, bahkan
dianggap seperti masuk angin atau salah urat dan hanya dipijat atau dikerok. Dari
80.812 penderita di rumah sakit, di antaranya 2.836 adalah penderita penyakit
kardiovaskular yang terdiri 43,2 persen penyakit jantung koroner, 30,1 persen
hipertensi, 14,5 persen demam rematik dan rematik jantung, 8,4 persen penyakit
jantung bawaan, 2,5 persen penyakit jantung pulmonair, dan 1,3 persen radang
katup jantung (Buletin Kesehatan Indonesia, 2003).
PJK adalah penyakit penyempitan pembuluh darah arteri koronaria yang
memberi pasokan nutrisi dan oksigen ke otototot jantung, terutama ventrikel kiri
yang memompa darah ke seluruh tubuh. Penelitian menunjukkan bahwa
sekurangnya 50% dari kematian dini akibat PJK sebenarnya dapat dicegah dengan
perbaikan gaya hidup dengan mengontrol faktor risiko, seperti merokok,
kegemukan, kurang bergerak atau berolahraga, dan tingginya kadar kolesterol atau
tekanan darah. Sampai kini berbagai upaya telah dilakukan, tetapi belum berhasil
dengan baik karena belum diketahui secara persis faktor risiko yang sebenarnya di
tengah masyarakat. Pengendalian tekanan darah merupakan cara yang relevan
mengurangi angka kematian kardiovaskular.
Faktor utama untuk mencegah penyakit jantung ialah pola konsumsi
makanan yang sehat. Apa yang kita makan dapat mempengaruhi kesehatan
jantung kita. Makanan cepat saji atau junk food merupakan faktor risiko PJK bila
sering dikonsumsi. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa orang yang
mengonsumsi makanan berserat sekitar 35 gram per hari memiliki risiko terkena
penyakit jantung 1/3 kali lebih rendah dibandingkan dengan orang yang
mengonsumsi serat kurang dan 15 gram per hari. Pola makan rendah kalori
dengan bijibijian, buah serta sayuran dapat membantu menurunkan kadar
kolesterol dan mempertahankan berat badan. Dari penelitian Alison (1993)
menyimpulkan efek diet dan berhenti merokok pada 1.232 laki-laki yang
mempunyai risiko PJK tinggi, dalam periode 5 tahun terdapat penurunan kejadian
infark miokard sebesar 47,0%. Penelitian di Belanda menunjukkan bahwa di
kalangan masyarakat yang suka makan ikan rata-rata 30 gram per hari angka
kematian karena PJK 50% lebih rendah. Dari penelitian yang melibatkan.582 pria
Belanda selama 20 tahun disimpulkan bahwa makan ikan 1 atau 2 kali,tiap
minggu cukup efektif 'xnenekan kadar kolesterol.
Selain pola konsumsi makanan sehat, faktor-faktor yang berhubungan
dengan pencegahan PJK adalah menjaga tekanan darah normal, berat badan
normal, kolesterol rendah, tidak merokok, dan aktivitas fisik yang teratur.
Menurut SKRT 1996, hipertensi merupakan penyabab utama kematian pada PJK
di Indonesia, yaitu 42.8% per 100.000 kasus kematian. Penderita obesitas
mempunyai kadar kolesterol total dan LDL lebih tinggi. Di universitas
Pensilvenya, orang yang ikut program penurunan berat badan selama 4 bulan
mengalami penurunan berat badan 8,9-10,7 kg,. penurunan LDL 25,8%, dan HDL
meningkat 3,34,7% (Barras Faisa1,1987). Framingharm Heart Study di Amerika
Serikat yang dimulai sejak 1948-1980-an menyatakan bila kolesterol total berkisar
antara 200 sampai 220 mg% maka risiko PJK konstan. Jika kolesterol total 220-
250 mg% risiko PJK meningkat 2 kali jika kolesterol total 250-300 mg%
meningkat 4 kali. Framingharm Heart Study tahun 1984 meniliti 2.000 wanita dan
2.000 laki-laki usia 20-49, HDL menurun pada perokok sekitar 4,5-6,o %. Suatu
studi yang dilakukan G Harley Hartung dari Baylor College of Medicine
menyatakan bahwa melakukan aktivitas fisik seperti joging 11 km selama
seminggu berturut-turut akan meningkatkan HDL hingga 35%. Suatu penelitian
longitudinal selama 2 tahun pada 200 orang yang, pernah kehilangan: pekerjaan
kadar kolesterol meningkat pada saat kehilangan pekerjaan kemudian menurun
lagi pada saat mendapat pekerjaan. Kehilangan pekerjaan merupakan faktor stress
yang kuat dan mempengaruhi kadar kolesterol.

B. Penyakit Jantung Koroner dan Faktor Risiko


1. Batasan PJK
Penyakit Jantung Koroner adalah penyakit penyempitan pembuluh darah
arteri koronaria yang memberi pasokan nutrisi dan oksigen ke otot-otot jantung,
terutama ventrikel kiri yang memompa darah ke seluruh tubuh. Penyempitan dan
penyumbatan menyebabkan terhentinya aliran darah ke otot jantung sehingga
dalam kondisi lebih parah, jantung tidak dapat lagi memompa darah ke seluruh
tubuh. Sehingga sistem kontrol irama jantung akan terganggu dan selanjutnya bisa
menyebabkan kematian.
Pada prinsipnya, penyakit kardiovaskular disebabkan oleh 2 faktor utama,
yaitu:
a. Arterosklerosis
Arterosklerosis atau pengerasan dinding pembuluh darah adalah penyempitan
atau penyumbatan pembuluh darah nadi jantung oleh plak (ateroma).
Sebenarnya pembentukan ateroma merupakan proses normal yang terjadi pada
setiap manusia. Tetapi dengan bertambahnya usia, respons terhadap stres, baik
mekanis, kimiawi, CO, racun rokok, maupun kolesterol teroksidasi,
menyebabkan luka goresan pada ateroma tersebut. Luka goresan ini menjadi
tempat menumpuknya lemak, kalsium, dan jaringan ikat. Pada mulanya hanya
terbentuk endapan lunak, tetapi prosesnya yang bertahun-tahun mengakibatkan
endapan tersebut menjadi keras yang disebut aterosklerosis. Selain itu,
penyumbatan dan penyempitan ini menyebabkan dinding pembuluh darah
menjadi tidak elastis, makin lama akan menimbulkan gangguan tekanan darah
tinggi (hipertensi).
b. Trombosis
Endapan lemak dan pengerasan pembuluh darah menyebabkan aliran darah
terganggu dan makin lama berakibat robeknya dinding pembuluh darah.
Berkumpulnya gumpalan darah di bagian robek tersebut yang kemudian
bersatu dengan keping-keping darah menjadi trombus. Trombosis ini
menyebabkan sumbatan di dalam pembuluh darah. Bila trombosis terjadi pada
pembuluh darah jantung dapat menyebabkan serangan jantung mendadak dan
bila sumbatan terjadi pada pembuluh darah otak menyebabkan stroke.
2. Faktor risiko PJK
Faktor-faktor penyebab atau faktor pada pria risiko terjadinya penyakit
jantung koroner dikelompokkan menjadi 3 yakni faktor risiko yang tidak dapat
diubah, faktor risiko yang dapat diubah, dan faktor risiko psikososial.
a. Faktor-faktor risiko yang tak dapat diubah
1) Gender
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis kelamin laki-laki lebih besar
terkena PJK dibandingkan dengan wanita. Akan tetapi, pada wanita yang
sudah menopause risiko PJK meningkat. Hal itu berkaitan dengan
penurunan hormon estrogen yang berperan penting dalam melindungi
pembuluh darah dari kerusakan yang memicu terjadinya aterosklerosis.
2) Usia
Dari hasil penelitian juga terbukti bahwa makin bertambahnya usia, risiko
terkena PJK makin tinggi, dan pada umumnya dimulai pada usia 40 tahun
ke atas. Menurut data yang dilaporkan American Heart Association (AHA),
1 dari 9 wanita berusia 45-60 tahun menderita PJK dan 1 dari 3 wanita
berusia di atas 60 tahun menderita PJK. Sedangkan 1 dari 2 wanita akan
meninggal karena penyakit jantung dan stroke.
3) Keturunan (genetik)
Riwayat penyakit jantung di dalam keluarga pada usia di bawah 55 tahun
merupakan salah satu faktor risiko yang perlu dipertimbangkan. Dilaporkan
juga bahwa faktor-faktor risiko PJK yang diturunkan, seperti
hiperkolesterolemia, penyakit darah tinggi, atau kencing manis (diabetes).
Selain itu, gaya hidup dan kebiasaan di dalam keluarga juga berperan,
seperti pola makan sejak kecil atau merokok sejak usia muda.
b. Faktor-faktor risiko yang dapat diubah
1) Diet
Diet atau pola makan memegang peranan penting dalam pencegahan dan
pengobatan dalam penyakit kardiovaskular. Pada penderita penyakit
kardiovaskular sering mempunyai tubuh yang gemuk (obese) dan kadar
lemak darah yang tinggi. Untuk mengurangi berat badannya, kandungan
energi dalam makanan pasien yang obes harus diatasi. Kenaikan kadar
lemak dalam darah dikoreksi dengan pengurangan jumlah total lemak yang
dimakan dan modifikasi jenis lemak tersebut. Modifikasi diet pada sistem
jantung dan peredaran darah dilakukan berdasarkan pada 3 prinsip yaitu:
a) Nilai kalori dalam diet dikurangi bila pasien bertubuh gemuk
(overweight).
b) Jika pasien memperlihatkan gejala edema biasanya digunakan preparat
diuretic untuk mengurangi volume cairan ekstraselular. Volume cairan
ekstraselular ditentukan oleh kandungan natriumnya. Preparat diuretik
bekerja mencegah penyerapan kembali natrium oleh tubulus ginjal.
Kadang-kadang sebagai tindakan pelengkap diperlukan pula pembatasan
konsumsi natrium.
c) Baik jumlah total lemak dalam makanan maupun proporsi yang
dihasilkan oleh lemak jenuh harus dikurangi kalau kadar lipid serum
meningkat. Jika kadar fraksi lipid yang mengandung kolesterol itu naik,
konsumsi kolesterol dalam makanan harus dibatasi.
Beberapa bukti penelitian menunjukkan bahwa peningkatan konsumsi
lemak yang kaya asam-asam lemak tak jenuh. ganda memberikan efek yang
menguntungkan dalam penurunan kadar kolesterol darah. Contoh asam
lemak tak jenuh ganda adalah asam lemak omega-3 yang banyak terdapat
dalam lemak ikan trout, hering, salmon, dan lemuru.
Terkait dengan diet ini, ada beberapa jenis makanan yang harus dihindari
untuk mengendalikan terjadinya PJK. Makanan yang harus dihindari
sebagai berikut: otak dan jeroan, seperti hati, ginjal, usus, dan babat. Lapis
legit, tarcis, kue-kue kering, gorengan (lumpia goreng, ayam goreng, dan
keripik kentang) yang mengandung telur dan atau lemak jenuh. Demikian
pula makanan manis, seperti selai, sirup, permen, coklat, kopi, es krim, es
teler. Makanan yang dimasak dengan santan kental, seperti, gudek, gulai,
dan kari.
Dari berbagai penelitian epidemiologis dan eksperi-mental, aterosklerosis
bukanlah prows menua semata tetapi lebih banyak disebabkan oleh salah
diet yang dapat mempercepat progresivitas aterosklerosis (W.P. Castelli,
1984). Suatu survei meliputi 4903 prig dan wanita usia 20-59 tahun di
Amerika Serikat tahun 1989 menyatakan bahwa orang yang banyak makan
mentega dalam makanannya mempunyai tingkat kolesterol, glukosa dan
tekanan darah lebih tinggi. Sebaliknya orang yang banyak memakai minyak
sayur dalam makanannya tingkat kolesterol dan tekanan darah lebih rendah.
(Trevisan M, Krakaragh V, Freden Hein J, 1990)
2) Dislipidemia
Kenaikan kadar kolesterol berbanding lurus dengan peningkatan terjadinya
serangan PJK. Peningkatan LDL dan penurunan HDL merupakan faktor
risiko yang penting pada PJK. Setiap penurunan 4 mg% HDL akan
meningkatkan risiko PJK sekitar 10%. Penelitian epidemiologi juga
melaporkan bahwa tingkat rendahnya HDL akan menggambarkan
banyaknya cabang pembuluh darah koroner yang tersumbat dan terjadinya
penyempitan ulang setelah operasi jantung lebih Bering terjadi.
3) Obesitas (kegemukan)
Seorang disebut obesitas bila berat badannya melebihi 20% dari berat badan
normal dan mengalami penimbunan lemak yang berlebihan. Penelitian
melaporkan kaftan erat obesitas sentral atau obesitas abdominal (perut)
dengan PJK. Jaringan lemak abdominal merupakan prediktor terjadinya PJK
dan kematian. Suatu studi melaporkan bahwa sekitar 30% kematian akibat
PJK terjadi pada mereka yang menderita obesitas dan umumnya prows
aterosklerosis dimulai pada penderita obesitas pada usia 50 tahun. Kejadian
PJK berhubungan dengan tinggi lemak seseorang. Studi ini membandingkan
total lemak tubuh terhadap ‘prevalent rate’ PJK di tiga wilayah pusat studi.
Dari studi ini terbukti bahwa presentase leniak tubuh (PLT) berperan pada
kejadian PJK. PLT yang tinggi akan meningkatkan risiko 1,3 kali kejadian
PJK dibandingkan dengan PLT yang rendah. (Howard et tal, 1995)
4) Hipertensi (tekanan darah tinggi)
Hipertensi dijumpai pada seseorang bila tekanan diastolik sama dengan atau
di atas 90 mmHg dan tekanan sistolik sama dengan atau di atas 140 mmHg.
Hipertensi merupakan faktor risiko yang berperanan penting terhadap PJK
dan proses aterosklerosis akan dialami sekitar 30% penderita hipertensi.
Pada studi Framingham dilaporkan bahwa insiden penyakit iskemia jantung
lebih dari 5 kali pada pria usia dewasa muda dengan tekanan darah lebih
dari 160/95 dibandingkan dengan kelompok tekanan darah normal 140/90
atau di bawahnya.
5) Kurangnya aktivitas fisik
Melakukan latihan fisik secara teratur memang sangat bermanfaat dalam
memelihara kesehatan jantung, tetapi bagaimana mekanisme langsung
penurunan insiden PJK dan aterosklerosis melalui latihan fisik belum
diketahui pasti. Namun, manfaat yang diperoleh dari latihan fisik teratur
antara lain adalah pengendalian kadar kolesterol dan peningkatan
pengeluaran energi. Kadar kolesterol total, HDL, dan trigliserida dalam
darah menurun, sedangkan HDL meningkatkan secara bermakna bila
melakukan aktivitas fisik atau olahraga secara teratur. Selain itu, seseorang
yang biasa melakukan olahraga secara teratur, diameter pembuluh darah
jantung tetap terjaga, sehingga kesempatan terjadinya pengendapan
kolesterol pembuluh darah dapat dihindari.
6) Diabetes melitus
Diabetes melitus memperburuk prognosis PJK. Angka : kematian karena
PJK meningkat 40-70% pada penderita diabetes. Penderita diabetes wanita
memiliki risiko terkena PJK 3-7 kali dibandingkan dengan wanita yang
tidak menderita diabetes. Pada penderita diabetes tipe 2 (tidak tergantung
pada insulin), peningkatan risiko PJK berkaitan erat dengan kelainan
lipoprotein, yaitu rendahnya HDL dan peningkatan trigliserida. Oleh karena
itu, kontrol gula darah melalui obat, diet, dan olahraga dapat membantu
menekan risiko terkena PJK pada penderita diabetes.
7) Merokok
Zat-zat racun dalam rokok yang masuk ke peredaran darah akan
menyebabkan penyempitan pembuluh darah. Racun nikotin dari rokok akan
menyebabkan darah menjadi kental sehingga mendorong percepatan
pembekuan darah karena agregasi platelet dan fibrinogen meningkat.
Sehingga sewaktu-waktu menyebabkan terjadi trombosis pada pembuluh
koroner yang sudah menyempit. Selain itu, telah dibuktikan bahwa rokok
dapat meningkatkan kadar kolesterol.jahat (LDL) dan menurunkan kadar
kolesterol baik (HDL). Pada Framingham Heart Study yang meneliti pria
dan wanita sekitar 20-49 tahun dilaporkan bahwa kadar kolesterol HDL
lebih rendah 4,5-6,5% pada perokok.
c. Faktor psikososial
1) Stres
Stres dan kecemasan mempengaruhi fungsi biologis tubuh. Pada saat stres
peningkatan respons saraf simpatik memicu peningkatan tekanan darah dan
terkadang disertai dengan kadar kolesterol darah. Sehingga, orang yang
mudah stres akan berisiko terkena PJK dibandingkan dengan seseorang
yang tidak mudah mengalami stres. Dalam Norwegian study, pemeriksaan
kolesterol pada sembilan orang mahasiswi kedokteran usia 22-33 tahun saat
ujian dan 48 jam setelah ujian. Dua bulan kemudian kadar kolesterol
diperiksa lagi saat jeda. Ternyata kolesterol total meningkat 20% selama
ujian dan 48% sesudahnya dibanding saat jeda.

3. Gejata gejala PJK


a. Nyeri dada
Gejala nyeri dada dirasakan oleh sekitar 1/3 penderita PJK. Nyeri dirasakan
di bagian tengah dan menyebar ke leher, lengan, dagu. Perasaan nyeri sering
disertai rasa seperti diremas atau dicengkeram dan hal-ini disebabkan karena
jantung kekurangan dardh dan oksigen. Terkadang nyeri tidak dirasakan,
tetapi orang hanya merasakan tidak enak badan saja.
b. Sesak nafas
Sesak nafas berhubungan dengan kesulitan bernapas yang disadari dan
dirasakan perlu usaha tambahan untuk mengatasi kekurangan udara. Bila
jantung tidak dapat memompa sebagaimana mestinya, cairan cenderung
dapat berkumpul di jaringan dan paru, sehingga menyebabkan kesulitan
bernafas waktu berbaring.
c. Berdebar-debar (palpitasi)
Keluhan lain, yaitu debaran jantung tidak seperti biasanya. Debaran jantung
lebih keras dari,pada biasa atau irama jantung yang tidak teratur (aritmia).
Kadang rasa berdebar debar juga diikuti dengan keluhan lain seperti
keringat dingin, sakit dada, dan sesak nafas.
4. Beberapa tahapan terjadinya PJK
a. Angina pektoris
Angina pektoris ditegakkan berdasarkan keluhan nyeri dada yang khas,
yaitu rasa.tertekan atau berat di dada yang menjalar ke lengan kixi.
b. Angina pektoris yang tidak stabil
Serangan rasa sakit dapat timbul, baik pada saat istirahat, waktu tidur,
maupun aktivitas ringan. Lama sakit dada jauh lebih lama dari sakit biasa.,
frekuensi serangan juga lebih sering.
c. Serangan jantung
Dalam istilah kedokteran disebut infark miocard akut, yaitu jaringan otot
jantung yang mati karena kekurangan oksigen dan darah dalam beberapa
waktu. Keluhan yang dirasakan nyeri dada, seperti tertekan, tampak pucat
berkeringat dan dingin, mual, muntah, sesak pusing, serta pingsan.
5. Pemeeiksaan untuk Mendeteksi PJK
Untuk diagnosis -seseorang yang menderita PJK dilakukan berbagai
pemeriksaan, dimulai dari tanya-jawab (anamnesa) untuk mendapatkan
keterangan mengenai keluhan dan riwayat yang pernah diserita sebelumnya,
termasuk keluhan utama, keluhan tambahan lain, riwayat penyakit dahulu, riwayat
penyakit keluarga, dan juga riwayat sosio-ekonomi. Pemeriksaan fisik dilakukan
untuk memperoleh gambaran umum keadaan fisik penderita termasuk pengamatan
umum, palpasi (perabaan di atas bagian jantung), perkusi jantung (ketuk dibatas
jantung untuk menentukan gambaran besar jantung), dan juga auskultasi
(mendengarkan bunyi jantung melalui stetoskop). Tes tambahan juga dilakukan
berupa pemeriksaan tekanan darah dan tekanan vena. Pemeriksaan lanjutan untuk
mendeteksi kelainan jantung, sebagai berikut :
a. Elektrokardiografi (EKG)
Pemeriksaan EKG merupakan gambaran listrik yang ditimbulkan oleh jantung
pada waktu berkontraksi. Gambaran yang didapat berupa denyut, ritme, dan
apakah otot jantung berkontraksi dengan normal.
b. Ekokadiografi
Pemeriksaan yang tidak menimbulkan rasa sakit dan berdasarkan pemantulan
gelombang suara (ultrasound) dari berbagai bagian jantung. Pada tes ini dapat
dilihat gambaran fungsi pompa jantung dan kontraksi yang terganggu bila
suplai darah terganggu.
c. Radioaktif isotop
Menggunakan zat kimia atau isotop yang disuntikkan pada penderita,
kemudian zat tersebut dideteksi melalui kamera khusus. Zat yang biasa
digunakan adalah thallium dan technetium. Pada bagian otot jantung yang
infark, zat radioaktif lebih sedikit dibandingkan dengan bagian otot jantung
yang normal.
d. Angiografi
Cara yang langsung dapat mendeteksi kelainan jantung dari pembuluh arteri
jantung, seperti gambaran radiologis, yaitu dengan menggunakan alat
angiogram. Namun, pemeriksaan ini termasuk tindakan invasif yaitu dengan
memasukkan kateter ke dalam pembuluh arteri atau vena lalu didorong sampai
ke berbagai tempat di jantung. Gambaran arteri jantung yang mengalirkan
darah ke jantung akan terlihat dengan pemeriksaan ini.

C. Pola Makan Sebagai Upaya Pencegahan PJK


Penyakit-penyakit degeneratif, terutama penyakit jantung koroner (PJK)
adalah penyakit yang disebabkan karena perilaku (perilaku berisiko), terutama
perilaku makan. Oleh sebab itu, upaya yang paling efektif untuk mencegah PJK
adalah melalui pengaturan pola makan atau ‘diet’ yang diawali dengan masukan
(asupan) makanan kedalam tubuh arau lebih umum dikatakan ‘intake makanan’.
Proses mulai dari ‘intake makanan’ samapai dengan terjadinya PJK atau
tercegahnya PJK dapat digambarkan seperti dibawah ini.

Intake makanan yang berlebih, terutama lemak akan mengakibatkan


kolesterol dalam tubuh naik dan terjadi obesitas atau kegemukan. Kolesterol
tinggi dapat mempercepat terjadinya aterosklerosis, di mana aterosklerosis ini
dapat menyebabkan PJK. Obesitas dapat pula menyebabkan kolesterol total dan
LDL tinggi yang pada akhirnya terjadi PJK. Selain itu, obesitas dapat pula
menyebabkan diabetes melitus dan komplikasinya adalah hipertensi, di mana
diabetes melitus dan hipertensi merupakan faktor risiko PJK.
Beberapa zat gizi dan non-gizi makanan memiliki fungsi tertentu dalam
tubuh, dan menurut penelitian bila berlebihan dapat berbahaya bagi kesehatan
jantung. Tetapi ada zat gizi yang mendukung kesehatan jantung sehinggga
mengatur pola makan dapat mencegah PJK. Faktor-faktor pencegah PJK, antara
lain:
1. Kadar lipid dalam darah normal
Komposisi diet seimbang terdiri atas sumber karbohidrat 5060% dan total
kalori, protein 10-15% dan total, kalori, dan lemak tidak lebih dari 25%.
Jumlah kalori yang dibutuhkan tiap hari disesuaikan dengan usia dan jenis
kelamin. Penambahan lemak pada makanan membuat rasa lebih gurih dan
nikmat. Akan tetapi, asupan makanan yang mengandung lemak dan kolesterol
tinggi harus dibatasi, terutama bagi orang yang gemuk. Karena lemak memberi
sumbangan besar terhadap peningkatan risiko PJK.
Lemak terbagi atas lemak jenuh, lemak tidak jenuh tunggal, dan lemak tidak
jenuh ganda. Banyak mengonsumsi lemak jenuh dapat meningkatkan kadar
kolesterol dan trigliserida dalam darah. Sebaiknya tidak mengonsumsi lemak
jenuh lebih dari. 8% dari total kalori. Asam lemak ini terdapat dalam daging
merah, minyak kelapa, cokelat, keju, susu krim. Asam lemak tidak jenuh
tunggal dapat menurunkan kadar kolesterol total dan LDL dalam darah, tanpa
menurunkan kolesterol HDL. Keunggulan lemak ini adalah tahan terhadap
oksidasi dibandingkan dengan lemak jenuh yang membeku pada suhu ruang.
Salah satu asam lemak tidak jenuh tunggal yang bermanfaat bagi pencegahan
PJK adalah asam lemak omega-9 yang terdapat pada minyak zaitun dan
minyak sawit. Omega-9 memiliki daya perlindungan yang mampu menurunkan
kolesterol LDL darah, meningkatkan HDL kolesterol, lebih stabil karena tahan,
terhadap proses pemanasan. Asam lemak yang terdapat dalam lemak tidak
jenuh ganda adalah asam lemak esensial omega-3 dan omega-6. Para ahli
sepakat bahwa rasio omega-3 dan omega-6 yang ideal adalah 1:4 karena
dengan komposisi ini dapat menurunkan kolesterol darah.
2. Kadar kolesterol normal
Contoh sumber makanannya, terutama kuning telur dan jeroan. Sebaiknya
konsumsi kolesterol dibatasi tidak lebih dari 300mg/hari. Multiple Risk Factor
Initervention Trial (MRFIT), suatu penelitian monumental menyimpulkan
kolesterol total ideal 170-200 mg%. MRFIT meneliti 360.000 pria usia 35-37
tahun pada 18 kota di USA yang dimulai tahun 1973-1979, insidens PJK paling
rendah bila kolesterol < 200 mg%.
3. Konsumsi serat setiap hari
Walaupun serat bukan termasuk zat gizi, tetapi banyak manfaatnya bagi
kesehatan. Menurut jenisnya, serat dibedakan atas serat yang larut dan tidak
larut dalam air. Kedua jenis serat ini bermanfaat dalam menunjang pencegahan
berbagai jenis penyakit, termasuk PJK. Serat larut dalam usus halus
membentuk gel yang mengikat lemak, kolesterol, dan asam empedu.
Akibatnya, asam empedu dalam hati berkurang. Untuk memproduksi asam
empedu yang hilang, hati akan menarik kolesterol dari darah sehingga kadar
kolesterol darah akan menurun. Hal itu membuat makin kecilnya risiko
tersumbatnya pembuluh , darah koroner. Selain itu, makanan berserat tinggi
dan rendah lemak memberi efek rasa kenyang tanpa menambah kalori,
sehingga dapat mengurangi keinginan untuk makan ' atau jarak waktu untuk
kembali makan makin lama. Konsumsi serat setiap hari sebesar 25-30 gram.
Oleh sebab itu, serat membantu dalam menurunkan berat badan dan mencegah
kegemukan.
4. Tekanan darah normal
Hipertensi disebut juga sebagai Silent Killer karena tidak ditemukan tanda-
tanda fisik. Individu dengan tekanan darah > 160/95 memiliki risiko 2-3 kali
lebih tinggi untuk terkena penyakit jantung dan 3 kali lebih tinggi untuk
terkena stroke. Seseorang menderita darah tinggi, lapisan dinding pembuluh
darah menebal sebagai usaha untuk kompensasi terhadap tekanan darah yang
tinggi sehingga lumen menyempit dan tekanan meningkat. Tekanan darah
normal 120/80 mmHg.
5. Kadar gula darah normal
Untuk penderita DM (diabetus melitus), intake makanan haruslah diatur.
Karena bila tidak diatur maka glukosa darah akan meningkat sedangkan
metabolisme insulin tidak bekerja secara optimal dan hal ini dapat
menyebabkan gula darah tidak dapat diubah menjadi energi dan tidak dapat
digunakan oleh jaringan di dalam tubuh. Oleh karena itu, energinya diproses
melalui metabolisme lemak dan protein. Akibatnya, kolesterol yang terbentuk
dapat menumpuk di pembuluh darah, terutama jaringan pembuluh darah tepi.
Untuk orang yang belum atau tidak menderita DM tetap harus menjaga kadar
gula darah dalam batas normal.
6. Berat badan normal
Efek obesitas dimediasi melalui berbagai mekanisme, yaitu hipertensi, total
kolesterol, meningkatkan LDL, dan menurunkan HDL. Obesitas berdasarkan
Indeks Massa Tubuh (IMT) > 30, sedangkan berat badan normal dengan
menggunakan (1MT) antara 20-25. Overweight > 26 juga harus diwaspadai
karena dapat mengarah ke obesitas.
Para ahli gizi secara sederhana memberikan rekomendasi diet untuk
pencegah PJK, sebagai berikut:
a. Mempertahankan berat badan ideal, dengan mengatur pola makan,
mengonsumsi makanan dengan gizi seimbang.
b. Mengurangi konsumsi total lemak, misalnya: mengganti kebiasaan minum susu
tinngi lemak dengan susu rendah lemak, dan membatasi memakan daging
merah, menghindari jenis makanan yang kaya kolesterol (otak, jerohan),
menghindari makanan yang digoreng.
c. Mengurangi konsumsi lemak.
HIV/AIDS dan TBC
BEBAN GANDA KESEHATAN MASYARAKAT

A. Pendahuluan
Mengakhiri abad ke-20, dunia kesehatan dikejutkan dengan munculnya
penyakit baru yang sangat berbahaya dan ganas menyerang kehidupan manusia,
yakni penyakit HIV/AIDS. AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome)
merupakan penyakit menular yang disebabkan virus HIV (Human Immuno
Deficiency Virus). Penyebarannya sangat cepat ke seluruh dunia. Pada tahun 1999
dilaporkan 191.000 kasus AIDS ke WHO oleh 145 negara: Sampai pertengahan
tahun 2000 diperkirakan 30 juta orang di dunia terinfeksi HIV, yang terdiri dari
24,5 juta orang dewasa dan 5;5 juta anak-anak. Pada akhir abad ke-20
diperkirakan terdapat 40 juta orang yang terinfeksi HIV.
Penyakit AIDS pertama kali ditemukan pada tahun 1981 di Amerika Serikat
yang kemudian dengan pesatnya menyebar ke seluruh dunia. Pada tahun 1988
jumlah kasus AIDS di Amerika Serikat mencapai 48.139 orang. Di negara-negara
Amerika Latin dilaporkan 7.215 kasus AIDS melanda kaum muda berusia 20-49
tahun yang sebagian besar adalah kaum homoseksual dan pengguna obat-obat
suntik ke pembuluh darah. Berdasarkan informasi kesehatan yang terbatas di
negaranegara Asia, tercatat beberapa manifestasi klinis paling umum pada pasien
AIDS di Asia, meliputi Pneumonia pneumocystis carinii, Candidiasis,
Tuberculosis (TBC), Varicella zoster. Herpes simplex, Cytomegalovirus, dan
Sarkoma kaposi.
Pada perkembangan selanjutnya manifestasi klinis tuberkulosis Paru atau
TBC merupakan manifestasi klinis paling umum di negara-negara sedang
berkembang (khususnya Asia dan Afrika) dan memiliki arti kesehatan masyarakat
yang sangat penting. Hal itu dikarenakan penyakit TBC yang sangat menular dan
mudah menyebar melalui saluran pernafasan (batuk). Sedangkan penyakit TBC di
negara-negara berkembang, khususnya di Indonesia merupakan masalah
kesehatan yang khas, karena penyakit ini berkaitan dengan rendahnya tingkat
ekonomi. Oleh sebab itu, munculnya HIV/AIDS sebagai penyakit baru (emerging
diseases) yang dibarengi dengan meningkatnya manifestasi Mini.,; TBC
merupakan penyaldt lama (reemerging diseases) yang menjadi beban ganda bagi
kesehatan masyarakat di Indonesia.
Wabah ganda TBC dan HIV/AIDS khususnya di Indonesia dan negara-
negara berkembang pada umumnya memperlihatkan kecenderungan untuk bersatu
dan bersama-sama menyerang kesehatan masyarakat. WHO memperkirakan
sekurang-kurangnya terdapat 4,5 juta orang di dunia, dan 98% di antaranya berada
di negara berkembang telah terinfeksi HIV dan TBC secara bersamaan. Lebih
lanjut WHO mengungkapkan bahwa infeksi gabungan antara mycobacterium
tuberculosis dengan HIV akan memicu tuberkulosis menjadi aktif (pada pengidap
TBC laten) akibat lemahnya sistem kekebalan tubuh. Riset terbaru menunjukkan
bahwa ‘bakteri TBC’ dapat mengaktifkan HIV tahap laten yang ada dalam sel-sel
yang telah terinfeksi” (World AIDS 24, November 1992). Oleh sebab itu, dapat
disimpulkan bahwa pengidap HIV mempunyai kemungkinan lebih besar untuk
terserang TBC aktif.
Pada saat ini wabah TBC berkembang pesat di negaranegara sedang
berkembang. Di Uganda, kasus TBC aktif meningkat 2 kali lipat dalam 3 tahun
terkhir ini. Dilaporkan juga bahwa pada tahun 1999 kasus TBC telah meningkat
lebih dari 2 kali di Zambia, yaitu dari 7.000 kasus menjadi 17.000 kasus pada 3
tahun terakhir. Peningkatan kasus TBC ini erat kaitannya dengan meningkatnya
jumlah kasus pengidap HIV. WHO memperkirakan sekitar 60% pasien TBC di
Uganda dan Zambia telah terinfeksi HIV. Orang dengan HIV positif dan
menderita TBC aktif berisiko meninggal 3-4 kali dam orang yang HIV negatif dan
menderita TBC aktif. Di Afrika penyakit TBC menjadi penyebab utama kematian
di kalangan orang dewasa pengidap HIV.
Asia sebagai benua terbesar dengan lebih dari 50% penduduk dunia ternyata
terdapat 2/3 penderita TBC dari seluruh dunia. Beberapa ahli epidemiologi
mengungkapkan bahwa dengan penyebaran HIV yang sangat pesat di India dan
Thailan dewasa ini, maka berarti akan menghadapi lebih banyak lagi kasus TBC.
Hal ini berarti merupakan bencana yang sedang menunggu saatnya untuk meletus.
Indonesia dengan ± 202 juta penduduk menghadapi masalah yang besar dengan
adanya infeksi oportunistik TBC dan HIV. Sampai akhir tahun 2003 dilaporkan
2.157 kasus penderita HIV/AIDS. Hal ini merupakan masalah besar karena kasus
AIDS sendiri merupakan fenomena gunung es, yaitu penderita sebenarnya lebih
besar dari yang dilaporkan. Indonesia sendiri belum dapat menuntaskan penderita
TBC yang ada sebab ketidakmampuan pembiayaan i pengobatan, ketidaktahuan
bahaya TBC dan rantai penularannya, serta ketidaktuntasan pasien menyelesaikan
pengobatan TBC yang dideritanya.

B. Penyakit HIV/AIDS
1. Batasan
AIDS didefinisikan sebagai suatu sindrom atau kumpulan gejala penyakit
dengan karakteristik defisiensi kekebalan tubuh yang berat dan merupakan
manifestasi stadium akhir infeksi virus “HIV” (Tuti Parwati, 1996). Batasan lebih
rinci yang biasanya digunakan oleh negara-negara yang mempunyai fasilitas
diagnostik yang memadai, definisi AIDS adalah sebagai berikut:
a. Suatu penyakit yang menunjukkan adanya defisiensi imun selular, misalnya
Sarkoma kaposi atau, satu atau lebih infeksi oportunistik yang didiagnostik
dengan cara yang dapat dipercaya.
b. Tidak adanya sebab-sebab lain imuno defisiensi seluler yang , diketahui
berkaitan dengan penyakit tersebut. Untuk negara-negara yang tidak
mempunyai fasilitas diagnostik yang memadai, telah disusun suatu ketentuan
klinik menurut hasil workshop di Bangui, Afrika Tengah, Oktober 1985,
sebagai berikut:
a. Dicurigai AIDS pada orang dewasa bila terdapat paling sedikit 2 gejala
mayor dan 1 gejala minor dan tidak ada sebab-sebab imunosupresi yang lain
seperti kanker, malnutrisi berat, atau pemakaian kortikosteroid yang lain.
Gejala mayor tersebut adalah:
1) Penurunan berat badan lebih dari 10%.
2) Diare kronik lebih dari 1 bulan.
3) Demam lebih dari 1 bulan (kontinu/intermitten).
Sedangkan gejala minor adalah:
1) Batuk lebih dari 1 bulan
2) Dermatitis pruritik umum
3) Herpes zoster recurrens.
4) Kandidiasis oro-faring.
5) Limfadenopati generalisata.
6) Herpes simpleks diseminata yang kronik progresif.
b. Dicurigai AIDS pada anak, bila terdapat paling sedikit 2 gejala mayor dan 2
gejala minor dan tidak ada sebab-sebab imunosupresi yang lain seperti
kanker, malnutrisi berat, atau pemakaian kortikosteroid yang lama.
Adapun gejala mayor tersebut adalah:
1) Penurunan berat badan atau pertumbuhan yang lambat dan abnormal.
2) Diare kronik lebih dari 1 bulan.
3) Demam lebih dari 1 bulan (kontinu/intermitten).
Sedangkan gejala minor adalah:
1) Batuk persisten.
2) Dermatitis generalisata.
3) Infeksi umum yang berulang.
4) Kandidiasis oro-faring.
5) Limfadenopati generalisata.
6) Infeksi HIV pada ibunya.

2. Sejarah AIDS
Pertamah kali kasus AIDS dilaporkan oleh Centre for Disease Control
(CDC) di Amerika Serikat pada sekelompok kaum homoseks di California dan
New York pada tahun 1981. Pada mereka ditemukan adanya Sarkoma kaposi dan
Pneumonia pneumocystis carinii dan beberapa gejala klinis yang jarang muncul.
Gejala penyakit tersebut semakin jelas diketahui sebagai akibat adanya kegagalan
sistem imun dan karenanya disebut AIDS. Kasus serupa dengan cepat dilaporkan
dari Eropa Barat, Australia, Amerika Latin, Afrika, dan Asia. Teori tentang
adanya faktor infeksi sebagai penyebab baru dapat dikonfirmasi pada tahun 1983
dengan diisolasinya virus penyebab AIDS yang sekarang disebut HIV (Human
Immuno Deficiency Virus), dan tes serologi pertama kali dapat dilakukan pada
tahun 1984.
Etiologi AIDS sampai tahun 1994 diketahui ada dua subtipe virus HIV,
yaitu HIV 1 dan HIV 2. HIV 1 dan HIV 2 merupakan suatu virus RNA yang
termasuk retrovirus dan lentivirus. HIV 1 penyebarannya meluas di hampir
seluruh dunia, sedangkan HIV 2 ditemukan pada pasien-pasien dari Afrika Barat
dan Portugal. HIV 2 lebih mirip ‘monkey’ virus yang disebut SIV (Simian
Immuno Deficiency Virus). Antara HIV 1 dan HIV 2 intinya mirip, tetapi
selubung luarnya sangat berbeda.

3. Cara penularan
Virus AIDS atau HIV terdapat dalam darah dan cairan tubuh seseorang yang
telah tertular, walaupun orang tersebut belum menunjukkan keluhan atau gejala
penyakit. HIV hanya dapat ditularkan bila terjadi kontak langsung dengan cairan
tubuh atau darah. Dosis virus memegang peranan penting. Makin besar jumlah
virusnya, makin besar kemungkinan terinfeksi. Jumlah virus yang banyak terdapat
pada darah, sperma, cairan vagina, dan serviks, serta cairan otak. Dalam saliva, air
mata, urine, keringat, dan air susu hanya ditemukan dalam jumlah sedikit sekali.
Terdapat 3 cara penularan HIV, yaitu
a. Hubugan seksual, baik secara vagina, oral, maupun anal dengan seorang
pengidap. Ini adalah cara yang paling umum terjadi, meliputi 80-90% dari total
kasus sedunia. Penularan lebih mudah terjadi apabila terdapat lesi penyakit
kelamin dengan ulkus atau peradangan jaringan seperti Herpes genitalis, sifilis,
gonorea, klamidia, kankroid, dan trikomoniasis. Risiko pada seks anal lebih
besar dibanding seks vagina, dan risiko lebih besar pada reseptive daripada
pada insertive.
b. Kontak langsung dengan darah atau produk dtzrah/jarum suntik
1) Transfusi darah/produk darah yang tercemar HIV, risikonya sangat tinggi
sampai 90%. Ditemukan sekitar 3-5% dari total kasus sedunia.
2) Pemakaian jarum tidak steril/pemakaian bersama jarum suntik dan
sempritnya pada para pecandu narkotika suntik. Risikonya sekitar 0,5-1%
dan terdapat 5-10% dari total kasus sedunia.
3) Penularan lewat kecelakaan, tertusuk jarum pada petugas kesehatan,
risikonya kurang dari 0,5% dan telah terdapat kurang dari 0,1 % dari total
kasus sedunia.
c. Secara vertikal, dari ibu hamil pengidap HIV kepada bayinya, baik selama
hamil, saat melahirkan, atau setelah melahirkan. Risiko sekitar 25-40% dan
terdapat 0,1% dari total kasus sedunia.

4. Perjalanan penyakit
Sesudah HIV memasuki tubuh manusia, partikel virus tersebut bergabung
dengan DNA sel penderita, seumur hidup akan terinfeksi, sehingga sebagai
akibatnya, satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap
terinfeksi (Zubairi Djoerban, 1995). Dari semua orang yang terinfeksi, hanya
sedikit yang menjadi AIDS pada tiga tahun pertama hanya sebagian kecil,
sedangkan sesudah 10 tahun kira-kira 50% berkembang menjadi AIDS. Hampir
semua orang yang terinfeksi HIV akan menderita AIDS. Perjalanan penyakit
tersebut menunjukkan gambaran penyakit yang kronis, sesuai dengan perusakan
sistem kekebalan tubuh yang juga bertahap. Sel yang terutama diserang oleh HIV
adalah salah satu jenis sel darah putih yang disebut limfosit, sub jenis limfosit T
helper.
Gejala penyakit AIDS merupakan manifestasi rendahnya kadar limfosit T
helper, yang secara bertahap dirusak HIV. Segera sesudah terinfeksi HIV, jumlah
limfosit T helper akan berkurang dari sekitar 2000/mm3 menjadi kurang lebih
1000/mm3 dan kemudian secara bertahap jumlahnya makin berkurang. Limfosit T
memegang peranan penting dalam sistem kekebalan tubuh manusia, sehingga bila
jumlah dan fungsinya terganggu menyebabkan seseorang mudah diserang
penyakit infeksi dan kanker.
Manifestasi klmis infeksi HIV sangat luas spektrumnya, karena itu ada
beberapa klasifikasi yang salah satunya dibuat oleh CDC. USA berdasarkan
klasifikasi Infeksi HIV (CDC, USA, 1987) yang membagi dalam 4 kelompok,
yakni: Grup I: Infeksi akut, Grup II : Infeksi kronis asimtomatik,Grup III: PGL
(Persistent generalized lymphadenopathy), dan Grup IV: Penyakit lain.
a. Infeksi akut
Sekitar 30-50% dari mereka yang terinfeksi HIV akan memperlihatkan gejala
infeksi akut yang mirip dengan gejala infeksi mononukleosis, yaitu demam,
sakit tenggorokan, letargi, batuk, mialgia, keringat malam, dan keluhan berupa
nyeri menelan, mual, muntah, dan diare. Mungkin bisa ditemukan adanya
pembengkakan kelenjar limfe leher, faringitis, macular rash, dan aseptik
meningitis yang akan sembuh dalam 6 minggu. Patogenesis simtom ini tidak
jelas diketahui, tetapi sangat mungkin akibat adanya reaksi imun yang aktif
terhadap masuknya HIV dalam darah. Saat ini mungkin pemeriksaan antibodi
HIV masih negatif, tetapi pemeriksaan Ag p24 sudah positif. Pasien pada tahap
ini dikatakan sangat infeksius.
b. Infeksi kronik asimtomatik
Fase akut akan diikuti fase kronik asimtomatik yang lamanya bisa bertahun-
tahun. Walaupun tidak ada gejala, virus masih dapat diisolasi dari darah pasien.
Hal ini berarti pasien masih infeksius. Pada fase ini terjadi replikasi lambat
pada sel-sel tertentu dan laten pada sel-sel lain. Aktivitas HIV tetap terjadi dan
ini dibuktikan dengan menurunnya fungsi sistem imun dari waktu ke waktu.
c. PGL (pembengkakan kelenjar limfe)
Pada kebanyakan kasus, gejala pertama yang muncul adalah PGL. Ini
menunjukkan adanya hiperaktivitas sel limfosit B dalam kelenjar limfe, dapat
persisten bertahun-tahun dan pasien tetap merasa sehat. Terjadi progresif
bertahap dari adanya hiperplasia folikel dalam kelenjar limfe sampai timbulnya
involusi dengan adanya invasi sel limfosit T8. Ini merupakan reaksi tubuh
untuk menghancurkan sel dendritik folikel yang terinfeksi HIV. Di samping itu
infeksi pada otak juga sering terjadi.
d. Penyakit lain
Dengan menurunnya sel limfosit T4, makin jelas tampak gejala klinis yang
dapat dibedakan menjadi beberapa keadaan, yaitu:
1) Gejala dan keluhan yang disebabkan oleh hal-hal tidak langsung
berhubungan dengan HIV, seperti: diare, demam lebih dari 1 bulan, keringat
malam, rasa lelah berlebihan, batuk kronik lebih dari 1 bulan, dan
penurunan berat badan 10% atau lebih. Apabila yang mencolok adalah
penurunan berat badan, maka ini merupakan salah satu indikator AIDS.
2) Gejala langsung akibat HIV, seperti : miopati, neuropati perifer, dan
penyakit susunan saraf otak. Hampir 30% pasien dalam stadium akhir AIDS
akan menderita dementia kompleks, yaitu menurun sampai hilangnya daya
ingat, gangguan flingsi motorik dan kognitif, sehingga pasien sulit
berkomunikasi dan tidak bisa jalan.
3) Infeksi oportunistik dan neoplasma: Pada stadium kronik simtomatik ini
sangat sedikit keluhan dan gejala yang benar-benar langsung akibat HIV.
Sebagian besar adalah akibat menurunnya sel limfosit T4, sehingga dengan
terganggunya sentral sistem imun seluler ini, maka infeksi oportunistik yang
sering dialami adalah infeksi virus, parasit, dan mikobakterium. Neoplasma
yang dikenal sebagai penyakit indikator AIDS adalah Sarkoma kaposi dan
Limfoma sel B.

Masa inkubasi adalah waktu dari terjadinya infeksi sampai munculnya


gejala penyakit yang ditimbulkan HIV yang pertama pada pasien. Pada infeksi
HIV hal ini sulit diketahui. Dari penelitian pada sebagian besar kasus dikatakan
masa inkubasi rata-rata 5-10 tahun dan bervariasi sangat lebar, yaitu antara 6
bulan sampai lebih dari 10 tahun.Walaupun tanpa gejala, tetapi yang bersangkutan
telah dapat menjadi sumber penularan.

5. Epidemiologi AIDS
Dewasa ini dunia tengah mengalami pandemi virus HIV. : Pandemi ini tidak
hanya menimbulkan dampak negatif di bidang kesehatan, tetapi juga di bidang
sosial, ekonomi, dan politik. Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia, Departemen
Kesehatan RI pada akhir tahun 2003 prevalensi HIV/AIDS berkisar antara 0% -
26,5%, provinsi Papua menduduki peringkat tertinggi untuk HIV/AID ini.
Selanjutnya dari laporan yang sama dari 32 provinsi yang ada sampai dengan
tahun 2003 telah 22 provinsi yang telah mempunyai kasus HIV/AIDS. Secara
terinci jumlah kasus HIV/AIDS dan upaya pengobatan masing-masing provinsi
terlihat pada tabel berikut.
Jumlah Kasus, dan Pengobatan Per Provinsi, 2003
No Provinsi Jumlah kasus diobati Diobati % Yang
1 Riau 10 6 60,00
2 Jambi 323 281 87,00
3 Sumatra Utara 214 90 42,06
4 Bengkulu 10 10 100,00
5 Lampung 1 1 100,00
6 Bangka Belitung 1 1 100,00
7 DKI Jakarta 10 10 100,00
8 Jawa Barat 693 425 61,33
9 Jawa Tengah 56 49 87,50
10 Yogyakarta 89 89 100,00
11 Jawa Timur 322 140 43,48
12 Banten 19 19 100,00
13 Bali 190 94 49,47
14 Nusa Tengara Timur 2 1 50,00
15 Kalimantan Barat 19 15 78,95
16 Kalimantan Selatan 1 1 100,00
17 Kalimantan Timur 19 19 100,00
18 Sulawesi Utara 14 4 28,57
19 Sulawesi Tengah 1 1 100,00
20 Sulawesi Tengara 86 86 100,00
21 Maluku 25 25 100,00
22 Papua 52 52 100,00
TOTAL 2.156 1.419 65,79
Sumber: Indonesia Health Profile, 2003
Dilihat penyebaran penderita HIV/AIDS berdasarkan gender, laki-laki
57,71% dan pada perempuan 42,29%. Sedangkan penyebaran berdasarkan umur,
HIV/AIDS terbanyak mengenai pada kelompok umur produktif (15-60 tahn)
dengan jumlah terbesar pada kelompok umur 20-29 tahun (HIV (55,09%), AIDS
(24,58%)
Walaupun jumlah kasus infeksi HIV/AIDS di Indonesia yang dilaporkan
sampai tahun 2003 mencapai 2,156 orang, namun estimasi jumlah yang
sebenarnya saat ini diperkirakan lebih dari 30.000; bahkan ada tim ahli yang
memperkirakan saat ini sudah lebih dari 150.000 orang yang terinfeksi HIV. 2 tim
peneliti yang berbeda memproyeksikan jumlah penderita infeksi HIV di Indonesia
lebih dari 500.000 orang pada tahun 2.000 yang lalu. Jadi infeksi HIV/AIDS
memang sudah menjadi masalah yang serius di Indonesia.

6. Program penanggulangan HIV/AIDS


Program penanggulangan HIV/AIDS berada di Sub Direktorat
Pemberantasan Penyakit Kelamin dan Frambosia, Direktorat PPML, Direktorat
Jendral P2MPLP (Pemberantasan Penyakit Menular dan Pembinaan Lingkungan
Pemukiman), Departemen Kesehatan, RI. Adapun tujuan program penaggulangan
HIV/AIDS adalah:
Tujuan jangka panjang
Mencegah terjadinya penularan dan memberantas PMS (penyakit menular
seksual) termasuk infeksi HIV/AIDS serta mengurangi dampak sosial dan
ekonomi dari PMS termasuk infeksi HIV/AIDS sehingga tidak menjadi masalah
kesehatan masyarakat.
Tujuan jangka pendek
a. Mencegah peningkatan prevalensi infeksi HIV pada kelompok perilaku
berisiko tinggi tidak melebihi 1%.
b. Menurunkan prevalensi sifilis di kalangan kelompok perilaku risiko tinggi
menjadi kurang dari 1%.
c. Menurunkan prevalensi gonore di kalangan kelompok perilaku risiko tinggi
menjadi kurang dari 10%.
Sedangkan kegiatan pokok penanggulangan HIV/AIDS meliputi 2 kegiatan,
yakni:
a. Kegiatan pokok
1) Penyuluhan tetang HIV/AIDS.
2) Tindakan pencegahan pada kelompok risiko tinggi.
3) Penemuan penderita secara dini.
4) Penatalaksanaan penderita secara tepat. 5) Pelacakan kontak/konseling.
b. Kegiatan pendukung
1) Pengembangan institusional dan manajemen/ pemantapan koordinasi.
2) Surveilans epidemiologi termasuk sistem pencatatan'dan pelaporan.
3) Pelatihan.
4) Penelitian dan kajian
5) Monitoring dan evaluasi.

C. Penyakit TBC (Tuberculosis)


1. Pengertian dan Sejarah
Kuman penyebab TBC (mycobacterium tuberculosis) ditemukan pertama
kali pada tahun 1882 oleh Robert Koch, sedangkan vaksin BCG ditemukan pada
tahun 1921. Kemudian pada tahun 1944 ditemukan streptomisin sebagai obat
pertama anti TBC, kemudian disusul INH pada tahun 1949. Penyakit TBC muncul
kembali ke permukaan dengan meningkatnya kasus TBC di negara-negara maju
atau industri pada tahun 1990. Selain itu, peningkatan kasus TBC sebagai
reemerging disease dipengaruhi pula dengan terjadinya penyebaran infeksi
HIV/AIDS. Saat ini di seluruh dunia terdapat 8 juta kasus terinfeksi dan 3 juta
kasus meninggal. TBC umumnya menyerang golongan usia produktif dan
golongan sosial ekonomi rendah sehingga berdampak pada pemberdayaan sumber
daya manusia yang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi negara.
Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang sebagian besar disebabkan
kuman mycobaclerium tuberculosis. Kuman tersebut biasanya masuk ke dalam
tubuh manusia malalui udara pernafasan ke dalam paru, kemudian kuman tersebut
dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lain melalui sistem peredaran darah,
sistem saluran limfa, melalui saluran pernafasan (bronchus) atau penyebaran
langsung ke bagianbagian tubuh lainnya. TB paru pada manusia dapat dijumpai
dalam 2 bentuk, yaitu:
1. Tuberkulosis primer: Bila penyakit terjadi pada infeksi pertama kali.
2. Tuberkulosis paska primer: Bila penyakit timbul setelah beberapa waktu
seseorang terkena infeksi dan sembuh. TBC ini merupakan bentuk yang paling
sering ditemukan. Dengan terdapatnya kuman dalam dahak, penderita
merupakan sumber penularan.

2. Etiologi dan Perjalanan Penyakit


Etiologi penyebab tuberkulosis paru adalah kuman tahan asam
mycobacterium tuberculosis, sangat jarang oleh M. Bovis dan M. Atipik. Adapun
perjalanan penyakit atau patogenesis penyakit ini adalah: Implantasi kuman terjadi
pada ‘respiratory bronchial’ atau alveoli yang selanjutnya akan berkembang
sebagai berikut:
a. Fokus primer - kompleks primer - sembuh pada sebagian : besar atau meluas -
tuberkulosis primer.
b. Dari kompleks primer yang sembuh terjadi reaktivasi kuman yang tadinya
dormant pada fokus primer, reinfeksi endogen - tuberkulosis paska primer
penyebaran kuman dalam tubuh penderita dapat melalui 4 cara, yaitu:
1) Lesi yang meluas.
2) Aliran limfa (limfogen).
3) Melalui aliran darah (hematogen) yang dapat menimbulkan lesi tuberkulosis
ekstra paru, antara lain pleura, selaput otak, ginjal, dan tulang.
4) Penyebaran milier.

3. Manifestasi Minis dan Cara Penularan


Tuberkulosis adalah penyakit infeksi yang umumnya ; menimbulkan tanda-
tanda dan gejala yang sangat bervariasi pada masing-masing penderita, mulai dari
tanpa gejala hingga gejala yang sangat akut dan hanya beberapa bulan setelah
diketahui sehat hingga beberapa tahun sering tidak ada hubungan antara lama
sakit maupun luasnya penyakit. Secara klinis manifestasi TBC dapat terjadi dalam
beberapa fase, yaitu:
a. Dimulai dengan fase asimtomatik dengan lesi yang hanya dapat dideteksi
secara radiologik.
b. Berkembang menjadi plisis yang jelas kemudian mengalami stagnasi atau
regresi.
c. Eksaserbasi memburuk.
d. Dapat berulang kemudian menjadi menahun.
Tanda-tanda dan gejala penderita TBC adalah:
a. Sistemik: malaise, anoreksia, berat badan menurun, keringat malam. Akut:
demam tinggi, seperti flu, menggigil milier: demam akut, sesak nafas, dan
sianosis
b. Respiratorik: Batuk-batuk lama lebih dari 2 minggu, riak yang mukoid, nyeri
dada, batuk darah, dan gejala-gejala lain, yaitu bila ada tanda-tanda penyebaran
ke organ-organ lain seperti pleura: nyeri pleuritik, sesak nafas, ataupun gejala
meningeal, yaitu nyeri kepala, kaku kuduk, dan lain-lain
Cara penularan: daya penularan dari seorang penderita TBC ditentukan oleh:
a. Banyaknya kuman yang terdapat dalam paru penderita.
b. Penyebaran kuman di udara.
c. Penyebaran kuman bersana dahak berupa droplet dan berada di sekitar
penderita TBC.
Kuman M. Tuberkulosis pada penderita TB paru dapat terlihat langsung
dengan mikroskop pada sediaan dahaknya (BTA positif) dan sangat infeksius.
Sedangkan penderita yang kumannya tidak dapat dilihat langsung dengan
mikroskop pada sediaan dahaknya (BTA negatif) dan sangat kurang menular.
Penderita TB ekstra paru tidak menular, kecuali penderita TB paru. Penderita TB
BTA positif mengeluarkan kuman-kuman di udara dalam bentuk droplet yang
sangat kecil pada waktu bersin atau batuk. Droplet yang sangat kecil ini
mengering dengan cepat dan menjadi droplet yang mengandung kuman
tuberkulosis dan dapat bertahan di udara selama beberapa jam.
Droplet yang mengandung kuman ini dapat terhisap orang lain. Jika kuman
tersebut sudah menetap dalam paru orang yang menghirupnya, kuman mulai
membelah diri (berkembang biak) dan terjadi infeksi. Orang yang serumah dengan
penderita TB BTA positif adalah orang yang besar kemungkinannya terpapar
kuman tuberkulosis.

4. Epidemiologi
TBC kembali muncul ke permukaan sebagai pembunuh utama oleh satu
jenis kuman. Di dunia diperkirakan terdapat 8 juta orang terserang TBC dengan
kematian 3 juta orang. Dengan munculnya epidemi HIV/AIDS di dunia, jumlah
penderita TBC meningkat. Menurut WHO, kematian wanita karena TBC lebih
banyak daripada kematian karena kehamilan, bersalin, dan nifas. Oleh karena itu,
WHO mencanangkan kedaruratan global pada tahun 1993 karena diperkirakan 1/4
penduduk dunia telah terinfeksi kuman TBC (Ditjen PPML & PLP, 2001). Di
Indonesia, penyakit tuberkulosis paru masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 1998 menunjukkan
bahwa tuberkulosis merupakan penyebab kematian nomor 2 (11%) setelah
penyakit kardiovaskuler pada semua golongan usia dan nomor 1 dari golongan
penyakit infeksi.
Penyakit TB paru menyerang sebagian besar kelompok usia produktif dan
kelompok sosio ekonomi rendah. Dengan meningkatnya infeksi HIV/AIDS di
Indonesia, penderita TB paru cenderung meningkat pula. Diperkirakan setiap
tahun terdapat 500.000 kasus baru TBC, yaitu sekitar 200.000 penderita terdapat
di sekitar Puskesmas, sedangkan 200.000 ditemukan pada pelayanan rumah sakit
atau klinik pemerintah dan swasta dan sisanya belum terjangkau unit pelayanan
kesehatan. Angka kematian karena TBC diperkirakan 175.000 per tahun sedang
selebihnya belum terjangkau.

5. Program Penanggulangan TBC


Sampai saat ini program penanggulangan TB paru belum dapat menjangkau
seluruh Puskesmas yang ada. Hal itu dikarenakan belum adanya keseragaman
pengobatan dan sistem pencatatan pelaporan di semua unit pelayanan kesehatan
baik pemerintah maupun swasta sehingga diperlukan adanya kerja sama semua
pihak yang terkait dalam pemberantasan TBC. Sub direktorat TBC, Direktorat
PPML, Ditjen PPMPLP dalam kegiatan penanggulangan TBC mempunyai 2
tujuan, yaitu:
a. Tujuan jangka panjang
Memutuskan rantai penularan sehingga penyakit TB paru tidak lagi merupakan
masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.
b. Tujuan jangka pendek
1) Tercapainya kesembuhan minimal 85% penderita baru BTA positif yang
ditemukan.
2) Tercapainya cakupan penemuan semua penderita secara bertahap.
3) Tercegahnya resistensi obat TBC di masyarakat.
4) Mengurangi penderitaan manusia akibat penyakit TBC. Untuk mencapai
tujuan-tujuan tersebut kegiatan yang dilaksanakan dalam menanggulangi
penyakit TBC meliputi:
a. Kegiatan pokok
1) Komponen diagnosis
- Deteksi penderita di poliklinik.
- Penegakan diagnosis secara laboratorium.
2) Komponen pengobatan
- Pengobatan yang cukup dan tepat.
5) Melacak penderita lalai berobat 2 hari (kategori 1) atau seminggu (kategori
2).
6) Penyuluhan kepada penderita TBC dan masyarakat.
7) Pengadaan kebutuhan program dan pendukungnya.
8) Menjamin keperluan dana operasional.

D. Penanggulangan HIV/AIDS dan TBC


Dalam penaggulangan TBC dan HIV/AIDS terjadi apa yang disebut infeksi
oportunistik. Infeksi oportunistik adalah masuknya agent penyakit ke dalam host
sesudah masuknya agent penyakit lain yang telah lebih dulu melemahkan sistem
kekebalan tubuh host. Masuknya kuman TBC ke tubuh penderita terjadi karena
lemahnya sistem kekebalan tubuh penderita karena telah terinfeksi HIV.
1. Perjalanan Penyakit TBC pada Penderita HIV/AIDS
Infeksi kuman tuberkulosis yang telah terjadi biasanya tercegah dengan
adanya sistem pertahanan tubuh. Hal ini menjelaskan mengapa hanya 5-10%
selama hidupnya. orang yang sehat (tidak mengidap HIV/AIDS) akan menderita
TBC. Jika seseorang telah mengidap HIV, 10% kemungkinan akan sakit TBC
hanya dalam waktu 1 tahun saja. Bila perlindungan dari sistem pertahanan tubuh
berkurang akibat infeksi HIV, kuman tuberkulosis yang tadinya dormant (tidur)
dalam tubuh seseorang yang telah terinfeksi HIV akan mulai berkembang biak
dan menyebabkan sakit TBC. Hal tersebut tidak mengherankan karena TBC
adalah penyakit infeksi yang berkaitan erat dengan kerusakan sistem kekebalan
seluler, sedangkan orang yang terinfeksi HIV, imunitas selulernya rusak. Infeksi
tuberkulosis seringkali mendahului diagnosis AIDS. Bahkan seseorang yang
terinfeksi HIV sekarang dunasiikkan dalam diagnosis AIDS bila ditemukan
tuberkulosis di luar paru (ekstra pulmoner)
Penyakit tuberkulosis yang menyebar di luar paru atau tuberkulosis kelenjar
terjadi 70-82% pasien seropositif HIV dengan tuberkulosis. Walaupun penampilan
pertama menyerang paru. Gambaran rontgen paru biasanya tidak seperti tuber-
kulosis biasa. Jarang ditemukan kavitas dan kelainan pada apex. Tes kulit PPD
biasanya negatif, sputum (dahak) BTA sering AIDS. Bahkan seseorang yang
terinfeksi HIV sekarang diinasukkan dalam diagnosis AIDS bila ditemukan
tuberkulosis di luar paru (ekstra pulmoner)
Penyakit tuberkulosis yang menyebar di luar paru atau tuberkulosis kelenjar
terjadi 70-82% pasien seropositif HIV dengan tuberkulosis. Walaupun penampilan
pertama menyerang paru. Gambaran rontgen paru biasanya tidak seperti tuber-
kulosis biasa. Jarang ditemukan kavitas dan kelainan pada apex. : Tes kulit PPD
biasanya negatif, sputum (dahak) BTA sering negatif. Untuk menegakkan
diagnosis biasanya diperlukan bronkoskopi atau biopsi dari kelenjar liver dan
otak. Gambaran ! khas sulit ditemukan, mungkin karena daya tahan tubuh pasien
sudah kehilangan kemampuan untuk membuat reaksi granuloma (Zubairi
Djoerban, 1995).
Manifestasi klinis penderita TBC pada pengidap HIV/AIDS dapat menderita
komplikasi, antara lain berupa: (Dirjen PPM dan PLP, 1996):
a. Batuk darah (haemoptysis).
b. Pneumothorax spontan (paru kolaps spontan karena kerusakan jaringan paru
oleh penyakit tuberkulosis).
c. Bronchiectasis, fibrosis pada paru. Ini merupakan akibat dari penyakit TB paru
yang meluas.
d. Insufiensi kardio pulmoner (cor pulmonale chronicum).
e. Tuberkulosis ekstra paru yang menyerang pleura, selaput otak, tulang, dan
ginjal.

2. Epidemiologi TBC pada Pengidap HIV/AIDS


Menurut WHO, infeksi HIV terbukti merupakan faktor yang memudahkan
timbulnya tuberkulosis pada orang yang; terinfeksi M. tuberculosis. Risiko
terkena TB pada orang yang terinfeksi HIV setiap tahun adalah 5-10%, namun
risiko seumur hidup (lifetime risk) tinggi sekali, yaitu sekitar 50% (Pokdisus
AIDS FKUI, 1998) Di daerah dengan prevalensi tinggi TB dan HIV bersama-
sama, terbukti kenaikan jumlah penderita TB meningkat cepat. Tim WHO
memperkirakan 4% penderita tuberkulosis baru pada tahun 1990-an merupakan
infeksi ` bersama antara TB dan HIV. Setelah tahun 2000 persentase tersebut akan
meningkat menjadi 14%. Apabila diestimasi jumlah kasus baru TBC di Indonesia
setiap tahunnya 500.000 orang maka jumlah penderita TBC-HIV/A1DS baru
setiap tahunnya diperkirakan sebesar 20.000 orang. Dengan jumlah sebesar itu,
infeksi ganda TBC-HIV/AIDS telah menjadi masalah kesehatan masyarakat.
Angka kesakitan TBC pada penderita HIV/AIDS menempati nomor 2
setelah kandidiasis mulut (46,1%). Berikut adalah tabel yang menggambarkan
angka kesakitan infeksi oportunistik pada pengidap HIV/AIDS di Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo. Jakarta.
Tabel 5
Sebaran Pasien AIDS Menurut Jenis Infeksi Oportunistik
Infeksi oportunistik Jumlah Persentase
Kandidiasis
mulut / esofagus 42 80,8
Tuberculosis 24 46,1
a. Paru 12
b. Ekstra paru 2
c. Paru + ekstra paru 10
Infeksi cytomegalovirus 15 28,8
Pneumonia recurrens 14 26,9
Ensefalitis toksoplasma 9 17,3
Pneumonia p carinii 7 13,4
Virus herpes simplex 5 9,6
Cryptoporisiosis 1 2
Histoplasmosis 1 2
Mycobacterium avium
complex 1 2
Sumber : Zubairi Djoerban, et al, 1997
Tabel di atas menggambarkan adanya kombinasi beberapa penyakit infeksi
oportunistik pada pengidap HIV/AIDS. Ditemukan 6 jenis penyakit sekaligus
pada 3 pasiem AIDS, 5 penyakit pada 2 pasien, 4 penyakit pada 7 pasien, 3
penyakit pada 13 pasien, dan 2 penyakit pada, 16 pasien.

3. Program Penanggulangan TBC pada Pengidap HIV/ AIDS


Program penanggulangan TBC pada pengidap HIV/AIDS dapat
dikategorikan dalam 2 usaha, yaitu:
a. Program pencegahan
Program pencegahan infeksi oportunistik TBC pada pengidap HIV/AIDS dapat
dilakukan dengan dua cara, yaitu:
1) Menghilangkan faktor risiko untuk terinfeksi HIV pada masyarakat
(pengidap TBC laten) dengan cara:
a) Menghindari kontak host dengan HIV
b) Pemeriksaan diri untuk tes HIV yang disertai dengan konseling sebelum
dan sesudah tes.
c) Konseling-sebelum tes HIV diberikan kepada orang yang
mempertimbangkan untuk tes HIV. Konseling ini mencakup pemberian
informasi mengenai aspek teknis dan medis tes HIV serta kemungkinan '
dampak yang terjadi untuk seseorang yang terinfeksi HIV maupun tidak.
Dampak yang dibahas meliputi dampak sosial, kejiwaan; hukum, medis,
dan personal.
d) Konseling sesudah tes diberikan kepada orang yang telah menjalani tes
HIV dan telah mengetahui hasilnya. Jenis konseling sesudah tes
tergantung hasil tes, apakah hasilnya negatif, positif,` atau meragukan.
Hal ini dikarenakan berbedanya reaksi emosional masing-masing orang.
2) Menghilangkan faktor risiko untuk terinfeksi Mycobacterium tubercolusis
pada pengidap HIV dengan cara:
a) Diberikan penjelasan tentang TB dan perkembangannya pada saat
konseling.
b) Diskrining terhadap TB secara klinis dan radiologis.
c) Bila terdapat kelainan paru harus dievaluasi terhadap kemungkinan TB
aktif.
d) Bila terdapat di daerah endemik TB harus dievaluasi secara berkala
terhadap penyakit TB (setiap 6 bulan).
e) Bila tidak terdapat TB aktif, maka diberikan terapi profilaksis.
Program pencegahan infeksi oportunistik TBC pada pengidap HIV/AIDS akan
lebih berhasil apabila program penceghan AIDS berjalan baik dan disertai
dengan berhasilnya program pencegahan infeksi oleh kuman tuberkulusis.

b. Program Pengobatan TBC pada pengidap HIV/.AIDS


Sampai saat ini belum ada penelitian yang dapat menentukan obat penyembuh
AIDS. Namun, telah ditemukan beberapa obat yang dapat menghambat infeksi
HIV dan beberapa yang secara efektif dapat mengatasi infeksi oportunistik.
Menurut Zubairi Djoerban (1995), pengobatan penderita AIDS dibagi tiga,
yakni:
1) Pengobatan terhadap virus HIV.
2) Pengobatan terhadap infeksi oportunistik.
3) Pengobatan pendukung.
Pengobatan yang dilakukan untuk mengatasi infeksi oportunistik penyakit TBC
pada pengidap HIV/AIDS, merupakan pengobatan definitif seperti pengobatan
pada tuberkulusis biasa dengan sedikit perubahan. Pengobatan dimulai dengan
Isoniazid, pirasinamid, dan rifampisin sampai hasil kultur resistensi datang.
Lama pengobatan yang dianjurkan 2 bulan, diteruskan dengan Isoniazid dan
rifampisin selama 4-7 bulan.
Pendekatan pengobatan penderita AIDS seharusnya secara menyeluruh.
Penderita tidak dianggap sebagi subjek dan obat hanyalah merupakan bagian
dari pengobatan secara keseluruhan. Pengaturan diet, istirahat, olahraga, dan
pengobatan psikologis, serta pendekatan keagamaan atau spiritual perlu
mendapat perhatian khusus.
PERANAN OBAT TRADISIONAL DALAM
KESEHATAN MASYARAKAT

A. Pendahuluan
Obat tradisional di Indonesia sangat besar peranannya dalam pelayanan
kesehatan masyarakat di Indonesia dan sangat potensial untuk dikembangkan.
Karena memang negara kita kaya akan tanaman obat-obatan. Namun, sayang
kekayaan alam tersebut tampaknya masih belum dimanfaatkan secara optimal
untuk kesehatan. Padahal saat ini biaya pengobatan modern cukup mahal
ditambah lagi dengan krisis ekonomi yang melanda bangsa ini belum sepenuhnya
berakhir. Hal tersebut dikhawatirkan dapat membuat kemampuan masyarakat
untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang optimal semakin menurun.
Indonesia diketahui memiliki keragaman hayati terbesar kedua di dunia
setelah Brasil. Dari berbagai penelitian menyebutkan, dari sekitar 30.000 spesies
tumbuhan di Indonesia sebanyak 6.000 jenis berkhasiat obat. Sumber lain
menyebutkan, tumbuhan di Indonesia diperkirakan mencapai lebih dari 7.000
jenis, sekitar 1.000 jenis digunakan untuk mencegah dan mengobati penyakit.
Indonesia termasuk 25 negara yang telah memiliki dan menerapkan kebijakan
obat bahan alam. Dalam upaya memberikan pelayanan kesehatan secara merata
untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal ; bagi masyarakat Indonesia, tidak
cukup hanya dilakukan oleh Departemen Kesehatan dan profesi kesehatan saja,
melainkan perlu melibatkan semua potensi sumber daya termasuk obat tradisional.
Hal ini sesuai dengan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang
mengamanatkan bahwa dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan secara
lebih luas dan merata sekaligus memelihara dan mengembangkan warisan budaya
bangsa, perlu terus dilakukan penggalian, penelitian, pengujian dan
pengembangan obat-obatan, serta pengobatan tradisional. Di samping itu terus
didorong langkah-langkah mengembangkan budi daya tanaman obat tradisional
yang secara medis dapat dip ertanggungj awabkan. Penggunaan obat tradisional
perlu terus dikembangkan di Indonesia karena potensi bahan alam yang besar.
(Hargono Djoko, 1995).
Obat tradisional merupakan warisan budaya bangsa yang perlu terus
dilestarikan dan dikembangkan untuk menunjang pembangunan kesehatan
sekaligus untuk meningkatkan perekonomian rakyat. Untuk dapat ikut
meningkatkan pelayanan dan meningkatkan pemerataan obat-obatan tradisional
maka perlu dukungan dari pemerintah dan masyarakat itu sendiri. Selama ini
industri jamu ataupun obat-obat tradisional bertahan tanpa dukungan yang
memadai dari pemerintah maupun industri farmasi. Sementara itu tantangan dari
dalam negeri sendiri adalah sikap dari dunia medis yang belum sepenuhnya
menerima jamu dan obat tradisional. Merebaknya jamu palsu maupun jamu yang
bercampur bahan kimia beberapa waktu lalu, semakin menambah keraguan
masyarakat akan khasiat dan keamanan mengonsumsi jamu dan obat tradisional.
Padahal penggunaan obat tradisional sudah lama dilakukan oleh masyarakat. Obat
tradisional ini tentunya sudah diuji bertahun-tahun bahkan berabad-abad sesuai
dengan perkembangan kebudayaan bangsa Indonesia.
Dokter dan apotik belum dapat menerima jamu sebagai obat yang dapat
mereka rekomendasikan kepada pasien sehingga pemasaran produk jamu tidak
bisa menggunakan tenaga detailer seperti pada obat modern. Di pihak dokter,
sistem pendidikan masih mengacu kepada pengobatan modern dan tidak
menyentuh substansi pengobatan dengan bahan alam (fitofarmaka). Dengan
kondisi di atas, tidak heran bila pasar industri jamu dan obat tradisional sulit
berkembang pesat.
Padahal, dengan jumlah masyarakat Indonesia yang mencapai lebih dari 200
juta jiwa, sesungg,uhnya potensi pasar bagi produk jamu ataupun obat tradisional
amatlah besar. Terlebih lagi, saat ini tampak ada kecenderungan hidup sehat pada
masyarakat kelas menengah atas untuk menggunakan produk berasal dari alam
(back to nature). Saat ini masalah dalam pengembangan obat bahan alam di
antaranya kurangnya pembuktian keamanan dan khasiat obat tersebut, sehingga
tidak memenuhi kriteria untuk dapat diterima dan digunakan dalam pelayanan
kesehatan.
B. Potensi Obat Tradisional
Dalam masyarakat sendiri sebenarnya terdapat suatu dinamika yang
membuat mereka mampu bertahan dalam keadaan sakit dan hal ini sebenarnya
merupakan potensi yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan derajat
kesehatannya. Potensi yang berarti kemampuan, daya, kesanggupan, kekuatan
yang dapat dikembangkan. Selama ini perkembangan pelayanan kesehatan
tradisional dan alternatif tampak semakin pesat sekitar 32% masyarakat kita
memakai pengobatan dan obat tradisional ketika sakit. Perkembangan ini telah
mendorong pertumbuhan usaha di bidang obat tradisional, mulai dari budidaya
tanaman obat, industri obat, dan distribusi. Akhirakhir ini banyak muncul
penyakit-penyakit baru yang belum ditemukan obatnya. Hal ini membuat cemas
masyarakat, padahal bahan-bahan untuk obat tradisional yang berkhasiat obat
banyak terdapat di seluruh pelosok tanah air, meskipun masih belum
dimanfaatkan secara optimal untuk pengobatan penyakit. Hal ini berarti obat
tradisional memiliki potensi besar dalam pelayanan kesehatan.
Obat dan Obat Tradisional
Suatu zat merupakan obat bila dalam pengobatan atau eksperimen sudah
diperoleh informai, di antaranya tentang (B. Zulkarnaen, 1999):
a. Hubungan dosis dan efek (dose - effect- relationship), selain dari hanya
diketahui adanya suatu efek.
b. Absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi zat tersebut.
c. Tempat zat tersebut bekerja (site of action).
d. Cara bekerja zat (mechanism of action).
e. Hubungan struktur dan respon (structure - respons relationship).
Informasi tentang lima hal di atas diperlukan dan dievaluasi dalam menilai
suatu obat. Penisilin umpamanya sudah diketahui bahwa besar responsnya
berkaitan erat dengan besar dosis, ia diketahui kapan mencapai kadar efektif
dalam darah menusia dan dalam bentuk apa sisa penisilin diekskresi. Diketahui
pula pada bagian apa dari kuman penisilin bekerja, serta bagaimana bekerjanya,
dan diketahui pula hubungan kerja dengan struktur molekul penisilin. Informasi
seperti ini dipunyai obat modern yang dipasarkan, sementara kurangnya informasi
menyebabkan suatu obat tidak dapat diedarkan sebagai obat.
Untuk memperoleh informasi seperti di atas, diperlukan penelitian, tenaga,
dana, dan waktu yang sangat banyak. Diperkirakan dari ditemukannya suatu obat,
dibutuhkan sekitar 25 tahun, sebelum suatu zat diperbolehkan beredar sebagai
obat. Penelitian berkenaan dengan hal di atas dimulai dari penapisan tahap
pertama, yaitu:
a. Penentuan toksitas dan pengaruh terhadap gelagat (behaviour)
b. Pengaruh zat terhadap tekanan darah dan semua percobaan yang ada kaitannya
dengan tekanan darah.
c. Pengaruh zat terhadap organ-organ terisolasi yang kemudian diikuti dengan
ratusan percobaan untuk melengkapi informasi yang diperlukan.
Tiga jenis penapisan ini banyak memberikan arah penelitian dan sifat bahan
yang diteliti, mulai dari pengaruh terhadap Susunan Saraf Pusat (SSP), Susunan
Saraf Otonom (SSO), respirasi, relaksan otot, dan sebagainya.
Sedangkan obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa
bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan galenik atau campuran
dari bahan-bahan tersebut, yang secara tradisional telah digunakan untuk peng-
obatan berdasarkan pengalaman (Ditjen POM, 1999). Sediaan galenik adalah hasil
ekstraksi bahan atau campuran bahan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan dan
hewan. Obat tradisional sering dipakai untuk pengobatan penyakit yang belum ada
obatnya yang memuaskan seperti penyakit kanker, penyakit virus termasuk AIDS
dan penyakit degeneratif, serta pada keadaan terdesak di mana obat jadi tidak
tersedia atau karena tidak terjangkau oleh daya beli masyarakat.
Pada tabel di bawah ini dapat dilihat daftar beberapa tanaman obat yang
mempunyai prospek pengembangan yang potensial.
Tabel 1
Tanaman Obat Fitofarmaka yang Prospektif
No Tanaman Obat Bagian Indikasi potensi
tan. Obat
1 Temulawak Umbi 1 Hepatitis, arthritis
(Curcuma Xantorrhiza)
2 Kunyit (Curcuma domestica Umbi Hepatitis, arthritis,
Val) antiseptik
3 Bawang putih (Allium Umbi Kandidiasis,
sativuum lynn) hiperlipidemia
4 Jati Blanda (Guazuma Daun Anti hiperlipidemia
ulmitblia lamk)
5 Handeuleum (daun ungu) Daun Heromoid
(gratophyllum picium griff)
6 Tempuyung (sonshus arvensis Daun Nefrolitiasis, diuretik
linn)
7 Kejibeling (sonchus arvensis Daun Nefrolitiasis, diuretik
linn)
8 Labu merah (cucurbita Biji Taeniasis
muschata duch)
9 Katuk (sauropus androgynus Daun Meningkatkan
merr) produksi ASI
10 Kumis kucing (Orthosiphon Daun Diuretic
stamineus benth)
11 Seledri (apium graveolens linn) Daun Hipertensi
12 Pare (Momordica charantia Buah biji Diabetes melitus
linn)
13 Jambu biji (klutuk) (peidium Daun Diare
guajava linn)
14 Ceguk (wudani) (quisqualis Biji Askariasis, oksiurtasis
indica linn)
15 Jambu mede (anacardium Daun Analgesic
occidentale)
16 Sirih (piper betle linn) Daun Antiseptic
17 Saga telik (abrus precatorius Daun Stomatitis attosa
linn)
18 Sebung (blumca balsamitera Daun Analgesic, antipiretik
D.C)
19 Benalu teh (loranthus spec, batang ahli kanker
div)
20 Papaya (carica papaya linn) Getah daun biji Sumber papain anti
malaria kontrasepsi
pria
21 Butrawali (tinospora rumphii Batang Anti malaria, diabetes
boerl) mellitus
22 Pegagan (kaki kuda) (centella Daun Diuretika, antiseptic,
asiatica urban) antikeloid, hipertensi
23 Legundi (Vitcx trifolia linn) Daun Antiseptic
24 Inggu (ruta graveolens linn) Daun Analgesic, antipiretik
25 Sidowajah (woodfordia Daun Artiscptik, diuretic
floribunda salibs)
26 Pala (myristica fragrans houtt) Buah Sedative
27 Sambilata (adrographis Seluruh Antiseptic, diabetes
paniculata ness) tanaman daun mellitus
28 Jahe (halia) (zingibers Umbi Analgesic. Antipiretik,
officinale rose) antiinflamasi
29 Delima putih (punica granalum Kulit buah Antiseptic, antidiare
linn)
30 Dringo (acorus calamus linn) Umbi Sedative
31 Jeruk nipis (citrus aurantifolia Buah Antibatuk
svviqk)

C. Jenis dan Sumber Obat Tradisional


Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan
Makanan (Dirjen POM) yang kemudian beralih menjadi Badan POM mempunyai
tanggung jawab dalam peredaran obat tradisional di masyarakat. Obat tradisional
Indonesia semula hanya dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu obat tradisional
atau jamu dan fitofarmaka. Namun, dengan semakin berkembangnya teknologi,
telah diciptakan peralatan berteknologi tinggi yang membantu proses produksi
sehingga industri jamu maupun industri farmasi mampu membuat jamu dalam
bentuk ekstrak. Namun, sayang pembuatan sediaan yang lebih praktis ini belum
diiringi dengan penelitian sampai dengan uji klinik. Dengan keadaan tersebut
maka obat tradisional sebenarnya dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu jamu,
obat ekstrak alam, dan fitofarmaka.
1. Jamu (Empirical bused herbal medicine)
Jamu adalah obat tradisional yang berasal dari bahan tumbuh-tumbuhan, hewan
dan mineral dan atau sediaan galeniknya atau campuran dari bahan-bahan
tersebut yang belum dibakukan dan dipergunakan dalam upaya pengobatan
berdasarkan pengalaman. Bentuk sediaannya berwujud sebagai serbuk
seduhan, rajangan untuk seduhan, dan sebagainya. Istilah penggunaannya
masih memakai pengertian tradisional seperti galian singset, sekalor, pegel
linu, tolak angin, dan sebagainya. Jamu adalah obat tradisional yang disediakan
secara tradisional, misalnya dalam bentuk serbuk seduhan, oil, dan cairan yang
berisi seluruh bahan tanaman yang menjadi penyusun jamu tersebut serta
digunakan secara tradisional. Pada umumnya, jenis ini dibuat dengan mengacu
pada resep peninggalan leluhur yang disusun dari berbagai tanaman obat yang
jumlahnya cukup banyak, berkisar antara 5-10 macam bahkan lebih. Bentuk
jamu tidak memerlukan pembuktian ilmiah sampai dengan klinis, tetapi cukup
dengan bukti empiris. Jamu yang telah digunakan secara turun-temurun selama
berpuluh-puluh tahun bahkan mungkin ratusan tahun, telah membuktikan
keamanan dan manfaat se.cara langsung untuk tujuan kesehatan tertentu.
2. Ekstrak bahan alam (Scientific based herbal medicine)
Ekstrak bahan alam adalah obat tradisional yang disajikan dari ekstrak atau
penyarian bahan alam yang dapat berupa, tanaman obat, binatang, maupun
mineral. Untuk melaksanakan proses ini membutuhkan peralatan yang lebih
kompleks dan berharga mahal, ditambah dengan tenaga kerja yang
°mendukung. dengan pengetahuan maupun keterampilan pembuatan ekstrak.
Selain proses produksi dengan teknologi maju, jenis ini pada umumnya telah
ditunjang dengan pembuktian ilmiah berupa penelitianpenelitian pra-klinik
seperti standar kandungan bahan berkhasiat, standar, pembuatan ekstrak
tanaman obat, standar pembuatan obat tradisional yang higienis, dan uji
toksisitas akut maupun kronis.
3. Fitofarmaka (Clinical based herbal medicine)
Fitofarmaka adalah sediaan obat yang telah dibuktikan keamanannya dan
khasiatnya, bahan bakunya terdiri dari simplisia atau sediaan galenik yang
telah memenuhi persyaratan yang berlaku. Istilah cara penggunaannya
menggunakan pengertian farmakologik seperti diuretik, analgesik, antipiretik,
dan sebagainya. Selama ini obat-obat fitofarmaka yang berada di pasaran
masih kalah bersaing dengan obat paten. Hal ini disebabkan oleh banyak
faktor, antara lain kepercayaan, standar produksi, promosi dan pendekatan
terhadap medis, maupun konsumennya secara langsung. Fitofarmaka
merupakan bentuk obat tradisional dari bahan alam yang dapat disejajarkan
dengan obat modern karena proses pembuatannya yang telah terstandar,
ditunjang dengan bukti ilmiah sampai dengan uji klinik pada manusia. Oleh
karena itu, dalam pembuatannya memerlukan tenaga ahli dan biaya yang besar
ditunjang dengan peralatan berteknologi modern pula.
Obat tradisional dapat diperoleh dari berbagai sumber sebagai pembuat atau
yang memproduksi obat tradisional, yang dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a. Obat tradisional buatan sendiri
Obat tradisional jenis ini merupakan akar dari pengembangan obat tradisional
di Indonesia saat ini. Pada zaman dahulu, nenek moyang kita mempunyai
kemampuan untuk menyediakan ramuan obat tradisional yang digunakan untuk
keperluan keluarga. Cara ini kemudian terus dikembangkan oleh pemerintah
dalam bentuk program TOGA (taman obat keluarga). Dengan adanya program
TOGA diharapkan masyarakat mampu menyediakan baik bahan maupun
sediaan jamu yang dapat dimanfaatkan dalam upaya menunjang kesehatan
keluarga. Program TOGA lebih mengarah kepada self care untuk menjaga
kesehatan anggota keluarga serta penanganan penyakit ringan yang dialami
oleh anggota keluarga.
b. Obat tradisional berasal dari pembuat jamu (Herbalist)
Membuat jamu merupakan salah satu profesi yang jumlahnya masih cukup
banyak. Salah satunya adalah pembuat sekaligus penjual jamu gendong.
Pembuat jamu gendong merupakan salah satu penyedia obat tradisional dalam
bentuk cairan minum yang sangat digemari masyarakat. Jamu gendong sangat
populer. Tidak hanya di pulau Jawa, tetapi juga dapat ditemui di berbagai pulau
lain di Indonesia. Segala lapisan masyarakat sangat membutuhkan
kehadirannya meskipun tidak dapat dipungkiri lebih banyak dari masyarakat
lapisan bawah yang menggunakan jasa mereka. Selain jamu gendong yang
umum dijual seperti kunir asam, sinom, mengkudu, pahitan, beras kencur, cabe
puyang, dan gepyokan, mereka juga mampu menyediakan jamu khusus sesuai
pesanan. Misalnya, jamu habis bersalin, jamu untuk mengobati keputihan, dan
lain-lain. Akhir-akhir ini, dengan adanya jamu-jamu industri sering kita jumpai
penjual jamu gendong menyediakan jamu serbuk buatan industri untuk
dikonsumsi bersamaan dengan jamu gendong yang mereka sediakan.
Selain pembuat jamu gendong, peracik tradisional masih dapat dijumpai di
Jawa Tengah. Mereka berada di pasarpasar tradisional menyediakan jamu
sesuai kebutuhan konsumen. Bentuk jamu pada umumnya sejenis jamu
gendong, namun lebih mempunyai kekhususan untuk pengobatan penyakit atau
keluhan kesehatan tertentu. Peracik jenis ini tampaknya sudah semakin
berkurang jumlahnya dan kalah bersaing dengan industri yang mampu
menyediakan jamu dalam bentuk yang lebih praktis.
c. Obat tradisional buatan industry
Berdasarkan peraturan Departemen Kesehatan RI, industri obat tradisional
dapat dikelompokkan menjadi industri kecil dan industri besar berdasar modal
yang harus mereka miliki. Dengan semakin maraknya obat tradisional, tampak-
nya industri farmasi mulai tertarik untuk memproduksi obat tradisional. Akan
tetapi, pada umumnya yang berbentuk sediaan modern berupa ekstrak bahan
alam atau fitofarmaka. Sedangkan industri jamu lebih condong untuk mem-
produksi bentuk jamu yang sederhana meskipun akhir-akhir ini cukup banyak
industri besar yang memproduksi jamu dalam bentuk sediaan modern (tablet,
kapsul, sirup dan lainlain) dan bahkan fitofarmaka.

D. Komposisi dan Persyaratan Obat Tradisional


Dalam upaya pembinaan industri obat tradisional, pemerintah melalui
Depkes telah memberikan petunjuk pembuatan obat tradisional dengan komposisi
rasional melalui pedoman rasionalisasi komposisi obat tradisional dan petunjuk
formularium obat tradisional. Hal ini terkait dengan masih banyaknya ditemui
penyusunan obat tradisional yang tidak rasional (irrational) ditinjau dari jumlah
bahan penyusunnya. Sejumlah simplisia penyusun obat tradisional tersebut
seringkali merupakan beberapa simplisia yang mempunyai khasiat yang. sama.
Oleh karena itu, perlu diketahui racikan simplisia yang rasional agar ramuan obat
yang diperoleh mempunyai khasiat sesuai maksud pembuatan jamu tersebut.
Komposisi obat tradisional yang biasa diproduksi oleh industri jamu dalam
bentuk jamu sederhana pada umumnya tersusun dari bahan baku yang sangat
banyak dan bervariasi. Sedangkan bentuk obat ekstrak alam dan fitofarmaka pada
umumnya tersusun dari simplisia tunggal atau maksimal 5 macam jenis bahan
tanaman obat. Pada pembahasan ini lebih ditekankan pada penyusunan obat
tradisional bentuk sederhana atau jamu, mengingat cukup banyak komposisi jamu
yang irrasional seperti penggunaan bahan dengan khasiat sejenis pada satu
ramuan, penggunaan simplisia yang tidak sesuai dengan manfaat yang diharapkan,
dan sebagainya. Agar dapat disusun suatu komposisi obat tradisional maka
beberapa hal yang perlu diketahui adalah:
1. Nama umum obat tradisional/jamu
Jamu yang diproduksi pada umumnya mempunyai tujuan pemanfaatan yang
tercermin dari nama umum jamu. Perlu diketahui bahwa terdapat peraturan
tentang penandaan obat tradisional. Jamu yang diproduksi dan didistribusikan
kepada konsumen harus diberi label yang menjelaskan tentang obat tradisional
tersebut, di antaranya tentang manfaat atau khasiat jamu. Penjelasan tentang
manfaat jamu hanya boleh disampaikan dalam bentuk mengurangi atau
menghilangkan keluhan atau gejala yang dialami seseorang dan bukan
menyembuhkan suatu diagnosis penyakit.
Secara umum, jamu dapat dibedakan menjadi dua, yaitu yang bertujuan untuk
menjaga kesehatan atau promotif dan mencegah dari kesakitan, serta jamu
yang dimanfaatkan untuk mengobati keluhan penyakit. Nama, umum jamu
yang banyak diproduksi oleh industri serta tujuan pemanfaatnya antara lain
adalah:
a. Tujuan promotif atau preventif
Ada beberapa macam jenis jamu dengan tujuan preventif dan promotif yang
beredar di pasaran. Jamu tersebut diproduksi oleh industri obat tradisional
baik besar maupun kecil. Nama jamu tersebut antara lain jamu anton-anton
tua atau anton-anton muda, jamu habis bersalin, jamu ASI, jamu haid
teratur, jamu berhenti haid, jamu jerawat, jamu penambah nafsu makan,
jamu subur peranakan, dan jamu masa berhenti haid (menopause).
b. Tujuan kuratif
Jamu dengan tujuan untuk menyembuhkan penyakit atau menghilangkan
gejala penyakit cukup banyak dijumpai. Bahkan, saat ini industri farmasi
bersaing dengan industri obat tradisional memproduksi berbagai obat
tradisional yang berguna untuk terapi suatu penyakit. Obat tradisional ini
sebagian telah diproduksi dalam bentuk ekstrak bahan alam, bahkan
sebagian dalam bentuk fitofarmaka. Obat tradisional tersebut antara lain
adalah jamu keputihan, jamu batuk, jamu sesak napas, jamu gatal, jamu bau
badan, jamu cacingan, jamu eksim, jamu encok/rematik, jamu pilek/flu,
jamu sakit kuning, jamu sembelit, jamu mencret, jamu ulu hati/ gastritis,
jamu wasir/haemorhoid, dan lain-lain.
2. Komposisi bahan penyusun jamu
Menyusun komposisi bahan penyusun jamu dapat dilakukan dengan
memperhatikan manfaat yang akan diambil dari ramuan yang dibuat serta
kegunaan dari masing-masing simplisia penyusun jamu terebut. Tujuan
pemanfaatan jamu untuk suatu jenis keadaan tertentu harus memperhatikan
keluhan yang biasa dialami pada kondisi tersebut. Misalkan pada orang hamil
tua sering mengalami kejang pada kaki, badan mudah lelah, dan lain
sebagainya; penderita rematik biasa mengeluhkan nyeri pada persendian.
Keterbatasan yang dijumpai dalam penyusunari komposisi jamu adalah takaran
dari masing-masing simplisia maupun dosis sediaan. Penelitian ilmiah dalam
hal ini masih sangat kurang sehingga seringkali penetapan takaran maupun
dosis hanya mengacu pada pengalaman peracik obat tradisional yang lain dan
atas dasar kebiasaan penggunaan terdahulu.
3. Simplisia dan kegunaan
Simplisia ialali bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum
mengalami pengolahan apa pun dan kecuali dinyatakan lain, berupa bahan
yang telah dikeringkan. Dari jenis simplisia yang umum digunakan oleh
industri jamu, ada beberapa tanaman yang mempunyai kegunaan yang mirip
satu dengan lainnya meskipun pasti juga terdapat perbedaan mengingat
kandungan bahan berkhasiat antara satu tanaman dengan lainnya tidak dapat
sama. Bahkan, untuk jenis tanaman yang sama, masih ada kemungkinan kadar
bahan berkhasiat yang terkandung tidak sama persis mengingat adanya
pengaruh dari tanah tempat tumbuh, iklim, dan perlakuan, misalnya
pemupukan.
Pengetahuan tentang kegunaan masing-masing simplisia sangat penting, sebab
dengan diketahui kegunaan masing-masing simplisia, diharapkan tidak terjadi
tumpang tindih pemanfaatan tanaman obat serta dapat mencarikan alternatif
pengganti yang tepat apabila simplisia yang dibutuhkan ternyata tidak dapat
diperoleh.
4. Penelitian yang telah dilakukan terhadap simplisia penyusun obat tradisional.
Obat tradisional terdiri dari berbagai jenis tanaman dan bagian tanaman. Sesuai
dengan Sistem Kesehatan Nasional maka obat tradisional yang terbukti
berkhasiat perlu dimanfaatkan dan ditingkatkan kualitasnya. Untuk dapat
membuktikan khasiatnya, sampai saat ini telah banyak dilakukan penelitian.
Akan tetapi, masih bersifat pendahuluan dan masih sangat sedikit percobaan
dilakukan sampai fase penelitian klinik. Penelitian yang telah dilakukan
terhadap tanaman obat sangat membantu dalam pemilihan bahan baku obat
tradisional. Pengalaman empiris tlitunjang dengan penelitian semakin
memberikan keyakinan akan khasiat dan keamanan obat tradisional.
Sehubungan dengan mutu, kepada para pengusaha yang bergerak di bidang
industri obat khususnya obat tradisional dalam pembuatan obat harus memenuhi
persyaratan keamanan, kemanfaatan dan mutu, sesuai dengan Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 66I/MENKES/SK/VII/ 1994. Secara garis
besar pemerintah telah mengeluarkan beberapa petunjuk, yakni:
a. Kadar air tidak lebih dari 10%. Hal ini untuk mencegah
berkembang biaknya bakteri, kapang dan khamir (ragi).
b. Jumlah kapang dan khamir tidak lebih dari 10.000 (sepuluh ribu).
c. Jumlah bakteri non-patogen tidak lebih dari 1.000.000 (1 juta).
d. Bebas dari bakteri patogen seperti salmonella.
e. Jamu yang berbentuk pil atau tablet, daya hancur tidak lebih dari 15 menit
(menurut Farmakope Indonesia). Toleransi sampai 45 menit.
f. Tidak boleh tercemar, atau diselundupi bahan kimia berkhasiat.

E. Pemanfaatan dan Prospek Obat Tradisional


Kecenderungan kuat untuk menggunakan pengobatan dengan bahan alam,
tidak hanya berlaku di Indonesia, tetapi juga berlaku di banyak negara karena
cara-cara pengobatan ini menerapkan konsep ‘back to nature’ atau kembali ke
alam yang diyakini mempunyai efek samping yang lebih kecil dibandingkan obat-
obat modern. Mengingat peluang obat-obat alami dalam mengambil bagian dalam
sistem pelayanan kesehatan masyarakat cukup besar dan supaya dapat menjadi
unsur dalam sistem ini, obat alami perlu dikembangkan lebih lanjut agar dapat
memenuhi persyaratan keamanan, khasiat dan mutu. Obat tradisional tidak jarang
dipakai untuk pengobatan penyakit yang belum ada obatnya yang memuaskan
seperti penyakit kanker, penyakit virus termasuk AIDS dan penyakit degeneratif,
serta pada keadaan terdesak di mana obat jadi tidak tersedia atau karena tidak
terjangkau oleh daya beli masyarakat. Secara garis besar tujuan pemakaian obat
tradisonal dibagi dalam empat kelompok, yaitu:
(1) Untuk memelihara kesehatan dan menjaga kebugaran jasmani (promotif),
(2) Untuk mencegah penyakit (preventif),
(3) Sebagai upaya pengobatan penyakit baik untuk pengobatan sendiri maupun
untuk mengobati orang lain sebagai upaya mengganti- atau mendampingi
penggunaan obat jadi (kuratif), dan
(4) Untuk memulihkan kesehatan (rehabilitatif).
Agar pemanfaatan obat tradisional dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah terutama dari segi keamanan, khasiat dan penggunaannya, maka perlu
dilakukan penelitian dan pengembangan dengan tahapan yang jelas dan sistematis.
Tahapan tersebut meliputi:
(1) Pemilihan (seleksi) simplisia berdasarkan informasi dari masyarakat tentang
pemanfaatan dan penelusuran pustaka tentang kandungan kimia dari tanaman
tersebut.
(2) Uji penyaringan biologik (skrining biologik) yang meliputi uji farmakologik
dan toksitas akut.
(3) Uji farmakodinamik.
(4) Uji toksisitas lanjut seperti uji toksisitas sub-akut, kronis dan khusus.
(5) Pengembangan formulasi, dan
(6) Uji klinik pada manusia.
Dengan adanya krisis moneter yang melanda Indonesia dan berlanjut
menjadi krisis ekonomi yang berkepanjangan, berdampak pada melonjaknya
harga obat-obatan modern secara drastis oleh karena lebih dari 90% bahan
bakunya tergantung impor.
Oleh sebab itu, obat tradisional yang merupakan potensi bangsa Indonesia,
mempunyai prospek untuk ikut andil dalam memecahkan permasalahan ini dan
sekaligus memperoleh serta mendayagunakan kesempatan untuk berperan sebagai
unsur dalam sistem pelayanan kesehatan masyarakat, terlebih-lebih dengan
adanya kebijakan 'Menteri Kesehatan RI tahun 1999 untuk mengembangkan dan
memanfaatkan tanaman obat ash Indonesia untuk kebutuhan farmasi di Indonesia.
Pengembangan obat tradisional mempunyai tiga aspek penting, yaitu:
(1) Pengobatan yang menggunakan bahan alam adalah sebagian dari hasil budaya
bangsa dan perlu dikembangkan secara inovatif untuk dimanfaatkan bagi
upaya peningkatan kesehatan masyarakat.
(2) Penggunaan bahan alam dalam rangka pemeliharaan kesehatan dan sebagai
bahan obat jarang menimbulkan efek samping dibandingkan bahan obat yang
berasal dari zat kimia sintetis.
(3) Bahan baku obat yang berasal dari alam cukup tersedia dan tersebar luas di
negara kita. Bahan baku obat tradisional tersebut dapat dikembangkan di
dalam negeri, baik dengan teknologi sederhana maupun dengan teknologi
canggih. Pengembangan obat tradisional dalam jangka panjang akan
mempunyai arti ekonomi yang cukup potensial karena dapat mengurangi
impor bahan baku sintesa kimia yang harus dibeli dengan devisa.
Pengembangan obat dari alam bukan masalah yang mudah dan sedbrhana,
karena mempunyai aspek permasalahan yang cukup luas dan kompleks.
Pengembangannya harus dilakukan secara bertahap dan sistematis dan sasaran
prioritas yang jelas, yaitu dengan mendorong terbentuknya kelompok obat fitofar-
maka yang kegunaan atau manfaatnya telah jelas dengan bahan baku baik yang
berupa simplisia maupun sediaan galenik yang telah memenuhi persyaratan mutu
sehingga terjamin adanya keseragaman komponen aktif, keamanan dan
kegunaannya.
Kegunaan obat kelompok fitoterapi dinyatakan dengan istilah farmakologi
baku, sehingga penggunaannya dapat diusahakan melalui para dokter dan unit
pelayanan kesehatan formal. Dengan demikian secara bertahap obat kelompok
fitoterapi dapat memasuki dunia pengobatan modern dan menunjang upaya untuk
mencukupi kebutuhan obat bagi masyarakat luas. Pada sisi lain mendorong
produsen obat tradisional di Indonesia untuk memproduksi obat kelompok
fitoterapi dengan mutu (quality), keamanan (safety), dan khasiat (efficacy) yang
lebih dapat dipertanggungjawabkan.
Prioritas seleksi bahan obat alam yang akan diuji pada masa mendatang adalah:
(1) Bahan obat yang diprioritaskan mempunyai khasiat untuk penyakit yang
menduduki urutan teratas dalam pola penyakit atau penyakit dengan angka
kematian dan angka kesakitan yang tinggi,
(2) Bahan obat yang diperkirakan mempunyai khasiat untuk penyakit tertentu
berdasarkan pengalaman pemakaian, dan
(3) Bahan obat yang diduga dapat meningkatkan kualitas hidup penderita kanker
atau AIDS yang belum ada obatnya.
Akhir-akhir ini perhatian terhadap obat alami meningkat dengan tajam.
Penelitian mengenai potensi dan khasiat obat alami pun mengalami peningkatan.
Hal ini merupakan sesuatu yang menggembirakan, mengingat potensi kekayaan
alam Indonesia sangat berlimpah. Potensi obat alami Indonesia memang
melimpah, seperti aneka produk jamu, mulai dari yang digosok, ditempel,
dikumur sampai diminum, semuanya tersedia, juga encok, pegel linu, jerawat,
pelangsing, penggemuk sampai penghancur batu ginjal, banyak pilihan obatnya.
Oleh sebab itu, kita hanya menunggu kemauan pemerintah dan berbagai pihak
yang berkepentingan untuk mengembangkannya agar pelayanan kesehatan tidak
semata-mata tergantung pada obat-obat modern.
Namun demikian, kalau dibandingkan dengan obat alami asal Cina atau
negara-negara lain, obat alami asal Indonesia ini tidak dapat berkembang sepesat
obat-obat alami asal Cina tersebut. Sebenarnya memang harus diakui adanya
beberapa titik lemah dalam pengobatan dengan menggunakan obat alami
Indonesia yang cara pembuatannya tidak berkembang seperti pengobatan
tradisional Cina, India, Korea maupun Jepang. Selain faktor tidak/kurang percaya
pada masyarakat, pengobatan dengan bahan alami Indonesia tidak/belum memiliki
tradisi pendokumentasian. Hal ini berbeda dengan Cina yang dokumentasi obat-
obat pertabibannya terakumulasi dari abad ke abad, yang melalui proses
sosialisasi, menciptakan unit disiplin tersendiri untuk kemudian membentuk
tradisi ‘keilmuan Timur’ dengan standar-standar khusus.
Untuk dapat masuk ke dalam sistem pelayanan kesehatan formal, obat
tradisional perlu menggunakan konsep fitofarmaka, walaupun dalam hal ini
pengembangan dan penelitian fitofarmaka obat bahan alam tidak perlu menjalani
seluruh tahap pengembangan obat modern uji pra-klinik dan klinik. Dari segi
bisnis sebenarnya negara Indonesia bisa sukses dalam hal mengembangkan obat
tradisional, salah satu contoh adalah PT Nyonya Meneer yang bergerak di bidang
jamu, saat ini berada di tataran paling unggul dalam industri obat tradisional.
EFEK RUMAH KACA, PROBLEMA KESEHATAN MASYARAKAT

A. Pendahuluan
Teknologi adalah bentuk aplikasi dari ilmu pengetahuan dalam mewujudkan
kesejahteraan umat manusia. Teknologi diciptakan agar hidup manusia
dipermudah, dan lebih produktif atau lebih efisien, yang akhirnya manusia akan
hidup lebih nyaman dan lebih sejahtera. Namun belakangan ini teknologi ibarat
pisau bermata dua, satu sisi teknologi memang dapat mempermudah dan
mensejahterakan umat manusia, namun di sisi yang lain teknologi mempunyai
dampak yang negatif terhadap kehidupan manusia. Dengan meningkatnya
teknologi dan pemanfaatannya bag kehidupan umat manusia, justru manusia
dihadapkan pads berbagai masalah, terutama adalah masalah kesehatan. Semua
sektor pembangunan dewasa ini mengalami peningkatan yang luar biasa berkat
kemajuan teknologi, tetapi ironisnya semua kemajuan teknologi di semua sektor
pembangunan tersebut mempunyai dampak negatif pada kesehatan masyarakat.
Perkembangan teknologi peftanian misalnya, penggunaan pupuk buatan dan
penggunaan pestisida untuk pemberantasan hama, jelas akan merugikan
kesehatan. Perkembangan tekno logi pangan seperti pengawetan makanan,
penggunaan kemasan makanan dari plastik dan foam, penggunaan penyedap
makanan, dan sebagainya jugs merugikan kesehatan. Perkembangan teknologi
pertambangan dengan menggunakan bahan-bahan kimia, limbahnya juga akan
mengancam kesehatan manusia, seperti kasus di Buyat beberapa waktu yang lalu.
Di sektor perhubungan, khususnya transportasi, dengan meningkatnya peggunaan
kendaraan bermotor maka emisi atau gas buangan kendaraan bermotor tersebut
akan mengganggu kesehatan masyarakat.
Baru-baru ini pemerintah dalam hal ini Presiden RI, mengeluarkan Inpres
(Instruksi Presiden) No. 10 tahun 2005 berkaitan dengan penghematan BBM
(bahan bakar minyak). Akan tetapi Inpres tersebut lebih didorong oleh alasan
ekonomi, dan tidak didasari oleh alasan yang lebih bersifat global. Sebenarnya di
samping alasan ekonomi dan politik, penghematan bahan bakar minyak akan lebih
berbobot lagi kalau dilandasi pula alasan global, yakni adanya efek rumah kaca
yang mengakibatkan ‘global warming’ (pemanasan bumi) sebagai dampak dari
polusi udara (air pollution). Dengan kata lain, pemanasan global atau efek rumah
kaca merupakan salah satu dampak dari sektor pembangunan (teknologi
transportasi), khususnya asap kendaraan bermotor. Meskipun gas buangan
kendaraan bermotor atau teknologi transportasi ini bukan satusatunya penyebab
efek rumah kaca atau pemanasan bumi, namun gas buangan kendaraan motor di
Indonesia saat ini mempunyai kontribusi yang cukup besar dalam efek rumah kaca
(nurhasanah zis@yahoo.co).
Undang-Undang Republik Indonesia No. 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 4 Ayat 6 menyebutkan
bahwa baku mutu lingkungan adalah batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi,
atau komponen yang ada atau harus ada dan atau unsur pencemar yang ditenggang
adanya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup. Udara
adalah salah satu lingkungan hidup kita, oleh sebab itu zat-zat atau gas-gas yang
ada di dalamnya harus sesuai dengan baku mutu lingkungan seperti yang diatur
dalam undang-undang tersebut. Apabila melebihi dari ambang batas yang
ditentukan akan terjadi polusi udara, dan mengganggu kesehatan masyarakat.
Salah satu bentuk implementasi Undang-Undang No. 4' tahun 1982 ini
adalah Keputusan Menteri Negara Kependuduk an dan Lingkungan Hidup (KLH)
No. 2 tahun 1988 tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan. Dalam
undang-undang ini telah ditetapkan baku mutu lingkungan, termasuk gas buangan
kendaraan bermotor (CO2) meskipun masingmasing pemerintah daerah dalam hal
ini gubernur bersama Badan Meteorologi dan Geofisika setempat diberikan
keleluasaan untuk menetapkan baku mutu berdasarkan daerah masing-masing
berdasarkan pertimbangan kondisi setempat, sepanjang masih dalam batas
ambang.

B. Efek Rumah Kaca (Green House Effect)


Pada awalnya istilah efek rumah kaca atau ‘green house effect’ ini
digunakan berdasarkan pengalaman para petani di daerah beriklim atau berhawa
dingin yang menanam sayursayuran dan biji-bijian dalam rumah kaca.
Pengalaman mereka menunjukkan bahwa pada waktu siang hari, pada cuaca cerah
meskipun tanpa alat pemanas suhu, dalam ruangan rumah kaca suhu lebih tinggi
daripada suhu di luarnya. Hal ini terjadi karena sinar matahari yang menembus
kaca dipantulkan kembali oleh tanaman/tanah dalam ruangan rumah kaca sebagai
radiasi infra merah yang berupa panas. Sinar yang dipantulkan tidak dapat keluar
ruangan rumah kaca sehingga udara dalam rumah kaca suhunya naik dan panas
sebagai akibat dari udara yang terperangkap di dalam ruangan rumah kaca dan
tidak tercampur dengan udara di luar rumah kaca. Akibatnya suhu dalam 'ruangan
rumah kaca lebih tinggi daripada suhu di luarnya Oleh sebab itu, selanjutnya
dikenal sebagai ‘efek rumah kaca’. Efek rumah kaca ini juga dapat terjadi dalam
mobil yang di parkir di tempat yang panas, dalam keadaan jendela tertutup,
akibatnya suhu dalam mobil akan lebih tinggi dibandingkan dengan suhu di luar.
Dalam keadaan yang normal, sinar matahari masuk menembus atmosfer dan
diabsorbsi oleh permukaan bumi. Kemudian panas atau sinar matahari ini siap
dipantulkan kembali, yang diemisikan atau dibuang oleh permukaan bumi sebagai
radiasi infra merah ke atmosfer. Akan tetapi pada kasus rumah kaca, radiasi infra
merah ini tidak dapat keluar ke atmosfer seperti pada saat radiasi atau sinar
matahari masuk. Radiasi infra merah ini terperangkap oleh beberapa gas, sehingga
menimbulkan reaksi atau efek rumah kaca. Secara rinci terjadinya efek rumah
kaca di atmosfer dapat dijelaskan sebagai berikut. Pancaran sinar matahari yang
sampai ke bumi (setelah melalui penyerapan oleh berbagai gas di atmosfer)
sebagian dipantulkan dan sebagian lain diserap oleh bumi. Bagian yang diserap
akan dipancarkan lagi oleh bumi sebagai radiasi infra merah yang panas. Radiasi
infra merah tersebut di atmosfer akan diserap oleh gas-gas rumah kaca seperti uap
air (H20) dan Carbon dioksida (C02) sehingga tidak terlepas ke luar angkasa dan
menyebabkan panas terperangkap dan akhirnya mengakibatkan peningkatan suhu
lapisan trospofer dan bumi maka terjadilah efek rumah kaca di bumi (Meivena
dan Arnelly, 2004).

C. Pemanasan Global (Global Warming)


Akibat atau efek yang sangat serius dari rumah kaca adalah apa yang disebut
pemanasan global atau pemanasan bumi (global warming). Menurut Sri Tjahjani
Budi Utami (Utami,2003) pemanasan global adalah sebuah fenomena ketika
energi yang berasal dari radiasi matahari diserap oleh permukaan bumi dan
dilepas kembali sebagai energi infra merah yang tidak dapat menembus keluar
angkasa karena terhambat atau terperangkap oleh berbagai macam gas rumah kaca
yang ada di atmosfer. Pemanasan global terjadi karena kenaikan suhu permukaan
bumi yang disebabkan oleh peningkatan emisi COZ dan gas-gas lain yang dikenal
sebagai gas-gas rumah kaca (GRK) yang meliputi bumi dan memerangkap panas.
Kenaikan suhu ini mengubah iklim, menyebabkan berubahnya pola cuaca yang
dapat menimbulkan peningkatan curah hujan yang tidak biasa, semakin ganasnya
angin dan badai bahkan terjadinya bencana alam.
Secara umum dapat dikatakan bahwa pemanasan global merupakan
peristiwa meningkatnya suhu rata-rata bumi yang diakibatkan oleh meningkatnya
penggunaan teknologi dan aktivitas manusia sehingga menyebabkan
meningkatnya gas-gas rumah kaca. Beberapa faktor yang menyebabkan
meningkatnya gas rumah kaca, antara lain: (Messmer, Maja: 1998).
a. Konsumsi bahan bakar fosil ( minyak tanah, gas, dan batu bara) pada industri,
transportasi, pembangkit tenaga listrik, dan penggunaan pada rumah tangga
dan perkantoran.
b. Kebakaran dan penggundulan hutan: menurut Bank Dunia, laju kerusakan
hutan di Indonesia tahun 1990 sampai dengan tahun 2004 adalah sebesar 2- 2,2
juta ha per tahun. Sedangkan kebakaran hutan pada periode yang sama telah
melahap 22,7 ha per tahun.
c. Kegiatan pertanian dan peternakan yang mengeluarkan emisi-antara lain CO 2,
N20 dan CH4.
d. Sampah: kegiatan manusia selalu menghasilkan sampah, baik sampah organik
maupun sampah non-organik. Sampah di Indonesia, terutama di kota-kota
besar, bukan saja menimbulkan masalah tempat pembuangannya saja,
melainkan juga dampak sampah tersebut. Karena sampah mempunyai
kontribusi yang besar terhadap pemanasan global, diperkirakan 1 ton sampah
padat akan menghasilkan sekitar 50 kg gas metan atau metana. Oleh sebab itu
makin besar jumlah volume sampah, makin besar menghasilkan gas metan ke
atmosfer, dan makin besar menimbulkan efek rumah kaca atau pemanasan
global.
Volume sampah di Indonesia makin lama makin meningkat seiring dengan
kemajuan teknologi dan pertambahan penduduk. Apabila pada tahun 1990
setiap penduduk Indonesia menghasilkan sampah 0,5 kg per orang/hari maka
pada tahun 2003 meningkat menjadi 1,0 kg sampah per orang/hari. Pada tahun
2010 nanti di perkirakan setiap penduduk Indonesia akan menghasilkan
sampah 2,1 kg per hari.

Gas Rumah Kaca


Seperti telah disebutkan di atas bahwa pemanasan global adalah efek rumah
kaca. Efek rumah kaca ini terjadi karena adanya gas yang menyebabkan terjadinya
efek rumah kaca, yang disebut gas-gas rumah kaca (GRK), antara lain:
(http.apakabar@clark.net/Ke,aerahan ddi Rumah Kaca)
1. Karbon dioksida (CO2):
Karbon dioksida adalah gas rumah kaca terpenting penyebab pemanasan
global. Sumbangan utama manusia terhadap meningkatnya jumlah C02 di
atmosfer berasal dari hasil pembakaran utamanya dari kendaraan bermotot,
juga pembakaran yang dilakukan oleh pabrik, dan rumah tangga. Akhir-akhir
ini dengan sering terjadinya kebakaran, terutama kebakaran hutan akan
menambah kontribusi CO, dalam atmosfer, yang berarti meningkatnya efek
rumah kaca atau pemanasan global.
2. Uap air (H2O):
Uap air bersifat tidak terlihat dan harus dibedakan dari awan dan kabut yang
terjadi ketika uap membentuk butirbutir air. Uap air juga merupakan
penyumbang besar efek rumah kaca. Jumlah uap air dalam atmosfer berada di
luar kendali manusia dan dipengaruhi oleh suhu global. Jika bumi menjadi
lebih hangat, jumlah uap air di atmosfer akan meningkat karena naiknya laju
penguapan, dan selanjutnya akan meningkatkan efek rumah kaca, serta makin
mendorong pemanasan global.
3. Metana atau metan (CH4):
Metana adalah gas rumah kaca lain yang terdapat secara alami, yang dihasilkan
oleh jenis-jenis mikroorganisme tertentu menguraikan bahan organik pada
kondisi tanpa udara (anaerob). Gas ini juga dihasilkan secara alami pada saat
pembusukan biomassa di rawa-rawa sehingga disebut juga gas rawa. Metana
mudah terbakar, dan menghasilkan karbon dioksida sebagai hasil sampingan.
Jumlah metana yang terbesar yang disumbangkan ke atmosfer sehingga
mempengaruhi efek rumah kaca adalah pembuangan sampah. Di samping itu
makin meningkatnya jumlah ternak kerbau, sapi, dan sejenisnya merupakan
sumber lain yang bararti dalam menghasilkan metana. Pada gilirannya juga
akan meningkatkan kontribusinya terhadap efek rumah kaca.
4. Dinitrogen oksida (N2O):
N2O adalah gas rumah kaca yang terdapat secara alami,namun tidak banyak
diketahui secara rind tentang asal gas ini di dalam atmosfer. Diduga sumber
utamanya merupakan hasil kegiatan mikroorganisme dalam tanah. Pemakaias
pupuk nitrogen dapat meningkatkan jumlah gas ini daiaa atmosfer. Dinitrogen
oksida juga dihasilkan dalam skala kecil oleh pembakaran bahan bakar dari
fosil (minyak bumi, batu bara, dan gas bumi).
5. Cloroflurocarbon (CFC)
CFC adalah sekelompok gas buatan, dan mempunyai sifatsifat tidak beracun,
tidak mudah terbakar, dan amat stabil sehingga dapat digunakan dalam
berbagai peralatan. CFC yang paling banyak digunakan mempunyai nama
dagang 'Freon'. Freon digunakan dalam proses mengembangkan busa dalam
peralatan pendingin ruangan dan lemari es. Penggunaan CFC baik untuk
keperluan rumah tangga, perkantoran, maupun kendaraan bermotor pada saat
ini telah merusak lapisan ozon yang ada pada troposfer. Lapisan ini merupakan
payung bagi manusia karena dengan lapisan ozon ini sinar ultra violet matahari
tidak mengenai manusia secara langsung. Dengan rusaknya lapizan ozon maka
sinar ultra violet ini langsung mengenai manusia dan dapat menyebabkan
berbagai macam penyakit antara lain kanker kulit.(Tempo 13-19 September,
2005)
D. Dampak Pemanasan Global
Pemanasan global, yang diperkirakan telah dimulai puluhan tahun yang lalu
mempunyai berbagai dampak terhadap bumi kita, sebagai berikut:
(http.pkrtn.go.id/gobal warning/ bambang/doc)
1. Iklim mulai tidak stabil
Pemanasan global dapat menyebabkan kenaikan permukaan air laut akibat
pencairan di kutub, perubahan pola angin, meningkatnya badai atmosfer,
bertambahnya populasi dan jenis organisme penyebab penyakit yang
berdampak pada kesehatan masyarakat. Di samping itu, pemanasan global
dapat menyebabkan perubahan pola curah hujan dan siklus hidrologi. Seperti
yang kita rasakan pada saat kini yaitu bulan Juli yang seharusnya sudah berada
dalam musim panas (kering), tetapi curah hujan masih tinggi, bahkan di
beberapa daerah termasuk Jakarta, masih terjadi banjir. Di samping itu dengan
tidak stabilnya musim ini juga berdampak kepada meningkatnya penyebaran
penyakit seperti demam berdarah (Kompas, 20 Agustus 2005).
Peningkatan gas-gas rumah kaca dalam atmosfer sebenarnya sudah
berlangsung lama, dengan bukti-bukti sebagai berikut:
a. Mencairnya es di kutub
Seperti telah diketahui bahwa es yang, menyelimuti permukaan bumi di
kedua kutub bumi telah berkurang 10 % sejak tahun 1960. Sementara
ketebalan es di kutub utara telah berkurang 42% dalam 40 tahun terakhir.
Kalau hal ini tidak dikendalikan, maka pada tahun 2500 nanti kedua kutub
bumi kita sudah tidak akan diselimuti oleh es lagi. (http.pkrtn.go.id/gobal
warning/bambang/ doc.)
Pergeseran musim tampaknya sudah terjadi di beberapa belahan bumi kita,
termasuk di Indonesia. Di Indonesia, terasa bahwa batas antara musim hujan
dan musim panas sudah tidak jelas lagi. Pada musim panas curah hujan
masih tinggi, intensitas hujan pada musim hujan dan musim kemarau
hampir tidak ada bedanya. Iklim dan curah hujan yang tidak teratur ini akan
menyebabkan gangguan pola tanam pada petani, dan akhirnya akan
mengganggu produksi bahan pangan, terutama beras dan makanan pokok
lainnya (Kompas 13 Juli 2005).
2. Peningkatan permukaan air laut
Berbagai studi tentang perubahan iklim memperlihatkan telah terjadi kenaikan
permukaan air laut sebesar 1 - 2 meter dalam 100 tahun terakhir ini. Menurut
IPCC (Inter governmental Climate Change) pada tahun 2030 nanti permukaan
air laut akan bertambah antara 8 - 29 cm dari permukaan air laut saat ini.
3. Dampak sosial ekonomi dan politik
Tahun 2000, Indonesia telah mengalami 33 kejadian banjir, kebakaran hutan,
dan 6 bencana angin topan. Hal ini semua membawa kerugian sebesar kurang
lebih $150 miliar dan 690 nyawa hilang (Kompas 7 Maret 2003). Bencana ini
menimbulkan dampak sosial seperti perubahan mata pencaharian penduduk,
terutama di daerah pertanian akibat perubahan iklim yang menyebabkan
kurangnya masa panen. Sehingga menyebabkan para petani mencari mata
pencaharian lain yang tidak tergantung pada iklim, sehingga terjadi urbanisasi
besar-besaran.
Kebakaran hutan tahun 1997 telah menghabiskan biaya kesehatan lebih dari Rp
1,2 triliun, dan hilangnya hari kerja penduduk sebanyak 2,5 juta hari.
Sementara itu akibat kebakaran hutan tersebut diperkirakan mengakibatkan
kerugian ekonomi sebesar US$9,3 miliar (Bappenas, 2000). Sedangkan
dampak politik yang terjadi berupa hilangnya batas-batas negara atau
berkurangnya pulau-pulau kecil akibat kenaikan permukaan air laut. Banyak
pulau-pulau kecil yang hilang karena naiknya permukaan air laut. Dengan
naiknya permukaan air laut juga menyebabkan mundurnya garis pantai di
sebagian besar wilayah Indonesia. Akibatnya bila ditarik garis batas 12 mil laut
dari garis pantai maka sud4h barang tentu wilayah Indonesia akan berkurang.
4. Sumber daya air
Perubahan suhu akibat perubahan iklim menyebabkan perubahan curah hujan
serta menyebabkan pergeseran vegetasi di daerah hulu sungai, sehingga akan
mempengaruhi ketersediaan air dan limpasan permukaan air tanah. Secara
umum di Indonesia, diperkirakan pada tahun 2080 akan terdapat 2 - 3,5 miliar
penduduk yang akan mengalami kekurangan air, akibat menurunnya
persediaan air tanah.
5. Topan siklon tropis
Koordinator Bantuan PBB Jan Egeland mengatakan bahwa topan yang
merusak kehidupan orang Amerika dan telah terjadi sejak tahun 1960-an
adalah akibat pemanasan global. Pernyataan ini diperkuat oleh sejumlah
ilmuwan lainnya yang mengatakan bahwa topan siklon tropis terbentuk akibat
gejolak di atas laut diakibatkan oleh kenaikan temperatur akibat pemanasan
global. Dari Geneva dikabarkan, setelah topan Katrina dan Rita akan muncul
pula topan Stan di Samudera Atlantik. Untuk wilayah Atlantik, Karabia dan
Teluk Mexico nama-nama topan sepanjang tahun 2005 sudah disusun
berdasarkan abjad, mulai dari Arlene hingga Wilma. Ditengahnya ada topan
Katrina, Lee, Nate, Ophelia, Philipe, Rita, Stan serta Tammy (Kompas 25
September, 2005)
6. Kesehatan masyarakat
Transmisi beberapa penyakit menular sangat dipengaruhi oleh faktor iklim dan
suhu. Parasit dan vektor penyakit sangat peka terhadap faktor-faktor iklim,
khususnya suhu dan kelembaban udara. Penyakit-penyakit tropis yang
ditularkan melalui vektor seperti malaria, demam berdarah, filariasis (kaki
gajah) akan makin meningkat, bukan hanya di negara yang beriklim tropis,
tetapi juga di negara-negara sub-tropis, bahkan di negara yang bermusim
dingin. Di Indonesia penyakit-penyakit tersebut yang semula terjadi di daerah
dataran rendah, mungkin pada waktu yang akan datang akan menyebar di
daerah pegunungan yang berhawa dingin, namun karena pemanasan global
berubah menjadi bersuhu panas.

E. Meminimalkan Dampak Pemanasan Global


Seperti telah disebutkan di atas, pemanasan global ini terjadai karena efek
rumah kaca. Pada gilirannya efek rumah kaca terjadi karena meningkatnya gas-
gas rumah kaca di atmosfer bumi akibat dari meningkatnya teknologi dan kegiatan
manusia. Akibat yang fatal dari pemanasan global adalah terancamnya kehidupan
di bumi ini, termasuk manusia. Oleh sebab itu, harus segera dilakukan upaya-
upaya untuk meminimalkan dampak pemanasan global tersebut, antara lain:
1. Konservasi dan efisiensi energi
Penghematan energi, bukan semata-mata untuk alasan ekonomi seperti Kepres
No. 10/2005, tetapi seyogianya juga untuk alasan konservasi energi. Potensi
terbesar untuk penghematan energi adalah di dunia industri, di mana sebagian
besar energi dikonsumsi. Penghematan energi yang lain adalah sektor
transportasi dan rumah tangga, bait ~ dalam penggunaan listrik maupun bahan
bakar lainnya.
2. Eliminasi CFC
Eliminasi CFC sangat diperlukan karena gas-gas tersebut dapat
menyumbangkan 20% dari efek rumah kaca pada tahun 2030. Oleh karena itu,
harus segera diambil tindakan guna penghapusan penggunaan CFC secara
menyeluruh. Penggantian ‘freon’ dengan gas lain dalam sistem atau peralatan
pendingin udara perlu segera dilakukan.
3. Menukar bahan bakar
Emisi GRK dari penggunaan bahan bakar fosil (minyak bumi) yang bervariasi
atau menggantinya dengan bahan bakar dari bahan baku tumbuh-tumbuhan
atau biogas. Untuk produksi jumlah panas atau listrik yang sama, gas alam
menghasilkan CO2 40% lebih rendah dibandingkan dengan batu bara, dan
sekitar 25% lebih rendah daripada minyak. Sehingga dengan menukar sumber
bahan bakar dari minyak bumi ke gas alam dan biogas dapat mengurangi emisi
CO2.
4. Teknologi energi yang dapat diperbarui (renewable)
Upaya mengurangi emisi GRK dapat dilakukan dengan mengembangkan suatu
teknologi yang dapat menekan emisi penyebab efek rumah kaca, seperti PLTA,
pemanas air dengan tenaga matahari, penggunaan tenaga angin dikonversi
menjadi listrik maupun penangkapan metana dari tempat sampah dan kotoran
manusia atau hewan menjadi energi atau listrik.
5. Reboisasi kehutanan
Untuk menyerap 10% emisi CO2 yang ada di atmosfer saat ini dapat dilakukan
dengan tanaman areal seluas Zambia atau Turki, sendangkan untuk menyerap
semua emisi tahunan diperlukan menanam seluas Australia.
(http.pkrtn.go.id/global warning/bambang/doc.)

F. Aspek Hukum dalam Pemanasan Global


Pada bulan Desember tahun 1997, di Kyoto, Jepang diadakan Konferensi ke
3 Perubahan Iklim oleh ‘The United Nations Framework Cooperation on Climate
Change’ (UNFCCC). Dalam konferensi tersebut disepakati adanya program
‘Clean Development Mecanism’ atau CDM dalam rangka menghadapi fenomena
pemanasan bumi atau pemanasan global (global warming). Selanjutnya
kesepakatan ini disebut ‘Protokol Kyoto’, yang intinya semua negara maju akan
mengurangi tingkat emisi gas buangan atau gas yang menimbulkan gas-gas rumah
kaca (green house gases), antara lain CO2, CH 4) HFCS, minimal 5,5% dari emisi
tahun 1990. Sampai dengan tahun 2001 dari 84 negara yang telah menandatangani
Protokol Kyoto tersebut baru 33 negara yang telah meratifkasinya.
Meskipun Indonesia bukan negara maju, dan belum diwajibkan untuk
meratifikasi Protokol Kyoto tersebut, namun seyogianya sudah mulai menyiapkan
perangkat hukumnya. Sebab Indonesia terdiri dari banyak pulau dan mempunyai
banyak hutan, yang rentan terhadap dampak pemanasan bumi ini. Alangkah
baiknya kalau Inpres No. 10 tahun 2005 yang baru dikeluarkan oleh Presiden
tentang Hemat Energi ini ditingkatkan menjadi Peraturan Pemerintah atau
Undang-Undang. Konsiderans produk hukum itu pun tidak hanya semata-mata
faktor ekonomi, melainkan juga karena pertimbangan faktor lingkungan hidup
yang bersih atau bebas emisi gas rumah kaca.
Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan UndangUndang tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup, yakni PP. No. 4/1982. Tujuan dikelurkannya UU
tersebut adalah tercapainya keselarasan hubungan antara manusia dengan
lingkungannya, dan terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara bijaksana.
Untuk pelaksanaan UU tersebut baru dikeluarkan 3 Peraturan Pemerintah (PP),
yakni PP. No. 29/1986 tentang Analisis Dampak Lingkungan, PP. No. 20/1990
tentang Pengendalian Pencemaran Air, dan PP. No. 35/1991 tentang Sungai.
Sedangkan PP tentang Pengendalian Pencemaran Udara belum ada. Oleh sebab
itu, sebagai partisipasi terhadap pengurangan pemanasan global sebagai efek
rumah kaca di Indonesia, dan sekaligus meratifikasi Protokol Kyoto, seyogianya
segera mengeluarkan PP tentang Pengendalian Pencemaran Udara mengacu pada
UU No. 4 tahun 1982.
Dalam rangka mengurangi penggunaan CFC (clorofluoro- . carbon), yang
merupakan bahan perusak ozon (BPO), pemerintah Indonesia telah meratifikasi
Protokol Montreal Karena menurut protokol Montreal Indonesia termasuk salah
satu negara yang mempunyai konsumsi BPO, meskipun masih kurang dari 0,3
kilogram per kapita per tahun. Di samping itu, Indonesia juga telah meratifikasi
Konvensi Wina melalui Keputusan Presiden No. 23/1992, kemudian Amandemen
Kopenhagen melalui Keputusan Presiden No 92/1998, Amandemen Beijing
melalui Peraturan Presiden No. 33/2005. Konsekuensinya Indonesia wajib
melindungi lapisan ozon serta mengawasi dan mengendalikan konsumsi BPO.
(Tempo, edisi 19-25 Oktober 2005)
Kita sebagai warga negara Indonesia dapat berpartisipasi dalam
menyelamatkan bumi kita dengan mengurangi konsumsi BPO di rumah kita
sendiri, antara lain dengan membeli lemari es atau AC yang tidak menggunakan
gas CFC. Di samping itu, kita dapat juga menghindari kosmetik, parfum, obat
nyamuk yang menggunakan CFC. Hal ini dapat diketahui pada label produk-
produk tersebut yang “NON CFC” di kemasannya.

Anda mungkin juga menyukai