Anda di halaman 1dari 34

BAB IV

TEORI AKAD

Dalam kajian Fiqh Muamalat, masalah akad menempati posisi


sentral karena ia merupakan cara paling penting yang digunakan untuk
memperoleh suatu maksud atau tujuan, terutama yang berkenaan dengan
harta atau manfaat sesuatu secara sah. Tidak jarang karena kesalahan
dalam memilih akad atau kurang terpenuhinya syarat dan rukun akad,
transaksi yang dilakukan seseorang bisa dinilai tidak sah (batal).
Oleh karena itu, pengetahuan mengenai akad penting dan harus
dikuasai oleh setiap orang yang masih memiliki komitmen menjalankan
segala macam transaksi bisnisnya selaras dengan tuntutan syari’ah.
Berikut akan diuraikan hal-hal yang terkait dengan akad yang meliputi
pengertian akad, perbedaan akad dan janji, rukun dan syarat akad, hal-hal
yang dapat merusak akad, macam-macam akad, pemutusan akad, dan
berakhirnya akad. Di samping itu, pada akhir pembahasan juga akan
dibahas tentang khiyar dan riba yang merupakan aspek penting yang
menentukan keberlangsungan akad juga menentukan sah atau tidaknya
akad yang dilakukan.

A. Pengertian Akad
Lafal akad, berasal dari lafal Arab al-‘aqd yang secara etimologi
berarti perikatan, perjanjian, dan permufakatan.
Secara terminologi, akad memiliki arti umum (al-ma’na al-‘am) dan
khusus (al-ma’na al-khas). Adapun arti umum dari akad adalah:
“segala sesuatu yang dikehendaki seseorang untuk dikerjakan, baik
yang muncul dari kehendaknya sendiri, seperti kehendak untuk wakaf,
membebaskan hutang, thalak, dan sumpah, maupun yang membutuhkan
pada kehendak dua pihak dalam melakukannya, seperti jual beli, sewa

1
menyewa, perwakilan, dan gadai/jaminan”. Sedangkan arti khusus (al-
ma’na al-khas) akad adalah:

‫ارتباط اجياب بقبول على وجه مشروع يثبت أثره ىف حمله‬


“Pertalian atau keterikatan antara ijab dan qabul sesuai dengan kehendak syari’ah
(Allah dan Rasulnya) yang menimbulkan akibat hukum pada obyek akad.”
Ijab dan qabul dimaksudkan untuk menunjukkan adanya keinginan
dan kerelaan timbal balik para pihak yang bersangkutan terhadap isi
akad. Oleh karena itu, ijab dan qabul menimbulkan hak dan kewajiban
atas masing-masing pihak secara timbal balik. Ijab adalah pernyataan
pihak pertama mengenai isi perikatan yang diinginkan, sedangkan qabul
adalah pernyataan pihak kedua untuk menerimanya.
Pencantuman kata “sesuai dengan kehendak syariah” dalam definisi
di atas, maksudnya adalah bahwa setiap akad yang dilakukan oleh dua
pihak atau lebih tidak dipandang sah jika tidak sejalan dengan kehendak
atau ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh al-syar’i (Allah dan
Rasulnya) misalnya akad untuk melakukan transaksi riba atau transaksi
lain yang dilarang. Apabila ijab dan qabul telah dilakukan sesuai dengan
syarat-syaratnya dan sesuai dengan kehendak syara’, maka muncullah
akibat hukum dari perjanjian tersebut. Misalnya, dalam jual beli,
terjadinya perpindahan kepemilikan barang dari penjual kepada pembeli
dan penjual berhak menerima harga barang yang dijualnya dari pembeli.
Sehubungan dengan pengertian akad baik yang umum maupun
yang khusus, ada istilah lain dalam kajian muamalat yang memiliki
kesamaan dengan akad, yaitu iltizam (obligation), dan tasarruf (conduct or
disposition).
Iltizam (obligation) diartikan sebagai tindakan hukum yang berupa
pembentukan (insya’), pemindahan (naql), penggantian (ta’dil), dan
penghentian (inha’) hak, baik yang muncul dari satu pihak saja seperti
dalam wakaf dan pembebasan hutang, atau yang berasal dari kedua belah

2
pihak, seperti jual beli dan sewa menyewa. Dengan demikian iltizam
mempunyai arti yang sama dengan akad dalam pengertian umumnya (al-
ma’na al-am), tetapi berbeda dengan dalam pengertian khusus (al-ma’na al-
khas) yang hanya mencakup tindakan hukum yang kehendaknya berasal
dari dua pihak.
Sedangkan, tasharruf (conduct or disposition) adalah "Segala sesuatu
yang bersumber dari kehendak seseorang baik berupa perkataan maupun
perbuatan, di mana syara' menetapkan atasnya sejumlah akibat hukum,
baik yang menyangkut kepentingan orang tersebut maupun orang lain”.
Tasharruf yang berupa perkataan seseorang misalnya jual beli, hibah,
wakaf, atau pengakuan hak, sementara tasharruf yang berupa perbuatan
antara lain penguasaan terhadap harta bebas (ihraz al-mubahaat),
mengkonsumsi (istihlak), dan memanfaatkan (intifa’) harta.
Atas dasar definisi di atas, istilah tasharruf lebih umum
dibandingkan dengan akad dan iltizam, karena tasharruf terdiri dari
perkataan dan perbuatan baik yang menimbulkan iltizam maupun tidak.
Di sisi lain, tidak semua tasharruf qauly (perkataan) masuk kategori akad
walaupun dengan maknanya umum, seperti dalam hal gugatan (al-da’wa)
dan pengakuan (al-iqrar).

B. Perbedaan Akad dan Janji (al-Wa’ad)


Istilah janji (al-Wa’ad) sering juga dikaitkan dengan akad ketika
terjadinya sebuah transaksi. Janji biasanya diucapkan sebelum terjadinya
akad sebagai upaya pemberian harapan kepeda orang yang menerimanya
bahwa ia (orang yang berjanji) akan melakukan sesuatu yang berguna.
Bahkan, janji biasanya dilakukan sebagai pengganti dari akad untuk
menghindari akibat hukum akad yang mengikat (mulzim).
Dalam kajian fiqh muamalat, akad dibedakan dengan janji. Pada
akad terdapat pernyataan atas suatu keinginan positif dari salah satu
pihak yang terlibat dan diterima oleh pihak lainnya –yang menimbulkan

3
akibat hukum pada obyek akad, serta hak dan kewajiban atas masing-
masing. Sedangkan janji adalah “keinginan yang dikemukakan oleh
seseorang untuk melakukan sesuatu, baik perbuatan maupun ucapan,
dalam rangka memberikan keuntungan bagi pihak lain.”
Dengan demikian, perbedaan antara janji dan akad (kontrak) sangat
jelas. Akad adalah sikap untuk melahirkan suatu perbuatan pada saat itu
(insya’ tasharruf fi al-hal), sedangkan janji hanya merupakan suatu
penyampaian keinginan (ikhbar). Perbedaan lainnya, dan ini yang
terpenting, terletak pada konsekuensi hukum dari keduanya. akad
bersifat mengikat (mulzim) para pelakunya, wajib dilaksanakan, baik dari
sisi hukum (legal formal, qadha’an) maupun dari pandangan agama
(diyanatan) ketika semua persyaratan terpenuhi. Sementara itu, ulama
sepakat bahwa menurut pandangan agama (diyanatan), janji bersifat
mengikat seseorang yang menyampaikannya dan dinilai sebagai suatu
bentuk akhlak mulia. Sedangkan dilihat dari sisi hukum (legal formal,
qadha’an), ulama berbeda pendapat tentang wewenang hakim memaksa
orang yang berjanji untuk melaksanakan janjinya .
Untuk lebih jelasnya, berikut ini pendapat para ulama mengenai
“janji” tersebut.
a. Mayoritas fuqaha (ahli hukum Islam) dari kalangan mazhab Hanafi,
Syafi’i, Hambali dan salah satu pendapat dari mazhab Maliki
berpendapat bahwa janji hanya mengikat secara agama, tidak
mengikat secara hukum (legal formal) sehingga tidak dapat dituntut
di pengadilan. Ini mengingat bahwa janji merupakan akad kebajikan
(tabarru’), sedangkan akad kebajikan tidak mengikat sebagaimana
dalam hibah.
b. Sebagian ulama, di antaranya Ibn Syubrumah (w. 144 H), Ishaq ibn
Rahawaih (w. 238 H), al-Hasan al-Bashri (w. 110 H) dan salah satu
pendapat (qaul) mazhab Maliki, menyatakan bahwa janji adalah

4
mengikat secara hukum. Pendapat ini didasarkan pada QS. al-Shaff: 2-
3; dan hadis Nabi:
“Tanda orang munafik ada tiga: jika berbicara, ia berdusta; jika
berjanji, ia ingkar; dan jika diberi amanat, ia khianat” (HR. Muslim
dari Abu Hurairah).
c. Sebagian ulama mazhab Maliki berpendapat bahwa janji mengikat
secara hukum apabila dikaitkan dengan suatu sebab walaupun orang
yang berjanji tidak menyebutkan sebab tersebut dalam pernyataan
janjinya.
d. Sebagian ulama mazhab Maliki yang terkenal (masyhur) menyatakan
bahwa janji mengikat secara hukum apabila janji itu dikaitkan dengan
suatu sebab dan sebab tersebut ditegaskan dalam pernyataan janji.
Dari penjelasan tersebut nampak jelas bahwa menurut mayoritas
ulama, janji mengikat menurut agama, tidak mengikat secara hukum.
Sedangkan menurut mazhab Maliki yang memiliki empat pendapat,
pendapat yang terkuat adalah pendapat yang keempat, yaitu mengikat
secara hukum, sama dengan akad, jika janji itu dikaitkan dengan suatu
sebab dan sebab tersebut diungkapkan dalam pernyataan janji. Pendapat
ini dipandang kuat oleh sebagian besar ulama kontemporer dan oleh
Majma’ al-Fiqh al-Islami sebagaimana ditetapkan dalam muktamar V
yang diselenggarakan di Kuwait, tanggal 10-15 Desember 1988.

C. Rukun dan Syarat Akad


Suatu akad harus memenuhi beberapa rukun dan syarat. Rukun
akad adalah unsur yang harus ada dan merupakan esensi dalam setiap
akad. Jika salah satu rukun tidak ada, menurut hukum Islam akad
dipandang tidak pernah ada. Sedangkan syarat adalah suatu sifat yang
mesti ada pada setiap rukun, tetapi bukan merupakan esensi. Salah satu
contoh syarat dalam akad jual beli adalah “kemampuan menyerahkan

5
barang yang dijual”. Kemampuan menyerahkan ini harus ada dalam
setiap akad jual beli, namun ia tidak termasuk dalam pembentukan akad .
1. Rukun dan Syarat akad
Berikut akan diuraikan mengenai unsur-unsur pembentuk
perangkat akad (alat al-‘aqd) di mana perangkat-perangkat inilah yang
nantinya menjadi unsur-unsur pembentuk akad.
Menurut mayoritas ulama, rukun akad terdiri atas: a. shighat (
pernyataan ijab dan qabul), b. ‘aqidan (dua pihak yang melakukan akad ),
dan c. ma’qud ‘alaih (obyek akad ). Menurut mazhab Hanafi, rukun akad
hanya terdiri atas ijab dan kabul (shighat). Sedangkan hal lain yang oleh
jumhur dipandang sebagai rukun, bagi mazhab Hanafi hanya dipandang
sebagai lawazim al-‘aqd (hal-hal yang mesti ada dalam setiap pembentukan
akad ) dan terkadang disebut juga dengan muqawwimat al-‘aqd (pilar-pilar
akad ). Selain itu, ulama mazhab Hanafi menambahkan satu hal lagi pada
lazawin al-‘aqd, yaitu maudhu’ al-‘aqd (tujuan akad).
Berikut diuraikan rukun dan syarat akad menurut mayoritas
ulama:
1). Shighat (formulasi) ijab dan kabul dapat diwujudkan dengan ucapan
lisan, tulisan, isyarat bagi mereka yang tidak mampu berbicara atau
menulis, sarana komunikasi modern, bahkan dengan perbuatan (bukan
ucapan, tulisan, maupun isyarat) yang menunjukkan kerelaan kedua
belah pihak untuk melakukan suatu akad-yang umumnya dikenal
dengan al-mu’athah .
Ada tiga syarat yang harus dipenuhi agar suatu ijab dan kabul
dipandang sah yaitu:
a). Ijab dan kabul harus secara jelas menunjukkan maksud kedua
belah pihak,
b). Antara ijab dan kabul harus selaras, dan
c). Antara ijab dan kabul harus muttashil (nyambung, connect), yakni
dilakukan dalam satu majlis ‘aqd (tempat kontak).

6
Satu majlis akad adalah kondisi-bukan fisik-di mana kedua belah
pihak yang berakad terfokus perhatiannya untuk melakukan akad .
2). Pelaku akad disyaratkan harus orang mukallaf (‘aqil-baligh, berakal
sehat dan dewasa atau cakap hukum). Mengenai batasan umur
pelaku untuk keabsahan akad diserahkan kepada ‘urf atau peraturan
perundang-undangan yang dapat menjamin kemaslahatan para
pihak.
3). Sesuatu yang menjadi obyek akad harus memenuhi 4 (empat) syarat:
a). Ia harus sudah ada secara konkret ketika akad dilangsungkan;
atau diperkirakan akan ada pada masa akan datang dalam akad-
akad tertentu seperti dalam akad salam, ishtishna’, ijarah dan
mudharabah.
b). Ia harus merupakan sesuatu yang menurut hukum Islam sah
dijadikan obyek akad, yaitu harta yang dimiliki serta halal
dimanfaatkan (mutaqawwam).
c) Ia harus dapat diserahkan ketika terjadi akad, namun tidak berarti
harus dapat diserahkan seketika.
d) Ia harus jelas (dapat ditentukan, mu’ayyan) dan diketahui oleh
kedua belah pihak. Ketidakjelasan obyek akad-selain ada larangan
Nabi untuk menjadikannya sebagai obyek akad-mudah
menimbulkan persengketaan di kemudian hari, dan ini harus
dihindarkan. Mengenai penentuan kejelasan suatu obyek akad ini,
adat kebiasaan (‘urf) mempunyai peranan penting.
Dari syarat pertama ulama mengecualikan empat macam akad:
salam, istishna’, ijarah, dan musaqah. Artinya, keempat macam akad ini
tetap dinyatakan sah walaupun obyek akad belum ada ketika terjadi
akad.
Selain rukun, agar suatu akad dinyatakan sah masih diperlukan
sejumlah syarat. Beberapa syarat yang berkenaan dengan shighat,
‘aqid, dan ma’qud ‘alih, telah dikemukakan. Syarat penting lainnya

7
adalah bahwa akad yang dilakukan bukan akad yang dilarang oleh
hukum dan bahwa akad tersebut harus menimbulkan manfaat
(kegunaan, mufid).
4). Maudhu’ al-‘aqd atau tujuan akad merupakan salah satu bagian penting
yang mesti ada pada setiap akad . Yang dimaksud dengan maudhu’ al-
‘aqd adalah tujuan utama untuk apa akad itu dilakukan (al-maqshad al-
ashli alladzi syuri’a al-‘aqd min ajlih). Menurut hukum Islam, yang
menentukan tujuan hukum akad adalah al-Musyarri’ (yang
menetapkan syariat, yaitu Allah). Dengan kata lain, akibat hukum
suatu akad hanya diketahui melalui syara’ dan harus sejalan dengan
kehendak syara’. Atas dasar itu, semua bentuk akad yang tujuannya
bertentangan dengan syara’ (hukum Islam) adalah tidak sah dan karena
itu tidak menimbulkan akibat hukum; misalnya, menjual barang yang
diharamkan seperti minuman keras (khamr). Jika hal itu terjadi, dalam
pandangan hukum Islam akibat hukumnya tidak tercapai. Tegasnya,
menurut hukum Islam, jual beli atas barang yang diharamkan tersebut
tidak menyebabkan perpindahan kepemilikan barang kepada pembeli
dan kepemilikan harga barang kepada penjual.
Tujuan dalam setiap akad berbeda-beda karena berbeda jenis atau
bentuk akadnya. Dalam akad jual beli, misalnya, akibat hukumnya
adalah pemindahan pemilikan benda dengan imbalan; dalam akad
hibah, akibat hukumnya adalah pemindahan pemilikan benda tanpa
imbalan; dalam akad sewa menyewa (ijarah), akibat hukumnya adalah
pemindahan pemilikan manfaat suatu benda atau jasa orang dengan
imbalan; dalam akad peminjaman (i’arah), akibat hukumnya adalah
pemindahan pemilikan manfaat suatu benda tanpa imbalan; demikian
seterusnya.

Tujuan akad itu tercapai segera setelah akad dilakukan apabila


syarat-syarat yang diperlukan telah terpenuhi.

8
Tujuan akad sebagaimana dikemukakan di atas-selain disebut
dengan istilah maudhu’ al-‘aqd-- disebut juga dengan “akibat hukum
khusus akad” (al-hukm al-ashliy li-al-‘aqd atau atsar al-‘aqd al-khash,
disingkat al-atsar al-khash).

Di samping itu, menurut hukum Islam, terdapat pula “akibat


hukum umum akad” (atsar al-‘aqd al-‘amm, disingkat al-atsar al-‘amm)
pada setiap jenis dan bentuk akad. Artinya, pada setiap akad yang sah
terdapat akibat hukum yang bersifat umum dan sama, walaupun
bentuk atau jenis akadnya berbeda-beda. Akibat hukum umum
tersebut adalah nafadz dan ilzam wa luzum.

Nafadz adalah berlakunya akibat hukum khusus akad dan semua


perikatan (iltizamat) yang ditimbulkannya begitu akad selesai
dilakukan. Nafadz dalam akad jual beli, misalnya, adalah berpindahnya
kepemilikan barang yang dijual (kepada pembeli) dan pembayaran
harganya (kepada penjual) begitu akad selesai dilakukan, serta
timbulnya kewajiban melaksanakan perikatan atas para pihak, yaitu
menyerahkan barang yang dijual dan menerima pembayaran (bagi
penjual) serta menerima barang dan menyerahkan pembayaran harga
barang (bagi pembeli).

Lawan atau kebalikan nafadz adalah tawaqquf (bergantung). Akad


yang nafadz disebut akad yang nafidz dan akad yang tidak nafadz
disebut akad mauquf.

Ilzam dalam pengertian umum adalah mewajibkan pelaksanaan


(pemenuhan) perikatan yang lahir dari akad; sedangkan menurut
pengertian fiqh (hukum Islam) adalah menimbulkan perikatan tertentu
secara timbal balik atas pihak-pihak yang berakad dalam akad yang
bersifat mengikat dua pihak seperti jual beli atau menimbulkan
perikatan tertentu atas salah satu pihak yang berakad dalam akad yang
bersifat mengikat satu pihak seperti wadi’ah (penitipan).

9
Sedangkan, yang dimaksud dengan luzum (mengikat) adalah
ketidakbolehan “membatalkan” (fasakh) akad kecuali atas kerelaan
kedua belah pihak. Akad yang memiliki akibat hukum luzum (disebut
akad lazim) adalah akad yang tidak mengandung hak khiyar (hak pilih
untuk meneruskan atau tidak meneruskan akad). Akibat hukum luzum
ini, menurut ulama mazhab Hanafi dan Maliki, timbul begitu akad
(ijab kabul) selesai dilakukan; sedangkan menurut ulama mazhab
Syafi’i dan Hambali, ia baru muncul setelah majlis akad selesai. Dari
perbedaan pendapat ini nampaknya yang paling tepat adalah pendapat
yang menyatakan bahwa akad memiliki akibat hukum begitu selesai
dilakukan. Dalam konteks sekarang adalah setelah dilakukan
penandatanganan kedua belah pihak. Karena saat itulah secara nyata
kedua belah pihak yang terlibat dalam akad menunjukkan
kesepakatannya.

D. Hal-hal yang dapat merusak akad

Akad dipandang tidak sah atau sekurang-kurangnya dapat


dibatalkan apabila terdapat hal-hal sebagai berikut:
a. Keterpaksaan/ Duress (al-Ikrah)
Salah satu asas akad menurut hukum Islam adalah kerelaan (al-ridha)
dari para pihak yang melakukan akad. Implementasi asas ini diwujudkan
dalam bentuk ijab-kabul yang merupakan unsur terpenting dalam akad.
Jika sebuah akad dilakukan tanpa adanya kerelaan, berarti akad tersebut
dibuat dengan secara terpaksa.
Dilihat dari akibat yang ditimbulkannya, para ulama membag ikrah
menjadi dua macam, yaitu:
1). Pemaksaan sempurna (ikhrah tam), yaitu yang berakibat pada
hilangnya jiwa, atau anggota badan, atau pukulan keras yang bisa
mengakibatkan cacat fisik pada dirinya atau kerabatnya.

10
2). Pemaksaan tidak sempurna (ikhrah naqish), yaitu mengakibatkan rasa
sakit yang ringan atau berupa pukulan yang ringan.
Para ulama mensyaratkan bahwa pemaksaan yang berpengaruh
pada akad adalah pemaksaan yang tidak disyari’atkan (tidak dibenarkan
secara hukum). Namun jika pemaksaan itu dikehendaki secara hukum,
maka pemaksaan itu tidak berpengaruh. Misalnya, pemaksaan hakim
terhadap seseorang yang berhutang untuk menjual kelebihan hartanya
(dari kebutuhan) untuk membayar utang.
b. Kesalahan mengenai obyek akad (Ghalath)
Ghalath berarti kesalahan, yakni kesalahan orang yang berakad
dalam menggambarkan obyek akad, baik kesalahan dalam menyebutkan
zat (jenis) maupun dalam menyebutkan sifatnya. Misalnya, seseorang
membeli perhiasan yang diduganya adalah emas, namun ternyata
tembaga. Akad seperti ini sama dengan akad pada sesuatu yang tidak ada
obyeknya. Dengan demikian, status hukum jual beli tersebut adalah batal,
karena obyek akad yang dikehendaki oleh pembeli tidak ada.
c. Penipuan (Tadlis) atau Keidak pastian (Taghrir) pada obyek akad
Tadlis adalah suatu upaya untuk menyembunyikan cacat pada obyek
akad dan menjelaskan dengan gambaran yang tidak sesuai dengan
kenyataannya untuk menyesatkan pihak yang berakad dan berakibat
merugikan salah satu pihak yang berakad tersebut. Upaya ini disebut
juga dengan taghrir (penipuan).
Tadlis ada tiga macam:
a) Tadlis perbuatan, yakni menyebutkan sifat yang tidak nyata pada
obyek akad.
b) Tadlis ucapan, seperti berbohong yang dilakukan oleh salah seorang
yang berakad untuk mendorong agar pihak lain mau melakukan akad.
Tadlis kadang terjadi juga pada harga barang yang dijual, atau
menipu dengan memberi penjelasan yang menyesatkan.

11
c) Tadlis dengan menyembunyikan cacat pada obyek akad padahal ia
sudah mengetahui kecacatan tersebut.
Akad yang mengandung tipuan (tadlis) dilarang oleh hukum Islam,
tetapi tidak berpengaruh pada akad, kecuali jika disertai tipuan besar.
Dalam hal disertai tipuan besar, maka pihak yang ditipu berhak
membatalkan akad, untuk menyelamatkan dirinya dari kerugian, artinya
ia sebagai pihak yang ditipu diberi hak khiyar mem-fasakh akad jual
belinya, disebabkan adanya tipu daya yang disertai rayuan.
d. Ketidak seimbangan obyek akad (Ghaban) disertai tipuan (Taghrir)
Pengertian ghaban di kalangan fuqaha adalah tidak terwujudnya
keseimbangan antara obyek akad (barang) dengan harganya, seperti
harganya lebih rendah atau lebih tinggi dari harga yang sesungguhnya.
Sedangkan taghrir (penipuan) adalah menyebutkan keunggulan pada
barang tetapi tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya.
Ghaban ada dua macam yaitu yang sedikit (yasir) dan banyak (fahisy).
Ghaban sedikit ialah seperti seseorang membeli sebuah barang seharga Rp
1.000,- sedangkan menurut penilaian orang yang ahli harganya hanya Rp
900,-. Adapun ghaban banyak adalah penilaian orang ahli jauh lebih
murah. Misalnya seseorang membeli rumah. Menurut orang ahli
sebenarnya harganya hanya seperlima dari yang dibayar oleh pembeli.
Ghaban kurang berpengaruh pada akad, karena hal itu sering terjadi
sehingga sulit menghindarinya sehingga ia tidak boleh dijadikan alasan
untuk mengurungkan akad. Biasanya masyarakat sangat toleran pada
ghaban yang sedikit. Adapun ghaban yang besar berpengaruh pada sikap
ridha orang yang mengadakan akad, sehingga melenyapkan rasa
ridhanya. Mengenai hal ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan
fuqaha tentang apakah yang tertipu berhak mem-fasakh akad .
E. Macam-macam Akad
Dari lihat dari aspek sifat dan hukumnya, akad dibagi menjadi akad
sah (shahih) dan akad tidak sah (ghair shahih). Akad sah adalah akad yang

12
memenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Hukum akad ini adalah
berlakunya seluruh akibat hukum akad (baik yang bersifat khusus
maupun bersifat umum) yang ditimbulkan oleh akad itu, saat itu juga,
dan mengikat bagi para pihak yang melakukannya. Sebagai contoh, jual
beli yang sah-dalam arti telah terpenuhi semua rukun dan syaratnya,
setelah terjadi ijab dan kabul, barang yang dijual menjadi milik pembeli
dan harga penjualan barang menjadi milik penjual, kecuali apabila ada
syarat khiyar. Perpindahan kepemilikan itu dipandang sudah terjadi
walaupun belum dilakukan serah terima.
Akad sah, menurut mazhab Hanafi dan Maliki, terbagi atas akad
yang nafidz dan akad yang mauquf. Yang pertama adalah akad yang
dilakukan oleh orang yang cakap hukum (ahliyah) dan memiliki
kompetensi untuk melakukan akad terhadap obyek akad. Sedangkan
yang kedua (mauquf) adalah akad yang dilakukan oleh orang yang cakap
hukum (ahliyah) namun tidak memiliki kompetensi untuk melakukan
akad terhadap obyek akad tersebut; misalnya menjual sebuah barang oleh
orang yang bukan pemiliknya padahal ia tidak diberi izin untuk
menjualnya. Akad mauquf ini tidak menimbulkan akibat hukum, kecuali
pihak yang berkompeten mengizinkan atau membolehkannya. Menurut
mazhab Syafi’i dan Hambali, akad mauquf ini dipandang sebagai akad
yang batal.
Akad tidak sah adalah akad yang terdapat kekurangan pada rukun
atau syarat-syaratnya. Hukum akad ini adalah bahwa semua akibat
hukum yang ditimbulkan dari akad itu tidak berlaku dan tidak mengikat
pihak-pihak yang berakad; misalnya menjual bangkai dan khamr, atau
akad jual beli yang dilakukan oleh orang yang tidak cakap hukum.
Menurut ulama mazhab Hanafi, akad tidak sah terbagi menjadi dua,
yaitu akad yang batal (bathil) dan akad yang rusak (fasid). Akad yang
batal adalah akad yang mengandung cacat pada rukun atau obyeknya.
Misalnya akad yang dilakukan oleh orang yang tidak cakap hukum atau

13
akad yang obyeknya tidak dapat menerima hukum akad seperti barang
yang diharamkan. Dengan kata lain, akad batal adalah akad yang tidak
dibenarkan syara’ (hukum Islam) dilihat dari sudut rukun dan cara
pelaksanaannya. Akad batal dipandang tidak pernah terjadi menurut
hukum, walaupun secara kenyataan pernah terjadi; dan oleh karenanya ia
tidak mempunyai akibat hukum sama sekali. Sedangkan akad fasid
adalah akad yang pada dasarnya dibenarkan hukum namun akad
tersebut disertai hal-hal yang tidak dibenarkan hukum.
F. Pemutusan Suatu Akad (Faskh)
a. Pengertian faskh
Yang dimaksud dengan pemutusan (faskh) akad di sini adalah
“melepaskan perikatan akad” atau “menghilangkan atau menghapuskan
hukum akad secara total seakan-akan akad tidak pernah terjadi.” Dengan
faskh, para pihak yang berakad kembali ke status semula sebelum akad
terjadi. Demikian pula dengan obyek akad. Barang yang dijual–sebagai
contoh faskh dalam akad jual beli—kembali menjadi milik penjual dan
harga pembayaran barang kembali menjadi milik pembeli. Pemutusan
akad dapat terjadi atas dasar kerelaan (al-taradhi) para pihak dan dapat
pula terjadi secara paksa atas dasar putusan hakim (al-Qadhai).
Faskh adakalanya wajib dan adakalanya ja’iz (boleh). Faskh wajib
dilakukan dalam rangka menghormati ketentuan syari’ah; misalnya faskh
terhadap akad yang fasid. Dalam hal ini faskh dilakukan guna
menghilangkan penyebab ke-fasid-an akad, menghormati ketentuan-
ketentuan syari’ah, melindungi kepentingan (mashlahah) umum maupun
khusus, menghilangkan dharar (bahaya atau kerugian), dan
menghindarkan perselisihan akibat pelanggaran terhadap syarat-syarat
yang ditetapkan syari’ah. Sedangkan faskh yang ja’iz adalah faskh yang
dilakukan atas dasar keinginan pihak-pihak yang berakad; misalnya faskh
disebabkan adanya hak khiyar dan faskh yang didasarkan atas kerelaan
dan kesepakatan seperti iqalah.

14
b. Syarat dan Sebab faskh
Sebuah akad boleh di faskh apabila terpenuhi syarat-syarat berikut.
1) Akad yang akan difaskh harus bersifat mengikat kedua belah pihak,
yaitu akad yang berbentuk pertukaran (mu’awadhah).
2) Pihak yang berakad melanggar atau tidak dapat memenuhi syarat
yang ditetapkan dalam akad. Jika salah satu pihak melanggar syarat
atau ketentuan akad yang telah disepakati atau tidak dapat memenuhi
kewajiban yang harus dilakukan berdasarkan akad, seperti barang
yang disewakan mengalami kerusakan dan pembeli tidak mampu
membayar harga barang yang dibeli, pihak yang lain boleh meminta
agar akad difaskh.
3) Dalam akad tidak terpenuhi unsur kerelaan. Jika salah satu pihak
tidak rela dengan cacat yang terdapat pada obyek akad atau
kerelaannya untuk melakukan akad tidak terpenuhi secara maksimal,
misalnya disebabkan terjadi ghalath (kekeliruan), ikrah (pemaksaan)
dan tadlis (penipuan), ia memiliki hak untuk meminta agar akad
difaskh, baik atas dasar kerelaan pihak yang lain maupun melalui
putusan hakim.

c. Akibat hukum faskh


Pemutusan akad menimbulkan akibat hukum sebagai berikut.
1) Akad menjadi berakhir. Sebelum faskh terjadi, akad dan semua akibat
hukumnya berlaku sebagaimana mestinya. Kepemilikan barang yang
dijual–dalam akad jual beli misalnya—beralih menjadi milik pembeli.
Setelah akad difaskh, status akad dan semua akibat hukumnya menjadi
sirna, hilang, seolah-olah akad tidak pernah terjadi dan para pihak
kembali ke kondisi semula sebelum akad dilakukan serta mereka
wajib mengembalikan apa yang telah diterimanya. Jika pengembalian
tersebut tidak mungkin dapat dilakukan, para pihak boleh

15
menetapkan untuk mengembalikan hal lain sebagai pengganti
(ta’widh).
2) Faskh menimbulkan akibat hukum yang berlaku surut dan yang
berlaku ke depan. Yang pertama terjadi dalam faskh terhadap akad
yang bersifat fauriyah, yakni akad pertukaran di mana obyek akad
yang dipertukarkan sudah diserah-terimakan pada saat akad terjadi;
misalnya akad jual beli. Dengan demikian, faskh terhadap akad jual
beli menimbulkan akibat hukum bahwa barang yang dijual wajib
dikembalikan kepada penjual dan harga barang wajib dikembalikan
kepada pembeli. Akan tetapi, jika sebelum faskh barang yang dijual
(dibeli) sudah dijual lagi oleh pembeli, akad pertama tersebut tidak
boleh difaskh.
Sedangkan akibat hukum yang kedua, yakni yang berlaku ke depan,
terjadi dalam faskh terhadap akad yang bersifat mustamirrah, yakni
akad di mana obyek akad tidak dapat diterima pada saat akad atau
pelaksanaan kewajiban akadnya memerlukan waktu; seperti akad
sewa (ijarah) dan syirkah (kerja sama). Misalnya akad sewa rumah
untuk masa satu tahun; dan pada bulan keenam, kontak difaskhkan.
Jika hal ini terjadi, akibat hukum faskh hanya berlaku untuk enam
bulan berikutnya; tidak berlaku untuk masa enam bulan yang sudah
berlalu.

G. Berakhirnya Akad (Intiha’ al-‘aqd)


Menurut hukum Islam, akad berakhir disebabkan terpenuhinya
tujuan akad (tahqiq gharadh al-`aqd), fasakh, infisakh, kematian, dan ketidak-
izinan (`adal al-ijazah) dari pihak yang memiliki kewenangan dalam akad
mauquf.
1. Suatu akad dipandang berakhir apabila tujuan akad telah tercapai.
Dalam akad jual beli misalnya, akad dipandang telah berakhir apabila
barang telah berpindah tangan kepada pembeli dan harganya telah

16
menjadi milik penjual. Dalam akad rahn (gadai) dan kafalah
(pertanggungan), akad dipandang telah berakhir apabila utang telah
dibayar. Demikian juga, akad berakhir disebabkan intiha’ muddah al-
`aqd (berakhir masa akad). Jika masa kontrak sudah berakhir misalnya,
maka akad sewa menyewa sudah habis dan akad menjadi
berakhir/selesai dengan sendirinya.
2. Fasakh. Sebuah akad berakhir disebabkan fasakh (pemutusan). Dalam
akad yang mengikat bagi para pihak, ada beberapa alasan yang
menyebabkan akad dapat atau bahkan harus difasakh:
a. Disebabkan akad dipandang fasad, misalnya menjual sesuatu yang
tidak jelas spesifikasinya atau menjual sesuatu dengan dibatasi
waktu. Jual beli semacam itu dipandang fasad, dan karenanya
harus (wajib) difasakh, baik oleh para pihak yang berakad
maupun oleh hakim, kecuali terdapat hal-hal yang menyebabkan
fasakh tidak dapat dilakukan seperti pihak pembeli telah menjual
barang yang dibelinya. Dalam kasus terakhir ini pembeli wajib
mengembalikan nilai (qimah) barang yang dijualnya itu dengan
nilai pada saat ia menerima barang, dan bukan mengembalikan
harga yang disepakati.
b. Disebabkan adanya khiyar. Pihak yang memiliki hak khiyar, baik
khiyar syarat, khiyar ‘aib, khiyar ru’yah maupun lainya
dibolehkan untuk melakukan fasakh akad yang telah
dilakukannya. Fasakh boleh dilakukan tanpa memerlukan pihak
lain; kecuali dalam khiyar ‘aib (khiyar disebabkan terdapat
kerusakan pada obyek akad) setelah obyek akad diterima.
Menurut Hanafiah, fasakh hanya boleh dilakukan atas dasar
kerelaan pihak lain atau putusan hakim.
c. Disebabkan iqalah. Iqalah adalah fasakh terhadap akad berdasarkan
kerelaan kedua belah pihak ketika salah satu pihak menyesal dan

17
ingin mencabut kembali akad yang telah dilakukannya. Iqalah
dianjurkan oleh Nabi saw. (lihat HR Baihaqi dari Abu Hurairah).
d. Disebabkan `adam al-tanfidz, yakni kewajiban yang ditimbulkan
oleh akad tidak dipenuhi oleh para pihak atau salah satu pihak
bersangkutan. Jika hal itu terjadi, akad boleh fasakh. Misalnya
dalam akad yang mengandung khiyar naqd (khiyar pembayaran).
3. Infisakh, yakni putus dengan sendirinya (dinyatakan putus, putus
demi hukum). Sebuah akad dinyatakan putus apabila isi akad tidak
mungkin dapat dilaksanakan (istihalah al-tanfidz) disebabkan afat
samawiyah (force majeure). Dalam akad jual beli–misalnya—barang
yang dijual rusak di tangan penjual sebelum diserahkan kepada
pembeli. Dengan demikian, akad jual beli dinyatakan putus dengan
sendirinya (infisakh), karena pelaksanaan akad yang dalam hal ini
menyerahkan barang mustahil dapat dilakukan.
4. Kematian
Beberapa bentuk akad berakhir disebabkan kematian salah satu
pihak yang berakad. Berikut contoh-contoh akad dimaksud.
a. Akad sewa menyewa (ijarah). Menurut Hanafiah, akad ijarah
berakhir disebabkan kematian salah satu pihak, namun tidak
berakhir menurut mazhab yang lain.
b. Akad rahn dan kafalah. Kedua akad ini adalah bentuk akad yang
hanya mengikat satu pihak yaitu pihak kreditur (da’in, pemegang
gadai) dan makful lah (penerima manfaat kafalah).
Jika pemberi gadai meninggal, akad menjadi berakhir dan barang
gadaian dijual (oleh washiy, pengampu) untuk membayar
utangnya apabila ahli waris masih di bawah umur. Akan tetapi,
jika ahli warisnya orang dewasa, mereka bisa membayarkan utang
pewaris pemberi gadai guna menyelamatkan barang gadaian.
Dalam akad kafalah (kafalah bi al-dain), akad tidak berakhir
disebabkan kematian debitur (madin). Akad baru berakhir dengan

18
pembayaran utang kepada kreditur (da’in) atau pembebasan utang
(ibra’). Jika kafil (pemberi garansi) meninggal dunia, utang yang
digaransinya dibayar dari harta peninggalannya.
5. Tidak ada persetujuan (`adam al-ijazah). Akad mauquf berakhir apabila
pihak yang memiliki kewenangan tidak memberikan persetujuan
terhadap pelaksanaan akad.
H. Khiyar dan Riba
1. Khiyar
a. Pengertian dan Dasar Hukum
Kata al-khiyar dalam bahasa Arab berarti pilihan seseorang
terhadap sesuatu yang dipandangnya baik. Secara terminologis para ahli
hukum Islam mendefinisikan al-khiyar dengan “Hak pilih bagi salah satu
atau kedua belah pihak yang melaksanakan kontrak untuk meneruskankan atau
tidak meneruskankan kontrak dengan mekanisme tertentu.”
Menurut ulama fiqih, khiyar adalah disyariatkan atau dibolehkan
karena suatu keperluan yang mendesak dalam dalam mempertimbangkan
kemaslahatan masing-masing pihak yang melakukan transaksi. Hak
khiyar ditetapkan syariat Islam bagi orang yang melakukan transaksi
perdata agar tidak dirugikan dalam transaksi yang mereka lakukan.
Berikut ini beberapa hadis saw yang mendukung keabsahan khiyar:
“Dari umar RA dari Rasulullah SAW beliau bersabda: apabila dua orang berjual
beli, maka tiap-tiap orang dari mereka masih ada hak khiyar selama mereka tidak
berpisah dan mereka masih bersama-sama, atau selama salah seorang dari mereka
menentukan khiyar kepada yang lainnya. Apabila seseorang diantara mereka
menentukan khiyar kepada yang lainnya, lalu mereka berjual beli atas ketetapan
tersebut, maka jadilah jual beli itu, dan jika mereka berpisah sesudah jual beli,
dan seseorang diantara mereka tidak meninggalkan barang yang dijual belikan
itu, maka jadilah jual beli itu”.( HR. Bukhari Muslim)

19
“dari amr bin suaib dari ayahnya dari kakeknya RA bahwasanya Nabi SAW
bersabda: penjual dan pembeli ada hak khiyar sehingga mereka berpisah, kecuali
pada jual beli yang telah ditetapkan ada khiyar sekian waktu, dan tidak halal yang
seseorang meninggalkan yang lainnya karena takut minta dibatalkan”.(H.R.
Bukhari, Muslim. Dawud, dan Turmudzi)

“dari ibnu umar RA, ia berkata: seorang laki-laki mengadu, maka Rasulullah
SAW bersabda:” apabila engkau berjual beli, katakanlah jangan ada tipuan.”(HR.
Bukhari Muslim)

b. Macam-macam Khiyar
Pada dasarnya, kontrak menurut hukum Islam bersifat mengikat
(lazim) dan tidak mengandung khiyar. Akan tetapi, mengingat bahwa
dalam setiap kontrak yang dilakukan dipersyaratkan adanya kerelaan
(ridha) para pihak, maka syari’at Islam menetapkan hak khiyar yang fungsi
utamanya adalah untuk menjamin syarat kerelaan itu telah terpenuhi.
Hak khiyar boleh bersumber dari kedua belah pihak yang
berkontrak seperti khiyar syarth dan khiyar ta'yin, dan boleh pula
bersumber dari syara', seperti khiyar 'aib, khiyar ru'yah, dan khiyar majlis.
Berikut dikemukakan pengertian masing-masing yang dimakud.
a. Khiyar Majlis
Yang dimaksud dengan khiyar majlis adalah hak pilih bagi kedua
belah pihak yang berkontrak untuk meneruskan atau tidak meneruskan
kontrak selama keduanya masih dalam majelis akad dan belum berpisah.
Khiyar ini hanya berlaku dalam kontrak yang bersifat mengikat kedua
belah pihak seperti jual beli dan sewa menyewa.
Jadi, apabila suatu kontrak telah dilaksanakan dan dipenuhi semua
rukun syaratnya, serta kedua belah pihak sudah saling rela dan sepakat
untuk tidak menggunakan hak khiyar, maka kontrak telah sah dan tidak
ada lagi peluang di tempat itu untuk “membatalkan” kontrak. Menurut

20
ulama Hanafiyah dan Malikiyah, esensi yang penting adalah selesai atau
tidaknya akad jual beli bukan persoalan telah terpisahnya orang dari
tempat akad.
b. Khiyar Ta'yin
Yang dimaksud dengan khiyar ta'yin adalah hak pilih bagi pembeli
dalam menentukan barang yang menjadi obyek kontrak. Khiyar at-ta'yin
berlaku apabila obyek kontrak hanya satu dari sekian banyak barang yang
berbeda kualitas dan harganya dan satu pihak –pembeli misalnya—diberi
hak menentukan mana yang akan dipilihnya. Dengan kata lain, khiyar at-
ta'yin dibolehkan apabila identitas barang yang menjadi obyek kontrak
belum jelas. Oleh sebab itu, khiyar at-ta'yin berfungsi untuk menghindarkan
agar kontrak tidak terjadi terhadap sesuatu yang tidak jelas (majhul).
Ulama Hanafiyah yang membolehkan khiyar at-ta'yin,
mengemukakan tiga syarat untuk sahnya khiyar ini, yaitu: 1). pilihan
dilakukan terhadap barang sejenis yang berbeda kualitas 2). barang itu
berbeda harganya, dan 3). tenggang waktu untuk khiyar al-ta'yin itu harus
ditentukan. Khiyar at-ta’yin, menurut ulama Hanafiyah hanya berlaku
dalam transaksi yang bersifat pemindahan hak milik yang berupa benda
dan mengikat bagi kedua belah pihak, seperti jual beli.

c. Khiyar Syarth
Yang dimaksud dengan khiyar syarth adalah hak pilih yang
ditetapkan bagi salah satu pihak yang berakad, keduanya atau bagi orang
lain untuk meneruskan atau “membatalkan” kontrak, selama masih dalam
selang waktu yang ditentukan. Misalnya, pembeli mengatakan “saya beli
barang ini dari engkau dengan syarat saya berhak memilih antara
meneruskan atau membatalkan akad selama satu minggu.”
Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa khiyar syarath ini dibo-
lehkan dengan tujuan untuk memelihara hak-hak para pihak dari unsur
penipuan yang mungkin terjadi. Khiyar syarth, menurut mereka, hanya

21
berlaku dalam transaksi yang bersifat mengikat kedua belah pihak, seperti
jual beli, sewa menyewa, perserikatan dagang, dan ar-rahn (jaminan utang).
Untuk transaksi yang sifatnya tidak mengikat kedua belah pihak, seperti
hibah, pinjam meminjam, perwakilan (al-wakalah), dan wasiat, khiyar seperti
ini tidak berlaku. Demikian juga halnya dalam akad jual beli pesanan (bai'
as-salam) dan ash-sharf (jual beli mata uang), khiyar asy-syarath tidak berlaku,
sekalipun kedua akad itu bersifat mengikat kedua belah pihak yang
berakad, karena dalam jual beli pesanan, disyaratkan pihak pembeli
menyerahkan seluruh harga barang ketika akad disetujui, dan dalam akad
ash-sharf disyaratkan nilai tukar uang yang dijualbelikan harus diserahkan
dan dapat diserahterimakan setelah persetujuan dicapai dalam akad.
Khiyar asy-syarth ini menentukan bahwa baik barang maupun nilai atau
harga barang baru dapat dikuasai secara hukum, setelah masa waktu
khiyar yang disepakati itu selesai.
Masa waktu dalam khiyar asy-syarth, menurut mayoritas ahli hukum
Islam harus jelas. Apabila jangka waktu khiyar tidak jelas atau bersifat
selamanya, maka khiyar tidak sah. Menurut ulama Malikiyah, jangka
waktu dalam khiyar asy-syarth boleh bersifat mutlak, tanpa ditentukan
waktunya. Dalam kasus seperti ini, menurut mereka, hakim berhak
menentukan jangka waktu secara pasti atau diserahkan kepada kebiasaan
setempat (‘urf). Apabila kedua belah pihak menyatakan jangka waktu
secara pasti maka kepastian waktunya diserahkan kepada kebiasaan
setempat (‘Urf), atau ditentukan langsung oleh hakim. Dengan demikian
dalam hal ini adalah waktunya diserahkan kepada kehendak dari para
pihak yang melakukan transaksi.
Dengan adanya kejelasan waktu tersebut dapat ditentukan masa
yang dibolehkan untuk “pembatalan” (faskh) suatu kontrak, artinya jika
telah melewati waktu yang ditentukan, kontrak tidak boleh dibatalkan.
Pembatalan juga harus diketahui oleh kedua belah pihak sehingga tidak
ada yang dirugikan.

22
d. Khiyar 'Aib
Yang dimaksud dengan khiyar 'aib yaitu hak untuk “membatalkan”
atau melangsungkan kontrak bagi kedua belah pihak yang berakad, apabila
terdapat suatu cacat pada obyek kontrak, dan cacat itu tidak diketahui
pemiliknya ketika kontrak berlangsung. Misalnya, seseorang membeli telur
ayam satu kilo gram, kemudian satu butir di antaranya sudah busuk atau
ketika telur dipecahkan sudah menjadi anak ayam. Hal ini sebelumnya
tidak diketahui baik oleh penjual maupun pembeli. Dalam kasus seperti ini,
menurut para pakar fiqh, ditetapkan hak khiyar bagi pembeli. Dasar hukum
khiyar 'aib ini, antaranya adalah sabda Rasulullah saw. yang berbunyi:
Sesama muslim itu bersaudara; tidak halal bagi seorang muslim me n j u a l
barangnya kepada muslim lain, padahal pada barang terdapat 'aib/cacat. (HR Ibn
Majah dari 'Uqbah ibn 'Amir).
Khiyaral 'aib ini, menurut kesepakatan ulama fiqh, berlaku sejak
dikehuinya cacat pada barang yang dijualbelikan dan dapat diwarisi oleh
ahli waris pemilik hak khiyar.
Adapun cacat yang menyebabkan munculnya hak khiyar, menurut
ulama Hanafiyah dan Hanabilah adalah seluruh unsur yang merusak
obyek jual beli itu dan mengurangi nilainya menurut tradisi para
pedagang. Tetapi, menurut ulama Malikiyah dan Syafi'iyah seluruh cacat
yang menyebabkan nilai barang itu berkurang atau hilang unsur yang
diinginkan daripadanya.
e. Khiyar Ru'yah
Yang dimaksud dengan khiyar ar-ru'yah adalah hak pilih bagi salah
satu pihak berkontrak –pembeli misalnya-- untuk menyatakan bahwa
kontrak yang dilakukan terhadap suatu obyek yang belum ia lihat ketika
kontrak berlangsung-- berlaku atau tidak berlaku (tidak diteruskan).
Mayoritas ahli hukum Islam, yang terdiri atas ulama Hanafiyah,
Malikiyah Hanabilah, dan Zahiriyah menyatakan bahwa khiyar ru'yah
disyari'atkan dalam Islam berdasarkan sabda Rasulullah saw. yang

23
mengatakan: Siapa yang membeli sesuatu yang belum ia lihat, maka ia berhak
khiyar apabila telah melihat barang itu. (HR ad-Daruqutni dui Abu
Hurairah).
Akad seperti ini, menurut mereka, boleh terjadi disebabkan obyek
yang akan dibeli itu tidak ada di tempat berlangsungnya akad atau
karena sulit dilihat seperti makanan kaleng. Khiyar ru'yah, menurut
mereka, mulai berlaku sejak pembeli melihat barang yang akan dia beli.
Jumhur ulama mengemukakan beberapa syarat berlakunya khiyar -
ru'yah, yaitu:
1) Obyek yang dibeli tidak dilihat pembeli ketika akad berlangsung.
2) Obyek akad itu berupa materi, seperti tanah, rumah, dan
kendaraan.
3) Akad itu sendiri mempunyai alternatif untuk dibatalkan, seperti
jual beli dan sewa menyewa.
Apabila ketiga syarat ini tidak terpenuhi, menurut jumhur ulama,
maka khiyar ar-ru'yah tidak berlaku. Apabila akad itu dibatalkan
berdasarkan khiyar ar-ru'yah, menurut jumhur ulama, pembatalan harus
memenuhi syarat-syarat berikut:
1). Hak khiyar masih berlaku bagi pembeli,
2). Pembatalan itu tidak berakibat merugikan penjual, seperti pembatalan
hanya dilakukan pada sebagian obyek yang dijualbelikan, dan
3). Pembatalan itu diketahui pihak penjual.
Menurut jumhur ulama, khiyar ar-ru'yah akan berakhir apabila:
(a) Pembeli menunjukkan kerelaannya melangsungkan jual beli, baik
melalui pemyataan atau tindakan.
(b) Obyek yang dijualbelikan hilang atau terjadi tambahan cacat, baik oleh
kedua belah pihak yang berakad, orang lain, maupun oleh sebab alam.
(c) Terjadinya penambahan materi obyek setelah dikuasasi pembeli,
seperti di tanah yang dibeli itu telah dibangun rumah.

24
(d) Orang yang memiliki hak khiyar meninggal dunia, baik sebelum
melihat obyek yang dibeli maupun sesudah dilihat, tetapi belum ada
pernyataan kepastian membeli daripadanya. Menurut ulama Hanafi-
yah dan Hanabilah, khiyar ru'yah tidak boleh diwariskan kepada ahli
waris, tapi menurut ulama Malikiyah boleh diwariskan, dan karenanya,
hak khiyar belum langsung gugur dengan wafatnya pemilik hak itu,
tetapi diserahkan kepada ahli warisnya, apakah akan dilanjutkan jual
beli itu setelah melihat obyek yang diperjualbelikan, atau akan
dibatalkan.
2. Riba
a. Pengertian dan Dasar hukum
Secara etimologi, riba berarti ziyadah (tambah) dan nama’ (tumbuh),
meski ada perbedaan dalam kata tersebut tetapi memiliki makna yang
sama yaitu adanya suatu kelebihan atau penambahan pada suatu tertentu.
Menurut Imam Hambali riba adalah tambahan pada sesuatu yang
dikhususkan. Abu Hanifah mendefinisikan, melebihkan harta dalam
suatu transaksi dengan tanpa pengganti atau imbalan.
Maksudnya, tambahan terhadap barang atau uang yang timbul
dari suatu transaksi utang piutang yang harus diberikan oleh berhutang
kepada pihak berpiutang pada saat jatuh tempo. Menurut definisi ini,
apabila terjadi pertukaran barang yang digolongkan ke dalam ribawi
ukurannya harus sama, baik dari segi berat atau pun ukurannya. Jadi
apabila seseorang menukar satu gram emas dengan orang lain maka ia
harus menerima satu gram pula. Kalau terjadi kelebihan, maka hal
tersebut adalah riba. Demikian juga dalam berkontrak, jika para pihak
sudah sepakat menukarkan barangnya dengan barang lain atau uang
maka harus diserahkan secara tunai pada waktu yang sama, tidak boleh
menunda penyerahannya baik salah satu maupun keduanya. Di samping
itu ukuran harta yang dipertukarkan harus diketahui jumlahnya, saat
terjadinya kontrak.

25
Riba telah berlaku luas di kalangan masyarakat Yahudi sebelum
datangnya Islam, sehinga masyarakat Arab pun sebelum dan pada masa
awal Islam melakukan muamalah dengan cara itu. Para ulama fiqh
sepakat menyatakan bahwa muamalah dengan cara riba ini hukumnya
haram. Keharaman riba ini dapat dijumpai dalam ayat-ayat al-Qur'an dan
hadis-hadis Rasulullah saw. Di dalam al-Qur'an, menurut para Mufassir
mengatakan bahwa proses keharaman riba disyariatkan Allah secara
bertahap, yaitu:
Tahap pertama, Allah menunjukkan bahwa riba itu bersifat negatif.
Pernyataan ini disampaikan Allah dalam surat al-Rum, 30:39 yang
berbunyi:“Dan suatu riba (kelebihan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada
harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah.
Ayat ini merupakan ayat pertama yang berbicara tentang riba,
menurut para mufasir ayat ini termasuk ayat Makkiyah (ayat-ayat yang di
turunkan pada periode Mekah). Akan tetapi, para ulama sepakat
menyatakan bahwa ayat tersebut tidak berbicara tentang riba yang
diharamkan.
Tahap kedua, Allah telah memberi isyarat akan keharaman riba
melalui kecaman terhadap praktek riba di kalangan masyarakat Yahudi.
Hal ini disampaikan-Nya dalam surat al-Nisa', 4: 161 yang berbunyi: Dan
disebabkan mereka makan riba, padahal sesungguhnya mereka telah melarang
daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang lain dengan jalan yang
batil Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu
siksa yang pedih
Tahap ketiga, Allah mengharamkan salah satu bentuk riba, yaitu
yang bersifat berlipat ganda dengan larangan yang tegas. Hal ini
disampaikan oleh Allah dalam surat Ali Imran, 3: 130 yang berbunyi:
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat
ganda ....

26
Secara umum ayat ini harus dipahami bahwa kriteria berlipat
ganda bukan merupakan syarat dari terjadinya riba tetapi merupakan
sifat/karakteristik (‫ )حال‬dari praktek membungakan uang saat itu. Dalam

hal ini, Ath-Thabari menjelaskan bahwa adh’afan mudha’afan dapat terjadi


juga atas permintaan perpanjangan waktu saat utang jatuh tempo dan
salah satu pihak yang berutang akan memberi kelebihan ataupun
pemberi piutang itu sendiri meminta kelebihan atas piutangnya. Dengan
demikian besar, berlipat ganda atau kecil sekalipun bunga tetap
merupakan riba. Demikian pula ayat ini juga perlu dipahami secara
komprehensif dengan ayat 278-279 dari surat al Baqarah.
Tahap terakhir, Allah mengharamkan riba secara total dengan
segala bentuknya. Hal ini disampaikan melalui firman-Nya dalam surat
al-Baqarah, 2: 275, 276, 278. Dalam ayat 275 Allah menyatakan bahwa
jual beli sangat berbeda dengan riba, dalam ayat 276 Allah menyatakan
memusnahkan riba, dan dalam ayat 278 yang artinya : “Hai orang-orang
yang beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu
orang-orang yang beriman.”
Pada tahap terakhir ini Allah memerintahkan untuk
meninggalkan segala bentuk riba yang masih ada. Keharaman riba
secara total ini, menurut para pakar fiqh, terjadi pada akhir abad ke
delapan atau awal abad kesembilan Hijriah.
Alasan keharaman riba juga dijelaskan dalam sunnah Rasulullah
saw. di antaranya adalah sabda Rasulullah saw. dari Abu Hurairah yang
diriwayatkan Muslim tentang tujuh dosa besar, di antaranya adalah
memakan riba. Dalam riwayat 'Abdullah ibn Mas'ud dikatakan:
Rasulullah saw melaknat para pemakan riba, yang memberi makan dengan cara
riba, para saksi dalam masalah riba, dan para penulisnya. (HR Abu Daud, dan
hadis yang sama juga diriwayatkan Muslim dan Jabir ibn 'Abdillah).
Demikian secara jelas Allah telah memberikan penjelasan dalam Qur’an
maupun sunnah. tentang pelarangan riba pada segala bentuk transaski

27
bisnis. Selain adanya unsur penambahan riba juga menimbulkan adanya
kedzaliman pada salah satu pihak.

b. Macam-macam Riba
Mayoritas ulama membagi riba menjadi dua; riba fadhl dan riba
nasiah.
a. Riba Fadhl
Riba fadl merupakan riba yang berlaku dalam jual beli yang
didefinisikan oleh para ulama fiqh dengan: Kelebihan pada salah satu barang
sejenis yang diperjualbelikan dengan ukuran syara'.
Yang dimaksudkan dengan ukuran syara' di sini adalah
timbangan atau takaran tertentu. Maka riba fadl merupakan pertukaran
antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan
barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.
Ketentuan tentang barang ribawi di dasarkan pada hadis Nabi saw.:
“(Memperjualbelikan) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum
dengan gandum, anggur dengan anggur. Kurma dengan kurma, garam
dengan garam (haruslah) sama, seimbang, dan tunai. Apabila jenis yang
diperjualbelikan berbeda maka juallah sesuai dengan kehendakmu (boleh
berlebih) asal dengan tunai. (HR Muslim dari 'Ubadah ibn ash-Shamit).
b. Riba Nasi’ah
Ulama Madzhab Hanafi mendefinisikan riba Nasi’ah adalah:
"Memberikan kelebihan terhadap pembayaran dari yang di tangguhkan,
memberikan kelebihan pada benda di banding utang pada benda yang di takar
atau di timbang yang berbeda jenis atau selain dengan di takar dan di timbang
yang sama jenis nya".
Yang dimaksudkan dengan menangguhkan di sini adalah apabila
terjadi jual beli pada barang ribawi dengan barang ribawi yang sama atau
berlainan dan masa pembayarannya ditangguhkan. Dalam jual beli
barter, sejenis maupun tidak sejenis, riba an-nasi'ah pun dapat terjadi,

28
yaitu dengan cara membeli barang sejenis dengan kelebihan salah
satunya, yang pembayarannya tunda. Kelebihan salah satu barang,
sejenis atau tidak, yang diiringi dengan penundaan pembayaran pada
waktu tertentu, termasuk riba an-nasi'ah. Pendapat ulama tentang
keharaman riba jenis ini didasarkan kepada sabda Rasulullah saw. yang
artinya: (Memperjualbelikan) emas dengan emas, perak dengan perak,
gandum dengan gandum, anggur dengan anggur. Kurma dengan kurma,
garam dengan garam (haruslah) sama, seimbang, dan tunai. Apabila
jenis yang diperjualbelikan berbeda maka juallah sesuai dengan
kehendakmu (boleh berlebih) asal dengan tunai. (HR Muslim dari 'Ubadah ibn
ash-Shamit).
Dua jenis pertama (emas dan perak), diperjualbelikan dengan cara
timbangan khusus (al-wazn) dan empat jenis buah-buahan diper-
jualbelikan dengan cara ditakar (al-kail). Selanjutnya dalam riwayat lain
Rasulullah bersabda: Jangan kamu memperjualbelikan emas dengan emas,
kecuali jika seimbang (sama beratnya) dan jangan kamu melebihkan yang satu
dari yang lainnya dan jangan pula kamu jual sesuatu yang ada dengan yang
belum ada. (HR al-Bukhari dan Muslim dari Abi Sa’id al-Khudri).
Riba nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau
tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan
kemudian. Adapun yang dimaksud dengan barang ribawi perlu
dijelaskan ‘illat atau sebab pelarangannya. Wahbah al Zuhaili,
menjelaskan bahwa barang ribawi berupa emas dan perak karena
keduanya merupakan alat tukar (uang), sedangkan barang seperti beras,
gandum, dan jagung dan lain-lain adalah merupakan bahan makanan
pokok.
Sementara itu, Menurut ulama madzhab syafi’i riba dibagi menjadi
tiga jenis yaitu riba fadhl, riba nasi’ah, dan riba yad. Pengertian untuk
dua jenis riba yang pertama, riba fadhl dan riba nasi’ah, madzhab ini
tidak berbeda dengan jumhur ulama. Sedangkan yang dimaksud dengan

29
riba yad adalah jual beli dengan mengahirkan penyerahan yakni kedua
orang yang berakad berpisah sebelum timbang terima. Bagi jumhur
ulama riba yadd masuk kategri riba nasiah karena terdapat penangguhan
penyerahan barang. Sementara bagi ulama madzhab Syafii meskipun ada
kesamaan dalam hal penagguhan tetapi antara keduanya berbeda, riba
yad mengahirkan penguasaan barang. Sedangkan riba nasi’ah
mengahirkan hak. Di samping itu, pada riba nasi’ah, sejak terjadinya akad
dinyatakan bahwa waktu pembayaran akan di akhirkan, tidak demikian
dengan riba yad.
Seiring dengan perkembangan bisnis, para ulama kontemporer
membagi riba menjadi dua, yaitu riba utang piutang dan riba jual beli.
kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah.
Sedangkan kelompok kedua, riba jual beli, terbagi menjadi riba fadhl dan
riba nasi’ah.
a. Riba Qardh , yaitu suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu
yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtaridh). Misalnya
b. Riba Jahiliyyah, yaitu hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si
peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang
ditetapkan. Misalnya hutang nasabah pengguna kartu kredit yang
terlambat pembayaran.
c. Riba Fadhl, yaitu pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau
takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu
termasuk dalam jenis barang ribawi.
d. Riba Nasi’ah, yaitu penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis
barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi
lainnya. Riba dalam Nasi,ah muncul karena adanya perbedaan,
perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan
yang diserahkan kemudian.

30
c. Pendapat Ulama Tentang Bunga Bank
Dalam literatur ulama fikih klasik tidak di jumpai pembahasan
yang mengkaitkan antara riba dan bunga bank, sebab lembaga perbankan
seperti yang berkembang sekarang tidak di jumpai di zaman mereka,
bahasan bunga bank apakah termasuk riba atau bukan, baru di temukan
dalam berbagai literatur fikih kontemporer.
Pada garis besarnya para ulama kontemporer terbagi menjadi tiga
kelompok dalam merespon hukum bunga bank, yaitu:
Pertama, kelompok yang mengharamkan bunga bank didukung.
Yang termasuk kelompok ini antara lain Muhamd Abu Zahrah Abul A’la
al- Maududi, Muhamad abdul Al-Arabi dan Muhamd Nejatullah Shediqi.
Menurut mereka bunga bank adalah identik dengan riba dan haram
hukumnya. Adapun alasan yang mereka ajukan antara lain:
a. Bunga bank merupakan bentuk penindasan golongan mampu
(aghniya) terhadap kaum dhuafa (lemah ekonomi).
b. Bunga bank akan menciptakan ketidakseimbangan kekayaan. Hal ini
bertentangan dengan kepentingan sosial dan berlawanan dengan
kehendak Allah yang menghendaki penyebaran pendapatan kekayaan
secara adil.
c. Bunga dapat menciptakan kondisi manusia penganggur yaitu para
penanam modal dapat menerima setumpukkan kekayaan dari
bunganya, sehingga mereka tidak lagi bekerja untuk menutupi
kebutuhan hidupnya, cara hidup ini berbahaya bagi masyarakat juga
bagi pribadi orang terssebut.
d. Alasan terakhir bunga bank dilarang ialah karena bunga bank
bertentangan dengan prinsip ajaran Allah yang terdapat dalam
al-Quran dan ajaran Rasul-Nya
Kedua, kelompok yang menganggap subhat (samar). Di antara
pakar hukum Islam yang berpendapat demikian adalah Musthafa Ahmad
al-Zarqa. Dalam bukunya yang berjudul ia berpendapat bahwa:

31
a. Sistem perbankan yang berlaku hingga saat ini dapat diterima sebagai
suatu penyimpangan yang bersifat sementara, dengan kata lain bahwa
sistem perbankan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari, maka
umat Isalam dibolehkan bermualah atas dasar pertimbangan darurat,
tetapi umat Islam harus senantiasa berusaha mencari jalan keluar.
b. Pengertian riba dibatasi hanya mengenai praktek riba di kalangan
Arab Jahiliyyah saja, yaitu yang benar-benar merupakan suatu
pemerasan dari orang-orang mampu (kaya) terhadap orang-orang
miskin dalam utang-piutang yang bersifat konsumtif, bukan utang-
piutang yang bersifat produktif.
c. Bank-bank dinasionalisasi sehingga menjadi perusahaan negara yang
akan menghilangkan unsur-unsur eksploitasi, karena sekalipun bank
negara mengambil bunga sebagai keuntungan, tetapi penggunaannya
bukan untuk orang-orang tertentu, melainkan akan menjadi kekayaan
negara yang akan digunakan untuk kepentingan umum.
Pendapat yang hampir sama dikemukakan Ulama
Muhammadiyah dalam mu’tamar Tarjih di Sidoarjo Jawa Timur tahun
1968 memutuskan bahwa bungan yang diberikan oleh bank-bank milik
negara kepada para nasabahnya dan sebaiknya adalah termasuk masalah
Musytabihat. Yang dimaksud dengan masalah Musytabihat adalah
perkara yang belum ditermukan kejelasan hukum halal atau haramnya,
sebab mengandungg unsur-unsur yang mungkin dapat disimpulkan
sebagai perkara yang haram, tetapi ditinjau dari segi lain, ada pula unsur-
unsur lain yang meringankan keharamannya. Yakni pada satu sisi bunga
masih termasuk riba, sebab merupakan tambahan dari pinjaman pokok,
meskipun tidak terlalu besar, tetapi disisi lain bahwa bunga yang relatif
kecil itu bukan merupakan keuntungan perorangan, malainkan
keuntungan yang penggunaannya untuk kepentingan umum.
Pertimbangan besar kecilnya bunga dan segi penggunaannya dirasakan
agak meringankan sifat larangan riba yang unsur utamanya adalah

32
pemerasan dari orang-orang kaya terhadap orang-orang miskin,
meskipun bunga bank dianggap Musytabihat tidak berarti umat Islam
diberikan kebebasan untuk mengembangkan bunga. Nabi SAW.
Memerintahkan umat Islam hati-hati terhadap perkara Syubhat dengan
cara menjauhinya.
Menyimak pendapat Musthafa Ahmad al-Zarqa dan ulama
Muhammadiyah di atas, kiranya dapat dipahami bahwa umat Islam
dibolehkan bermuamalah dengan bank negara, karena bunga juga kecil
dan penggunaan keuntungan dari bank tersebut adalah untuk
kepentingan umum, yang menjadi permasalahan ialah bagaimana dengan
bank swasta, apakah boleh bermuamalah dengannya atau tidak. Bila
Musthafa Ahmad al-Zarqa dan ulama Muhammadiyah menekankan segi
darurat dan suku bunga yang relatif kecil. Maka bermuamalah dengan
bank swasta dibolehkan, karena keadaan darurat dan bank swasta
bunganya relatif sama dengan bank negara, tetapi apabila yang
ditekankan segi penggunaannya, umat Islam tidak boleh bermuamalah
dengan bank swasta, sebab keuntungan dari bunga bank negara
digunakan untuk kepentingan umum, sedangkan penggunaa keuntungan
dari bank swasta adalah hanya orang-orang tertentu saja, yaitu para
penanam modal (saham) dan para pekerjanya.
Pendapat yang ketiga adalah pendapat yang menghalalkan
pengambilan atau pembayaran bunga di bank konvensional, baik bank
negara maupun bank swasta, pendapat ini dipelopori oleh A. Hassan.
adapun alasan yang digunakan adalah firman Allah SWT.

‫يا أيها الذين آمنوا ال تأكلوا الربا أضعافا مضاعفة‬


“Jangalah kamu memakan riba dengan berlipat ganda”. (Ali-Imran: 130)
Jadi yang termasuk riba menurut A. Hasan adalah bunga yang
berlipat ganda, bila bunga hanya dua prosen dari modal pinjaman itu, itu
tidak berlipat ganda, maka tidak termasuk riba yang diharamkan oleh
agama Islam.

33
Tentu saja perbedaan pendapat ulama di atas, umumnya terjadi
pada saat perkembangan bank syari’ah belum sepesat saat ini. Bahkan
khusus untuk konteks Indonesia, pendapat ulama Indonesia di atas di
sampaikan ketika di negara ini belum ada satupun bank yang beroperasi
dengan sistem syari’ah. Oleh karena itu, kesimpulan tidak mengharamkan
bunga bank baik secara muthlak atau dalam kategori musytabihat
merupakan sesuatu yang wajar dalam konteks upaya memberikan solusi
cerdas kepada umat dalam melakukan transaksi dengan perbankan
konvensional. Namun demikian, Untuk saat ini pendapat di atas dinilai
kurang relevan mengingat perbankan syari’ah telah berkembangan pesat
dan sangat mudah dijangkau oleh masyarakat luas khususnya yang
tinggal di daerah perkotaan. Oleh karena itu, Majelis Ulama Indonesia
(MUI) melalui komisi fatwanya pada tanggal 14-16 Desember 2003
melakukan pertemuan (ijtima) ulama seindonesia yang kemudian
menghasilkan keputusan bahwa sistem perbungaan (interest) adalah
haram hukumnya. Walaupun demikian fatwa tersebut tetap saja
memberikan pengecualian untuk daerah yang belum terjangkau bank
syari’ah, bertransaksi dengan bank konvensional tetap diperbolrhkan
dengan alasan kondisi darurat (al-dharuratu tubihu al-mahdhurat).

34

Anda mungkin juga menyukai