Anda di halaman 1dari 21

MODUL MANAJEMEN INVESTASI

IAIN PALOPO

Disusun Oleh:

HADIJAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM


PRODI PERBANKAN SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALOPO
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Akad memiliki peranan yang penting dalam bertransaksi. Para fuqaha‟ ketika memperkenalkan
konsep akad tentu dengan menyandarkan pada dalil-dalil syari‟at (al-rujû‟ ilâ al-Qur‟ân wa alsunnah)
untuk menentukan keabsahannya. Tujuan akad adalah agar nilai-nilai syariat yang ada di balik akad itu,
yaitu berupa kepastian bentuk transaksi dapat dicapai sehingga terhindar dari praktik transaksi yang
manipulatif.
Pada mulanya, akad hanya digunakan untuk transaksi antara perseorangan. Namun dalam
perkembangan, konsep akad banyak digunakan untuk mengembangkan berbagai produk
keuangan/bisnis syari‟ah yang melibatkan institusi lembaga dan perusahaan. DSN-MUI (Dewan
Syari‟ah Nasional-Majelis Ulama Indonesia) sebagai lembaga fatwa Islam di bidang ekonomi hingga
pertengahan 2017 telah mengeluarkan 116 fatwa terkait keuangan/bisnis syari‟ah. Bahkan, dari
fatwa-fatwa DSN-MUI tersebut, tidak sedikit yang mengadopsi konsep akad untuk dijadikan sebagai
landasan transaksi (underlying transaction) sehingga keabsahannya terlegitimasi.

Untuk melakukan transaksi bisnis, selalu diperluan akad sebagai dasar perikatan
(underlying contract). Akad berasal dari kata al-‟uqûd merupakan bentuk jamak dari al-„aqd yang
secara bahasa berarti ikatan (Wahbah al-Zuhaili, 2012, Juz. 4, 80). Kata akad memiliki akar di dalam
QS. al-Mâ`idah 5:1. Dari segi istilah, al-„aqd memiliki banyak makna di antaranya adalah irtibâth
îjâb bi qabûl „alâ wajh masyrû‟ yatsbutu atsaruhu fî mahallihi (perikatan ijâb qabûl berdasarkan
syara‟ yang menimbulkan akibat (hukum) terhadap obyeknya). Dengan demikian, ketika
terpenuhinya komponen dari sebuah akad (rukun dan syarat) maka akad itu memiliki implikasi,
yaitu munculnya hak dan kewajiban para pihak.

Dalam perkembangannya, selain akad terdapat topik khusus yang hampir serupa dengan
akad, yakni wa‟ad atau janji. Dalam konteks fikih muamalah, akad dan wa‟ad hal yang berbeda
meskipun keduanya hampir sama yang merupakan bentuk perjanjian. Akad merupakan suatu
kesepakatan bersama antara kedua belah pihak atau lebih baik secara lisan, isyarat, maupun tulisan
yang memiliki implikasi hukum yang mengikat untuk melaksanakannya. Sedangkan wa‟ad adalah
janji antara satu pihak kepada pihak lainnya, pihak yang diberi janji tidak memikul kewajiban apa-
apa terhadap pihak lainnya.

Hal ini memberikan isyarat bahwa, wa‟ad memiliki perbadaan dari segi implikasi hukum
semenjak tercapainya kesepakatan, yakni dalam akad menimbulkan hak dan kewajiban, akan tetapi
dalam wa‟ad tidak menimbulkan hak dan kewajiban. Dalam tataran implementasinya, konsep
mengenai wa‟ad ini banyak dipraktikan di Lembaga Keuangan Syariah, hal ini berpedoman
terhadap fatwa Dewan Syariah Nasional. Fatwafatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI berkaitan
dengan produk baik produk bank maupun bukan bank, banyak menyingkung mengenai wa‟ad. Oleh
karena itu, diperlu dilakukan penelitian meneganai fatwafatwa DSN-MUI mana saja yang di
dalamnya terdapat mengenai konsep wa‟ad dan segaligus menjadi pedoman dalam praktik di
Lembaga Keuangan Syariah.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka permasalahan tersebut dirinci menjadi dua
permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana konsep tentang akad dan wa‟ad dalam konteks fikih dan Fatwa Dewan Syariah
Nasional-Majelis Ulama Indonesia ?
2. Bagaimana implementasi wa‟ad dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama
Indonesia?

1.3. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu dengan mengkaji atau
menganalisis data sekunder yang berupa bahan-bahan hukum sekunder dengan memahami hukum
sebagai perangkat peraturan atau norma positif di dalam perundang – undangan yang berlaku, jadi
penelitian ini dipahami sebagai penelitian kepustakaan, yaitu penelitian terhadap bahan sekunder
(Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 1985, 15). Alasan penelitian ini menggunakan pendekatan
yuridis normatif adalah karena penelitian ini menggunakan data sekunder yang bertujuan untuk
menganalisis data sekunder berupa perundang-undangan yang sesuai dengan fokus penelitian ini.
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. PENGERTIAN AKAD DAN WA’AD

a. Akad berasal dari kata al-'Aqd yang merupakan bentuk masdar dari kata Aqada dan
jamaknya adalah al-'Uqud yang artinya perjanjian (yang tercatat) atau kontrak. Menurut
Ensiklopedi Hukum Islam, kata al-'aqd artinya perikatan, perjanjian, dan permufakatan (al-
ittifaq) Dalam kitab fiqih sunnah, kata akad di artikan dengan hubungan ( ) dan
kesepakatan ( ). kabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak
syariat yang berpengaruh kepada objek perikatan. perpindahan pemilikan dari satu pihak
(yang melakukan ijab) kepada pihak lain (yang menyatakan qabul).
b. Wa‟ad berasal dari Bahasa Arab “al-wa‟du” dalam bentuk jamak disebut “al-
wu‟ud/alwa‟dah” yang berarti janji (promise). Wa‟ad adalah apa yang menjadikan
seseorang wajib untuk dilakukan kepada orang lain (mengikatkan diri) selama hidupnya
dari segi harta atas dasar tolong menolong dan diluar ketentuan akad.

2.1.1 Perbedaan antara wa’ad (janji)/muwâ’adah dengan akad

Dalam konteks fikih muamalah membedakan antara wa‟ad dengan akad. Wa‟ad adalah janji
(promise)antara satu pihak dengan pihak lainnya, sementara akad adalah kontrak antara dua belah
pihak. Wa‟ad hanya mengikat satu pihak, yakni pihak yang memberi janji berkewajiban untuk
memenuhi atau melakasanakan kewajibannya. Sedangkan pihak yang diberi janji tidak memikul
kewajiban apa-apa terhadap pihak lainnya. Dalam wa‟ad, terms and condition-nya belum
ditetapkan secara rinci dan spesifik (belum well defined). Bila pihak yang berjanji tidak dapat
memenuhi janjinya, maka sanksi yang diterimanya lebih merupakan sanksi moral. (Adiwarman
A.Karim, 2004, 65).

Sedangkan akad mengikat kedua belah pihak yang saling bersepakat, yakni masing-masing
pihak terikat untuk melaksankan kewajiban mereka masing-masing yang telah disepakati terlebih
dahulu. Dalam akad, terms and condition-nya sudah ditetapkan secara rinci dan spesifik (sudah
welldefined). Bila salah satu atau kedua belah pihak yang terkait dalam kontrak itu tidak dapat
memenuhi kewajibannya, maka ia akan menerima sanksi seperti yang sudah disepakati dalam akad

tabel perbedaan akad dan Wa’ad

Wa’ad Akad
Hanya mengikat satu pihak Mengikat kedua belah pihak
Sanksi yang diterima lebih merupakan Sanksi yang diterimah sesuai dengan yang
sanksi moral sudah disepakati

Menurut Jaih Mubarok dan Hasanudin (2017, 14-15), janji atau saling berjanji
(wa‟ad/muwâ‟adah) bukanlah akad, tetapi menyerupai akad karena beberapa alasan sebagai
berikut:

1) dalam akad telah menimbulkan hak dan kewajiban yang efektif, sdangkan dalam janji atau
saling berjanji (wa‟ad/muwâ‟adah) belum/tidak tercapai tujuan utama akad (munajjaz)
2) efektivitas akad bersifat serta-merta dari segi alamiahnya, yaitu akad berlaku secara efektif
apabila rukun dan syaratnya terpenuhi. Sedangkan janji pada umumnya bersifat ke depan
(forward/mudhaf ilâ almustaqbal) karena janji dari segi alamiahnya merupakan
pernyataan kehendak dari pihak tertentu untuk melakukan sesuatu pada masa yang akan
datang. Dengan demikian, perbuatan hukum dalam akad bersifat efektif pada saat akad,
sedangkan perbuatan hukum yang berupa janji belum efektif karena ia merupakan janji
untuk melakukan akad pada masa yang akan datang
3) dalam akad berlaku kaidah al-kharâj bi aldhamân (kewajiban berbanding dengan hak) dab
al-ghurm bi al-gunmi (keuntungan berbanding dengan risiko). Dalam akad jual beli
misalnya, objek jual bel (mabi‟) telah berpindah kepemilikannya dari penjual kepada
pembeli. Maka kewajiban pemilik untuk memelihara serta menjaganya dan ia berhak untuk
menjual kembali objek tersebut. Bila harga objek tersebut naik, kenaikan harga tersebut
merupakan hak pemilik. Sebaliknya, bila objek tersebut hilang atau harganya turun, risiko
hilangnya objek atau rugi karena harganya turun harus ditanggung oleh pemilik. Kaidah ini
tidak berlaku dalam muwâ‟adah (saling berjanji) karena dalam muwâ‟adah belum terjadi
pengalihan kepemilikan objek yang dijanjikan. 1

(https://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:Il4lN937NvIJ:https://repo.iainbat
usangkar.ac.id/xmlmana%2520Idwar%2520-
%2520Pustaka.pdf%3Fsequence%3D1+&cd=1&hl=id&ct=clnk&gl=id#64)
https://www.kompasiana.com/oktahartanto2835/60d1aaa406310e117b54d702/perbedaan
-antara-wa-ad-atau-muwa-adah-dengan-akad
2.1.2. Jenis-jenis transaksi dilarang dalam islam

Perlu kamu ketahui bahwa agama Islam telah mengatur transaksi secara syariah dengan
mudah dan halal. Dalam urusan ini, ada beberapa unsur-unsur yang terlarang dalam transaksi
secara syariahi.

1) Riba
riba adalah sebuah ketentuan nilai tambahan dengan melebihkan jumlah nominal
pinjaman saat dilakukan pelunasan. Adapun besaran bunga tersebut mengacu pada suatu
persentase tertentu yang dibebankan kepada peminjam. Secara etimologi (bahasa), dalam
bahasa Arab riba adalah kelebihan atau tambahan (az-ziyadah).Al-Quran dan Sunnah
dengan sharih telah menjelaskan keharaman riba dalam berbagai bentuknya; dan
seberapun banyak ia dipungut. Allah swt berfirman;

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), “Sesungguhnya jual
beli itu sama dengan riba,” padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti
(dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang
larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba),
maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”. [TQS Al
Baqarah (2): 275]

2) Maysir
Maysir adalah salah satu larangan dalam kegiatan ekonomi dan perbankan syariah
karena dianggap membawa kerugian bagi salah satu pihak yang bertransaksi. Larangan ini
bahkan bersumber langsung dari Al-Qur'an sehingga umat Islam sangat mengharamkan
serta menghindari tindakan tersebut.
Al-maisir berasal dari bahasa Arab yakni yasara atau yusr berarti mudah. Maisir
merupakan bentuk permainan yang mengandung unsur taruhan dengan disepakati bahwa
pihak yang menang akan mendapatkan hasil dari taruhan tersebut, sedangkan pihak yang
kalah mengalami kerugian besar karena tidak mendapatkan untung dari permainan itu.

3) Gharar
Setiap transaksi yang dapat merugikan pihak yang bertransaksi karena
mengandung unsur ketidakjelasan, tipuan, atau tindakan yang bertujuan untuk merugikan
orang lain.
( ‫) س‬
Dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah Saw melarang jual beli hashah (yaitu: jual beli
dengan cara melempar batu) dan beliau juga melarang jual beli gharar." (HR. Muslim, hadits
no. 2783)
Jenis-jenis Gharar
a) Gharar dalam harga
Gharar dalam harga maksudnya adalah harga yang disepakati tidak jelas nominalnya. Atau
hargatidak disebutkan pada saat akad, sehingga menimbulkan potensi pembeli merasa
dirugikan, sebaBbpenjual bisa menentukan harga seenaknya.
Contoh yang sering terjadi adalah tarif ojek pangkalan yang tidak ada standar dan
ukurannya. Tidak dihitung per kilometer, tapi semaunya abang ojek. Kadang-kadang
penumpang juga tidak tanya harga terlebih dahulu. Langsung naik begitu saja.Begitu
sampai, kesempatan bagi abang ojeknya untuk minta tarif mahal. Mau tidak mau
penumpang harus bayar, karena dia sudah diantar sampai tujuan.Maka seharusnya ada
kesepakatan harga terlebih dahulu sebelum transaksi terlaksana. Supaya kedua belah pihak
tidak ada yang merasa dirugikan sehingga unsur saling ridha sebagai syarat dalam
jualbeli pun terwujud.

b) Gharar dalam waktu serah-terima


Gharar juga berpotensi terjadi dalam waktu serahterima. Baik serah terima harga atau
barang/jasa.Jual-beli yang dilakukan secara tidak tunai, harus ada kejelasan dan kepastian
terkait dengan waktu
penyelesaian transaksinya.Hal ini dapat dipahami dari firman Allah surat alBaqarah
ayat 282:Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya… (Q.S. al-Baqarah: 282)
Demikian juga tersirat dalam hadis Nabi tentang jual-beli salam berikut: Dari Ibnu
Abbas r.a, ia berkata, “Katika Nabi datang ke Madinah, para sahabat terbiasa melakukan
akad salam pada kurma dalam jangka waktu dua atau tiga tahun. Kemudian Nabi berkata,
“Barang siapa yang melakukan akad salam pada sesuatu, maka hendaklah ia melakukannya
dengan takaran yang jelas, berat yang jelas dan jangka waktu yang jelas.” Gharar dalam
waktu serah-terima ini juga terjadi di masa jahiliyah yang disebut dengan jual-beli hablul
habalah. Salah satu penafsirannya adalah jual beli unta, yang mana uangnya baru
dibayarkan setelah unta ini melahirkan anak, dan anak unta yang dilahirkan ini melahirkan
anak. Sehingga pembayarannya baru dilakukan setelah unta itu melahirkan dua generasi
keturunannya. Jual -beli seperti ini kemudian dilarang oleh Nabi. Sebab waktu
pembayarannya yang mengandung gharar atau ketidakpastian. Sebagaimana, diriwayatkan
dari Ibnu Abbas berikut ini: Dari Ibnu Umar ia berkata: Dulu orang-orang jahiliyah
melakukan jual-beli daging unta sampai hablul habalah. Hablul habalah adalah ketika unta
melahirkan kemudian yang dilahirkan itu mengandung. Kemudian Rasulullah
melarangnya. (H.R. Mus

c) Gharar kualitas atau dalam akad


Gharar bisa terjadi dalam akad. Maksudnya adalah bentuk akad yang disepakati oleh kedua
belah pihak mengandung unsur ketidakpastian, ada klausulklausul yang tidak jelas atau
pasal karet, yang berpotensi merugikan salah satu pihak atau berpotensi menimbulkan
perselisihan antara keduanya. Contohnya adalah praktik di masa Nabi yaitu jual-beli
mulamasah dan munabadzah. Mulamasah adalah jual-beli di mana penjmemberikan
klausul akad yang mengandung potensi merugikan pembeli yaitu “Kain mana saja yang
engkau sentuh, maka kain tersebut menjadi milikmu dengan harga sekian.” Atau dalam
kalimat yang lebih sederhana, “Menyentuh berarti membeli.” Demikian juga jual-beli
munabadzah, yaitu jual beli di mana penjual berkata, “Pakaian manapun yang aku
lemparkan kepadamu, maka kamu bayar sekian.” Tentu akad ini cacat. Sebab tidak ada
kejelasan pakaian mana yang akan didapatkan oleh pembeli. Bisa jadi sesuai keinginannya
atau tidak.
Contoh lain yang sering terjadi adalah akad pemindahan harta antara suami-istri.
Ketika suami membeli mobil baru, dia berkata kepada istrinya, “Sayang, ini mobil barunya
kamu pakai aja.” Kalimat ini mengandung ‘pasal karet’. Tidak jelas apakah maksudnya
sekedar meminjamkan atau dihibahkan. Dampaknya adalah ketika suami meninggal, ahli
waris akan ribut menentukan apakah mobil itu masih punya suami, karena statusnya
hanya dipinjamkan sehingga dibagi sebagai harta warisan, atau sudah jadi milik istri
sehingga tidak dibagi waris. Di sinilah esensi gharar itu terjadi, sebab akadnya tidak jelas
dan menimbulkan potensi perselisihan di kemudian hari.

d) Gharar dalam objek akad


Gharar juga bisa terjadi pada barang atau jasa yang menjadi objek akad yang
diperjualbelikan. Maksudnya, barang atau jasa yang menjadi objek akadnya tidak jelas.
Ketidakjelasan itu bisa dalam ukurannya, kualitasnya, spesifikasinya, keberadaannya dan
lain-lain. Ibnu Taimiyah, mengklasifikasikan gharar yang terjadi pada objek akad ini
menjadi tiga jenis:
- Bai’ al-Ma’dum. Yaitu jual-beli barang fiktif, atau barang yang
tidak pasti ada atau tidaknya.Seperti jual-beli janin hewan
yang masih dalam perut induknya.
- Bai’ al-Ma’juz ‘an Taslimih. Yaitu jual-beli barang yang sulit
diserah-terimakan kepada pembeli.Seperti jual-beli motor
yang baru dicuri, jual-beli burung yang lepas, ikan yang
masih di lautan dan lain sebagainya.
- Bai’ al-Majhul. Yaitu jual beli-barang yang tidak jelas sifat-
sifatnya, ukurannya dan spesifikasinya.

Jadi, yang termasuk gharar dalam objek akad adalah jual-beli barang yang tidak ada atau
tidak jelas jenis dan sifatnya atau tidak pasti apakah bisa diserahkan atau tidak.

4) Ikhtikar.
Ikhtikar adalah sebuah situasi di mana produsen/penjual mengambil keuntungan di atas
keuntungan normal dengan cara mengurangi supply (penawaran) agar harga produk yang
dijualnya naik. Ikhtikar ini biasanya dilakukan dengan membuat entry barrier (hambatan
masuk pasar), yakni menghambat produsen/penjual lain masuk ke pasar agar ia menjadi
pemain tunggal di pasar (monopoli), kemudian mengupayakan adanya kelangkaan barang
dengan cara menimbun stock (persediaan), sehingga terjadi kenaikan harga yang cukup
tajam di pasar.
Menurut para Ulama melakukan ihtikār hukumnya haram. hukum dari hadis ini
adalah tidak bolehnya melakukan ihtikār, karena dijelaskan bahwa muhtakir (orang yang
menimbun) adalah orang yang salah, disebut juga dengan ‘āshin (orang yang bermaksiat)
dan orang yang bersalah adalah mudznib (orang yang berdosa). Pada zahirnya hadis ini
menerangkan bahwa ihtikār adalah haram tanpa dibedakan antara makanan manusia,
makanan hewan dan lainnya. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa yang diharamkan
adalah bahan makanan saja

5) Tadlis
adalah salah satu bentuk penipuan dalam berdagang, merupakan bentuk
ketidakjujuran seorang pedagang dalam menjalankan usahanya. Tadlis ini bisa terjadi
dalam empat hal, yakni, kuantitas (jumlah), kualitas (mutu), harga, dan waktu penyerahan.
Tadlis dalam kuantitas adalah seperti pedagang yang mengurangi takaran (timbangan)
barang yang dijualnya. Beras yang ditimbang mestinya 1 kg ternyata tidak sampai 1
kg.Tadlis dalam kualitas adalah seperti penjual yang menyembunyikan cacat barang yang
ditawarkannya. Misalnya pedagang buah yang menyembunyikan sebagian buahnya yang
kurang bagus dan dicampur dengan yang bagus supaya cepat terjual.
Yang dimaksud dengan mencari rizki yang halal ialah tidak haram secara zat dan
cara memperolehnya dibenarkan oleh syariat. Haram karena cara memperolehnya seperti
mencuri, menipu, merampas, korupsi, risywah (hasil dari menyuap), ihtikar, tadlis, berjudi,
riba dan lain sebagainya. Mencari rizki yang halal adalah menjadi kewajiban bagi setiap
muslim. Allah berfirman :
(168)
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan
janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu
adalah musuh yang nyata bagimu”

6) Najash
jual beli najasy atau bai’i najasy adalah rekayasa pasar dalam demand, yaitu apabila
seseorang produsen (pembeli) menciptakan permintaan palsu terhadap suatu produk
sehingga harga jual produk itu akan naik,Atau penawaran palsu dimana sekelompok orang
bersepakat dan bertindak secara berpura-pura menawarkan barang dipasar dengan tujuan
untuk menjebak orang lain agar ikut dalam proses tawar menawar tersebut,sehinggah
2orang ketiga ini akhirnya membeli barang dengan harga yang jauh lebih mahal dari harga
sebenarnya.

Jual beli najasy dilarang oleh Rasulullah SAW seperti yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli najasy. “ (HR. Bukhari dan Muslim)

3https://stebisigm.ac.id/berita342-Transaksi-yang-dilarang-dalam-Islam.html

//repository.ar-raniry.ac.id/id/eprint/9456/1/OKE.pdf

Tawazun: Journal of Sharia Economic Law

2.1.3. Akad Pembiayaan yanng Digunakan oleh bank syariah

a) Akad Murabahah
Murabahah berdasarkan Fatwa DSN No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang ketentuan
umum Murabahah dalam bank syariah adalah bank membeli barang yang diperlukan
nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba. Bank
kemudian menjual barang tersebutkepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai
harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini bank harus memberitahu secara jujur
harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan. Produk Ijarah
muntahiyyah bittamlik ini sesuai dan tidak melanggar ketentuan syariah terbukti dengan
adanya Fatwa dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. Dalam Fatwa Nomor
27/DSN/MUI/III/2002 tanggal 28 Maret 2002, disebutkan bahwa dalam masyarakat telah
umum dilakukan praktek sewa beli yaitu perjanjian sewa menyewa yang disertai dengan
opsi pemindahan hak milik atas benda yang disewa kepada penyewa setelah masa sewa.
Sehubungan dengan itu, DSN-MUI dalam fatwanya tersebut diatas menetapkan fatwa
tentang sewa beli yang sesuai dengan syariah yaitu akad.
b) Akad musyarakah mutanaqisah (MMQ).
Akad musyarakah mutanaqisah adalah akad yang terbentuk karena adanya
kerjasama antara bank dan pembeli rumah, yang berbagi hak kepemilikan akan sebuah

https://dsnmui.or.id/kategori/fatwa/page/14/
3
rumah, yang diikuti dengan pembayaran kepemilikan setiap bulannya dan perpindahan
kepemilikan sesuai dengan proporsi yang sudah dibayarkan. Sehingga akad musyarakah
mutanaqisah ini dikatakan sebagai sebuah akad dengan konsep kemitraan
berkurang.Pembiayaan musyarakah mutanaqisah memiliki keunggulan dalam kebersamaan
dan keadilan, baik dalam berbagi keuntungan maupun resiko kerugian, sehingga dapat
menjadi alternatif dalam proses kepemilikan asset (barang) atau modal. Dalam Fatwa
Dewan Syari’ah Nasional No.73/DSNMUI/XI/2008 tentang musyarakah mutanaqisah, yang
dimaksud dengan musyarakah mutanaqisah adalah musyarakah atau syirkah yang
4kepemilikan asset (barang) atau modal salah satu pihak (syarik) berkurang disebabkan
pembelian secara bertahap oleh pihak lainnya.

Wa’ad dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)

Terdapat fatwa khusus yang dikeluarkan oleh DSN-MUI yang berkaitan dengan wa‟ad atau
janji yakni, Fatwa DSN-MUI Nomor: 85/DSNMUI/XII/2012 tentang Janji (wa‟d) dalam Transaksi
Keuangan dan Bisnis Syariah.

DSN-MUI menetapkan Fatwa Nomor: 85/DSN-MUI/XII/2012 tentang Janji (wa‟d) dalam


Transaksi Keuangan dan Bisnis Syariah yang substansinya menetapkan bahwa janji (wa‟d) dalam
transaksi keuangan dan bisnis syariah adalah mulzim dan wajib dipenuhi (ditunaikan) oleh wa‟id
dengan mengikuti ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

1. Wa 'd harus dinyatakan secara tertulis dalam akta/kontrak perjanjian


2. Wa'd harus dikaitkan dengan sesuatu (syarat) yang harus dipenuhi atau dilaksanakan
mau 'ud (wa 'd bersyarat)
3. Mau 'ud bih tidak bertentangan dengan syariah
4. Syarat sebagaimana dimaksud angka 2 tidak bertentangan dengan syariah; dan
5. Mau 'ud sudah memenuhi atau melaksanakan syarat sebagaimana dimaksud angka 2.

2.1.4. Implementasi Wa’ad Dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia

Terdapat sejumlah fatwa DSNMUI yang berkaitan dengan topk wa‟ad (janji) atau
muwâ‟adah (saling berjanji). Tulisan ini tidak memuat seluruh fatwa DSN-MUI yang berkaitan

4
https://dsnmui.or.id/kategori/fatwa/page/6/
dengan topik wa‟ad (janji) atau muwâ‟adah (saling berjanji), akan tetapi hanya beberapa fatwa
saja, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Fatwa DSN-MUI tentang Murâbahah

Murabahah adalah jual-beli dengan dasar adanya infoemasi dari pihak penjual terkait
dengan harga pokok pembelian dan tingkat keuntungan yang diinginkan (Panji Adam, 2017, 19).
Janji yang berkaitan dengan jual-beli murâbahah, antara lain dapat dilihat dalam fatwa DSN-MUI
Nomor: 4/DSN-MUI/IV/2000.

Dalam akad murâbahah yang di implementasikan di Lembaga Keuangan Syariah terdapat


janji untuk membeli barang dari penjual (LKS), karena tahapan utama akad murabahah yang terjadi
di LKS adalah sebagai berikut: (1) janji nasabah untuk membel njek; (2) transaksi jual-beli antara
nasabah dengan LKS atas barang sesuai pesanan (janji dari nasabah untuk membeli).

Substansi DSN-MUI Nomor: 4/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah adalah sebagai


berikut: (1) Nasabah mengajukan permohonan dan janji pembelian suatu barang atau aset kepada
bank; (2) Jika bank menerima permohonan tersebut, ia harus membeli terlebih dahulu aset yang
dipesannya secara sah dengan pedagang; (3) Bank kemudian menawarkan aset tersebut kepada
nasabah dannasabah harus menerima (membeli)- nya sesuai dengan janji yang telah disepakatinya,
karena secara hukum janji tersebut mengikat; kemudian kedua belah pihak harus membuat
kontrakjual beli; (4) Dalam jual beli ini bank dibolehkan meminta nasabah untuk membayar uang
muka saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan; (5) Jika nasabah kemudian menolak
membeli barang tersebut, biaya riil bank harus dibayar dari uang muka tersebut; (6) Jika nilai uang
muka kurang dari kerugian yang harus ditanggung oleh bank, bank dapat meminta kembali sisa
kerugiannya kepada nasabah; (7) Jika uang muka memakai kontrak „urbun sebagai alternatif dari
uang muka, maka: (a) jika nasabah memutuskan untuk membeli barang tersebut, ia tinggal
membayar sisa harga; (b) jika nasabah batal membeli, uang muka menjadi milik bank maksimal
sebesar kerugian yang ditanggung oleh bank akibat pembatalan tersebut; dan jika uang muka tidak
mencukupi, nasabah wajib melunasi kekurangannya.

Berdasarkan poin pertama dan ketiga dari fatwa tersebut, terdapat ketentuan mengenai
janji, yaitu; pertama, Nasabah mengajukan permohonan dan janji pembelian suatu barang atau aset
kepada bank; kedua, Bank kemudian menawarkan aset tersebut kepada nasabah dannasabah harus
menerima (membeli)- nya sesuai dengan janji yang telah disepakatinya, karena secara hukum janji
tersebut mengikat; kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrakjual beli.

2. Fatwa DSN-MUI tentang IMBT

Menurut Muhamad Usman Syabir (1992, 327) ijârah muntahiya bi al-tamlîk, adalah bank
syariah menyediakan barang yang akan disewakan kepada nasabah sampai waktu tertentu dengan
tambahan ujrah misli (fee) atas dasar nasabah dapat memiliki barang setelah berakhir waktu sewa
dengan akad baru, yakni akad jual beli.
Aturan mengenai ijârah muntahiya bi al-tamlîk (IMBT) terdapat dalam fatwa DSN-MUI
Nomor: 27/DSN-MUI/III/2002. Ketentuan mengenai wa‟ad (janji) dalam akad ini adalah sebagai
berikut: (1) Pihak yang melakukan al-Ijarah al-Muntahiah bi al-Tamlik harus melaksanakan akad
Ijarah terlebih dahulu. Akad pemindahan kepemilikan, baik dengan jual beli atau pemberian, hanya
dapat dilakukan setelah masa Ijarah selesai; (2) Janji pemindahan kepemilikan yang disepakati di
awal akad Ijarah adalah wa'd ( ,( yang hukumnya tidak mengikat. Apabila janji itu ingin
dilaksanakan, maka harus ada akad pemindahan kepemilikan yang dilakukan setelah masa Ijarah
selesai.

Ketentuan mengenai konsep wa‟ad yang terdapat dalam fatwa DSN-MUI Nomor: 27/DSN-
MUI/III/2002 tentang IMBT terlihat dalam poin kedua, yaitu: Janji pemindahan kepemilikan yang
disepakati di awal akad Ijarah adalah wa'd ( ,( yang hukumnya tidak mengikat. Apabila janji
itu ingin dilaksanakan, maka harus ada akad pemindahan kepemilikan yang dilakukan setelah masa
Ijarah selesai.

3. Fatwa DSN-MUI tentang MMQ

Musyarakah Mutanaqisah adalah Musyarakah atau Syirkah yang kepemilikan asset (barang)
atau modal salah satu pihak (syarik) berkurang disebabkan pembelian secara bertahap oleh pihak
lainnya.

Konsep mengenai Musyarakah Mutanaqisah (MMQ) terdapat dalam fatwa DSN-MUI


Nomor: 73/DSN-MUI/XI/2008. Ketentan mengenai wa‟ad (janji) dalam fatwa tersebut terlihihat
dalam substansi fatwa sebagai berikut: “Dalam akad Musyarakah Mutanaqisah, pihak pertama
(syarik) wajib berjanji untuk menjual seluruh hishshah-nya secara bertahap dan pihak kedua
(syarik) wajib membelinya.

4. Fatwa DSN-MUI tentang PRKS

Pembiayaan Rekening Koran Syariah (PRKS) adalah suatu bentuk pembiayaan rekening
koran yang dijalankan berdasarkan prinsip syari‟ah. Aturan mengenai PRKS (Pembiayaan Rekening
Koran Syariah) terdapat dalam fatwa DSN-MUI Nomor; 55/DSNMUI/V/2007.

Dalam akad yang berlaku dalam produk Rekening Koran Syariah terdapat janji dari calon
pembeli untuk membeli barang dari penjual. Janji yang dimaksud itu mengikat kedua belah pihak
sebagaimana dalam substansi fatwa DSNMUI tentang PRKS, yaitu: “Pembiayaan Rekening Koran
Syariah (PRKS) Musyarakah dilakukan berdasarkan akad musyarakah dan boleh disertai dengan
wa‟d”.

5. Fatwa DSN-MUI Jual Beli Mata Uang

Dalam akad yang berlaku dalam forward agreement terdapat janji dari calon pembeli untuk
membeli valas dalam jumlah dan kurs dari calon penjual. Menruut fatwa DSN-MUI Nomor
28/DSNMUI/III/2002 tentang Jual Bli Mata Uang (Al-Sharf) transaksi forward agreement tersebut
itu dibolehkan sebagai alternatif dari forward dengan meyerahkan valas secara tidak tunai, sebagai
penjelasan fatwa DSN berikut: 5

Transaksi Forward, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valas yang nilainya ditetapkan
pada saat sekarang dan diberlakukan untuk waktu yang akan datang, antara 2 x 24 jam sampai
dengan satu tahun. Hukumnya adalah haram, karena harga yang digunakan adalah harga yang
diperjanjikan (muwa'adah) dan penyerahannya dilakukan di kemudian hari, padahal harga pada
waktu penyerahan tersebut belum tentu sama dengan nilai yang disepakati, kecuali dilakukan
dalam bentuk forward agreement untuk kebutuhan yang tidak dapat dihindari (lil hajah).

2.1.5. Perbedaan Bank Syaraih Dan Bank konvesional

Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional Sekilas, bank syariah dan konvensional
tampak sama. Bahkan sebagian besar bank saat inimemiliki cabang konvensional dan syariahnya
sendiri. Meski demikian, keduanya tetap berbeda.

Selengkapnya tentang perbedaan bank syariah dan konvensional adalah sebagai berikut:

1. Tujuan Pendirian
Latar belakang dan tujuan didirikan menjadi perbedaan bank syariah dan bank
konvensional pertama. Bank konvensional memiliki orientasi keuntungan dengan bebas
nilai atau menganut prinsip yang dimiliki oleh masyarakat umum.Berbeda dengan bank
syariah, tujuan pendiriannya tidak hanya berorientasi pada profit saja, namun penyebaran
dan penerapan nilai syariah. Aktivitas keuangan perbankan dilakukan tidak hanya melihat
efek dunia saja, tetapi juga memperhatikan aspek akhirat juga.
2. Tujuan penelitian
Perbedaan perbankan syariah dan konvensional berikutnya yaitu penerapan
prinsip masingmasing bank. Prinsip pelaksanaan antara bank syariah dan konvensional
jelas berbeda.Bank konvensional menggunakan prinsip konvensional dengan acuan
peraturan nasional dan internasional berdasarkan hukum berlaku. Sementara, prinsip bank
syariah berdasarkan hukum Islam mengacu dari Al-quran dan Hadist serta diatur oleh
fatwa Ulama. Sehingga seluruh aktivitas keuangannya menganut prinsip Islami.

5
https://ejournal.unisba.ac.id/index.php/amwaluna/article/view/3800
3. Sistem Operasional
Sistem operasional juga menjadi perbandingan bank syariah dan bank
konvensional. Pada bank konvensional, sistem operasionalnya memberlakukan penerapan
suku bunga dan perjanjian secara umum berdasarkan aturan nasional. Akad antara bank
dan nasabah bank banyak dilakukan berdasarkan kesepakatan jumlah suku bunga.
Sementara itu, bank syariah tidak menerapkan bunga dalam transaksinya. Menurut syariat
Islam,bunga masuk dalam kategori riba. Sehingga sistem operasional bank syariah
menggunakan akad bagihasil atau nisbah. Kesepakatan antara nasabah dan pihak bank
berdasarkan pembagian keuntungan dan melibatkan kegiatan jual beli.
4. Hubungan Antara Nasabah – Lembaga Perbankan
Peran nasabah dan lembaga perbankan juga mempengaruhi perbedaan bank
syariah dan bank konvensional. Dalam bank konvensional, hubungan antara nasabah dan
lembaga perbankan yaitu debitur dan kreditur. Nasabah bank konvensional berperan
sebagai kreditur, sementara perbankan berperan sebagai menguntungkan. Berbeda dengan
bank syariah, hubungan antara nasabah dan bank terbagi menjadi 4 jenis,meliputi penjual-
pembeli, kemitraan, sewa dan penyewa. Dalam penggunaan akad murabahah,istishna, dan
salam, pihak bank berperan sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli. Sementara akad
musyarakah dan mudharabah memperlakukan hubungan kemitraan. Akad ijarah
memposisikan bank sebagai pemberi sewa dan nasabah sebagai penyewa.
5. Kesepakatan Formal
Proses transaksi dalam lembaga perbankan harus ada kesepakatan atau perjanjian
formal antara nasabah dan pihak bank. Perbedaan bank syariah dan bank konvensional
ditinjau dari kesepakatan formal yaitu bank konvensional melakukan perjanjian secara
hukum nasional. Berbeda pada bank syariah melakukan akad dengan memperhatikan
hukum Islam juga. Beragam jenis akad transaksi dalam bank syariah mulai dari mencari
keuntungan hingga layanan jasa sosial. Tidak hanya itu, dalam melaksanakan perjanjian,
terdapat beberapa rukun dan syarat sah yang harus ditunaikan untuk mengesahkan akad
tersebut.
6. Pengawas Kegiatan
Perbedaan bank syariah dan konvensional juga ditinjau dari pengawas kegiatannya.
Meskipun keduanya sama-sama diatur oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
mengenai Perbankan, tetapi pihak yang mengawasinya berbeda. Bank konvensional diawasi
oleh dewan komisaris dalam aktivitasnya. Sementara struktur pengawasan bank syariah
terdiri dari berbagai lembaga, diantaranya dewan pengawas syariah,dewan syariah
nasional, dan dewan komisaris bank.
7. Proses Pengelolaan Dana
Karena bank syariah menerapkan prinsip Islam, maka berpengaruh juga terhadap
kebijakan pengelolaan dana. Sehingga perbedaan bank syariah dan bank konvensional
selanjutnya yaitu proses pengelolaan dana. Pada bank konvensional, pengelolaan dana
dapat dilakukan dalam seluruh lini bisnis menguntungkan di bawah naungan Undang-
Undang. Sementara, uang nasabah dalam bank syariah harus dipergunakan sesuai aturan
Islam. Bank syariah harus mengelola dana nasabah pada lini bisnis yang diizinkan oleh
aturan Islam. Akibatnya, uang nasabah tidak boleh diinvestasikan atau dikelola pada bidang
usaha bertentangan dengan nilai Islam, seperti perusahaan rokok, narkoba, dan
sebagainya.6

2.1.6 .Membandingkan Produk Bank Dengan Sistem Syariah Dan Konvensional

Perbankan syariah dan konvensional memiliki produk keuangan yang hampir mirip,
misalnya tabungan, deposito, Kredit Pemilikan Rumah (KPR), kartu kredit, Giro dan lain-lain.
Meskipun demikian banyak yang masih bingung untuk memilih apakah mereka akan mengambil
produk keuangan yang berasaskan syariah atau tetap setia pada bank konvensional.

Berikut ada beberapa produk perbankan yang dekat dengan masyarakat, termasuk
diantaranya tabungan, Kredit Pemilikan Rumah (KPR), kartu kredit, dan deposito. Mari kita
bandingkan produkproduk itu dengan sistem syariah dan konvensional. Siapa tahu Anda bisa
berubah pikiran atau akan tetap setia dengan bank sebelumnya.

1. Produk Tabungan Tabungan merupakan produk perbankan yang pasti


ditawarkan pada nasabah di semua bank, baik konvensional maupun yang
syariah. Tabungan adalah simpanan yang penarikannya melalui beberapa
ketentuan yang sudah dijelaskan oleh pihak bank pada nasabah. Sarana
penarikannya bisa menggunakan buku tabungan, ATM, slip penarikan dan juga
melalui metode canggih lain misalnya internet banking.

6
https://retizen.republika.co.id/posts/29040/perbedaan-perbankan-syariah-dan-perbankan-
konvesional
Apa sih perbedaan antara bank syariah dan bank konvensional? Bisa dicek
dibawah ini: Tabungan Syariah Berikut ini adalah ciri khas Tabungan Syariah:
Menerapkan akad wadi’ah, yang artinya tabungan yang kita simpan tidak
mendapatkan keuntungan karena Cuma dititip. Tidak ada bunga yang diterima
nasabah. Tetapi bank halal memberikan hadiah atau bonus kepada nasabahnya.
Nasabah juga bisa mengambil tabungan itu kapan pun baik lewat teller atau
ATM.
-Tabungan Konvensiona
Berikut ini adalah ciri khas Tabungan Konvensional:
Ada bunga langsung yang dijanjikan bank kepada pihak
Bunga tidak akan berubah meskipun kondisi kinerja bank sedang buruk
ataupun sedang untung besar.Dana tabungan bisa diambil kapan pun baik
melalui ATM maupun teller.Sering ada undian berupa mobil atau mobil untuk
nasabah yang memiliki tabungan dan rajin melakukan transaksi.
2. Deposito
Produk Deposito Kata “deposito” pasti tidak asing lagi di telinga kita. Betul,
deposito adalah produk bank sejenis jasa tabungan yang baru bisa dicairkan
dalam jangka waktu tertentu, misalnya 3 bulan, 6 bulan atau 12 bulan.Kalau
deposito ini dicairkan sebelum waktunya, nasabah akan terkena penalti dari
pihak bank. Mau tahu beda deposito syariah dan konvensional sebagai berikut:
- Deposito Syariah
Berikut ini adalah ciri khas Deposito Syariah: Mengunakan akad mudharabah
artinya tabungan dengan sistem bagi hasil (nisbah) antara nasabah dan
bank.Ada tenggang waktu tertentu dimana nasabah tidak bisa menarik uang
begitu saja karena bank membutuhkan waktu untuk melakukan
investasi.Keuntungan deposito dengan akad mudharabah ini biasanya memakai
perbandingan 60: 40 untuk nasabah dan bank.
Makin besar untung yang bank dapat, makin besar untung yang diperoleh oleh
nasabah.Bisnis atau investasi yang dijalankan sudah masuk kategori halal dalam
agama Ada dua jenis akad mudharabah yaitu yang bersifat mutlaqah
(unrestricted investment account,URIA) dan bersifat muqayyadah (restricted
investment account, RIA) yang keduanya berbeda soal batasan dan persyaratan
untuk bank melakukan investasi.
-Deposito Berjangka Konvensional
Berikut ini adalah ciri khas Deposito Berjangka Konvensional:
Ada bunga yang akan diterima nasabah.Nilai bunganya tetap, sehingga besaran
keuntungan sudah bisa diprediksi sejak awal menaruh dana.Dana diputar untuk
investasi dan bisnis apapun selama itu dianggap menguntungkan.
3. Kredit Pemilikan Rumah (KPR)
Kredit Pemilikan Rumah Baik bank syariah dan bankkonvensional sama-sama
mewajibkan pemohon KPR untuk melengkapi persyaratan administrasi seperti
berbagai dokumen, namun kedua bank ini memiliki beberapa perbedaan yang
cukup mencolok soal Kredit Pemilikan Rumah.
4. Kartu Kredit
Kartu Kredit baik seperti layaknya bank-bank konvensional lain, bank syariah
juga mengeluarkan produk berupa kartu kredit. Kartu kredit tersebut juga bisa
menarik uang cash dari ATM atau pun Gesek Tunai (gestun) di toko atau
merchants yang mempunyai lambang bank bersangkutan.Bagaimana dengan
perbedaannya?
-Kartu Kredit Bank Konvensional
Berikut ini adalah ciri khas Kartu Kredit Bank Konvensional:Bunga untuk kartu
kredit dari bank konvensional besarnya dua hingga empat persen.Sistemnya
bunga berbunga, yaitu membayar bunga dari jumlah total tagihan, dan bunga
lainnya untuk sisa tagihan yang belum terbayar.Ada juga biaya admistrasi yang
dipungut setiap tahun Banyak terdapat promosi, diskon, termasuk cash back
dan lain-lain untuk membuat para nasabah“rajin” memakai kartu kreditnya
Ada merchant fee, yaitu pihak merchant membayar sejumlah uang kepada bank.
-Kartu Kredit Syariah
Berikut ini adalah ciri khas Kartu Kredit Syariah:
Memiliki tiga jenis akad, yaitu ijarah (akad untuk iuran tahunan/ keanggotaan),
qardh (akad pemberian pinjaman untuk pengambilan tunai) dan kafalah
(penjaminan transaksi)
Biaya keanggotaan sering disebut juga rusum al-udhwiyah yaitu izin pengunaan
kartu yang pembayarannya berdasarkan kesepakatan antara bank dan
nasabah.Tidak menarik biaya dari merchant untuk bank. Adanya justru ujrah
(upah) atas jasa pelantara (samsarah), pemasaran (taswiq) dan penagihan
(tehsil al-dayn)Membayar dua jenis biaya keterlambatan kalau tagihan nasabah
jatuh tempo. Yang pertama disebut ta’widh yaitu membayar biaya penagihan
bank sebesar yang menjadi aturan bank. Sementara biaya. denda kedua adalah 3
persen dari total tagihan yang disebut qardhul hasan dan akan disumbang
kebadan amal. Jadi biaya denda itu bukan bunga dan bukan hak dari bank untuk
menerimanya.
5. Giro
Layanan Giro
Sudah tahu apa itu giro? Secara gampangnya giro adalah simpanan yang
penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan mengunakan cek atau bilyet
giro atau pemindahbukuan.Giro merupakan sarana untuk kebutuhan transaksi
bisnis perorangan dan perusahaan yang didukung juga oleh fasilitas cash
management Perbedaan adalah Giro bank konvensional dan Giro Syariah bisa
dilihat dibawah ini:
-Giro Syariah:
Berikut ini adalah ciri khas Giro Syariah:
Akad yang dipakai bisa wadiah dan mudharabah, tergantung produk rekening
giro itu sendiri.Kalau giro yang memakai akad wadiah, artinya dana dari giro itu
hanya titipan atau simpanan.Sementara giro dengan akad mudharabah
maksudnya dana yang ada dalam giro itu dapat
dipergunakan bank untuk investasi dan mengunakan berjanjian bagi hasil
antara bank dan si pemilik giro.
Tidak ada keuntungan atau bunga dari giro jenis wadiah untuk nasabah,
sementara giro jenis mudharabah akan mendapatkan keuntungan berdasarkan
bagi hasil investasi yang dilakukan bank Khusus giro wadiah, bank boleh
memberikan bonus atau insentif untuk menarik perhatian nasabah,tetapi tidak
dijanjikan di awal kerja sama.Pemilik giro wadiah bisa sewaktu-waktu menarik
simpanannya. Beda dengan giro jenis mudharabah yang tidak bisa ditarik serta
merta karena dananya sedang diinvestasikan dalam jangka waktu
tertentu.
Hanya berlaku dua hingga tiga jenis mata uang yaitu Rupiah, Dollar Amerika
dan Dollar Singapura(tiap bank memiliki jumlah jenis mata uang berbeda untuk
transaksi) .Ada biaya administrasi, biaya pengelolaan rekening, biaya materai,
cetak laporan transaksi dan penutupan rekening yang diminta oleh bank dari
nasabah.
-Giro Konvensional
Berikut ini adalah ciri khas Giro Konvensional:
Memberlakukan bunga hingga 2 persen pertahun. Tergantung bank tempat
rekening giro itu dibuat.Mengunakan beragam jenis mata uang, termasuk
rupiah, Euro, Dollar dan lain-lain Bisa menarik dana kapan pun. 7

7
https://www.cermati.com/artikel/membandingkan-produk-bank-dengan-
sistem-syariah-dan-konvensional

Anda mungkin juga menyukai