Anda di halaman 1dari 6

MAKALAH AKAD HIWALAH

Disusun
Oleh :

FERY HARDI
1705160035

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA
MEDAN
2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hiwalah (pengalihan hutang) secara bahasa artinya alintiqal (pindah),


diucapkan Hala’anil’ahdi, (berpindah, berpaling, berbalik dari janji). Sedangkan
Hiwalah (pengalihan hutang) menurut istilah adalah pengalihan hutang dari orang
yang berutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Hiwalah diambil dari
kata tahwil yang berarti intiqal (perpindahan). Yang dimaksud di sini adalah
memindahkan hutang dari tanggungan orang yang berhutang (muhil )menjadi
tanggungan orang yang berkwajiban membayar hutang (muhal’alaih). Dalam konsep
hukum perdata, Hiwalah adalah serupa dengan lembaga pengambilalihan utang, atau
lembaga pelepasan hutang atau penjualan utang, atau lembaga penggantian kreditor
atau penggantian debitur.

Utang piutang adalah salah satu dari pada akad bermu’amalah antara manusia yang
satu dengan manusia yang lain. Karena banyak sekali manusia di desa, di kota, di
negara, bahkan manusia di seluruh dunia ini telah melakukan utang piutang. Karena
pada kenyataannya manusia tidak sanggup melengkapi hidupnya sendiri. Ia
memerlukan sandang pangan dan rumah untuk hidupnya. Dan harus diperoleh dengan
cara berusah. sekedarnya ini tidak sama bagi tiap-tiap orang di semua negeri dan di
segala zaman. Kebutuhan minimum seseorang berbeda dengan yang lain. Karena
perbedaan ini, orang yang dapat mengusahakan pinjaman untuk memenuhi keperluan
pokok pribadinya. Orang mengusahakan akad pinjam atau utang piutang itu bisa pada
siapa saja dan lembaga apa saja, terkadang sama tetagga, sama-sama dekat, orag tua,
saudara dan siapa saja yang sekira-kira mereka mendapatkan pinjaman. Dan utang
piutang pada lembaga seperti pada Bank.
B. Fokus dan Tujuan

Secara umum, masih banyak masyarakat yang mengira bahwa transaksi


hawalah sama dengan transaksi kredit bank pada umumnya. Untuk itu perlu
disosialisasikan kepada masyarakat bahwasannya transaksi akad hawalah ini tidak
sama dengan transaksi kredit bank. Berbagai kendala dalam pembayaran hutang bagi
pelaku usaha meningkatkan Transaksi akad hawalah yang mana dalam lembaga
keuangan syariah dalam praktiknya yang kegiatan utamanya yakni penagihan. Dalam
akad hawalah terdapat tiga orang terkait yakni Muhil (peminjam), Muhal (pemberi
pinjaman), dan Muhal ‘alaih (penerima hawalah). Di perusahaan ini terkenal sebagai
perusahaan pengalihan utang atas transaksi jual beli supaya tidak menimbulkan
permasalahan yang dimiliki masyarakat, sehingga transaksi ini karena banyak yang
membutuhkan. Dalam buku ini dibahas tentang pengalihan piutang dengan akad
hawalah secara sederhana dan ringkas serta disertai contoh kasusnya agar mudah
dipahami oleh para pembacanya.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hiwalah

Di antara bentuk muamalah yang diatur dalam ajaran Islam adalah masalah
(pengalihan utang), atau dalam istilah syariah dinamakan dengan al-hiwalah.
Pengalihan utang ini telah dibenarkan oleh syariat dan telah dipraktikan sejak zaman
nabi Muhammad SAW sampai sekarang. Al-hiwalah secara bahasa artinya al-Intiqal
(pindah), diucapkan, Hāla „anil „ahdi, (berpindah, berpaling, berbalik dari janji),
Sedangkan secara istilah, definisi al-Hiwalah menurut ulama Hanafiyyah adalah
memindah (al-Naqlu) penuntutan atau penagihan dari tanggungan pihak yang
berutang (al-Madin) kepada tanggungan pihak al-Multazim (yang harus membayar
utang, dalam hal ini adalah al-Muhal „alaihi). Berbeda dengan al-Kafalah yang
artinya adalah alDham-mu (menggabungkan tanggungan) di dalam penuntutan atau
penagihan, bukan al-Naqlu (memindah). Maka oleh karena itu, dengan adanya al
hiwalah, menurut kesepakatan ulama, pihak yang berutang (dalam hal ini maksudnya
adalah al-Muhil) tidak di tagih lagi. Menurut Zainul Arifin hiwalah adalah akad
pemindahan utang/piutang suatu pihak kepada pihak lain. Dengan demikian di
dalamnya terdapat tiga pihak, yaitu pihak yang berutang (muhil atau madin), pihak
yang memberi utang (muhal atau da‟in), dan pihak yang menerima pemindahan
(muhal ‟alaih).

B. Landasan Hukum Hiwalah

Hiwalah ini disyari’atkan oleh Islam dan dibolehkan olehnya karena adanya
masalahat, butuhnya manusia kepadanya serta adanya kemudahan dalam
bermuamalah. Dalam hiwalah juga terdapat bukti sayang kepada sesama,
mempermudah muamalah mereka, memaafkan, membantu memenuhi kebutuhan
mereka, membayarkan utangnya dan menenangkan hati mereka. Surat Al-Baqarah
ayat 282 menerangkan bahwa dalam utang-piutang atau transaksi yang tidak kontan
hendaklah dituliskan sehingga ketika ada perselisihan dapat dibuktikan. Dalam
kegiatan ini pula diwajibkan untuk ada dua orang saksi yang adil dan tidak merugikan
pihak manapun, saksi ini adalah orang yang menyaksikan proses utang-piutang secara
langsung dari awal. Dalam prinsip muamalah pun menganjurkan agar saling percaya
dan menjaga kepercayaan semua pihak. Untuk menghilangkan keraguan maka
hendaklah diadakan perjanjian secara tertulis atau jaminan.

Kemudian dalam Ijma’ telah tercapai kesepakatan ulama tentang kebolehan


hiwalah ini. Hal ini sejalan dengan kaidah dasar di bidang muamalah, bahwa semua
bentuk muamalah di perbolehkan kecuali ada dalil yang tegas melarangnya. Selain itu
ulama sepakat membolehkan hiwalah. Hiwalah dibolehkan pada utang yang tidak
berbentuk barang/benda karena hawalah adalah perpindahan utang. Oleh sebab itu,
harus pada uang atau kewajiban finansial.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan yang telah dilakukan pada bab sebelumnya, maka
dapat ditarik kesimpulan. Impementasi adalah pengalihan hutang dari orang yang
berhutang kepada lain yang menanggunggnya. Dalam hal ini terjadi pemindahan
tanggungan dari satu orang kepada orang yang lain. Pemindahan ini adalah
pemindahan hutang dari muhil (orang yang berhutang) menjadi tanggungan muhal
'alaih (orang yang berkewajiban membayar hutang). Dalam pelaksanaan akadnya,
dalam Fatwa DSN MUI N0: 12/DSN-MUI/IV/2000 tentang Hawalah menyebutkan
bahwa pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk
menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).

B. Saran

Bagi masyarakat yang melakukan praktik Hiwalah hendaklah selalu berpedoman


pada aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh syariat Islam. Melakukannya dengan
berlandasan rasa tolong menolong, jangan melakukan Hiwalah karena faktor mencari
keuntungan. Karena hal tersebut akan menuju pada praktik riba. Mengusahakan bagi
masyarakat untuk tidak lagi membiasakan berhutang yang menimbulkan pengalihan
hutang (Hiwalah).

Anda mungkin juga menyukai