Anda di halaman 1dari 45

DESAIN PENELITIAN EPIDEMIOLOGI

(EPIDEMIOLOGI DESKRIPTIF DAN ANALITIK)

Dosen Pengampu : Dr. Arulita Ika Fibriana, M.Kes (Epid)

Disusun Oleh :

1. Yuka Setiana (6411418070)

2. Errika Noor Acvi H (6411418071)

3. Kurnia Rahmawati (6411418072)

4. Safira Aufi F (6411418073)

5. Ghinan Khairun N (6411418075)

6. Rosiyana (6411418076)

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2019
A. Epidemiologi deskriptif

Epidemiologi deskriptif adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara manusia,


agent dan lingkungan yang mana dapat menyebabkan terjadinya suatu penyakit.
Epidemiologi deskriptif juga mempelajari kejadian dan distribusi suatu penyakit.
Kejadian penyakit adalah riwayat alamiah suatu penyakit tersebut, sedangkan distribusi
penyakit memiliki variable yang akan dikelompokan berdasarkan person (orang), place
(tempat) dan time (waktu).

1. Orang
Pada kelompok ini akan dibahas peranan umur, jenis kelamin, kelas sosial,
pekerjaan, golongan etnik, status perkawinan, besar keluarga, struktur keluarga dan
paritas. Berikut ini akan dijelaskan tentang variabel dari masing – masing kelompok.
a. Umur
Umur adalah variable yang selalu diperhatikan di dalam penyelidikan
epidemiologi. Angka kesakitan maupun kematian semua keadaan hampir selalu
menunjukan hubungan dengan umur untuk mempelajari hubungan antara kesakitan
dan umur dilakukan langkah sebagai berikut :
 Tentukan pengelompokan umur yang cocok dengan sifat dan tujuan dari
penelitian
 Hitung jumlah absolut dari kesakitan atau kematian menurut kelompok umur
yang ditetapkan.
 Ubahlah angka absolut ke dalam bentuk rate (per 100 per 1000 dan
seterusnya)
 Buatlah diagram garis dan histogram atau tabel dari rate
Untuk keperluan pembandingan, WHO menganjurkan pembagian umur
sebagai berikut:
 Menurut tingkat kedewasaan:
Umur 0-14 tahun: bayi dan anak-anak
Umur 15-49 tahun : orang muda dan dewasa
Umur 50 ke atas: orang tua
 Interval 5 tahun :
Kurang dari 1 tahun:
1-4,5-9,10-14,…..,60 ke atas.
 Untuk mempelajari penyakit anak:
Umur 0-4 bulan
Umur 5-10 bulan
Umur 11-23 bulan
Umur 2- 4 tahun
Umur 5- 9 tahun
Umur 10-14 tahun

Selain itu, ada beberapa alasan yang dapat menerangkan hubungan


suatu keadaan dengan umur yaitu:
 Keadaan itu merupakan fungsi dari proses umur, perkembangan
fisiologis, atau immunitas.
 Keadaan itu merupakan refleksi dari perubahan kebiasaan, dan jenis
makanan yang berbeda antara golongan umur dengan berjalannya
waktu.
 Keadaan merupakan hasil dari perubahan daya tahan tubuh, misalnya
terlalu lama berhubungan dengan lingkungan yang mempengaruhi
keadaan itu.
 Faktor lain, misalnya ketersediaan alat diagnostic penyakit hanya
untuk golongan umur tertentu.
 Kemungkinan hubungan sebagai akibat fenomena kohort, misalnya
pada penyakit TB. Di negara maju, tapi banyak terdapat pada orang
tua.Apabila dirunut, sebenarnya orang tua itu semasa mudanya sudah
terinfeksi oleh kuman tb.Pada seorang menjadi tua maka daya tahan
tubuhnya menurun, sehiungga infeksi “dormant” yang sudah lama itu
dapat menimbulkan penyakit.
b. Jenis Kelamin
Angka kesakitan lebih tinggi di kalangan wanita sedangkan angka kematian
lebih tinggi di kalangan pria, juga pada golongan semua umur pada kajian
epidiomologi luar negeri.Untuk di Indonesia masih dipelajari lebih lanjut.Angka
kematian dapat disebabkan oleh faktor intrisik dan ekstrinsik.Yang pertama,
diduga meliputi faktor keturunan terkait dengan jenis kelamin, atau perbedaan
hormonal.Sedangkan yang kedua diduga karena peran faktor lingkungan, misalnya
lebih banyak pria menghisap rokok, minum minuman keras, candu, bekerja berat
dan lain sebagainya.Angka kesakitan yang lebih tinggi dikalangan wanita di
Amerika Serikat dihubungkan dengan kemungkinan wanita lebih bebas untuk
mencari perawatan.
Didalam mempelajari hubungan antara jenis kelamin dengan angka kesakitan
atau kematian harus selalu diperhitungkan faktor umur,dengan langkah berikut:
 Tentukan pengelompokan umur yang cocok dengan sifat dan tujuan dari
penelitian baik wanita maupun pria.
 Hitung jumlah absolut dari kesakitan atau kematian menurut kelompok umur
yang telah ditetapkan untuk pria dan wanita.
 Ubah angka absolut ke dalam rate (per 100, per 1000 dan seterusnya) dengan
ini didapatkan “age and sex-specific rate”
 Buat diagram garis, histogram dan atau tabel dari rate tersebut, dimana akan
tergamabar menurut kelamin dan umur akan terlihat mudah bagaimana suatu
kesakitan atau kematian menyebar menurut umur dan kelamin.
c. Kelas Sosial
Kelas sosial adalah variabel yang sering pula dilihat hubungannya dengan
angka kesakitan dan kematian.Variabel ini menggamabarkan tingkat kehidupan
seseoarang.Kelas sosial ini ditentukan oleh unsur pendidikan, pekerjaan,
penghasilan dan banyak contoh ditemukan pula oleh tempat tinggal.
Di inggris penggolongan kelas sosial ini didasarkan atas jenis pekerjaan
seseorang, yakni I= Profesional, II= Menegah, III= Tenaga terampil, IV= Tenaga
setengah terampil, dan V= tidak mempunyai keterampilan. Di Indonesia
penggolngan seperti ini sulit dibuat karena jenis pekerjaan tidak memberi jaminan
perbedaan penghasilan.Hubungan antara kelas sosial dan angka kesakitan atau
kematian dapat kita pelajari pula hubungannya dengan umur, kelamin.

Tabel 1
Angka kematian dari semua sebab per 100 pria menurut kelas sosial
Dan golongan umur (England & Wales, ‘49-‘53)

Golongan umur kelamin (Tahun) Kelas sosial


I II III IV V
25-34 Pria a b c d e
Wanita f g h i j
35-44 Pria k l m n o
Wanita P q r s t
45-54 Pria u v w x y
Wanita z a’ b’ c’ d’
55-64 Pria e’ f’ g’ h’ i’
Wanita j’ k’ l’ m’ n’

d. Jenis Pekerjaan
Jenis pekerjaan dapat berperan di dalam timbulnya penyakit melalui hal
berikut ini, yakni:
 Adanya faktor lingkungan yang langsung dapat menimbulkan kesakitan
seperti bahan kimia, gas beracun, radiasi benda fisik yang dapat menimbulkan
kecelakaan dan sebagainya.
 Situasi pekerjaan yang penuh dengan stress (dikenal sebagi faktor yang
berperan pada timbulnya hipertensi dan ulcus lambung).
 Ada tidaknya “gerak badan” di dalam pekerjaan
 Karena berkerumun dalam satu tempat relative sempit, maka dapat terjadi
proses penularan penyakit antara para pekerja.
 Penyakit karena cacing tambang telah lama diketahui terkait dengan pekerja di
pertambangan.
Penelitian mengenai hubungan jenis pekerjaan dan pola kesakitan banyak
dilakukan di Indonesia terutama terkait pola penyakit kronis, misalnya penyakit
jantung, tekanan darah tinggi, dan kanker.Pengaruh variabel umur dan kelamin
dapat pula diperhitungkan apabila hendak dipelajari hubungan jenis pekerjaaan
dengan suatu penyakit.

e. Penghasilan
Yang sering dilakukan ialah melihat hubungan antara tingkat penghasilan
dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan maupun pencegahan.Sesorang kurang
memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada mungkin karena tidak mempunyai
cukup uang untuk membeli obat, membayar transport, dan sebagainya. Tingkat
penghasilan dapat ditetapkan umpanya dalam dua atau lebih tingkat, seperti yang
digambarkan dalam tabel berikut ini:
Tabel 2
Tingkat penghasilan dan kunjungan untuk pemeriksaan
Berkala bayi di BKIA menurut jumlah anak dalam tanggungan
Keluarga, periode maret 2018

Kunjungan Pemeriksaan Berkala Perbulan

Tingkat penghasilan Anak dalam tanggungan

0 1 2 3 4 5
Dibawah Rp 500.000,-
Antara Rp 500.000 –
Rp 1.000.000,-
Antara Rp 1.000.000 –
Rp 1.500.000
Lebih dari Rp 1.500.000
f. Golongan Etnik
Berbagai golongan etnik dapat berbeda di dalam kebiasan makan, susunan
genetika, gaya hidup, dan sebagainya dengan akibat perbedaan angka kesakitan
dan kematian. Di dalam memperbandingkan angka kesakitan dan kematian suatu
penyakit golongan etnik hendaknya diingat kedua golongan tersebut itu harus
distandarisasikan terlebih dahulu menurut susunan umur dan kelamin ataupun
faktor lainnya yang dianggap mempengaruhi angka kesakitan dqan kematian.
Penelitian pada golongan etnik dapat memberikan keterangan mengenai
pengaruh lingkungan terhadap timbulnya suatu penyakit.Contoh klasik dapat
dilihat pada penelitian angka kesakitan dan kematian kanker lambung.Dalam
penelitian kanker lambung di kalangan penduduk asli di jepang dan keturunan
jepang di Amerika Serikat, ternyata bahwa penyakit ini tidak menjadi kurang
prevalen dikalangan keturunan jepang yang ada di Amerika serikat.Ini
menunjukan bahwa peranan lingkungan penting dalam etilogi kanker lambung.

g. Status Perkawinan
Berbagai penelitian telah menunjukan bahwa hubungan antara angka
kesakitan dan kematian dengan status kawin, tidak kawin, cerai atau janda.Angka
kematian karena penyakit tertentu maupun kematian karena semua sebab yang
makin meninggi dalam urutan tertentu.Dugaan bahwa penyebab angka kematian
lebih tinggi pada yang tidak kawin dibandingkan dengan yang kawin.Karena
orang yang tidak kawin cenderung berperilaku kurang sehat atau lebih sering
berhdapan dengan penyebab penyakit. Perbedaan dalam gaya hidup yang
berhubungan secara kausal dengan penyakit tertentu.

h. Besarnya Keluarga
Di dalam keluarga besar dan miskin, anak dapat menderita karena
penghasilkan keluarga harus digunakan oleh banyak orang. Hubungan antara
besarnya keluarga menurut tingkat penghasilan dan angka kesakitan dapat disusun
dan dipelajari dalam bentuk tabel berikut
Tabel 3
Angka kesakitan penyakit X menurut
Besarnya keluarga dan tingkat penghasilan
Angka kesakitan x menurut tingkat
Besarnya keluarga penghasilan
0 1 2 3
1
2
3

i. Struktur Keluarga
Struktur Keluarga dapat mempunyai pengaruh terhadap kesakitan (seperti
penyakit menular dan penyakit terkait gangguan gizi) dan pemanfaatan pelayanan
kesehatan. Suatu keluarga besar dengan tanggapan secara relative lebih besar
mungkin harus tinggal berdesakan di dalam rumah dengan luas terbatas, sehingga
memudahkan penularan penyakit menular dikalangan anggota keluarga tersebut ,
disamping itu karena persediaan pangan harus digunakan untuk anggota keluarga
yang besar maka jumlah asupan makanan tidak cukup kualitas / nilai gizinya tidak
memadai atau tidak dapat memanfaatkan fasilitas kesehatan yang tersedia dan
berbagai dampak lain.

j. Paritas
Tingkat paritas telah menarik perhatian para peneliti dalam hubungan
kesehatan ibu-anak.Dikatakan, seumpama terdapat kecenderungan kesehatan ibu
yang berparitas rendah lebih baik daripada yang berparitas tinggi.Terdapat
hubungan tingkat paritas dengan penyakit tertentu asma bronkiale, tukak lambung,
stenosis pilorik dan seterusnya.
2. Tempat

Pengetahuan mengenai distribusi geografis suatu penyakit berguna untuk


perencanaan pelayanan kesehatan dan dapat memberikan penjelasaan mengenai
etiologic penyakit, perbandingan pola penyakit sering dilakukan antara:

 Batas daerah pemerintahan. Kota dan pedesaan.


 Daerah atau tempat berdasarkan batas alam (pegunungan, sungai, laut dan
padang pasir).
 Negara dan
 Regional

Pengertian etiologic penyakit, perbandingan menurut batas alam lebih


berguna dari pada menurut batas administerasi pemerintahan dalam upaya
pencegahan dan penanganan penyakit tertentu. Kekhususan pola penyakit di suatu
daerah dikaitkan dengan batas alam ialah: keadaan lingkungan khusus seperti
temperature, kelembapan, turun hujan, ketinggian, keadaan tanah, sumber air dan
lain sebagainya. Pentingnya peranan tempat di dalam mempelajari etiologi suatu
penyakit menular dapat digambarkan dengan jelas penyelidikan suatu wabah migran.
Memperbandingan angka kesakitan dan kematian antar daerah (tempat) perlu
diperhatikan dahulu spesifikasi daerah (tempat) tersebut:

 Susunan umur
 Susunan kelamin
 Kualitas data
 Derajat representative data terhadap penduduk.

Walaupun telah diadakan standarisasi berdasarkan umur dan jenis kelamin,


memperbandingkan pola penyakit antar daerah di Indonesia dengan menggunakan
data dari fasilitas kesehtan, perlu dicermati secara baik, sebab data tersebut, belum
tentu representative dan baik kualitasnya.

Variasi geografis pada kejadian beberapa penyakit atau keadaan lain mungkin
berhubungan dengan satu atau lebih dari beberapa faktor berikut:
 Lingkungan fisis, khemis, biologis, sosial dan ekonomi yang berbeda dari
satu tempat ke tempat lainnya.
 Konstitusi genetis dan etnis penduduk yang berbeda, bervaiasi seperti
karaketristik demografi.
 Variasi kultural dalam kebiasaan, pekerjaan, keluarga, praktek hygiene
perorangan, dan bahkan definis tentang sakit dan sehat.
 Variasi administrative termasuk faktor seperti ketersediaan dan efisiensi
pelayanan medis, program hygiene (sanitasi), dan lainnya.

3. Waktu

Mempelajari hubungan antara waktu dan penyakit merupakan kebutuhan


dasar dalam analisis epidiomologis oleh karena perubahan penyakit menurut waktu
menunjukan perubahan faktor etiologis.

Memperhatikan panjangnya waktu dikaitkan dengan terjadinya perubahan


angka kesakitan, maka dapat dibedkan sebagai berikut:
 Fluktasi jangka pendek, dimana perubahan angka kesakitan berlangsung
beberapa jam, hari, minggu, dan bulan.
 Perubahan secara siklis dimana perubahan angka kesakitan terjadi secara
berulang dengan antara beberapa hari, beberapa bulan (musiman), tahunan,
beberapa tahun, dan perubahan angka keseakitan yang berlangsung dalam
periode waktu panjang, bertahun atau berpuluhan tahun, yang disebut sebagai
“secara trends”.

a. Fluktasi Jangka Pendek


Pola perubahan kesakitan ini dapat terlihat pada epidemic, misalnya
epidemic keracunan makanan (beberapa jam), epidemic influenza (beberapa hari
atau minggu) dan epidemi cacar (beberapa bulan). Fluktasi jangka pendek atau
epidemic ini memberikan petunjuk bahwa penderita terserang penyakit yang sama
dalam waktu bersamaan atau hampir bersamaan dan rerata waktu inkubasi
pendek.
b. Perubahan Siklis
Perubahan secara siklis dapat didapatkan pada keadaan dimana timbul dan
memuncaknya angka kesakitan atau kematian terjadi berulang tiap bulan, tahun,
dan beberapa tahun.Peristiwa ini dapat terjadi baik pada penyakit infeksi maupun
bukan infeksi.Berikut perbedaan kurva frekuensi jangka pendek dan perubahan
siklis.

Timbul atau memuncaknya angka kesakitan atau kematian suatu penyakit


yang ditularkan melalui vector secara siklis berhubungan dengan:
 Ada tidaknya keadaan yang memungkinkan transimis penyakit oleh vector
yang bersangkutan, yakni temperature dan atau kelembapan yang
memungkinkan transmisi.
 Ada tempat perkembangbiakan vector.
 Adanya kerentanan.
 Kegiatan berkala mereka yang rentan dan menjadi sakit terkait “vector-
borne disease”.
 Kemampuan agen infektif untuk menimbulkan penyakit.
 Faktor lain yang belum diketahui.

c. Perubahan Sekuler (Secular Trends)


Perubahan sekuler menunjkan perubahan angka kesakitan atau kematian
suatu penyakit dalam jangka waktu panjang, puluhan dan ratusan tahun.Mengacu
pada jangka waktu yang panjang ini, kesakitan atau kematian harus dinyatakan
didalam bentuk rate karena perubahan dalam jumblah absolut dapat disebabkan
perubahan jumlah penduduk itu sendiri.
Perhatian harus ditunjukan untuk menerangkan perubahan dalam
kecenderungan beberapa keadaan, khususnya kalau perubahan tersebut dapat
digunakan untuk menilai program intervensi. Sebab terkait kemungkinan
kesalahan sebagai berikut:
 Intervensi mungkin mulai dilaksanakan ketika suatu keadaan sudah
menurun frekuensinya.
 Program intervensi itu mungkin bersamaan dengan penurunan fluktasi
sementara.
 Biasanya ada masa laten di antara permulaan pelaksanaan program dan
kecenderungan perubahan.
 Selama permulaan pelaksanaan program, faktor lain mungkin juga
berperan dalam intervensi.
 Perubahan dalam mendiagnosis mungkin mempengaruhi proses penilaian.
 Kesimpulan atau interpretasi bebrapa keadaan dari daerah atau negara
sebagai ukuran kecenderungan keberhasilan atau kegagalan program
interpretasi khusus.

B. Epidemiologi Analitik

Penelitian analitis dilakukan untuk menguji hipotesis mengenai kemungkinan


hubungan kausal yang diduga antara faktor risiko dengan penyakit. Untuk melihat faktor-
faktor/determinan yang mempengaruhi masalah kesehatan yang ada disebut dengan
Epidemiologi Analitik.

Kegiatan pokok dalam epidemiologi Analitik

1. Merumuskan Hipotesa : Merumuskan Hipotesa dari data epidemiologi Deskriptif


2. Menguji Hipotesa: dengan Melakukan Penelitian epidemiologi analitik
3. Menarik kesimpulan: Hubungan sebab-Akibat
Epidemiologi analitik merupakan langkah lanjut dari epidemiologi deskriptif

Unsur pokok hipotesa

Rumusan hipotesa epidemiologi yang baik harus mengandung:

1. Keterangan tentang manusia (Man)


2. Keterangan tentang sebab (Agent)
3. Keterangan tentang akibat (Disease)
4. Keterangan tentang dosis sebab
5. Keteraangan tentang waktu (Time)

Jenis penelitian Epidemiologi analitik

1. Studi observasional
Penelitian dimana peneliti melakukan pengamatan terhadap terjadinya
penyakit pada kelompok penduduk atau individu dari suatu kelompok penduduk
menurut faktor risiko(yang diduga menjadi penyebab) seperti, contoh mereka
yang meroko dibandingkan dengan mereka yang tidak merokok(dalam
mempelajari hubungan kausal antar merokok dan timbulnya kanker paru-paru),
mereka yang telah lama menggunakan tempe dalam makanan dan mereka yang
tidak(dalam mempelajari hubungan kausal antara makan tempe-aflatoxin dan
timbulnya kanker hati), atau antara wanita yang menikah dan yang tidak pernah
melakukan hubungan kelamin(untuk mempelajari faktor hubungan kelamin
dengan Timbulnya kanker mulut rahim), dan sebagainya.

Masalah yang dihadapi dalam mempelajari etiologi penyakit dengan cara


observasi ialah:

 Tidak diketahui "agen" dari berbagai penyakit dan tidak adnya uji
diagnostik menyebabkn kesukaran dalam membedakan siapa yang sakit dn
siapa yang tidak.
 Sifat multifaktorial dari etiologi penyakit terutama penyakit
kronis(dibandingkn dengan penyakit karena infeksi) menimbulkan
kesulitan dalam menentukan faktor mana yang berperan utama dalam
menimbulkan penyakit pada sewaktu waktu dan keadaan.
 Panjangnya waktu laten / waktu inkubasi penyakit menular pada berbagai
penyakit kronis, menimbulkn kesulitan dalam menentukan faktor mana,
yang mendahului faktor yang langsung menimbulkan penyakit.
 Ketidakjelasan waktu timbulnya penyakit menimbulkan kesulitan dalam
mengumpulkan data kasus baru.
 Faktor yang sama dapat memberikan pengaruh yang berbeda pada tiap
tahap perjalanan penyakit. Contohnya penyakit jantung koroner lebih
banyak timbul pada orang kota daripada orang di pedesaan, akan tetapi
sesudah penyakit itu timbul prognosis pada orang kota lebih baik
dibandingkan dengan orang pedesaan, karena di kota lebih mudah
mencapai fasilitas perawatan penyakit tersebut.

Studi observasional antara lain:

a) Penelitian Potong Silang / Cross SectionalStudy

Disebut juga studi prevalensi, karena pengukuran terhadap variabel


pengaruh/statuspenyakit dan terpengaruh/status eksposur (paparan) diukur
pada waktu yang bersamaan pada suatu populasi.

Dalam penelitian potong lintang, peneliti biasanya “memotret”


frekuensi dan karakterpenyakit,serta paparanfaktor penelitian pada suatu
populasi dan pada suatu saat tertentu. Data yang dihasilkan penelitian
potong lintang adalah data prevalensi dan bukan insidensi, artinya,
seorang penderita yang datang berulang-ulang ke rumahsakit akibat suatu
penyakit akan terhitung beberapa kali sesuai dengan jumlah
kedatangannya di rumahsakit untuk periksa. Dengan kata lain, semua
pasien dengan diagnosis yang sama akan dihitung sebagai numerator
tanpa melihat apakah kasus baru atau kasus lama. Salah satu prinsip
utama dari studi cross sectional adalah bahwa studi ini tidak dapat
digunakan untuk menjawab hubungan sebab-akibat. Mengapa demikian?
Oleh karena baik outcome (penyakit) maupun eksposur (faktor risiko)
diukur pada saat yang bersamaan, sehingga tidak dapat diketahui secara
definitif apakah eksposur mendahului outcome atau sebaliknya outcome
mendahului eksposur.

1. Penentuan populasi penelitian


Pertanyaan pertama yang biasanya muncul ketika seseorang ingin
memulai penelitian adalah siapa yang akan dipilih menjadi populasi
penelitian? Dalam studi cross sectional maka populasi penelitian menjadi
sangat penting dan harus spesifik. Sebagai contoh adalah jika ingin
mengetahui angka kejadian pneumia akibat penggunaan alat medik, maka
populasinya ada 2 macam, yaitu (1)penderita yang mengalami pneumonia
dan (2)penderita yang tidak mengalami pneumonia. Dari masing-masing
kelompok tersebut tentu juga akan terdiri dari mereka yang menggunakan
alat medik dan yang tidak menggunakan alat medik.
Dapat juga dibandingkan prevalensi pneumonia akibat penggunaan
alat medik disuatu rumahsakit vs rumahsakit yang lain. Untuk jenis studi
ini dapat juga kita membandingkan risiko terjadinya pneumonia akibat alat
medik pada laki-laki vs wanita.
2. Pengukuran eksposur

Untuk mengukur adanya paparan pada subyek penelitian dapat


dilakukan antara lain dengan menggunakkan kuesioner, catatan medik,
hasil pemeriksaan laboratorium, maupun hasil pemeriksaan fisik.

Salah satu contoh pengukuran eksposur adalah pada kasus flebitis.


Pasien yang dirawat inap di rumahsakit adalah subyek penelitian.
Selanjutnya diamati berapa yang mendapat terapi melalui infus. Di antara
yang mendapat terapi infus, berapa yang kemudian terbukti mengalami
flebitis. Dalam hal ini tentu ada juga pasien-pasien yang mendapat infus
tetapi tidak mengalami flebitis. Kelompok kedua ini dapat digunakan
sebagai pembanding.
3. Pengukuran kejadian penyakit/prevalensi

Pengukuran kejadian penyakit dapat dilakukan dengan


menghitung prevalensi. Terdapat beberapa jenis formula, tergantung
konteksnya. Sebagai contoh, jika tidak disebutkan secara spesifik, maka
biasanya berupa point prevalence, yaitu prevalensi suatu penyakit pada
suatu waktu tertentu. Point prevalence suatu penyakit per 1000 populasi
dihitung dengan formula berikut

𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑎𝑘𝑖𝑡 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑠𝑎𝑎𝑡


𝑥 1000
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑜𝑝𝑢𝑙𝑎𝑠𝑖 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑠𝑎𝑎𝑡 𝑖𝑡𝑢

Numerator di sini adalah jumlah total orang yang sakit pada suatu
saat, tanpa memperhitungkan sejak kapan yang bersangkutan sakit.
Sedangkan denominator adalah jumlah total populasi pada saat itu,
termasuk yang sehat maupun yang sakit.

Berbeda dengan point prevalence maka period prevalence


biasanya menggambarkan angka kejadian penyakit pada suatu populasi
dalam satu periode tertentu, misalnya dalam 1 tahun. Adapun formulanya
adalah sebagai berikut

𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢 𝑦𝑔 𝑠𝑎𝑘𝑖𝑡 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑠𝑎𝑡𝑢 𝑝𝑒𝑟𝑖𝑜𝑑𝑒 𝑤𝑎𝑘𝑡𝑢


𝑥 1000
𝑝𝑜𝑝𝑢𝑙𝑎𝑡𝑖𝑜𝑛 𝑎𝑡 𝑟𝑖𝑠𝑘

Pada period prevalence maka numerator adalah jumlah orang


yang sakit dalam satu periode waktu tertentu, sedangkan denominator
adalah jumlah rata-rata populasi dalam periode waktu tersebut, biasanya
digunakan rata-rata populasi pada awal dan akhir tahun atau jumlah
populasi pada tengah-tengah tahun.

4. Mengukur dan menghitung adanya hubungan antara 2 variabel


Seperti telah diuraikan sebelumnya, keterbatasan dari penelitian
cross sectional adalah tidak dapat digunakan untuk mencari sebab-akibat
antara eksposur dengan penyakit. Yang dapat dilakukan adalah
menghitung/estimasi adanya kemungkinan hubungan atau asosiasi antara
2 variabel. Dalam hal ini maka besarnya risiko terjadinya suatu penyakit
akibat eksposur dinyatakan dengan RR atau relative risk atau risiko
relatif.

Kelebihan cross sectional:


1. Mencari prevalensi (bukan insidensi)
2. Cepat/tidak mahal
3. Tidak ada yang hilang di tengah jalan
4. Hubungan sebab-akibat dapat diteliti
5. Data yang terdapat di rumahsakit dapat digunakan
6. Dapat digunakan untuk membandingkan besarnya risiko kelompok yang terpapar dan
tidak terpapar agen penyakit dan hasilnya untuk memberikan informasi kepada
masyarakat serta berguna untuk menyusun perencanaan pelayanan kesehatan.

Kekurangan cross sectional:

1. Tidak dapat meneliti kualitas


2. Tidak dapat meneliti kasus jarang
3. Tidak dapat digunakan untuk memantau perubahan yang terjadi dengan berjalannya
waktu karena pengamatan pada subjek studi hanya dilakukan satu kali selama
penelitian.
4. Sulit untuk mengadakan ekstrapolasi pada populasi yang lebih besar.
5. Tidak dirancang untuk penelitian analitik
6. Tidak dapat digunakan untuk menentukan sebab-akibat perubahan biokimia dan
fisiologi

b) Penelitian Kasus Kontrol / Case Control Study

Penelitian case control merupakan penelitian jenis analitik


observasional yang dilakukan dengan cara membandingkan antara
kelompok kasus dan kelompok kontrol berdasarkan status paparannya. Hal
tersebut bergerak dari akibat ( penyakit ) ke sebab ( paparan ). Ciri-ciri
dari penelitian case control adalah pemilihan subyek yang didasarkan pada
penyakit yang diderita, kemudian lakukan pengamatan yaitu subyek
mempunyai riwayat terpapar faktor penelitian atau tidak.

Penelitian case control dapat digunakan untuk mencari hubungan


seberapa jauh faktor resiko mempengaruhi terjadinya suatu penyakit.
Penelitian Case Control adalah suatu penelitian analitik yang menyangkut
bagaimana factor risiko dipelajari dengan menggunakan pendekatan
“retrospective”. Case Control dapat dipergunakan untuk mencari
hubungan seberapa jauh factor risiko mempengaruhi terjadinya penyakit.

Desain Case control sering dipergunakan para peneliti karena


dibandingkan dengan kohort, ia lebih murah, lebih cepat memberikan hasil
dan tidak memerlukan sampel yang besar. Bahkan untuk penyakit yang
jarang, case control merupakan satu-satunya penelitian yang mungkin
dilaksanakan untuk mengindentifikasi factor resiko.

Tahap-tahap penelitian case control ini adalah sebagai berikut :

1. Merumuskan pertanyaan penelitian dan hipotesis yang sesuai


Setiap penelitian diawali dengan penetapan pertanyaan
penelitian kemudian disususn hipotesis yang akan diuji validitasnya

2. Mendeskiripsikan variable penelitian: faktor risiko, efek


Intensitas pajanan faktor resiko dapat dinilai dengan cara
mengukur dosis,frekuensi atau lamanya pajanan. Ukuran pajanan
terhadap faktor resiko yang berhubungan dengan frekuensi dapat
besifat :
 Dikotom, yaitu apabila hanya terdapat 2 kategori, misalnya
pernah minum jamu peluntur atau tidak.
 Polikotom, pajanan diukur pada lebih dari 2 tingkat, misalnya
tidak pernah, kadang-kadang,atau sering terpajan.
 Kontiniu, pajanan diukur dalam skala kontinu atau numerik,
misalnya umur dalam tahun, paritas, berat lahir.

Ukuran pajanan yang berhubungan dengan waktu dapat berupa :

 Lamanya pajanan (misalnya jumlah bulan pemakaian AKDR)


dan apakah pajanan itu berlangsung terus menerus.
 Saat mendapat pajanan pertama.
 Bilakah terjadi pajanan terakhir.

Diantara berbagai ukuran tersebut, yang paling sering


digunakan adalah variable independen ( faktor resiko) berskala
nominal dikotom (ya atau tidak) dan variable dependen (efek,
penyakit) berskala nominal dikotom (ya atau tidak ) pula.

Selama mencari informasi tentang pajanan suatu faktor risiko


yang diteliti maka perlu diupayakan sumber informasi yang akurat.

Informasi tersebut dapat diperoleh antara lain :

 Catatan medis rumash sakit, laboratorium patologi anatomi.


 Data dari catatan kantor wilayah kesehatan.
 Kontak dengan subyek penelitian, baik secara langsung,
telepon, atau surat.

Cara apapun yang digunakan, prinsip utamanya adalah pada


kelompok kasus dan control ditanyakan hal-hal yang sama dengan
cara yang sama pula, dan pewawancara sedapat mungkin tidak
mengetahui apakah subyek termasuk dalam kelompok kasus atau
kelompok control. Pengambilan data dari catatan medis sebaiknya
juga secara buta atau tersamar, untu mencegah peneliti mencari data
lebih teliti pada kasus maupun pada control.

Efek atau Outcome

Karena efek/ outcome merupakan hal yang sentral, maka


diagnosis atau penentuan efek harus mendapat perhatian utama. Untuk
penyakit atau kelainan dasar yang diagnosisnya mudah, misalnya
anensefali, penentuan subyek yang telah mengalami atau tidak
mengalami efek sukar. Namun pada banyak penyakit lain sering sulit
diperoleh kriteria klinis yang obyektif untuk diagnosis yang tepat,
sehingga diperlukan cara diagnosis dengan pemeriksaan patologi-
anatomik, dan lain-lain. Meskipun demikian kadang diagnosis masih
sulit terutama pada penyakit yang manifestasinyabergantung pada
stadiumnya. Untuk beberapa penyakit tertentu telah tersedia kriteria
baku untuk diagnosis, namun tidak jarang criteria diagnosis yang telah
baku pun perlu dimodifikasi agar sesuai dengan pertanyaan penelitian

3. Menentukan populasi terjangkau dan sampel (kasus,kontrol), dan cara


untuk pemilihan subyek penelitian.
Kasus
Cara yang terbaik untuk memilih kasus adalah dengan
mengambil secara acak subyek dari populasi yang menderita efek.
Namun dalam praktik hal ini hampir tidak mungkin dilaksanakan,
karena penelitian kasus-kontrol lebih sering dilakukan pada kasus yang
jarang, yang diagnosisnya biasanya ditegakkan dirumah sakit. Mereka
ini dengan sendirinya bukan subyek yang representatif karena tidak
menggambarkan kasus dalam masyarakat. Pasien yang tidak datang ke
rumah sakit. Beberapa hal berikut perlu dipertimbangkan dengan
cermat dalam pemilihan kasus untuk studi kasus-kontrol agar sampel
yang dipergunakan mendekati keadaan dalam populasi.
 Kasus insidens (baru) atau kasus prevalens (baru+lama)
Dalam pemilihan kasus sebaiknya kita memilih kasus
insidens (kasus baru). Kalau kita mengambil kasus prevalens
(kasus lama dan baru) maka untuk penyakit yang masa sakitnya
singkat atau mortalitasnya sangat tinggi, kelompok kasus tidak
menggambarkan kedaan dalam populasi (bias Neyman).
Misalnya, pada penelitian kasus-kontrol untuk mencari faktor-
faktor risiko penyakit jantung bawaan, apabila dipergunakan
kasus prevalens, maka hal ini tidak menggambarkan keadaan
sebenarnya, mengingat sebagian pasien penyakit jantung
bawaan mempunyai angka kematian tertinggi pada periode
neonates atau masa bayi. Dengan demikian pasien yang telah
meninggal tersebut tidak terwakili dalam penelitian.
 Tempat pengumpulan kasus
Bila di suayu daerah terdapat registry kesehatan
masyarakat yang baik dan lengkap, maka pengambilan kasus
sebaiknya dari sumber di masyarakat (population based),
karena kasus yang ingin diteliti tercatat dengan baik.
 Saat diagnosis
Untuk penyakit yang perlu pertolongan segera
(misalnya patah tulang) maka saat ditegakkannya diagnosis
boleh diakatakan sama dengan mula timbulnya penyakit
(onset). Tetapi banyak penyakit yang mula timbulnya perlahan
dan sulit dipastikan denga tepat (contohnya keganasan atau
pelbagai jenis penyakit kronik). Dalam keadaan ini maka pada
saat mengidentifikasikan faktor resiko perlu diyakinkan bahwa
pajanan faktor yang diteliti terjadi sebelum terjadinya efek, dan
bukan terjadi setelah timbulnya efek atau penyakit yang
dipelajari.
 Kontrol
Pemilihan control member masalah yang lebih besar
daripada pemilihan kasus, oleh karena control semata mata
ditentukan oleh peneliti, sehingga sangat terancam bias. Perlu
ditekankan bahwa control harus berasal dari populasi yang
sama dengan kasus, agar risiko yang diteliti.
Ada bebrapa cara untuk memilih control yang baik :
 Memilih kasus dan control dari populasi yang sama
Misalnya kasus adalah semua pasien dalam populasi
tertentu sedangkan control diambil secara acak dari populasi
sisanya. Dapat juga kasus dan control diperoleh dari
populasi yang telah ditentukan sebelumnya yang biasanya
lebih kecil (misalnya dari studi kohort).
 Matching.

Cara kedua untuk mendapatkan control yang baik


ialah dengan cara melakukan matching , yaitu memilih
control dengan karakteristik yang sama dengan kasus
dalam semua variable yang mungkin berperan sebagai
faktor risiko kecuali variable yang diteliti. Bila matching
dilakukan dengan baik, maka berbagai variable yang
mungkin berperan terhadap kejadian penyakit (keculai yang
sedang diteliti) dapt dismakan, sehingga dapat diperoleh
asosiasi yang lebih kuat antara variable yang sedang diteliti
dengan penyakit. Teknik ini mempunyai keuntungan kain,
yakni jumlah subyek yang diperlukan lebih sedikit. Namun
jangan terjadi overmatching, yaitu matching pada variable
yang nilai resiko relative terlalu rendah. Apabila terlalu
dalam mencari subyek kelompok control. Di lain sisi harus
pula dihindarkan undermatching yakni tidak dilakukan
penyertaan terhadap varibel-variabel yang potensial
menjadi peransu (confounder) penting.

Cara lainnya adalah dengan memilih lebih dari satu


kelompok kontrol. Karena sukar mencari kelompok control
yang benar-benar sebanding maka dapat dipilih lebih dari
satu kelompok control.

4. Menetapkan besar sampel


Jumlah subyek yang perlu diteliti untuk memperlihatkan
adanya hubungan antara faktor risiko dengan penyakit perlu ditentukan
sebelum penelitian dimulai. Pada dasarnya untuk penelitian kasus
control jumlah subyek yang diteliti bergantung pada :
 Beberapa frekuensi pajanan faktor risiko pada suatu populasi;
ini penting terutama apabila control diambil dari populasi.
 Rasio odds terkecil yang dianggap bermakna (R).
 Derajat kemaknaan (α ) dan kekuatan (power= 1- β) yang
dipilih.
Biasa dipilih α = 5%, β = 10% atau 20% (power = 90% atau
80%)
 Rasio antara jumlah kasus control. Bila dipilih control lebih
banyak, maka jumlah kasus dapt dikurangi. Bila jumlah control
diambil c kali jumlah kasus, maka jumlah kasus dapt dikurangi
dari n menjadi (c+1)n/2c.
 Apakah pemilihan control dilakukan dengan matching atau
tidak. Diatas telah disebut bahwa dengan melakukan matching
maka jumlah subyek yang diperlukan untuk diteliti menjadi
lebih sedikit.
5. Melakukan Pengukuran
Pengukuran variable efek dan faktor risiko merupakan hal yang
penting dilakukam pada studi kasus-kontrol. Penentuan efek harus
sudah didefenisikan dengan elas dalam usulan penelitian. Pengukuran
faktor risiko atau pajanan yang terjadi pada waktu lampau juga sering
menimbulkan kesulitan.
6. Menganalisis hasil penelitian
Analisis hasil studi kasus-kontrol dapat hanya bersifat
sederhana yaitu penentuan ratio odds, sampai pada yang kompleks
yakni dengan analisis multivariate pada studi kasus control dengan
lebih dari satu faktor resiko. Ini ditentukan oleh apa yang ingin diteliti
bagaimana cara memilih control (matched atau tidak), dan terdapatnya
variable yang menggangu ataupun yang tidak.

Penentuan ratio odds


1. Studi kasus-kontrol tanpa ‘matching’
Pada penelitian kasus-kontrol dimulai dengan mengambil
kelompok kasus (a+c) dan kelompok control (b+d). oleh karena kasus
adalah subyek yang sudah sakit dan control adalah mereka yang tidak
sakit maka tidak dapat dihitung insidens penyakit baik pada kasus maupun
control. Yang dapat dinilai adalah berapa sering terdapat pajanan pada
kasus dibandingkan pada control. Hal inilah yang menjadi alat analisis
pada studi kasus-kontrol, yang disebut ratio odds (RO).

𝑜𝑑𝑑𝑠 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑘𝑒𝑙𝑜𝑚𝑝𝑜𝑘 𝑘𝑎𝑠𝑢𝑠


𝑅𝑂 =
𝑜𝑑𝑑𝑠 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑘𝑒𝑙𝑜𝑚𝑝𝑜𝑘 𝑘𝑜𝑛𝑡𝑟𝑜𝑙

(𝑝𝑟𝑜𝑝𝑜𝑟𝑠𝑖 𝑘𝑎𝑠𝑢𝑠 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑟𝑖𝑠𝑖𝑘𝑜) (𝑝𝑟𝑜𝑝𝑜𝑟𝑠𝑖 𝑘𝑜𝑛𝑡𝑟𝑜𝑙 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑟𝑖𝑠𝑖𝑘𝑜)


𝑅𝑂 = ∶
(𝑝𝑟𝑜𝑝𝑜𝑟𝑠𝑖 𝑘𝑎𝑠𝑢𝑠 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑟𝑖𝑠𝑖𝑘𝑜) (𝑝𝑟𝑜𝑝𝑜𝑟𝑠𝑖 𝑘𝑜𝑛𝑡𝑟𝑜𝑙 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑟𝑖𝑠𝑖𝑘𝑜)

𝑎
(𝑎−𝑐)
: 𝑐/(𝑎 − 𝑐) 𝑎/𝑐
= 𝑏 = = 𝑎𝑑/𝑏𝑐
: 𝑑/(𝑏 + 𝑑) 𝑏/𝑑
𝑏+𝑑
2. Studi kasus-kontrol dengan ‘matching’
Pada studi kasus control dengan matching individual, harus
dilakukan analisis dengan menjadikan kasus dan control sebagai
pasangan-pasangan. Jadi, bila misalnya terdapat 50 kasus yang masing
masing berpasangan dengan tiap subyek dari 50 kontrol, maka kita
lakukan pengelompokan menjadi 50 pasangan sebagai berikut. Hasil
pengamatan studi kasus-kontrol biasanya disusun dalam table 2 x 2
dengan keterangan sebagai berikut :

 Sel a : kasus dan control mengalami pajanan


 Sel b : kasus mengalami pajanan, control tidak
 Sel c : kasus tidak mengalami pajanan, control mengalami
 Sel d : kasus dan control tidak mengalami pajanan
Kontrol
Risiko + Risiko -

KASUS Risiko + A B
Risiko - C D

Rasio adds pada studi kasus control dengan matching ini dihitung
dengan mengabaikan sel a karena baik kasusmaupun control terpajan, dan
sel d, karena baik kasus maupun control tidak terpajan.

Rasio adds dihitung dengan formula :


𝑏
𝑅𝑂 −
𝑐
RO, walaupun tidak sama dengan risiko relative akan tetapi dapat
dipakai sebagai indicator adanya kemungkinan hubungan sebab akibat
antara faktor risiko dan efek. Nilai RO dianggap mendekati risiko relative
apabila :
a. Insiden penyakit yang diteliti kecil, biasanya dianggap tidak lebih
dari 20% populasi terpajan.
b. Kelompok control merupakan kelompok representative dari
populasi dalam hal peluangnya untuk terpajan faktor risiko
c. Kelompok kasus harus representative
Interprestasi nilai RO dengan interval kepercayaannya sama
dengan interperestasi pada penelitian cross-sectional, yakni RO yang > 1
menunjukkan bahwa faktor risiko, bila RO = 1 atau mencakup angka 1
berarti bukan faktor risiko, dan bila kurang dari 1 berarti merupakan faktor
yang melindungi atau protektif.

Contoh Studi Kasus-Kontrol Tanpa ‘Matching’

Masalah : Apakah abortus berhubungan dengan risiko kejadian plasenta


previa pada kehamilan berikutnya ?

Hipotesis : Studi kasus-kontrol, hospital based

Kasus :Wanita melahirkan di RSCM dari 1 Januari 1996 sampai dengan


31 Desember 1999 secara bedah ceasar atas indikasi plasenta previa totalis
yang dibuktikan dengan USG dan klinis pendarahan antepartum.

Kontrol : Wanita yang melahirkan dalam kurun waktu yang sama tanpa
plasenta previa dan dipilih secara acak.

Faktor risiko yang ingin diteliti : Riwayat terdapatnya abortus sebelum


persalinan sekarang.

Pengumpulan data : Dengan wawancara dan pengisian kuesioner diperoleh


data dari 68 kasus dan 68 kontrol.

Analisis data : Meskipun RO lebih dari 1, namun karena interval


kepercayaannya mencakup angka 1, maka simpulannya adalah abortus
tidak mempunyai hubungan dengan terjadinya plasenta previa pada
kehamilan kemudian, atau diperlukan lebih banyak kasus untuk
membuktikannya.

Plasenta previa
ya Tidak jumlah
RIWAYAT
ABORSI Ya 12 9 21
Tidak 56 59 115
Jumlah 68 68 136

Ratio adds = (12x59) / (9x56)=1,4

Internal kepercayaan 95%=0,5 ; 3,6

Bias Dalam Studi Kasus Kontrol

Bias merupakan kesalahan sistematis yang menyebabkan hasil penelitian tidak sesuai
dengan kenyataan. Pada penelitian kasus-kontrol terdapat tiga kelompok bias yang dapat
mempengaruhi hasil, yaitu :

 Bias seleksi
 Bias informasi
 Bias perancu (confounding bias)

Beberapa hal yang dapat menyebabkan bias, di antaranya adalah :

a. Informasi tentang faktor risiko atau faktor perancu (confounding factors) mungkin terlupa
oleh subyek penelitian atau tidak tercatat dalam catatan medik kasus (recall bias).
b. Subyek yang terkena efek (kasus), karena ingin mengetahui penyebab penyakitnya lebih
sering melaporkan faktor risiko dibandingkan dengan subyek yang tidak terkena efek
(kontrol).
c. Peneliti kadang sukar menentukan dengan tepat apakah pajanan suatu agen menyebabkan
penyakit ataukah terdapatnya penyakit menyebabkan subyek lebih terpajan oleh agen.
d. Identifikasi subyek sebagai kasus maupun kontrol yang representatif seringkali sangat
sukar

Kelebihan Rancangan Penelitian Case Control

a. Studi kasus-kontrol dapat, atau kadang bahkan merupakan satu-satunya, cara untuk
meneliti kasus yang jarang atau yang masa latennya panjang.
b. Hasil dapat diperoleh dengan cepat.
c. Biaya yang diperlukan relative murah.
d. Memerlukan subyek penelitian yang lebih sedikit.
e. Dapat digunakan untuk mengidentifikasikan berbagai factor resiko sekaligus dalam satu
penelitian.
Kekurangan Rancangan Penelitian Case Control
a. Data mengenai pajanan terhadap faktor resiko diperoleh dengan mengandalakan daya
ingat atau rekam medis. Daya ingat responden ini menyebabkan terjadinya recall bias,
karena responden yang mengalami efek cenderung lebih mengingat pajanan terhadap
faktor resiko dari pada responden yang tidak mengalami efek. Data sekunder, dalam hal
ini rekam medis yang seringkali dipakai sebagai sumber data juga tidak begitu akurat.
b. Validasi mengenai informasi kadang kadang sukar diperoleh.
c. Oleh karena kasus maupun control dipilih oleh peneliti maka sukar untuk meyakinkan
bahwa kedua kelompok tersebut benar sebanding dalam pelbagai faktor eksternal dan
sumber bias lainnya.
d. Tidak dapat memberikan incidence rates.
e. Tidak dapat diapakai untuk menentukan lebih dari 1 variabel dependen, hanya berkaitan
dengan satu penyakit atau efek.

c) Penelitian Cohort

Jika penelitian case control selalu berawal dari kasus atau penyakit,
maka penelitian cohort bermula dari eksposur. Pada studi kohort,
penelitian dimulai dengan melakukan identifikasi faktor (kausa) terlebih
dahulu, kemudian subjek diikuti secara prospektif selama periode
waktutertentu untuk mencari ada atau tidaknya efek (penyakit) yang
ditimbulkan dari faktor risiko tersebut. Sebagai contoh, ketika kita sedang
membeli bensin akan terlihat banyak anak kecil yang menjajakan koran
dan makanan. Mengingat bahwa di sekitar pom bensin tentu banyak
kandungan timbalnya, maka pertanyaannya adalah apa yang akan terjadi
pada anak-anak tersebut setelah sekian lama terpapar lingkungan pom
bensin yang notabene mengandung banyak timbal.
Atas dasar pertanyaan tersebut kemudian peneliti melakukan
observasi secara prospektif pada anak-anak yang berada di sekitar pom
bensin dan diamati hingga muncul outcome, baik berupa penyakit atau
hanya gejala sakit. Sedangkan kelompok kontrol adalah anak-anak yang
sama sekali tidak terpapar oleh timbal, atau tidak bekerja di sekitar pom
bensin.
Pendekatan penelitian cohort harus banyak memperhitungkan segi
logistik, karena pengamatan pada kelompok eksposur untuk terjadinya
outcome bisa sangat lama dan sering tidak menentu. Dapat dibayangkan
apabila kita mengamati dan melakukan follow up terhadap semua orang
yang merokok dan menunggu hingga timbul outcome berupa Ca pulmo.
Waktu yang diperlukan untuk pengamatan tersebut tentu akan sangat lama,
bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun. Oleh sebab itu jarang sekali orang
melakukan penelitian jenis ini jika kemungkinan terjadinya outcome
sangat lama.
Pada studi kohort juga diperlukan adanya suatu hipotesa penelitian.

RR (Risiko Relatif)

perbandingan antara insidens efek pada kelompok


dengan faktor risiko dengan insidens efek pada
kelompok tanpa faktor risiko

Ciri umum penelitian kohort

a. Pemilihan subjek berdasarkan status paparan.


b. Melakukan pencatatan terhadap perkembangan subyek dalam
kelompok studi amatan.
c. Dimungkinkan penghitungan laju insiden (ID) dan masing-masing
kelompok studi.
d. Peniliti hanya mengamati dan mencatat paparan dan penyakit dan
tidak dengan sengaja mengalokasikan paparan.

Bentuk-bentuk studi kohort


Studi kohor pada dasarnya dapat dibagi dalam dua
kelompok utama yakni kohor prospektif dan kohor
retrospektif (historical cohort study).Di samping itu, dikenal pula
suatu modifikasi studi kohor yakninested case-control study yakni suatu
bentuk pengamatan kohor yang menggunakan analisis bentuk
kasus-kelola(case control study).

1) Kohor prospektif

Bentuk pengamatan ini merupakan bentuk studi kohor


yang murni sesuai dengansifatnya. Pengamatan dimulai pada
saat populasi kohor belum mengalami akibat yang ditelitidan
hanya diketahui kelompok yang terpapar (berisiko) dan yang
tidak terpapar. Bentuk ini adadua macam yaitu (1) kohor
prospektif dengan pembanding internal, di mana kelompok
yangterpapar dan yang tidak terpapar (sebagai kelompok
pembanding atau kontrol) berasal darisatu populasi yang sama;
(2) kohor prospektif dengan pembanding eksternal di
manakelompok terpapar dan kelompok pembanding tidak
berasal dari satu populasi yang sama.
Pada bentuk pertama, populasi kohor dibagi dalam dua
kelompok yakni yang terpapardan yang tidak terpapar sebagai
kelompok pembanding. Kedua kelompok tersebut diikutisecara
prospektif sampai batas waktu penelitian, di mana akan muncul
dari kelompok terpapardua subkelompok yakni subkelompok
yang mengalami akibat/efek (a) dan yang tidakmengalami
akibat (b). Sedangkan dari kelompok yang tidak terpapar akan
muncul juga duasubkelompok yakni yang mengalami akibat (c)
dan yang tidak mengalami akibat (d).Dari hasil pengamatan
kohor tersebut, peneliti dapat menghitung insiden kejadian
darikelompok yang terpapar dan insiden kejadian dari
kelompok yang tidak terpapar dankemudian dapat dihitung;
angka resiko relatif hasil pengamatan.

Pada bentuk pertama, populasi kohor dibagi dalam


dua kelompok yakni yang terpapardan yang tidak terpapar
sebagai kelompok pembanding. Kedua kelompok tersebut
diikutisecara prospektif sampai batas waktu penelitian, di
mana akan muncul dari kelompok terpapardua
subkelompok yakni subkelompok yang mengalami
akibat/efek (a) dan yang tidakmengalami akibat (b).
Sedangkan dari kelompok yang tidak terpapar akan muncul
juga duasubkelompok yakni yang mengalami akibat (c) dan
yang tidak mengalami akibat (d).Dari hasil pengamatan
kohor tersebut, peneliti dapat menghitung insiden kejadian
darikelompok yang terpapar dan insiden kejadian dari
kelompok yang tidak terpapar dankemudian dapat dihitung;
angka resiko relatif hasil pengamatan.Pada bentuk kedua
dari kohor prospektif adalah populasi kohor terdiri dari dua
populasi yangberbeda, dengan satu populasi mengalami
keterpaparan (ada faktor risiko) dan populasi lainnyatanpa
faktor risiko.Bentuk studi kohor dengan pembanding
eksternal ini harus memperhatikan sifat keduapopulasi awal
(populasi yang terpapar dan pembanding) yakni sifat-sifat
populasi di luar faktorketerpaparan atau faktor risiko yang
diteliti. Hasil luaran terjadinya efek yang diamati
padakedua populasi ini, memberikan nilai
rateinsiden populasi yang terpapar danrateinsiden
populasi yang tidak terpapar.

2) Kohor retrospektif
Umumnya studi kohor bersifat prospektif, di mana
peneliti memulai pengamatan denganmengidentifikasi
kelompok dengan faktor risiko (terpapar) dan kelompok tanpa
faktor risiko (tidak terpapar), kemudian diamati akibat yang
diharapkan terjadi sepanjang waktu tertentu.Namun demikian,
studi kohor dapat pula dilakukan dengan menggunakan data
yang telahdikumpulkan pada waktu yang lalu yang tersimpan
dalam arsip atau bentuk penyimpanan datalainnya.Umpamanya
seorang peneliti yang ingin menganalisis faktor-faktor risiko
dari 78 orangpenderita stroke yang berasaldari kelompok
pegawai perusahaan tertentu yang dijumpainyadalam dua tahun
terakhir, dengan menelusuri catatan kesehatan penderita
tersebut sejakbekerja pada perusahan yang dimaksud.Contoh
lain adalah pengamatan terhadap sejumlah pegawai bagian
produksi dari suatu pabrik
semen tertentu yang sedang menderita sejenis penyakit ganggu
an pernapasan. Peneliti mencoba mengamati faktor risiko yang
berhubungan dengan penyakit tersebut denganmenelusuri data
kesehatan dan faktor lingkungan tempatnya bekerja sejak
pegawai tersebutmulai bekerja pada pabrik tadi.Prinsip studi
kohor retrospektif tetap sama dengan kohor biasa, namun pada
bentuk ini,pengamatan dimulai pada saat akibat (efek) sudah
terjadi. Yang terpenting dalam bentuk iniadalah populasi yang
diamati tetap memenuhi syarat populasi kohort dan yang
diamatiadalah
faktor risiko masa lalu yang diperoleh melalui pencatatan data
yang lengkap. Dengan demikian, bentuk penelitian retrospektif
kohor hanya dapat dilakukan bila data tentang faktorrisiko
tercatat dengan baik sejak terjadinya keterpaparan pada
populasi yang sama dengan efekyang ditemukan pada awal
pengamatan

Pada dasarnya keunggulan studi kohor prospektif


dijumpai pula pada kohor retrospektif,namun kohor
retrospektif membutuhkan biaya yang lebih rendah.
Kelemahannya terletak padakualitas pengukuran dan
pencatatan faktor risiko yang telah berlalu sehingga sangat
ditentukanoleh kualitas data yang telah dikumpulkan pada
waktu yang lalu.

3) Nested case control study


Terdapatnya suatu bentuk studi kasus kontrol yang
bersarang (nested) di dalam rancangan penelitian yang bersifat
kohort, nemun data diambil dari studi kohort

FAKTOR EFEK JUMLAH


RISKO YA (+) TIDAK (-)

YA (+) A B A+B

TIDAK (-) C D C+D

Risiko Relatif (RR) = A/A+B : C/C+D

Bila RR : >1 : faktor tersebut adalah faktor risiko

=1 : faktor tersebut bukan faktor risiko

<1 : faktor tersebut adalah faktor protektif

Contoh penellitian kohort:

a. Pengaruh pemberian imunisasi influenza terhadap terjadinya kekambuhan asma bronkiale


(berdasarakan data rekam medik yang lengkap: kohort retrospektif).
b. Pengaruh lgam berat merkuri yang berasal dari tambalan gigi terhadap kejadian penyakit
Alzheimer (kohort ganda).
c. Pengaruh jumlah rokok dan lama merokok terhadap kejadian kanker paru (studi kohort).
d. Pengaruh gen metallothionein pada penderita penyakit Alzheimer (nestes case-control
study).

Langkah-langkah kegiatan pada rancangan kohort

Untuk melaksanakan suatu studi kohor, dianjurkan melakukan persiapan disertai


dengantahapan-tahapan kegiatan yang sistematis untuk memudahkan
pelaksanaannya.
a. Merumuskan pertanyaan penelitian

Langkah awal dari suatu studi kohor adalah merumuskan masalah atau
pertanyaan penelitian yang kemudian akan mengantar peneliti merumuskan hipotesis
penelitian yanglebih tepat/sesuai. Dari formulasi hipotesis tersebut, akan tercermin
berbagai variabelyang menjadi variabel penelitian, baik yang bersifat variabel bebas,
variabel terikat ( d e p e n d e n t ) m a u p u n v a r i a b e l - v a r i a b e l l a i n n ya ya n g
h a r u s m e n j a d i p e r h a t i a n p e n e l i t i , antara lain variabel kendali (kontrol),
variabel pengganggu serta variabel lainnya yangharus dipertimbangkan.

b. Penetapan populasi kohor


Dalam memilih populasi kohor harus diperhatikan beberapa hal
tertentu seperti berikut:
 Populasi kohor sedapat mungkin agak stabil
 Populasi kohor dapat bekerja sama selama penelitian
 Populasi kohor mudah diamati dan mudah terjangkau untukfollow
ups e l a m a p e n e l i t i a n
 Populasi kohor memiliki derajat keterpaparan yang cukup
 Anggota kohor tidak sedang menderita penyakit yarig akan diamati
Dalam hal ini peneliti harus yakin bahwa kelompok kohor dan
kelompok kontrolbetul-betul tidak sedang menderita atau dicurigai sedang
menderita (suspect case) e f e k ya n g a k a n d i t e l i t i . S u b j e k ya n g t e r p i l i h
dari populasi harus memenuhi kriteria pemilihan, meliputi kriteria
i n k l u s i f d a n e k s k l u s i f . Disebut kriteria inklusif adalah karakteristik umum
subjek penelitian pada populasi targetdan populasi kontrol. Sering terdapat
kendala untuk mendapatkan kriteria yang sesuaidengan masalah penelitian
yang telah ditetapkan. Untuk menghadapi hal tersebut dapatdilakukan
penyimpangan ilmiah sampai batas-batas tertentu, tetapi hal ini harus
dijelaskandalam laporan penelitian tentang penyimpangan tersebut yang
merupakan jarak antarai d e a l i s ilmiah dengan kondisi ya n g
dihadapi.Kriteria eksklusif bila dalam memilih subjek penelitian,
s e b a g i a n s u b j e k ya n g t e l a h memenuhi kriteria inklusif, namun harus
dikeluarkan dari pengamatan karena beberapa halantara lain.
 Terdapat keadaan atau penyakit lain pada subjek yang dapat
mengganggu pengukuranmaupun interpretasi hasil penelitian,
umpamanya bila terdapat predisposisi atau faktorgenetis yang dapat
mempengaruhi hasil pengamatan.
 Terdapat keadaan yang dapat mengganggu pelaksanaan studi,
umpamanya mereka yangtidak mempunyai alamat yang tetap sehingga
sulit diamati.
 Adanya hambatan etis, kultur atau kepercayaan individual maupun
masyarakat untukd a p a t b e r p a r t i s i p a s i .
 Kemungkinan subjek yang akan diteliti, akan menolak berpartisipasi.

c. Besarnya sampel
Sebagaimana diketahui bahwa pada hipotesis nol (Ho) biasanya
dinyatakan bahwabesarnya kelompok yang akan menderita penyakit yang
diteliti pada kelompok terpapart i d a k b e r b e d a d e n g a n k e l o m p o k ya n g
t i d a k t e r p a p a r s e h i n g g a n i l a i R i s i k o R e l a t i f n ya menjadi satu (RR = 1).
Sedangkan hipotesis alternant dapat bersifat satu sisi atau dua sisid e n g a n
R R > 1 a t a u R R < 1 a tau tidak sama dengan satu (RR ≠1). Dalam
menentukanbesarnya sampel pada penelitian ini, umumnya pada sebagian
kasus, besarnya RR dan P 2ditentukan terlebih dahulu sedangkan P 1dihitung
dari kedua nilai tersebut. Besarnyas a m p e l untuk pengujian dua
sisi menjadi:

d. Sumber keterangan keterpaparan


Sumber keterangan tentang adanya dan besarnya derajat keterpaparan dapat
diperoleh dariberbagai sumber yang dapat dipercaya kebenarannya.
 Dari status/kartu pemeriksaan kesehatan
berkala dengan berbagai sifat tertentu seperti
tekanan darah, kadar kolesterol, dan lain lain.
 Dari kartu pelayanan kesehatan khusus seperti
k a r t u K B , k a r t u p e n g o b a t a n radiologis dan lain lain.
 Wawancara langsung dengan anggota kohor, terutama tentang kebiasaan sehari
hari sepertimerokok, pola makanan, kebiasaan olah raga dan lain lain.
 Keterangan hasil pemeriksaan Lingkungan (fisik, biologis dan sosial) termasuk
lingkungan kerja, tempat tinggal, dan lain lain.

e. Identifikasi Subjek
Subjek pada pengamatan kohor dapat dengan efek negatif maupun dengan efek
positif.Pada studi kohor prospektif umpamanya, kedua kondisi ini dapat terjadi pada
akhirpengamatan di mana efek positif dan negatif dapat dijumpai baik pada kelompok
terpapar(kelompok target) maupun pada kelompok yang tidak terpapar (kelompok
kontrol). Padapengamatan kohor prospektif dengan kontrol internal, kelompok kontrol
terbentuk secaraalamiah, artinya diambil dari populasi kohor yang tidak terpapar dengan
faktor resiko yangdiamati.Pada bentuk kohor dengan pembanding internal seperti ini,
mempunyai keuntungantersendiri karena: pertama, kedua kelompok (target dan kontrol)
berasal dari populasi yangsama, dan kedua, terhadap kedua kelompok tersebut dapat
dilakukan follow-up dengan tatacara dan waktu yang sama.Dalam pelaksanaannya,
perbedaan adanya faktor risiko pada kelompok target danabsennya pada kelompok
kontrol dapat berupa taktor risiko internal (seperti rentannya kelompok target terhadap
gangguan kesehatan atau penyakit tertentu), dapat pula sebagai faktor risiko eksternal
(umpamanva adanya faktor lingkungan atau perilaku maupun kepercayaan kelompok
tertentu yang dapat mempermudah seseorang terkena penyakit atau gangguan kesehatan
tertentu). Di samping itu, pada kelompok kontrol internal. Perbedaan faktor risiko antara
dua kelompok yang diamati dapat pula hanya berbeda pada intensitas, kualitas, dan waktu
keterpaparan, umpamanya perokok aktif dan mereka yang berada di sekitar perokok aktif
tersebut. Pada penelitian kohor, pemilihan anggota kelompok kontrol biasanya tidak
diperlukanteknik matching (penyesuaian) dengan anggota kelompok target, terutama bila
subjek yang diteliti jumlahnya cukup besar, atau bila proporsi subjek dengan faktor risiko
(kelompok target) jauh lebih besar bila dibanding dengan kelompok kontrol. Namun
dalam beberapa keadaan tertentu, teknik matching perlu dipertimbangkan, misalnya
apabila peneliti ingin mengetahui besarnya pengaruh pemapaparan yang lebih akurat,
pada penelitian dengan besarnya sampelterbatas, atau pada keadaan di mana proporsi
kelompok target lebih kecil bila dibanding dengan kelompok kontrol. Namun demikian,
bila variabel luar cukup banyak ragamnya, teknik matching akan sulit dilakukan, dan
apabila tetap dipaksakan, akan mengakibatkan jumlah subjek akan lebih kecil sehingga
sulit mengambil kesimpulan yang definitif. Untuk penelitan kohor, perlu mendapatkan
perhatian utama dalam menentukan hasilluaran secara standar, apa positif atau negatif
(menderita atau tidak menderita penyakit yang diteliti). Pada penelitian ini kemungkinan
timbulnya negatif palsu cukup besar bila tidakdilakukan standar penentuan diagnosis.

f. memilih kelompok kontrol (pembanding)


Kelompok kontrol dalam penelitian kohor adalah kumpulan subjek yang tidak
mengalamipemaparan atau pemaparannya berbeda dengan kelompok target. Perbedaan
antara kelompoktarget dengan kelompok kontrol dapat dalam beberapa bentuk:
 Pada subjek dengan taktor risiko internal maka kelompok target dengan variabel
taktorrisiko tersebut, sedangkan kelompok kontrol tanpa variabel tersebut pada
populasi yang sama.
 Subjek dengan faktor risiko eksternal yang biasanya berupa variabel lingkungan,
di manakelompok target berada/hidup pada lingkungan tersebut sedangkan
kelompok kontrolbebas dari pengaruh lingkungan bersangkutan.
 Bila keduanya mengandung faktor risiko maka kelompok kontrol dipilih dari
mereka dengan dosis faktor risiko yang lebih sedikit (intensitas, kualitas,
kuantitas, dan waktu pemaparanyang lebih rendah) dibanding kelompok target.
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa pemilihan kelompok kontrol pada
rancangan kohorbiasanya tidak disertai dengan teknik matching. Keadaan tanpa teknik
matching biasanya pada pemilihan kelompok kontrol seperti berikut:
 Penelitian yang melibatkan subjek yang besar.
 Penelitian dalam satu populasi atau sampel yang proporsi kelompok yang terpapar
dengan faktor risiko jauh lebih besar dibanding dengan kelompok tanpa risiko
(kontrol).
Sedangkan yang dianjurkan melakukan teknik matching pada pemilihan kelompok ko
ntrol adalah pada kondisi berikut:
 Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh faktor risiko secara teliti
dan mendalam.
 Penelitian yang subjeknya sangat terbatas jumlahnya.
 Penelitian dengan proporsi subjek yang terpapar jauh lebih kecil.

g. Pengamatan hasil luaran (timbulnya kejadian)


Pengamatan terhadap kedua kelompok (target dan kontrol) dilakukan secara
bersamaan selama jangka waktu tertentu. Lamanya waktu pengamatan prospektif kohor
tergantung pada karakteristik penyakit atau kejadian yang diharapkan timbul, dan hal ini
sangat dipengaruhi oleh sifat patogenesis serta perkembangan penyakit/masalah
kesehatan yang diteliti. Untuk jenis penyakit keganasan, misalnya timbulnya kanker
hati pada kelompok target dengan faktor risiko adanya HBs-Ag positif, diperlukan
periode pengamatan yang cukup lama (dapat sampai puluhan tahun), sedangkan
sebaliknya hubungan antara perokok pasif (asap rokok sebagai faktor risiko) dengan
keadaan kelahiran bayi (BBLR) dari satu proses kehamilan dibutuhkan masa pengamatan
hanya 9 bulan untuk setiap subjek.Pengamatan
terhadap timbulnya akibat, dapat dilakukan dengan hanya pengamatan tunggal yakni
menunggu sampai terjadinya efek sebagai hasil akhir, tetapi dapat pula
denganpengamatan berkala, caranya setiap subjek diamati secara periodik menurut
interval waktutertentu, termasuk pengamatan pada akhir penelitian. Di samping itu, dapat
pula dilakukan analisis perbandingan antara kelompok target dan kelompok kontrol
dengan memperhitungkan unsur waktu sebagai unit analisis sehingga dengan demikian
perbandingannya menggunakan skala rasio. Penentuan hasil akhir yakni penentuan
tentang timbulnya akibat harus dilakukanberdasarkan kriteria baku yang telah disusun
pada awal penelitian. Untuk mengurangi bias,sebaiknya penilaian dilakukan dengan
sistem "blind " di mana penilai tidak mengetahui apakahyang dinilainya adalah kelompok
target atau kelompok kontrol, walaupun hal demikian agaksulit diterapkan.Salah satu
masalah yang sering terjadi pada pengamatan bentuk kohor adalah hilangnyasubjek dari
pengamatan (lost to follow up), terutama pada pengamatan yang membutuhkanwaktu
yang cukup lama. Oleh sebab itu bila sejak awal diketahui bahwa ada subjek yang
akanberpindah tempat, sebaiknya tidak diikutsertakan pada penelitian. Bila subjek dipilih
denganteknik matching, maka setiap subjek yang hilang dari pengamatan, pasangannya
harus dihapuspula dari pengamatan. Apabila jumlah subjek yang hilang dari pengamatan
cukup besar,pengamatan harus dihentikan. Untuk mengantisipasi adanya mereka yang
hilang dari pengamatan, dapat dilakukan perhitungan person years pada akhir
pengamatan.
 Subjek menolak ikut/drop-out selama penelitian, sedangkan kegiatan penelitian
tetapteruskan, dapat dilakukan analisis hasil sebagai berikut :
 Usahakan keterangan tentang keadaan insiden mereka yang drop-
out/menolak ikut.
 Bandingkan sifat karakteristik tertentu mereka yang menolak/drop out
dengan populasikohor.
 Follow upmereka yang menolak dropout melalui sarana lain; dan
 Melakukan pemeriksaan berkala yang lebih sering pada kelompok kohor
untuk menilai kecenderungan penyakit yang diteliti dari waktu ke waktu.

 Perhitungan person yearsdilakukan terutama pada:


 Anggota kohor memasuki kelompok penelitian
t i d a k bersamaan waktunya;
 sejumlah anggota kohor meninggal atau drop-out selama masa penelitian

 Perhitungan hasil akhir pada mereka yang drop out :


 Adakan perhitungan nilairatemaksimal (mereka yang ;droup out
dianggap menderita semua).
 Adakan perhitungan denganrateminimal (mereka yang droup out
dianggap tidak menderita).
 Adakan perhitungan dengan menganggap yangdrop out sama
keadaannya dengan yang tidakdrop out;dan
 Adakan perhitungan dengan menambahkan penyebut
sebesar setengah dari jumlahdrop out.
Follow-up terhadap subjek, baik sebelum, selama, atau setelah
mengalami keterpaparanmerupakan hal yang cukup penting dan sangat
mempengaruhi hasil luaran penelitian kohor. Penentuan dimulainya follow-up
merupakan hal yang penting danberbagai hasil yangdiamati sangat
dipengaruhi oleh waktu awal follow-up tersebut. Hal ini erat
hubungannyadengan awal keterpaparan maupun awal setiap anggota
kelompok memasuki pengamatan. Hal lain yang juga sangat penting dalam
penelitian ini adalah lamanya masa pengamatan.Sebagaimana dikatakan
sebelumnya, bahwa lama pengamatan sangat tergantung pada sifatdan jenis
penyakit yang diamati.

d) Perhitungan hasil penelitian (insiden dan rasio)


Hasil penelitian kohor biasanya dianalisis berdasarkan besarnya
insiden kejadian padaakhir pengamatan terhadap kelompok yang terpapar
dibandingkan dengan kelompokkontrol. Dalam analisis demikian ini, selain
mereka yang tidak terpapar sebagai kelompok kontrol, juga dimungkinkan
membandingkan tingkat keterpaparan yang berbeda antara kelompok target
dengan kelompok kontrol. Hasil perhitungan adalah dengan menentukan
besarnya pengaruh keterpaparan atau hubungan tingkat keterpaparan dengan
hasil luaran(efek).Ukuran yang sering digunakan untuk menilai besarnya
pengaruh taktor keterpaparan terhadap kejadian adalah tingkat risiko
relatif(RR).
a = jumlah yang terpapar dan menderita
b = jumlah yang terpapar dan tidak menderita
c = j u m l a h ya n g t i d a k t e r p a p a r d a n m e n d e r i t a
d = j u m l a h ya n g t i d a k t e r p a p a r d a n t i d a k m e n d e r i t a
a+c = jumlah seluruhnya yang menderita pada akhir pengamatan
b+d = jumlah mereka yang tidak menderita pada akhir pengamatan
a + b = juml ah mereka yang terpapar pada awal pengamatan
c+d = jumlah mereka yang tidak terpapar pada awal pengamatan yang diamati
N = jumlah populasi

Kelebihan studi kohort:

a. Merupakan rancangan terbaik dalm menentukan insidens atau perjalanan penyakit dan
efek yang diteliti.
b. Terbaik dalam menerangkan dinamika hubunga antara faktor risiko dengan efek secara
temporal.
c. Terbaik dalam meneliti kasus yang bersifat fatal dan progresif.
d. Dapat digunakan untuk meneliti beberapa efek sekaligus dari suatu faktor risiko tertentu.
e. Memiliki kekuatan yang handal dalam meneliti berbagai masalah kesehatan karena sifat
pengamatannya yang kontini dan longitudinal.

Kekurangan studi kohort:

a. Memerlukan waktu yang lama


b. Memerlukan sarana dan biaya yang besar
c. Lebih rumit
d. Kurang efisien dalam meneliti kasus yang jarang terjadi
e. Ancaman terjadinya drop-out cukup besar
f. Masalah etika penelitian sering terabaikan

2. Studi eksperimental
Menguji hipotesis bahwa sebuah faktor (determinan), menimbulkan
penyakit adalah jenis penelitian yang dikembangkan untuk mempelajari fenomena
dalam kerangka korelasi sebab-akibat. Studi eksperimen (studi perlakuan atau
intervensi dari situasi penelitian terbagi dalam dua macam yaitu rancangan
eksperimen murni dan quasi eksperimen.
1. Rancangan eksperimen murni
Eksperimen murni adalah suatu bentuk rancangan yang memperlakukan
dan memanipulasi subjek penelitian dengan control secara ketat. Penelitian
eksperimen mempunyai ciri:
b. Ada perlakuan, yaitu memperlakukan variable yang diteliti (memanipulasi suatu
variabel)
c. Ada randominasi, yaitu penunjukan subjek penelitian secara acak untuk
mendapatkan salah satu dari berbagai tingkat factor penelitian.
d. Semua variable terkontrol, eksperimen murni mampu mengontrol hamper semua
pengaruh factor penelitian terhadap variable hasil yang diteliti

2. Quasi eksperimen (Eksperimen semu)

Quasi Eksperimen (eksperimen semu) adalah eksperimen yang dalam


mengontrol situasi penelitian tidak terlalu ketat atau menggunakan rancangan
tertentu dan atau penunjukkan subjek penelitian secara tidak acak untuk
mendapatkan salah satu dari berbagai tingkat faktor penelitian.

Ciri dari quasi eksperimen :


1. Tidak ada randominasi, yaitu penunjukkan subjek penelitian secara tidak acak
untuk mendapatkan salah satu dari berbagai tingkat faktor penelitian. Hal ini
disebabkan karena ketika pengalokasian faktor penelitian kepada subjek penelitian
tidak mungkin,tidak etis, atau tidak praktis menggunakan randominasi.
2. Tidak semua variabel terkontrol, karena terkait dengan pengalokasian faktor
penelitiankepada subjek penelitian tidak mungkin, tidak etis, atau tidak praktis
menggunakan randominasi sehinggasulit mengontrol variabel secara ketat.

Metode yang digunakan dalam penentuan individuuntuk masuk kedalam


kelompok eksperimen dan kontrol ditentukan melalui cara randomisasi.Garis
besar langkah randomisasi sebagai berikut:

1. Tentukan populasi dimana eksperimen akan dilakukan

2.Pilihlah anggota yang akan ikut dalam eksperimen, apabila populasi cukup
homogen, Maka pemilihan anggota untuk masuk kedalam kelompok studi dan
kelompok kontrol dilakukan dengan tabel angka random. apabila tidak homogen,
maka populasi dibagi dahulu di dlm beberpa segmen yang homogen dan
selanjutnya penentuan kelompok studi dan kelompok kontrol diakukan sama
seperti Populasi homogen.

Setelah pemilihan kelompok studi dan kelompok kontrol selesai, langkah


selanjutnya adalah melakukan intevensi pada kelompok studi ( mengubah
hubungan antara kelompok studi dengan faktor Yang diduga sebagai determinan
penyakit). Observasi kemudian dilakukan untuk menentukan samai berapa jauh
perubahan tersebut mengakibatkan perubahan didalam timbulnya kesakitan

Referensi :
Gordis, Leon. 2004.“Epidemiology ”. Philadelphia : Elsevier Saunders
Budiarto, Eko. 2003.“ Metodologi Penelitian Kedokteran”. Jakarta : Penerbit EGC
Sastroasmoro, Sudigdo dkk. 1995.“Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis”. Jakarta :
Binarupa Aksara
Noor, Nur Nasry. 2000.“Pengantar Epidemiologi ”. Makassar : Fakultas Kesehatan Masyarakat,
Universitas Hasanuddin
Armi Candra Makalah Metodologi Penelitian Cross Sectional.
http://www.academia.edu/11847821/MAKALAH_METODOLOGI_PENELITIAN_CROSS_SE
CTIONAL. Diakses pada tanggal 3 Mei 2019 pukul 08:19
Atmaja,Trianingsih.2015. Catatan Kuliah.www.academia.edu/28652094/ catatan_kuliah.
Diakses 2 mei 2019
H.Narakwureh.2015.penelitianepidemiologianalitik.www.academia.edu/28948557/penelitian_epi
demiologi_analitik.diakses 2 mei 2019

Anda mungkin juga menyukai