Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

AKAD HAWALAH

Guna untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqih Ekonomi

Dosen pengampuh : NAZERI.,M.E.Sy

Kelompok 9:

Opa Pernando (200261039)

Yudha Putra Pratama (200261036)

PRODI: EKONOMI SYARI’AH II B

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)

TULANG BAWANG

T.A 2021-2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan rahmat dan
hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah kami yang berjudul “Akad Hawalah”.

Pada makalah ini kami banyak mengambil dari berbagai sumber dan refrensi dan pengarahan
dari berbagai pihak .oleh sebab itu, dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih sebesar-
sebesarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.

Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini sangat jauh dari sempurna, untuk itu
kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna kesempurnaan makalah
ini.

Akhir kata penyusun mengucapkan terima kasih dan semoga makalah ini dapat bermanfaat
untuk semua pihak yang membaca.

Cahyo randu, Juni 2021

Penulis.
DAFTAR ISI

Halaman Judul ............................................................................................................i

Kata Pengantar ..........................................................................................................ii

Daftar Isi ..................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .....................................................................................1


B. Rumusan Masalah ................................................................................1
C. Tujuan ..................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Akad Hawalah ....................................................................2


B. Dasar Hukum Hawalah ........................................................................3
C. Rukun Hawalah ...................................................................................3
D. Syarat Hawalah.....................................................................................4
E. Jenis-jenis Hawalah....................................................................5
F. Unsur Kerelaan dalam Hawalah............................................................6
G. Beban Muhil Setelah Hawalah ....................................................7
H. Penyebab Berakhirnya Hawalah ..................................................7

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ..........................................................................................8
B. Saran........................................................................................8

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................9


BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG MASALAH
Latar belakang
Islam adalah agama yang sempurna. Dengan demikian Islam telah mengatur cara
hidup manusia dengan sistem yang serba lengkap. diantaranya, bermuamalah kepada sesama
manusia . Di antara muamalat  yang telah diterapkan kepada kita ialah Al Hiwalah.
Al Hiwalah merupakan sistem yang unik, yang sesuai untuk diadaptasikan kepada manusia.
Hal ini karena al Hiwalah sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia .
  Al hiwalah sering berlaku dalam permasalahan hutang piutang. Maka salah satu cara untuk
menyelesaikan masalah  hutang piutang dalam muamalah adalah al hiwalah.
Al Hiwalah bukan saja digunakan untuk menyelesaikan masalah hutang piutang,akan tetapi
bisa juga digunakan  sebagai pemindah dana dari individu kepada individu yang lain atau
syarikat dan firma. sebagai mana telah digunakan oleh sebagian sistem perbankan.
Dalam hal ini penulis berkesempatan untuk mengkaji tentang al Hiwalah.yang berkaitan
dengan  definisi, dalil yang berkaitan, rukun dan syarat. Penulis juga akan membicarakan
mengenai al Hiwalah di dalam sistem perbankan dan hal lain yang berkaitan dengan hiwalah.

B.     RUMUSAN MASALAH


1.      Apa itu hawalah?
2.      Apa dasar hukum hawalah?
3.      bagaimana rukun hawalah?
4.      Apa saja syarat wakalah?
5.      Apa saja jenis-jenis hawalah?
6.      Bagaimana unsur kerelaan dalam hawalah?
7.      Bagaimana beban muhil setelah hawalah?
8.      Apa yang menjadi penyebab berakhirnya hawalah?

C.    TUJUAN
Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan makalah ini adalah untuk menjelaskan
rumusan masalah diatas secara mendalam.
BAB II
PEMBAHASAN
1.      PENGERTIAN HAWALAH
Secara bahasa pengalihan hutang dalam hukum islam disebut sebagai hiwalah yang
mempunyai arti lain yaitu Al-intiqal dan Al-tahwil, artinya adalah memindahkan dan
mengalihkan.
Penjelasan yang dimaksud adalah memindahkan hutang dari tanggungan muhil (orang yang
berhutang) menjadi tanggungan muhal'alaih (orang yang melakukan pembayaran hutang).
Sedangkan pengertian Hiwalah secara istilah, para Ulama’ berbeda-beda dalam
mendefinisikannya, antara lain sebagai berikut:
Menurut Hanafi, yang dimaksud hiwalah

‫نقل المطا لبة من دمة المديون إلى دمة الملتزم‬


“Memidahkan tagihan dari tanggung jawab yang berutang kepada yang lain yang punya
tanggung jawab pula”.

 Al-jaziri berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Hiwalah adalah:

‫نقل الدين من دمة إلى دمة‬

“Pemindahan utang dari tanggung jawab seseorang menjadi tanggung jawab orang lain”.

Syihab al-din al-qalyubi bahwa yang dimaksud dengan Hiwalah adalah:

‫عقد يقتضى انتقال دين من دمة إلى دمة‬

“Akad yang menetapkan pemindahan beban utang dari seseorang kepada yang lain”.

Jadi, Al-Hawalah adalah pengalihan utang dari orang yang berutang kepada orang lain yang
berutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Dalm istilah para ulama, hali ini
merupakan pemindahan beban utang dari muhil (orang yang berutang) menjadi tanggungan
muhal ‘alaih atau orang yang berkewajiban membayar utang.
Secara sederhana, hal itu dapat dijelaskan bahwa A (muhal) memberi pinjaman kepada B
(muhil), sedangkan B masih mempunyai piutang pada C (muhal ‘alaih). Begitu B tidak
mampu membayar utangnya pada A, ia lalu mengalihkan beban utangnya pada C. Dengan
demikian, C yang harus membayar utang B kepada A, sedangkan utang C sebelumnya pada B
dianggap selesai.

2.      DASAR HUKUM HAWALAH


Hawalah dibolehkan berdasarkan Sunnah dan ijma.
a.    Hadits
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah pernah
bersabda,

‫م َعلَى َملِ ِّى فَ ْلىَ ْتبَ ْع‬Hْ ‫َم ْط ُل ا ْل َغنِ ِّى ظُ ْل ٌم فَاِ َذا أُ ْتبِ َع أَ َح ُد ُك‬
“menunda pembayaran bagi orang yang sudah mampu adalah suatu kezaliman. Dan jika
salah seorang dari kamu diikutkan (di-hawalah-kan) kepada orang yang mampu/kaya,
terimalah hawalah itu.”

Pada hadits tersebut, rasulullah  memberitahukan kepada orang ayng mengutangkan, jika
orang yang berutang menghawalahkan kepada orang yang kaya atau mampu, hendaklah ia
menerima hawalah tersebut dan hendaklah iamenagih pada orang yang dihawalahkan (muhal
‘alaih). Dengan demikian, haknya dapat terpenuhi.
Sebagian ulam berpendapat bahwa perintah untuk menerima Hawalah dalam hadits tersebut
menunjukkan wajib. Oleh sebab itu, wajib bagi yang mengutangkan (muhal) menerima
hawalah. Adapun mayoritas ulam berpendapat bahwa perintah itu menunjukkan Sunnah. Jadi,
Sunnah hukumnya menerima hawalah bagi muhal.
b.    Ijma
Ulama sepakat membolehkan hawalah. Hawalah di bolehkan pada utang yang tidak
berbentuk barang/benda karena hawalah adalah perpindahan utang. Oleh sebab itu, harus
pada uang atau kewajiban finansial.

3.      RUKUN HAWALAH


Menurut mazhab Hanafi, rukun hiwalah hanya ijab (pernyataan melakukan hiwalah) dari
pihak pertama, dan qabul (penyataan menerima hiwalah) dari pihak kedua dan pihak ketiga.
Menurut mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali rukun hiwalah ada enam yaitu:
1.      Pihak pertama, muhil (‫)المحيل‬:
Yakni orang yang berhutang dan sekaligus berpiutang,
2.      Pihak kedua, muhal atau muhtal (‫)المحال او المحتال‬:
Yakni orang berpiutang kepada muhil.
3.      Pihak ketiga muhal ‘alaih (‫)المحال عليه‬:
Yakni orang yang berhutang kepada muhil dan wajib membayar hutang kepada muhtal.
4.      Ada hutang  pihak pertama pada pihak kedua, muhal bih (‫)المحال به‬:
Yakni hutang muhil kepada muhtal.
5.      Ada hutang pihak ketiga kepada pihak pertama
Utang muhal ‘alaih kepada muhil.
6.      Ada sighoh (pernyataan hiwalah).

4.      SYARAT HAWALAH


Syarat-syarat yang diperlukan pihak pertama (al-muhil) adalah :
1.                   Cakap melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad, yaitu baligh dan berakal.
Khiwalah tidak sah bila dilakukan anak-anak meskipun ia sudah mengerti (mumayyiz),
ataupun dilakukan oleh orang gila.
2.                   Ada pernyataan persetujuan atau rida. Jika pihak pertama dipaksa untuk melakukan
khiwalah maka akad itu tidak sah. Adapun persyaratan ini berdasarkan pertimbangan bahwa
sebagian orang merasa keberatan dan terhina harga dirinya, jika kewajibannya untuk
membayar utang dialihkan kepada pihak lain.
Syarat-syarat yang diperlukan oleh pihak kedua (al-muhal) sebagai berikut :
1.  Cakap melakukan tindakan hukum, yaitu baligh dan berakal sebagaimana pihak pertama.
2.  Ada persetujuan pihak kedua terhadap pihak pertama yang melakukan khiwalah.
Persyaratan ini berdasarkan pertimbangan bahwa kebiasaan orang dalam membayar utang
berbeda-beda, ada yang mudah dan ada juga yang sulit membayarnya, sedangkan menerima
pelunasan utang itu merupakan hak pihak kedua.
Syarat-syarat yang diperlukan oleh pihak ketiga (al-muhal ‘alaih) adalah :
1. Cakap melakukan tindakan hukum, yaitu baligh dan berakal sebagaimana pihak pertama
dan kedua.
2. Adanya pernyataan persetujuan dari pihak ketiga (al-muhal ‘alaih). Hal ini diharuskan
karena tindakan khiwalah merupakan tindakan hukum yang melahirkan pemindahan
kewajiban kepada pihak ketuga (al-muhal ‘alaih) untuk membayar utang kepada pihak kedua
(al-muhal), sedangkan kewajiban membayar utang baru dapat dibebankan kepadanya, apabila
ia sendiri yang berutang kepada pihak kedua. Atas dasar itu, kewajiban itu hanya dapat
dibebankan kepadanya, jika ia menyetujui akad khiwalah.
3. Imam Abu Hanifah menambahkan syarat bahwa qabul atau pernyataan menerima akad
harus dilakukan dengan sempurna oleh pihak ketiga didalam suatu majelis akad.
Syarat-syarat yang diperlukan terhadap utang yang dialihkan (al-muhal bih) adalah :
1. Yang dialihkan itu adalah sesuatu yang sudah dalam bentuk utang piutang yang telah pasti.
2. Pembayaran utang itu mesti sama waktu jatuh tempo pembayarannya. Jika terjadi
perbedaan waktu jatuh tempo pembayaran di antara kedua utang itu, maka khiwalah tidak
sah.
Utang pihak pertama kepada pihak kedua maupun utang pihak ketiga kepada pihak kedua
mestilah sama jumlah dan kualitasnya. Jika antara kedua utang itu terdapat perbedaan jumlah,
misalnya utang dalam bentuk uang, atau perbedaan kualitas misalnya utang dalam bentuk
barang, maka khiwalah itu tidak sah.

5.      JENIS HAWALAH


Mazhab Hanafi membagi hawalah menjadi beberapa bagian. Ditinjau dari segi obyek
akad, hawalah dapat dibagi dua:
a.       Hawalah Haq
Hawalah ini adalah pemindahan piutang dari satu piutang kepada piutang yang lain dalam
bentuk uang bukan dalam bentuk barang. Dalam hal ini yang bertindak sebagai Muhil adalah
pemberi utang dan ia mengalihkan haknya kepada pemberi hutang yang lain sedangkan orang
yang berhutang tidak berubah atau berganti, yang berganti adalah piutang. Ini terjadi jika
piutang A mempunyai hutang kepada piutang B.
b.      Hawalah Dayn
Hawalah ini adalah pemindahan hutang kepada orang lain yang mempunyai hutang
kepadanya. Ini berbeda dari hawalah Haq. Pada hakekatnya hawalah dayn sama
pengertiannya dengan hawalah yang telah diterangkan di depan.
Sedangkan dari sisi lain:
a. Hawalah Muthlaqoh terjadi jika orang yang berhutang (orang pertama) kepada orang lain
( orang kedua) mengalihkan hak penagihannya kepada pihak ketiga tanpa didasari pihak
ketiga ini berhutang kepada orang pertama. Jika A berhutang kepada B dan A mengalihkan
hak penagihan B kepada C, sementara C tidak punya hubungan hutang pituang kepada B,
maka hawalah ini disebut Muthlaqoh. Ini hanya dalam madzhab Hanafi dan Syi’ah
sedangkan jumhur ulama mengklasifikasikan jenis hawalah ini sebagai kafalah.
b.      Hawalah Muqoyyadah terjadi jika Muhil mengalihkan hak penagihan Muhal kepada
Muhal Alaih karena yang terakhir punya hutang kepada Muhal. Inilah hawalah yang boleh
(jaiz) berdasarkan kesepakatan para ulama.
Ketiga madzhab selain madzhab hanafi berpendapat bahwa hanya membolehkan hawalah
muqayyadah dan menyariatkan pada hawalah muqayyadah agar utang muhal kepada muhil
dan utang muhal alaih kepada muhil harus sama, baik sifat maupun jumlahnya. Jika sudah
sama jenis dan jumlahny, maka sahlah hawalahnya. Tetapi jika salah satunya berbeda, maka
hawalah tidak sah.

6.      UNSUR KERELAAN DALAM HAWALAH


a.       Kerelaan Muhal
Mayoritas ulama Hanafiah, Malikiah dan Syafi’iah berpendapat bahwa kerelaan muhal
(orang yang menerima pindahan) adalah hal yang wajib dalam hawalah karena hutang yang
dipindahkan adalah haknya, maka tidak dapat dipindahkan dari tanggungan satu orang
kepada yang lainnya tanpa kerelaannya. Demikian ini karena penyelesaian tanggungan itu
berbeda-beda, bisa mudah, sulit, cepat dan tertunda-tunda.
Hanafilah berpendapat bahwa jika muhal ‘alaih (orang yang berhutang kepada muhil) itu
mampu membayar tanpa menunda-nunda dan tidak membangkang, muhal (orang yang
menerima pindahan) wajib menerima pemindahan itu dan tidak diisyaratkan adanya kerelaan
darinya. Mereka mendasarkan hal ini kepada hadist yang telah diseutkan di atas.
Alasan mayoritas ulama mengenai tidak adanya kewajibanmuhal (orang yang menerima
pindahan) untuk menerima hawalah adalah karena muhal ‘alaih kondisinya berbeda-beda ada
yang mudah membayar dan ada yang menunda-nunda pembayaran. Dengan demikian, jika
muhal ‘alaih mudah dan cepat membayar hutangnya, dapat dikatakan bahwa muhal wajib
menerima hawalah. Namun jika muhal ‘alaih termasuk orang yang sulit dan suka menunda-
nunda memayar hutangnya, semua ulama berpendapat muhal tidak wajib menerima hawalah.
b.      Kerelaan Muhal ‘Alaih
Mayoritas ulama Malikiah, Syafi’iah dan Hanabilah berpendapat bahwa tidak ada syarat
kerelaan muhal ‘alaih, ini berdasarkan hadist yang artinya: jika alah seorang diantara kamu
sekalian dipindahkan hutangnya kepada orang kaya, ikutilah (terimalah). (HR.Bukhari dan
Muslim). Di samping itu, hak ada pada muhil dan ia boleh menerimanya sendiri atau
mewakilkan kepada orang lain.
Hanafiah berpendapat bahwa diisyaratkan adanya kerelaan muhal ‘alaih karena setiap orang
mempunyai sikap yang berbeda dalam menyelesaikan urusan hutang piutangnya, maka ia
tidak wajib dengan sesuatu yang bukan menjadi kewajibannya.
Pendapat yang rajih (valid) adalah tidak disyaratkan adanya kerelaan muhal ‘alaih. Dan
muhal ‘alaih akan membayar hutangnya dengan jumlah yang sama kepada siapa saja dari
keduanya.

7.      BEBAN MUHIL SETELAH HAWALAH


Apabila hawalah berjalan sah, dengan sendirinya tanggung jawab muhil gugur. Andaikata
muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau membantah hawalah atau meninggal dunia, maka
muhal tidak boleh kemali lagi kepada muhil, hal ini adalah pendapat ulama jumhur.
Menurut madzhab Maliki, bila muhil telah menipu muhal, ternyata muhal ‘alaih orang fakir
yang tidak memiliki sesuatu apapun untuk membayar, maka muhal boleh kembali lagi kepada
muhil. Menurut imam Malik, orang yang menghawalahkan hutang kepada orang lain,
kemudian muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia dan ia belum
membayar kewajiban, maka muhal tidak boleh kembali kepada muhil.
Abu Hanifah, Syarih dan Ustman berpendapat bahwa dalam keadaan muhal ‘alaih mengalami
kebangkrutan atau meninggal dunia, maka orang yang menghutangkan (muhal) kembali lagi
kepada muhil untuk menagihnya

8.      BERAKHIRNYA HAWALAH


Akad hawalah akan berakhir oleh hal-hal berikut ini.
1.     Karena dibatalkan atau fasakh. Ini terjadi jika akad hawalah belum dilaksanakan sampai
tahapan akhir lalu difasakh. Dalam keadaan ini hak penagihan dari Muhal akan kembali lagi
kepada Muhil.
2.     Hilangnya hak Muhal Alaih karena meninggal dunia atau bangkrut atau ia mengingkari
adanya akad hawalah sementara Muhal tidak dapat menghadirkan bukti atau saksi.
3.      Jika Muhal alaih telah melaksanakan kewajibannya kepada Muhal. Ini berarti akad hawalah
benar-benar telah dipenuhi oleh semua pihak.
4.      Meninggalnya Muhal sementara Muhal alaih mewarisi harta hawalah karena pewarisan
merupakah salah satu sebab kepemilikan. Jika akad ini hawalah muqoyyadah, maka
berakhirlah sudah akad hawalah itu menurut madzhab Hanafi.
5.      Jika Muhal menghibahkan atau menyedekahkan harta hawalah kepada Muhal Alaih dan ia
menerima hibah tersebut.
6.      Jika Muhal menghapusbukukan kewajiban membayar hutang kepada Muhal Alaih.

BAB IV

PENUTUP

A.    SIMPULAN
Seperti diuraikan diatas, akad hawalah dapat memberikan banyak sekali manfaat dan
keuntungan, diantaranya:
a.    Memungkinkan penyelesaian utang dan piutang dengan cepat dan simultan.
b.    Tersedianya talangan dana untuk hibah bagi yang membutuhkan.
c.    Dapat menjafdi salah satu fee-based income/sumber pendapatan non pembiayaan bagi bank
syariah.
Adapun risiko yang harus diwaspadai dari kontrak hawalah adalah adanya kecurangan
nasabah dengan memberi invoice palsu dan wanprestasi (ingkar janji) untuk memenuhi
kewajiban hawalah ke bank.
Demikianlah makalah tentang Pemindahan utang piutang (Hawalah) yang dapat kami
uraikan, semoga memberikan manfaat bagi kita dan dapat menambah khazanah keilmuan,
khususnya mengenai bahasan dalam Fiqh Mu’amalah.
Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam
tulisan maupun penyusunannya, karena selain kami masih dalam tahap belajar, kami juga
manusia biasa yang tidak akan lepas dari salah dan dosa. Oleh karena itu, kami
mengharapkan kritik dan saran konstruktif pembaca demi perbaikan makalah kami
selanjutmya.
B.     SARAN
Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam
tulisan maupun penyusunannya, karena selain kami masih dalam tahap belajar, kami juga
manusia biasa yang tidak akan lepas dari salah dan dosa. Oleh karena itu, kami
mengharapkan kritik dan saran konstruktif pembaca demi perbaikan makalah kami
selanjutmya
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rahman ghazaly dkk, fiqh muamalat, Jakarta, PRENADA MEDIA, 2010,

Moh Rifai , konsep perbankan syariah, semarang, wicaksana, 2002,


Muhammad syafii Antonio, bank syariah dari teori ke praktek, jakarta, GEMA INSANI,
2001,

http://makalahoke.blogspot.co.id/2013/06/makalah-al-hiwalah.html
http://mindafantastic.blogspot.co.id/2011/09/fiqh-muamalah-hawalah-pemindahan-
utang.html

http://makalahoke.blogspot.co.id/2013/06/makalah-al-hiwalah.html
http://mindafantastic.blogspot.co.id/2011/09/fiqh-muamalah-hawalah-pemindahan-
utang.html

Muhammad syafii Antonio, bank syariah dari teori ke praktek, jakarta, GEMA INSANI,
2001, hlm  126-127
http://mindafantastic.blogspot.co.id/2011/09/fiqh-muamalah-hawalah-pemindahan-
utang.html
Abdul Rahman ghazaly dkk, fiqh muamalat, Jakarta, PRENADA MEDIA, 2010, hlm 255-
257
http://mindafantastic.blogspot.co.id/2011/09/fiqh-muamalah-hawalah-pemindahan-
utang.html
Moh Rifai , konsep perbankan syariah, semarang, wicaksana, 2002, hlm. 88

Anda mungkin juga menyukai