Anda di halaman 1dari 21

Perbandingan hukum perjanjian dalam KUperdata dan hukum

islam

BAB II

Perbandingan hukum perjanjian dalam KUperdata dan

hukum islam

1. pengertian perjanjian menurut KUHperdata

Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan perjanjian, kita melihat pasal

1313 KUHPdt. Menurut ketentuan pasal ini, perjanjian adalah suatu perbuatan

dengan mana satu orang atau lebih lainnya.[1]

Perjanjian dalam arti luas suatu perjanjian berarti setiap perjanjian yang

menimbulkan akibat hokum yang sebagai dikehendaki(atau dianggap

dikehendaki) oleh para pihak, termasuk didalamnya perkawinan, perjanjian kawin

dan lain-lain.

Dalam arti sempitperjanjiandisini hanya ditujukan kepada hubungan-

hubungan hokum dalam lapangan hokum kekayaan saja.

Perjanjian (akad) adalah kata aqad dalam istilah bahasa berarti ikatan dan tali

pengikat. Jika dikatakan aqadah al-hablah maka itu menggabungkan antara dua

ujung tali lalu mengikatnya, kemudian maknah ini berpindah dari hal yang

bersifat hissi (indra) kepada ikatan yang tidak tampak antara dua ucapan dari

kedua belah pihak yang sedang berdialog. Dari sinilah kemudian makna
diterjemahkan secara bahasa sebagai:menghubungkan dua perkataan, masuk

juga didalamnya janji dan sumpah, karena sumpah menguatkan niat, berjanji

untuk melaksanakan isi sumpah atau meninggalkannya.[2]

Perjanjian (akad) dalam bahasa arab lafal akad berasal dari kata: aqada-

yaqidu-aqdan, yang sinonimnya:

1. Jaalauqdatan, yang artinya: menjadikan ikatan;


2. Akkada, yang artinya: memperkuat
3. Lazima, yang artinya: menetapkan

Akad dalam bahasa arab artinya ikatan (atau penguat dan ikatan) antara ujung-

ujung sesuatu, baik ikatan yang nyata maupun maknawi, dari satu segi maupun

dua segi.[3]

Hokum perjanjian dibicarakan sebagai bagian dari pada hokum perikatan,

sedangkan hokum perikatan adalah bagian dari pada hokum kekayaan, maka

hubungan yang timbul antara para pihak didalam perjajian adalah hubungan

hukumdalam lapangan hokum kekayaan. [4]

Perjanjian hokum islam

Keparipurnaan kaidah hukum islam dapat dibuktikan dengan kompleksnya

persoalan hidup dan kehidupan yang diatur didalamnya, dan salah satu diantara

kaidah tentang muamalalah duniawiyah. Didasari untuk lebih meningkatkan

pemahaman dan pelaksanaan syari'at Islam ditengah-tengah masyarakat,

khususnya dalama bidang muamalah maka disusunlah buku kecil yang diberi

judul "hokum perjanjian dalam islam" untuk dipersembahkan kepada umat.

Dapat kami utarakan, bahwa yang dimaksud dengan "Hukum Perjanjian"

dalam buku ini sebenarnya macam-macam akad/perjanjian yang ada menurut


Ketentuan Hukum Islam, seperti perjanjian pemberian kuasa, perjanjian damai,

jual beli, sewa-menyewa, bagi hasil, perseroan dan lain-lain, dengan demikian

dapat dikemukakan bahwa buku ini membahas bermacam-macam perjanjian.

Selain itu dalam buku ini juga dibahas tentang berbagai hal yang ada dalam lalu

lintas hukum masyarakat dewasa ini, seperti pembelian barang cicilan, asuransi

dan persoalan perjanjian kerja serta perjanjian pengangkutan. [5]

a. Perjanjian Dalam Hukum Islam

Perjanjian dalam hukum Islam dikenal dengan istilah al-aqd yang berarti

perikatan, perjanjian, permufakatan. Secara terminologi fiqh akad didefinisikan

dengan :

Pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan

penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada

objek perikatan

Pencantuman kalimat dengan kehendak syariat maksudnya adalah

seluruh perikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak dianggap sah

apabila tidak sejalan dengan kehendak syara. Misalnya, kesepakatan untuk

melakukan transaksi riba, menipu orang lain, atau merampok kekayaan orang lain.

Sedangkan pencatuman kalimat berpengaruh pada objek perikatan

maksudnya terjadi perpindahan pemilikan/hak dari satu pihak (yang melakukan

ijab) kepada pihak lain (yang melakukan qabul). [6]

1. Rukun Akad
Terdapat perbedaan pendapat ulama fiqh dalam menentukan rukun suatu akad.

Jumhur ulama menyatakan bahwa rukun akad adalah:

- pernyataan untuk mengikatkan diri (shighat al-aqd),

- pihak-pihak yang berakad (al-mutaaqidain)

- Objek akad (al-maqud alaih)

Ulama-ulama ushul dari kalangan hanafiah berpendapat bahwa rukun akad

adalah sesuatu yang keabsahannya memerlukan kepada adanya sesuatu yang lain,

dan sesuatu yang lain itu merupakan bagian dari sesuatu. Dalam ibadah shalat

misalnya ruku, dan bacaan fatihah merupakan rukun shalat. Didalam muamalat,

ijab dan qabul termasuk rukun akad. Rukun akad adalah segalah sesuatu

mengungkapkan kesepakatan dua kehendak atau menepati tempat keduanya baik

berupa perbuatan, isyarat, atau tulisa.[7]

2. Syarat-syarat Akad

Syarat-syarat umum yang harus dipenuhi dalam suatu akad:

- Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak (ahli), tidak sah orang yang

tidak cakap bertindak, seperti orang gila, orang yang berada dibawah pengampuan

(mahjur) karena boros dan lainnya.

- Yang dijadikan objek akad dapat menerima hukumnya.

- Akad diizinkan oleh syara, dilakukan oleh orang yang mempunyai hak

melakukannya walaupun dia bukan aqid yang memiliki barang.

- Akad itu bukan akad yang dilarang syara.

- Ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadinya kabul. Maka bila seseorang

yang berijab menarik kembali ijabnya sebelum kabul, maka batallah ijabnya.
- Ijab dan kabul mesti bersambung sehingga bila seseorang yang berijab sudah

berpisah sebelum adanya kabul, maka ijabnya tersebut menjadi batal.

Pengertian syarat akad adalah sesuatu yang kepadanya tergantung sesuatu yang

lain, dan sesuatu itu keluar dari hakikat sesuatu yang lain itu. Secara gelobal,

syarat dilihat dari sumbernya terbagi kedua bagian:

a. Syarat syari yaitu suatu syarat yang ditetapkan oleh syara yang harus ada untuk

bisa terwujudnya suatu akad. Seperti syarat ahliyah, (kemampuan) pada si aqid

untuk keabsahan akad.


b. Syarat jali, yaitu syarat yang ditetapkan oleh orang yang berakad sesuai dengan

kehendak, untuk mewujudkan suatu maksud tertentu dari suatu akad. Syarat

tersebut bisa berbarengan debgan akad, atau digantungkan (dikaitkan) dengan

akad, seperti mengaitkan kafalah dengan talaq.[8]

Syarat-syarat akad ada dua:

Syarat sah adalah syarat yang ditetapkan oleh syarauntuk timbulnya akiabat-

akibat hukum dari suatu akad. Apabilah syarat tersebut tidak ada maka akadnya

menjadi fasid, tetapi tetap sah dan eksis.


Syarat iniqad adalah sesuatu yang disyaratkan terwujudnya untuk menjadikan

suatu akad dalam zatnya sah menurut syaraapabila syarat tersebut tidak terwujud

maka akad akan menjadi batal.[9]

3. Kemerdekaan mengemukakan syarat dalam akad

Para ulama fiqh menetapkan bahwa akad yang telah memenuhi rukun dan

syaratnya mempunyai kekuatan mengikat terhadap para pihak yang berakad.

Setiap manusia memiliki kebebasan untuk mengikatkan diri pada suatu akad dan
wajib dipenuhi segala akibat hukum yang ditimbulkan akad itu. Hal ini sejalan

dengan firman Allah surat al-Maidah, 5:1.

Wahai orang-orang yang beriman penuhi akad itu...

Ulama Hanafiah dan Syafiiyah berpendapat bahwa setiap orang yang melakukan

akad bebas untuk mengemukakan dan menentukan syarat, selama syarat itu tidak

bertentangan dengan kehendak syara dan tidak bertentangan pula dengan hakikat

akad. Sedangkan menurut ulama Hanabilah dan malikiyah, pihak-pihak yang

berakad bebas mengemukakan persyaratan dalan suatu akad selama syarat-syarat

itu bermanfaat bagi kedua belah pihak.

4. Berakhirnya akad

Para ulama menyatakan suatu akad dapat berakhir apabila;

- Berakhirnya masa berlaku akad tersebut, apabila akad tersebut memiliki tenggang

waktu.

- Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad, apabila akad itu sifatnya tidak mengikat.

- Dalam akad yang bersifat mengikat, suatu akad dianggap berakhir jika :

jual beli itu fasad, seperti terdapat unsur-unsur tipuan, salah satu rukun atau

syarat tidak terpenuhi.

Berlakunya Khiyar

Akad itu tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak

Tercapainya tujuan akad itu secara sempurna

- Salah satu pihak yang berakad meninggal dunia untuk akad-akad tertentu

misalnya: sewa-menyewa, ar-rahn, al-wakalah, al-kafalah.[10]

Prestasi yang dimaksud dalam buku III BW dapat berupa :


- Menyerahkan suatu barang;

- Melakukan suatu perbuatan;

- Tidak melakukan suatu perbuatan.

1. Unsur-unsur perjanjian (rukun)

- Adanya dua pihak atau lebih

- Adanya kata sepakat diantara para pihak

- Adanya akibat hukum yang ditimbulkan berupa hak dan kewajiban atau melakukan

suatu perbuatan.

2. Syarat-syarat objek perikatan/prestasi

Objek perikatan atau prestasi harus memenuhi syarat-syarat:

- Harus tertentu dan dan dapat ditentukan

- Objeknya diperkenankan

- Prestasinya dimungkinkan

Syarat sahnya suatu perjanjian


Untuk syarat sahnya suatu perikakatan/perjanjian ditetapkan pasal 1320 KUH

Perdata, yaitu:
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan orang yang tidak cakap membuat perjanjian

adalah ;
Orang-orang yang belum dewasa;
Dibawah pengampuan;
Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan UU, dan semua orang kepada

siapa UU telah melarang membuat perjanjian tertentu.[11]

c. Suatu hal tertentu yang diperjanjikan;

d. Suatu sebab yang halal (menurut UU)

3. Kemerdekaan/kebebasan membuat perjanjian


Hukum perjanjian menganut sistem terbuka artinya bahwa setiap orang boleh

membuat perjanjian mengenai apa saja baik yang sudah ada ketentuan dalam UU

maupun yang belum ada ketentuannya, asalkan tidak melanggar UU, ketertiban

umum dan kesusilaan.

Hukum perjanjian bersikap sebagai hukum pelengkap, artinya pasal-pasal dalam

buku III KUH Perdata dapat dikesampingkan berlakunya manakala para pihak

membuat ketentuan sendiri.

4. Berakhirnya perjanjian

- Ditentukan dalam perjanjian oleh para pihak

- UU menentukan batas berlakunya perjanjian

- Para pihak atau UU dapat menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa tertentu

maka perjanjian akan hapus

- Pernyataan penghentian perjanjian

- Perjanjian hapus karena putusan hakim

- Tujuan perjanjian telah tercapai

- Dengan perjanjian para pihak.

C. Persamaan Hukum Perjanjian Dalam Sistem Hukum Islam

Secara umum terlihat banyak kesamaan tentang hukum perjanjian antara

kedua sistem hukum tersebut (seperti pada uraian diatas).

Keduanya mengatur tentang unsur-unsur perjanjian, syarat-syarat

perjanjian, kebebasan membuat perjanjian dan berakhirnya suatu perjanjian.

Walaupun terdapat perbedaan dalam rinciannya yang disebabkan filosofi hukum,


istilah yang digumnakan, sumber hukum dan proses pencarian kedua hukum

tersebut.

D. Perbedaan Hukum Perjanjian Dalam Sistem Hukum Islam

Secara garis besar perbedaan yang sangat relevan dan signifikan tentang

perjanjian antara kedua sistem hukum tersebut adalah :

Perjanjian menurut hukum Islam sah bila tidak bertentangan dengan syariat

sedangkan menurut hukum perjanjian, perjanjian sah bila tidak bertentangan

dengan UU.

Subjek perjanjian menurut hukum Islam adalah mukalaf yang ahli (baik laki-laki

atau perempuan) dan tidak dalam pengampuan sedangkan dalam hukum

perjanjian selain disyaratkan dewasa dan dan tidak dalam pengampuan, wanita

yang menjadi istri tidak mempunyai hak untuk mengikatkan diri tanpa adanya izin

dari suami (pasal ini tidak berlaku di RI dengan SE MA no. 1 tahun 1963).

Dalam Islam secara tegas dinyatakan perjanjian tidak boleh mengandung riba,

ghoror dan maisyir. Dalam hukum eropa kontinental ini tidak diatur dengan rinci.

II. JENIS-JENIS PERJANJIAN MENURUT KUHperdata

1) Perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak, perjanjian sepihak adalah

perjanjian yang memberikan kewajibannya kepada satu pihak dan hak kepada satu

pihak dan hak kepada pihaklainnya,misalkahibah.

2) Perjanjian percuma

a. Perjanjian Cuma-Cuma
tidak Undang-undang dalam pasal 1314. B.W. membedakan antara

perjanjian atas beban dan memberikan perumusan perjanjian Cuma-Cuma sebagai

berikut:
suatu perjanjian dengan Cuma-Cuma adalah suatu persetujuan dengan mana

pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak lain tanpa menerima

suatu manfaat bagi dirinya sendiri.

Kata memberikan keuntungan sebenarnya lebih tepat kalau diganti dengan kata

prestasi, karena apakah prestasi tersebuta pada akhirnya menguntungkan atau

tidak, tidak menjadi soal.[12]

3) Perjanjian bernama dan tidak bernama

4) Perjanjiankebendaan dan perjanjian obligatoir

5) Perjanjian konsensual dan perjanjian real

pengertian perjanjian hibah

Menurut pengertian pasal 1666B. W. yang dinamakan

pemberian(schenking) ialah suatu perjanjian (obligatoir), dimana pihak yang

satu menyanggupi dengan Cuma-Cuma (om niet) dengan secara mutlak

(onherroepelijk) memberikan suatu benda pada pihak yang lainnya, pihak mana

pemberian itu. Sebagai suatu perjanjian, pemberian (schenking) itu seketika

mengikat dan tak dapat ia di cabut kembali begitu saja menurut kehendak satu

pihak. Jadi berlainan sekali sifatnya dari suatu hibah wasiat atau pemberian dalam

suatu testament, yang baru memperoleh kekuatan mutlak, apabilah orang yang

memberikan benda sudah meninggal, dan sebelumnya ia selalu dapat ditarik

kembali.[13]

Ditinjau dari segi hokum dan sifatnya

Akad shahih
Definisi akad shahih : hanafiyah sebagaimana dikutip oleh wahbah zuhaili

memberikan definisi akad yang shahih sebagai berikut:

Akad yang shahih adalah suatu akad yang disyariatkan dengan asalnya dan

sifatnya. Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa akad yang shahih adalah

suatu akad yang dipenuhi asalnya dan sifatnya. Yang dimaksud dengan asal dalam

definisi tersebut adalah rukun, yakni ijab dan qabul, para pihak yang melakukan

akad, dan objeknya. Sedangkan yang dimaksud dengan sifat adalah ahl-hal yang

tidak termasuk rukun dan objek seperti syarat.

Hokum akad yang shahih adalah timbulnya akibat hokum secara spontan antara

kedua bela pihak yang melakukan akad, yakni hak dan kewajiban.[14]

III. SYARAT SAHNYA PERJANJIAN PASAL 1320 KUHPerdata

1. Adanya kesepakatan kedua belah pihak: Maksud dari kata sepakat

adalah, kedua belah pihak yang membuat perjanjian setuju mengenai hal-hal yang

pokok dalam kontrak.

2. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum.Asas cakap melakukan

perbuatan hukum, adalah setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya.

Ketentuan sudah dewasa, ada beberapa pendapat, menurut KUHPerdata, dewasa

adalah 21 tahun bagi laki-laki,dan 19 th bagi wanita.Menurut UU no 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan, dewasa adalah 19 th bahi laki-laki, 16 th bagi

wanita.Acuan hukum yang kita pakai adalah KUHPerdata karena berlaku secara

umum.
3. Adanya Obyek: Sesuatu yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian

haruslah suatu hal atau barang yang cukup jelas.

4. Adanya kausa yang halal.Pasal 1335 KUHPerdata, suatu perjanjian yang

tidak memakai suatu sebab yang halal, atau dibuat dengan suatu sebab yang palsu

atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum.[15]

Asas- asas Perjanjian

Dalam hukum perjanjian dapat dijumpai beberapa asas penting yang perlu

diketahui. Asas- asas tersebut adalah seperti diuraikan dibawah ini:

system terbuka (open system), setiap orang boleh mengadakan perjanjian apa

saja, walaupun belum atau tidak diatur dalam Undang-undang. Sering disebut asas

kebebasanbertindak.

Bersifat perlengkapan (optional), artinya pasal-pasal undang-undang boleh

disingkirkan, apabila pihak yang membuat perjanjian menghendaki membuat

perjanjiansendiri.

Bersifat konsensual, artinya perjanjian itu terjadi sejak adanya kata sepakat antara

pihak-pihak.

Bersifat obligatoir, artinya perjanjian yang dibuat oleh pihak- pihak itu baru

dalam taraf menimbulkan hak dan kewajiban saja, belum memindahkan hak milik.

Ditinjau dari segi hokum dan sifatnya


Akad shahih

Definisi akad shahih : hanafiyah sebagaimana dikutip oleh wahbah zuhaili

memberikan definisi akad yang shahih sebagai berikut:

Akad yang shahih adalah suatu akad yang disyariatkan dengan asalnya dan

sifatnya. Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa akad yang shahih adalah

suatu akad yang dipenuhi asalnya dan sifatnya. Yang dimaksud dengan asal dalam

definisi tersebut adalah rukun, yakni ijab dan qabul, para pihak yang melakukan

akad, dan objeknya. Sedangkan yang dimaksud dengan sifat adalah ahl-hal yang

tidak termasuk rukun dan objek seperti syarat.

Hokum akad yang shahih adalah timbulnya akibat hokum secara spontan antara

kedua bela pihak yang melakukan akad, yakni hak dan kewajiban.[16]

Syarat- syarat sah Perjanjian

Perjanjian yang sah artinya perjanjian yang memenuhi syarat yang telah

ditentukan oleh undang- undang

Isi Perjanjian

Yang dimaksud isi perjanjian disini pada dasarnya adalah ketentuan-

ketentuan dan syarat- syarat yang telah diperjanjikan oleh pihak- pihak.

Ketentuan- ketentuan dan syarat- syarat ini berisi hak dan kewajiban pihak- pihak

yang harus mereka penuhi.

Dalam hal ini tercermin asas kebebasan berkontrak, yaitu berapa jauh pihak-

pihak dapat mengadakan perjanjian, hubungan hubungan apa yang terjadi antara

mereka itu, dan beberapa jauh hukum mengatur hubungan antara mereka itu.[17]

Pembatalan Perjanjian
Pengertian pembatalan dalam uraian ini mengandung dua macam

kemungkinan alasan, yaitu pembatalan karena tidak memenuhi syarat subyektif,

dan pembatalan karena adanya wanprestasi dari debitur.

Pembatalan dapat dilakukan dengan tiga syarat yakni:

a. Perjanjian harus bersifat timbale balik (bilateral)

b. Harus ada wanprestasi (breach of contract)

c. Harus dengan putusan hakim (verdict)

2.3 Ketentuan- ketentuan Undang- Undang

Timbulnya perikatan dalam hal ini bukan dikarenakan karena adanya suatu

persetujuan atupun perjanjian, melainkan dikarenakan karena adanya undang-

undang yang menyatakan akibat perbuatan orang, lalu timbul perikatan.

Perikatan yang timbul karena undang- undang ini ada dua sumbernya, yaitu

perbuatan orang dan undang- undang sendiri. Perbuatan orang itu

diklasifikasikanlagi menjadi dua, yaitu perbuatan yang sesuai dengan hukum dan

perbuatan yang tidak sesuai dengan hukum (pasal 1352 dan 1353 KUHPdt).

Perikatan yang timbul dari perbuatan yang sesuai dengan hukum ada dua, yaitu

wakil tanpa kuasa (zaakwarneeming) diatur dalam pasal 1354 sampai dengan

pasal 1358 KUHPdt, pembayaran tanpa hutang (onverschuldigde betalling) diatur

dalam pasal 1359 sampai dengan 1364 KUHPdt. Sedangkan perikatan yang

timbul dari perbuatan yang tidak sesuai dengan hukum adalah perbuatan yang

tidak sesuai dengan hukum adalah perbuatan melawan hukum (onrechtmatigdaad)

diatur dalam pasal 1365 sampai dengan 1380 KUHPdt.

Perbuatan melawan hukum dapat ditujukan kepada harta kekayaan orang laindan
dapat ditujukan kepada diri pribadi orang lain, perbuatan mana

mengakibatkankerugian pada orang lain. Dalam hukum anglo saxon, perbuatan

melawan hokum disebut.

Untuk mengetahui apakah perbuatan hukum itu disebut wakil tanpa kuasa, maka

perlu dilihat unsure- unsure yang terdapat didalamnya, unsure- unsure tersebut

adalah :[18]

1) Perbuatan itu dilakukan dengan sukarela, artinya atas kesadaran sendiri tanpa

mengharapkan suatu apapun sebagai

imbalannya.

2) Tanpa mendapat kuasa (perintah), artinya yang melakukan perbuatan itu

bertindak atas inisiatif sendiri tanpa ada pesan, perintah, atau kuasa dari pihak

yang berkepentingan baik lisanmaupuntulisan.

3) Mewakili urusan orang lain, artinya yang melakukan perbuatan itu bertindak

untuk kepentingan orang lain, bukan kepentingan

sendiri.

4) Dengan atau tanpa pengetahuan orang itu, artinya orang yang berkepentingan

itu tidak mengetahuibahwakepentingannyadikerjakanoranglain.

5) Wajib meneruskan dan menyelesaikan urusan itu, artinya sekali ia melakukan

perbuatan untuk kepentingan orang lain itu, ia harus mengerjakan sampai selesai,

sehingga orang yang diwakili kepentingannya itu dapat menikmati manfatnya atau

dapat mengerjakan segala sesuatu yang termasuk urusan itu.

6) Bertindak menurut hukum, artinya dalam melakukan perbuatan mengurus

kepentingan itu, harus dilakukan berdasarkan kewajiban menurut hukum. Atau


bertindak tidak bertentangan denganundang-undang.[19]

Akibat Hukum Perjanjian yang Sah

Menurut ketentuan pasal 1338 KUHPdt, perjanjian yang dibuat secara sah,

yaitu memenuhi syarat- syarat pasal 1320 KUHPdt berlaku sebagai undang-

undang bagi mereka yang membuatnya, tidak dapat ditarik kembali tanpa

persetujuan kedua belah pihak atau karena alasan- alasan yang cukup menurut

undang- undang, dan harus dilaksanakan dengan itikad baik,

Pelaksanaan Perjanjian

Yang dimaksud dengan pelaksanaan disini adalah realisasi atau pemenuhan hak

dan kewajiban yang telah diperjanjikan oleh pihak- pihak supaya perjanjian itu

mencapai tujuannya. Pelaksanaan perjanjian pada dasarnya menyangkut soal

pembayaran dan penyerahan barang yangmenjadiobjekutamaperjanjian.

Pembayaran dan penyerahan barang dapat terjadi secara serentak. Mungkin

pembayaran lebih dahulu disusul dengan penyerahan barang atau sebaliknya

penyerahan barang dulu baru kemudian pembayaran.[20]


BAB III

PEMBAHAS/ANALISIS

Secara umum hukum perjanjian dalam kedua sistem hukum tersebut

memiliki banyak kesamaan Keduanya mengatur tentang unsur-unsur perjanjian,

syarat-syarat perjanjian, kebebasan membuat perjanjian dan berakhirnya suatu

perjanjian. Walaupun terdapat perbedaan dalam rinciannya yang disebabkan

filosofi hukum, istilah yang digunakan, sumber hukum dan proses pencarian

kedua hukum tersebut.

Hukum Islam bersumber dari al-Quran dan Hadits sedangkan hukum

perjanjian KUHperdata bersumber dari Statue Law (hukum tertulis) yang sangat

dipengaruhi pandangan hidup manusia pembuatnya yang sangat subjektif.


Walaupun ciri khas hukum perjanjian KUHperdata produk-produk

hukumnya terkodifikasi dalam suatu hukum tertulis (UU) tapi khusus untuk

perjanjian UU hanya sebagai pelengkap dari perjanjian, atau berlaku isi perjanjian

tersebut dan UU. Berlaku pula, bahwa perjanjian berlaku laksana UU bagi mereka

yang membuat. Hal ini serupa dengan sifat kebebasan menentukan syarat dalam

akad pada hukum Islam, bahwa setiap orang yang melakukan akad bebas untuk

mengemukakan dan menentukan syarat, selama syarat itu tidak bertentangan

dengan kehendak syara dan tidak bertentangan pula dengan hakikat akad, pihak-

pihak yang berakad bebas mengemukakan persyaratan dalam suatu akad selama

syarat-syarat itu bermanfaat bagi kedua belah pihak.

Kemaslahatan yang ingin dicapai hukum perjanjian KUHperdata adalah

melindungi kesusilaan dan kepentingan umum sedang hukum Islam juga berusaha

mewujudkan hal tersebut yang dikenal dalam Maqasidul Syariah (melindungi

agama, jiwa, akal, kehormatam dan harta), karena aspek melindungi agama ini

menurut hemat penulis hukum Islam berbeda dengan hukum lainnya termasuk

juga dalam hukum perjanjian, makanya dalam perikatan Islam tidak boleh

mengandung riba, maisyir dan ghoror yang dilarang dalam syariat.

Dalam perjanjian ini ada yang membatalkan perjanjian antara orang yang

beraakad, kareana ada beberapa antara orang yang berjanji tidak termasuk dalam

akad, sebagai berikut bentuknya pembatalan karena tidak memenuhi syarat

subyektif, dan pembatalan karena adanya wanprestasi dari debitur.

Adapun akibatnya dari pembatalan perjanjian yang disebutkan dalam

KUHperdata pasal 1320 berlaku sebagai undang- undang bagi mereka yang
membuatnya, tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan kedua belah pihak

atau karena alasan- alasan yang cukup menurut undang- undang, dan harus

dilaksanakan dengan itikad baik.

Hukum perjanjian dibicarakan sebagai bagian dari pada hukum perikatan,

sedangkan hukum perikatan adalah bagian daripada hukum kekayaan, maka

hubungan yang timbul antara pihak didalam perjanjian adalah hubungan hukum

dalam lapangan hukum kekayaan.

BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Perbadingan antara hukum perjanjian dalam KUHperdata degan hukum

perjanjian dalam islam merupakan salah satu ikatan antara dua orang atau lebih,

jadi tidak ada perbedaan antara perjanjian KUHperdata dengan hukum perjanjian

dalam islam.

Karena memiliki beberapa syarat untuk melakukan suatu perjanjian antara

kedua belah pihak,seperti:


1. Adanya kesepakatan kedua belah pihak: Maksud dari kata sepakat adalah, kedua

belah pihak yang membuat perjanjian setuju mengenai hal-hal yang pokok dalam

kontrak.

2. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum.Asas cakap melakukan perbuatan

hukum, adalah setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya.

Dan beberapa jenis yang terdapat dalam hokum perjanjian yaitu sebagai berikut:

1. Perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak, perjanjian sepihak adalah

perjanjian yang memberikan kewajibannya kepada satu pihak dan hak kepada satu

pihak dan hak kepada pihak lainnya,misalka hibah.

B. SARAN

Ikutilah dengan apa yang telah kamu janjikan, dan jangan sekali-kali kamu

membatalkan suatu perjanjian(akad), karena apabilah seseorang berusaha untuk

membatalkan suatu perjanjian maka akan menimbulkan suatu akibat bagi orang

yang membatalkan perjanjian(akad) tersabut.

[1] http// www. Hokum perjanjian KUHperdata. Com. Id


[2] Abdul aziz Muhammad azzam, 2010. Fiqh munakahat, hal: 15
[3] Ahmad wardi muslich. 2010. Fiqh muamalat. Hal:109
[4] J. satrio. 1992.hukum perjanjian. Hal. 357
[5] [5] Abdul manan. Pokok-pokok hokum perdata. 2001, hal:118
[6] Subekti. Tjitrosudibio. 1958. KUHpdt. Hal 285
[7] Ahmad wardi muslich, 2010. Fiqh muamalat, hal: 114
[8] Ahmad wardi muslich, 2010. Fiqh muamalat. Hal: 150
[9] Ahmad wardi muslich, 2010. Fiqh muamalat. Hal: 151
[10] Abdi kadir Muhammad. 1992. Hokum perikatan
[11] J, satrio. 1992. Hokum perjajian. 358
[12] [12] J. Satrio, Hukum Perjanjian,P.T Citra Aditya Bakti. Bandung.1992 hal 37
[13] Subekti. Hokum perdata. Jakarta: intermasa, 1933, hal :165
[14] Ahmad wardi muslich, 2010. Fiqh muamalat.hal: 153
[15] Santoso lukman. 2012. Hokum perjanjian kontrak. Hal 56
[16] Ahmad wardi muslich, 2010. Fiqh muamalat.hal: 153
[17] Santoso lukman. 2012. Hokum perjanjian kontrak. Hal 56
[18] Subekti. 1995, pokok-pokok hokum perdata. Hal 161
[19] Pasaribu chiruman, suhrahwardi l. 1994. Hokum perjanjian dalam islam. Hal
102
[20] Salim. 2011. hukum kotrak: teori dan teknik penyusunan kontrak. Hal: 87

Anda mungkin juga menyukai