Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

AYAT AL-QUR’AN DAN HADIS NABI TENTANG ZAKAT DAN INFAQ

DISUSUN DAN DI AJUKAN GUNA MEMENUHI TUGAS KELOMPOK


MATA KULIAH : TAFSIR AYAT DAN EKONOMI
DOSEN PENGAMPU : Muh Saukani,S.Th.,M. Th.i

DISUSUN OLEH :

 HADIJAH (2004020206)
 MUH. AQIEL AHMAD (2004020207)

JURUSAN PERBANKAN SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ( IAIN )
PALOPO
2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya
kepada kita semua umumnya dan kepada saya khususnya sehingga saya dapat
menyelesaikan tugas makalah ini.Tugas ini dapat terlaksana karena adanya dukungan
baik material maupun spiritual dari semua pihak yang telah membantu kelancaran tugas
ini. Oleh karena itu saya mengucapkan terima kasih kepada segenap pihak yang telah
membantu menyelesaikan tugas ini. Besar harapan saya makalah ini dapat bermanfaat
bagi semua pihak untuk dijadikan pertimbangan dan koreksi selanjutnya. Saya mohon
maaf apabila dalam penyusunan makalah ini terdapat kesalahan ataupun kerancuan
baik dalam bahasa ataupun tulisan. Saya juga menerima kritik dan saran dari pembaca
yang nantinya akan berguna bagi saya. Terima Kasih.

PENYUSUN

HADIJAH
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Zakat dan infaq merupakan hal yang sudah tidak asing lagi dikalangan umat muslim. Zakat dan
infaq juga sudah dikenal dan dilaksanakan oleh umat muslim sejak lama. Berbicara zakat selalu
tidak luput juga berbicara tentang infaq. Zakat merupakan salah satu instrumental dalam
mengentas kemiskinan, karena masih banyak lagi sumber dana yang bisa dikumpulkan seperti
infaq, shadaqah, wakaf, wasiat, hibah serta sejenisnya. Sumber-sumber dana tersebut
merupakan pranata keagamaan yang memiliki kaitan secara fungsional dengan upaya
pemecahan masalah kemiskinan dan kepincangan sosial. Dana yang terkumpul akan merupakan
potensi besar yang dapat memberdayakan puluhan juta rakyat miskin di Indonesia yang kurang
dilindungi oleh sistem jaminan sosial yang terprogram dengan baik . Infaq berbeda dengan
zakat, infaq merupakan pemberian yang tidak ada nishabnya sedangkan zakat sebaliknya. Besar
kecilnya sangat bergantung kepada keuangan dan keikhlasan dalam memberi, yang terpenting
adalah hak orang lain yang ada dalam harta kita.

Zakat dan infaq merupakan suatu sistem ekonomi, sosial, moral dan agama. Zakat dapat
disebut juga sebagai suatu sistem politik karena pada dasarnya negaralah yang melakukan
pengelolaannya mulai dari mengumpulkan, mendayagunakan dan mendistribusikan kepada
yang berhak menerimanya berdasarkan syariat islam. Zakat diibaratkan seperti jaminan sosial
dan pemerintah berhak memungutnnya dari orang-orang yang memiliki kelebihan harta yang
telah memenuhi kadar zakat.

B.       Rumusan Masalah


Rumusan masalah pada penulisan makalah ini adalah, sebagai berikut :

1. Bagaimana sejarah hadis pada masa pra kodifikasi ?


2. Bagaimana sejarah hadis pasca kodifikasi dan perkembangannya?

C.      Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah, sebagai berikut :
1.    Mengetahui sejarah hadis pada masa pra kodifikasi.
2.   Mengetahui sejarah hadis masa pasca kodifikasi dan perkembangannya.

BAB II

ZAKAT DAN INFAQ

A. ZAKAT

 Pengertian zakat

Kata zakat secara bahasa berarti ‘penyucian’ atau ‘pengembangan’. Dari pengertian ini, harta
seseorang yang telah dikeluarkan zakatnya menjadi bersih, karena tidak ada lagi “kotoran” yang
sebenarnya bukan miliknya. Jiwa orang yang mengeluarkannya pun menjadi bersih. Dari
pengertian ini pula, harta yang dikeluarkan zakatnya pada hakikatnya tidak berkurang, justru akan
tumbuh berkembang. Dalam pengertian istilah agama, zakat adalah “mengeluarkan kadar tertentu
dari harta benda yang sifatnya wajib dan setelah memenuhi syarat-syarat tertentu”. Kadar tertentu,
misalnya, 2,5% (untuk zakat mal/zakat harta, zakat emas, zakat perak), 20% (untuk zakat barang
temuan), 5% atau 10% (untuk zakat pertanian, tergantung tingkat kesulitan pengairannya), dan
lain-lain. Sedangkan syarat tertentu adalah, misalnya,telah mencapai batas minimum (nisab),dan
telah dimiliki satu tahun, dan sebagainya

Zakat adalah sejumlah harta yang wajib dikeluarkan oleh umat Muslim untuk diberikan kepada
golongan yang berhak menerima, seperti fakir miskin dan semacamnya, sesuai dengan yang
ditetapkan oleh syariah. Zakat termasuk rukun Islam ke-4 dan menjadi salah satu unsur paling
penting dalam menegakkan syariat Islam.

Oleh karena itu, hukum zakat adalah wajib bagi setiap Muslim yang telah memenuhi syarat-syarat
tertentu. Zakat juga merupakan bentuk ibadah seperti shalat, puasa, dan lainnya dan telah diatur
dengan rinci berdasarkan Al-Quran dan Sunnah.

 Macam-Macam Zakat

Zakat terdiri dari dua macam:


1. Zakat Fitrah
Zakat fitrah adalah zakat yang wajib dikeluarkan umat Muslim menjelang hari raya Idul
Fitri atau pada bulan Ramadan. Zakat fitrah dapat dibayar dengan setara 3,5 liter (2,5
kilogram) makanan pokok dari daerah yang bersangkutan. Makanan pokok di Indonesia
adalah nasi, maka yang dapat dijadikan sebagai zakat adalah berupa beras.

 Zakat Maal
Zakat maal (harta) adalah zakat penghasilan seperti hasil pertanian, hasil pertambangan,
hasil laut, hasil perniagaan, hasil ternak, harta temuan, emas dan perak. Masing-masing
jenis penghasilan memiliki perhitungannya sendiri.
Dalam Undang-Undang (UU) tentang Pengelolaan Zakat Nomor 38 Tahun 1998,
pengertian zakat maal adalah bagian dari harta yang disisihkan oleh seorang Muslim atau
badan yang dimiliki orang Muslim sesuai ketentuan agama untuk diberikan kepada yang
berhak menerimanya.

Pembicaraan masyarakat modern baik menyangkut aspek hokum, politik, social, budaya,
keamanan, serta agama selalu dikaitkan dengan pembahasan ekonomi (bahs al-iqtishady).
Hal ini membuktikan bahwa masalah ekonomi merupakan persoalan inti dalam
kehidupan masyarakat global. Oleh karenanya, siapapun orangnya yang tidak mampu
mengkaitkan antara masalah tertentu dengan ekonomi, maka ia telah akan sulit
menawarkan idenya. Jika demikian yang terjadi, maka akan menjadi blunder bagi
seseorang dikemudian hari. Mengingat begitu pentingnya pembahasan tentang
pengembangan ekonomi, maka dalam Islam juga diatur sedemikian rinci. Sebagai ajaran
yang bersifat ardhiyyah (membumi), Islam mengatur segala tatanan yang dilakukan
manusia. Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an maupun Sunnah, ada berbagai konsep
tentang pengembangan ekonomi, seperti zakat, infaq, dan shodaqoh (giving), tijarah
(perdagangan), qiradh (koperasi), serta khoraj (pajak). Semuanya menunjukkan bahwa
ajaran tersebut menawarkan nilai-nilai perekonomian dan kesejahteraan umum dalam
membangun kehidupan Masyarakat.

Zakat adalah salah satu ibadah maliyah yang mendapat perhatian besar dalam Islam.
Menurut ajaran Islam, alam semesta dan seluruh isinya adalah milik Allah SWT,
termasuk yang menjadi hak milik manusia sendiri. Berkat keadilan dan kasih sayangnya
kepada manusia, maka alam semesta dan seluruh isinya dipersiapkan untuk kesejahteraan
manusia dengan cara memelihara dan mengambil manfaatnya sebanyak mungkin, dengan
syarat tidak merusak atau mengganggu keseimbangan alam.(Sulaiman Rasyid: 2010,
192)

Sebagai pengatur dalam mempergunakan dan mengelola bumi seisinya manusia harus
menyeesuaikan dengan dengan ketentuan agama, seperti halnya tidak tamak, tidak boleh
memperkaya diri dengan membabi buta, tidak noleh membuat kerusakan alam, tidak
boleh berbuat curang, dan bersikap adil. Hal ini menunjukkan bahwa pada hakikatnya
manusia sebagai penerima amanat bertugas untuk mewujudkan kebaikan dan
kesejahteraan seluruh alam raya.

Konsep tentang keseimbangan alam yang dikehendaki ajaran Islam terkadang tidak
sesuai dengan kenyataan yang ada. Apa yang terjadi di dalam kehidupan nyata banyak
terjadi perusakan alam, korupsi, rakus terhadap harta, egois, dan enggan membayar zakat.
Sehingga terjadi ketidakseimangan dalam kehidupan yang menimbulkan bencana alam,
ketimpangan soaial, peperangan, kelaparan, dan lain sebagainya,

Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa pada harta yang dimiliki seseorang, didalamnya
terdapat hak bagi orang lain. Hak yang utama berupa zakat, sedangkan Islam juga
menganjurkan agar manusia bersedekah, berqurban, berwaqaf, berinfaq, berqurban,
beraqiqah, senantiasa memuliaakan tamu, menghormati tetangga, serta mentaati aturan
pemerintah demi kemaslahatan umum dan ketangguhan negara. Ajaran tentang zakat
disamping terdapat dalam al-Qur’an, juga ada hadis. Bahkan yang menjelaskan
tentangkewajiban zakat, bahkan merupakan rincian umum tentang zakat. Seperti halnya
dalam hadis Nabi, disana disebutkan berbagai macam zakat, batasan berzakat, masa
pengeluarannya serta hikmah mengeluarkan zakat. Oleh karenanya begitu pentingnya
peran hadis tentang zakat, sebab akan memperjelaskan hal-hal yang Transformasi Hadis-
Hadis Zakat dalam Mewujudkan. terkait dengan perintah tersebut. Salah satu hal
terpenting dalam mengkaji hadis adalah berkaitan dengan pemahaman (syarh), sebab apa
yang disampaikan Nabi terbatas oleh ruang dan waktu pada masa itu. Padahal,
perkembangan manusia selalu berjalan tiada berhenti. Jika pemahaman terhadap hadis
selalu terfokus pada kajian tekstua, seperti yang dilakukan banyak orang selama ini, maka
tidak akan mampu menangkap makna sebenarnya yang dikehendaki ibadah zakat. Seperti
halnya batasan harta yang wajib dizakati, masih sederhana wujudnya, tidak mampu
mengcover penghasilan yang lain. Sehingga muncul ketidakadilan dalam konsep zakat,
padahal dengan tegas alQur’an menyatakan agar harta tidak bergulir diantara kaum
hartawan saja. (Suryadi: 2008: 73) Pemahaman yang bersifat transformatif dalam bidang
hadis adalah pola pemahaman terhadap hadis yang bertumpu dari teks menuju ke
konteks, dari pemikiran menuju tindakan, dari wacana ke aksi. Jadi, kajian ini meliputi
tiga hal; pemikiran, tindakan, dan pemahaman. Pemikiran berkaitan dengan pola
pemahaman terhadap teks dengan memperhatikan berbagai latar belakang, mulai dari
lingkungan teks, maupun konteksnya. Sedangkan transformatif menyangkut langkah
konkret untuk mewujudkan produk pemikiran ke dunia empiris. Adapun strategi
berkaitan dengan teknik penerapannya. Ada bermacam-macam rincian zakat; seperti
berupa bijibijian, binatang ternak, hasil bumi (emas dan perak) dan barang dagangan.
Oleh karena itu, di zaman khalifah Abu Bakar asShiddiq beliau menetapkan orang-orang
yang mengingkari zakat harus diperangi, karena berdampak besar terhadap kehidupan
social dan kemanjuan Islam. Di samping berbicara pemahaman, kajian hadis juga
meliputi masalah kedudukan atau derajadnya. Apalagi menyangkut masalah ibadah
mahdhah, hadis yang dijadikan dasar harus berstatus shahih ataupun hasan. Sehingga
mengutip sebuah hadis tidak sebatas memahami makna tanpa mengetahui kedudukannya.
Pentingnya kajian tentang hadis tentang zakat pada era modern saat ini , maka penulis
tertarik membahas dalam kajian tulisan berikut.

B.       Hadis Pada Masa Pasca Kodifikasi dan Perkembangannya.


1. Periode Keempat : Masa Pengumpulan dan Pembukuan Hadis

Periode ini disebut Ashr Al-Kitabah wa Al-Tadwin ( masa penulis dan pembukuan). Maksudnya,
penulisan dan pembukuan secara resmi, yakni yang diselenggarakan atas inisiatif pemerintah. Adapun
kalau secara perseorangan, sebelum abad ke-2 H. hadis sudah banyak ditulis, baik pada masa tabi’in,
sahabat kecil, sahabat besar, bahkan pada masa nabi.

Masa pembukuan secara resmi dimulai pada awal abad ke-2 H, yakni pada masa pemerintahan Khalifah
Umar Ibn Abdul Aziz . Sebagian khalifah, Umar Ibn Abdul Aziz sadar bahwa para perawi yang
menghimpun hadis dalam hafalannya semakin banyak yang meninggal. Beliau khawatir apabila tidak
membukukan dan mengumpulkan dalam buku-buku hadis dari para perawinya, ada kemungkinan hadis-
hadis tersebut akan lenyap dari permukaan bumi bersama dengan kepergian para penghafalnya ke alam
barzakh.

Untuk mewujudkan maksud mulia itu, pada tahun 100 H. Khalifah meminta kepada gubernur Madinah,
Abu Bakr Ibn Muhammad Ibn Amr Ibn Hazmin (120 H) yang menjadi guru Ma’mar, Al-Laits, Al-Auza’y,
Malik, Ibnu Ishaq dan Ibnu Abi Dzi’bin supaya membukukan hadis Rasul yang terdapat pada penghafal
wanita yang terkenal, yaitu Amrah binti Abdir Rahman Ibn Sa’ad Ibn Zurarah Ibn ‘Ades, seorang ahli Fiqh,
murid ‘Aisyah r.a (20 H/642 M – 98 H/716 M atau 106 H/724 M), dan hadis-hadis yang ada pada Al-
Qasim Ibn Muhammad Ibn Abi Bakr Ash-Shiddieq (107 H/725 M), seorang pemuka tabiin dan salah
seorang fuqaha tujuh Madinah.

Disamping itu, Umar mengirimkan surat-surat kepada gubernur yang ada di bawah kekuasaannya untuk
membukukan hadis yang ada pada ulama yang tinggal di wilayah mereka masing-masing. Di antara
ulama besar yang membukukan hadis atas kemauan Khalifah adalah Abu Bakr Muhammad Ibn Muslim
Ibn Ubaidillah Ibn Syihab Az-Zuhri, seorang tabiin yang ahli dalam bidang fiqh dan hadis. Beliau adalah
guru Malik, Al-Auza’i, Ma’mar, Al-Laits, Ibnu Ishaq, dan Ibnu Abi Dzi’bin. Mereka inilah ulama yang mula-
mula membukukan hadis atas anjuran Khalifah.

Kitab hadis yang ditulis oleh Ibnu Hazm, yang merupakan kitab hadis pertama yang ditulis atas perintah
kepala Negara, tidak sampai kepada kita, dan kitab itu tidak membukukan seluruh hadis yang ada di
Madinah. Pembukuan hadis yang ada di Madinah dilakukan oleh Imam Muhammad Ibn Muslim Ibn
Syihab Az-Zuhri, yang memang terkenal sebagai seorang ulama besar dari ulma-ulama hadis pada
masanya.[8]

Diantara hal yang timbul dalam abad ke-2 ialah meluasnya pemalsuan hadis. Dalam masa ini muncullah
propaganda-propaganda politik untuk mengembangkan rezim Amawiyah. Untuk mudah mempengaruhi
massa, dibuatlah hadis-hadis palsu. Dengan hadis-hadis ini mereka mudah menarik minat dan perhatian
rakyat kepada pemerintah Abasiyah. Sebagai imbalannya, muncul pula dari pihak Amawiyah ahli-ahli
pemalsu hadis untuk membendung arus Propaganda penganut paham Abbasiyah.

Disamping itu muncul pula golongan Zindiq (pura-pura islam), tukang kisah yang berdaya upaya menarik
minat pendengar untuk memperhatikan pengajaran-pengajarannya dengan membuat kisha-kisah palsu
yang di sandarkan kepada hadis-hadis maudhu’ (palsu). Hal ini menyebabkan sebagian ulama
mendorong mempelajari keadaan perawi-perawi hadis dan memang dalam masa ini telah banyak
perawi-perawi yang lemah.

Diantara tokoh-tokoh hadis yang masyhur dalam abad ke-2 Hijriah ialah Malik, Yahya Ibn Said al-
Qaththan, Waki’ibn al-Jarrah, Sufyan Ats-Tsaury, Ibnu Uyainah, Syu’bah ibn Hajjaj, Abd ar-Rahman ibn
Mahdy, Al-Auza’y, Al-Laits, Abu Hanifah, Asy-Syafi’y.[9]

2. Periode Kelima : Masa Pentashhihan dan Penyusunan Kaidah-Kaidahnya


Abad ke-3 H. merupakan puncak usaha pembukuan hadis. Sesudah kitab-kitab Ibnu Juraij, kitab
Muwaththa’-Al-Malik tersebar dalam masyarakat dan disambut dengan gembira, kemauan menghafal
hadis, mengumpul, dan membukukannya semakin meningkat dan mulailah ahli-ahli ilmu berpindah dari
suatu tempat ke tempat lain dari sebuah negeri ke negeri lain untuk mencari hadis.

Pada awalnya, ulama hanya mengumpulkan hadis-hadis yang terdapat di kotanya masing-masing. Hanya
sebagian kecil di antara mereka yang pergi ke kota lain untuk kepentingan pengumpulan hadis. Keadaan
ini diubah oleh Al-Bhukari. Beliaulah yang mula-mula meluaskan daerah-daerah yang dikunjungi untuk
mencari hadis. Beliau pergi ke Maru, naisabur, rei, Baghdad, Bashrah, Kufah, Mekah, Madinah, Mesir,
Damsyik, Qusariyah, ‘Asqalani, dan Himsh.

Imam Bukhari membuat terobosan dengan mengumpulkan hadis yang tersebar di berbagai daerah.
Enam tahun lamanya Al-Bukhari terus menjelajah untuk menyiapkan kitab Shahih-nya. Para ulama pada
mulanya menerima hadis dari para perawinya lalu menulis ke dalam kitabnya, tanpa mengadakan
syarat-syarat menerimanya dan tidak memperhatikan sahih tidaknya. Namun setelah terjadinya
pemalsuan hadis dan adanya upaya dari orang-orang zindiq untuk mengacaukan hadis, para ulama pun
melakukan hal-hal berikut :

a. Membahas keadaan perawi-perawi dari berbagai segi, yakni keadilan, tempat kediaman, masa, dan
lain-lain.

b. Memisahkan hadis-hadis yang sahih dari hadis yang dha’if yakni dengan mentashihkan hadis.

Ulama hadis yang mula-mula menyaring dan membedakan hadis-hadis yang sahih dari yang palsu dan
yang lemah adalah Ishaq Ibn Rahawih, seorang imam hadis yang sangat termasyhur. Pekerjaan yang
mulia ini kemudian diselenggarakan dengan sempurna oleh Al Imam Al Bukhari. Al-Bukhari menyusun
kitab-kitabnya yang terkenal dengan nama Al-Jami’ Ash-Shahih. Di dalam kitabnya, ia hanya
membukukan hadis-hadis yang dianggap sahih. Kemudian, usaha Al-Bukhari ini diikuti oleh muridnya
yang sangat alim, yaitu Imam Muslim.

Sesudah Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim, bermunculan imam lain yang mengikuti jejak Bukhari
dan Muslim, diantaranya Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan An-Nasa’i. Mereka menyusun kitab-kitab hadis
yang dikenal dengan Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan At-Tirmidzi, dan
Sunan An-Nasa’i. Kitab-kitab itu kemudian dikenal di kalangan masyarakat dengan judul Al-Ushul Al-
Khamsyah.

Disamping itu, Ibnu Majah menyusun Sunan-nya. Kitab Sunan ini kemudian digolongkan oleh para ulama
ke dalam kitab-kitab induk, sehingga kitab-kitab induk itu menjadi 6 buah. Yang kemudian dikenal
dengan nama Al-Kutub Al-Sittah’. Dibawah kitab yang enam ini, para ulama menempatkan Musnad
Ahmad.[10]

3. Periode Keenam : Dari Awal Abad IV H – Tahun 656 H

Periode keenam ini dimulai dari abad IV hingga tahun 656 H, yaitu pada masa ‘Abasiyyah angkatan
kedua. Periode ini dinamakan Ashru At-Tahdib wa At-Tartibi wa Al-Istidraqi wa Al-Jami. Ulama-ulama
hadis yang muncul pada abad ke 2 dan ke 3, digelari Mutaqaddimin, yang mengumpulkan hadis dengan
semata-mata berpegang pada usaha sendiri dan pemeriksaan sendiri, dengan menemui para
penghafalnya yang tersebar di setiap pelosok dan penjuru Negara Arab, Parsi, dan lain-lain.

Setelah abad ke-3 berlalu, bangkitlah pejangga abad ke-4. Para ulama abad ke-4 ini dan seterusnnya
digelari ‘Mutaakhirin’. Kebanyakan hadis yang mereka kumpulkan adalah petikan atau nukilan dari kitab-
kitab Mutaqaddimin, hanya sedikit yang dikumpulkan dari usaha mencari sendiri kepada para
penghafalnya.[11]

Ahli hadis pada abad ke-3 tidak banyak lagi yang mentakhrijkan hadis. Mereka hanya berusaha
mentahdzibkan, menghafalnya, dan memeriksa sanad yang ada di dalam kitab-kitab yang telah ada itu.
Dalam abad ke-4 ini lahirlah pemikiran untuk memandang cukup dalam meriwayatkan hadis dengan
berpegang kepada kitab saja, tidak melawat kemana-mana. Menurut riwayat, Ibnu Mandah adalah
ulama yang terakhir yang mengumpulkan hadis dengan jalan lawatan.

Pada periode ini muncul kitab-kitab shahih yang tidak terdapat dalam kitab shahih pada abad ke-3.
Kitab-kitab itu antara lain : Ash-Shahih (susunan Ibnu Khuzaimah), At-Taqsim wa Anwa’ (susunan Ibnu
Hibban), Al-Mustadrak (susunan Al-Hakim), Ash-Shahih (susunan Abu ‘Awanah), Al-Muntaqa (susunan
Ibnu Jarud), Al-Mukhtarah (susunan Muhammad Ibn Abdul Wahid Maqdisy).

Pada akhir abad ke-4 itu, selesailah penyusunan hadis. Maka ulama abad ke-5 menitikberatkan usaha
untuk memperbaiki susunan kitab, mengumpulkan yang berserak-serak dan memudahkan jalan-jalan
pengambilan dan sebagainya, seperti mengumpulkan hadis-hadis hukum dalam satu kitab dan hadis-
hadis tarqhib dalam sebuah kitab, serta mensyarahkannya. Di antara usaha ulama abad ke-5 ialah
mengumpulkan hadis-hadis yang terdapat dalam kitab enam dan lain-lainnya dalam sebuah kitab besar.

Ringkasnya, di antara usaha-usaha ulama hadis yang terpenting dalam periode ini adalah :

a. Mengumpulkan hadis-hadis Al-Bukhary atau Muslim dalam sebuah kitab.

b. Mengumpulkan hadis-hadis kitab enam

c. Mengumpulkan hadis-hadis yang terdapat dalam berbagai kitab.

d. Mengumpulkan hadis-hadis hukum dan menyusun kitab-kitab athraf. [12]

Pada periode ini muncul usaha-usaha istikhraj, umpamanya mengambil suatu hadis dari Al-Bukhari dan
Muslim, lalu meriwayatkannya dengan sanad sendiri yang lain dari sanad Al-Bukhari atau Muslim karena
tidak memperoleh sanad sendiri. Kitab-kitab ini dinamai kitab-kitab Mustakhraj. Banayk ulama telah
berusaha menyusun istikhraj terhadap Shahih Al-Bukhary dan Shahih Muslim.

Pada periode ini muncul pula usaha istidrak, yakni mengumpulkan hadis-hadis yang memiliki syarat-
syarat Bukhari dan Muslim atau salah satunya yang kebetulan tidak diriwayatkan atau disahihkan oleh
Bukhari dan Muslim. Kitab ini mereka namai Kitab Mustadrak.[13]

4. Periode Ketujuh : Tahun 656 H - Sekarang


Periode ini adalah masa sesudah meninggalnya Khalifah Abasiyyah ke XVII Al-Mu’tasim (w.656 H).
sampai sekarang. Periode ini dinamakan Ahdu As-Sarhi wa Al-Jami’ wa At-Takhrij wa Al-Bahtsi, yaitu
masa pensyarahan, penghimpunan, pen-tahrijan, dan pembahasan. Usaha-usaha yang dilakukan oleh
ulama dalam masa ini adalah menerbitkan isi kitab-kitab hadis, menyaringnya, dan menyusun kitab
enam kitab tahrij, serta membuat kitab-kitab jami’ yang umum.

Pada periode ini disusun kitab-kitab Zawa’id, yaitu usaha mengumpulkan hadis yang terdapat dalam
kitab yang sebelumnya ke dalam sebuah kitab tertentu, diantaranya Kitab Zawa’id susunan Ibnu Majah,
Kitab Zawa’id As-Sunan Al-Kubra disusun oleh Al-Bushiry, dan masih banyak lagi kitab Zawa’id yang lain.
Disamping itu, para ulama hadis pada periode ini mengumpulkan hadis-hadis yang terdapat dalam
beberapa kitab kedalam sebuah kitab tertentu, di antaranya adalah Kitab Jami’ Al-Masanid wa As-Sunan
Al-Hadi li Aqwani Sanan, karangan Al-Hafidz Ibnu Katsir, dan Jami’ul Jawani susunan Al Hafidz As-Suyuthi
(911 H).

Banyak kitab dalam berbagai ilmu yang mengandung hads-hadis yang tidak disebut perawinya dan
pentakhrijnya. Sebagian ulama pada masa ini berusaha menerangkan tempat-tempat pengambilan
hadis-hadis itu dan nilai-nilainya dalam sebuah kitab tertentu.

Sebagaimana periode keenam, periode ketujuh ini pun muncul ulama-ulama hadis yang menyusun
kitab-kitab Athraf, diantaranya Ithaf Al-Maharah bi Athraf Al-‘Asyrah oleh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Athraf
Al-Musnad Al-Mu’tali bi Athraf Al-Musnad Al-Hambali oleh Ibnu Hajar, dan masih banyak lagi kitab
Athraf yang lainnya. [14]

BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat maka dapat disimpulkan bahwa sejarah dan perkembangan hadis terbagi dalam
enam periode yaitu :

Masa pertama, masa wahyu dan pembentukan hukum serta dasar-dasarnya dari permulaan Nabi
bangkit (ba’ats, diangkat menjadi rasul) hingga beliau wafat pada tahun 11 H. Masa kedua, yaitu disebut
sebagai masa membatasi riwayat, masa Khulafa’ Rasyidin (12 H – 40 H)

Masa ketiga, yaitu masa berkembangnya riwayat dan perlawatan dari kota ke kota untuk mencari hadis,
yaitu masa sahabat kecil dan tabi’in besar (41 H – akhir abad pertama H )

Masa keempat, masa pembukuan hadis (dari permulaan abad ke 2 H – hingga akhirnya) Masa kelima,
masa pentashihkan hadis dan menyaringnya (awal abad ke-3 H, hingga akhir)
Masa keenam, masa menapis kitab-kitab hadis dan menyusun kitab-kitab jami’ yang khusus (dari awal
abad ke-4 H hingga jatuhnya Baghdad tahun 656 H). Masa ketujuh, masa membuat syarah, membuat
kitab-kitab takhrij, mengumpulkan hadis-hadis hukum dan membuat kitab-kitab jami’ yang umum serta
membahas hadis-hadis zawa’id. (656 H hingga dewasa ini).

B.       Saran
Sebagai umat islam hendaknya kita menjadikan hadis sebagai sunah Rasul SAW yang harus kita
jadikan landasan dan sumber ajaran agama islam setelah Al Qur’an, selain itu kitapun harus
mengetahui asal muasal pertumbuhan dan perkembangan hadis dari zaman Rasululloh SAW
sampai munculnya ilmu hadis. Agar kita juga dapat mengetahui bagaimana proses lahir dan
tumbuhnya hadis ini, dari zaman Rasululloh SAW sampai saat ini seperti yang dibahas dalam
makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 2009. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Semarang:
Pustaka Rizki Putra.

Ranuwijaya, Utang. 1996. Ilmu Hadis, Jakarta: Media Pratama.

Solahudin, M dan Agus Suyadi. 2008. Ulumul Hadis, Bandung: Pustaka Setia.

Khon, Abdul Majid. 2010. Ulumul Hadis, Jakarta: Amzah.

Anda mungkin juga menyukai