Disusun Oleh:
Kelompok 12
Dosen Pengampu:
Basri Na’ali, Lc., M. Ag.
i
KATA PENGANTAR
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATAPENGANTAR.........................................................................ii
DAFTAR ISI.......................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..........................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................1
C. Tujuan Penulisan......................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Wadi’ah .................................................................3
B. Dasar Hukum Wadi’ah.............................................................5
C. Rukun dan Syarat Wadi’ah ......................................................8
D. Jenis-jenis Wadi’ah...................................................................9
E. Hukum Meminta Imbalan dalam Wadi’ah ..............................11
F. Berakhirnya Akad Wadi’ah ......................................................12
G. Wadi’ah dalam Praktek Perbankan Syariah..............................12
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan...............................................................................16
B. Saran.........................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................18
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di antara masalah-masalah yang banyak melibatkan anggota
masyarakat dalam kehidupan sehari-hari adalah masalah muamalah
(akad, transaksi) dalam berbagai bidang. Karena muamalah ini
langsung melibatkan manusia dan masyarakat, maka pedoman dan
tatanannya perlu dipelajari dan diketahui dengan baik, sehingga tidak
terjadi penyimpangan dan pelanggaran yang merusak kehidupan
ekonomi dan hubungan sesama manusia.
Kesadaran bermuamalah hendaknya tertanam lebih dahulu dalam
diri masing-masing, sebelum terjun dalam kegiatan muamalah itu.
Pemahaman agama, pengendalian diri, pengalaman, akhlaqul karimah,
dan pengetahuan tentang seluk beluk muamalah hendaknya dikuasai
sehingga menyatu dalam diri pelaku (pelaksana) muamalah itu.
Dari sekian banyak transaksi atau akad yang ada, di antaranya
adalah akad Al-Wadi’ah secara singkat adalah penitipan, yaitu akad
seseorang kepada orang lain dengan menitipkan suatu benda untuk
dijaganya secara layak (sebagaimana hal-hal kebiasaan).
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan wadi’ah?
2. Apa saja dasar hukum wadi’ah?
3. Apa saja rukun dan syarat wadi’ah?
4. Apa saja jenis-jenis wadi’ah?
5. Bagaimana hukum meminta imbalan dalam wadi’ah?
6. Kapan berakhirnya akad wadi’ah?
7. Bagaimana wadi’ah dalam praktek Perbankan Syariah?
iv
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mendeskripsikan pengertian wadi’ah
2. Untuk memaparkan dasar hukum wadi’ah
3. Untu memaparkan rukun dan syarat wadi’ah
4. Untuk memaparkan jenis-jenis wadi’ah
5. Untuk memaparkan hukum meminta imbalan dalam wadi’ah
6. Untuk memaparkan kapan berakhirnya akad wadi’ah
7. Untuk memaparkan wadi’ah dalam praktek Perbankan Syariah
v
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Wadi'ah
Secara etimologi wadi’ah ( الودعةberartikan titipan (amanah). Kata
Al-wadi’ah berasal dari kata wada’a (wada’a–yada’u–wad’aan) juga
berarti membiarkan atau meninggalkan sesuatu. Sehingga secara
sederhana wadi’ah adalah sesuatu yang dititipkan.
Dalam literatur fiqh, para ulama berbeda-beda dalam
mendefinisikannya, disebabkan perbedaan mereka dalam beberapa hukum
yang berkenaan dengan wadi’ah tersebut yaitu perbedaan mereka dalam
pemberian upah bagi pihak penerima titipan, transaksi ini dikategorikan
taukil atau sekedar menitip, barang titipan tersebut harus nerupa harta atau
tidak.
Secara terminologi wadi’ah menurut Mazhab Hanafi, Maliki dan
Hanbali. Ada dua definisi wadi’ah yang dikemukakan ulama fiqh:
1. Menurut ulama Hanafiyah, wadi’ah adalah
تسليط الغير على حفظ ماله صار حار أو داللة
“Mengikutsertakan orang lain dalam memelihara harta, baik
dengan ungkapan yang jelas, melalui tindakan, maupun melalui
isyarat.”
2. Menurut ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah (Jumhur
ulama), wadiah adalah
تو كيل في حفظ مملوك على وجه مخصوص
“Mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan
cara tertentu.”
vi
Sementara itu menurut Menurut UU No 21 Tentang Perbankan
Syariah yang dimaksud dengan akad wadi’ah adalah Akad penitipan
barang atau uang antara pihak yang mempunyai barang atau uang dan
pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan,
keamanan, serta keutuhan barang atau uang.1
Sebagaimana lazimnya, titipan adalah murni akan tolong
menolong. Di mana dengan alasan tertentu pemilik harta memberikan
amanah kepada orang yang ditutupi untuk menjaga dan memelihara
hartanya. Seseorang yang mempunyai harta atau barang berkeinginan
untuk menyerahkan kepada orang lain tidak untuk dikuasai, akan tetapi
untuk dipelihara karena ada suatu hal. Tidak ada ketentuan alasan kenapa
akad wadiah harus dilakukan. Yang pasti seseorang mempunyai hak penuh
atas harta untuk dititipkan kepada orang lain. Bagi seseorang yang
menerima titipan, bisa menerima dan bisa menolak.
Menurut pendapat yang dianggap paling shahih, dalam wadiah
tidak disyaratkan mengucapkan qabul (kalimat menerima) dari penerima
titipan. Bajunya cukup dengan menerima barang yang dititipkan. Di
samping itu, kedua belah pihak dapat membatalkan akad perjanjian kapan
saja. Penerima titipan boleh mengembalikan barang titipan sewaktu-waktu
dan pihak yang menitipkan bisa mengambil barangnya sewaktu-waktu.
Dengan demikian, dalam akad wadiah, keberadaan orang yang
memiliki harta tidak mempunyai kepentingan apa pun dari harta yang ia
tetapkan kecuali semata-mata agar harta yang dititipkan dapat terjaga
dengan baik. Demikian juga, orang yang dititipi pada dasarnya tidak boleh
melakukan tindakan hukum apa pun terhadap harta titipan kecuali atas izin
orang yang menitipkan. orang yang dititipi hanya menjaga amanah dari
orang yang menitipkan.2
1
Prilia Kurnia Ningsih, Fiqh Muamalah, (Depok: Rajawali Pers, 2021), hlm. 185-186
2
Yazid Afandi, Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Logung Printika, 2009), hlm. 185-186
vii
B. Dasar Hukum Wadi’ah
Ulama menjelaskan bahwa dasar hukum dibolehkannya akad
wadi’ah adalah Al-Qur’an, sunnah, ijma’, dan dalil aqli, antara lain:
1. Q.S Al-Baqarah ayat 283
وان كنتم على سفر ولم تجدوا كاتبا فرهان مقبوضة فان أمن بعضكم بعضا فليؤد الذي
اؤتمن أمانته وليتق هللا ربه وال تكتموا الشها دة ومن يكتمها فإنه اثم قلبه وهللا بما تعلمون
عليم
3
Fithriana Syarqawie, Fikih Muamalah, (Banjarmasin: IAIN ANTASARI PRESS, 2015), hlm 122
viii
“Siapa saja yang menghilangkan satu kesulitan duniawi yang
dialami Muslim lainnya maka Allah akan menghilangkan
kesulitannya pada hari kiamat; dan Allah akan menolong hamba-
Nya selama yang bersangkutan menolong saudaranya”
5. Hadis yang berupa perbuatan (fi’liyyah) yang diriwayatkan Imam
Baihaqi, yang berbunyi:
“Dari Aisyah r.a. bahwa Rasulullah Saw. Memerintahkan Ali r.a.
untuk tinggal di Makkah dalam rangka menggantikan Nabi untuk
mengembalikan titipan-titipan masyarakat (yang diterima Nabi
Saw.) kepada pemiliknya”.
6. Ulama fikih telah bersepakat (ijma’) tentang bolehnya akad
wadi’ah.
7. Dalil ‘aqli mengenai argumen bolehnya akad wadi’ah adalah
analogi al-i’jarah dan kebolehannya sejalan dengan upaya
mewujudkan kaidah al-dharar yuzal (kemudharatan harus
dihilangkan) karena akad wadi’ah dilakukan oleh mudi’ dalam
rangka menanggulangi kesulitan yang dialaminya.
Akad wadi’ah, dilihat dari segi dalil yang digunakan dan teoretisasi
hakikat wadi’ah, berkaitan dengan konsep amanah karena
penerima yitipan (mudi/mustawdi’) berkedudukan sebagai pihak
yang dipercaya untuk menjelaskan amanah (disebut al-amin).
4
Prilia Kurnia Ningsih, Op.,cit, hlm. 187-188
ix
Sunnah (mandub), yang didasarkan pada Al-Qur’an dan hadis Nabi
Muhammad Saw.
2. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa hukum asal (pokok)
menerima titipan adalah boleh (al-ibahah). Akan tetapi, hukum asal
ini dapat berubah karena keadaan berikut:
a. Haram hukumnya menerima titipan apabila penerimanya
(mudi’) tidak memiliki kemampuan untuk menjaganya atau
bahkan menyia-nyiakannya sehingga barang yang
dititipkan dikhawatirkan akan rusak. Di samping itu, haram
pula menerima titipan harta yang diketahui merupakan hasil
kepemilikan yang prosesnya tidak sah secara hukum, baik
dengan cara perampasan yang prosesnya tidak sah secara
hukum, baik dengan cara perampasan (al-ghashb),
pencurian, maupun perjudian, perdukunan, dan pelacuran.
x
C. Rukun dan Syarat Wadi’ah
Menurut Hanafiyah, rukun wadi’ah hanya satu, yaitu ijab dan
kabul. Sedangkan menurut jumhur ulama, rukun wadi’ah itu ada empat:
1. Barang yang dititipkan (wadi’ah)
2. Orang yang menitipkan (mudi’ atau muwaddi’)
3. Orang yang menerima titipan (muda’ atau mustawda’)
4. Ijab kabul (sighat)
Syarat- Syarat Sighat akad adalah ijab dan kabul. Syarat sighat
adalah ijab harus dinyatakan dengan ucapan atau perbuatan. Ucapan
adakalanya tegas (sharih) dan adakalanya dengan sindiran (kinayah).
Malikiyah menyatakan bahwa lafal dengan kinayah harus disertai dengan
niat.
Syarat-syarat orang yang menitipkan (Al-Mudi’)
xi
1. Berakal, Dengan demikian, tidak sah wadi’ah dari orang gila dan anak
yang belum berakal.
2. Baligh, Syarat ini dikemukakan oleh Syafi’iyah. Dengan demikian
menurut Syafi’iyah, wadi’ah tidak sah apabila dilakukan oleh anak
yang belum balig masih di bawah umur). Tetapi menurut Hanafiyah
balig tidak menjadi syarat wadi’ah sehingga wadi’ah hukumnya sah
apabila dilakukan oleh anak mumayyiz dengan persetujuan dari
walinya atau washiy-nya.
Syarat orang yang dititipi (Al-Muda’)
1. Berakal, tidak sah wadi’ah dari orang gila dan anak yang masih di
bawah umur. Hal ini dikarenakan akibat hukum dari akad ini adalah
kewajiban menjaga harta, sedangkan orang yang tidak berakal tidak
mampu untuk menjaga barang yang dititipkan kepadanya. Baligh,
syarat ini dikemukakan oleh jumhur ulama. Akan tetapi,
2. Hanafiyah tidak menjadikan balig sebagai syarat untuk orang yang
dititipi, melainkan cukup ia sudah mumayyiz.
3. Malikiyah mensyaratkan orang yang dititipi harus orang yang diduga
kuat mampu menjaga barang yang dititipkan kepadanya. 5
D. Jenis-jenis Wadi’ah
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa akad wadiah adalah
akad amanah yang mendasarkan pada aspek tolong menolong. Di dalam
akad tersebut tidak ada keuntungan yang akan diraih. Namun demikian,
dalam prakteknya, dalam penggunaan barang yang ditetapkan tersebut
sangat terkait dengan kesepakatan antara orang yang dititipkan maupun
orang yang dititipi (aqidain). Maka, berdasarkan hal tersebut, wadiah
dibagi menjadi dua:
1. Wadi’ah yad al-amanah, adalah titipan yang bersifat amanah
belaka. Kedua pihak (pihak yang dititipi dan yang menitipkan)
melakukan kesepakatan bahwa barang yang dititipkan tidak
5
Ibid., hlm 188-190
xii
dipergunakan untuk apapun oleh pihak yang dititipi. iya hanya
menjaga keberadaan harta titipan tersebut. Dalam kondisi seperti
ini tidak ada kewajiban bagi yang dititipi untuk menanggung
kerugian jika barang titipan tersebut rusak, kecuali ada unsur
kesengajaan atau karena kelalaian.
2. Wadi’ah yad al-dhamanah, akad titipan di mana pihak yang dititipi
harus menanggung kerugian. pada dasarnya akad wadiah bersifat
amanah. akan tetapi ia bisa berubah menjadi dhamanah dengan
sebab-sebab:
a. Barang tidak dipelihara oleh pihak yang menerima titipan.
Apabila seseorang merusak barang titipan, pihak yang
dititipi tahu dan tidak berusaha untuk mencegahnya padahal
dia mampu, maka pihak yang dititipi wajib menanggung
ganti rugi.
b. Barang titipan titipkan kepada orang lain yang bukan
keluarga dekat dan bukan di bawah tanggung jawabnya.
c. Barang titipan tersebut dimanfaatkan oleh pihak yang
menerima titipan. dalam hal ini, ulama Fiqih sepakat bahwa
orang yang dititipi perang apabila menggunakan barang
titipan, dan kemudian barang tersebut rusak, maka orang
yang dititipi wajib membayar ganti rugi, sekalipun
kerusakan tersebut disebabkan oleh faktor lain di luar
kemampuannya.
d. Orang yang dititipi sehingga sulit untuk dipisahkanorang
itu mencampurkannya dengan harta pribadinya, sehingga
sulit untuk dipisahkan. Jumhur ulama sepakat bahwa
apabila seseorang yang dititipi mencampur barang titipan
dengan harta pribadinya, sementara barang titipan sulit
untuk dipisahkan, maka pemilik berhak untuk menuntut
ganti rugi barang tersebut.
xiii
e. Penerima titipan melanggar syarat-syarat yang telah
disepakati. Misalnya, ketika akad wadiah dilaksanakan,
kedua belah pihak sepakat bahwa barang titipan harus
ditaruh di brankas. Tetapi penerima titipan tidak
melakukannya. Maka jika barang tersebut rusak atau hilang
pemilik barang berhak menuntut ganti rugi.
6
Yazid Afandi, Op.,cit, hlm. 188-190
xiv
ada imbalannya, maka tidak dikatakan sebagai akad wadi’ah;
namun masuk dalam akad sewa-menyewa, yakni menyewa dalam
menjaga barang tersebut.
7
Prilia Kurnia Ningsih, Op.,cit, 190-191
8
Ibid., hlm. 191
xv
awalnya hanyalah sebuah akad amanah yang sederhana, di kamar
sedemikian rupa oleh perbankan dalam rangka mengakomodasi uang
“tabungan” nasabah yang ada di bank. Dengan alasan untuk menghindari
riba, paket ini digunakan untuk mengakomodasi nasabah yang
berkeinginan uangnya aman. Bang siap menerima titipan uang.
Namun demikian, tentunya uang yang ada di bank tidak didiamkan
begitu saja, mengingat salah satu fungsi perbankan adalah lembaga
mediasi permodalan. Sehingga uang nasabah yang ada di bank sangat
mungkin untuk digunakan dengan tujuan investasi atau pembiayaan, yang
secara otomatis bercampur dengan uang milik bank yang lain. Karena
dengan praktik ini, pihak bank memberikan keuntungan, maka bank
dengan suka rela memberikan sebagian keuntungannya kepada nasabah.
Inilah yang disebut munculnya perkembangan dalam akad wadiah.
Berpijak pada logika di atas, perbankan dapat mempraktekkan akad
wadiah ini khususnya dalam rangka untuk melakukan penghimpunan dana
masyarakat (funding). Berdasarkan akad wadiah ini jenis produk
perbankan yang dapat diaplikasikan diantaranya:
1. Giro wadi’ah bank. Giro wadiah dapat diartikan sebagai bentuk
simpanan yang penarikannya dilakukan setiap saat dengan
menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran
lainnya atau dengan cara pemindahbukuan yang didasarkan
pada prinsip titipan. Dalam giro wadi’ah, nasabah tidak
mendapatkan keuntungan berupa bunga, melainkan bonus yang
nilainya tidak boleh diperjanjikan di awal akad. Sesuai dengan
Fatwa Fewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No.
01/DSN-MUI/IV/2000 Giro wadiah yang dapat dipraktekkan
oleh perbankan syariah adalah giro wadiah yang memenuhi
persyaratan bersifat titipan. Titipan bisa diambil kapan saja (on
call), tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk
pemberian (‘athaya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.
xvi
Selanjutnya bank syariah memberlakukan giro sebagai
titipan wadiah yad al-dhamanah. Download titipan ini dapat
dipergunakan oleh bank sebagai penerima titipan selama dana
tersebut mengendap di bank. Tetapi bank punya kewajiban
untuk membayarnya setiap saat, jika nasabah mengambil
titipan tersebut. Sebagai imbalan dari titipan yang
dimanfaatkan oleh bank syariah, nasabah dapat menerima
imbal jasa dari pemanfaatan dana yang mengendap di bank
dalam bentuk bonus. Akan tetapi, bonus yang akan diterimakan
oleh pihak bank kepada nasabah tidak boleh diperjanjikan di
awal. Pihak nasabah harus memahami bahwa bonus yang
kemungkinan diterima adalah hak penuh pihak bank untuk
memberikannya atau tidak.
2. Tabungan wadi’ah yad al-dhamanah; adalah rekening tabungan
yang memberlakukan ketentuan dapat ditarik setiap saat dan
bukan tabungan berjangka. Rekening tabungan seperti ini pada
dasarnya hampir sama dengan giro yang dapat ditarik setiap
saat. Hal yang membedakannya hanya pada mekanisme
penarikannya saja. Sedangkan kalau dilihat dari jenis
simpanannya sama dengan giro, maka aturan tentang
pemberian bonus atau imbalan lainnya pun sama dengan
rekening giro.
3. Di samping itu, perbankan juga dapat mempraktikkan wadi’ah
yad al-amanah dengan jalan pemberian jasa safe deposit box.
Di mana nasabah yang membutuhkan jasa ini akan
mendapatkan fasilitas penyimpanan barang berharga mereka
dalam bentuk kotak penyimpanan dengan inisial tertentu,
menyimpan dan memegang kunci sendiri. Pihak bank akan
menerima upah titipan yang ditentukan dan secara keseluruhan
akan menjaga keamanan lingkungan dan ruang penyimpanan
xvii
melalui prosedur administrasi keluar dan masuk ruang
penyimpanan serta pengawasan dari karyawan yang ditunjuk.9
9
Yazid Afandi, Op.,cit, hlm 190-192
xviii
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara harfiah, al-wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni
dari satu pihak ke pihak yang lain, baik individu maupun badan hukum,
yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip
menghendakinya. Sebagaimana lazimnya, titipan adalah murni akan
tolong menolong. Di mana dengan alasan tertentu pemilik harta
memberikan amanah kepada orang yang ditutupi untuk menjaga dan
memelihara hartanya.
Ulama menjelaskan bahwa dasar hukum dibolehkannya akad
wadi’ah adalah Al-Qur’an, sunnah, ijma’, dan dalil aqli, di antaranya
adalah Q.S Al-Baqarah ayat 283 dan Q.S An-Nisa ayat 58.
Menurut Hanafiyah, rukun wadi’ah hanya satu, yaitu ijab dan
kabul. Sedangkan menurut jumhur ulama, rukun wadi’ah itu ada empat:
narang yang dititipkan (wadi’ah), orang yang menitipkan (mudi’ atau
muwaddi’), orang yang menerima titipan (muda’ atau mustawda’), dan ijab
kabul (sighat).
Wadiah dibagi menjadi dua: pertama, Wadi’ah yad al-amanah,
adalah titipan yang bersifat amanah belaka. Kedua pihak (pihak yang
dititipi dan yang menitipkan) melakukan kesepakatan bahwa barang yang
dititipkan tidak dipergunakan untuk apapun oleh pihak yang dititipi.
Kedua, Wadi’ah yad al-dhamanah, akad titipan di mana pihak yang dititipi
harus menanggung kerugian. pada dasarnya akad wadiah bersifat amanah.
akan tetapi ia bisa berubah menjadi dhamanah.
Secara asal, bentuk muamalah ini tidak ada ganti pembayaran dari
apa yang telah ia lakukan untuk membantu dan meringankan beban
saudaranya, karena muamalah ini merupakan salah bentuk dari saling
membantu di antara saudara muslim. Namun keadaan berkembang,
sehingga banyak orang yang menawarkan jasa penitipan dengan
xix
memasang tarif terhadap yang telah ia lakukan. Dalam masalah ini, para
ulama berbeda yang terbagi dalam tiga pendapat.
Akad Wadi’ah berakhir karena apabila salah satu sebab, di
antaranya: meninggalnya salah satu pihak yang berakad, baik pemberi
titipan maupun penerima titipan, penerima titipan terkena penyakit gila
atau berada di bawah pengampuan, penerima titipan dibatasi hak
perbuatan hukumnya karena bangkrut.
Perbankan dapat mempraktekkan akad wadiah ini khususnya
dalam rangka untuk melakukan penghimpunan dana masyarakat (funding).
B. Saran
Makalah ini masih jauh dari kata sempurna, masih banyak terdapat
kekurangan, baik dalam penulisan maupun keefektifan kalimat. Oleh
karena itu, bagi pembaca harap memberi saran ataupun komentar yang
membangun untuk dapat memperbaiki kekurangan pada makalah ini.
xx
DAFTAR PUSTAKA
xxi