Anda di halaman 1dari 9

KONSEP PERIKATAN DALAM HUKUM ISLAM

Disusun Untuk Memenuhi Tugas


Mata Kuliah Syari’ah Drafting
Dosen Pengampu: Syafi’atul Mir’ah Ma’shum, S.Hi.,M.H

• Disusun oleh
• Ahmad Walanda : 22101012039 & Erik Wibowo : 22101012061
• Tasya Bila Rhma 22101012044
PENGERTIAN PERIKATAN DALAM HUKUM ISLAM

• Dalam bahasa Arab terdapat dua istilah yang berkaitan dengan perikatan, yaitu kata akad (al-‘aqadu) dan kata ‘ahd (al- ahdu), Al-Qu’ran
menggunakan kata pertama dalam arti perikatan atau perjanjian, sedangkan kata yang kedua berarti masa, pesan, penyempurnaan, dan janji
atau perjanjian. Selain istilah tersebut, kata Perikatan dalam istilah bahasa Belanda dikenal verbintenis. Sementara kesepakatan/penjanjian
dikenal dengan overeenkomst. Sesuai sebutan yang biasanya digunakan oleh ahli di bidang hukum. Sebutan perikatan juga memiliki
kemiripan dengan istilah Arab, yakni 'Aqdun atau Iltizâm. Sementara pada bahasa Inggris perikatan memiliki hubungan arti dengan istilah-
istilah seperti duty, obligation, engagement, dan contract. Sehingga dapat diartikan erat dengan kesepakatan, tanggung jawab, kewajiban,
dan kepercayaan.
• Sedangkan menurut terminologi ulama fiqh, akad ditinjau dari dua segi yaitu secara umum dan secara khusus. Menurut pandangan ulama
Syafi’iyah, Malikiyah, dan Hanabilah, pengertian akad secara umum yaitu: “Segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan
keinginannya sendiri, seperti wakaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti
jual beli, pewakilan, dan gadai”. Dapat dipahami dari penjelasnya definisi di atas bahwa akad dapat mencakup iltizam (kewajiban) dan
tasarruf syar’i secara mutlak, baik iltizam yang timbul dari satu orang maupun dua orang.
• Lanjut slide berikut,,,,,,,,,,
LANJUT,,,,

•Sedangkan pengertian akad dalam artian sempit atau khusus yang dikemukakan oleh fuquha Hanafiah adalah:
“Keterkaitan antara pembicaraan salah seorang yang melakukan akad dengan yang lainnya menurut syara‟ pada segi
yang tampak pengaruhnya pada objek”.

•Dari istilah tersebut dapat dipahami bahwa akad itu adalah ikatan yang terjadi antara beberapa pihak, yang
menyatakan ijab dan yang kedua menyatakan qabul, yang kemudian menimbulkan akibat- akibat hukum.

•Menurut ulama hukum Islam, akad merupakan ikatan atau perjanjian. Ulama madzhab dari kalangan Syafi’iyah,
Malikiyah, dan Hanabilah mendefinisikan akad sebagai suatu perikatan atau perjanjian. Ibnu Taimiyah mengatakan,
“akad adalah setiap perikatan yang dilakukan oleh beberapa pihak yang berkaitan dengan aktivitas perdagangan,
perwakafan, hibah, perkawinan, dan pembebasan”.
LANJUT ,,,,,

• Menurut pengertian umum, akad merupakan segala sesuatu yang dilaksanakan dengan perikatan
antar dua pihak atau lebih melalui proses ijab dan kabul yang didasarkan pada ketentuan hukum Islam
dan memiliki akibat hukum kepada para pihak dan objek yang diperjanjikan.

• Dapat dipahami dari pengertian tersebut, bahwa akad merupakan perikatan atau perjanjian
yang dilakukan antara dua orang atau lebih mengenai transaksi tertentu yang diatur oleh hukum
Islam atas dasar saling merelakan untuk terjadinya perpindahan hak milik objek tertentu
disebabkan manfaat yang diperoleh kedua belah pihak dan berakibat hukum yang sama.
UNSUR-UNSUR PERIKATAN DALAM HUKUM ISLAM

Adapun unsur-unsur perikatan dalam hukum islam yang telah diatur dalam pasal 1320 KUH perdata. Yaitu sebagai berikut:

1. Kesepakan para pihak

2. Kecakapan dalam membuat perjanjian

3. Suatu hal tertentu; dan

4. Suatu sebab yang halal

•Apabila unsur pertama (kesepakatan) dan unsur kedua (kecakapan) tidak terpenuhi, maka perikatan tersebut dapat
dibatalkan. Sedangkan apabila tidak terpenuhi unsur ketiga (suatu hal tertentu) dan unsur keempat (suatu sebab yang halal)
maka perikatan tersebut adalah batal demi hukum.
RUKUN DAN SYARAT PERIKATAN DALAM HUKUM ISLAM

SUATU PERIKATAN HARUS MEMENUHI BEBERAPA RUKUN DAN SYARAT YANG TERDAPAT DALAM
SETIAP PERIKATAN. JIKA SALAH SATU RUKUN TIDAK ADA DALAM PERIKATAN YANG DIBUATNYA,
MAKA PERIKATAN TERSEBUT TIDAK SAH MENURUT HUKUM ISLAM. MAKA, OLEH KARENA ITU
BEBERAPA KOMPONEN INI HARUS TERPENUHI DALAM SUATU PERIKATAN (AKAD), YAITU:

1. Ijab Kabul (Shigat Perikatan)

2. Mahal al-‘Aqd (Objek Perikatan)

3. Al-‘Aqidain (Pihak-pihak yang Melaksanakan Perikatan)

4. Maudhu’ul ‘Aqd (Tujuan Perikatan dan Akibatnya)


SIGHOT PERIKATAN DALAM HUKUM ISLAM

•Sighat akad merupakan sesuatu yang disandarkan dari dua pihak yang berakad yang
menunjukkan atas apa yang ada di hati keduanya tentang terjadinya suatu akad. Hal ini dapat
diketahui dengan ucapan perbuatan, isyarat dan tulisan. Sighat tersebut biasa disebut ijab dan
kabul.

•Definisi ijab menurut ulama Hanafiyah adalah penetapan perbuatan tertentu yang
menunjukkan keridaan yang diucapkan oleh pihak pertama, baik yang menyerahkan maupun
yang menerima. Sedangkan kabul adalah orang yang berkata setelah orang yang mengucapkan
ijab, di mana perkataan tersebut menunjukkan keridaan atas ucapan orang yang pertama.
METODE SIGHAT ATAU IJAB KABUL DALAM AKAD DAPAT DILAKUKAN DENGAN
BEBERAPA CARA YAITU:
1. Akad dengan lafal (ucapan); Akad dengan lafal yang dipakai untuk ijab dan kabul harus jelas pengertiannya, harus bersesuaian antara ijab
dan kabul, begitu pula harus sungguh-sungguh, karena jika tidak ada iktikad kesungguhan, maka akad menjadi tidak sah. Atas dasar itulah
para fukaha berpendapat bahwa berjanji menjual itu belum merupakan akad penjualan, dan orang yang berjanji menjual itu tidak dapat
dipaksa menjualnya.

2. Akad dengan tulisan. Diperbolehkan, baik bagi mereka yang mampu berbicara maupun yang tidak mampu berbicara dengan syarat, tulisan
tersebut harus jelas, tampak dan dapat dipahami oleh kedua belah pihak, karena tulisan dalam qaidah fiqhiyah, “tulisan bagaikan ucapan”.
Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa akad dengan tulisan adalah sah jika kedua belah pihak yang berakad tidak hadir.
Namun jika keduanya hadir, tidak diperkenankan menggunakan tulisan, sebab tulisan tidak dibutuhkan.

3. Akad dengan perbuatan; Dewasa ini akad dengan perbuatan menjadi lumrah, kendatipun tidak harus diucapkan, namun cukup dengan
perbuatan yang menunjukkan saling meridai.

4. Akad dengan isyarat; Bagi orang yang mampu berbicara tidak dibenarkan akad dengan isyarat, melainkan harus dengan menggunakan
lisan, tulisan atau perbuatan. Adapun bagi yang tidak dapat berbicara, boleh menggunakan isyarat, tetapi jika mampu menulis dan bagus,
maka dianjurkan atau lebih baik dengan tulisan.
SEKIAN DAN TERIMAKASIH.

Anda mungkin juga menyukai