Anda di halaman 1dari 47

MAJALAH AL WAIE

Hizbut Tahrir Indonesia

TARIFAT

Al-Aqd (Akad/Kontrak)
Al-Aqd (akad/kontrak) berasal dari kata aqadayaqiduaqd[an]; jamaknya adalah al-uqd. Secara bahasa al-aqd bermakna ar-rabth(ikatan), asysyadd (pengokohan), at-taqwiyah (penguatan). Jika dikatakan, aqada alhabla (mengikat tali), maksudnya adalah mengikat tali satu dengan yang lain, mengencangkan dan menguatkan ikatannya. Al-aqdu juga bisa bermakna al-ahdu (janji) atau al-mtsq (perjanjian). Adapun al-uqdah (jamaknya al-uqad) adalah obyek ikatan atau sebutan untuk sesuatu yang diikat. Di dalam al-Quran kata aqada disebutkan sebanyak tujuh kali dalam tujuh ayat: kata aqada bermakna sumpah (QS 4: 33; 5: 89); al-uqd bermakna al-ahdu atau janji (QS 5: 1; 20: 27);uqdah bermakna ikatan (QS 2: 235, 237) dan al-uqad bermakna simpul atau buhul (QS 113: 4). Menurut al-Jashash sumpah disebut aqd jika berupa sumpah untuk perkara yang akan datang. Pada awalnya kata aqada digunakan untuk benda padat seperti tali dan bangunan, namun kemudian dengan majaz istirah kata ini juga diterapkan untuk selainnya seperti: aqd al-bay (akad jual-beli), aqd al-ahd (akad perjanjian), aqd an-nikh (akad nikah), dsb.1 Dalam konteks ini, aqada dimaknai sebagai ilzm (pengharusan) dan iltizm (komitmen atau irtibth/pertautan). Abu Bakar menyatakan, al-aqd adalah apa yang diakadkan (diwajibkan) oleh orang yang berakad atas suatu perkara yang harus ia lakukan, atau ia akadkan terhadap orang lain untuk melakukannya, dalam bentuk mengharuskan atau mewajibkan perkara itu kepadanya. Al-aqd, meski asalnya secara bahasa bermakna asy-syadd(pengencangan), ia kemudian mengalami transformasi makna, seperti sumpah dan akad; akad jual beli dan sebagainya. Yang dimaksud tidak lain adalah kewajiban memenuhi apa yang disebutkan dan ditawarkan. Ini tidak lain diimplementasikan pada sesuatu yang ditunggu pemenuhannya ke depan. Jual-beli, nikah, ijrah dan seluruh akad dengan kompensasi disebut sebagai akad karena masing-masing pihak telah mewajibkan diri untuk memenuhinya.2 Makna tersebut kemudian dalam penggunaannya lebih menonjol dan menjadi urf (tradisi). Karena itu, secara urf, al-aqd adalah iltizm al-jnibayn li syayin wa muqbiluhu (komitmen dua pihak untuk suatu perkara berikut kompensasinya).3 Menurut Ibn Manzhur, Jika Anda berkata. qadtuhu, atau aqadtu alayhi,maka takwilnya adalah: Anda mengikat (mengharuskan) dia atas hal itu dengan isttsq (meminta janji/komitmen) dan membuat kontrak (kesepakatan) dan perjanjian.4 Dengan demikian, al-aqd adalah transaksi dan kesepakatan, atau komitmen dengan konotasi al-isttsq. Itu tentu tidak akan terjadi, kecuali di antara dua pihak yang saling berakad. Adapun al-ahd (janji) bisa berlangsung dari satu pihak saja. Karenanya, al-ahd lebih umum daripadaal-aqd, karena tidak

semua al-ahd (janji) merupakan al-aqd (akad). Sebaliknya, semua al-aqd (akad) merupakan al-ahd (janji). Al-aqd adalah salah satu jenis tasharruf (perilaku) yang bersifat qawliyahyang kehendaknya berasal dari kedua belah pihak. Adapun tasharruf yang kehendaknya berasal dari satu pihak saja bukan merupakan al-aqd. Karena itu, setiap al-aqd merupakan tasharruf, namun tidak semuatasharruf merupakan al-aqd. Syariah menjelaskan al-aqd dalam kedua maknanya sebagai al-aqd dan al-ahd. Di dalam penjelasan syariah tentang akad jual-beli, ijrah, nikah dan akad-akad lainnya, terlihat jelas bahwa keterikatan, komitmen dan janji itu diwujudkan dengan ijab dan qabul di antara kedua pihak yang berakad. Az-Zarkasyi, setelah menjelaskan makna al-aqd secara bahasa, berkata, Lalu al-aqd ditransformasikan secara syari menjadi irtibth al-jab bi alqabl (keterikatan atau pertautan ijab dengan qabul), seperti akad jual-beli, nikah dan sebagainya.5 Dalam buku Qawid al-Fiqh dinyatakan, Al-Aqd (menurut) fukaha adalah keterikatan bagian-bagian tasharruf secara syari dengan ijab dan qabul; atau al-aqd merupakan keterikatan (komitmen) dua pihak yang berakad dan kesengajaan keduanya atas suatu perkara. Dengan demikian, al-aqdmerupakan ungkapan mengenai keterikatan ijab dan qabul (ibrah an irtibth al-jb wa alqabl).6 Hanya saja, agar bisa dinilai sebagai akad secara syari, akad harus berlangsung dalam dan untuk konteks yang sesuai dengan syariah. Akad juga membawa konsekuensi atau implikasi hukum sesuai dengan konteksnya. Karena itu, dapat disimpulkan bahwa pengertian akad secara syari adalah keterkaitan antara ijab dan qabul dalam bentuk yang disyariahkan, yang melahirkan implikasi akad sesuai dengan konteksnya (irtibth al-jb bi qabl al wajh[in] masyr[in] yuzhhiru atsarahu f mahallihi).7 Definisi ini menegaskan, bahwa adanya ijab dan qabul saja belum cukup. Karena ijab dan qabul tersebut harus dilakukan sesuai dengan ketentuan dan bentuk yang disyariatkan. Jika semuanya ini terpenuhi, maka akad tersebut membawa implikasi. Inilah yang dimaksud yuzhhiru atsarahu f mahallihi. Akad nikah, misalnya, mempunyai implikasi dihalalkannya farjiwanita untuk pria yang menikahinya, dan begitu sebaliknya. Rukun Akad Rukun akad ada tiga: (1) al-qidn (dua pihak yang berakad); (2) Shighat al-aqd (redaksi akad), yakni ijab dan qabul; (3) Mahallu al-aqd atau al-maqd alayhi (obyek akad). Tanpa ada kedua pihak, tidak akan terjadi akad. Salah satu atau keduanya bisa original untuk dirinya sendiri bisa juga wakil dari orang lain. Yang menjadi obyek akad adalah sesuatu yang di dalamnya ditetapkan implikasi akad dan hukumnya, seperti barang yang dijual-belikan dalam akad jual-beli, utang yang dijamin dalam akad kaflah, dsb. Lalu jbadalah ungkapan salah satu pihak yang berakad akan ketegasan keinginannya untuk melangsungkan akad. Misal, ungkapan bitu (aku jual) atau isytaraytu (aku beli). Adapun qabl adalah ungkapan dari pihak kedua setelah ungkapan ijab, yang mengungkapkan persetujuan dia atasnya. Ijab dan qabul itu bisa dilakukan secara lisan, tulisan atau dengan sarana lain yang bisa menunjukkan dengan jelas keinginan kedua pihak.

Hal-hal yang berpengaruh atas akad dan membantu dalam memutuskan status hukumnya, apakah sah, batil atau fasad, dsb, ada empat : (1)Shighat (redaksi) akad; (2) Syarat-syarat dalam akad; (3) Larangan tentang akad; (4) Gharar (penipuan), termasuk kemajhulan (ketidakjelasan). Adapun terkait dengan syarat akad, ada syarat iniqd akad secara umum yang harus terpenuhi dalam semua akad, yaitu: (a) kelayakan qidnuntuk melangsungkan akad; (b) kapabilitas obyek akad bagi hukumnya; (c) akad itu bukan yang terlarang; (d) akad itu memenuhi syarat iniqdkhususnya; (e) akad itu mufd[an], (f) ijab tetap sahih hingga terjadi qabul; dan (g) kesatuan majelis. Ada pula syarat iniqd khusus untuk akad tertentu, seperti serah-terima barang dalam akad jual-beli dan agunan. Akad dikatakan sah jika akad itu ketiga rukunnya ada, sight-nya sesuai dengan ketentuan syariah, memenuhi syarat-syarat iniqd dan syarat khususnya, tidak ada larangan berkaitan dengan akadnya sendiri dan tidak ada gharar. Akad yang sah, seluruh implikasi hukumnya berlaku, seperti adanya kepemilikan pembeli atas barang yang dibeli, kepemilikan penjual atas harga barangnya, dsb. Akad statusnya batil jika tidak memenuhi ketentuan syariah tentang akadnya sendiri atau rukunnya, yaitu: jika salah satu rukunnya kosong, atau tidak memenuhi ketentuan shight, atau tidak terpenuhi syaratiniqd atau syarat khususnya, atau akadnya sendiri dilarang, atau adagharar yang menyebabkan batil. Misal: jika salah satu qid tidak layak melangsungkan akad; atau shight jual-beli menggantung; atau tidak adanya serah-terima barang yang dibeli atau yang diagunkan; atau jual-beli barang yang bukan atau belum dimiliki; atau barang yang dijual majhlseperti jual-beli ikan yang masih di dalam air, dsb. Akad yang batil hakikatnya secara syari tidak terjadi. Karena itu, semua implikasi hukumnya juga tidak ada (tidak berlaku) di dalam sesuatu yang menjadi obyeknya. Dalam jual-beli yang batil tidak ada pemindahan kepemilikan di antara penjual dan pembali. Artinya, pembeli tidak memiliki barang yang dibeli dan penjual tidak memiliki harga yang ia terima. Akad yang batil haram dilanjutkan. Akad itu harus dikembalikan lagi ke keadaan awal sebelum akad. Adapun akad yang fasad adalah akad yang diciderai oleh syarat dan sifat yang bertentangan dengan syariat. Seperti terjadinya ghabn fakhisy(mark up harga) dalam akad jual beli, maka akadnya tetap sah, dan bisa dilanjutkan, jika sifat ghabn fakhisy tersebut dihilangkan, atau pihak yang merasa ditipu tidak merasa keberatan dengan penipuan harga yang menimpanya. Wallh alam bi ash-shawb. [Yahya Abdurrahman] Catatan Kaki: 1. Lihat, Al-Minawi, At-Taarif, i/520, ed. M. Ridhwan ad-Dayah, Dar al-Fikr al-Muashir-Dar al-Fikr, Beirut-Damaskus, cet. i. 1410. 2. Lihat, Al-Jashash, Ahkm al-Qurn li al-Jashash, iii/284, ed. M. Shadiq alQamhawi, Dar Ihya at-Turats al-Arabi, Beirut. 1405. 3. Lihat, Ibn Asyur, at-Tahrr wa at-Tanwr, iv/115, CD al-Maktabah asySyamilah, ishdar ats-tsaniy. 4. Lihat, Ibn Manzhur, Lisn al-Arab, iii/297, Dar Shadir, Beirut, cet. i. tt. 5. Muhammad bin Bahadur bin Abdillah az-Zarkasyi, al-Mantsr f al-Qawid li Zarkasyi, ii/397, ed. Dr. Taysir Faiq Ahmad Mahmud, Wuzarah al-Awqaf wa Syuun al-Islamiyah, Kuwait, cet.ii. 1405. 6. Lihat, Muhammad Amim al-Ihsan al-Mujadidi al-Burkati, Qawid al-Fiqh, i/383, ash-Shadf Bublisyirz, Kratisa, cet.i. 1407.

7. Lihat, Yusuf Ahmad Mahmud as-Sabatin, al-Buy al-Qadmah wa alMushirah wa al-Brusht al-Mahaliyah wa ad-Dawliyah, hal.17 dst, Dar al-Bayariq, Amman, cet. i. 2002. Lihat penjelasan tentang al-aqdu, jual beli dan bursa secara detil di dalam buku ini.

http://hizbut-tahrir.or.id/2007/07/02/aqd-akadkontrak/

Murabahah
Ibn Manzhur di dalam Lisn al-Arab (II/442-443, Dar Shadir) menyatakan:arribhu wa ar-rabhu wa ar-rabh artinya pertumbuhan dalam perdagangan; arbahtuhu al silatihi artinya aku memberi dia keuntungan;arbahahu bi mutihi (ia mendapat keuntungan dengan dagangannya). Aku memberi dia harta secara murabahah artinya berdasarkan keuntungan di antara keduanya. Dikatakan: Aku menjual barang itu secara murabahahsetiap sepuluh dirham labanya satu dirham. Dalam Islam, di antara jenis jual-beli ada bay al-muswamah, yakni disertai tawar-menawar dan harga tidak dikaitkan dengan harga pokok; juga ada bay alamnah, yakni harga dikaitkan dengan harga pokok dan harga pokoknya disebutkan. Bay al-amnah ada tiga macam: (1) Jika harganya sama dengan harga pokok, tidak untung dan tidak rugi, disebutat-tawliyah; (2) Jika disertai kerugian yang disepakati disebut al-wadhah; (3) Jika disertai dengan keuntungan yang disepakati disebut al-murbahah. Murabahah Imam asy-Syayrazi di dalam Al-Muhadzdzab (I/288, Dar al-Fikr) menjelaskan, murabahah adalah (penjual) menjelaskan modal dan kadar labanya dengan mengatakan, misalnya, Harganya seratus dan aku menjual kepada kamu dengan modalnya, dengan laba satu dirham untuk setiap sepuluh dirham. Ibn Qudamah di dalam Asy-Syarh al-Kabr (IV/102, Dar al-Kitab al-Arabi) menjelaskan murabahah adalah menjual dengan laba yang disepakati, lalu dikatakan, misalnya, Modalku di dalamnya seratus. Aku menjual kepada kamu dengan laba sepuluh. Ini adalah boleh, tidak ada perbedaan pendapat tentang keabsahannya. Dengan demikian menurut para fukaha dulu, murabahah adalah menjual sesuatu dengan menyebutkan modal atau harga beli awalnya, ditambah keuntungan yang disepakati. Murabahah merupakan salah satu model jual-beli. Pelaksanaannya harus memenuhi rukun dan syarat-syaratnya sehingga menjadi sah dan sempurna. Rukunnya adalah sebagaimana jual-beli, yaitu adanya: penjual dan pembeli; barang yang dijual; ijab dan qabul. Adapun terkait syaratmurabah, Dr Ayid Fadhal asy-Syarawi di dalam bukunya Al-Mashrif al-Islmiyah (hal. 380-382, Dar al-Jamiah. 2007) menjelaskan ada syarat umum dan syarat khusus. Syarat umum murabahah adalah syarat jual-beli itu sendiri: syarat iniqad, syarat sah, syarat pelaksanaan (syurth nafdz), syarat keharusan (syurth luzm) dan syarat kesempurnaan (syurth tamm). Syarat iniqad adalah syarat terkait dengan rukun akad, yaitu syarat ijab dan qabul berupa kesatuan majelis dan kesesuaian dan pertautan ijab dengan qabul. Syarat al-qid yaitu berakal dan ada dua pihak (penjual dan pembeli). Syarat barang yang dijual yaitu harta itu ada, bisa ditentukan nilainya, dimiliki zatnya, bisa diserahkan pada saat akad, dimiliki oleh penjual pada saat jual beli dan

barang itu memiliki nilai. Syarat sah antara lain: adanya keridhaan kedua pihak, keberadaan barang yang bisa diserahterimakan, tidak menimpakan dharar kepada penjual, barang dan harganya diketahui dengan jelas sehingga menghalangi adanya perselisihan, dan akad itu kosong dari syarat yang fasid. Syurth nafdzantara lain: barang dimiliki oleh penjual dan ada dalam kekuasaannya serta tidak ada hak orang lain di dalam barang itu. Syurth luzm, jual-beli itu kosong dari khiyar (khiyar ruyah, khiyar aib, khiyar syarat dan khiyar tayin). Adapun syurth tamm adalah adanya serah-terima barang (al-qabdhu). Selain itu murabahah juga harus memenuhi syarat-syarat khususnya, antara lain: 1. Harga awal (modal) harus diketahui. Dalam hal ini penjual wajib menjelaskan kepada pembeli berapa modalnya. 2. Keuntungan harus jelas atau disepakati dengan jelas, sebab laba itu adalah bagian dari harga murabahah. 3. Jual-beli yang pertama harus sah. Fasadnya jual-beli awal tidak memungkinkan untuk dijadikan dasar jual-beli kedua. Sebab, murabahahadalah jual-beli dengan harga awal ditambah laba yang disepakati. 4. Pengetahuan tentang sifat spesifik barang atau sifat yang tidak disukai. Sebab hal itu akan berpengaruh baik mendorong atau mencegah terjadinya jual-beli, selain pengetahuan itu akan menghilangkan gharardan ketidakjelasan tentang barang. 5. Terjaga dari pengkhianatan dan tuduhan. Sebab asas kesepakatan dan jualbeli itu terfokus pada kejujuran penjual dalam menyebutkan modalnya. Jika dia berkhianat atau berbohong maka ia mengkhianati amanah sementara murabahah itu terjadi berdasarkan amanah itu. 6. Harga awal (modal) harus sama jenisnya dengan harga murabahah, baik rupiah, dolar, emas, perak atau lainnya. Namun, harga tidak boleh sama jenisnya dengan barang, jika termasuk dari enam jenis komoditas ribawi (emas, perak, kurma, gandum, jewawut, garam) termasuk uang. Murabahah yang dijelaskan para fukaha dulu itu hanya melibatkan dua pihak, yaitu penjual dan pembeli. Penjual telah secara sempurna memiliki barang yang dia jual. Murabahah ini bisa dalam bentuk murabahah kontan maupun murabahah secara kredit atau dengan tempo. Secara syari,murabahah memang boleh, namun para fukaha lebih menyukai jual-belimuswamah. Murabahah Kontemporer Murabahah yang saat ini marak terutama dalam bentuk pembiayaanmurabahah di berbagai bank dan lembaga keuangan sebenarnya berbeda dari bentuk murabahah yang dibahas para fukaha dulu sebagaimana dipaparkan di atas. Dalam murabahah kontemporer ini yang terlibat ada tiga pihak, yaitu: pemilik barang (penjual awal), pembeli akhir (nasabah) dan pihak yang di tengah (bank) yang menjadi pembeli terhadap pemilik barang dan penjual terhadap pembeli akhir (nasabah). Tatacara muamalah ini merupakan tata cara-baru yang digagas oleh Dr. Sami Hamud dalam desertasi doktoralnya tahun 1976 dengan judul Tathwr al-Aml al-Mashrifiyah bim Yattafiqu maa asy-Syarah al-Islmiyah, yang ia sebutmurbahah li al-mir bi asy-syir. Dalam praktiknya kemudian hanya disebut murabahah saja, meski faktanya sebenarnya

berbeda denganmurabahah yang dijelaskan para fukaha. Muamalah ini biasanya secara ringkas berlangsung dengan tahapan sebagai berikut: 1. Tahap pertama: saling berkomitmen antara nasabah dengan bank. Nasabah berkomitmen, jika bank mau membeli barang yang dia inginkan dari penjualnya lalu menjualnya kepada nasabah itu, maka nasabah berkomitmen untuk membelinya dari bank secara kredit. Jika bank melihat kelayakan nasabah tersebut, maka bank berkomitmen untuk membeli barang tersebut lalu menjualnya kepada nasabah tersebut secara kredit. 2. Tahap kedua: bank membeli barang yang diminta itu dari penjualnya. 3. Tahap ketiga: penjualan barang tersebut oleh bank kepada pembeli (nasabah) itu. Dalam hal ini harus diperhatikan beberapa hal berikut: Pertama, pembeli tidak boleh diikat dengan apapun sebelum terjadi akad murabahah dan sempurna akadnya. Hakim bin Hizam menceritakan bahwa Rasulullah saw. bersabda:


Penjual dan pembeli memiliki khiyar selama belum berpisah (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasai, ad-Darimi). Hadis ini dengan jelas menetapkan adanya hak khiyar (pilihan) bagi penjual dan pembeli sebelum berpisah, yaitu hak untuk membatalkan jual-beli sebelum berlakunya akad sampai majelis akadnya berakhir, yang di antaranya ditandai dengan berpisahnya penjual dan pembeli secara fisik. Sebagai hak yang telah ditetapkan oleh syariah, hak itu tidak boleh dibatasi atau bahkan dihilangkan oleh apapun dan siapapun selain syariah, termasuk oleh calon pembeli (nasabah) dan calon penjual (bank) itu sendiri melalui syarat (kesepakatan saling komitmen) di antara mereka. Jadi, calon pembeli (nasabah) itu tidak boleh diharuskan membeli barang itu. Dia boleh saja membelinya dari pihak lain. Sebaliknya, penjual juga tidak boleh diharuskan menjual barang tersebut. Dia pun boleh saja menjualnya kepada selain nasabah itu. Karena itu, komitmen calon pembeli (nasabah) dan calon penjual (bank) tidak boleh bersifat mengikat, dalam arti nasabah harus membeli barang itu setelah bank membelinya dari penjual; dan bank harus menjual barang itu kepada nasabah tersebut setelah bank membelinya. Sebab itu artinya baik nasabah atau bank tidak lagi memiliki khiyar yang telah ditetapkan syariah itu. Ini tidak boleh karena kaidah syariah menyebutkan: setiap syarat yang bertentangan dengan syariah maka syarat tersebut batil (batal), dan tentu saja tidak mengikat. Nasabah juga tidak boleh diikat dengan pembayaran uang muka (al-urbn) dan jika nasabah tidak jadi membeli maka uang mukanya menjadi hak bank. Sebab jika demikian maka itu adalah jual-beli dalam bentuk bay al-urbn. Artinya, akad uang muka itu merupakan akad jual-beli, sebab uang muka itu merupakan bagian dari harga yang dibayar di muka. Jika komitmen nasabah dan bank bersifat mengikat bagi keduanya dan/atau nasabah membayar uang muka (DP) dan jika dia batal membeli, DP itu menjadi hak bank, maka hal itu merupakan jual-beli itu sendiri. Semua unsur jual-beli ada di dalamnya. Padahal jelas barang tersebut belum menjadi milik penjual. Hal demikian jelas dilarang. Rasul saw. bersabda:


Jangan engkau jual sesuatu yang bukan milikmu (HR Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai, at-Tirmidzi, Ibn Majah).

Kedua, sebelum dilangsungkan akad murabahah, barang itu harus sudah sempurna dimiliki penjual (bank), yakni sudah diserahterimakan secara sempurna kepada penjual (bank) itu. Hakim bin Hizam pernah bertanya kepada Rasul saw., Ya Rasulullah, aku seorang pedagang, lalu apa yang halal dan apa yang haram bagi diriku? Rasul saw. menjawab:


Jika engkau membeli sesuatu maka jangan engkau jual hingga engkau menerimanya (HR Ahmad, an-Nasai dan Ibn Hibban). Barang itu juga harus berada dalam kekuasaan dan tanggungan penjual (bank) di tempat dimana penjual itu memiliki fisik dan manfaat barang itu. Sebab, Rasul saw. bersabda:


Tidak halal utang dan jual-beli; tidak (halal) dua syarat dalam jual-beli; tidak (halal) keuntungan sesuatu yang belum dijamin; tidak (halal) pula menjual sesuatu yang bukan milikmu (HR Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasai, al-Hakim). Kepemilikan, kekuasaan dan tanggungan penjual (bank) atas barang itu harus benar-benar riil, bukan hanya formalitas di atas kertas. Jika hanya formalitas di atas kertas, maka itu hanya akal-akalan saja. Ketiga, harus disebutkan berapa modal dan keuntungan yang disepakati. Modal yang dijadikan dasar murabahah adalah harga pembelian barang oleh bank kepada pemiliknya, bukan harga beli dikurangi harga yang dibayar nasabah (pembeli) di muka (uang muka). Dengan kata lain, bukan yang dikatakan sebagai jumlah pembiayaan. Sebab murabahah itu merupakan jual-beli dengan modal ditambah keuntungan yang disepakati, bukan merupakan pembiayaan. Jika didasarkan jumlah pembiayaan maka itu lebih dekat sebagai meminjamkan uang agar dikembalikan lebih banyak, dan itu jelas merupakan riba, sementara jualbeli itu hanya menjadi triknya saja. Keempat, barang harus diserahterimakan kepada pembeli (nasabah) secara sempurna. Kepemilikan atas barang itu harus sempurna berpindah ke pembeli. Sebab itu merupakan konsekuensi akad jual-beli. Karena itu, tidak boleh ada syarat apapun yang membatasi kepemilikan pembeli atas barang tersebut. Dia berhak sepenuhnya mengelola barang itu baik menjual, menyewakan, mengkonsumsi, memindahkan kepemilikannya kepada orang lain, dsb. Jika ada syarat yang membatasi hak pengelolaan pembeli atas barang itu, maka syarat tersebut batil dan harus diabaikan, meski akad murabahah-nya tetap sah. Kelima, tidak boleh ada denda karena keterlambatan membayar. Sebab itu adalah riba. Selain kelima hal ini masih ada hal-hal lain yang harus diperhatikan agarmurabahah kontemporer saat ini sah dan sempurna menurut syariah. WalLh alam bi ash-shawb. [Yahya Abdurrahman]

Syirkah

Kata syirkah berasal dari kata syarika-yasyrakusyarik[an] wa syirkat[an] wa syarikat[an]; artinya mukhla-thah asy-syarkayn (percampuran dua hal yang bersekutu). Syirkah secara bahasa artinya percampuran dua bagian atau lebih sehingga tidak bisa lagi dibedakan satu sama lain. Secara istilah syirkah adalah ijtimf istihqq aw tasharruf (pertemuan dalam hal hak atau pengelolaan) (Ibn Qudamah, Al-Mughni, V/109, Dar al-Kitab al-Arabi, 1983). Ijtim f istihqq adalah syirkah al-milk. Ijtim f tasharruf adaah syirkah al-aqd. Ini sekaligus menjelaskan bahwa syirkahitu ada dua macam: syirkah almilk dan syirkah al-aqd. Semua fukaha berpandangan bahwa syirkahbaik syirkah al-milk maupunsyirkah al-aqdtermasuk al-uqd al-jizah, bukan al-uqd al-lzimah.Artinya, masingmasing pihak berhak memisahkan diri atau keluar darisyirkah kapan saja ia kehendaki. 1. Syirkah al-Milk. Syirkah al-Milk adalah syirkah al-ayn, yaitu persekutuan dua orang atau lebih dalam kepemilikan suatu harta. Syirkah ini bisa muncul tanpa ikhtiar keduanya atau bersifat jabr[an] (paksaan) seperti persekutuan atas harta waris, hibah atau wasiat; bisa juga muncul karena ikhtiyar keduanya seperti melalui pembelian satu harta secara patungan. Dalam syirkah al-milk, bagian masing-masing tidak bisa dipisahkan dari bagian yang lain karena kepemilikan mereka telah bercampur. Dalamsyirkah al-milk, pertumbuhan/pertambahan harta dan kerugian/konsekuensinya menjadi milik dan tanggungan bersama menurut porsi kepemilikan masingmasing. Misal, dua orang membeli mobil/gedung secara patungan dengan porsi 60:40. Hasil sewa mobil/gedung itu atau biaya perawatan atau kerusakannya dibagi menurut porsi 60:40 itu. 2. Syirkah al-Aqd. Syirkah al-Aqd adalah syirkah yang terbentuk di antara dua pihak atau lebih menurut akad syari berdasarkan keinginan, kehendak dan dengan inisiatif dari keduanya. Syirkah al-aqd ini kemudian lebih menonjol dan akhirnya jika disebut syirkah saja maka yang dimaksud adalah syirkah al-aqd ini. Menurut istilah syari, syirkah adalah akad antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat melakukan suatu aktivitas finansial (bisnis) dengan tujuan memperoleh laba (An-Nabhani, An-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, hlm. 148). Syirkah hukumnya mubah berdasarkan taqrr (pengakuan) Nabi saw. atas syirkah dilakukan para Sahabat kala itu. Selain itu Abu Hurairah ra. Menuturkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:


Allah telah berfirman: Aku adalah Pihak Ketiga dari dua pihak yang bersyirkah selama salah satunya tidak mengkhianati yang lainnya. Kalau salah satunya berkhianat, Aku keluar dari keduanya (HR Abu Dawud, al-Baihaqi, dan ad-Daruquthni). Dari elaborasi atas syirkah al-aqd dan hukum syariah serta dalil-dalil terkait, syirkah al-aqd itu meliputi lima jenis: al-inn, al-abdan; al-mudhrabah, al-wujh dan al-mufwadhah (An-Nabhani, Nizhm al-Iqtishd f al-Islm, 2004,

hal 150). Kelima jenis syirkah itu adalah syirkahyang dibenarkan syariah Islam sepanjang memenuhi syarat-syarat dan hukum-hukumnya. Syirkah al-aqd absah jika memenuhi ketentuan syariah berkaitan dengan rukun dan syarat keabsahan akadnya. Rukun syirkah ada 3 (tiga): adanyaijb-qabl; adanya dua pihak yang berakad (qidni); obyek akad (maqd alayhi) (AlJazairi, al-Fiqh al al-Madzhib al-Arbaah, hlm. 69; Al-Khayyath, Asy-Syarkt f Dhaw al-Islm, hlm. 13, Dar as-Salam, 1989). Dalam ijb-qabl harus ada ungkapan baik lisan atau tertulis, bahwa salah satu pihak mengajak pihak lain untuk berserikat melakukan aktivitas bisnis, dan harus ada penerimaan/persetujuan pihak lain terhadap ajakan itu. Karena itu, sekadar kesepakatan untuk berserikat tidak bisa disebut akadsyirkah. Begitu pula kesepakatan menyetor sejumlah harta untuk berserikat seperti dalam kasus PT dan koperasi juga belum bisa dinilai sebagai akad syirkah. Akad syirkah harus mengandung pengertian berserikat untuk melakukan suatu aktivitas finansial/bisnis. Al-Aqidni itu: Pertama, pihak yang menyatakan ijb, yaitu pihak yang menyampaikan ajakan berserikat untuk melakukan suatu aktivitas bisnis.Kedua, pihak yang menyatakan qabl atau menerima ajakan itu. Kedua pihak itu harus memiliki kelayakan (ahliyah) melakukan tasharruf. Akad syirkah dipandang sah jika: Pertama, obyek akadnya harus berupatasharruf. Kedua, tasharruf yang diakadkan itu harus bisa di-wakalah-kan sehingga apa yang diperoleh dari tasharruf itu menjadi hak kedua pihak secara berserikat (Lihat: an-Nabhani, Nizhm al-Iqtishd f al-Islm, hlm. 148, Dar alUmmah, cet vi [muktamadah]. 2004). Di dalam syirkah juga harus ada unsur al-badn (unsur badan), yaitu pribadi yang memiliki hak melakukan tasharruf atau menjalankan aktivitas syirkah. Disebut unsur badan karena andilnya berupa badan (tenaga dan pikiran) untuk mengelola syirkah, bukan modal. Adanya unsur badan ini merupakan syarat mendasar yang menentukan terakadkan-tidaknya atau ada-tidaknya syirkah itu. Alasannya: Pertama, karena di dalam syirkah itu harus ada kesepakatan antara al-qidniuntuk melakukan aktivitas finansial/bisnis (amal[un] mliy[un]). Itu artinya, aktivitas finansial itu harus berasal dari kedua pihak atau salah satunya. Jadi harus ada unsur badan yang melakukannya. Kedua, syirkahadalah akad atas tasharruf. Tasharruf itu harus keluar dari syark (pihak yang ber-syirkah). Jadi di dalam akad syirkah itu harus ada mutasharrif(yang melakukan tasharruf) syirkah. Jika tidak ada mutasharrif itu maka akad syirkah tersebut tidak terjadi. Jadi di dalam akad syirkah harus ada unsur badan yang menjadi mutasharrif syirkah tersebut. Ketiga, hukum syariah berkaitan dengan perbuatan hamba, artinya berkaitan dengan perbuatan pribadi tertentu dan satu pribadi tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan pribadi yang lain. Syirkah adalah hukum syariah. Jadi hukum syirkah itu berkaitan dengan pribadi orang yang ber-syirkah. Jika di dalam syirkah itu tidak ada badan yang menjadi sandaran hukum syirkah maka artinya syirkah itu tidak ada, dan berikutnya hukum syirkah itu juga tidak terjadi karena obyek hukumnya tidak ada. Atas dasar semua itu, di dalam akad syirkah tersebut harus ada pihak yang di dalam akad syirkah dinyatakan sebagai mutasharrif syirkah, yaitu pribadi yang diakadkan untuk menjalankan aktivitas syirkah. Mudahnya, di dalam akad syirkah harus ada pihak yang menjadi pengelola syirkah yang bukan

sekadar sebutan, tetapi pengelola sebagaimana yang dimaksudkan dalam hukum syirkah dengan segala konsekuensinya. Pembagian Keuntungan dan Kerugian Yang dijadikan patokan adalah prinsip profit and lost sharing (bagi-hasil keuntungan dan kerugian), bukan revenue sharing (bagi-hasil pendapatan). Keuntungan dan kerugian itu mengikuti kontribusi syark(mitra). Kontribusi para mitra itu bisa berupa harta/modal, bisa berupa aktivitas (tasharruf) (tenaga, pikiran dan waktu) menjalankan aktivitas bisnis syirkah itu. Prinsip dalam sharing keuntungan dan kerugian itu adalah seperti ungkapan oleh Ali bin Abi Thalib ra. yang diriwayatkan oleh Abdurrazaq di Mushannaf-nya:


Kerugian itu berdasarkan harta (modal), sedangkan keuntungan berdasarkan kesepakatan mereka (para mitra). Prinsip (hukum) ini juga dipegang oleh asy-Syabi, al-Hasan, Ibn Sirin, Qatadah, al-Hakam, Hamad, Thawus, Ibrahim, Abu Qilabah dan lainnya (Lihat: Abdurrazaq, Mushannaf Abd ar-Razq, viii/248 dst, al-Maktab al-Islami, Beirut. 1403; Ibn Abiy Syaibah, Mushannaf Ibn Abiy Syaybah, iv/477-478, Maktabah arRusyd, Riyadh, 1409). Dalam hal ini bukan berarti pengelola tidak merugi. Pengelola menanggung kerugian aktivitas tasharruf-nya, yaitu rugi tenaga, pikiran dan waktunya.Sebab ketika syirkah itu impasapalagi rugimaka pengelola itu tidak akan mendapat bagian laba sama sekali. Sebab, tidak ada laba yang bisa dibagi. Artinya. semua jerih payah, tenaga, pikiran, waktu, dsb yang ia curahkan dalam mengelola atau menjalankan syirkah itu tidak mendapat hasil apa-apa. Itulah bentuk kerugian yang dialami oleh pengelola. Pembagian laba itu dilakukan di akhir tiap periode syirkah setelah dilakukan perhitungan rugi-laba. Sebab, saat itulah diketahui besaran labanya.Untuk itu, mengingat kemaslahatan pengelola, periode syirkah itu hendaknya dibuat pendek. Perlu dingat bahwa syirkah termasuk aqd[un] mustamirr[un] (akad kontinu). Artinya, setiap kali suatu periode berakhir, secara otomatis akadnya diperbarui. Jika ada mitra yang keluar, sementara para mitra lain tidak, maka akad syirkah itu dibatalkan untuk mitra yang keluar itu dan secara otomatis diperbarui untuk para mitra yang tidak keluar. Dengan begitu periode syirkah bisa dibuat pendek, seperti bulanan, mingguan bahkan untuk bisnis tertentu bisa harian. WalLh alam bi ash-shawb. [Yahya Abdurrahman]

http://hizbut-tahrir.or.id/2011/10/03/syirkah/

Milik Umum
Al-Milkiyah (kepemilikan) secara syari adalah izin dari Allah sebagai pemilik hakiki untuk memanfaatkan suatu harta. Izin dari Allah itu merupakan hukum-hukum yang berlaku terhadap harta tersebut. Jika yang diberi izin adalah masyarakat umum secara bersama-sama, maka harta itu menjadi milik umum (al-milkiyah al-mah). Dengan begitu, al-milkiyah al-mah (public ownership) adalah izin dari Allah kepada publik atau masyarakat umum untuk secara sama-

sama (berserikat) memanfaatkan suatu harta. Izin yang diberikan kepada publik itu sama, tidak ada perbedaan antara satu anggota masyarakat dengan yang lain dalam memanfaatkan harta tersebut. Jenis-Jenis Harta Milik Umum Harta yang termasuk milik umum adalah jenis-jenis harta yang pemanfaatannya ditetapkan oleh Asy-Syri untuk masyarakat umum secara bersama-sama. Jenis harta yang termasuk dalam al-milkiyah al-mah ada tiga kelompok. Kelompok pertama: harta yang merupakan fasilitas umum yang jika tidak ada akan terjadi sengketa dalam mencarinya. Dasarnya adalah riwayat Abu Hurairah bahwa Rasul saw. bersabda:

:
Tiga hal yang tidak boleh dihalangi (dari manusia) yaitu air, padang dan api (HR Ibn Majah). Abu Khidasy Hibban bin Zaid asy-Syarabi meriwayatkan dari salah seorang Sahabat Nabi saw. yang berkata: Aku pernah berperang bersama Rasul sebanyak tiga kali dan aku pernah mendengar beliau bersabda:


Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api (HR Abu Dawud, Ahmad, al-Baihaqi dan Ibn Abi Syaibah).1 As-Sarakhsi dalam Al-Mabsth menjelaskan, Di dalam hadis ini terdapat penetapan berserikatnya manusia baik Muslim maupun kafir dalam ketiga hal itu. Demikian juga penafsiran perserikatan ini dalam air yang mengalir di lembah dan sungai besar seperti Jihun, Sihun, Eufrat, Tigris dan Nil. Status pemanfaatanya seperti pemanfaatan matahari dan udara; Muslim maupun non-Muslim memiliki hak yang sama saja. Tidak seorangpun boleh menghalangi seseorang dari pemanfaatan itu. Statusnya seperti pemanfaatan jalan umum untuk berjalan di jalan itu. Maksud mereka dari frasa syarikah bayna anns(berserikat di antara manusia) adalah penjelasan ketentuan pokok kebolehan dan kesetaraan (muswah) di antara manusia dalam hal pemanfaatan (ketiganya), bukan karena ketiganya milik mereka. Jadi air di lembah itu bukan milik seseorang.2 Redaksi hadis di atas menggunakan isim jamid sehingga mengesankan berserikatnya masyarakat dalam sembarang air, padang dan api. Namun jika dikaji lebih jauh, ternyata Rasulullah saw. membolehkan sumur di Thaif dan Khaibar dimiliki oleh individu untuk menyirami kebun. Rasul juga membolehkan Utsman ra. membeli sumur dari seorang Yahudi di Madinah yang kemudian ia wakafkan. Seandainya berserikatnya manusia itu karena zatnya, tentu Rasulullah saw. tidak akan membolehkan sumur itu dimiliki oleh individu, atau diperjualbelikan seperti dalam kasus Utsman ra. itu. Dengan demikian, berserikatnya masyarakat dalam air, padang rumput dan api itu bukan karena zatnya, tetapi karena keberadaannya yang dibutuhkan oleh masyarakat, yang jika tidak ada akan terjadi perselisihan atau masalah dalam mencarinya. Sifat ini menjadi illat istinbthan perserikatan manusia dalam ketiga hal itu. Kaidah ushul menyatakan, Al-Hukm yadru maa illatihi wujdan wa adaman (Ada dan tidaknya hukum mengikuti ada dan tidaknya illat). Karena itu, masyarakat berserikat bukan hanya pada fasilitas umum yang berupa air, apimencakup sumber energi danpadang rumput saja, tetapi juga dalam semua harta yang memenuhi sifat sebagai fasilitas umum yang keberadaannya dibutuhkan masyarakat secara bersama yang jika tidak ada akan terjadi perselisihan dalam mencarinya. Kelompok kedua: barang tambang yang depositnya besar. Abyadh bin Hammal ra. bercerita:

.
Ia pernah datang kepada Rasulullah saw. dan meminta diberi tambang garam. Lalu Beliau memberikannya. Ketika ia pergi, seorang laki-laki yang ada di majelis itu berkata, Tahukah Anda apa yang Anda berikan, tidak lain Anda memberinya laksana air yang terus mengalir. Ia berkata: Rasul lalu menariknya dari Abyadh bin Hammal (HR Abu Dawud, atTirmidzi, Ibn Majah, Ibn Hibban, dll).

Riwayat ini berkaitan dengan barang tambang garam, bukan garam itu sendiri. Apalagi dalam riwayat an-Nasai dari Amru bin Yahya bin Qais jelas disebutkan madin al-milh(barang tambang garam). Awalnya Rasul saw. memberikan tambang garam itu kepada Abyadh. Namun, ketika beliau diberi tahu tambang itu seperti al-ma aliddu, maka Rasul menariknya kembali dari Abyadh. Al-ma aliddu adalah yang terus mengalir tidak terputus, artinya cadangannya besar sekali. Jadi, sebab (illat) penarikan tambang itu adalah keberadaanya yang terus mengalir tak terputus, yaitu cadangannya besar sekali.Karena itu, semua barang tambang yang cadangannya besar sekalibaik barang tambang permukaan ataupun di perut bumi; baik berupa benda padat seperti besi, emas, perak, dsb atau berupa cair seperti minyak bumi maupun berupa gas seperti gas bumimaka semua itu termasuk dalam cakupan hadis di atas, yaitu merupakan milik umum. Kelompok ketiga: harta yang tabiat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki individu seperti sungai, danau, laut, jalan umum, lapangan, masjid, dsb; yaitu harta-harta yang mencakup kemanfaatan umum. Meski harta milik publik jenis ketiga ini seperti jenis pertama, yaitu merupakan fasilitas umum, jenis ini berbeda dari sisi sifatnya, yaitu bahwa tabiat pembentukannya menghalangi jenis harta ini untuk dimiliki oleh pribadi. Ini jelas berbeda dari jenis pertama yang zatnyamisalnya airboleh dimiliki individu, namun individu dilarang memilikinya jika dibutuhkan oleh masyarakat. Jadi meskipun dalil harta kelompok ketiga ini adalah berlakunya illat syariyyah (keberadaannya sebagai fasilitas umum yang dibutuhkan oleh masyarakat), esensi zatnya menunjukkannya sebagai milik umum dan tidak boleh dimiliki secara pribadi. Karena itu, kelompok harta ini menjadi kelompok tersendiri yang dibedakan dari kelompok pertama. Ini meliputi sungai, danau, laut, selat, teluk, jalan umum, dsb; juga bisa mencakup masjid, sekolah negara, rumah sakit negara, lapangan, dsb. Haram Dikuasai Individu Penguasaan oleh individu atas harta milik umum akan membahayakan masyarakat, menyebabkan eksploitasi atas masyarakat, menghalangi akses masyarakat terhadapnya, menyebabkan konsentrasi kekayaan pada segelintir orang dan masyarakat tidak bisa mendapatkan manfaat yang besar dan strategis dari harta milik umum itu. Karena itu, harta milik umum itu haram dikuasai individu atau swasta. Hal itu tampak jelas dalam hadis almuslimn syurak dan dalam penarikan Rasul saw. atas tambang yang semula diberikan kepada Abyadh bin Hammal. Dengan demikian semua harta milik umum itu harus dikelola oleh negara yang mewakili masyarakat. WalLh aam bi ash-shawb. [Yahya Abdurrahman] Catatan kaki: 1 Hadis ini shahih (lihat: Ibn Abdil Bar, al-Istib, IV/1635; Ibn Hajar al-Ashqalani, Talkhsh al-Habr, iii/65, Madinah al-Munawarah. 1964; al-Albani, Irw al-Ghall, vi/6-9, Maktab alIslami, Beirut, cet. ii. 1405/1985). Abu Hatim mengatakan: Abu Hidasy tidak berjumpa dengan Nabi saw. dan ia disebutkan dalam riwayat Abu Dawud adalah Hibban bin Zaid asySyarabi. Ia seorang tabiun yang maruf -sudah dikenal- (Talkhsh Habr, iii/65). Dalam riwayat-riwayat tersebut, Abu Hidasy berkata bahwa ia mendengarnya dari salah seorang Sahabatdalam riwayat Abu Dawud dari salah seorang Muhajirin, tapi tidak ia sebutkan namanya. Tidak ada penyebutan nama Sahabat tidak membahayakan sanadnya, sebab menurut ahlus sunah semua Sahabat adalah tsiqat, apalagi dalam sebagian riwayat disebutkan Sahabat itu adalah seorang Muhajirin (lihat: Az-Zailai, Nashb ar-Ryah, iv/352, Dar al-Hadits, Mesir. 1357; Irw al-Ghall, vi/6-9). Adapun yang dinilai dhaif adalah riwayat Ibn Majah dan lainnya dari Ibn Abbas dengan lafal: al-muslimn syuraku f tsalts: al-m wa al-kal wa an-nr wa tsamanuhu harm(Kaum muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang dan api dan harganya haram). Di dalam sanadnya ada Abdullah bin Hirasy dan dia matruk. Dia disahihkan oleh Ibn as-Sakan (Talkhsh al-Habr, iii/65). Al-Bukhari berkata: Abdullah bin Hirasy dari al-Awam bin Hawsyab, munkar al-hadits. Abu Hatim berkata: ia dzhib al-hadts. Penilaian ini disetujui oleh Ibn al-Qaththan (Nashb ar-Ryah, iv/352). Ia didhaifkan oleh Abu Zurah, alBukhari, an-Nasai, Ibn Hibban dan lainnya. Ibn Amar menyebutnya pendusta (Irw alGhall, vi/6-9).

2 As-Sarakhsi, al-Mabsth, xxiii/164, Dar al-Marifah, Beirut. 1406.

http://hizbut-tahrir.or.id/2011/03/02/milik-umum/

Penjaminan Masalah penjaminan dijelaskan oleh syariah dan dibahas oleh para fukaha dengan istilahadh-dhamn. Adh-dhamn adalah bentuk mashdar dari dhaminayadhmanu dhamn[an] wa dhamn[an]. Secara bahasa adh-dhamn artinya alkaflah (pertanggungan) atau al-iltizm (pertanggungan jawab). Menurut Allamah Abul Hasan al-Mawardi dalam al-Hw al-Kabr, adhdhamn dibentuk dari dhammu dzimmah il dzimmah (memasukkan jaminan pada jaminan pihak lain). Zakaria al-Anshari di dalam Asn alMathlibmenjelaskan bahwa akad yang terjadi untuk itu disebut adhdhamn. Orang yang berkomitmen menjamin disebut dhmin, dhamn, haml, zam, kfil, kafl, shabr dan qabl, yang secara bahasa artinya sama: penjamin. Al-Mawardi berkata, Hanya saja dalam urf(tradisi) yang berlaku, adh-dhamn digunakan dalam harta, alhaml dalam diyat, az- zamdalam harta yang besar, al-kfil dalam jiwa (diri) dan ash- shabr dalam semuanya. Secara syarI, menurut Imam al-Ghazali di dalam Al-Wasth, adhdhamn adalah tadhmn ad-dayn f dzimmah adh-dhmin hatt yashra muthlaban bihi maa al-ashl(memasukkan hutang dalam tanggung jawab penjamin hingga ia menjadi dituntut dengan kewajiban hutang itu bersama dengan aslinya). Zakaria al-Anshari di dalam Asn alMathlib menyatakan bahwa adh-dhamn adalah iltizm haqqin tsbitin f dzimmah al-ghayr (komitmen untuk bertanggung jawab atas hak yang terbukti ada dalam tanggungan pihak lain). Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam an-Nizhm al-Iqtishd f alIslm dan Ibn Qudamah di dalam Al-Mughn, al-Kfi f Fiqh Ibn Hanbal dan asy-Syarh al-Kabrmenjelaskan bahwa adhdhamn adalah dhammu dzimmah adh-dhmin il dzimmah al-madhmn anhu f iltizm al-haqq (memasukkan jaminan penjamin pada tanggungan pihak yang dijamin dalam kewajiban menunaikan hak). Hak yang dimaksud di sini adalah hak-hak inancial yang wajib ditunaikan. Ketentuan adh-Dhamn Hadis berikut menjelaskan tentang adh-dhamn itu sekaligus menjadi dalil kebolehannya. Jabir bin Abdullah ra. Berkata: : : : Kepada Nabi saw. pernah didatangkan sesosok jenazah agar beliau menshalatkannya. Lalu beliau bertanya, Apakah ia punya hutang? Para Sahabat berkata, Benar, dua dinar.Beliau bersabda, Shalatkan teman kalian! Kemudian Abu Qatadah berkata, Keduanya (dua dinar itu) menjadi kewajibanku, ya Rasulullah. Nabi saw. pun lalu menshalatkannya(HR Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai dan al-Hakim). Imam al-Bukhari meriwayatkan hadis ini dari Salamah bin al-Akwa dan disebutkan bahwa utangnya tiga dinar. Di dalam riwayat Ibn Majah dari Abu Qatadah, ia ketika itu berkata, Wa an attakaffalu bihi (Aku yang menanggungnya). Di dalam riwayat al-Hakim dari Jabir di atas terdapat tambahan sesudahnya: Nabi bersabda kepada Abu Qatadah, Keduanya

menjadi kewajibanmu dan di dalam hartamu sedangkan mayit tersebut terbebas? Abu Qatadah menjawab, Benar. Lalu Nabi saw. menshalatkannya. Saat bertemu Abu Qatadah Rasul saw. bertanya, Apa yang telah dilakukan oleh dua dinar? Akhirnya Abu Qatadah berkata, Aku telah membayar keduanya, ya Rasulullah. Nabi saw. bersabda, Sekarang engkau telah mendinginkan kulitnya. (HR al-Hakim). Di dalam riwayat ad-Daraquthni dari Abu Said al-Khudzri dituturkan bahwa jenazah itu punya utang dua dinar lalu Ali saat itu berkata, Keduanya kewajibanku ya Rasulullah, dan jenazah itu bebas dari keduanya. Beliau pun menshalatkannya. Lalu beliau bersabda kepada Ali, Semoga Allah membalasmu dengan yang lebih baik dan semoga Allah membebaskan tanggunganmu sebagaimana engkau telah membebaskan tanggungan saudaramu. (HR ad-Daraquthni). Dalam praktik adh-dhamn hadis di atas jelas bahwa ada penjamin (adhdhmin), yaitu Abu Qatadah dan Ali bin Abi Thalib; pihak yang dijamin (al-madhmn anhu), yaitu si mayit; yang mendapat jaminan (almadhmn lahu) yaitu kreditor si mayit; sesuatu yang dijamin (almadhmn bihi) yaitu kewajiban membayar utang si mayit sebesar dua atau tiga dinar. Juga jelas adanya proses memasukkan jaminan penjamin pada tanggungan pihak yang dijamin dalam hal kewajiban menunaikan hak finansial kepada pihak yang menerima jaminan. Dari hadis ini para ulama dan fukaha menyimpulkan bahwa di dalam adhdhamn harus ada: 1. sesuatu yang dijamin (al-madhmn bihi); 2. penjamin (adh-dhmin); 3. pihak yang dijamin (al-madhmn anhu); 4. pihak yang menerima jaminan (al-madhmn lahu). Juga jelas bahwa disitu harus ada dhammu dzimmah il dzimmah (memasukkan jaminan kepada jaminan pihak lain). Jelas pula bahwa penjaminan itu dilakukan tanpa kompensasi. Hanya saja dalam adh-dhamn itu tidak disyaratkan pihak yang dijamin dan yang menerima jaminan harus jelas, melainkan keduanya boleh majhl (tidak jelas). Hal itu karena di dalam hadis di atas, jelas Rasul menyetujui adh-dhamn yang dilakukan oleh Abu Qatadah dan Ali bin Abi Thalib; sementara Ali dan Abu Qatadah, juga Rasul saw, tidak menanyakan siapa jatidiri jenazah itu dan siapa yang memberinya utang. Begitu pula tampak bahwa keridhaan pihak yang dijamin dan yang menerima jaminan tidak menjadi penentu, bahkan adh-dhamn tetap sah tanpa keridhaan keduanya. Adapun adh-dhmin (penjamin) haruslah orang yang secara syari sah melakukantasharruf. Kerelaannya menjadi adh-dhmin merupakan syarat. Dia tidak boleh dipaksa menjadi adh-dhmin. Penjaminan itu merupakan kebaikan atau tabarru (donasi) darinya kepada pihak yang dijamin. Dalam hal ini penjamin (adh-dhmin) tidak boleh menerima kompensasi, seperti yang jelas dalam hadits diatas. Disamping, penjaminan itu merupakan tabarru, bukan akad muwadhah yaitu akad pertukaran barang dan atau jasa sehingga dibenarkan ada kompensasi di dalamnya. Ada satu poin penting yang menentukan apakah secara syari adhdhamn itu ada atau tidak. Yaitu, sehingga adh-dhamn ada maka wajib ada dhammu dzimmah il dzimmah(memasukkan jaminan kepada jaminan pihak lain), yakni dimasukkannya jaminan penjamin (adh-

dhmin) kepada tanggungan pihak yang dijamin (al-madhmn anhu). Jikaal-madhmn anhu tidak memiliki tanggungan maka jelas tidak ada pemasukan jaminan sehingga tidak akan ada adhdhamn (penjaminan). Tanggungan (adz-dzimmah) itu ada jika ada hak atau tanggungan yang wajib ditunaikan atau yang nantinya jadi wajib ditunaikan oleh al-madhmn anhu kepada pihak yang menerima jaminan (al-madhmn lahu). Tanggungan atau hak yang dimaksud adalah tanggungan atau hak finansial. Jadiadh-dhamn itu akan ada pada dua keadaan. Pertama: jika ada hak yang wajib ditunaikan dan terbukti ada dalam tanggungan (haqqun wjibun tsbitun f adz-dzimmah) pihak yang dijamin (al-madhmn anhu). Contohnya adalah hutang si mayit itu. Hutang itu jelas merupakan hak atau tanggungan finansial yang wajib ditunaikan dan terbukti ada dalam tanggungan si mayit. Kedua: jika ada hak atau tanggungan yang nantinya jadi wajib ditunaikan dan terbukti ada dalam tanggungan (haqqun yalu il al-wjib wa tsbit f adz-dzimmah) pihak yang dijamin (al-madhmn anhu). Contohnya, jika A berkata kepada seorang wanita, Menikahlah dan mahar Anda saya jamin. Saat itu, kewajiban mahar itu belum ada. Namun, nanti saat wanita itu menikah maka jelas mahar untuk si wanita itu akan menjadi hak atau tanggungan yang wajib ditunaikan dan terbukti ada dalam tanggungan mempelai pria.Dalam konteks ini A jadi penjamin, mempelai pria jadi pihak yang dijamin dan wanita itu jadi pihak yang mendapat jaminan. Contoh lain, A berkata kepada B, Juallah sepedamu secara kredit kepada C, saya yang menjaminnya. Asuransi pada hakikatnya bisa dilihat sebagai salah satu bentuk adhdhamn. Dari sisi ini asuransi harus memenuhi ketentuan adh-dhamn itu hingga secara syari bisa dinilai legal dan absah. Namun jika ditelaah praktik asuransi saat ini (termasuk mungkin asuransi syariah) tampak tidak memenuhi ketentuan adh-dhamn itu. Sebab dalam praktik asuransi, tertanggung tidak memiliki kewajiban atau tanggungan finansial (adz-dzimmah) yang sudah wajib atau nantinya wajib ia tunaikan kepada seorang pun. Jadi tidak ada adz-dzimmah, sehingga tidak akan ada dhammu adz-dzimmah il adz-dzimmah. Artinya tidak ada adh-dhamn. Dalam ketentuan adh-dhamn, kewajiban finansial itulah adalah al-madhmn (sesuatu yang dijamin), sementara dalam praktik asuransi hal itu tidak ada, sehingga pihak yang dijamin (almadhmn anhu) pun tidak ada. Jadi praktik asuransi tidak memenuhi unsur-unsur yang harus ada sehingga sah secara syari sebagai adh-dhamn. Maka dilihat dari sisi adh-dhamn ini, asuransi secara syaribatil. Ditambah lagi, dalam asuransi ada kompensasi yang diterima oleh penanggung. Hal itu jelas menyalahi ketentuan syariah tentang adhdhamn. Karena semua itu, praktik asuransi itu hukumnya jadi haram. WaLlh alam wa ahkam. [Yahya Abdurrahman]

http://hizbut-tahrir.or.id/2010/03/09/penjaminan/

Maslahat

Maslahat (al-mashlahah, bentuk pluralnya al-mashlih) adalah mashdar (gerund) mimdari kata shalahayashlahu wa yashluhushulhan wa shalh[an]; bisa juga dari katashaluha yashlahushulhan wa shalh[an]. Secara bahasa artinya adalah lawan darifasd (kerusakan). Karena itu, ishlh dan istishlh adalah lawan dari ifsd dan istifsd; maslahat adalah lawan dari mafsadat. Di dalam Mujam al-Wasth dikatakan shalaha shalhan wa shulh[an], artinya fasad (kerusakan) hilang darinya. Sesuatu yang bermanfaat dan sesuai dikatakan: yashlahu laka. Juga dinyatakan, mashlahah adalah ash-shalh dan manfaat. Abu al-Abbas al-Fayyumi dalam Mishbh al-Munr f Gharb asySyarh al-Kabrmengatakan, wa ashlahtuhu fa shalaha wa ashlaha adalah membawa ash-shalh, yaitu kebaikan (al-khayr) dan yang benar/sesuai (ash-shawb). Di dalam perkara tersebut terdapat mashlahah, yaitu terdapat kebaikan (al-khayr). Dengan demikian, maslahat secara bahasa dapat dimaknai sebagai manfaat, kebaikandan jauh dari kerusakan. Jadi, maslahat itu meliputi salah satu dari dua sisi atau keduanya sekaligus: sisi mendatangkan manfaat atau kebaikan serta sisi menghilangkan/mencegah kerusakan (mafsadat) dan bahaya (madharat)jalb al-manfi aw al-khayr wa dafu al-mafsid aw almadharrah. Al-Quran dan as-Sunnah di banyak tempat menggunakan kata ishlh sebagai lawan dariisfsd. (Lihat, misalnya: QS al-Baqarah [2]: 11; al-Araf [7]: 85 dan asy-Syuara [26]: 152.Adapaun di dalam hadis, misalnya, Abdurrahman bin Sanah mendengar Rasul saw. pernah bersabda:
: :

Islam itu awalnya asing, kemudian akan kembali menjadi asing seperti awalnya. Karena itu, beruntunglah orang yang asing. Ditanyakan, Ya Rasulullah, siapa orang yang asing itu? Beliau bersabda, Mereka yang melakukan perbaikan pada saat masyarakat melakukan rusak (HR Ahmad). Jadi, al-Quran dan as-Sunnah menggunakan kata ishlh dan ashshalhyang merupakan asal dari mashlahahdalam makna bahasanya, yaitu lawan dari ifsd danfasd. Kata mashlahah sendiri tidak ditemukan di dalam nash baik al-Quran maupun as-Sunnah. Hal itu menunjukkan bahwa syariah tidak mendefinisikan

kata mashlahah secara spesifik dan tidak mengalihkan pengertian dan maknanya dari makna bahasanya. Dalam perkembangannya, istilah maslahat ini jadi menonjol dalam kajian ushul fikih dan para ulama ushul fikih. Akhirnya, istilah mashlahah menjadi salah satu istilah yang populer dalam kajian ushul fikih dan memiliki pengertian tersendiri yang lebih khusus daripada makna bahasanya. Ibn Qudamah di dalam Rawdhah an-Nzhir wa Jannah alMunzhir menyatakan,mashlahah adalah mendatangkan manfaat dan menolak bahaya (jalb al-manfaah wa dafu al-madharrah). Imam al-Ghazali berkata di dalam al-Mustashf f Ilm al-Ushl: Maslahat pada dasarnya adalah ungkapan tentang mendatangkan manfaat dan menolak madarat. Yang kami maksudkan bukan itu. Jalb al-manfaah wa dafu al-madharrahadalah maksud/tujuan makhluk dan kebaikan makhluk ada dalam pencapaian maksud/tujuan mereka. Akan tetapi, yang kami maksudkan dengan mashlahah adalah penjagaan atas maksud/tujuan syariah. Maksud/tujuan syariah dari makhluk ada lima: menjaga agama, jiwa, akal, keturunan (nasab) dan harta mereka. Semua hal yang menjelaskan penjagaan lima dasar ini adalah maslahat. Semua yang melalaikan pokok-pokok ini adalah mafsadat. Sebaliknya, menolaknya, yaitu menolak semua hal yang mengabaikan pokokpokok itu, adalah maslahat. Menurut Imam asy-Syathibi dalam Al-Muwfaqt, pada dasarnya syariah ditetapkan untuk mewujudkan kemaslahatan hamba (mashlih al-ibd), baik di dunia maupun di akhirat.Kemudian Beliau membagi maslahatyang juga disebut maqshidmenjadi tiga jenis: maslahat dharriyah, hjiyat dan tahsniyat. Disebut dharriyah kare na maslahat ini harus ada dalam menegakkan kemaslahatan agama dan dunia; jika tidak ada maka kemaslahatan dunia tidak akan berjalan lurus; ia akan berjalan di atas kerusakan, kacau dan kehidupan hilang. Dharriyah terdiri dari menjaga agama, jiwa, keturunan (nasab), harta dan akal. Disebut hjiyat karena hal itu diperlukan untuk merealisasikan kelapangan dan menghilangkan kesempitan dan kesukaran, contohnya rukhshah. Adapun tahsniyatmaknanya adalah mengambil kebaikan (perhiasan-perhiasan) tradisi dan menjauhi kondisi yang kotor; semua itu dihimpun oleh bagian akhlak mulia, seperti bersuci, menutup aurat, berhias, ber-taqarrub dengan amalan sunnah, sedekah, dsb.

Hukum Syariah Pasti Membawa Maslahat Allah Swt. mengutus Rasul saw dengan membawa risalah sebagai rahmat:

Tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam. (QS al-Anbiya [21]: 107). Allah menyatakan, tidak ada tujuan lain dari diutusnya Rasul saw., kecuali sebagai rahmat. Rasul diutus dengan membawa risalah. Artinya, risalah Islam ini diturunkan tidak lain sebagai rahmat. Jadi keberadaan risalah yang diterapkan di tengah-tengah manusia, itulah rahmat. Allah SWT juga berfirman:

Kami menurunkan dari al-Quran sebagai penawar dan rahmat bagi orang-orang Mukmin(QS al-Isra [17]: 82). Kedua ayat ini menunjukkan maksud yang dituju dari diturunkannya risalah dan al-Quran, yaitu sebagai obat dan rahmat. Hal itu adalah tujuan yang ingin dicapai, hasil dari penerapannya. Rahmat maknanya adalah mendatangkan manfaat dan menolak mafsadat. Itulah maslahat. Jadi, rahmat, yakni maslahat, itulah maksud atau tujuan hasil diterapkannya risalah. Penetapan sesuatu sebagai maslahat atau bukan hanya diserahkan pada syariah. Syariahlah yang mendatangkan maslahat. Syariah pula yang menentukan mana yang maslahat bagi manusia karena yang dimaksud maslahat adalah maslahat bagi manusia sebagai manusia. Maslahat bagi individu sekalipun adalah maslahat baginya sebagai manusia, bukan sebagai individu. Penentuan maslahat itu tidak boleh diserahkan pada akal semata. Sebab, akal terbatas, tidak mengetahui fakta dan hakikat manusia sehingga tidak bisa mengetahui hakikat maslahat dan mafsadat bagi manusia. Manusia dengan akalnya hanya bisa menduga sesuatu sebagai maslahat atau mafsadat. Namun, sering manusia salah menilai: manfaat dianggap mafsadat dan madarat dianggap maslahat.Penilaian manusia itu juga bisa berubah-ubah seiring waktu, tempat dan kondisi. Karena itu, menyerahkan penentuan maslahat dan mafsadat pada akal justru mengundang bahaya. Pasalnya, akal bisa saja menentukan sesuatu

sebagai maslahat, padahal justru madarat. Jika sudah demikian, bencana pun menjadi keniscayaan. Allah Swt. mengingatkan bahwa manusia memang tidak mengetahui hakikat maslahat dan mafsadat itu; hanya Allah sajalah yang mengetahuinya. Allah Swt. berfirman:

Boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagilian. Boleh jadi pula kalian menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagi kalian. Allah mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui (QS alBaqarah [2]: 216). Karena itu, penentuan maslahat itu harus dikembalikan pada syariah, bukan pada akal. Imam Izzuddin bin Abdus Salam di dalam Qawid al-Ahkm f Mashlih al-Anm halaman 13 menyatakan, Kebanyakan maslahat dan mafsadat dunia diketahui dengan akal. Beliau berkata pada halaman 14, Maslahat dan mafsadat dunia sama sekali tidak sebanding dengan maslahat dan mafsadat akhirat. Beliau juga berkata di halaman 13, Adapun maslahat dan mafsadat dunia dan akhirat maka tidak bisa diketahui kecuali dengan syariah. Walhasil, maslahat adalah apa yang dituntut atau dibolehkan oleh syariah; mafsadat adalah apa saja yang dilarang dan tidak dibolehkan oleh syariah. Dalam hal ini, para Sahabat telah memberikan contoh yang bisa kita teladani. Rafi bin Khadij berkata, pamannya berkata ketika Rasul saw. melarang mereka dari muzraah/mukhbarah,yaitu menyewakan lahan pertanian:

Rasulullah saw. telah melarang kami dari satu perkara yang bermanfaat bagi kami, tetapi ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya lebih bermanfaat bagi kami (HR Muslim, Abu Dawud, an-Nasai dan Ahmad). WaLlh alam bi ash-shawb. [Yahya Abdurrahman] http://hizbut-tahrir.or.id/2009/04/11/maslahat/ Qard[un] (Utang) Al-qardhu berasal dari kata qaradhayaqriduqardh[an]. Secara bahasa arti asalnya adalah al-qathu (potongan). Utang disebut qardh[un] karena kreditor (yang memberi utang) seakan telah memotong dari harta miliknya sepotong harta yang ia utangkan. Di

dalam berbagai kamus dikatakan bahwa al-qardhu adalah harta yang diberikan untuk dibayar kembali belakangan. Hukum Memberi utang kepada orang yang sedang kesulitan merupakan salah satu bentuktaqarrub kepada Allah Swt. Memberi utang bagi kreditor hukumnya sunnah. Abu Hurairah ra. meriwayatkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda: Siapa saja yang meringankan suatu kesulitan dunia dari seorang Mukmin niscaya Allah meringankan darinya kesulitan akhirat. Siapa saja yang mempermudah orang yang sedang mengalami kesukaran niscaya Allah memberinya kemudahan di dunia dan akhirat. Siapa saja yang menutupi aib seorang Muslim niscaya Allah menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Allah selalu menolong hamba selama hamba menolong saudaranya(HR Muslim, Abu Dawud dan at-Tirmidzi). Ibn Masud ra. menuturkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda: Tidaklah seorang Muslim memberi utang sebanyak dua kali kepada Muslim yang lain kecuali (pahalanya) seperti sedekah satu kali (HR Ibn Majah, Ibn Hiban dan alBaihaqi). Adapun bagi pihak yang berutang (debitor), berutang hukumnya mubah. Hal itu karena Rasul saw. juga pernah berutang. Aktivitas Beliau itu bukan merupakan penjelasan atas suatu perintah. Juga tidak ada pujian atasnya; tidak tampak maksud taqarrub di dalamnya. Karena itu, berutang hukumnya adalah mubah. Ketentuan tentang Utang Utang merupakan akad. Karena itu, akad utang itu harus memenuhi rukunnya, yaitu: (1) Dua pihak yang berakad yaitu al-muqridh (kreditor/pemberi utang) dan almustaqridh(debitor/yang berutang). (2) Ijab dan qabul, yang bisa menggunakan lafal qardh, atau salaf, atau yang maknanya sama, yaitu utang. (3) Harta yang diutang. Akad utang merupakan akad pemindahan kepemilikan (aqd tamlk) sehingga harus dilakukan oleh orang yang secara syari boleh melakukan tasharruf. Dalam akad utang pihak kreditor memindahkan kepemilikan hartanya kepada debitor. Itu menunjukkan kreditor haruslah pemilik harta yang diutangkan atau orang yang diizinkan oleh pemilik harta tersebut. Akad utang tidak sempurna kecuali dengan serah-terima. Jika harta yang diutang termasuk harta yang ditakar, ditimbang atau dihitung maka harus diserahterimakan zatnya. Al-Mustaqridh (debitor) baru boleh melakukan tasharruf terhadap harta itu setelah diserahterimakan kepadanya zat harta itu. Artinya, harta itu harus sudah di dalam genggamannya. Harta selain yang ditakar, ditimbang dan dihitung, begitu selesai akad, kepemilikan harta itu sah berpindah kepada al-mustaqridh (debitor). Artinya, begitu selesai akad, al-mustaqridh langsung bisa melakukan tasharruf terhadapnya meski harta itu belum ia pindahkan atau belum ia pegang (belum berada di dalam genggamannya). Harta yang diutang secara umum ada dua jenis. Pertama: harta ghayr mitsliy[an], yaitu barang yang tidak mempunyai padanan dan tidak bisa dicarikan padanannya seperti hewan, kayu bakar, pakaian, properti dan barang sejenis yang hanya bisa dihitung berdasarkan nilainya. Secara lebih spesifik utang harta jenis ini disebut dayn.1 Dayn juga mencakup utang berupa kompensasi harta lain dalam akad

pertukaran harta yang penunaiannya ditunda setelah tempo tertentu atau harga barang yang disepakati akan dibayar setelah tempo tertentu. Kedua: harta yang bersifat mitsliy[an] (memiliki padanan dan bisa dicarikan padanannya). Contoh: beras jenis tertentu, kain jenis tertentu, emas, perak, uang dan sejenisnya.Secara umum barang yang standarnya takaran, timbangan dan hitungan, termasuk harta jenis ini. Secara lebih spesifik utang harta jenis ini disebut qardh[un]. Utang dalam bentukqardh[un] ini harus dikembalikan dengan harta yang sama baik dari sisi jenis, jumlah maupun sifatnya. Pembayaran Utang Syariah menetapkan, akad utang tidak boleh dijadikan sebagai cara untuk memperoleh penghasilan, juga bukan sarana untuk melakukan eksploitasi. Syariah melarang utang yang melahirkan tambahan manfaat, baik berupa manfaat lain atau tambahan jumlah harta yang diutang. Tambahan itu adalah riba. Jika tambahan itu disyaratkan di dalam akad maka itu adalah riba dan hukumnya haram. Ali ra. berkata: Sesungguhnya Nabi saw. telah melarang utang yang menarik suatu manfaat (HR alHarits bin Abi Usamah). Ibn al-Mundzir menyatakan, para Sahabat Nabi saw. telah berijmak bahwa kreditor, jika mensyaratkan kepada debitor suatu tambahan atau hadiah, lalu ia memberi utang berdasarkan hal itu maka mengambil tambahan itu adalah riba. 2 Jika tidak disyaratkan di dalam akad, maka jika tambahan itu berupa tambahan jumlah harta yang sama maka jelas itu adalah riba. Jika tambahan itu berupa harta lain seperti dalam bentuk hadiah atau manfaat seperti tumpangan maka itu juga tidak boleh; kecuali yang biasa terjadi diantara keduanya sejak sebelumnya dan bukan karena akad utang itu.Yahya bin Abiy Ishaq al-Hunai menuturkan, Aku bertanya kepada Anas bin Malik ra., tentang seseorang yang mengutangi (memberi qardh) saudaranya harta, lalu saudaranya itu memberinya hadiah. Anas ra., berkata, Rasulullah saw. pernah bersabda: Jika salah seorang di antara kalian memberi utang (qardh), lalu ia diberi hadiah (oleh pengutang) atau si pengutang membawanya di atas hewan tunggangan maka jangan ia menaikinya dan jangan menerima hadiah itu, kecuali yang demikian itu biasa terjadi di antara keduanya sebelum utang-piutang itu (HR Ibn Majah). Ada hadis penuturan Abu Rafi ra.: Nabi saw. pernah berutang seekor anak unta. Lalu datanglah unta sedekah. Kemudian Nabi saw. menyuruhku untuk membayar anak unta itu. Aku berkata, Saya tidak menemukan selain unta yang lebih baik berupa unta umur enam tahun. Rasul saw. bersabda: Berikan kepadanya. Sesungguhnya sebaik-baik manusia adalah yang lebih baik pengembaliannya (HR al-Bukhari, Muslim, Malik, Abu Dawud dan at-Tirmidzi). Dari hadis tersebut jelas pengembalian yang lebih baik itu tidak disyaratkan sejak awal, tetapi murni inisiatif debitor (al-mustaslif). Itu juga bukan tambahan atas jumlah sesuatu yang diutang karena tidak ada tambahan atas jumlah unta yang dibayarkan dan tidak ada pula tambahan apapun atas unta yang diutang. Itu tidak lain adalah pengembalian yang semisal dengan apa yang diutang; seekor hewan dengan seekor hewan, namun lebih tua dan lebih besar tubuhnya. Itulah yang dimaksud dengan pengembalian yang lebih baik (husn al-qadh). Secara syari husn al-qadh hukumnya boleh. Husn al-qadh adalah mengembalikan utang semisal apa yang diutang (jumlah dan jenisnya) tetapi dengan kualitas atau

ukuran lebih baik. Jika diperhatikan, husn al-qadh ini bisa dilakukan dalam utang yang berbentuk dayn dan tidak dalam qardh[un]. Utang dalam bentuk qardh[un] harus dikembalikan dengan harta yang sama baik jenis, ukuran, sifat, dan jumlahnya. Memberi Tangguh dan Pengurangan Utang Memberi tangguh kepada orang yang kesukaran saat jatuh tempo, baik dalam utang berupa dayn ataupun qardh, hukumnya sunah (QS al-Baqarah [2]: 280). Memberi potongan, utang baik sebagian atau semua, hukumnya juga sunah. Abu Qatadah berkata, bahwa Rasul saw. pernah bersabda: Siapa yang senang diselamatkan Allah dari kesulitan pada Hari Kiamat maka hendaknya memberi keringanan kepada orang yang sedang kesukaran atau menggugurkan utangnya (HR Muslim). Pengurangan utang itu harus inisiatif murni dari kreditor dalam bentuk tabarru(pemberian). Pengurangan utang itu tidak boleh disyaratkan sejak awal di dalam akad, baik jumlah, kualitas atau ukurannya. Pengurangan itu juga tidak boleh diberikan sebagai kompensasi dari percepatan pembayaran utang baik permintaan dari kreditor atau dari debitor. Sebab, yang demikian adalah riba. Segera Membayar Utang Sebelum Ajal Rasul saw. pernah bersabda: Jiwa seorang Mukmin tergantung karena utangnya hingga hutangnya dibayarkan (HR Ahmad, ad-Darimi, Ibn Majah dan at-Tirmidzi). WaLlh alam wa ahkam. [Yahya Abdurrahman] Catatan kaki: 1. Dayn lebih umum daripada qardh. Dayn sebenarnya juga
mencakup qardh. Setiapqardh adalah dayn, tetapi tidak setiap dayn adalah qardh. Lihat perbedaan keduanya dalam Samih Athif azZain, Al-Muamalat, hlm. 285 dan 303-304, Dar al-Kitab al-Lubnani, Lebanon, cetakan I, 1995; Abu Hilal al-Askari, Al-Furuq al-Lughwiyah, 1/425. Adapun terkait dengan pemanfaatan agunan utang baik dayn atau qardh lihat: an-Nabhani, AsySyakhshiyyah al-Islmiyyah, II/340-343, min mansyurat Hizb at-Tahrir, Dar alUmmah, Beirut, cet. v (mutamadah). 2003. Muhammad bin Ibrahim bin al-Mundzir an-Nisaburi, Al-Ijm, 1/95, ed. Dr. Fuad Abdul Munim Ahmad, Dar ad-Dawah, Iskandariyah, cet. iii. 1402.

2.

http://hizbut-tahrir.or.id/2008/12/30/qardun-utang/ An-Nuqd (Uang) Manusia tidak bisa memenuhi segala kebutuhannya dari produksinya sendiri. Ia perlu mempertukarkan barang atau harta miliknya dengan milik orang lain. Pada mulanya itu dilakukan secara langsung (sistem barter). Namun, sistem ini menyulitkan. Misalnya, seorang petani ingin menukarkan berasnya dengan kambing. Padahal pemilik kambing belum tentu menginginkan beras. Untuk itu, perlu sesuatu yang bisa menjadi alat pertukaran agar petani bisa menukarkan berasnya dengan sesuatu, lalu menukarkan sesuatu itu dengan kambing. Alat tukar itu adalah sesuatu yang diterima umum sebagai

satuan untuk menakar nilai barang dan jasa. Sesuatu yang menjadi satuan hitung itu disebut uang (money/an-naqd). Jadi, uang bisa diartikan sebagai sesuatu yang diistilahkan oleh manusia untuk menjadi harga bagi barang dan upah atas tenaga dan jasa, baik berupa uang logam atau selainnya. Dengan uang seluruh barang, tenaga dan jasa bisa dinilai dan dipertukarkan. Pada tahap awal, berbagai komoditas pernah dijadikan sebagai uang, seperti hewan (sapi, domba dan unta), biji-bijian (barley, beras, jagung dsb), garam, kulit kerang, dsb. Tahapan ini disebut tahapan uang komoditas (an-nuqd as-silaiyyah/commodity money). Karena banyak kesulitan, lalu diganti dengan uang logam. Tahapan ini disebut tahapan uang logam (an-nuqd al-madaniyah/metalic money). Sekitar tahun 1000 SM, orang Cina membuat mata uang dari perunggu dan tembaga berbentuk lempengan bundar berlubang di tengah sehingga bisa direnteng dengan tali. Kemudian pada abad ke7 SM, penduduk Lydia di Asia Kecil membuat mata uang dari elektrum (campuran alami antara emas dan perak). Pada abad yang sama di Yunani juga dicetak mata uang dari emas. Di Makedonia, Raja Philip Macedoni juga mencetak mata uang dari emas yang kemudian disebut Philipi. Selanjutnya Alexander Agung mencetak mata uang emas dan menstandarkan timbangannya. Mata uang emas Romawi (Byzantium) disebut Solidos, sedang mata uang Yunani disebut Drachma, berat keduanya sama yaitu 4,25 gr. Adapun mata uang perak pertama dibuat pada abad ke-3 SM di kuil penyembahan dewa Hera di Capitoline, yaitu kuil Juno Moneta (dari sinilah muncul sebutan money). Lalu Persia juga mencetak mata uang perak itu dan menjadikannya mata uang resmi. Selanjutnya dinar Byzantium dan dirham Persia itu menyebar ke Arab dan digunakan sebagai uang. Orang Arab, khususnya Quraisy, mendapat dinar Byzantium dari perdagangan mereka ke Syam. Adapun dirham Persia mereka peroleh dari perdagangan ke timur (Irak dan Iran). Kadang dari perdagangan ke Yaman mereka mendapat dirham Himyariyah, meski jumlahnya sedikit. Dinar Byzantium dan dirham Persia itu terus digunakan hingga masa Nabi saw. Beliau mendiamkan (menyetujui) penggunaan keduanya sebagai uang. Kondisi ini terus berlangsung sampai Khalifah Umar bin al-Khaththab pada tahun 20 H mencetak dirham sama persis dengan dirham Persia, hanya ditambahkan tulisan Arab Bismillh dan Bismillhi Rabbi. Dinar Byzantium dan dirham cetakan masa

Umar itu terus digunakan sampai pada tahun 75 atau 76 H, khalifah Abdul Malik bin Marwan mencetak dirham khusus dengan corak islami, dengan tulisan Arab, tetapi timbangannya sama dengan dirham Persia (2,975 gr). Pada tahun 77 H Abdul Malik mencetak Dinar dengan corak islami dengan berat 4,25 gr. Sejak saat itu dinar dan dirham yang resmi digunakan dalam Khilafah Islam bercorak islami dan tidak lagi bercorak bizanti dan sasani. Dinar dan Dirham itu tetap menjadi mata uang Khilafah hingga Khilafah Utsmani runtuh pada tahun 1924. Di Eropa setelah Romawi, mata uang yang digunakan tetap mata uang emas dan perak.Adapun di Cina, uang kertas sudah dicetak dan digunakan di Cina pada abad ke-9 M. Uang kertas saat itu di-back up sepenuhnya dengan emas (uang kertas substitusi). Artinya, sistem mata uang digunakan di dunia adalah mata uang emas dan perak atau berbasis emas dan perak. Sistem ini terus berlanjut sampai tahun 1944 dalam perjanjian Breeton Wood, mata uang dunia disandarkan pada emas yang di-back up dengan emas meski tidak secara penuh. Sistem mata uang emas baru ditinggalkan sejak Presiden AS, Richard Nixon, pada 15 Agustus 1971 mengumumkan dolar lepas dari sistem Bretton Woods. Sejak itu sistem mata uang emas ditinggalkan total dan digantikan dengan sistem mata uang kertas yang sama sekali tidak di-back-up dengan emas dan atau perak. Uang kertas jenis ini disebutfiat money dan digunakan di seluruh dunia hingga sekarang.

Mata Uang Islam Dalam hal pertukaran barang dan jasa dengan satuan uang, Islam telah menunjuk emas dan perak. Hal itu bisa diketahui dari: Pertama, Allah SWT mengharamkan menimbun harta (kanz al-ml) dan mengkhususkannya pada emas dan perak (lihat QS at-Taubah [9]: 34) dan disebut kanz al-ml. Padahal harta bukan hanya emas dan perak saja. Penimbunan harta yang lain itu tidak disebut kanz[un] tetapi ihtikr. Saat ayat ini diturunkan, emas dan perak selain sebagai zat juga berfungsi sebagai uang. Maka maksud larangan ini juga merupakan larangan menimbun emas dan perak sebagai uang karena uang merupakan alat tukar. Kedua, Islam mengaitkan emas dan perak dengan hukum-hukum yang bersifat fix. Islam mengaitkan nishb pencurian yang dikenai

sanksi potong tangan dan besaran diyatdengan satuan emas dan perak (HR an-Nasai). Diriwayatkan pula dari Ikrimah dari Ibn Abbas, bahwa seorang lakilaki pernah melakukan pembunuhan, lalu Nabi saw menetapkan diyat-nya dua belas ribu dirham (HR Abu Dawud, anNasai, ad-Darimi, al-Baihaqi, ad-Daraquthni dan Ibn Abi Hatim).

Sanksi potong tangan (dijatuhkan pada pencurian) seperempat dinar atau lebih (HR Bukhari). Syariah mengaitkan hukum yang bersifat fix ini dengan emas dan perak atau dinar dan dirham. Nash ini menunjukkan bahwa syariah telah menjadikan emas dan perak atau dinar dan dirham sebagai satuan hitung untuk menakar nilai sesuatu dan manfaat, yaitu sebagai satuan uang. Ketiga, Nabi saw. menetapkan emas dan perak atau dinar dan dirham sebagai mata uang dan standar untuk menakar nilai barang dan jasa. Penggunaannya tidak berdasar nominal yang tertera, tetapi menurut timbangannya. Nabi saw. menyetujui penggunaan dinar dan dirham itu sebagai mata uang. Nabi juga menyetujui penggunaannya secara timbangan dan Beliau menetapkan standar timbangannya, yaitu menurut timbangan penduduk Makkah (HR Abu Dawud dan anNasai). Keempat, Allah mewajibkan zakat pada emas dan perak. Rasul saw. lalu menjelaskannishb-nya dalam dinar dan dirham. Kelima, hukum-hukum sharf (pertukaran uang) dinyatakan dalam bentuk emas dan perak atau dinar dan dirham (HR at-Tirmidzi; HR alBukhari). Berdasarkan semua itu, Islam tidak menyerahkan penentuan mata uang itu kepada manusia menurut pendapat dan musyawarah, atau sesuai tuntutan kehidupan perekonomian dan finansial. Sebaliknya, dari sisi keberadaannya sebagai satuan mata uang dan dari sisi jenisnya, mata uang itu telah ditetapkan menurut hukum syariah. Setidaknya, dari lima poin di atas, tampak bahwa Islam menetapkan bahwa mata uang itu adalah emas dan perak atau dinar dan dirham atau asasnya adalah emas dan perak. Ketentuan ini bersifat tetap dan mengikat bagi kita sampai Hari Kiamat. Dinar dan Dirham Nilainya Stabil

Uang yang ideal harus memiliki nilai intrinsik dan nilainya konstan. Ini hanya dimiliki oleh emas dan perak. Dari berbagai riwayat diketahui, harga seekor kambing pada masa Nabi saw. ratarata 1 dinar. Dengan 1 dinar yang sama, saat ini kita bisa membeli seekor kambing di mana saja di dunia ini karena 1 dinar sama dengan Rp 1.168.750,- (1 gr emas= Rp. 275.000,- (Kompas, 13/11). Artinya, selama 1400 tahun lebih nilai dan daya beli dinar itu konstan. Dengan kata lain, tidak terjadi inflasi harga kambing. Andai selama itu inflasi harga kambing 1 % saja pertahun, maka harga kambing sekarang akan setara dengan 1 dinar x (1+0.01)^1400= 1,121,820 dinar! Namun, karena faktanya harga kambing sekarang adalah sama dengan harga kambing pada zaman Nabi saw., yaitu 1 dinar, maka inflasi Dinar selama 1400 tahun adalah 0.00% yaitu 1 Dinar x (1+0.00)^1400 = 1 dinar ! Bandingkan dengan rupiah. Dibandingkan awal tahun 1997, nilai rupiah saat ini tinggal seperempatnya, bahkan kurang. Begitu pula dolar AS. Menurut Miller, setelah 55 tahun terhitung dari 1940-1995, 1 dolar AS tinggal berharga 8 sen, artinya telah kehilangan 92% nilainya. Pada tahun 2002, nilai riil efektif dolar menurut Outlook Report terus merosot dan terpangkas 20% pertahun. Karena itu, dengan menerapkan mata uang dinar dan dirham atau yang berbasis emas dan perak, nilai kekayaan masyarakat akan terjaga dan terlindungi dari waktu ke waktu. Inflasi juga akan lebih mudah dikendalikan sehingga kehidupan perekonomian pun akan stabil. Wallh alam bi ash-shawb. [Yahya Abdurrahman] http://hizbut-tahrir.or.id/2008/12/01/an-nuqud-uang/ Umala (Agen/Komprador) Umal bentuk jamak dari aml. Secara bahasa artinya agen (agent). Menurut Prof. Dr. Rawas Qalah Ji di dalam Mujam Lughah al-Fuqah, Aml (agen) adalah orang yang dipekerjakan oleh orang lain dalam suatu urusan, atau pihak yang bekerja untuk kepentingan pihak lain; bisa juga berarti perwakilan (representative). Di dalam ensiklopedia Wikipedia dikatakan, Agent (secara tatabahasa), salah satu peranthematic: yaitu partisipan suatu situasi yang menyelesaikan suatu aksi. Dengan demikian, agen (aml -umal/agent) adalah orang atau pihak yang bertindak, bekerja atau beraktivitas untuk kepentingan orang atau pihak lain.

Istilah agen (aml/agent) juga sering diartikan sebagai komprador (comprador ataucompradore). Istilah komprador awalnya berasal dari istilah Portugis, secara bahasa artinya pembeli (buyer). Menurut ensiklopedia Britanica, istilah komprador merujuk kepada anggota kelas pedagang Cina yang membantu pedagang Barat di dalam negeri Cina pada abad ke-18 akhir, abad ke-19, dan awal abad ke-20. Mereka direkrut dengan kontrak tertentu. Para komprador itu bertanggung jawab atas para pekerja Cina spesialis pertukaran mata uang, para penerjemah, kuli dan pengawal (penjaga). Menurut kamus Mirriam-Webster, istilah komprador itu muncul sejak tahun 1840; artinya adalah agen; orang Cina yang diikat (direkrut) oleh suatu eksistensi asing di dalam negeri Cina untuk bertanggung jawab atas para pekerja Cina dan untuk bertindak sebagai perantara di dalam urusan bisnis. Kemudian, istilah agen (aml/agent) dan komprador juga menonjol pada ranah politik. Di dalam kamus Wiktionary, komprador bisa berarti penduduk asli suatu negeri jajahan yang bertindak sebagai agen/kaki tangan penjajah. Adapun istilah aml, di dalam kamus AlMawrid secara politik artinya adalah agen, orang upahan, atau pengkhianat. Menurut Prof. Dr. Ruwas Qalah Ji, aml (agent) adalah pengkhianat yang bekerja untuk kepentingan pihak lain. Di antaranya adalah fulan yang menjadi aml (agen) negara asing, yaitu orang yang berkolaborasi dengan negara asing (musuh) demi kepentingan negara itu. Dengan demikian, seorang aml (agent/comprador)bentuk jamaknya umalsecara istilah dalam politik bermakna agen atau kaki tangan pihak asing atau penjajah. Ia bertindak, beraksi atau membuat kebijakan bukan demi kepentingan umat, tetapi untuk kepentingan asing, penjajah, kapitalis atau pihak-pihak lain dengan mengalahkan kepentingan umat. Hanya saja, orang tersebut berada di tengah-tengah umat dan berasal dari kalangan putra-putra umat sendiri. Istilah agen, antek atau kaki tangan sebagai istilah politik merupakan sesuatu yang baru. Istilah ini tidak kita temukan di dalam al-Quran maupun as-Sunnah. Karena itu, istilah ini tidak memiliki pengertian syari. Sekalipun demikian, bukan berarti syariah tidak menjelaskan karakter orang sebagaimana karakter aml itu. Jika kita bandingkan, karakteraml (agen/komprador) itu mirip dengan karakter munafik yang dideskripsikan di dalam al-Quran.

Al-Quran menyatakan, orang munafik yaitu orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang Mukmin (QS an-Nisa [4]: 139). Jadi, salah satu tanda antek adalah lebih memilih orang kafir (asing) sebagai teman, atau lebih dekat dengan mereka dan memberikan loyalitas atau lebih loyal kepada orang kafir (asing) dibandingkan kepada kaum Muslim (umat). Seorang antek (komprador) berada di tengah-tengah umat dan memperlihatkan diri sebagai bagian dari umat atau berada di pihak umat. Tujuannya untuk mengelabuhi umat dan menutupi jatidirinya. Karakter ini merupakan salah satu karakter orang munafik (lihat QS al-Baqarah [2]: 14). Ia tidak segan untuk bersaksi. Namun, kesaksiannya itu hanya kamuflase atau perisai untuk menutupi jatidirinya (QS al-Munafiqun [63]:1-2; at-Taubah [9]:56). Hal itu untuk menutupi kedustaannya dan agar umat ridha kepadanya. Hakikatnya ia tidak sependirian dengan atau berpihak kepada umat. Seorang agen (antek) juga sering menggunakan dalih atas nama kepentingan umat. Namun, gerak, tingkah laku, dan kebijakannya menunjukkan hal yang sebaliknya. Mengaku melindungi kepentingan umat, tetapi dalam tindakan justru mempertahankan, membela bahkan memperjuangkan eksistensi militer atau anggota militer asing atau lembaga penelitian militer asing di dalam negeri. Padahal sudah jelas keberadaannya lebih untuk kepentingan asing dan tidak memberikan manfaat kepada umat. Lalu bagaimana mengidentifikasi orang munafik atau agen/antek/komprador itu? Yang paling mudah dari pengakuan mereka atau tuannya. Tentu yang demikian jarang terjadi. Lalu bagaimana? Allah Swt. berfirman: Kalau Kami menghendaki, niscaya Kami menunjukkan mereka kepadamu sehingga kamu benar-benar dapat mengenal mereka dengan tanda-tandanya. Kamu benar-benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka (QS Muhammad [47]: 30). Terkait ayat di atas, Imam ath-Thabari menjelaskan, Sungguh, kamu akan mengetahui mereka dengan tanda-tanda nifak yang tampak dari mereka dalam konteks ucapan dan lahiriah perbuatan mereka. Imam Ibn Katsir menjelaskan, Yakni (kamu akan mengetahui mereka) dalam apa yang tampak dari ucapan mereka yang menunjukkan maksud-maksud mereka. Orang yang berbicara itu bisa

dipahami, termasuk kelompok (pihak) mana dari makna, arah, konteks atau substansi ucapannya. Jadi, untuk mengidentifikasi seseorang sebagai aml (agen, antek, komprador), tidak lain dengan memonitor tanda-tanda keagenan yang tampak pada dirinya dari ucapan, perbuatan, sikap atau kebijakannya. Dengan begitu, bisa diidentifikasi ide, konsepsi, pandangan dan keyakinannya; corak gerakan dan arah aksinya; dan kebijakan dan strateginya. Kemudian semua itu bisa dibandingkan dengan yang dimiliki atau berasal dari asing (para pejabat, lembaga, ahli atau cendekiawan asing). Jika sama, atau merupakan pengulangan, implementasi dan tindak lanjut dari apa yang dimiliki atau berasal dari asing itu, maka itu menunjukkan tanda sebagai aml. Bisa juga dengan melihat, ide, ucapan, perbuatan dan kebijakan yang dibuat, lebih demi kepentingan siapa? Jika ternyata lebih menguntungkan atau lebih demi kepentingan asing, maka itu adalah salah satu tanda sebagai aml. Bisa juga dengan melihat tingkat kedekatan, kemesraan hubungan, loyalitas dan kepatuhan. Jika lebih tinggi kepada asing, maka itu juga salah satu tanda sebagai aml. Jika semua itu terjadi sekali, bisa jadi itu sebuah kebetulan, karena kekeliruan atau kekhilafan. Namun, jika terjadi berkali-kali, berulang-ulang dan terdapat kekonsistenan dalam suatu kurun waktu, maka itu bisa diduga kuat bahwa dia benar-benar aml, agen, antek atau komprador. Semua itu tentu memerlukan kekontinuan monitoring (mutbaah mustamirrah), kejelian memilah dan memilih fakta dan informasi serta kemampuan mengaitkannya satu dengan yang lain; kecerdasan dan kesadaran politik; dan kesadaran ideologis. Kemampuan mengidentifikasi aml, tidak datang begitu saja, tetapi terkait dengan faktor pengalaman, pembiasaan, waktu, dan pembinaan. Aml (agen, antek, komprador) itu sendiri bisa dikelompokkan menjadi: agen ideologis dan agen temporer karena kepentingan. Agen temporer karena kepentingan adalah tipikal orang oportunis. Dalam hal ini faktor kenikmatan dunia (uang, kekayaan, jabatan dan mungkin juga wanita) menjadi alat perekrutannya. Hanya saja, sekali dapat direkrut maka faktor uang, kekayaan, jabatan dan wanita itu bisa dijadikan jerat untuk mengikatnya menjadi aml secara terusmenerus. Adapun aml (agen, antek, komprador) ideologis, pengikat keagenannya adalah faktor ideologi dan ide. Cara asing merekrut agennya adalah dengan menanamkan ideologi, ide, tata nilai, sistem

dan gaya hidup asing (Barat) kepada seseorang yang sudah disasar. Hal itu dilakukan melalui pembinaan dan pendidikan, di antaranya dengan cara pemberian beasiswa; kerjasama pendidikan; pertukaran pelajar, mahasiswa termasuk perwira (dalam militer); pertukaran misi kebudayaan; dsb. Dalam konteks ini, biografi dan riwayat pendidikan seseorang penting diperhatikan. Ingat sebutan mafia Berkeley. Cara ini dilakukan oleh Amerika secara intensif sejak pasca PD II. Antek ideologis ini jumlahnya relatif sedikit. Agen ideologis itu memang dipersiapkan untuk menjadi aktor utama atau aktor intelektual, termasuk untuk merancang dan mengimplementasikan strategi dan taktik demi kepentingan asing itu. Agen ideologis ini jauh lebih berbahaya, karena idelogi, ide, konsepsi, sistem dan gaya hidup asing (barat) itu telah dia adopsi sepenuhnya. Apa yang dia lakukan sudah menjadi bagian dari perjuangan ideologinya yang pada faktanya lebih demi kepentingan asing.Strategi untuk melawan aml (agen, antek, komprador) itu adalah dengan memupus eksistensi dan atau pengaruhnya di tengah masyarakat. Hal itu dilakukan dengan membongkar ide, ucapan, perbuatan, sikap dan kebijakan mereka serta menunjukkannya kepada masyarakat bahwa itu semua demi kepentingan asing. Perlu juga membongkar jatidiri mereka sebagai aml (agen, antek, komprador). Hal itu seperti yang pernah dilakukan Nabi saw. seperti yang ada dalam berbagai riwayat (lihat tafsir Ibn Katsir QS Muhamamd: 30). Dengan strategi itu, masyarakat akan mengetahui mereka sebagai antek asing sehingga hilanglah kepercayaan masyarakat kepada mereka. Inilah bagian darikifh siysi (perjuangan politis) yang harus dilakukan untuk menyelamatkan umat dari kebusukan dan keburukan umal (para agen, antek, komprador). Wallh alam bi ash-shawb. [Yahya Abdurrahman] http://hizbut-tahrir.or.id/2008/07/08/umala-agenkomprador/

Muzraah dan Mukhbarah


Muzraah secara bahasa merupakan bentuk mufalah dari az-zaru, mashdar dari zraa. Ibn Sayidih dan Ibn Manzhur menyatakan,1 zaraa al-habb yazrauhu zaran artinya badzarahu (menyemainya). Az-Zaru lebih dominan digunakan untuk al-burr (gandum) dan asy-syar (barley) dan bentuk jamaknya az-zur. Ibn Manzhur menambahkan, Dikatakan az-zaru adalah semua tanaman yang ditanam. Dikatakan juga, az-zaruadalah menanam benih. Menurut Ibn Darid,2 az-zaru adalah apa yang Anda tanam berupa tanaman atau sayuran. Al-Laits yang dikutip oleh al-Azhari dalam Tahdzb al-

Lughah3 menyatakan, bahwa az-zaru adalah segala macam tumbuhan yang ditanam. Al-Manawi 4 menjelaskan bahwa az-zaru adalah apa yang ditanam dengan benih atau biji. Dengan demikian, az-zirah(pertanaman/pertanian) merupakan kegiatan bercocok tanam tanaman apa saja baik tanaman pangan, sayuran atau yang lain yang ditanam dengan benih atau biji. Aktivitas bercocok tanam (pertanian) itu kadang dilakukan oleh dua pihak: pihak pemilik tanah dengan pihak lain. Imam Sarkhasi di dalam AlMabsth5menjelaskan, bahwa akad yang terjadi di antara dua pihak untuk maksud itu (yakni aktivitas pertanian) disebut muzraah, dan juga disebutmukhbarah berdasarkan apa yang diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit ra.:

: :
Nabi saw. melarang Mukhbarah. Apakah Mukhbarah itu? Zaid menjawab, Muzraah dengan sepertiga atau seperempat (HR Abu Dawud). Secara syari, menurut as-Samarqandi, Alauddin al-Kasani dan Dr. Sadi Abu Habib, muzraah adalah ungkapan tentang akad pertanian dengan imbalan sebagian dari hasilnya.6 Al-Manawi mengartikan muzraah sebagai muamalah atas tanah dengan imbalan sebagian hasil tanamannya; misal sepertiga, seperempat dan bagian tertentu lainnya. Ibn Qudamah dan M. Ruwas Qalaji menjelaskan bahwa muzraah adalah menyerahkan tanah kepada orang yang menanami atau menggarapnya dan hasilnya dibagi di antara keduanya (pemilik dan yang menanami/penggarap).7 Menurut ulama Hanafiyah, Hanabilah, Malikiyah dan sebagian Syafiiyah,muzraah sama dengan mukhbarah.8 Dasarnya adalah riwayat dari Zaid bin Tsabit di atas. Namun, sebagian ulama Syafiiyah yang lain membedakan keduanya. Menurut an-Nawawi9, jika bibit berasal dari pemilik tanah maka itu muzraah, sedangkan jika bibit dari penggarap maka itumukhbarah. Dalam pengertian para ulama, muzraah dan mukhbarah itu imbalannya adalah sebagian hasil pertaniannya. Menurut as-Sindi dan asSamarqandi, 10 muzraah itu adalah penyewaan tanahas-Samarqandi menambah-kan atau menyewa penggarapdengan imbalan sebagian dari hasilnya. Adapun jika tanah itu disewakan dengan pembayaran berupa dinar, dirham, uang atau harta lainnya maka itu merupakan penyewaan lahan (kir alardhi). Artinya, baik muzraah, mukhbarah maupun kir al-ardhi merupakan muamalah penyewaan lahan untuk pertanian.

Hukum Penyewaan Lahan untuk Pertanian Jabir bin Abdullah ra. menuturkan:

Rasulullah saw. melarang penyewaan tanah (lahan) (HR Muslim, an-Nasai dan Ahmad). Rafi bin Khadij menuturkan dari pamannya bahwa Nabi saw. juga pernah bersabda:


Siapa saja yang memiliki tanah, hendaklah ia menanaminya atau menyerahkannya kepada saudaranya untuk ditanami tanpa kompensasi dan jangan menyewakannya dengan sepertiga, atau seperempat dan jangan dengan makanan yang disepakati (jenis dan jumlahnya) (HR Abu Dawud, anNasai dan Ibn Majah). Zhuhair bin Rafi bertutur: Nabi saw. pernah datang dan bertanya kepada kami, Apa yang kalian perbuat dengan lahan pertanian kalian? Aku menjawab, Kami menyewakannya atas seperempat dan atas beberapa wasaq kurma dan barley. Beliau bersabda:


Jangan kalian lakukan, tanamilah atau berikan kepada orang lain agar dia tanami tanpa kompensasi atau tahanlah (HR al-Bukhari, Muslim, Ibn Majah dan an-Nasai). Jabir bin Abdullah menuturkan, ia mendengar Nabi saw. pernah bersabda:


Siapa saja yang tidak meninggalkan mukhbarah maka beritahukan bahwa Allah dan Rasul-Nya menyatakan perang kepadanya (HR Abu Dawud). Rafi bin Khadij menuturkan bahwa ia pernah menanami tanah, lalu Nabi saw. lewat dan ia sedang menyirami tanamannya. Nabi saw. kemudian bertanya kepadanya, Milik siapa tanaman dan tanah itu? Ia menjawab, Tanamanku dengan benihku dan kerjaku. Bagiku separuh dan bagi Bani Fulan separuh. Nabi saw. pun bersabda:


Kalian berdua telah melakukan riba. Kembalikan tanah itu kepada yang punya dan ambillah biaya yang engkau keluarkan (HR Abu Dawud). Jelas sekali dari nas-nas di atas (masih ada nas lainnya) bahwa Nabi saw. melarang penyewaan lahan untuk pertanian secara umum, dengan cara bagi hasil, atau dengan imbalan sejumlah makanan tertentu. Terdapatqarinah (indikasi) yang menunjukkan larangan ini bersifat tegas. Dengan demikian, penyewaan lahan untuk pertanian dengan imbalan (sewa) dalam bentuk apapun baik hasilnya, sejumlah makanan tertentu, atau

harta lainnya, hukumnya haram. Indikasi itu adalah adanya penegasan Nabi saw. dalam riwayat an-Nasai dari Usaid bin Zhuhair: Nabi saw. melarang penyewaan tanah. Lalu kami berkata, Kalau begitu, kami sewakan dengan sejumlah bijibijian. Beliau menjawab, Jangan. Kami berkata, Kami sewakan dengan jerami. Jawab Nabi saw., Jangan. Kami berkata, Kami sewakan dengan bagian dekat parit. Jawab Beliau, Jangan, tanamilah atau berikan kepada saudaramu. Indikasi lainnya adalah sabda Nabi saw., Fal yadzan bi harb[in] min Allh wa raslihi (Beritahukan bahwa Allah dan Rasul-Nya menyatakan perang terhadapnya. (Qarinah yang sama digunakan dalam QS 2 : 279 untuk menegaskan haramnya riba). Nabi saw. juga bersabda kepada Rafi, Arbaytum (Kalian telah melakukan riba). Artinya, jelas praktik yang dilakukan Rafi itu adalah terlarang dan haram sebagaimana riba. Penyewaan atau menjualnya untuk beberapa waktu dengan harga berupa dinar, dirham atau uang maka hal itu juga dilarang. Jabir bin Abdullah menuturkan:


Rasulullah saw melarang menjual tanah pertanian dua atau tiga tahun(HR Muslim). Menjual tanah dua atau tiga tahun adalah menyewakannya dua atau tiga tahun dengan uang. Menyewakan tanah dengan uang jelas tercakup dalam keumuman larangan menyewakan tanah di atas. Memang, Rafi bin Khadij, ketika ditanya tentang penyewaan dengan pembayaran emas dan perak, ia menjawab, Tidak, melainkan Beliau melarang penyewaan dengan hasilnya. Adapun dengan emas atau perak maka tidak apa-apa. (HR An-Nasai). Pernyataan tersebut merupakan pernyataan Rafi, bukan sabda Nabi saw. Pernyataan Rafi tidak bisa dijadikan hujjah. Apalagi penyewaan dengan emas dan perak (uang) itu belum dikenal pada masa Nabi saw. sebagaimana riwayat al-Bukhari dari Rafi bin Khadij, ia berkata, Adapun (penyewaan tanah dengan) emas dan wariq (perak) maka belum ada pada waktu itu (masa Nabi saw.) Ini juga bertentangan dengan pernyataan Rafi sendiri yang menyatakan penyewaan lahan dengan dirham termasuk yang dilarang. Isa bin Sahal bin Rafi bin Khadij menuturkan, Aku berhaji bersama kakekku Rafi bin Khadij. Lalu datang saudaraku, yaitu Imran bin Sahal bin Rafi bin Khadij. Ia berkata, Ya, kakek kami menyewakan tanah kami kepada Fulanah dengan sewa dua ratus dirham. Rafi bin Khadij berkata, Anakku, tinggalkan itu. Allah akan memberikan rezeki yang lain kepadamu. Sesungguhnya Rasulullah saw. telah melarang penyewaan tanah. (HR an-Nasai). Dengan demikian, menyewakan lahan untuk pertanian, baik dengan pembayaran sebagian dari hasilnya (dengan cara bagi hasil), sejumlah makanan tertentu, dinar, dirham, uang, pakaian, atau harta apapun, hukumnya adalah haram.

Wallh alam wa ahkam. [Yahya Abdurrahman] Catatan kaki: 1 Lihat: Ibn Manzhur, Lisn al-Arab, 8/141, Dar Shadir, Beirut, cet. 1. tt; Ibn Sayidih, al-Muhkam wa al-Muhth al-Azham, 1/185, cd al-Maktabah asySyamilah ishdar ats-tsani. 2 Lihat: Ibn Darid, Jumhurah al-Lughah, 1/382, cd al-Maktabah asy-Syamilah ishdar ats-tsani. 3 Lihat: Al-Azhari, Tahdzb al-Lughah, 1/195, cd al-Maktabah asy-Syamilah ishdar ats-tsani. 4 Lihat: Al-Manawi, at-Taarif, 1/385, Dar al-Fikr al-Muashir-Dar al-Fikr, BeirutDamaskus, cet. 1. 1410. 5 Lihat: As-Sarkhasi, al-Mabsth, 23/2, Dar al-Marifah, Beirut. 1406. 6 Lihat: Alauddin al-Kasani, Badi ash-Shani, 6/175, Dar al-Kutub al-Arabi, Beirut, cet. 2. 1982; Dr. Sadi Abu Habib, al-Qms al-Fiqh, 1/158, Dar alFikr, Beirut, cet.2. 1988; As-Samarqandi, Tuhfah al-Fuqah, 3/263, Dar alKutub al-Ilmiyah, Beirut, cet. 1. 1405. 7 Lihat: Muhammad Ruwas Qalaji, Mujam Lughah al-Fuqah, 1/423, Dar anNafais, Beirut, cet. 2. 1988; Ibn Qudamah al-Maqadisi, al-Mughni, 5/241, Dar al-Fikr, Beirut, cet. 1. 1405 8 Lihat: Dr. Sadi Abu Habib, op. cit., 1/112. 9 Lihat: Yahya bin Syarf an-Nawawi, Tahrr Alfzh at-Tanbh, 1/217, Dar alQalam, Damaskus, cet. 1. 1408; An-Nawawi, Syarh Shahh Muslim, 10/193, Dar Ihya at-Turats al-Arabi, Beirut, cet. 2. 1396. 10 Lihat: as-Samarqandi, op. cit.; as-Sindi, Hasyiyah as-Sindi al Sunanibn Mjah, 5/148.

http://hizbut-tahrir.or.id/2008/05/31/muzaraah-dan-mukhabarah/

Jual Beli Kredit (al-Bay bi ad Dayn wa bi at-Taqsth)


Al-Bay (jual-beli) secara bahasa artinya pertukaran, sedangkan secarasyari bermakna: mubdalah ml[in] bi ml[in], tamlk[anl wa tamalluk[an] al sabl at-tardh (pertukaran harta dengan harta lain dalam bentuk penyerahan dan penerimaan pemilikan [pertukaran dan pemindahan pemilikan] berdasarkan kerelaan kedua pihak. Jual-beli ada tiga bentuk. Pertama: jual-beli tunai; barang dan harga diserahterimakan pada saat akad. Kedua: jual-beli salaf atau salam (pesanan); harga dibayar pada saat akad, sedangkan barang diserahkan setelah tempo tertentu. Ketiga: jual-beli kredit, barang diserahkan pada saat akad, sedangkan

harganya dibayar setelah tempo tertentu, baik sekaligus atau dicicil. Bentuk ketiga inilah yang disebut jual-beli kredit (al-bay bi ad-dayn wa bi at-taqsth). Syariah memperbolehkan jual-beli secara kredit. Dasarnya adalah QS al-Baqarah ayat 282. Aisyah ra. Juga meriwayatkan: Nabi saw. pernah membeli makanan kepada seorang Yahudi sampai tempo tertentu dan Beliau menggadaikan baju besinya. (HR al-Bukhari). Aisyah ra. Juga menuturkan bahwa Barirah ra. pernah membeli (membebaskan) dirinya sendiri dari tuannya seharga sembilan awqiyah yang dibayar satu awqiyahsetiap tahun (HR al-Bukhari dan Muslim). Kejadian tersebut diketahui oleh Rasul dan beliau mendiamkannya. Hal itu menunjukkan kebolehan jual-beli secara kredit dengan cara dicicil. Beberapa Ketentuan Jual-beli kredit memiliki tiga rukun: (1) Al-Aqidn, yaitu dua orang yang berakad. Dalam hal ini keduanya harus orang yang layak melakukantasharruf, yakni berakal dan minimal mumayyiz. (2). Shight (ijab-qabul). (3) Mahal al-aqd (obyek akad), yaitu al-mabi (barang dagangan) danats-tsaman (harga). Di samping ketiganya juga terdapat syarat-syarat terkait dengan al-mab(barang dagangan) dan harga. Al-Mab itu harus sesuatu yang suci, tidak najis; halal dimanfaatkan; adanya kemampuan penjual untuk menyerahkannya; harus malm (jelas), tidak majhul. Jika barang dagangannya berupa tamar (kurma), sar (barley), burr (gandum),dzahab (emas), fidhah (pera k), atau uang, dan milh (garam) maka tidak boleh diperjualbelikan (dipertukarkan) secara kredit. Rasul saw. bersabda:


Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, barley dengan barley, kurma dengan kurma dan garam dengan garam (harus) semisal, sama dan tunai. Jika jenisnya berbeda maka perjualbelikanlah sesuka kalian selama dilakukan secara tunai. (HR Muslim). Artinya, tidak boleh menjual emas, perak, garam, kurma, gandum atau barley, secara kredit. Di samping itu al-mab (barang dagangan) tersebut haruslah milik penjual atau si penjual memang memiliki hak untuk menjualnya, misal sebagai wakil dari pemiliknya. Rasul saw. bersabda:


Janganlah engkau menjual sesuatu yang bukan milikmu (HR Abu Dawud, anNasai, Ibn Majah, at-Tirmidzi, Ahmad dan al-Baihaqi). Jual-beli kredit ini tidak seperti as-salaf atau as-salam yang dikecualikan dari larangan tersebut. Jadi, barang yang dijual secara kredit itu haruslah sempurna milik si penjual. Jika barang itu sebelumnya dia beli dari pihak lain maka pembelian itu harus sudah sempurna, yaitu harus sudah terjadi perpindahan pemilikan atas barang itu secara sempurna dari pihak lain itu kepadanya. Artinya, barang itu telah sempurna dia miliki, baru ia sah untuk menjualnya secara kredit. Ketentuan ini menjadi salah satu titik kritis dalam muamalah almurbahah li al-mir bi asy-syirsering disebut murabahah sajadan al-bay bi ats-tsaman jil, atau yang sejenis.1 Supaya akad jual-beli kredit itu sempurna, harus terjadi perpindahan pemilikan atas al-mab itu dari penjual kepada pembeli. Jika al-mab itu termasuk barang yang standarnya dengan dihitung, ditakar atau ditimbang (al-madd, al-makl wa al-mawzn) maka harus terjadi serah terima (al-qabdh). Jika bukan yang demikian maka tidak harus terjadi al-qabdh, melainkan begitu selesai ijab dan

qabul, terjadilah perpindahan pemilikan atas al-mab. Intinya, pemilikan pembeli atas barang yang dia beli akan sempurna jika tidak ada lagi penghalang baginya untuk men-tasharrufbarang tersebut, baik dijual, disewakan, dikonsumsi, dihibahkan dan sebagainya. Adapun harga dalam jual-beli secara kredit dibayar setelah tempo tertentu, artinya merupakan utang (dayn), baik dibayar sekaligus ataupun dicicil. Kebolehan itu sesuai dengan hadis Barirah dan hadis tentang jual-beli secara kredit yang dilakukan Nabi saw. dengan seorang Yahudi di atas. Seseorang boleh menawarkan barangnya dengan dua harga, harga tunai dan harga kreditbiasanya lebih tinggi dari harga kontan. Hal itu karena Rasul saw. pernah bersabda:


Sesungguhnya jual-beli itu hanyalah dengan saling ridha (antara penjual dan pembeli) (HR Ahmad dan Ibn Majah). Jadi, seorang penjual berhak menjual barang dengan harga yang ia ridhai dan menolak jual-beli dengan harga yang tidak ia ridhai. Ia berhak menetapkan atas barangnya dua harga, harga tunai dan harga kredit yang lebih tinggi dari harga tunai. Begitu pula pembeli berhak melakukan tawar-menawar pada harga yang ia ridhai, baik tunai ataupun kredit. Namun, adanya dua harga itu hanya boleh terjadi dalam tawar-menawar. Sebaliknya, dalam akad/transaksi yang disepakati dalam jual-beli, harus satu harga. Misal, boleh saja si A mengatakan, Barang ini harganya tunai Rp 100 ribu, kalau kredit sebulan 110 ribu. Jika si B berkata, Saya beli kredit satu bulan 110 ribu, maka jual-beli itu sah. Sebab, meski penawarannya ada dua harga, tetapi akadnya hanya satu harga. Artinya, jual-beli itu terjadi dalam satu harga saja. Ini berbeda jika si B mengatakan, Baik, saya setuju, atau, Baik, saya beli. Dalam kasus ini, jual-belinya tidak sah, karena yang disepakati dalam akad berarti ada dua harga, dan Rasul melarangnya. Ibn Masud mengatakan:


Rasulullah saw. telah melarang dua transaksi dalam satu akad (HR Ahmad, alBazar dan ath-Thabrani). Jika telah disepakati jual-beli secara kredit dengan harga tertentu, misal kredit sebulan harga Rp 110 ribu, lalu saat jatuh tempo pembeli belum bisa membayarnya, kemudian disepakati ditangguhkan dengan tambahan harga, misal sebulan lagi tetapi dengan harga Rp 120 ribu; atau misal sudah disepakati jual-beli tunai dengan harga Rp 100 ribu, lalu pembeli meminta ditangguhkan sebulan dan penjual setuju dengan harga menjadi Rp 110 ribu, maka kedua contoh ini dan semisalnya tidak boleh. Sebab, itu artinya telah terjadi dua jualbeli dalam satu barang atau satu jual-beli (bayatayn f al-bayah). Abu Hurairah berkata:


Rasulullah saw. telah melarang dua jual beli dalam satu jual-beli (HR Ahmad, an-Nasai, at-Tirmidzi dan Ibn Hibban). Jika terjadi kasus tersebut, lalu bagaimana? Rasulullah saw. bersabda:


Siapa saja yang menjual dengan dua jual-beli maka baginya harga yang lebih rendah atau riba (HR Abu Dawud). Jadi, jika terjadi kasus tersebut, jual-beli itu tetap sah, namun dengan harga yang lebih rendah, yaitu harga awal. Jika dengan harga lebih tinggi maka selisihnya dengan harga awal adalah riba.

Ada jenis jual-beli kredit lain yang dilarang dan hukumnya haram. Misal: A menjual motor kepada B secara kredit satu tahun dengan harga Rp 11 juta, lalu B menjual lagi motor itu kepada A secara tunai seharga Rp 10 juta. Sehingga A menyerahkan Rp 10 juta kepada B dan setahun lagi akan mendapat Rp 11 juta dari B. Jual-beli seperti ini yang menurut para fukaha dinamakan al-bay al-nah. Dalam hal ini Rasul saw. bersabda:


Jika manusia bakhil dengan dinar dan dirham, berjual-beli secara al-nah, mengikuti ekor sapi dan meninggalkan jihad fi sabilillah, niscaya Allah menurunkan atas mereka kehinaan, Allah tidak akan mengangkat kehinaan itu dari mereka hingga mereka kembali pada agama mereka(HR Ahmad, alBaihaqi dan Abu Yala). Wallh alam wa ahkam. [Yahya Abdurrahman] Catatan kaki: 1 Masalah murabahah li al-mir bi asy-syir (murabahah) dan al-bay bi atstsaman jil dan muamalah semisalnya, perlu pembahasan tersendiri secara lebih rinci.

http://hizbut-tahrir.or.id/2008/01/04/jual-beli-kredit-al-bay-bi-ad-daynwa-bi-at-taqsith/

Jual-Beli Pesanan (Bay as-Salaf/Bay as-Salam)


As-Salaf berasal dari kata salafayaslufusalfan; secara bahasa artinya berlalu, dulu atau taqaddama wa sabaqa (mendahului); juga bermakna alqardh (utang).1 As-Salam secara bahasa memiliki banyak arti, di antaranya adalah at-taqdm wa at-taslm (mendahulukan dan menyerahkan).2 Menurut al-Azhari, dalam konteks muamalah, as-salaf mempunyai dua arti:alqardhu3 dan as-salam. 4 Arti yang kedua ini lebih dominan sehingga assalaf adalah as-salam atau sebaliknya; bahkan dikatakan ini arti menurut seluruh ahli bahasa.5Hanya saja as-salaf lebih digunakan oleh orang Irak dan assalam digunakan oleh orang Hijaz. Disebut as-salam karena penyerahan harga dilakukan di majelis akad. Para fukaha mengartikan as-salaf atau assalam sebagai akad atas sesuatu dengan karakter (spesifikiasi) yang dijelaskan dan dijamin diserahkan belakangan dengan harga yang diserahkan di majelis akad.6 Dalam Mujam al-Lughah al-Fuqah dinyatakan bay as-salam (forward buying) adalah jual-beli barang yang diserahkan belakangan yang spesifikasinya dijamin dengan harga yang diserahkan di majelis akad.7 Dengan demikian, bay as-salam/bay as-salaf adalah jual-beli sesuatu yang dijelaskan karakter (spesifikasi)-nya yang dijamin diserahkan belakangan dengan sesuatu yang diserahkan seketika.8 Intinya, seseorang menyerahkan kompensasi seketika untuk suatu kompensasi yang dijelaskan spesifikasinya dan dijamin diserahkan belakangan, atau ia mendahulukan pembayaran harga suatu barang yang akan ia terima setelah tempo tertentu.9

As-salaf atau as-salam adalah jual beli yang disyariatkan (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 281). Ibn Abbas menceritakan, bahwa Nabi saw. tiba di Madinah dan masyarakat melakukan as-salaf pada buah-buahan satu atau dua tahun. Lalu Nabi saw bersabda:


Siapa saja yang melakukan as-salaf pada sesuatu maka hendaknya dalam takaran dan timbangan yang jelas sampai tempo yang jelas.(HR Bukhari).

Beberapa Ketentuan as-Salam As-Salam mempunyai tiga rukun (ketentuan pokok): (1) shighat (ijab dan qabul); (2) al-qidn (dua orang yang melakukan akad as-salam), yaitu orang yang memesan/pembeli (rabb as-salam) dan yang menerima pesanan/penjual (almuslam ilayh); keduanya haruslah orang yang secarasyari layak melakukan tasharruf; (3) al-maqd alayh (obyek akad), yaitu barang yang dipesan (almuslam fh) dan harga (ras ml as-salam). Selain itu, ada syarat-syarat tertentu agar as-salam itu sah, yaitu syarat-syarat yang berkaitan dengan al-muslam fh dan ras ml as-salam. Syarat-syarat berkaitan dengan al-muslam fh adalah: Pertama, Harus sesuatu yang bisa ditimbang (al-makl), ditakar (al-mawzn) atau dihitung (al-madd). Karena, Allah melarang kita menjual sesuatu yang bukan milik kita atau belum sempurna kita miliki. 10 As-Salam adalah jual-beli yang demikian, namun oleh nash dikecualikan dari larangan itu, sehingga larangan itu khusus berlaku pada yang lain. Karenanya, sesuatu yang boleh dilakukan as-salam haruslah yang dinyatakan oleh nash, yaitu harus sesuatu yang bisa ditakar, ditimbang atau dihitung. Syarat harus bisa ditakar dan ditimbang sesuai dengan teks hadis di atas. Adapun yang bisa dihitung karena hadis riwayat Bukhari diantaranya dari Muhammad ibn Abi al-Mujalid, seperti hadis di bawah membolehkan assalam pada makanan.Ibn al-Mundzir juga telah menukilkan adanya Ijmak Sahabat akan kebolehan as-salam pada makanan. Makanan itu bisa ditetapkan dengan ditakar, ditimbang atau dihitung. Hukum as-salam terkait dengan karakter ini. Dengan demikian, as-salam boleh dilakukan untuk sesuatu yang penetapannya dengan dihitung. Kedua, selain harus bisa ditakar, ditimbang atau dihitung, al-muslam fhitu harus jelas dan ditentukan jenisnya, misalnya kacang bogor, tahu sumedang, telur ayam ras, kain songket Lombok, dsb; juga harus ditentukan kadar takaran, timbangan atau hitungannya, misal sekian ton, liter, meter, buah, dsb. Semua itu harus berada dalam jaminan, artinya dijamin akan diserahkan dengan sifat-sifat (spesifikasi) seperti itu. Ketiga, harus ada tempo yang jelas (diketahui) untuk penyerahan al-muslam fh itu; misalnya sebulan, seminggu, tanggal sekian, dsb. Hal itu sesuai teks hadis di atas, dan karena adanya tempo itulah yang menjadikannya as-salam. Sebab, jika kontan maka bukan as-salammelainkan jual-beli cash.

Penjual tidak disyaratkan harus memiliki kebun, pohon, asal atau sumberalmuslam fh. Muhammad ibn Abi al-Mujalid pernah bertanya kepada Abdullah ibn Abiy Awfa ra., dan Abdurrahman ibn Abza ra., apakah para sahabat melakukan as-salaf pada masa Nabi saw, Abdullah menjawab :

:: :
Kami men-salaf hasil tetumbuhan penduduk Syam pada Gandum, Barley dan minyak dalam takaran yang jelas sampai tempo yang jelas. Aku (Muhammad) bertanya : kepada orang yang memiliki pohonnya? Abdullah menjawab : kami tidak menanyakan hal itu. Sedangkan Abdurrahman ibn Abza berkata : para sahabat Nabi saw melakukan as-salaf pada masa Nabi saw dan kami tidak menanyakan apakah mereka memiliki kebun atau tidak (HR. Bukhari) Adapun syarat ras ml as-salam (harga): Pertama, harus jelas jenis dan kadar/jumlahnya; atau jelas nominalnya jika uang. Kedua, pembayaran harganya harus diserahkan penuh atau semuanya pada saat akad di majelis akad, karena as-salaf dalam bahasa Arab adalah memberikan sesuatu pada sesuatu, yaitu membayarkan uang sebagai utang atas barang yang diambil (diterima) belakangan. Karenanya, seperti yang dikatakan Imam asy-Syafii, tidak akan terpenuhi makna taslf kecuali pembayarannya diberikan penuh (semuanya) pada saat akad di majelis akad sebelum keduanya berpisah.11 Siapa yang tidak memberikan pembayaran sesuatu yang ia pesan, maka itu bukan as-salam, melainkan janji akan memesan (wad bi an yuslifa). Jika hanya sebagian yang diserahkan, maka as-salam yang sah hanya pada kadar yang diserahkan itu, sementara yang belum diserahkan hanya berupa janji dan tidak mengikat. Jadi, yang harus dibayarkan bukan hanya DP (uang muka)-nya saja, tetapi pembayaran harganya secara penuh. Ketiga, tidak boleh terjadi ghabn fkhisy (kecurangan harga; ada selisih yang tidak wajar/zalim). Harga itu ditentukan menurut harga pasar saat dilakukan akad. Terjadinya ghabn fkhisy harus memenuhi dua syarat: (1) adanya ketidaktahuan pihak yang dicurangi; dan (2) selisih yang tidak wajar/zalim sesuai penilaian para pedagang. Jika terjadi hal itu maka yang dicurangi boleh memilih antara menerimanya dan tetap melanjutkan akad atau membatalkan akad dan meminta kembali harganya seperti yang diserahkan saat akad. Ia tidak boleh hanya mengambil selisihnya saja. Jika saat jatuh tempo jenis barang yang dipesan tidak ada atau kadarnya kurang, maka pembeli (pemesan/rabb as-salam) hanya boleh mengambil kembali harga yang ia bayarkan saat akad. Ia tidak boleh mengambil lebih dari itu dengan alasan kompensasi, denda atau lainnya. Jika ia mengambil uang lebih dari itu, artinya ia mengambil uang yang diutangkan dengan tambahan dan itu adalah riba. Ia pun tidak boleh mengambil pengganti barang yang lain. Itu artinya ia telah mengakadkan akad baru, yaitu ia menjual barang yang belum ia terima dengan barang lain.12 Dengan kata lain, ia telah melakukan bayatayn f

bayah (dua jual beli dalam satu transaksi) dan itu adalah haram. Di samping itu, Nabi saw. juga telah bersabda:


Siapa saja yang melakukan as-salaf pada sesuatu, janganlah mengalihkannya ke yang lain (HR Abu Dawud) Wallh alam bi ash-shawb. [Yahya Abdurrahman] Catatan Kaki:
1

Lihat: Ibn Manzhur, Lisn al-Arab, 9/158, Dar Shadir, Beirut, cet. i. tt Lihat: al-Jurjani, at-Tarift, 1/160, Dar al-Kitab al-Arabi, Beirut, cet. i. 1405 Yaitu utang dimana tidak ada manfaat tambahan bagi pemberi utang dan orang yang berutang wajib mengembalikannya sama seperti yang dia utang. Lihat: Al-Fayrus al-Abadi, al-Qms al-Muhth, 2/391; Al-Azhari, Tahdzb al-Lughah, 4/287 Lihat: al-Jauhari, ash-Shihh f al-Lughah, 1/327; Ash-Shahib ibn Ibad,alMuhth f al-Lughah, 2/265; ar-Razi, Mukhtr ash-Shihh, 1/131, Maktabah Lubnan Nashirun, Beirut, cet. baru. 1995-1415 Al-Qms al-Fiqh, 1/180, CD al-Maktabah asy-Syamilah, al-ishdar ats-tsani Lihat: Khalid ibn Rasyid as-Saidan, Qawid al-Buy wa Farid al-Fur, hlm. 91 Lihat: Mujam Lughah al-Fuqah, 1/249, CD al-Maktabah asy-Syamilah alishdar ats-tsani Lihat: Yusuf as-Sabatin, al-Buy al-Qadmah wa al-Muashirah wa al-Brusht al-Mahaliyah wa ad-Dualiyah, hal. 67-dst., Dar al-Bayariq, cet. i. 2002 Lihat: an-Nabhani, asy-Syakhshiyah al-Islmiyah, 2/292-296, min mansyurat Hizb at-Tahrir, Beirut, cet. v (mutamadah). 2003 Sabda Nabi saw.: L tabi m laysa indaka (Janganlah engkau menjual apa yang bukan milikmu) (HR Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasai, Ibn Majah dan Ibn Hibban) Lihat: Al-Baihaqi, Marifah as-Sunan wa al-Atsr, 9/457, Dar al-Wafa, Mesir. 1412 Ini jelas dilarang sesuai hadis footnote no. 10, dan sabda Rasul, Siapa yang membeli makanan maka jangan ia jual hingga ia menerimanya. (HR. Bukhari) dan hadis-hadis senada lainnya.

10

11

12

http://hizbut-tahrir.or.id/2007/12/04/jual-beli-pesanan/

Ar-Rahn (Agunan)
Ar-Rahn merupakan mashdar dari rahanayarhanurahnan; bentuk pluralnya rihn[un], ruhn[un] dan ruhun[un]. Secara bahasa artinya adalah atstsubt wa ad-dawm (tetap dan langgeng); juga berartial-habs (penahanan).1 Secara syari, ar-rahn (agunan) adalah harta yang dijadikan jaminan utang (pinjaman) agar bisa dibayar dengan harganya oleh pihak yang wajib membayarnya, jika dia gagal (berhalangan) menunaikannya. Ar-Rahn disyariatkan dalam Islam. Allah Swt. berfirman:


Jika kalian dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai), sementara kalian tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). (TQS al-Baqarah [2]: 283). Aisyah ra. menuturkan:


Rasulullah saw. pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan tempo (kredit) dan beliau mengagunkan baju besinya. (HR Bukhari dan Muslim). Anas ra. juga pernah menuturkan:


Sesungguhnya Nabi saw. pernah mengagunkan baju besinya di Madinah kepada orang Yahudi, sementara Beliau mengambil gandum dari orang tersebut untuk memenuhi kebutuhan keluarga Beliau. (HR al-Bukhari). Ar-Rahn boleh dilakukan baik ketika safar maupun mukim. Firman Allah, in kuntum al safarin (jika kalian dalam keadaan safar), bukanlah pembatas, tetapi sekadar penjelasan tentang kondisi. Riwayat Aisyah dan Anas di atas jelas menunjukkan bahwa Nabi saw. melakukan ar-rahn di Madinah dan beliau tidak dalam kondisi safar, tetapi sedang mukim.2 Beberapa Ketentuan Ar-Rahn (Agunan) Ar-rahn mempunyai tiga rukun (ketentuan pokok), yaitu: (1) shighat (ijab dan qabul), (2) al-aqidan (dua orang yang melakukan akad ar-rahn), yaitu pihak yang mengagunkan (ar-rhin) dan yang menerima agunan (al-murtahin), dan (3) al-maqud alaih (yang menjadi obyek akad), yaitu barang yang diagunkan (al-marhun) dan utang (al-marhun bih). Selain ketiga ketentuan dasar tersebut, ada ketentuan tambahan yang disebut syarat, yaitu harus ada qabdh (serah terima). Jika semua ketentuan tadi terpenuhi, sesuai dengan ketentuan syariah, dan dilakukan oleh orang yang layak melakukan tasharruf, maka akad arrahn tersebut sah. Harta yang diagunkan disebut al-marhn (yang diagunkan). Harta agunan itu harus diserahterimakan oleh ar-rhin kepada al-murtahin pada saat dilangsungkan akad rahn tersebut. Dengan serah terima itu, agunan akan berada

di bawah kekuasaan al-murtahin. Jika harta agunan itu termasuk harta yang bisa dipindah-pindah seperti TV dan barang elektronik, perhiasan, dan semisalnya, maka serah terimanya adalah dengan melepaskan barang agunan tersebut kepada penerima agunan (al-murtahin). Bisa juga yang diserahterimakan adalah sesuatu dari harta itu, yang menandakan berpindahnya kekuasaan atas harta itu ke tangan al-murtahin, jika harta tersebut merupakan barang tak bergerak, seperti rumah, tanah dan lain-lain. Harta agunan itu haruslah harta yang secara syari boleh dan sah dijual.Karenanya tidak boleh mengagunkan khamr, patung, babi, dan sebagainya. Harta hasil curian dan gasab juga tidak boleh dijadikan agunan. Begitu pula harta yang bukan atau belum menjadi milik ar-rhinkarena Rasul saw. telah melarang untuk menjual sesuatu yang bukan atau belum menjadi milik kita.3 Dalam akad jual-beli kredit, barang yang dibeli dengan kredit tersebut tidak boleh dijadikan agunan. Tetapi, yang harus dijadikan agunan adalah barang lain, selain barang yang dibeli (al-mab) tadi. Akad ar-rahn (agunan) merupakan tawtsq bi ad-dayn, yaitu agar almurtahin percaya untuk memberikan utang (pinjaman) atau bermuamalah secara tidak tunai dengan ar-rhin. Tentu saja itu dilakukan pada saat akad utang (pinjaman) atau muamalah kredit. Jika utang sudah diberikan dan muamalah kredit sudah dilakukan, baru dilakukan ar-rahn, maka tidak lagi memenuhi makna tawtsq itu. Dengan demikian, ar-rahn dalam kondisi ini secara syari tidak ada maknanya lagi. Pada masa Jahiliah, jika ar-rhin tidak bisa membayar utang (pinjaman) atau harga barang yang dikredit pada waktunya, maka barang agunan langsung menjadi milik al-murtahin. Lalu praktik Jahiliah itu dibatalkan oleh Islam. Rasul saw. bersabda:


Agunan itu tidak boleh dihalangi dari pemiliknya yang telah mengagunkannya. Ia berhak atas kelebihan (manfaat)-nya dan wajib menanggung kerugian (penyusutan)-nya. (HR as-Syafii, al-Baihaqi, al-Hakim, Ibn Hibban dan ad-Daraquthni) Karena itu, syariat Islam menetapkan, al-murtahin boleh menjual barang agunan dan mengambil haknya (utang atau harga kredit yang belum dibayar oleh arrhin) dari hasil penjualan tersebut. Lalu kelebihannya harus dikembalikan kepada pemiliknya, yakni ar-rhin. Sebaliknya, jika masih kurang, kekurangan itu menjadi kewajiban ar-rhin. Hanya saja, Imam al-Ghazali, menegaskan bahwa hak al-murtahin untuk menjual tersebut harus dikembalikan kepada hakim, atau izin ar-rhin, tidak serta-merta boleh langsung menjualnya, begitu ar-rhin gagal membayar utang pada saat jatuh temponya.4 Atas dasar ini, muamalah kredit motor, mobil, rumah, barang elektronik, dsb saat iniyang jika pembeli (debitor) tidak bisa melunasinya, lalu motor, mobil, rumah atau barang itu diambil begitu saja oleh pemberi kredit (biasanya perusahaan pembiayaan, bank atau yang lain), jelas menyalahi syariah. Muamalah yang demikian adalah batil, karenanya tidak boleh dilakukan. Pemanfaatan al-marhun oleh al-Murtahin 5 Setelah serah terima, agunan berada di bawah kekuasaan al-murtahin.Namun, itu bukan berarti al-murtahin boleh memanfaatkan harta agunan itu. Sebab, agunan hanyalah tawtsq, sedangkan manfaatnya, sesuai dengan hadis di atas, tetap menjadi hak pemiliknya, yakni ar-rhin. Karena itu, ar-rhin berhak

memanfaatkan tanah yang dia agunkan; ia juga berhak menyewakan barang agunan, misal menyewakan rumah atau kendaraan yang dia agunkan, baik kepada orang lain atau kepada al-murtahin, tentu dengan catatan tidak mengurangi manfaat barang yang diagunkan (al-marhun). Ia juga boleh menghibahkan manfaat barang itu, atau mengizinkan orang lain untuk memanfaatkannya, baik orang tersebut adalah al-murtahin (yang mendapatkan agunan) maupun bukan. Hanya saja, pemanfaatan barang oleh al-murtahin tersebut hukumnya berbeda dengan orang lain. Jika akad ar-rahn itu untuk utang dalam bentuk alqardh, yaitu utang yang harus dibayar dengan jenis dan sifat yang sama, bukan nilainya. Misalnya, pinjaman uang sebesar 50 juta rupiah, atau beras 1 ton (dengan jenis tertentu), atau kain 3 meter (dengan jenis tertentu). Pengembaliannya harus sama, yaitu 50 juta rupiah, atau 1 ton beras dan 3 meter kain dengan jenis yang sama.6Dalam kasus utang jenis qardh ini, almurtahin tidak boleh mamanfaatkan barang agunan sedikitpun, karena itu merupakan tambahan manfaat atasqardh. Tambahan itu termasuk riba dan hukumnya haram.7 Jika ar-rahn itu untuk akad utang dalam bentuk dayn, yaitu utang barang yang tidak mempunyai padanan dan tidak bisa dicarikan padanannya, seperti hewan, kayu bakar, properti dan barang sejenis yang hanya bisa dihitung berdasarkan nilainya,8 maka al-murtahin boleh memanfaatkan barang agunan itu dengan izin dari ar-rhin. Sebab, manfaat barang agunan itu tetap menjadi milik arrhin. Tidak terdapat nash yang melarang hal itu karena tidak ada nash yang mengecualikan al-murtahindari kebolehan itu. Ketentuan di atas berlaku, jika pemanfaatan barang agunan itu tidak disertai dengan kompensasi. Namun, jika disertai kompensasi, seperti arrhin menyewakan agunan itu kepada al-murtahin, maka al-murtahinboleh memanfaatkannya baik dalam akad al-qardh maupun dayn. Karena dia memanfaatkannya bukan karena statusnya sebagai agunan al-qardhutetapi karena dia menyewanya dari ar-rahin. Dengan ketentuan, sewanya tersebut tidak dihadiahkan oleh ar-rhin kepada al-murtahin. Namun, jika sewanya tersebut dihadiahkan, maka statusnya sama dengan pemanfaatan tanpa disertai kompensasi, sehingga tetap tidak boleh dalam kasus al-qardh, dan sebaliknya boleh dalam kasus dayn. Wallh alam bi ash-shawb. [Yahya Abdurrahman dan Hafidz Abdurrahman] Catatan Kaki: 1. Lihat: Ibn Muflih al-Hanbali, al-Mubdi, IV/213, al-Maktab al-Islami,Beirut. 1400 ; Muhammad bin Ahmad ar-Ramli al-Anshari, Ghyah al-Bayn Syarh Zabidi ibn Rusln, I/193, Dar al-Marifah, Beirut. tt; Abu Abdillah alMaghribi, Mawhib al-Jall, V/2, Dar al-Fikr, Beirut, cet. ii. 1398. 2. QS al-Baqarah ayat 283 menjelaskan bahwa dalam muamalah tidak secara tunai ketika safar dan tidak terdapat penulis untuk menuliskan transaksi itu maka ar-rahn dalam kondisi itu hukumnya sunnah. Dalam kondisi mukim hukumnya mubah. Lihat: Atha bin Khalil Abu arRasytah, Taysr f Ushl at-Tafsr ( Srah al-Baqarah), hlm. 437-438, Dar al-Ummah, Beirut, cet. ii (mudaqqiqah). 2006. 3. Rasul bersabda, L tabi m laysa indaka (Jangan engkau jual apa yang bukan milikmu) (HR Abu Dawud, an-Nasai, Ibn Majah, at-Tirmidzi, Ahmad dan al-Baihaqi). 4. Abu Hamid al-Ghazali, al-Wasith, III/520, Dar as-Salam, Kairo. 1417 H.

5. Lihat: an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islmiyyah, II/340-343, min 6. 7. 8.


mansyurat Hizb at-Tahrir, Dar al-Ummah li ath-Thabaah wa an-Nasyr wa at-Tawzi, Beirut, cet. v (mutamadah). 2003. Samih Athif az-Zain, al-Muamalat, Dar al-Kitab al-Lubnani, Lebanon, cetakan I, 1995, 285 dan 303-304. Rasul bersabda : kullu qardhin jarra manfaatan fahuwa majhun min wujhi ar-rib (Setiap pinjaman yang menarik suatu manfaat maka itu termasuk salah satu bentuk riba.) [HR al-Baihaqi] Lihat, ibid, hal. 304. Secara umum, sebenarnya dayn lebih umum daripada qardh. Dengan kata lain, dayn juga meliputi qardh, namun konteks dayn yang dimaksud dalam pembahasan ini dispesifikkan untuk kasus utang di luar qardh, yang telah dijelaskan di atas.

http://hizbut-tahrir.or.id/2007/06/01/ar-rahn-agunan/

Kanz al-Ml (Menimbun Harta)


Kanzu adalah mashdar dari kanazayaknizukanz[an]. Al-Kanzu secara bahasa artinya harta yang dipendam.1 Al-Kanzu juga merupakan sebutan untuk harta yang disimpan di dalam kotak dan sebutan untuk apa saja yang disimpan di dalamnya.2 Dalam pembicaraan orang Arab, al-kanzuartinya adalah apa saja yang dikumpulkan sebagian atas sebagian yang lain, baik di dalam tanah atau di atas tanah.3 Harta yang dikumpulkan itu untuk ditimbun, yaitu dikumpulkan dan disimpan. Dengan demikian, al-kanzu adalah harta yang dikumpulkan dan disimpan, baik di dalam atau di atas tanah.4 Pengumpulan harta, khususnya uang, oleh seseorang itu ada dua bentuk: menabung dan menimbun. Jika seseorang mengumpulkan uang dan menyimpannya dengan tujuan untuk membiayai suatu rencana tertentu (misal: untuk membangun rumah, membeli kendaraan, menikah, naik haji dan sebagainya) maka pengumpulan uang semacam itu disebut menabung. Sebaliknya, jika seseorang mengumpulkan uang dan menyimpannya sematamata hanya mengumpulkan dan menyimpannya tanpa ada rencana tertentu, pengumpulan seperti itu disebut menimbun. Penimbunan uang akan berpengaruh terhadap perekonomian secara umum. Penimbunan uang itu akan mempengaruhi sirkulasi dan pertukaran harta di tengah masyarakat, dan akhrinya akan mempengaruhi jalannya roda perekonomian. Hal itu karena pendapatan seseorang atau lembaga, tidak lain, bersumber dari orang atau lembaga lain; alat pertukarannya adalah uang. Jika seseorang menimbun uang, itu artinya uang itu tidak masuk ke pasar. Karena penimbunan itu, sirkulasi harta di masyarakat pun terganggu. Pada taraf tertentu, jika jumlah uang yang ditimbun banyak, roda perekonomian pun akan berjalan sangat lambat dan akibatnya perekonomian akan merosot. Namun, bahaya itu terjadi dari penimbunan uang bukan, dari menabung uang. Sebab, uang yang ditabung itu pada waktunya akan dibelanjakan sehingga pertukaran harta terjadi sehingga sirkulasi kekayaan tetap terjadi di masyarakat dan roda perekonomian tetap berjalan. Islam membolehkan seseorang menabung uang untuk membiayai suatu keperluan yang ia rencanakan. Islam hanya mewajibkan pengeluaran zakat dari uang yang ditabung itu jika sudah mencapai batas nishb dan berlalu haulnya. Sebaliknya, Islam mengharamkan penimbunan emas dan perak. Pada saat

diharamkan, emas dan perak menjadi alat tukar dan standar bagi tenaga, jasa atau manfaat suatu harta. Atas dasar itu, larangan penimbunan emas dan perak itu juga terkait dengan fungsinya sebagai alat tukar. Artinya, larangan itu juga mencakup larangan terhadap penimbunan uang secara umum. Allah Swt. berfirman:


Orang-orang yang menimbun emas dan perak serta tidak menafkahkannya di jalan Allah, kepada mereka beritahukanlah bahwa mereka akan mendapat siksaan yang sangat pedih. (QS at-Taubah [9]: 34). Adanya ancaman berupa siksaan yang pedih atas orang yang menimbun emas dan perak merupakan qarnah (indikasi) yang menunjukkan bahwa larangan itu bersifat tegas (jzim). Dengan demikian, menimbun emas dan perak hukumnya haram. Keharaman itu bersifat pasti dan umum, alasannya: Pertama: ayat ini bersifat umum berlaku untuk semua penimbunan emas dan perak. Keharaman menimbun emas dan perak dalam ayat ini ditunjukkan dengan penunjukan yang pasti. Penerapan laranganmenimbun dalam ayat ini hanya untuk emas dan perak yang tidak dikeluarkan zakatnya, atau dengan kata lain membolehkan penimbunan emas dan perak setelah dikeluarkan zakatnya, memerlukan adanya nash lain yang memalingkan larangan dalam ayat ini atau yang me-nasakh-nya. Padahal tidak terdapat nash yang memalingkannya atau me-nasakh-nya. Adapun riwayat yang menyatakan bahwa emas dan perak yang dikumpulkan baik yang dipendam atau tidak, jika dikeluarkan zakatnya tidak termasuk penimbunan yang dilarang, semuanya bukanlah hadis yang sahih. Sebabnya, riwayat-riwayat itu adalah riwayat mawqf, yakni sanad-nya berhenti pada Sahabat dan tidak sampai kepada Nabi saw. Kedua: ath-Thabari meriwayatkan berturut-turut dari: al-Hasan, Abd ar-Razaq, Mamar dari Qatadah, Syahr bin Hawsyab dari Abu Umamah bahwa ia berkata: Seorang laki-laki dari kalangan Ahlush Shuffah meninggal dunia. Di sakunya terdapat uang satu dinar. Rasulullah saw. bersabda, Kayyah (satu stempel dari api). Kemudian seorang Ahlush Shuffah yang lain meninggal dunia dan di sakunya terdapat dua dinar. Rasulullah saw bersabda, Kayyatn (Dua stempel dari api). Imam Ahmad meriwayatkannya dari Ali bin Abi Thalib dan Ibn Masud. Hal itu karena keduanya adalah orang yang hidup dari sedekah, sementara keduanya memiliki emas. Sabda Rasul saw, kayyah dan kayyatn, itu mengisyaratkan pada larangan menimbun emas dan perak di atas. Sabda Rasul itu juga mengisyaratkan bahwa keduanya telah menimbun emas. Hal itu karena keduanya adalah Ahlush Shuffah yang kehidupannya telah dipenuhi dari harta sedekah (zakat). Itu menandakan bahwa keduanya menyimpan emas tersebut bukan dalam rangka menabung karena kehidupannya telah dijamin dari shadaqah. Jumlah satu dan dua dinar jelas belum memenuhi nishb zakat. Ini menunjukkan bahwa penimbunan emas dan perak yang terkena ancaman ayat di atas bukan hanya dalam jumlah yang sudah mencapai nishb dan tidak dikeluarkan zakatnya. Setiap penimbunan emas dan perak berapapun terkena ancaman ayat di atas dan hukumnya haram, meski hanya satu atau dua dinar. Ketiga: ancaman ayat di atas terkait dengan dua macam aktivitas: aktivitas menimbun emas dan perak; dan aktivitas tidak membelan-jakannya di jalan Allah. Artinya, ada orang yang tidak menimbun emas dan perak tetapi tidak membelanjakannya di jalan Allah; orang yang menimbun emas dan perak dan

tidak membelanjakannya di jalan Allah; dan orang yang menimbun emas dan perak saja meski ia membelanjakan sebagian hartanya di jalan Allah. Semuanya terkena ancaman ayat di atas. Al-Qurthubi mengatakan di dalam tafsirnya, Siapa yang tidak menimbun, sementara ia menahan pembelanjaanya di jalan Allah, ia mesti demikian juga (terkena ancaman ayat tersebut).5 Frasa di jalan Allah (f sablillh)di dalam al-Quran, jika dikaitkan dengan infak, maksudnya adalah jihad f sablillh, bukan yang lain. Keempat: Imam Bukhari meriwayatkan dari Zaid bin Wahab tentang perbedaan pendapat Muawiyah bin Abi Sufyan dengan Abu Dzar tentang ayat di atas. Muawiyah berkata, Ayat ini bukan untuk kita, melainkan ayat ini hanya untuk Ahlul Kitab. Abu Dzar membantah dengan mengatakan, Sungguh, ayat ini untuk kita dan mereka. Muawiyah lalu melaporkan Abu Dazar kepada Khalifah Utsman. Lalu Khalifah memanggil Abu Dazar ke Madinah, dan berlangsunglah peristiwa seperti yang diceritakan dalam riwayat tersebut. Perbedaan pendapat yang terjadi antara Muawiyah dan Abu Dzar adalah untuk siapa ayat tersebut diturunkan. Seandainya saat itu sudah masyhur riwayat dari Nabi saw. bahwa emas dan perak yang telah dikeluarkan zakatnya tidak termasuk al-kanzu, tentu Muawiyah akan ber-hujjah dengannya dan Abu Dzar pun akan diam karenanya. Namun, sampai ketika Abu Dzar menghadap Khalifah Utsman sekalipun, tidak disampaikan riwayat itu meski banyak dari Sahabat yang masih tinggal di Madinah. Kelima: kanzu adz-dzahab wa al-fidhah secara bahasa maknanya mengumpulkan/menimbun emas dan perak dan menyimpannya baik di dalam tanah maupun di atas tanah. Lafal al-Quran dimaknai dengan makna bahasanya saja, kecuali terdapat makna syariah yang dinyatakan oleh nash; dalam kondisi tersebut makna syariah dikedepankan atas makna bahasa. Lafal al-kanzu tidak terdapat makna syariahnya. Karena itu, lafal ini dalam ayat di atas harus dimaknai menurut makna bahasanya saja. Dengan demikian, kanzu adz-dzahab wa al-fidhah (menimbun emas dan perak) atau menimbun uang adalah mengumpulkannya dan menyimpannya baik di dalam tanah maupun di atas tanah. Hal itu dilakukan semata untuk mengumpulkan dan menyimpannya saja, bukan untuk menabung dalam rangka membiayai suatu keperluan yang direncanakan. Semua bentuk penimbunan emas dan perak atau penimbunan uang itu hukumnya haram dan pelakunya diancam dengan siksaan yang amat pedih di akhriat kelak. Wallh alam bi ash-shawb. [Yahya Abdurrahman] Catatan Kaki:

1. Ar-Razi, Mukhtr ash-Shihh, I/124, ed. Mahmud Khathir, Maktabah


Lubnan Nasyirun, Beirut, thabaah jadidah. 1415-1995

2. Ibn Manzhur, Lisn al-Arab, V/401, Dar Shadir, 3. Beirut, cet. I. tt3 Ibn Jarir ath-Thabari, Tafsr ath-Thabar, X/121, Dar al-Fikr,
Beirut. 1405 H

4. Al-Minawi, Faydh al-Qadr, V/29, Maktabah at-Tijariyah al-Kubra, Mesir, 5. Al-Qurthubi, Tafsr al-Qurthub, VIII/128, ed. Muhammad Abdul Halim alBarduni, Dar asy-Syab, Kaero, cet. II. 1372 cet. I. 1356 H

http://hizbut-tahrir.or.id/2007/05/02/kanz-al-mal-menimbun-harta/

Anda mungkin juga menyukai