Anda di halaman 1dari 21

WADI’AH

Makalah ini disusun untuk memenuhi


tugas kelompok
Mata Kuliah: Fiqh Muamalah

Disusun Oleh:
Kelompok 12

Alya Ana Tasya 1222046


Satya Tessa Resis Dalela
Abdul Mukisan

Dosen Pengampu:
Basri Na’ali, Lc., M. Ag.

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARI’AH-B


FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SJECH M.DJAMIL DJAMBEK BUKITTINGGI
2023

i
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji dan syukur tim penulis panjatkan kehadirat


Allah Ta’ala. Atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah
yang berjudul Wadi’ah dapat kami selesaikan tepat pada waktunya.
Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata kuliah Fiqh
Muamalah. Selain itu, makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang
bagaimana Pengertian dan hal lainnya mengenai Wadi’ah bagi para
pembaca dan juga bagi penulis. Penulis mengucapkan terima kasih kepada
bapak selaku dosen mata kuliah Fiqh Muamalah.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang
telah membantu menyelesaikan makalah ini. Penulis menyadari bahwa
makalah ini jauh dari kata sempurna dan masih terdapat beberapa
kekurangan, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik
yang membangun dari pembaca untuk penyempurnaan makalah ini.

Bukittinggi, Desember 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATAPENGANTAR.........................................................................ii
DAFTAR ISI.......................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..........................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................1
C. Tujuan Penulisan......................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Wadi’ah .................................................................3
B. Dasar Hukum Wadi’ah.............................................................5
C. Rukun dan Syarat Wadi’ah ......................................................8
D. Jenis-jenis Wadi’ah...................................................................9
E. Hukum Meminta Imbalan dalam Wadi’ah ..............................11
F. Berakhirnya Akad Wadi’ah ......................................................12
G. Wadi’ah dalam Praktek Perbankan Syariah..............................12
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan...............................................................................16
B. Saran.........................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................18

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di antara masalah-masalah yang banyak melibatkan anggota
masyarakat dalam kehidupan sehari-hari adalah masalah muamalah
(akad, transaksi) dalam berbagai bidang. Karena muamalah ini
langsung melibatkan manusia dan masyarakat, maka pedoman dan
tatanannya perlu dipelajari dan diketahui dengan baik, sehingga tidak
terjadi penyimpangan dan pelanggaran yang merusak kehidupan
ekonomi dan hubungan sesama manusia.
Kesadaran bermuamalah hendaknya tertanam lebih dahulu dalam
diri masing-masing, sebelum terjun dalam kegiatan muamalah itu.
Pemahaman agama, pengendalian diri, pengalaman, akhlaqul karimah,
dan pengetahuan tentang seluk beluk muamalah hendaknya dikuasai
sehingga menyatu dalam diri pelaku (pelaksana) muamalah itu.
Dari sekian banyak transaksi atau akad yang ada, di antaranya
adalah akad Al-Wadi’ah secara singkat adalah penitipan, yaitu akad
seseorang kepada orang lain dengan menitipkan suatu benda untuk
dijaganya secara layak (sebagaimana hal-hal kebiasaan).

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan wadi’ah?
2. Apa saja dasar hukum wadi’ah?
3. Apa saja rukun dan syarat wadi’ah?
4. Apa saja jenis-jenis wadi’ah?
5. Bagaimana hukum meminta imbalan dalam wadi’ah?
6. Kapan berakhirnya akad wadi’ah?
7. Bagaimana wadi’ah dalam praktek Perbankan Syariah?

iv
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mendeskripsikan pengertian wadi’ah
2. Untuk memaparkan dasar hukum wadi’ah
3. Untu memaparkan rukun dan syarat wadi’ah
4. Untuk memaparkan jenis-jenis wadi’ah
5. Untuk memaparkan hukum meminta imbalan dalam wadi’ah
6. Untuk memaparkan kapan berakhirnya akad wadi’ah
7. Untuk memaparkan wadi’ah dalam praktek Perbankan Syariah

v
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Wadi'ah
Secara etimologi wadi’ah (‫ الودعة‬berartikan titipan (amanah). Kata
Al-wadi’ah berasal dari kata wada’a (wada’a–yada’u–wad’aan) juga
berarti membiarkan atau meninggalkan sesuatu. Sehingga secara
sederhana wadi’ah adalah sesuatu yang dititipkan.
Dalam literatur fiqh, para ulama berbeda-beda dalam
mendefinisikannya, disebabkan perbedaan mereka dalam beberapa hukum
yang berkenaan dengan wadi’ah tersebut yaitu perbedaan mereka dalam
pemberian upah bagi pihak penerima titipan, transaksi ini dikategorikan
taukil atau sekedar menitip, barang titipan tersebut harus nerupa harta atau
tidak.
Secara terminologi wadi’ah menurut Mazhab Hanafi, Maliki dan
Hanbali. Ada dua definisi wadi’ah yang dikemukakan ulama fiqh:
1. Menurut ulama Hanafiyah, wadi’ah adalah
‫تسليط الغير على حفظ ماله صار حار أو داللة‬
“Mengikutsertakan orang lain dalam memelihara harta, baik
dengan ungkapan yang jelas, melalui tindakan, maupun melalui
isyarat.”
2. Menurut ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah (Jumhur
ulama), wadiah adalah
‫تو كيل في حفظ مملوك على وجه مخصوص‬
“Mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan
cara tertentu.”

Secara harfiah, al-wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni


dari satu pihak ke pihak yang lain, baik individu maupun badan hukum,
yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip
menghendakinya.

vi
Sementara itu menurut Menurut UU No 21 Tentang Perbankan
Syariah yang dimaksud dengan akad wadi’ah adalah Akad penitipan
barang atau uang antara pihak yang mempunyai barang atau uang dan
pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan,
keamanan, serta keutuhan barang atau uang.1
Sebagaimana lazimnya, titipan adalah murni akan tolong
menolong. Di mana dengan alasan tertentu pemilik harta memberikan
amanah kepada orang yang ditutupi untuk menjaga dan memelihara
hartanya. Seseorang yang mempunyai harta atau barang berkeinginan
untuk menyerahkan kepada orang lain tidak untuk dikuasai, akan tetapi
untuk dipelihara karena ada suatu hal. Tidak ada ketentuan alasan kenapa
akad wadiah harus dilakukan. Yang pasti seseorang mempunyai hak penuh
atas harta untuk dititipkan kepada orang lain. Bagi seseorang yang
menerima titipan, bisa menerima dan bisa menolak.
Menurut pendapat yang dianggap paling shahih, dalam wadiah
tidak disyaratkan mengucapkan qabul (kalimat menerima) dari penerima
titipan. Bajunya cukup dengan menerima barang yang dititipkan. Di
samping itu, kedua belah pihak dapat membatalkan akad perjanjian kapan
saja. Penerima titipan boleh mengembalikan barang titipan sewaktu-waktu
dan pihak yang menitipkan bisa mengambil barangnya sewaktu-waktu.
Dengan demikian, dalam akad wadiah, keberadaan orang yang
memiliki harta tidak mempunyai kepentingan apa pun dari harta yang ia
tetapkan kecuali semata-mata agar harta yang dititipkan dapat terjaga
dengan baik. Demikian juga, orang yang dititipi pada dasarnya tidak boleh
melakukan tindakan hukum apa pun terhadap harta titipan kecuali atas izin
orang yang menitipkan. orang yang dititipi hanya menjaga amanah dari
orang yang menitipkan.2

1
Prilia Kurnia Ningsih, Fiqh Muamalah, (Depok: Rajawali Pers, 2021), hlm. 185-186
2
Yazid Afandi, Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Logung Printika, 2009), hlm. 185-186

vii
B. Dasar Hukum Wadi’ah
Ulama menjelaskan bahwa dasar hukum dibolehkannya akad
wadi’ah adalah Al-Qur’an, sunnah, ijma’, dan dalil aqli, antara lain:
1. Q.S Al-Baqarah ayat 283
‫وان كنتم على سفر ولم تجدوا كاتبا فرهان مقبوضة فان أمن بعضكم بعضا فليؤد الذي‬
‫اؤتمن أمانته وليتق هللا ربه وال تكتموا الشها دة ومن يكتمها فإنه اثم قلبه وهللا بما تعلمون‬
‫عليم‬

Artinya: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak


secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis,
maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh
yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai
sebagian yang lain. Maka hendaklah yang dipercayai itu
menunaikan amanahnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi)
menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang
menyembunyikan, maka sesungguhnya Ia adalah orang yang
berdosa hatinya dan Allah maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (Al-Baqarah: 283)
2. Q.S An-Nisa ayat 59
‫إن هللا يأمر كم أن تؤدوا األمانات إلى أهلها وإذا حكمتم بين الناس أن تحكموا بالعدل إن‬
‫هللا نعما يعظكم به إن هللا كان سميعا بصير‬
Artinya: “ Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan
amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu)
apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah
adalah maha mendengar lagi maha melihat.” (Q.S. An-Nisa: 58)3
3. Hadis yang berupa ucapan (qawliyyah) yang diriwayatkan Imam
Abu Daud dan Imam al-Tarmizi bahwa Rasulullah Saw. Bersabda:
“Tunaikanlah amanah kepada pihak yang telah memberikan
amanah (mudi’) kepadamu, janganlah kamu berkhianat terhadap
orang yang mengkhianatimu”
4. Hadis riwayat Imam Muslim, al-Tirmidzi, dan Ibn Majah
dijelaskan bahwa Rasulullah Saw. Bersabda:

3
Fithriana Syarqawie, Fikih Muamalah, (Banjarmasin: IAIN ANTASARI PRESS, 2015), hlm 122

viii
“Siapa saja yang menghilangkan satu kesulitan duniawi yang
dialami Muslim lainnya maka Allah akan menghilangkan
kesulitannya pada hari kiamat; dan Allah akan menolong hamba-
Nya selama yang bersangkutan menolong saudaranya”
5. Hadis yang berupa perbuatan (fi’liyyah) yang diriwayatkan Imam
Baihaqi, yang berbunyi:
“Dari Aisyah r.a. bahwa Rasulullah Saw. Memerintahkan Ali r.a.
untuk tinggal di Makkah dalam rangka menggantikan Nabi untuk
mengembalikan titipan-titipan masyarakat (yang diterima Nabi
Saw.) kepada pemiliknya”.
6. Ulama fikih telah bersepakat (ijma’) tentang bolehnya akad
wadi’ah.
7. Dalil ‘aqli mengenai argumen bolehnya akad wadi’ah adalah
analogi al-i’jarah dan kebolehannya sejalan dengan upaya
mewujudkan kaidah al-dharar yuzal (kemudharatan harus
dihilangkan) karena akad wadi’ah dilakukan oleh mudi’ dalam
rangka menanggulangi kesulitan yang dialaminya.
Akad wadi’ah, dilihat dari segi dalil yang digunakan dan teoretisasi
hakikat wadi’ah, berkaitan dengan konsep amanah karena
penerima yitipan (mudi/mustawdi’) berkedudukan sebagai pihak
yang dipercaya untuk menjelaskan amanah (disebut al-amin).

Penjelasan mengenai amanah dalam konteks akad wadi’ah secara


langsung berhubungan dengan hukum menerima titipan (yang merupakan
bagian dari teori penerapan hukum taklifi). Ulama berbeda pendapat
tentang hukum penerima titipan, diantaranya:4

1. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa hukum menerima titipan


adalah dianjurkan (sunnah/mustahab) karena merupakan bagian
dari tolong-menolong (al-ta’awun/al-i’anah) yang hukumnya

4
Prilia Kurnia Ningsih, Op.,cit, hlm. 187-188

ix
Sunnah (mandub), yang didasarkan pada Al-Qur’an dan hadis Nabi
Muhammad Saw.
2. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa hukum asal (pokok)
menerima titipan adalah boleh (al-ibahah). Akan tetapi, hukum asal
ini dapat berubah karena keadaan berikut:
a. Haram hukumnya menerima titipan apabila penerimanya
(mudi’) tidak memiliki kemampuan untuk menjaganya atau
bahkan menyia-nyiakannya sehingga barang yang
dititipkan dikhawatirkan akan rusak. Di samping itu, haram
pula menerima titipan harta yang diketahui merupakan hasil
kepemilikan yang prosesnya tidak sah secara hukum, baik
dengan cara perampasan yang prosesnya tidak sah secara
hukum, baik dengan cara perampasan (al-ghashb),
pencurian, maupun perjudian, perdukunan, dan pelacuran.

b. Wajib hukumnya menerima titipan apabila penerima titipan


memiliki kemampuan untuk menjaganya dan adanya
kondisi pihak penitip yang akan teraniaya jika hartanya
tidak diterima untuk dititipkan.

3. Sunnah (dianjurkan) hukumnya menerima titipan apabila perbuatan


tersebut diduga akan melahirkan kebaikan.
4. Makruh (tercela) hukumnya menerima titipan apabila perbuatan
tersebut diduga akan melahirkan keburukan.
5. Ijma`
Ulama sepakat diperbolehkannya wadi’ah. Ia termasuk
ibadah Sunnah. Dalam kitab Mubdi disebutkan: “ijma’ dalam
setiap masa memperbolehkan Wadi’ah. Dalam kitab Ishfah
disebutkan: ulama sepakat bahwa wadi’ah termasuk ibadah Sunnah
dan menjaga barang titipan itu mendapatkan pahala.

x
C. Rukun dan Syarat Wadi’ah
Menurut Hanafiyah, rukun wadi’ah hanya satu, yaitu ijab dan
kabul. Sedangkan menurut jumhur ulama, rukun wadi’ah itu ada empat:
1. Barang yang dititipkan (wadi’ah)
2. Orang yang menitipkan (mudi’ atau muwaddi’)
3. Orang yang menerima titipan (muda’ atau mustawda’)
4. Ijab kabul (sighat)

Syarat-syarat wadi’ah berkaitan dengan rukun-rukun yang telah


disebutkan di atas, yaitu syarat benda yang dititipkan, syarat sighat, syarat
orang yang menitipkan dan syarat orang yang dititipi.
Syarat-syarat untuk benda yang dititipkan sebagai berikut:
1. Benda yang dititipkan disyaratkan harus benda yang bisa untuk
disimpan. Apabila benda tersebut tidak bisa disimpan, seperti
burung di udara atau benda yang jatuh ke dalam air, maka wadi’ah
tidak sah sehingga apabila hilang, tidak wajib mengganti. Syarat
ini dikemukakan oleh ulama-ulama Hanafiyah.
2. Syafi’iyah dan Hanabilah mensyaratkan benda yang dititipkan
harus benda yang mempunyai nilai (qimah) dan dipandang sebagai
maal, walaupun najis. Seperti anjing yang bisa dimanfaatkan untuk
berburu, atau menjaga keamanan. Apabila benda tersebut tidak
memiliki nilai, seperti anjing yang tidak ada manfaatnya, maka
wadi’ah tidak sah.

Syarat- Syarat Sighat akad adalah ijab dan kabul. Syarat sighat
adalah ijab harus dinyatakan dengan ucapan atau perbuatan. Ucapan
adakalanya tegas (sharih) dan adakalanya dengan sindiran (kinayah).
Malikiyah menyatakan bahwa lafal dengan kinayah harus disertai dengan
niat.
Syarat-syarat orang yang menitipkan (Al-Mudi’)

xi
1. Berakal, Dengan demikian, tidak sah wadi’ah dari orang gila dan anak
yang belum berakal.
2. Baligh, Syarat ini dikemukakan oleh Syafi’iyah. Dengan demikian
menurut Syafi’iyah, wadi’ah tidak sah apabila dilakukan oleh anak
yang belum balig masih di bawah umur). Tetapi menurut Hanafiyah
balig tidak menjadi syarat wadi’ah sehingga wadi’ah hukumnya sah
apabila dilakukan oleh anak mumayyiz dengan persetujuan dari
walinya atau washiy-nya.
Syarat orang yang dititipi (Al-Muda’)
1. Berakal, tidak sah wadi’ah dari orang gila dan anak yang masih di
bawah umur. Hal ini dikarenakan akibat hukum dari akad ini adalah
kewajiban menjaga harta, sedangkan orang yang tidak berakal tidak
mampu untuk menjaga barang yang dititipkan kepadanya. Baligh,
syarat ini dikemukakan oleh jumhur ulama. Akan tetapi,
2. Hanafiyah tidak menjadikan balig sebagai syarat untuk orang yang
dititipi, melainkan cukup ia sudah mumayyiz.
3. Malikiyah mensyaratkan orang yang dititipi harus orang yang diduga
kuat mampu menjaga barang yang dititipkan kepadanya. 5

D. Jenis-jenis Wadi’ah
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa akad wadiah adalah
akad amanah yang mendasarkan pada aspek tolong menolong. Di dalam
akad tersebut tidak ada keuntungan yang akan diraih. Namun demikian,
dalam prakteknya, dalam penggunaan barang yang ditetapkan tersebut
sangat terkait dengan kesepakatan antara orang yang dititipkan maupun
orang yang dititipi (aqidain). Maka, berdasarkan hal tersebut, wadiah
dibagi menjadi dua:
1. Wadi’ah yad al-amanah, adalah titipan yang bersifat amanah
belaka. Kedua pihak (pihak yang dititipi dan yang menitipkan)
melakukan kesepakatan bahwa barang yang dititipkan tidak

5
Ibid., hlm 188-190

xii
dipergunakan untuk apapun oleh pihak yang dititipi. iya hanya
menjaga keberadaan harta titipan tersebut. Dalam kondisi seperti
ini tidak ada kewajiban bagi yang dititipi untuk menanggung
kerugian jika barang titipan tersebut rusak, kecuali ada unsur
kesengajaan atau karena kelalaian.
2. Wadi’ah yad al-dhamanah, akad titipan di mana pihak yang dititipi
harus menanggung kerugian. pada dasarnya akad wadiah bersifat
amanah. akan tetapi ia bisa berubah menjadi dhamanah dengan
sebab-sebab:
a. Barang tidak dipelihara oleh pihak yang menerima titipan.
Apabila seseorang merusak barang titipan, pihak yang
dititipi tahu dan tidak berusaha untuk mencegahnya padahal
dia mampu, maka pihak yang dititipi wajib menanggung
ganti rugi.
b. Barang titipan titipkan kepada orang lain yang bukan
keluarga dekat dan bukan di bawah tanggung jawabnya.
c. Barang titipan tersebut dimanfaatkan oleh pihak yang
menerima titipan. dalam hal ini, ulama Fiqih sepakat bahwa
orang yang dititipi perang apabila menggunakan barang
titipan, dan kemudian barang tersebut rusak, maka orang
yang dititipi wajib membayar ganti rugi, sekalipun
kerusakan tersebut disebabkan oleh faktor lain di luar
kemampuannya.
d. Orang yang dititipi sehingga sulit untuk dipisahkanorang
itu mencampurkannya dengan harta pribadinya, sehingga
sulit untuk dipisahkan. Jumhur ulama sepakat bahwa
apabila seseorang yang dititipi mencampur barang titipan
dengan harta pribadinya, sementara barang titipan sulit
untuk dipisahkan, maka pemilik berhak untuk menuntut
ganti rugi barang tersebut.

xiii
e. Penerima titipan melanggar syarat-syarat yang telah
disepakati. Misalnya, ketika akad wadiah dilaksanakan,
kedua belah pihak sepakat bahwa barang titipan harus
ditaruh di brankas. Tetapi penerima titipan tidak
melakukannya. Maka jika barang tersebut rusak atau hilang
pemilik barang berhak menuntut ganti rugi.

Maka, berdasarkan beberapa sebab di atas, wadiah yang semula


merupakan amanah berubah menjadi dhamanah. Di mana pihak yang
dititipi punya tanggung jawab penuh terhadap keberadaan harta titipan
tersebut. Berawal dari logika seperti inilah angkat wadiah diterapkan pada
lembaga keuangan syariah.6

E. Hukum Meminta Imbalan dalam Wadi’ah


Secara asal, bentuk muamalah ini tidak ada ganti pembayaran dari
apa yang telah ia lakukan untuk membantu dan meringankan beban
saudaranya, karena muamalah ini merupakan salah bentuk dari saling
membantu di antara saudara muslim. Namun keadaan berkembang,
sehingga banyak orang yang menawarkan jasa penitipan dengan
memasang tarif terhadap yang telah ia lakukan. Dalam masalah ini, para
ulama berbeda yang terbagi dalam tiga pendapat.
1. Ulama Hanafi dan ulama Syafi’i berpendapat bolehnya orang yang
dititipi untuk mensyaratkan adanya imbalan dalam amal ini; bila
ada, maka syarat itu harus dilaksanakan.
2. Para ulama Maliki membedakan antara syarat untuk memberikan
imbalan, lantaran biaya dari tempat yang digunakan untuk
menyimpan titipan tersebut bukan karena pekerjaan dalam
penjagaan.
3. Sedangkan para ulama Hanabilah berpendapat dengan larangan
untuk mensyaratkan biaya penyimpanan. Mereka berpendapat, bila

6
Yazid Afandi, Op.,cit, hlm. 188-190

xiv
ada imbalannya, maka tidak dikatakan sebagai akad wadi’ah;
namun masuk dalam akad sewa-menyewa, yakni menyewa dalam
menjaga barang tersebut.

Intinya, dari pendapat-pendapat di atas, bahwa uang yang


dihasilkan dari biaya yang telah dilakukan dari menjaga barang tersebut
adalah halal. Hanya saja, ketika ia mengambil biaya tersebut, maka
perbedaan ulama di atas berpengaruh, baik antara yang mengatakan ia
adalah sewa, atau masih menganggap ia adalah wadi’ah yang hukum-
hukum yang terjadi diatur dalam masalah wadi’ah.7

F. Berakhirnya Akad Wadi’ah


Akad Wadi’ah berakhir karena apabila salah satu sebab berikut:
1. Meninggalnya salah satu pihak yang berakad, baik pemberi titipan
maupun penerima titipan.
2. Penerima titipan terkena penyakit gila atau berada di bawah
pengampuan.
3. Penerima titipan dibatasi hak perbuatan hukumnya karena
bangkrut.
4. Penerima titipan menyatakan tidak bersedia lagi
memelihara/menjaga barang titipan atau pemberi titipan
menyatakan akad wadi’ah berakhir.
5. Barang atau harta yang dititipkan musnah.
6. Terdapat pengingkaran akad wadi’ah, baik dari penerima titipan
maupun dari pemberi titipan.8

G. Wadi’ah dalam Praktek Perbankan Syariah


Dalam perjalanannya, akad wadiah mengalami perkembangan,
khususnya terkait dengan praktek dalam perbankan. wadiah yang pada

7
Prilia Kurnia Ningsih, Op.,cit, 190-191
8
Ibid., hlm. 191

xv
awalnya hanyalah sebuah akad amanah yang sederhana, di kamar
sedemikian rupa oleh perbankan dalam rangka mengakomodasi uang
“tabungan” nasabah yang ada di bank. Dengan alasan untuk menghindari
riba, paket ini digunakan untuk mengakomodasi nasabah yang
berkeinginan uangnya aman. Bang siap menerima titipan uang.
Namun demikian, tentunya uang yang ada di bank tidak didiamkan
begitu saja, mengingat salah satu fungsi perbankan adalah lembaga
mediasi permodalan. Sehingga uang nasabah yang ada di bank sangat
mungkin untuk digunakan dengan tujuan investasi atau pembiayaan, yang
secara otomatis bercampur dengan uang milik bank yang lain. Karena
dengan praktik ini, pihak bank memberikan keuntungan, maka bank
dengan suka rela memberikan sebagian keuntungannya kepada nasabah.
Inilah yang disebut munculnya perkembangan dalam akad wadiah.
Berpijak pada logika di atas, perbankan dapat mempraktekkan akad
wadiah ini khususnya dalam rangka untuk melakukan penghimpunan dana
masyarakat (funding). Berdasarkan akad wadiah ini jenis produk
perbankan yang dapat diaplikasikan diantaranya:
1. Giro wadi’ah bank. Giro wadiah dapat diartikan sebagai bentuk
simpanan yang penarikannya dilakukan setiap saat dengan
menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran
lainnya atau dengan cara pemindahbukuan yang didasarkan
pada prinsip titipan. Dalam giro wadi’ah, nasabah tidak
mendapatkan keuntungan berupa bunga, melainkan bonus yang
nilainya tidak boleh diperjanjikan di awal akad. Sesuai dengan
Fatwa Fewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No.
01/DSN-MUI/IV/2000 Giro wadiah yang dapat dipraktekkan
oleh perbankan syariah adalah giro wadiah yang memenuhi
persyaratan bersifat titipan. Titipan bisa diambil kapan saja (on
call), tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk
pemberian (‘athaya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.

xvi
Selanjutnya bank syariah memberlakukan giro sebagai
titipan wadiah yad al-dhamanah. Download titipan ini dapat
dipergunakan oleh bank sebagai penerima titipan selama dana
tersebut mengendap di bank. Tetapi bank punya kewajiban
untuk membayarnya setiap saat, jika nasabah mengambil
titipan tersebut. Sebagai imbalan dari titipan yang
dimanfaatkan oleh bank syariah, nasabah dapat menerima
imbal jasa dari pemanfaatan dana yang mengendap di bank
dalam bentuk bonus. Akan tetapi, bonus yang akan diterimakan
oleh pihak bank kepada nasabah tidak boleh diperjanjikan di
awal. Pihak nasabah harus memahami bahwa bonus yang
kemungkinan diterima adalah hak penuh pihak bank untuk
memberikannya atau tidak.
2. Tabungan wadi’ah yad al-dhamanah; adalah rekening tabungan
yang memberlakukan ketentuan dapat ditarik setiap saat dan
bukan tabungan berjangka. Rekening tabungan seperti ini pada
dasarnya hampir sama dengan giro yang dapat ditarik setiap
saat. Hal yang membedakannya hanya pada mekanisme
penarikannya saja. Sedangkan kalau dilihat dari jenis
simpanannya sama dengan giro, maka aturan tentang
pemberian bonus atau imbalan lainnya pun sama dengan
rekening giro.
3. Di samping itu, perbankan juga dapat mempraktikkan wadi’ah
yad al-amanah dengan jalan pemberian jasa safe deposit box.
Di mana nasabah yang membutuhkan jasa ini akan
mendapatkan fasilitas penyimpanan barang berharga mereka
dalam bentuk kotak penyimpanan dengan inisial tertentu,
menyimpan dan memegang kunci sendiri. Pihak bank akan
menerima upah titipan yang ditentukan dan secara keseluruhan
akan menjaga keamanan lingkungan dan ruang penyimpanan

xvii
melalui prosedur administrasi keluar dan masuk ruang
penyimpanan serta pengawasan dari karyawan yang ditunjuk.9

9
Yazid Afandi, Op.,cit, hlm 190-192

xviii
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Secara harfiah, al-wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni
dari satu pihak ke pihak yang lain, baik individu maupun badan hukum,
yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip
menghendakinya. Sebagaimana lazimnya, titipan adalah murni akan
tolong menolong. Di mana dengan alasan tertentu pemilik harta
memberikan amanah kepada orang yang ditutupi untuk menjaga dan
memelihara hartanya.
Ulama menjelaskan bahwa dasar hukum dibolehkannya akad
wadi’ah adalah Al-Qur’an, sunnah, ijma’, dan dalil aqli, di antaranya
adalah Q.S Al-Baqarah ayat 283 dan Q.S An-Nisa ayat 58.
Menurut Hanafiyah, rukun wadi’ah hanya satu, yaitu ijab dan
kabul. Sedangkan menurut jumhur ulama, rukun wadi’ah itu ada empat:
narang yang dititipkan (wadi’ah), orang yang menitipkan (mudi’ atau
muwaddi’), orang yang menerima titipan (muda’ atau mustawda’), dan ijab
kabul (sighat).
Wadiah dibagi menjadi dua: pertama, Wadi’ah yad al-amanah,
adalah titipan yang bersifat amanah belaka. Kedua pihak (pihak yang
dititipi dan yang menitipkan) melakukan kesepakatan bahwa barang yang
dititipkan tidak dipergunakan untuk apapun oleh pihak yang dititipi.
Kedua, Wadi’ah yad al-dhamanah, akad titipan di mana pihak yang dititipi
harus menanggung kerugian. pada dasarnya akad wadiah bersifat amanah.
akan tetapi ia bisa berubah menjadi dhamanah.
Secara asal, bentuk muamalah ini tidak ada ganti pembayaran dari
apa yang telah ia lakukan untuk membantu dan meringankan beban
saudaranya, karena muamalah ini merupakan salah bentuk dari saling
membantu di antara saudara muslim. Namun keadaan berkembang,
sehingga banyak orang yang menawarkan jasa penitipan dengan

xix
memasang tarif terhadap yang telah ia lakukan. Dalam masalah ini, para
ulama berbeda yang terbagi dalam tiga pendapat.
Akad Wadi’ah berakhir karena apabila salah satu sebab, di
antaranya: meninggalnya salah satu pihak yang berakad, baik pemberi
titipan maupun penerima titipan, penerima titipan terkena penyakit gila
atau berada di bawah pengampuan, penerima titipan dibatasi hak
perbuatan hukumnya karena bangkrut.
Perbankan dapat mempraktekkan akad wadiah ini khususnya
dalam rangka untuk melakukan penghimpunan dana masyarakat (funding).

B. Saran
Makalah ini masih jauh dari kata sempurna, masih banyak terdapat
kekurangan, baik dalam penulisan maupun keefektifan kalimat. Oleh
karena itu, bagi pembaca harap memberi saran ataupun komentar yang
membangun untuk dapat memperbaiki kekurangan pada makalah ini.

xx
DAFTAR PUSTAKA

Afandi, Yazid. (2009). Fiqh Muamalah. Yogyakarta: Logung Printika.

Ningsih, Prilia Kurnia. (2021). Fiqh Muamalah. Depok: Rajawali Pers.

Syarqawie, Fithriana. (2015). Fikih Muamalah. Banjarmasin: IAIN ANTASARI


PRESS.

xxi

Anda mungkin juga menyukai