Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

HUTANG PIUTANG, SULHU, DAN HILAWAH


Diajukan Guna Memenuhi Tugas Mata kuliah Fiqih
Pada Program Studi Pendidikan Agama Islam
Dosen Pengampu: Drs. Sulaiman Hasan, M.A.

Disusun oleh: Kelompok 5

1. Daningkem NIM: 20.01.0012


2. Ida Purwanti NIM: 20.01.0016
3. Imro’atun Azizah NIM: 20.01.0017
4. Indah Muslimah NIM: 20.01.0018
5. Nandi Anjasmara NIM: 20.01.0025

PROGAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH (STIT)
AL-AMIN INDRAMAYU
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah Swt. Tuhan yang maha Esa. Shalawat
serta salam tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw. Yang telah membawa kita
dari zaman jahiliyah sampai zaman terang-benerang seperti saat ini. Sehingga
kami dapatmenyelesaikan makalah yang berjudul “Hutang Piutang, Sulhu, dan
Hilawah”  tidak kurang dari pada waktu yang telah ditetapkan.

Maksud dan tujuan dari penulisan makalah ini tidaklah lain untuk
memenuhi salah satu dari sekian kewajiban mata kuliah Fiqih, serta merupakan
bentuk tanggung jawab kami pada tugas yang diberikan.
Pada kesempatan ini, kami juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian makalah baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Demikian pengantar yang dapat kami sampaikan. Mohon maaf jika
dalam penulisan dan penyusununnya masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang konstruktif akan senantiasa kami nanti dalam upaya
evaluasi diri.

Indramayu, Mei 2022

Penulis,
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB I.......................................................................................................................4
PENDAHULUAN...................................................................................................4
A. Latar Belakang..............................................................................................4
B. Rumusan Masalah.........................................................................................4
C. Tujuan...........................................................................................................4
BAB II......................................................................................................................5
PEMBAHASAN......................................................................................................5
A. Pengertian Hutang piutang, Sulhu, dan Hiwalah..........................................5
B. Rukun Hutang Piutang, Sulhu dan Hiwalah.................................................7
C. Syarat hutang piutang, sulhu dan hiwalah....................................................8
D. Hukum Hutang Piutang, Sulhu, dan Hiwalah.............................................10
E. Macam-macam hutang piutang, sulhu dan hiwalah....................................14
BAB III..................................................................................................................17
PENUTUP..............................................................................................................17
A. Kesimpulan.................................................................................................17
B. Saran............................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................18
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam mengatur hubungan yang kuat antara akhlak, akidah, ibadah, dan
muamalah. Aspek muamalah merupakan aturan main bagi manusia dalam
menjalankan kehidupan sosial, sekaligus merupakan dasar untuk membangun
sistem perekonomian yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Ajaran muamalah akan
menahan manusia dari menghalalkan segala cara untuk mencari rezeki. Muamalah
mengajarkan manusia memperoleh rezeki dengan cara yang halal dan baik.
Permasalahan tentang hutang sangat banyak, bahkan hutang bisa memutus
hubungan silaturahim bahkan persengketaan diantara manusia, Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam membaca doa: "(Artinya = Ya Allah aku
berlindung kepada-Mu dari bahaya hutang bahaya musuh dan kemenangan para
musuh)" begitu kawatirnya Rasulullah tentang hutang dari pada musuh dan
kemenangan para musuh. Makalah ini akan membahas tentang hutang, yang
bersumber dari hadits-hadits nabi Muhammad SAW. Dalam makalah ini kita akan
mendapat jawaban dari pertanyaan itu semua, semoga makalah ini sesuai dengan
yang kita harapkan dan menambah pahala bagi penulis dan juga para membaca
untuk mengamalkannya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian hutang piutang, Sulhu, dan Hiwalah ?
2. Apa saja rukun, dan syarat Hutang piutang, Sulhu, dan Hiwalah  ?
3. Apa hukum hutang piutang, Sulhu, dan Hiwalah ?

C. Tujuan
Sesuai dengan rumusan masalah diatas, penulisan ini bertujuan untuk
menginformasikan dan menjelaskan tentang proses perencanaan dalam
Manajemen serta menjelaskan rumusan masalah diatas.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hutang piutang, Sulhu, dan Hiwalah.


a) Hutang Piutang
Dalam fiqih Islam, hutang piutang atau pinjam meminjam telah
dikenal dengan istilah Al-Qardh. Makna Al-Qardh secara etimologi ialah
Al-Qath’u yang berarti memotong. Diartikan demikian karena orang yang
memberikan utang memotong sebagian dari hartanya untuk diberikan
kepada yang menerima hutang. Sedangkan secara terminologis, makna Al-
Qardh ialah menyerahkan harta (uang) sebagai bentuk kasih sayang
kepada siapa saja yang akan memanfaatkannya dan akan dikembalikan
berdasarkan kesepakatan yang telah disepakati. Memberikan hutang
merupakan kebajikan yang membawa kemudahan kepada muslim yang
mengalami kesulitan dan membantunya dalam memenuhi kebutuhan.
b) Sulhu
Secara etimonogi, sulh  mengandung pengertian “memutus
pertengkaran atau perselisihan”. Dalam pengertian terminologi, sulh 
diartikan ebagai “suatu jenis akad (perjanjian) untuk mengakhiri
perlawanan (perselisihan), antara dua orang yang berlawanan.” Secara
ْ
ِ ‫ ُع التَّ َر‬I ‫ قَط‬artinya: Memutus
bahasa, kata As- shulhu (  ‫لح‬II‫ ) الص‬Berarti ‫اع‬
pertengkaran / perselisihan.
Secara istilah (Syara’) ulama mendefinisikan shulhu sebagai berikut:
1. Menurut Taqiy al- Din Abu Bakar Ibnu Muhammad al- Husaini
ْ‫الع ْق ُدالَّذِى‬
َ ‫ْن‬ِ ‫َي ْن َقطِ ُع ِب ِه ُخص ُْو َم ُة ال ُم َت َخاصِ َمي‬
“ Akad yang memutuskan perselisihan dua pihak yang bertengkar
(berselisih)”.

2. Hasby Ash- Siddiqie dalam bukunya Pengantar Fiqih Muamalah


berpendapat bahwa yang dimaksud As- Shulh adalah:

ِ َ‫ق َعلَى َما يَرْ تَفِ ُع بِ ِه النِّز‬


‫اع‬ ِّ ‫َاز عَا ِن فِي َح‬ ُ ِ‫َع ْق ُد يَتَّف‬
ِ ‫ق فِ ْي ِه ال ُمتَن‬
“Akad yang disepakati  dua orang yang bertengkar dalam hak
untuk melaksanakan sesuatu, dengan akad itu dapat hilang
perselisihan”.

3. Sayyid Sabiq berpendapat bahwa yang dimaksud dengan As-


Shulhu  adalah suatu jenis akad untuk mengakhiri perlawanan
antara dua orang yang berlawanan.

Dari beberapa definisi di atas maka dapat di simpulkan bahwa


“Shulhu adalah suatu usaha untuk mendamaikan dua pihak yang
berselisihan, bertengkar, saling dendam, dan bermusuhan dalam
mempertahankan hak, dengan usaha tersebut dapat di harapkan akan
berakhir perselisihan”. Dengan kata lain, sebagai mana yang di ungkapkan
oleh Wahbah Zulhaily shulhu adalah ”Akad untuk mengakhiri semua
bentuk pertengkaran atau perselisihan.

c) Hilawah

Hiwalah menurut bahasa artinya berpindah, sedangkan Syara’


maksudnya ialah pindahnya / pengalihan tanggung jawab membayar
hutang dari seseorang kepeda orang lain.
Kewajiban membayar hutang segera mungkin sangat ditegaskan dalam
agama sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
‫ع‬II‫ واذااتب‬,‫نى ظلم‬II‫ مطل الغ‬: ‫قال رسول هللا صلى هللا علىه وسلم‬:‫عن ابى هريرة رضى هللا عنه قال‬
‫دكم على ملىء فليتبع‬IIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIII‫اح‬
Artinya : Dari Abu Hurairah RA berkata : Rasulullah SAW bersabda :
penahanan orang yang kaya adalah suatu kedzaliman, dan jika diikutkan
seorang dari kamu pada yang kaya, maka ia harus menerima penyerahan
itu. (HR Bukhari & Muslim )

‫ه‬II‫وفى علي‬II‫عن ابى هريرة رضى هللا عنه ان رسول هللا صلى هللا علىه وسلم كان يؤتى بالرجل المت‬
‫لواعلى‬II‫ ص‬: ‫ال‬II‫ واال ق‬,‫ه‬II‫لى علي‬II‫اء ص‬II‫رك وف‬II‫ه ت‬II‫دث ان‬II‫هل لدينه من قضاء ؟ فان ح‬: ‫ فيسأل‬,‫الدين‬
‫لى‬I‫ه دين فص‬I‫ فمن توفى فعلي‬,‫ انا اولى بالمؤمنين من انفسهم‬: ‫ فل ّم فتح هللا عليه الفتوح قال‬,‫صاحبكم‬
‫اؤه‬IIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIII‫قض‬
 Artinya : Dari Abu Hurairah RA sesungguhnya Rasulullah SAW bila
didatangkan kepadanya jenazah orang yang menanggung hutang, beliau
bertanya : apakah ia meninggalkan sesuatu untuk membayarnya? kalau
dikatakan bahwa ia meninggalkan sesuatu untuk membayar hutangnya,
maka beliau shalat untuknya, tetapi bila tidak, beliau bersabda :
shalatkanlah sahabatmu itu!, tetapi setelah Allah memberi beberapa
kemenangan kepadanya, beliau bersabda: “aku lebih dekat kepada orang
mukmin dari pada mereka, maka barang siapa meninggal dunia dan
meninggalkan hutang maka aku tanggung membayarkannya. (HR Bukhari
dan Muslim.)

B. Rukun Hutang Piutang, Sulhu dan Hiwalah


a) Rukun Hutang piutang.
1. Muqridh (yang memberikan pinjaman).
2. Muqtaridh (peminjam).
3. Qardh (barang yang dipinjamkan)
4. Ijab qabul
Sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam akad qardh
adalah:
a. Orang yang melakukan akad harus baligh, dan berakal.
b. Qardh harus berupa harta yang menurut syara’ boleh
digunakan/dikonsumsi.
c. Ijab qabul harus dilakukan dengan jelas
b)  Rukun Sulhu
1. Mhusalih, yaitu dua belah pihak yang melakukan akad sulhu untuk
mengakhiri pertengkaran atau perselisihan.
2. Mushalih ‘anhu, yaitu persoalan yang diperselisihkan
3. Mushalih bih, yaitu sesuatu yang dilakukan oleh salah satu pihak
terhadap lawannya untuk memutuskan perselisihan. Hal ini disebut
dengan istilah  badal As-Shulh
4. Shigat ijab kabul yang masing-masing dilakukan oleh dua pihak yang
berdamai. Seperti ucapan “aku bayar utangku kepadamu yang
berjumlah lima puluh ribu dengan seratus ribu (ucapan pihak
pertama)”. Kemudian, pihak kedua menjawab “saya terima”.

Jika telah di ikrarkan maka konsekuensinya kedua belah pihak


harus melaksanakannya. Masing-masing pihak tidak dibenarkan untuk
mengundurkan diri dengan jalan memfasaknya kecuali di sepakati oleh
kedua belah pihak.

c) Rukun Hiwalah
Menurut mazhab Hanafi, rukun hiwalah hanya ijab (pernyataan
melakukan hiwalah) dari pihak pertama, dan qabul (penyataan menerima
hiwalah) dari pihak kedua dan pihak ketiga. Menurut mazhab Maliki,
Syafi’i dan Hambali rukun hiwalah ada enam yaitu:
1. Pihak pertama, muhil (‫)المحيل‬: Yakni orang yang berhutang dan
sekaligus berpiutang,
2. Pihak kedua, muhal atau muhtal (‫ال‬III‫ال او المحت‬III‫)المح‬: Yakni orang
berpiutang kepada muhil.
3. Pihak ketiga muhal ‘alaih (‫)المحال عليه‬: Yakni orang yang berhutang
kepada muhil dan wajib membayar hutang kepada    muhtal.
4. Ada hutang  pihak pertama pada pihak kedua, muhal bih (‫)المحال به‬:
Yakni hutang muhil kepada muhtal.
5. Ada hutang pihak ketiga kepada pihak pertama Utang muhal ‘alaih
kepada muhil.
6. Ada sighoh (pernyataan hiwalah).

C. Syarat hutang piutang, sulhu dan hiwalah


a) Syarat Hutang Piutang
1. Syarat bagi pemberi hutang yaitu: Merdeka, baligh, berakal, sehat, dan
pandai.
2. Syarat bagi penghutang, Menurut Syafi’i yaitu: Merdeka, baligh,
berakal, sehat, dan pandai.
Menurut Hanabilah yaitu: penghutang mampu menanggung karena
hutang tidak ada kecuali dalam tanggungan.
3. Syarat harta tidak sah kalau hutang berupa manfaat atau jasa, menurut
hanafiyah dan hanabilah.
b)  Syarat Sulhu
1. Syarat yang berhubungan dengan Musahlih ( orang yang berdamai)
yaitu: Disyaratkan mereka adalah orang yang tindakannya di nyatakan
sah secara hukum. Jika tidak seperti anak kecil dan orang gila maka
tidak sah.
2. Syarat yang berhubungan dengan Musahlih bih.
a. Berbentuk harta yang dapat di nilai, diserah-terimakan, dan
berguna.
b. Di ketahui secara jelas sehingga tidak ada kesamaran yang dapat
menimbulkan perselisihan.
3. Syarat yang berhubungan dengan Mushalih ‘anhu yaitu: Sesuatu yang
di perkirakan termasuk hak manusia yang boleh diiwadkan (diganti).
Jika berkaitan dengan hak- hak Allah maka tidak dapat bershulhu.

c) Syarat Hiwalah
Hiwalah dapat dipandang sah jika memenuhi syarat berikut:

1. Para pihak yang terlibat dalam hiwalah (muhil, muhal, dan muhal
alaih) memiliki kecakapan melakukan tindakan hukum (baligh,
berakal, dan rusyd).
2. Utang piutang yang akan dialihkan jumlahnya harus jelas.
3. Utang piutang dipastikan sudah terjadi dengan adanya bukti antara
muhil dan muhal.
4. Pengalihan utang piutang disepakati oleh pihak-pihak yang terlibat.
5. Harus ada kesamaan antara jenis maupun kadarnya serta waktu jatuh
tempo pembayarannya.

D. Hukum Hutang Piutang, Sulhu, dan Hiwalah


a) Hutang Piutang
Hukum Hutang piutang pada asalnya diperbolehkan dalam syariat Islam.
Bahkan orang yang memberikan hutang atau pinjaman kepada orang lain
yang sangat membutuhkan adalah hal yang disukai dan dianjurkan, karena
di dalamnya terdapat pahala yang besar. Adapun dalil-dalil
disyari’atkannya Qardh adalah sebagai berikut:
1. Surah Al-Baqarah ayat 245:
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang
baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan
meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda
yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan
kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.”
2. Surah Al-Hadid ayat 11:
“Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik,
Maka Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya,
dan Dia akan memperoleh pahala yang banyak.”
3. Surah Al-Taghabun ayat 17:
“Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya
Allah melipat gandakan balasannya kepadamu dan mengampuni
kamu. Dan Allah Maha Pembalas Jasa lagi Maha Penyantun.”
Ayat-ayat diatas berisi anjuran untuk melakukan Qardh atau
meberikan utang kepada orang lain, dan imbalannya adalah akan
dilipatgandakan oleh Allah SWT.
Nabi SAW juga bersabda : “Setiap muslim yang memberikan
pinjaman kepada sesamanya dua kali, maka dia itu seperti orang yang
bersedekah satu kali.”
Adapun hikmah disyari’atkannya qardh ditinjau dari sisi sang
penerima qardh adalah dapat membantu mengatasi kesulitan yang
sedang dialaminya. Sedangkan ditinjau dari sang pemberi qardh adalah
dapat menumbuhkan rasa kasih sayang dan tolong menolong sesama
saudaranya dan peka terhadap kesulitan yang dialami oleh saudara,
teman, ataupun tetangganya.
Dari pembahasan di atas, kita telah mengetahui dan memahami
bahwa hukum berhutang atau meminta pinjaman adalah
diperbolehkan, dan bukanlah sesuatu yang dicela atau dibenci.
Namun meskipun demikian, hanya saja Islam menyuruh umatnya
agar menghindari hutang semaksimal mungkin jika ia mampu membeli
dengan tunai atau tidak dalam keadaan kesempitan ekonomi. Karena
hutang, menurut Rasulullah SAW, merupakan penyebab kesedihan di
malam hari dan kehinaan di siang hari. Hutang juga dapat
membahayakan akhlaq, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
“Sesungguhnya seseorang apabila berhutang, maka dia sering berkata
lantas berdusta, dan berjanji lantas memungkiri.” (HR. Bukhari).
Rasulullah SAW pernah menolak menshalatkan jenazah seseorang
yang diketahui masih meninggalkan hutang dan tidak meninggalkan
harta untuk membayarnya. Rasulullah SAW bersabda: “Akan diampuni
orang yang mati syahid semua dosanya, kecuali hutangnya.” (HR.
Muslim).
Dan dari Ibnu Umar R.A bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Barangsiapa meninggal dunia dalam keadaan menanggung hutang
satu Dinar atau satu Dirham, maka dibayarilah (dengan diambilkan)
dari kebaikannya; karena di sana tidak ada lagi Dinar dan tidak
(pula) Dirham.” (HR. Ibnu Majah)
b) Sulhu
1. Surat An-Nisa ayat 128
Perdamaian (al- shulh) disyari’atkan oleh Allah SWT. Sebagaimana
yang tertuang dalam Al- Qur’an:
َ‫اال ُمْؤ ِمنُوْ نَ ِإ ْخ َوةٌ فََأصْ لِحُوْ ابَ ْينَ َأخَ َو ْي ُك ْم َواتَّقُوْ اهللا َلَ َعلَّ ُك ْم تُرْ َح ُموْ ن‬
ْ ‫ِإنَّ َم‬
“Sesungguhnya orang mukmin itu bersaudara, karena itu
damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah
supaya kamu mendapat rahmat” (Qs. Al Hujurat : 10).
“Perdamaian itu lebih baik “(Al- Nisa:128)
Rasulullah SAW Juga menganjurkan untuk melaksanakan
perdamaian dalam salah satu hadis yang di riwayatkan oleh Ibnu
Hibban dan Tirmizi dari Umar Bin Auf Al- Muzanni Rasulullah Saw.
Bersabda:
)‫ص لَحً ا َأ َح َّل َح َرا ًم ا َو َح رَّ َم َحالالً(رواه ابن حب ان‬ ِ ‫الص ْل ُح َج اِئ ٌز َبي َْن الم ُْس لِ َمي‬
َ ‫ْن إآل‬ ُّ
”Mendamaikan dua muslim ( yang berselisih) itu hukumnya boleh
kecuali perdamaina yang mengarah kepada upaya mengharamkan
yang halal dan menghalalkan yang haram”. (HR. Ibnu Hibban dan
Turmudzi).
Contoh menghalalkan yang haram seperti berdamai untuk
menghalalkan riba. Contoh mengharamkan yang halal berdamai untuk
mengharamkan jual beli yang sah.
2. Surat Al-Hujurat ayat 9
Artinya: “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu
berperang hendaklah kamu damaian antara keduanya! tetapi kalau
yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang
melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada
perintah Allah. kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya
menurut keadilan, dn hendaklah kamu berlaku adil; Sesungguhnya
Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.”
3. Surat An-Nisa surat 114
Artinya: “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan
mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia)
memberi sedekah, atau berbuat makruf, atau mengadakan perdamaian
di antara manusia. dan barangsiapa yang berbuat demikian karena
mencari keridaan Allah, Maka kelak Kami memberi kepadanya pahala
yang besar”.
c) Hiwalah
Hiwalah dibolehkan berdasarkan Sunnah dan Ijma’:
1. Hadits
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairoh,
bahwa Rasulullah saw, bersabda:
“Memperlambat pembayaran hukum yang dilakukan oleh orang kaya
merupakan perbuatan zalim. Jika salah seorang kamu dialihkan
kepada orang yang mudah membayar hutang, maka hendaklah ia
beralih(diterima pengalihan tersebut)”. (HR Jama’ah)
Pada hadits ini Rasulullah memerintahkan kepada orang yang
menghutangkan, jika orang yang berhutang menghiwalahkan kepada
orang yang kaya dan berkemampuan, hendaklah ia menerima hiwalah
tersebut, dan hendaklah ia mengikuti (menagih) kepada orang yang
dihiwalahkannya (muhal'alaih), dengan demikian hakknya dapat
terpenuhi (dibayar).
Kebanyakan pengikut mazhab Hambali, Ibnu Jarir, Abu Tsur dan
Az Zahiriyah berpendapat: bahwa hukumnya wajib bagi yang
menghutangkan (da'in) menerima hiwalah, dalam rangka
mengamalkan perintah ini. Sedangkan jumhur ulama berpendapat :
perintah itu bersifat sunnah.
2. Ijma’
Para ulama sepakat membolehkan hawalah. Hawalah dibolehkan pada
hutang yang tidak berbentuk barang/ benda, karena hawalah adalah
perpindahan utang, oleh sebab itu harus pada utang atau kewajiban
finansial.
Selain hukum-hukum diatas seperti berikut:
a) Hendaklah Muhal ‘alaihi (orang yang menerima pindahan utang
mampu untuk   membayarnya.
Rasulullah bersabda: “apabila diminta dipindahkan (utang) salah
seorang diantara kamu sekalian kepada orang yang mampu maka
hendaklah ia mengikutinya.” (Muttafaq ‘alaihi).
b) Apabila hutang itu dipindahkan kepada seseorang, dan ternyata
orang itu muflis (jatuh miskin), atau meninggal dunia, atau ghaib
(tidak ada) dengan ghaib yang jatuh (lama), maka haknya itu
kembali kepada muhil (orang yang memindahkan utangnya
terlebih dahulu).
c) Apabila hutang itu dipindahkan kepada orang lain, lalu orang
tersebut memindahkannya lagi pada orang lain, hal itu dibolehkan,
kerena dipindahkan utang tersebut tidak merugikan, asalkan
terpenuhinya semua syarat-syaratnya.
E. Macam-macam hutang piutang, sulhu dan hiwalah.
a) Hutang Piutang
1. Hutang lacar adalah kewajiban yang harus dilunasi dalam tempo satu
tahun.
2. Hutang jangka panjang adalah kewajiban yang harus dilunasi dalam
jangka waktu lebih dari setahun.
3. Hutang lain-lain adalah untuk mencatat hutang yang tidak termasuk
pada hutang lancar dan hutang jangka panjang. Misalnya: uang
jaminan atau uang yang dipengang oleh pemengang saham.
b) Sulhu
Dijelaskan dalam buku Fiqh, Syafi’iyah oleh Idris Ahmad bahwa al-
shulhu (perdamaian) di bagi menjadi 4 bagian:
a. Perdamaian antara muslimin dengan kafir, yaitu membuat perjanjian
untuk meletakkan senjata dalam masa tertentu, secara bebas atau
dengan jalan mengganti kerugian yang di atur dalam undang-undang
yang di sepakati dua belah pihak.
b. Perdamaian antara kepala negara (Imam/ Khalifah) dengan
pemberontak, yakni membuat perjanjian-perjanjian atau peraturan
mengenai keamanan dalam negara yang harus dia taati, lengkapnya
dapat di lihat dalam pembahasan khusus tentang bughat.
c. Perdamaian antara suami dan istri yaitu membuat perjanjia dan aturan -
aturan pembagian nafkah, masalah durhaka, serta dalam masalah
haknya kepada suaminya manakala terjadi perselisihan.
d. Perdamaian dalam mua’malat, yaitu membentuk perdamain dalam
masalah yang ada kaitannya dalam  perselisihan yang terjadi dalam

masalah muamalat.

Di jelaskan oleh Sayyid Sabiq bahwa al –shulhu (perdamaian) di bagi


menjadi 3 macam. Yaitu:

1. Perdamaian tentang iqrar


2. Perdamaian tentang inkar
3. Perdamaian tentang sukut
 Adapun dilihat dari keabsahannya dibagi menjadi dua:

1. Shulhu Ibra, yaitu melepaskan sebagian dari apa yang menjadi haknya.
Shulhu ibra, ini tidak terkait oleh syarat.
2. Shulhu Muawadah, yaitu berpalingnya satu orang dari haknya kepada
orang lain. Hukum yang berlaku pada sulhu ini adalah hukum jual beli.
c) Hiwalah.
Mazhab Hanafi membagi alhiwalah dalam beberapa bagian, ditinjau dari
segi objek akad.
1. Hiwalah al-haq (pengalihan hutang piutang) yaitu apabila yang
dialihkan itu merupakan hak untuk menuntut pembayar hutang,
2. Hiwalah ad-dain (pengalihan utang) yaitu apabila yang dialihkan
kewajiban untuk membayar hutang.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Hiwalah adalah adalah memindahkan utang dari tanggungan seseorang
kepada tanggungan orang lain . rukun hiwalah yaitu: muhil, muhal, muhal’alaih,
utang muhil kepada muhal, utang muhal’aih kepada muhal, sighat.
Al-sulh dalam bahasa arab yang artinya perdamaian yang bertujuan memutuskan
perselisihan diantara kedua belah pihakyang bersengketa. Perdamaian dapat
dikatakan sah apabila terpenuhi rukun dan syarat –syaratnya yaitu
mushali(masing-masing pihak yang melakukan akad perdamaian.
Hutang piutang sudah menjadi hal yang lumrah, namun dalam nyata alangkah
lebih baiknya bila kita menjalankannya sesuai syariat islam akan memberikan
nilah tambah yang lebih baik seperti, tidak memberatkan pihak peminjam, pahala
yang akan diberikan Allah SWT lebih besar nilainya dibanding dengan pahala
sedekah.

B. Saran
Demikianlah yang dapat saya sampaikan, tentunya banyak kekurangan dan
kelemahan karena terbatasnya pengetahuan. Semoga dapat bermanfaat bagi
pembaca apabila ada saran maupun kritik yang ingin disampaikan pada saya
silahkan sampaikan kepada saya. Apabila ada kesalahan saya mohon maaf dan
dimaklumi, karena saya adalah manusia dan hamba Allah yang tidak luput dari
kekurangan maupun kesalahan.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Jazairi Abu Bakr Jair , 1976, Pedoman hidup Muslim, Jakarta: PT, Pustaka
Lintera Antar  Nusa.

Ash Shiddieqy Teungku Muhammad Hasbi,2001 Pengantar Fiqih Muamalah.


Semarang:   PT Pustaka Rizki Putra.

Dkk, Abdul Rahman Ghazaly, 2008, Fiqih Muamalat, Jakarta: Pranada Media


Group.
Mardani, 2012. Fiqih Ekonomi Syariah. Jakarta: Prenada Media Group.
Sahrani Sohari, Ru’fah Abdullah, 2001.  Fiqih Muamallah, Bogor: Ghalia
Indonesia.
Az-zuhaili Wahbah.2011, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jakarta: Gema Insani.
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, 1997.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Anda mungkin juga menyukai