Anda di halaman 1dari 12

TUGAS MODUL

TENTANG

MANAJEMEN INVESTASI BANK SYARIAH

DISUSUN OLEH:

Nama : Nurlia firjawan

Nim : 2004020186

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI PALOPO FAKULTAS

EKONOMI DAN BISNIS ISLAM PRODI PERBANKAN SYARIAH


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas modul ini

Shalawat dan salam tak lupa pula kita kirimkan junjungan kita nabi besar yaitu nabi
Muhammad SWT yang telah membawa kita dari alam gelap menuju alam terang benderang
seperti sekarang ini yang penuh dengan teknologi yang yang canggih

Adapun tujuan dari penulisan modul ini adalah untuk memenuhi tugas (dosen/guru)pada
mata kuliah (MANAJEMEN INVESTASI BANK SYARIAH)

Saya menyadari bahwa penulisan modul ini masih jauh dari kata sempurna oleh karena itu
saya mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan modul ini

Akhir kata semoga modul ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan dapat menambah
wawasan kita dalam mempelajari serta dapat digunakan sebagai mestinya dalam kehidupan
kita sehari-hari
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

BAB l

a. Konsep akad dan wa'ad


b. Apa perbedaan akad dan wa'ad dikalangan ulama
c. Fatwa DSN MUI yang berbicara tentang wa'ad
d. Jenis - jenis transaksi yang dilarang dalam Islam

BAB ll

a. Bagaimana implementasi pada perbankan konvensional


b. Apakah produk yang ada di bank konvensional itu sama saja yang ada di bank syariah
c. Saran
BAB l
A. Konsep akad dan wa'ad

Menurut bahasa, akad adalah Ar-rabbth (ikatan), sedangkan menurut istilah akad memiliki
dua makna yaitu makna khusus dan makna umum. Makna khusus akad adalah ijab dan qabul
yang melahirkan hak dan tanggungjawab terhadap objek akad (ma'qud 'alaih).

Sedang makna umum akad adalah setiap perilaku yang melahirkan hak, atau mengalihkan
atau mengubah atau mengakhiri hak, baik itu bersumber dari satu pihak ataupun dua pihak.
Hanafiyah lebih memilih makna khusus, sedang Malikiyah, Syafi'iyah, dan Hanabilah memilih
makna umum.

Secara terminologi, Wahbah al Zuhaili mendefinisikan akad dengan : "Pertalian atau


keterikatan antara ijab dan qabul sesuai dengan kehendak syariah (Allah dan Rasul-Nya) yang
menimbulkan akibat hukum pada objek perikatan"

Secara etimologis wa‟ad memiliki arti di antaranya adalah hadda yang berarti ancaman (al-
wa„id), dan takhawwafa (menakut-nakuti). Dari segi cakupannya, al-wa„d mencakup perbuatan
baik dan buruk meskipunn pada umumnya janji digunakan untukmelakukan perbuatan baik.
Dalam literatur fikih, digunakan dua kata yang sebenarnya satu akar, yaitu alwa„d dan al- ‟idah.

Pengertian lain adalah “keinginan yang dikemukakan oleh seseorang untuk melakukan
sesuatu, baik perbuatan maupun ucapan, dalam rangka memberi keuntungan bagi pihak lain”.
Janji ini hanya bersifat penyampaian suatu keinginan (ikhbar) dan tidak mengikat secara hukum,
namun hanya mengikat secara moral. Orang yang memberikan janji (wa‟ad), apabila
menjalankan janji tersebut merupakan bentuk etika yang baik (akhlak karimah) karena
didasarkan pada kontrak kebajikan (tabarru) sebagaimana hibah (Fathurrahman Djamil, 2012,
2)

B. Perbedaan akad dan wa'ad

akad, wa‟ad adalah janji satu pihak kepada pihak lainnya, sementara akad adalah kontrak
antara dua belah pihak. Wa‟ad hanya mengikat satu pihak (one way), sementara akad mengikat
kedua belah pihak.

C. Apa perbedaan akad dan wa'ad dikalangan ulama


Ulama berpendapat jika akad itu memberikan konsekuensi adanya ikatan, maka wa’ad
hanya janji dari satu pihak ke pihak lainnya. Dengan demikian, tidak ada tanggung jawab atau
kewajiban apa-apa bagi pihak yang memberi wa’ad. Dalam pandangan hukum, wa’ad boleh
dibatalkan karena ia tidak memiliki implikasi hukum. Akan tetapi menjadi kurang tepat jika kita
memandang wa’ad sebagai amanah yang seharusnya ditunaikan, namun tidak dilaksanakan.

D. Fatwa DSN MUI yang berbicara tentang wa'ad serta jelaskan maksud wa'ad disetiap fatwa
tersebut yaitu fatwa tentang murabahah, IMBT, MMQ, PRKS dan shar.

1. Fatwa tentang murabahah

Murâbahah adalah jual-beli dengan dasar adanya infoemasi dari pihak penjual terkait
dengan harga pokok pembelian dan tingkat keuntungan yang diinginkan (Panji Adam, 2017, 19).
Janji yang berkaitan dengan jual-beli murâbahah, antara lain dapat dilihat dalam fatwa DSN-
MUI Nomor: 4/DSN-MUI/IV/2000.

Dalam akad murâbahah yang di implementasikan di Lembaga Keuangan Syariah terdapat


janji untuk membeli barang dari penjual (LKS), karena tahapan utama akad murâbahah yang
terjadi di LKS adalah sebagai berikut: (1) janji nasabah untuk membel njek; (2) transaksi jual-beli
antara nasabah dengan LKS atas barang sesuai pesanan (janji dari nasabah untuk membeli).

Substansi DSN-MUI Nomor: 4/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murâbahahadalah sebagai


berikut: (1) Nasabah mengajukan permohonan dan janji pembelian suatu barang atau aset
kepada bank; (2) Jika bank menerima permohonan tersebut, ia harus membeli terlebih dahulu
aset yang dipesannya secara sah dengan pedagang; (3) Bank kemudian menawarkan aset
tersebut kepada nasabah dannasabah harus menerima (membeli)-nya sesuai dengan janji yang
telah disepakatinya, karena secara hukum janji tersebut mengikat; kemudian kedua belah pihak
harus membuat kontrakjual beli; (4) Dalam jual beli ini bank dibolehkan meminta nasabah
untuk membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan; (5) Jika
nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut, biaya riil bank harus dibayar dari uang
muka tersebut; (6) Jika nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus ditanggung oleh bank,
bank dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada nasabah; (7) Jika uang muka memakai
kontrak „urbun sebagai alternatif dari uang muka, maka: (a) jika nasabah memutuskan untuk D
membeli barang tersebut, ia tinggal membayar sisa harga; (b) jika nasabah batal membeli, uang
muka menjadi milik bank maksimal sebesar kerugian yang ditanggung oleh bank akibat
pembatalan tersebut; dan jika uang muka tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi
kekurangannya

2. Fatwa tentang IMBT


Menurut Muhamad Usman Syabir (1992, 327) ijârah muntahiya bi al-tamlîk, adalah bank
syariah menyediakan barang yang akan disewakan kepada nasabah sampai waktu tertentu
dengan tambahan ujrah misli (fee) atas dasar nasabah dapat memiliki barang setelah berakhir
waktu sewa dengan akad baru, yakni akad jual beli.

Aturan mengenai ijârah muntahiya bi al-tamlîk (IMBT) terdapat dalam fatwa DSN-MUI
Nomor: 27/DSN-MUI/III/2002. Ketentuan mengenai wa‟ad (janji) dalam akad ini adalah sebagai
berikut: (1) Pihak yang melakukan al-Ijarah al-Muntahiah bi al-Tamlik harus melaksanakan akad
Ijarah terlebih dahulu. Akad pemindahan kepemilikan, baik dengan jual beli ataupemberian,
hanya dapat dilakukan setelah masa Ijarah selesai; (2) Janji pemindahan kepemilikan yang
disepakati di awal akad Ijarah adalah wa'd ( ‫) الوعد‬, yang hukumnya tidak mengikat. Apabila janji
itu ingin dilaksanakan, maka harus ada akad pemindahan kepemilikan yang dilakukan setelah
masa Ijarah selesai.

3. Fatwa tentang MMQ

Musyarakah Mutanaqisah adalah Musyarakah atau Syirkah yang kepemilikan asset (barang)
atau modal salah satu pihak (syarik) berkurang disebabkan pembelian secara bertahap
olehpihak lainnya.

Konsep mengenai Musyarakah Mutanaqisah (MMQ) terdapat dalam fatwa DSN-MUI


Nomor: 73/DSN-MUI/XI/2008. Ketentan mengenai wa‟ad (janji) dalam fatwa tersebut terlihihat
dalam substansi fatwa sebagai berikut: “Dalam akad Musyarakah Mutanaqisah, pihak pertama
(syarik) wajib berjanji untuk menjual seluruh hishshah-nya secara bertahap dan pihak kedua
(syarik) wajib membeli

4. Fatwa tentang PRKS

Pembiayaan Rekening Koran Syariah (PRKS) adalah suatu bentuk pembiayaan rekening
koran yang dijalankan berdasarkan prinsip syari‟ah. Aturan mengenai PRKS (Pembiayaan
Rekening Koran Syariah) terdapat dalam fatwa DSN-MUI Nomor; 55/DSNMUI/V/2007. Dalam
akad yang berlaku dalam produk Rekening Koran Syariah terdapat janji dari calon pembeli
untuk membeli barang dari penjual. Janji yang dimaksud itu mengikat kedua belah pihak
sebagaimana dalam substansi fatwa DSNMUI tentang PRKS, yaitu: “Pembiayaan Rekening Koran
Syariah (PRKS) Musyarakah dilakukan berdasarkan akad musyarakah dan boleh disertai dengan
wa‟d”.

5. Fatwa tentang jual beli mata uang

Dalam akad yang berlaku dalam forward agreement terdapat janji dari calon pembeli untuk
membeli valas dalam jumlah dan kurs dari calon penjual. Menruut fatwa DSN-MUI Nomor
28/DSNMUI/III/2002 tentang Jual Bli Mata Uang (Al-Sharf) transaksi forward agreement
tersebut itu dibolehkan sebagai alternatif dari forward dengan meyerahkan valas secara tidak
tunai.

D. Jenis jenis transaksi yang terlarang dalam Islam baik itu dalam kehidupan sehari-hari
maupun praktek yang ada dalam perbankan syariah atau lembaga keuangan syariah

1. Tadlis atau penipuan

Tadlis (‫ )تدلیس‬secara bahasa adalah menyembunyikan kecacatan, menutupnutupi dan asal


kata tadlis diambil dari kata dalas yang berarti gelap (remangremang). Al-Azhari mengatakan
tadlis diambil dari kata ‫( دلسة‬dulsah) yang berarti(gelap) maka apabila penjual menutupi dan
tidak menyampaikan kecacatan barangdagangannya maka ia telah berbuat tadlis. Penipuan
yang dilakukan oleh penjualyaitu menyembunyikan keburukan barang yang dijualnya baik
dalam kualitas maupun kuantitas

a. Sebab keharamannya

dengan adanya penipuan yang dilakukan oleh penjual hukumnyamenjadi haram dan harta
yang di peroleh penjual tidak mendapat keberkahan .7Kondisi ideal dalam pasar adalah apabila
penjual dan pembeli mempunyaiinformasi yang sama tentang barang akan diperjualbelikan.
Apabila salah satupihak tidak mempunyai informasi seperti yang dimiliki oleh pihak lain, maka
salah satu pihak akan merasa dirugikan dan terjadi kecurangan atau penipuan.Dalam sistem
ekonomi Islam hal ini juga dilarang karena adanya informasi yangtidak sama antara kedua belah
pihak, maka unsur “an tarradin minkum” (relasama rela) dilanggar.

b. Landasan hadis

Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa dalam segala kegiatan transaksi harusberlaku transparan
dan tidak ada yang di manipulasikan antara kedua belah pihakyang bersangkutan. Dalam al-
Qur’an surat Al-An’aam ayat 152, Allah SWT
berfirman:

....‫ واوفوا الكيل اوالميزان بالقسط ال نكلف نفسا اال وسعها‬.....

Artinya: Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kamitidak memikul beban
kepada seseorang melainkan sekadar kesanggupannya”.(QS. Al-An’aam :152).

c. jenis-jenis tadlis
1. Tadlis dalam kualitas

Tadlis (penipuan) dalam kualitas termasuk juga menyembunyikan cacatatau kualitas barang
yang buruk yang tidak sesuai dengan yang disepakati olehpenjual dan pembeli. Contoh tadlis
dalam kualitas adalah pada pasar penjualankomputer bekas. Pedagang menjual komputer
bekas dengan kualifikasi Pentium III dalam kondisi 80% baik, dengan harga 3.000.000.00. pada
kenyataannya, tidaksemua penjual menjual komputer bekas dengan kualifikasi yang sama.
Sebagian penjual menjual komputer dengan kualifikasi yang lebih rendah, tetapimenjualnya
dengan harga yang sama, yaitu Rp 3.000.000,00. Pembeli tidak dapatmembedakan mana
komputer dengan kualifikasi rendah dan mana komputer dengan kualifikasi yang lebih tinggi,
hanya penjual saja yang mengetahui dengan pasti kualifikasi komputer yang dijualnya.

Ekuilibrium akan terjadi apabila penjual menjual komputer kualitas burukkepada pembeli
yang melihat komputer itu sebagai komputer yang berkualitasburuk, atau bila penjual menjual
komputer kualitas baik kepada pembeli yanmelihat komputer itu sebagai komputer yang
berkualitas baik. Dengan kata lain, komputer berkualitas buruk mempunyai pasarnya sendiri,
dan komputer yang berkualitas baik mempunyai pasarnya sendiri.

2. Tadlis dalam harga

Tadlis (penipuan) dalam harga ini termasuk menjual barang dengan hargayang lebih tinggi
atau lebih rendah dari harga pasar karena ketidak tahuan pembeliatau penjual. Dalam fiqih
disebut ghaban. Katakanlah seorang musafir datang dariJakarta menggunakan kereta api, tiba
di Bandung. Ia kemudian naik taksi, namuntidak tahu harga pasaran taksi dari stasiun kereta api
ke Jalan Braga di Bandung.Katakan pula harga pasaran ongkos taksi untuk jarak itu adalah
Rp12.000,00. Supir taksi menawarkan dengan harga Rp50.000,00. Setelah terjadi
tawarmenawar akhirnya disepakati rela sama rela Rp 40.000,00. Meskipun kedua pihakrela
sama rela, namun hal ini dilarang karena kerelaan si musafir bukan kerelaanyang sebenarnya, ia
rela dalam keadaan tertipu.

3. Tadlis dalam kuantitas

Tadlis (penipuan) dalam kuantitas termasuk juga kegiatan menjual barangkuantitas sedikit
dengan harga barang kuantitas banyak. Misalnya menjual bajusebanyak satu container. Karena
jumlah banyak dan tidak mungkin untukmenghitung satu persatu, penjual berusaha melakukan
penipuan denganmengurangi jumlah barang yang dikirim kepada pembeli.

4. Tadlis dalam waktu

Seperti juga pada tadlis (penipuan) dalam kuantitas, kualitas, dan harga,tadlis dalam waktu
penyerahan juga dilarang. Contoh tadlis dalam hal ini ialahbila si penjual tahu persisi bahwa ia
tidak akan dapat menyerahkan barang tepatpada waktu yang dijanjikan, namu ia sudah berjanji
akan menyerahkan barangpada waktu yang telah dijanjikan. Walaupun konsekuensi tadlis
dalam waktutidak berkaitan secara langsung dengan harga ataupun jumlah barang
yangditransaksikan, namun masalah waktu adalah sesuatu yang sangat penting

2. Gharar

Gharar yaitu ketidakpastian dalam transaksi yang diakibatkan dari tidak terpenuhinya
ketentuan syariah dalam transaksi tersebut. Dampak dari transaksi yang mengandung gharar
adalah adanya pendzaliman atas salah satu pihak yang bertransaksi sehingga hal ini dilarang
dalam islam.

1. Alasan kenapa gharar itu di haramkan

karena keterkaitannya dengan memakan harta orang lain dengan cara tidak benar, jadi
bukan semata-mata adanya unsur risiko, ketidakpastian ataupun disebut pula dengan game of
chance. Karena hal ini akan mengakibatkan merugikan bagi pihak lain.

2. Jenis-jenis gharar

1. dari segi kuantitas tidak sesuainya timbangan atau takaran,

2. dari sisi kualitas terdapat ketidakjelasan pada kualitas barang,

3. dari sisi harga adanya dua harga dalam satu transaksi,

4. dari sisi waktu yaitu terdapat ketidakjelasan pada waktu penyerahan.

3. Maysir

Maysir atau Qimar yaitu suatu bentuk permainan yang didalamnya dipersyaratkan, jika
salah seorang pemain menang, maka ia akan mengambil keuntungan dari pemain yang kalah
dan sebaliknya. Contoh dari maysir ini adalah judi, sedangkan beberapa aktivitas yang termasuk
dalam kategori judi yang telah dilarang misalnya seperti SMS berhadiah sesuai dengan Fatwa
MUI No. 9 Tahun 2008 Tentang SMS Berhadiah dan kuis berbasis telepon sesuai arahan dari Dr.
Nasr Farid, Mufti Mesir, Sekjen Majma al Buhuts al Islamiyyah, Wafa Abu ‘Ajuz dan Syeikh Abdul
Aziz bin Baz.

4. Riba
Dari segi istilah bahasa sama dengan “Ziyadah” artinya tambahan, sedangkan menurut
istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok (modal) secara
bathil.Terdapat perbedaan pendapat dalam menjelaskan riba. Secara umum Riba adalah
penambahan terhadap hutang. Maknanya: Setiap penambahan pada hutang baik kwalitas
ataupun kwantitas, banyak maupun sedikit, adalah riba yang diharamkan.

Landasan mengenai Riba ini sudah ada dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa ( 4 ) ayat 29 yang berarti :

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan yang
bathil”.

Adapun yang dimaksud dengan jalan yang bathil dalam hal ini yaitu pengambilan tambahan
dari modal pokok tanpa ada imbalan pengganti (kompensasi) yang dapat dibenarkan oleh
Syar’i. Riba secara garis besar dibagi menjadi 2 yaitu Riba Ad Duyun dan Riba Al Buyu’. Riba Ad
Duyun dikelompokan lagi menjadi Riba An Nasi’ah/Al Jahiliyah dan Riba Al Qardh, sedangkan
Riba Al Buyu’ dikelompokan menjadi Riba Al Fadhl dan Riba An nasa’. Untuk bahasan lebih
lengkap mengenai Riba ini akan kita bahas pada artikel selanjutnya.

5. Bai najasy

Bai' Najasy menurut buku Bank Islam : Analisis Fiqh dan Keuangan, Adiwarman A. Karim
(2008 :34) adalah rekayasa pasar dalam demand, yaitu apabila seseorang konsumen (pembeli)
menciptakan permintaan palsu terhadap suatu produk sehingga harga jual produk itu akan
naik.

6. Iktikar

Iktikar adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh seorang pelaku ekonomi dengan
menimbun suatu barang dengan tujuan mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya tanpa
melihat kesusahan orang lain.
BAB ll

A. Bagaimana implementasi pada perbankan konvensional, serta perbandingan pada produk yang
sama di bank Syariah apakah produk yang ada di bank konvensional itu sama saja yang ada di bank
syariah, dan jika sama silakan jelaskan persamaannya dan jika berbeda silakan jelaskan perbedaannya

1. Implementasi pada perbankan konvensional

Penciptaan konsep pembiayaan murabahah merupakan akibat adanya pandangan bahwa


pembungaan uang pada bank konvensional adalah sama dengan riba. Konsep ini pertama kali dibangun
Sami Hamoud pada pertengahan 1970-an dengan istilah murabahah lil amir bis-syira’. Yaitu suatu
transaksi jual beli dimana seorang nasabah datang kepada pihak bank untuk membelikan sebuah
komoditas dengan kriteria tertentu, dan ia berjanji akan membeli komoditas tersebut secara
murabahah, yakni sesuai dengan harga pokok pembelian ditambah dengan tingkat keuntungan yang
disepakati kedua pihak, dan nasabah akan melakukan pembayaran secara cicilan berkala sesuai dengan
kemampuan finansial yang dimiliki. Adanya kebolehan bank mewakilkan kepada nasabah dalam hal
pengadaan barang menimbulkan pemahaman lebih lanjut bahwa sebenarnya bank syariah sama dengan
bank konvensional. Adanya pandangan ini dan fenomena bahwa bank syariah lebih banyak menerapkan
pembiayaan murabahah menjadikan praktik pembiayaan murabahah menarik untuk diteliti. Untuk itu,
peneliti melakukan penelitian tentang praktik murabahah pada perbankan syariah. Permasalahan yang
diangkat dalam penelitian ini adalah: (i) bagaimana pola akad pembiayaan murabahah yang dijalankan
oleh bank syariah; dan (ii) bagaimana pola penghitungan margin pembiayaan murabahah dalam
praktiknya. Untuk menjawab itu, peneliti melakukan penelitian lapangan dengan mengambil lokasi di
Kota Pekalongan dengan pertimbangan kemudahan pencarian data dan bahwa secara nasional bank
syariah memiliki kecenderungan yang sama dalam menerapkan pola akad murabahah. Teknik
pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi dan dokumentasi. Teknik analisis
deskriptif digunakan untuk mendapatkan gambaran yang sesunguhnya tentang praktik murabahah. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa bank syariah dalam menerapkan akad murabahah penuh dengan
rekayasa baik dalam rangka mengambil langkah praktis ataupun untuk menghindari pajak. Tidak pernah
terjadi jual beli antara bank dengan suplier ataupun antara bank dengan nasabah. Yang terjadi adalah
bank meminjamkan uang kepada nasabah kemudian nasabah dengan uang pinjaman itu melakukan
transaksi jual beli dengan suplier. Selain itu, bank syariah di dalam melakukan penghitungan margin dan
pokok melakukannya secara sembunyi-sembunyi, baik menggunakan pola penghitungan margin flat
ataupun anuitas dengan mengadopsi sistem penghitungan bunga pada bank konvensional. Dengan
demikian yang terjadi sebenarnya pada akad murabahah adalah akad kredit bank konvensional yang
dibungkus dengan label syariah yang menurut pendukung murabahah haram. Temuan ini akhirnya
memunculkan pandangan bahwa bank syariah itu sebenarnya adalah bank konvensional yang
menggunakan label syariah. Karena itu tesis ini mengunakan istilah bank (konvensional) syariah untuk
menggambarkan hasil temuan itu.

2. Apakah produk yang ada di bank konvensional itu sama saja yang ada di bank syariah

a. Persamaanya

Pada dasarnya, bentuk-bentuk produk penghimpunan dana yang ada pada bank konvensional
maupun bank syariah adalah sama. Bank konvensional maupun bank syariah menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, tabungan, dan deposito. Produk penyaluran dana pada
bank konvensional disebut dengan kredit, sedangkan produk penyaluran dana pada bank syariah disebut
dengan pembiayaan. Adapun produk-produk pembiayaan yang ada pada bank syariah yaitu pembiayaan
berdasarkan akad jual beli, pembiayaan berdasarkan akad sewa-menyewa, pembiayaan berdasarkan
akad bagi hasil, dan pembiayaan berdasarkan akad pinjam-meminjam yang bersifat sosial.

b. Perbedaanya

Perbedaan bank syariah dan bank konvensional yang pertama adalah dari sisi pengertian. Bank
syariah merupakan bank yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, atau prinsip
hukum islam yang diatur dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia seperti prinsip keadilan dan
keseimbangan ('adl wa tawazun), kemaslahatan (maslahah), universalisme (alamiyah), serta tidak
mengandung gharar, maysir, riba, zalim dan obyek yang haram. Sedangkan bank konvensional yaitu
bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang mana dalam kegiatannya
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran berdasarkan prosedur dan ketentuan yang telah
ditetapkan.

c. Saran

Saran saya adalah bank konvensional harus menerapkan prinsip-prinsip yang ada di bank syariah
yaitu prinsip keadilan dan keseimbangan ('adl wa tawazun), kemaslahatan (maslahah), universalisme
(alamiyah), serta tidak mengandung gharar, Natsir, zalim dan obyek yang haram. Sehingga kita bebas
dari dosa, dan bank Syariah harus meningkatkan lagi Prinsip-prinsip yang ada di dalam produknya
sehingga masyarakat akan lebih tertarik lagi untuk menggunakan bank syariah dalam kehidupannya

Anda mungkin juga menyukai