Anda di halaman 1dari 15

Resume.

Di Susun Oleh:

NAMA : MUBARAK

NIM : ERC1A012217
Kelas C (Konsentrasi Ekonomi islam dan perbankan syariah )

Fakultas EKONOMI dan BISNIS (Program studi Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan).

I. Perbangkan syariah

 KONSEP SYARIAH ATAU SYAR’I

Ditinjau dari sudut etimologi (bahasa) syariah bermakna jalan yang lurus.  Sedangkan
makna terminologi (definisi), syariah adalah undang-undang atau peraturan-peraturan yang
mengatur hubungan antara manusia dengan pencipta (Allah SWT), serta hubungan antara
manusia dengan manusia. Penerapan syariah dalam setiap kehidupan manusia bertujuan agar
manusia memiliki martabat dan derajat yang lebih tinggi dari mahluk lain ciptaan Allah SWT.
Syariah mencakup seluruh aktivitas yang dilakukan oleh seorang muslim dengan aturan-aturan
halal dan haram, serta perilaku baik dan buruk. Syariah bertumpu pada kekuatan iman dan budi
pekerti (akhlak) serta memiliki implikasi balasan baik di dunia maupun di akhirat. Panduan
dalam pengamalan syariah mengacu kepada dua sumber hukum Islam yaitu Al-Qur’an dan As-
Sunnah Nabi Muhammad SAW.
Perintah untuk menjalankan syariah antara lain tertuang dalam Al-Qur’an Surat 45 (Al-
Jaatsiyah) Ayat 18, yang berbunyi:
“Kemudian Kami jadikan kamu (ya Muhammad) berada di atas syariat (peraturan) dair urusan
(agama), maka ikutilah syariat itu dan jangan kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak
berilmu“.

 KONSEP PERBANKAN SYARIAH


1. Perbankan syariah atau perbankan Islam (Arab: ‫المية‬3‫رفية اإلس‬3‫ المص‬al-Mashrafiyah al-
Islamiyah) adalah suatu sistem perbankan yang pelaksanaannya berdasarkan hukum
Islam (syariah).
2. Pembentukan sistem ini berdasarkan adanya larangan dalam agama Islam untuk
meminjamkan atau memungut pinjaman dengan mengenakan bunga pinjaman (riba),
serta larangan untuk berinvestasi pada usaha-usaha berkategori terlarang (haram).

A. PRINSIP BANK SYARIAH


Dalam menjalankan usahanya, bank syariah harus tetap berpedoman pada nilai-nilai
syariah. Prinsip itu berpedoman pada Alquran dan Hadits.  Prinsip yang diterapkan bank syariah
meliputi :
 Prinsip pengharaman riba : Prinsip ini tercermin dari praktek pengelolaan dana nasabah. Dana
yang berasal dari nasabah penyimSpan harus jelas asal usulnya. Sedangkan penyalurannya harus
dalam usaha-usaha yang tidak bertentangan dengan syari.
 Prinsip keadilan : Prinsip ini tercermin dari penerapan sistem bagi hasil dan pengambilan
keuntungan berdasarkan hasil kesepakatan dua belah pihak.
 Prinsip Kesamaan : Prinsip ini tercermin dengan menempatkan posisi nasabah serta bank pada
posisi yang sederajat. Kesamaan ini terwujud dalam hak, kewajiban, risiko dan keuntungan yang
berimbang di antara nasabah penyimpan dana, nasabah pengguna dana maupun bank.

II. Bank Syriah Vs Bank Konvesonal

A. Pengertian Bank Syariah Dan Bank Konvensional

 Bank Syariah
Perbankan syariah atau perbankan islam disebut mashrafyah al-islaniah adlah suatu system
perbankan yang peaksaannya berdasarkan hukum islam (syariah). Pembentukan sistem ini
berdasarkan adanya larangan-larangan dalam agama islam. Untuk meminjam aatau memungut
pinjaman dngan mengguankan bunga pinjaman (riba), serta larangan untuk berinvestasi pada
usaha-usaha berkatagori terlarang (haram).
 Bank konvesonal
Menurut undang-undang no 10 tahun 1998, bank konvensional adalah bank yang melaksanakan
kegiatan usaha secara konvensional yang dalam kegiatan memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran pada bank konvensional. Kepntiang pemilik dana adalah meperoleh imbalan berupa
bunga simpan yang tinggi. Sedangkan kepentingan pemegang saham adalah memperoleh
speradyang optimal suku bunga simpanan dan suku bunga pinjaman.di lain pihak kepentingan
pemakai dana (deebitur)adalah memperoleh tingat bunga yang rendah.

B. Ciri-ciri Bank Syariah dan Bank konvensional

 Bank syariah
Adapun ciri-ciri dari bank syariah adalah;
 Berdimensi keadilan dan permintaan
 Bersifat mandiri
 Menciptakan rasa kebersamaan
 Adanya dewan pengawas syariah
Ada karakter khusus dari bank syariah adalah;
 Universal
 Adail
 Trasparan
 Seimbang
 Maslahat
 Variatif
 Fasilitas
 Bank konvensional
Ciri-ciri perbankaan konvensional;
 Membayar kadar faedh atas deposit dan pada penyimpanan
 Mengenakan faedah atas oinjaman yang diberikan kepada peminjam atau pilabur.
 Bank konvensional mengandalkan prinsip keuntunganmaksimum dalam pelaburannya
asal kan tidak bertentangan dengan undang-undang Negara.
 Bank konvensoanl kurang menitik beratkan unsur spiritual atau keagamaan dalam
oprasional walau bagaimnapun bank konvensional turt menjalan kan social.

C. Perbedaan bank syariah dan bank konvensional Perbedaan yang mendasar antara bank
syariah dan bank konvensional antara lain;

 Perbedaan falsafah
 Konsep pengelolaan dana nasabah
 Kewajiban mengelola zakat
 Sruktur organisasi
D. Persaman bank syariah dan bank konvensional
Mesiki secara prinsip oprasi bank syariah jelas berbeda dengan bank konvensional
keduanya memiliki persamaan misalnya;

 Sama-sama menjalankan fungsi bank


 Pegawainya ada laki-laki dan ada yang permpuan
 Sama-sama memiliki pegawai yang paham maupun yang awam terhadap agama islam
 Harus patuh pada UU dan perturan bank Indonesia

 Kesimpulan
 Bank konvensional adalah bank yang melaksanakan kegiatannya secara konvensional dan
yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayarn
 Bank syariah adalah bank atau tempat penyimpanan dana yang sesuai dengan hukum-
hukum dan landasan agama islam. Bank ini banyak memberikan kemudahan dan manfaat
bagi masyarakat khususnya muslim
 Bank syariah dan bank konvensional memiliki banyak perbedaan tetapi juga memiliki
kesaaman dalam tujuan yaitu ingin memperolehkeutungan melaluipinjaman dan
himpunan dana. Bedanya bank syariah di jalankan sesuai aturan islam dan konvensional
tidak.

III. Produk-produk bank syariah

Perbankan Syari’ah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syari’ah dan Unit
Usaha-Usaha Syari’ah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha serta cara dan proses dalam
melaksanakan kegiatan usaha lainnya.Sama seperti halnya dengan bank konvensional, bank
syariah juga menawarkan nasabah dengan bank konvensional adalah dalam produk perbankan.

Produk-produk yang ditawarkan sudah tentu sangat Islami, termasuk dalam memberikan
pelayanan kepada nasabahnya. Berikut ini jeis-jenis produk bank syariah yang ditawarkan adalah
sebagai berikut:

1. Al-wadi’ah (Simpanan)

Prinsip wadi’ah yang diterapkan adalah wadi’ah yad dhamanah yang diterapkan pada produk
rekening giro. Wadh’ah dhamanah berbeda dengan wadi’ah amanah. Dalam wadi’ah amanah
harta titipan tidak boleh dimanfaatkan oleh yang dititipi, sedangkan dhamanah yang dititipi
(bank) boleh memanfaatkan harta titipan tersebut. Implikasi hukumnya sama dengan qardh,
dimanan nasabah meminjamkan uang kepada bank.

2. Pembiayaan Dengan Bagi Hasil

 Al-musyarakah (Partisipasi Modal)

 Al-mudharabah

 Al-muzara’ah

 Al-musaqah

3. Bai’al Murabahah

Pengertian Bai’al-Murabahah merupakan kegiatan jual beli pada harga pokok dengan tambahan
keuntungan yang disepakati. Dalam hal ini penjual harus terlebih dulu memberitahukan harga pokok
yang ia beli ditambah keuntungan yang diinginkannya.
4. Bai’as-Salam

Bai’as-salam artinya pembelian barang yang diserahkan kemudian hari, sedangkan pembayaran
dilakukan di muka. Prinsip yang harus dianut adalah harus diketahui terlebih dulu jenis, kualitas dan
jumlah barang dan hukum awal pembayaran harus dalam bentuk uang.

5. Bai’al Istishna’

Bai’ Al istishna’ merupakan bentuk khusus dari akad Bai’assalam, oleh karena itu ketentuan dalam
Bai` Al istishna’ mengikuti ketentuan dan aturan Bai’as-salam. Pengertian Bai’ Al istishna’ adalah kontrak
penjualan antara pembeli dengan produsen (pembuat barang).

6. Al-Ijarah (Leasing)

Pengertian Al-Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran
upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri. Dalam praktiknya
kegiatan ini dilakukan oleh perusahaan leasing, baik untuk kegiatan operating lease maupun financial
lease.

7. Al-Wakalah (Amanat)

Wakalah atau wakilah artinya penyerahan atau pendelegasian atau pemberian mandat dari satu
pihak kepada pihak lain. Mandat ini harus dilakukan sesuai dengan yang telah disepakati oleh si pemberi
mandat.

8. Al-Kafalah (Garansi)

Al-Kafalah merupakan jaminan yang diberikan penanggung kepada pihak ketiga untuk memenuhi
kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Dapat pula diartikan sebagai pengalihan tanggung jawab
dari satu pihak kepada pihak lain. Dalam dunia perbankan dapat dilakukan dalam hal pembiayaan
dengan jaminan seseorang.

9. Al-Hawalah

Al-Hawalah merupakan pengalihan utang dari orang yang berutang kepada orang lain yang wajib
menanggungnya. Atau dengan kata lain pemindahan beban utang dari satu pihak kepada lain pihak.
Dalam dunia keuangan atau perbankan dikenal dengan kegiatan anjak piutang atau factoring.

10. Ar-Rahn

Ar-Rahn merupakan kegiatan menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas
pinjaman yang diterimanya. Kegiatan seperti ini dilakukan seperti jaminan utang atau gadai.

IV. Pengertian dan konsep Wadiah


Kata wadi’ah berasal dari wada asy syai-a,yaitu meninggalkan sesuatu. Sesuatu yang orang tinggalkan
pada orang lain agar dijaga disebut wadi’ah. Karena dia meninggalkannya pada orang yang sanggup
menjaganya. Secara harfiah al wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari suatu pihak ke pihak
lain,baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip
menghendakinya.

A. Dasar hukum wadiah

Dasar hukum al-wadiah ini dapatditemukan dalam Alqur’an dan Sunnah Nabi. Dalam Alqur’an
ditegaskan ,”sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya…. “(QS.AN-Nisa/:58.dan “sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain ,maka
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya(utangnya)…”(QS.Al-Baqarah:283).

B. Syarat Wadiah
1. Orang Yang Berakad
Adalah Muwadi Sebagai Orang Yang menitipkan Barangnya dan Mustaudah Sebagai
Orang yang di titip barang (Penerima Barng) orang Yang berakad hendaklah orang yg
sehat di antaranya yaitu:
 Baligh
 Beakal
 Kemauan sendirian,tanpa di paksa
2. Barang titipan
Barang Yang dititpkan Harus Jelas dan dapat dipegang atau dikuasai
3. Sighah (Akad)
Syarat Sighah yaitu kedua belah pihak melepaksak akhad yaitu orang yang menitipkan
(Muwadi dan orang yang di beri titipan.
C. Rukun wadi’ah

berpendapat bahwa rukun wadi’ah adalah ijab dan Kabul. Sedangkan menurut jumhur ulama [4]
rukun wadiah ada 4, yaitu:

1. Muwaddi ( orang yang menitipkan )

2. Wadi’I ( orang yang dititipi barang )

3. Wadi’ah ( barang yang dititipkan )


4. Shigot ( Ijab dan qobul )

D. Jenis-Jenis Barang yang diwadia’ah kan

 Jenis_jenis Wadiah

1. Wadiah Yad Amanah

Ketentuan pokok pada operasional wadi’ah yad al-amanah :


a. Harta atau barang yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan dan digunakan oleh penerima
titipan;

b. Penerima titipan hanya berfungsi sebagai penerima amanah yang bertugas dan
berkewajibanuntuk menjaga barang yang dititipkan tanpa boleh
memanfaatkannyaMengingat barang atau harta yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan
oleh penerima titipan.

2. Wadi’ah Yad Dhamanah (guarantee depository)


Akad penitipan barang/uang dimana pihak penerima titipan dapat memanfaatkan
barang/uang titipan dan harus bertanggung jawab terhadap kehilangan atau kerusakan
barang/uang titipan.
F. KESIMPULAN
Konsep Alwadiah yang di bicarakan dalam Fiqih islam di indonesia di praketkan di Bank-
Bank yang mengunakan sistem Syariat seperti di bank Muamalat Indonesia (BMI) .Bank
Muamalat Indonesia Mengatakan.
Wadi’ah dengan titipan Murni dengan seizin penitip boleh di gunakan oleh bank konsep
alwadiahyang dikembangkan bank muamalat indonesia adalah wadiah yad dhmanah(Titipan
dengan resiko ganti rugi )oleh sebab itualwadiah oleh para fakar figh di sifati dengan yad al-
manah (Dengan Resiko Ganti Rugi)

V. Mudharabah
Mudharabah dapat di definisikan sebagai sebuah perjanjian antara dua belah pihak dimana satu
pihak, pemilik modal (shahibul mal) mempercayakan sejumlah dana kepada pihak lain, pengusaha
(mudharib) untuk menjalankan suatu aktivitas usaha.
Sedangkan dalam ilmu Fiqih Mudharabah didefinisikan sebagai akad persekutuan dalam keuntungan
dengan modal dari satu pihak dan kerja dari pihak lain.

B.   Dasar Hukum Mudharabah


Secara umum dasar hukum al mudharabah lebih mencerminkan anjuran untuk melakukan usaha.
Hal ini tampak dalam ayat-ayat dan hadits sebagai berikut :
a.    Alqur’an
b.   Al-Hadits
c.     Ijma
d.    Qiyas

C.  Jenis-jenis Mudharabah
Secara umum, mudharabah terbagi menjadi dua jenis yaitu, mudharabah mutlaqah dan mudharabah
muqayadah.

a.    Mudharabah Muthlaqah


b.      Mudharabah Muqayyadah
D.  Syarat-syarat Mudharabah
1.      Syarat Aqidani
2.   Syarat Modal
3.      Syarat-Syarat Laba
Selain syarat-syarat diatas ada pula syarat yang lainnya yaitu syarat fasid dan syarat sahih
 Syarat fasid (tidak benar)
 Syarat Sahih
E.   Ketentuan-Ketentuan Dalam Mudharabah
1.      Modal mudharabah harus berupa mata uang penuh yang ditentukan sewaktu akad dan diserahkan
kepada pihak pengusaha setelah selesai ijab sesuai dengan yang telah disepakati.
2.  Pembagian keuntungan tidak sah jika hanya dilakukan sebelah pihak.
3.    Dasar dari pembiayaan mudharabah adalah modal berasal dari pihak pemodal sedang kerja
dilakukan oleh pihak pengusaha.
4.    ika dalam usaha megalami kerugian maka kerugian ditanggung oleh pihak pemodal.sedangkan
pihak pengusaha menanggung kerugian berupa tidak mendapatkannya hasil jerih payah selama
usaha itu berjalan.
5.    Mudharabah dapat dibubarkan oleh pemilik modal pada waktu kapanpun sebelum usaha tersebut
dimulai.
6.    Usaha yang dijalankan harus halal.
7.    Mudharabah harus dilakukan oleh dua pihak dan disahkan oleh hokum yang berlaku.
8.    Dilarang mencampur adukan harta mudharabah dengan harta pribadi atau harta lainnya.
9.    Perjanjian mudharabah selesai dengan jangka waktu yang telah disepakati atau meninggalnya
salah satu pihak.
10.  Jika terjadi pembatalan maka modal dan untung harus dikembalikan kepada pemodal, dan
pengusaha berhak menuntut upah atas usaha yang sudah dijalankan.
11.  Jika terjadi suatu kerusakan maka kerusakan tersebut dapat diganti dari keuntungan yang sudah
ada.
F.    Rukun Mudharabah
Para ulama berbeda pendapat tentang rukun mudharabah. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa
rukun mudharabah adalah ijab dan qabul, yakni dengan menggunakan lafadz mudharabah, muqaridah,
muamalah, atau kata-kata yang searti dengannya.

Jumhur ulama berpendapat bahwa rukun mudharabah ada tiga yaitu:


1.      Dua orang yang melakukan akad (al-aqidani)
2.      Modal (ma’qudalaih)
3.      Sighat (ijab dan qabul)
Sedangkan ulama salafiyah lebih merinci lagi menjadi lima rukun, yaitu modal, pekerjaan, laba,
sighat, dan dua orang yang akad.
Sedangkan imam Al Syarbini dalam Syarh Al Minhaaj menjelasakan bahwa rukun Mudharabah ada
lima, yaitu Modal, jenis usaha, keuntungan, pelafalan transaksi dan dua pelaku transaksi
G.   Hikmah Disyariatkan Mudharabah
Islam mensyariatkan kerjasama mudharabah untuk memudahkan orang pelaku usaha dalam
menjalankan usahanya, karena sebagian mereka memiliki harta namun tidak mampu mengelola hartanya,
dan disana ada orang yang tidak memiliki harta namun memiliki kemampuan untuk mengelola dan
mengembangkannya.
Maka syariat memperbolehkan kerjasama ini agar mereka bisa saling mengambil manfaat diantara
mereka. Shahibul Mal (investor) memanfaatkan keahlian Mudharib (pengelola), dimana dia
memanfaatkan harta dan dengan demikian terwujudlah kerjasama harta dan amal. Karena Allah tidak
mensyariatkan satu akad kecuali untuk kemaslahatan serta menolak kerusakan

H.   Berakhirnya Usaha Mudharabah


Berakhirnya suatu usaha mudharabah dapat terjadi apa bila terjadi hal-hal sebagai berikut :
1.      Debitur telah membayar lunas atas modal yang diterimanya.
2.      Pembatalan perjanjian mudharabah yang dilakukan oleh pihak debitur.
3.      Musnahnya objek pembiayaan.
4.      Terjadinya kerugian total yang dialami oleh kreditur sehingga menyebabkan tidak sanggupnya
mengembalikan modal dari debitur.
5.      Kreditur mengakhiri pembiayaan apabila usahanya mengalami kerugian terus menerus.

Soal 2 : Buatlah contoh daripada konsep pelaksanaan Iljarah (Leasing) dan


jelaskan perbedaan dengan leasing konvensional ?

Ijarah merupakan suatu jenis akad untuk memanfaatkan jasa, baik jasa atas barang ataupun jasa
atas tenaga kerja. Bila digunakan untuk mendapatkan manfaat barang maka disebut sewa-
menyewa. Sedangkan jika digunakan untuk mendapatkan manfaat tenaga kerja maka disebut
upah mengupah. Pada ijarah tidak terjadi perpindahan kepemilikan objek ijarah. Objek ijarah
tetap menjadi milik yang menyewakan.

Konsep dari ijarah

Konsep ijarah mulai dikembangkan pada masa Khalifah Umar bin Khatthab yaitu ketika adanya
sistem bagian tanah dan adanya langkah revolusioner dari Khalifah Umar yang melarang
pemberian tanah bagi kaum muslim di wilayah yang ditaklukkan. Sebagai solusi dari hal itu,
maka Khalifah Umar mengambil langkah yaitu membudidayakan tanah berdasarkan
pembayaran kharaj dan jizyah.

Adapun yang menjadi landasan syariah dalam ijarah ialah;

 Pertama, yang terdapat dalam Al-Quran Surat al-Zukhruf ayat 32 yang artinya “Apakah
mereka yang membagi-bagikan rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara
mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan
sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih
baik dari pada apa yang mereka kumpulkan”. 
 Kedua, dapat dilihat dalam Al-Quran Surat al-Baqarah ayat 233 yang artinya sebagai
berikut “Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain maka tidak ada dosa
bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah kepada
Allah dan ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang kamu perbuat”.
  Ketiga, dilihat dalam Al-Quran Surat al-Qashash ayat 26 yang artinya “Salah seorang
dari kedua wanita itu berkata: Hai ayahku! Ambillah ia sebagai orang yang bekerja pada
kita, karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada
kita) adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”.

Berdasarkan sunnahnya maka terdapat beberapa landasan yaitu;

 pertama, berdasarkan hadis riwayat Ibnu Majjah dari Ibnu Umar, bahwa Nabi
Muhammad SAW bersabda yang artinya “Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya
kering”. 
 Kedua,hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas bahwa
Nabi Muhammad SAW mengemukakan yang artinya “Berbekamlah kamu, kemudian
berikanlah olehmu upahnya kepada tukang bekam itu”.
 Ketiga, Hadis riwayat Abd. Razaq dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Muhammad SAW
bersabda “Barang siapa yang mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya”. 
 Keempat, Hadis riwayat Abu Dawud dari Saad bin Abi Waqqash, bahwa Nabi
Muhammad SAW bersabda “Kami pernah menyewakan tanah dengan (bayaran) hasil
pertaniannya, maka Rasulullah melarang kami melakukan hal tersebut dan
memerintahkan agar kami menyewakannya dengan emas atau perak”.
 Kelima, Hadis riwayat Tirmizi dari Amr bin Auf bahwa Nabi Muhammad SAW
bersabda “Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin, kecuali perdamaian
yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram, dan kaum muslimin
terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram”.

Contoh dari pelaksaan ijarah dari segi pembiayaan dan perbedaannya terlihat jelas;

Perlu digaris bawahi bahwa ijarah sebagaimana yang didefinisikan oleh DSN MUI tersebut
adalah prinsip syariah yang digunakan dalam pembiayaan, bukan akad atau perjanjian
pembiayaan itu sendiri. Bila ijarah secara fikih merupakan suatu akad sewa menyewa, maka
dalam konteks UU no.10/ 1998 ijarah adalah suatu prinsip dalam penyediaan uang atau tagihan.
Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang
dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak
lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut
setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil. Prinsip Syariah itu antara lain
pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan
adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak
lain (ijarah wa iqtina, istilah ini dipermakan dengan istilah ijarah mumtahiay bi tamlik). Jadi,
perjanjian pembiayaan ijarah dapat diartikan sebagai suatu perjanjian untuk membiayai kegiatan
sewa menyewa., bukan kegiatan sewa menyewa itu sendiri.
Definisi pembiayaan yang digunakan dalam UU 10/1998 sebenarnya sangat mirip dengan
definisi kredit menurut UU yang sama. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara
bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang peminjam untuk melunasi utangnya
setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Beda kredit, pembiayaan, dengan leasing
Terdapat perbedaan antara kredit (yang diberikan oleh bank konvensional), pembiayaan (yang
diberikan oleh bank syariah) dengan leasing (yang diberikan oleh perusahaan pembiayaan).
Oleh karenanya ketentuan hukum tentang pinjam meminjam dalam buku ketiga KUH Perdata
tidak berlaku terhadap leasing. Demikian juga tidak berlaku untuk leasing segala ketentuan
perbankan yang ada.
Kredit dan pembiayaan ijarah bertujuan menyediakan dana sementara leasing bertujuan
menyewakan barang modal. Kredit terfokus kepada uang, jadi kreditur bukan pemilik dari
barang yang didanai. Pembiayaan ijarah pada dasarnya mempunyai definisi yang sama dengan
kredit, bedanya pada prinsip syariah yang digunakan. Perbedaan yang kedua adalah bank dapat
memiliki atau tidak memiliki barang yang didanai. Sedangkan pada leasing, paling tidak secara
yuridis, lessor merupakan pemilik barang modal.
Jelaslah leasing tidak sama dengan pembiayaan ijarah. Leasing tunduk pada Surat Keputusan
Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan no.KEP122/MK,
no.32/M/SK, no. 30/Kpb semuanya tahun 1974. Yang dirinci dalam KMK no.649, Pengumuman
Dirjen Moneter no.Peng-307; untuk aspek perpajakan diatur dalam KMK no.650, semuanya
tahun 1974. Setelah berbagai aturan yang dikeluarkan di tahun 1974, ada beberapa peraturan
lagi yang mengatur tentang leasing, termasuk untuk aspek perpajakan yang diatur dalam UU
no.18/2000 dan PP 143 & PP 144 tahun 2000.Sedangkan pembiayaan ijarah tunduk pada UU
no.10/1998, SK Dir BI no.32/34/1999, dan berbagai ketentuan perbankan lainnya. 
Beda Ijarah, Sewa Menyewa, Pembiayaan Ijarah dan Leasing
Pembiayaan Ijarah tidak sama dengan Ijarah. Ijarah mempunyai definisi yang sama dengan
dengan definisi sewa menyewa. Sedangkan pembiayaan ijarah mempunyai definisi yang sangat
mirip dengan definisi kredit, kecuali dalam hal penggunaan prinsip syariah pada pembiayaan
ijarah. Ijarah adalah akad sewa menyewa, sedangkan pembiayaan ijarah adalah perjanjian untuk
membiayai kegiatan sewa menyewa.
Pada leasing, lessor berkedudukan sebagai penyandang dana, baik tunggal atau bersama-sama
dengan penyandang dana lainnya. Sementara objek leasing disediakan oleh pihak ketiga atau
oleh lessee sendiri. Sebaliknya pada sewa menyewa biasa, barang objek sewa adalah memang
miliknya lessor. Jadi kedudukan lessor adalah sebagai pihak yang menyediakan barang objek
sewa.
Pada ijarah, bank hanya wajib menyediakan aset yang disewakan, baik aset itu miliknya atau
bukan miliknya. Yang penting adalah bank mempunyai hak pemanfaatan atas aset yang
kemudian disewakannya. Fatwa DSN tentang ijarah ini kemudian diadopsi kedalam Pernyataan
Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 59 yang menjelaskan bahwa bank dapat bertindak sebagai
pemilik objek sewa, dan bank dapat pula bertindak sebagai penyewa yang kemudian
menyewakan kembali (para 129). Namun tidak seluruh fatwa DSN diadopsi oleh PSAK 59,
misalnya fatwa DSN mengatur bahwa objek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang
dan/atau jasa; sedangkan PSAK 59 hanya mengakomodir objek ijarah yang berupa manfaat dari
barang.

Pada pembiayaan ijarah, bank berkedudukan sebagai penyedia uang atau tagihan yang
dipersamakan dengan itu dalam rangka penyewaan barang berdasarkan prinsip ijarah. Mengikuti
penjelasan ijarah dalam PSAK 59, maka pembiayaan ijarah dapat digunakan untuk membiayai
penyewaan barang yang kemudian disewakannya kembali kepada nasabah, dan dapat pula
digunakan untuk membiayai pembelian barang yang kemudian disewakannya kepada nasabah.

Pada leasing biasanya masih dibutuhkan jaminan tertentu, sedangkan pada sewa menyewa dan
pada ijarah tidak ada jaminan tersebut. Kalaupun diminta jaminan pada sewa dan pada ijarah
biasanya berupa security deposit (titipan jaminan pembayaran sewa). Sedangkan pada leasing
diminta jaminan berupa personal guarantee, fidusia terhadap barang modal yang bersangkutan,
kuasa menjual barang modal, dan lain lain. Pada pembiayaan ijarah, karena bentuknya adalah
penyediaan uang atau tagihan, sama dengan bentuk kredit, jaminan yang diminta sama dengan
jaminan pada kredit. Bentuknya dapat berupa APHT, fidusia, cessie, guarantee, dan lain lain.
Beda IMBT, sewa beli, pembiayaan IMBT dan Leasing
IMBT merupakan kependekan dari Ijarah Mumtahiya bit Tamlik. Pembiayaan IMBT tidak sama
dengan IMBT, begitupun IMBT tidak sama dengan sewa beli, dan tidak sama pula dengan
leasing. Dalam sewa beli, lessee otomatis jadi pemilik barang di akhir masa sewa. Dalam IMBT,
janji pemindahan kepemilikan di awal akad ijarah adalah wa’ad (janji) yang hukumnya tidak
mengikat. Bila janji itu ingin dilaksanakan, maka harus ada akad pemindahan kepemilikan yang
dilakukan setelah masa ijarah selesai. Sedangkan pada leasing, kepemilikan lessee tersebut
hanya terjadi bila hak opsinya dilaksanakan oleh lessee. Pada pembiayaan IMBT, bank sebagai
penyedia uang untuk membiayai transaksi dengan prinsip IMBT paling tidak mempunyai dua
pilihan. Pertama, besarnya angsuran bulanan IMBT yang harus dibayarkan nasabah kepada bank
telah memasukkan komponen nilai perolehan barang IMBT, sehingga pada akhir masa ijarah
nilai perolehan barang IMBT yang masih tersisa telah nihil. Dalam hal ini, meskipun secara
teori fikih dikatakan hukumnya tidak mengikat untuk memindahkan kepemilikan barang
tersebut, namun secara praktik bisnisnya barang tersebut akan diserahkan kepemilikannya
kepada nasabah. Jadi dalam hal ini pembiayaan IMBT lebih mirip dengan sewa beli
dibandingkan dengan leasing.

Kedua, besarnya angsuran bulanan IMBT yang harus dibayarkan nasabah kepada tidak
memasukkan komponen nilai perolehan barang IMBT, sehingga pada akhir masa ijarah nilai
perolehan barang IMBT yang masih tersisa tidak nihil (biasanya disebut nilai residu). Dalam hal
ini, bila nasabah membayar nilai residu tersebut maka bank akan memindahkan kepemilikannya
pada nasabah. Namun bila nasabah belum membayar nilai residunya, bank belum memindahkan
kepemilikan tersebut. Jadi dalam hal ini pembiayaan IMBT lebih mirip dengan leasing
dibandingkan dengan sewa beli.

Pihak lessor dalam leasing hanya bermaksud untuk membiayai perolehan barang modal oleh
lessee, dan barang tersebut tidak berasal dari pihak lessor, tapi dari pihak ketiga atau dari pihak
lessee sendiri. Pada sewa beli, lessor bermaksud melakukan semacam investasi dengan barang
yang disewakannya itu dengan uang sewa sebagai keuntungannya. Karena itu, biasanya barang
tersebut berasal dari milik pemberi sewa sendiri. Pada IMBT keduanya dapat terjadi,
menyediakaan barang sewa dengan cara menyewa, kemudian menyewakannya kembali. Juga
dimungkinkan menyediakan barang sewa dengan membeli kemudian menyewakannya.(br)

Pada pembiayaan IMBT, bank sebagai penyedia uang untuk membiayai transaksi dengan prinsip
IMBT dapat saja membiayai penyewaan barang kemudian barang tersebut disewakan kembali,
dan dapat pula membiayai pembelian barang kemudian barang tersebut disewakan. Yang jelas
pembiayaan IMBT adalah penyediaan uang untuk membiayai transaksi dengan prinsip IMBT,
bukan akad IMBT itu sendiri.
Terakhir, leasing boleh dilakukan oleh perusahaan pembiayaan sedangkan sewa beli tidak
termasuk kegiatan lembaga pembiayaan. Pembiayaan IMBT boleh dilakukan oleh bank syariah,
sedangkan sewa beli, leasing, IMBT tidak termasuk kegiatan bank syariah.

Perbedaan Ijarah dengan Leasing

 Ijarah

Objeknya berupa :
 Manfaat barang + jasa
Sistem pembayaran
 Bentuk tetap
  Bentuk tidak tetap
Kepemilikan :
 Tidak dimiliki ketika kontrak habis
 Dijanjikan untuk dijual/dihibahkan di awal periode kontrak.
Lease purchase /sewa – beli :

 Haram karena gharar (antara sewa dan beli).

 Leasing

Objeknya  :
 Manfaat barang saja
Sistem pembayaran
 Bentuk tetap

Kepemilikan
 Tidak dimiliki ketika kontrak habis
 Kesempatan untuk dibeli pada akhir kontrak

Lease purchase :
 : tidak ada masalah.

Anda mungkin juga menyukai