Anda di halaman 1dari 11

Transaksi Pinjaman Secara Bersyarat Dalam Fiqih Muamalah

Maryatul Qiftiyah (2282110010)


Jurusan Perbankan Syariah A/3, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Syekh Nurjati Cirebon
Email: qiftiyah2709@gmail.com

Abstrac
The loan agreement in Islamic economics is called al-Qardh, which is the provision of
assets to the borrower, with the borrower's dependents replacing the assets that are equivalent
to the assets taken. Lending and borrowing is one of the ways people use when they are in a
desperate situation to fulfill their daily needs. As we know, this lending and borrowing
contract is tabamu or social in nature, as a form of care and mutual cooperation, so that the al-
Qardh contract or loan cannot contain additional items.
Aconditional loan is a loan of money to someone with certain conditions to be
returned with the same amount and in accordance with the provisions and laws established by
Allah SWT. Then, in reviewing muamalah jurisprudence regarding lending and borrowing
transactions that do not meet the requirements and pillars of jurisprudence, namely that there
is an excess, this can be seen that there is an excess of the money lent.

Keywords: Muamalah Fiqh, Qardh, Conditional Loans.

Abstrak
Akad pinjam meminjam disebut dengan al-Qardh, yaitu pemberian harta kepada
peminjam, dengan tanggungan peminjam mengganti harta yang setara dengan harta yang
diambil. Pinjam meminjam merupakan salah satu cara yang dilakukan masyarakat ketika
mengalami kondisi terdesak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagaimana kita ketahui
akad pinjam meminjam ini bersifat tabamu atau sosial, sebagai wujud kepedulian dan gotong
royong, sehingga dalam akad atau pinjaman al-Qardh tidak boleh memuat tambahan.
Pinjaman bersyarat ialah suatu pemberian pinjaman uang terhadap seseorang dengan
syarat tertentu untuk dikembalikan dengan jumlah yang sama dan sesuai dengan ketentuan
serta hukum-hukum yang diadakan oleh Allah SWT. Kemudian dalam tinjauan fikih
muamalah terhadap transaksi pinjam meminjam belum memenuhi syarat dan rukun fikih
yaitu adanya kelebihan, hal ini dapat dilihat adanya kelebihan dari uang yang dipinjamkan.

Kata Kunci : Fiqih Muamalah, Qardh, Pinjaman Bersyarat.


A. Pendahuluan
Islam adalah sistem kehidupan (way of life), dimana Islam telah menyediakan
berbagai perangkat aturan yang lengkap bagi kehidupan manusia, termasuk dalam bidang
ekonomi. Beberapa aturan ini bersifat pasti dan berlaku permanen, sementara beberapa yang
bersifat kontekstual sesuai situasi dan kondisi. Penggunaan agama sebagai dasar ilmu
pengetahuan telah menimbulkan diskusi panjang di kalangan ilmuwan, meskipun sejarah
telah membuktikan bahwa hal ini adalah sebuah keniscayaan.
Dalam fikih muamalah terdapat dua akad yang berbeda yakni akad tabarru’ dan akad
tijaroh, hal ini dibedakan dari segi ada atau tidak adanya kompensasi. Namun, untuk kali ini
penulis lebih memfokuskan terhadap akad yang berhubungan dengan penelitian yaitu akad
tabarru’. Sebagai contoh yang termasuk akad tabarru’ adalah qardh, rahn, hiwalah, wakalah,
kafalah, wadi’ah, hibah, waqf, shadaqah, hadiah, dan lain-lain. Untuk lebih fokusnya lagi
penulis akan mengambil satu akad yang termasuk kedalam akad tabarru’ yaitu akad qardh
(utang-piutang uang). Akad al-qardh didefinisakan secara fikih iqardhatau iqrad yang secara
etimologi berarti pinjaman. Secara terminalogi mu’amalah (ta’rif) adalah “meminjam
sesuatau dengan mengganti yang sama”. Hukum qardh itu mubah (boleh), yang didasarkan
pada saling menolong.
Utang-piutang atau pinjam-meminjam yang dalam istilah hukum fikih muamalah
disebut akad al-qardh merupakan pinjaman kebajikan atau lunak tanpa imbalan, biasanya
digunakan untuk pembelian barang-barang tungible (yaitu barang yang dapat diperkirakan
dan diganti sesuai berat, ukuran, dan jumlahnya) dan kebutuhan sehari-hari.1
Akad al-Qardh atau pinjaman dibolehkan adanya kesepakatan yang dibuat sesuai
persetujuan, antara yang memberi pinjaman dan yang meminjam, seperti persyaratan adanya
saksi, bukti tertulis ataupun pengakuan dihadapan hakim untuk menghindari kemungkinan
yang akan terjadi.2 Mengenai pengembalian al-Qardh atau pinjaman, jika peminjam
mengembalikan harta yang telah dipinjam dengan melebihkan sebagai bentuk kebaikan dari
peminjam, maka itu tidak menjadi masalah, sebagaimana Rasulullah SAW, pernah
meminjam seekor unta yang masih muda, saat pengembaliannya Rasulullah SAW
mengembalikannya dengan unta yang lebih baik. Berbeda jika dalam akad al-Qardh atau
pinjaman mengandung pensyaratan tambahan, baik dari pihak yang memberi pinjaman
ataupun yang meminjam, sebagaimana dalam kaidah fikih mengatakan :

‫كّلقرض جّرمنفعة فهو رب‬


“setiap pinjaman yang mendatangkan manfaat adalah riba”.
Dikutip dari pendapat jumhur ulama bahwa tidak boleh mensyaratkan tambahan

1
P3EI, UII Yogyakarta dan BI, Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam,
Jakarta: Rajawali Pers, 2009, hlm. 13
2
Nur S Buchori, Koperasi Syariah Teori dan Praktik, Banten: Pustaka Aufa Media,
2012,hlm. 55.

2
dalam al-Qardh atau pinjaman, seperti memberikan pinjaman dengan syarat adanya jual beli,
sebagaimana kita ketahui bahwa Islam sangat memotivasi ummatnya dalam transaksi tabarru,
yang harus lebih ditekankan adalah membantu orang lain, sehingga tidak memanfaatkan
suasana kesulitan yang dialami saudaranya, yaitu memberikan pinjaman yang bersyarat.3

2. Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian ini berbentuk kualitatif. Kualitatif yaitu data
yang berupa informasi, uraiandalam bentuk bahasa, prosa kemudian dikuatkan dengan data
lainnya untuk mendapatkan kejelasan terhadap suatu kebenaran atau sebaliknya.
Dalam penelitian ini menggunakan metode pengambilan data sekunder. Data sekunder adalah
data yang dilakukan dengan cara membaca literature kepustkaa, dokumentasi, jurnal yang ada
hubungannya dengan penelitian yang dilakukan.

3. Pembahasan
Al-Qard
al-Qardh secara etimologi adalah al-qaṭ‘ (‫ )القطع‬yang berarti potongan. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia pinjaman adalah uang yang dipinjam dari pemberi pinjaman
kepada peminjam, pinjaman dalam bahasa Arab disebut dengan al-Qardh. Al-Qardh secara
istilah adalah melakukan pemberian harta, kepada orang yang akan memanfaatkannya
(peminjam atau pengutang), kemudian mengembalikan gantinya dikemudian hari yang telah
ditentukan.
Fatwa DSN Nomor 19/ DSN-MUI/IV/2001 tentang al-Qardh Mengenai ketentuan
umum al-Qardh dalam Bank Syariah menjelaskan bahwa:
a. al-Qardh adalah pemberian pinjaman uang, yang diberikan dari bank kepada
nasabah (muqtaridh) yang membutuhkan.
b. Nasabah al-Qardh diharuskan mengembalikan jumlah pokok diterima pada
waktu yang disepakati bersama.
c. Biaya administrasi menjadi tanggungan nasabah (muqtaridh).
d. Lembaga Keuangan Syariah diperbolehkan meminta jaminan kepada
nasabah (muqtaridh) apabila diperlukan jaminan.
e. Kebolehan tambahan dari nasabah kepada Lembaga Keuangan Syariah,
apabila hal tersebut tidak diperjanjikan dalam akad.

3
Ibid., 374.
3
Undang-undang perbankan syariah pada pasal 19 ayat 1 menjelaskan bahwa:
“alQardh adalah akad pinjaman dana kepada nasabah, dengan ketentuan bahwa nasabah harus
mengembalikan dana pinjamannya pada waktu yang telah disepakati oleh bank dan nasabah”.
Menurut istilah para ahli fikih, al-Qardh adalah pemberian harta kepada orang lain
yang dalam pengembaliannya tidak ada tambahan. Al-Qardh hukumnya boleh dan
dibenarkan secara syariat. Menurut pendapat Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, alQardh
adalah akad peminjaman harta yang objeknya dari pemberi peminjam kepada seorang
peminjam objeknya benda dihabiskan, seperti minyak dan gandum untuk dikembalikan
dikemudian harinya.
Menurut Mazhab Hanafiyah al-Qardh adalah harta yang memiliki nilai sepadan,
diberikan kepada orang lain dan akan dikembalikan dikemudian hari. Mazhab ulama lain
mendefnisikan al-Qardh adalah bentuk pemberian harta dari seorang kreditur kepada debitur,
dengan perjanjian akan mengganti harta sepadan yang akan ditanggung oleh debitur, harta
tersebut mencakup harta miṡliyat hewan dan barang dagangan.
Pendapat Madzhab Maliki al-Qardh adalah pemberian sesuatu yang berharga untuk
mengembalikan kembali dengan jenis serupa atau setimpal.
Dikutip dari Ahmad Wardi Muslich, bahwa Syafi’iyah berpendapat al-Qardh dalam
istilah syara’ diartikan dengan sesuatu yang diberikan kepada orang lain (yang pada suatu
saat harus dikembalikan). Sebagian pendapat mendefinisikan bahwa pinjaman uang adalah
pemberian uang dari pihak yang memberikan hutang kepada pihak yang meminjam,
kemudian akan dibayarkan kembali kepada pihak pemberi hutang, biasanya dilakukan dalam
bentuk kredit.

Dasar Hukum Pinjaman


Memberikan bantuan kepada orang lain, berupa memberikan pinjaman dengan niat
karena Allah T maka pahalanya akan dilipatgandakan. Sebagaimana yang dipaparkan dalam
Q.S. Al-Hadid ayat 11: “Barangsiapa meminjamkan kepada Allah dengan pinjaman yang
baik, maka Allah akan mengembalikannya berlipat ganda untuknya, dan baginya pahala yang
mulia.”Kebolehan al-Qardh bahkan sangat dianjurkan kepada yang sangat membutuhkan,
sebagaimana dijelaskan bahwa al-Qardh lebih utama dari sedekah, apabila dalam keadaan
mendesak lebih diutamakan untuk meminjam dari pada meminta-minta.
Adapun sumber hukum dalam syariat yang ketiga setelah al-qur’an dan as-Sunnah
adalah ijma’. Ijma’ dapat dikatakan sebagai kesepakatan para mujtahid umat ini sepeninggal
Nabi saw mengenai hukum syar’i, para ulama sepakat bahwa pinjaman atau al-Qardh
dibolehkan, melihat bahwa manusia tidak akan lepas dari manusia lain dan akan terus saling
membutuhkan. Ulama berpendapat boleh mengadakan pembiayaan jasa atas pengadaan
pinjaman, seperti biaya penyewaan tempat atau gedung, serta gaji para pegawai yang
bekerja.4
Rukun dan Syarat Pinjaman

4
Erwandi Tarmizi, Harta Harom Muamalat Kontemporer (Bogor: P.T. Berkah Mulia
Insani),352.
4
Akad akan dikatakan sah apabila terpenuhi rukun dan syaratnya, rukun merupakan
suatu unsur yang harus ada, serta merupakan esensi dalam sebuah kontrak, ketika salah-satu
rukun tidak terpenuhi maka menurut perdata Islam suatu kontrak dianggap tidak ada,
sedangkan syarat adalah sifat yang harus ada dalam setiap rukun, namun tidak merusak esensi
akad apabila tidak terpenuhi5. Rukun al-Qardh sebagai berikut:
1. Aqidayn (dua pihak yang berakad).
2. Ma’uqud alaih (benda yang dihutangkan).
3. Shighat (penjanjian dua pihak yang berakad).
Bank Indonesia dan Dewan Syariah Nasional Majlis Ulama Indonesia (DSN MUI)
telah menggariskan rukun al-Qardh sebagai berikut:
1. Muqrid yaitu memberi pinjaman.
2. Muqtaridh yaitu yang mendapat pinjaman uang.
3. Muqud alaih yaitu objek pinjaman.
4. Shighat yaitu ijab dan qabul dalam suatu akad al-Qardh.
Syarat-syarat dalam akad al-Qardh atau pinjaman yaitu:
1. Aqidain yang dimaksud adalah Muqrid dan Muqtaridh
a. Syarat bagi Muqrid
Ulama sepakat bahwa syarat bagi pemberi hutang adalah seorang ahli
tabarru (memiliki wewenang memberikan derma), yaitu baliq, berakal sehat,
pandai membedakan baik dan buruk. Syafi’iyyah beragumentasi bahwa Muqrid
harus ahliyah yaitu memiliki kecakapan dan keahlian.
b. Syarat bagi Muqtaridh
Syafi’iyyah mensyaratkan bahwa penghutang hendaknya ahliyah dalam
bermuamalah, yaitu memiliki kelayakan dalam melakukan transaksi Hanabila
mensyaratkan bahwa penghutang harus mampu menanggung hutang.
2. Harta yang Dihutangkan
Harta yang dihutangkan memiliki beberapa syarat sebagai berikut:
a. Harta yang dihutangkan merupakan harta yang memiliki padanan, berupa harta yang satu
sama lain dan tidak menimbulkan perbedaan nilai seperti uang, barang yang dapat ditakar
ditimbang dan dihitung.
b. Harta yang Dihutangkan berupa Benda
5
Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri, Minhajul Muslim Konsep Hidup Ideal dalam Islam, trans.
Mustofha ‘Aini, Amir Hamzah Fachrudin dan Kholif Mutaqin (Jakarta: Darul Haq,
2015),710.
5
c. Harta yang yang menjadi objek pinjaman diketahui dari sisi kadar dan sifatnya.

Adab dalam Akad Al-Qardh atau Pinjaman


1. Adab Pemberi Pinjaman
a. Pinjaman diberikan kepada pihak yang benar-benar membutuhkan.
b. Niat ikhlas tolong-menolong.
c. Memberi jangaka waktu kepada peminjam agar ada kemampuan atau kemudahan untuk
membayar.
d. Sebaiknya menagih hutang pada waktu yang telah disepakati bersama.
e. Menagih dengan sikap lemah lembut.
f. Tidak mensyaratkan tambahan atau kelebihan.
g. Memberikan perpanjangan waktu kepada penghutang, yang mengalami kesulitan dalam
pelunasan atau mengiklaskannya sebagai sedekah itu lebih baik. Diantara yang
membolehkan adanya penangguhan pada akad alQardh yaitu ibnu Umar, Amru bin Dinar,
Malik, Laits bin Saad, Bukhari, Ahmad, ibnu Taimiah, ibnu Qayyim, dan ibnu Hazm.
2. Adab Peminjam
a. Sebaiknya berhutang apabila dalam keadaan terpaksa atau mendesak.
b. Melakukan pelunasan hutang sesuai kesepakatan.
c. Berniat dengan sungguh-sungguh untuk melunasi.
d. Menunda untuk melunasi hutang termasuk sebuah kezhaliman apabila penghutang
memiliki kemampuan melunasi.
e. Jika belum mampu melunasi hutang hendaknya berdoa kepada Allah SWT, agar diberi
kemudahan dalam pelunasannya.
f. Hendaknya berhutang pada orang yang sholeh yang memiliki penghasilan halal.
g. Apabila terlambat dalam membayar hutang, sebaiknya memberitahu pemberi pinjaman.
h. Menggunakan uang pinjaman dengan sebaik-baiknya.
i. Sunnah melafazkan “hamdala” ketika telah melunasi hutang.

Sumber Pinjaman
1. Pinjaman bank dapat menjadi alternatif saat membutuhkan pinjaman, banyak masyarakat
saat ini melakukan pinjaman untuk modal usaha.
2. Pinjaman non bank berupa koperasi.

6
3. Investor perorangan/kelompok.
4. Leasing adalah program pendanaan yang diberikan oleh lembaga keuangan yang berbentuk
perusahaan.
5. Pemasok atau supplier juga dapat dijadikan sebagai sumber dana.

Manfaat Akad Al-Qardh


1. Menjadi jalan keluar untuk orang yang sedang dalam kesulitan untuk mendapatkan dana
talangan jangka pendek.
2. Salah-satu ciri al-Qardh terjadi antara Bank Syariah dan Bank Konvensional yang di
dalamnya terkandung misi sosial, di samping misi komersial.
3. Adanya al-Qardh dapat meningkatkan citra baik dan meningkatkan loyalitas masyarakat
terhadap Bank Syariah.
4. Resiko dalam al-Qardh terhitung tinggi karena merupakan pembiayaan yang tidak
memiliki jaminan.

Pinjaman Beryarat
Memungut tambahan yang disyaratkan dalam akad al-Qardh, maka hukumnya haram
bagi pemberi pinjaman, para ulama telah sepakat bahwa mensyaratkan tambahan kepada
peminjam termasuk dalam perkara riba. Pemberi pinjaman tidak boleh memungut tambahan
yang disyaratkan kepada para peminjam uang, bagaimanapun dan apapun namanya, baik hal
itu disebut tambahan, bunga, laba, bagi hasil, bonus, hadiah, penginapan gratis, tumpangan
gratis, dan semisalnya. selama hal tersebut tambahan, jika hadiah atau manfaat tersebut
dipersyaratkan, maka hal tersebut termasuk riba.6
Penambahan dalam akad al-Qardh dibedakan menjadi 2 macam sebagai berikut ini:
1. Penambahan tanpa Syarat
Penambahan yang diberikan tanpa syarat maka yang seperti ini boleh, karena tidak
mengandung syarat dengan pemanfaatan dan termasuk pembayaran yang baik, sebagaimana
kita ketahui bahwa orang yang paling baik adalah yang pandai dalam mengembalikan utang.
Begitu juga apabila pada al-Qardh mengandung manfaat yang tidak diketahui hukumnya juga
boleh.
2. Penambahan dengan Syarat
Penambahan dengan syarat dilarang berdasarkan Ijma, sama halnya pada manfaat
yang disyaratkan, seperti perkataan: “Aku memberikan utang kepadamu dengan syarat kamu
menjual motormu kepada saya” atau bentuk syarat manfaat lainnya, hal ini termasuk dalam
bentuk rekayasa terhadap riba, ulama Hanafiyah berpendapat bahwa setiap al-Qardh yang
6
Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawir Arab-Indonesia (Yogyakarta: PP. Al
Munawwir, 1997), 1108.
7
mendatangkan manfaat itu diharamkan ketika mengandung syarat, seperti pendapat ulama
Malikiyah bahwa mengambil manfaat dari harta peminjam dapat menjadikan akad al-Qardh
tidak sah.

Fiqh Muamalah
a. Pengertian fiqh muamalah
Fiqh Muamalah berasal dari dua kata, fiqh dan muamalah. Secara etimologi, fiqh
adalah pemahaman. Sementara secara istilah adalah Ilmu tentang Hukum-hukum Syar’i yang
bersifat amali yang digali dari dalil-dalil yeng terperinci.Muamalah berasal dari kata amala
yu’milu mu’amalatan, yang secara etimologi berarti saling bekerja. Secara istilah muamalah
adalah hal yang berkaitan dengan transaksi antar sesama manusia.Dengan demikian fiqh
muamalah adalah aturan-aturan (hukum) Allah SWT. Ditujukan untuk mengatur kehidupan
manusia dalam urusan keduniaan atau urusan yang berkaitan dengan urusan duniawi dan
sosial masyarakat.
Dalam pengertian ini, manusia kapanpun dan dimanapun harus senantiasa mengikuti
aturan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT, sekalipun dalam perkara yang bersifat duniawi
sebab segala aktivitas manusia sekecil apapun akan dimintai pertanggung jawaban di akhirat
nanti.
Adapun pengertian muamalah dalam arti sempit menurut Hundari Beik adalah
“Muamalah adalah semua akad yang membolehkan manusia saling menukar manfaat”. Dan
menurut Idris Ahmad muamalah adalah aturan yang mengatur hubungan manusia dengan
manusia dalam usahanya untuk mendapatkan alat-alat keperluan jasmaniah dengan cara yang
paling baik. Sedangkan menurut Rasyid Ridha muamalah ialah tukar-menukar barang atau
sesuatau yang bermanfaat dengan cara-cara yang telah ditentukan.
Dari definisi di atas dapat kita pahami bahwa muamalah ialah semua kegiatan
manusia yang menggunakan akad yang telah ditentukan oleh Allah SWT untuk
membolehkan dalam mengelola, memperoleh dan mengembangkan harta bendanya.Dari
pengertian muamalah di atas fiqh muamalah tidak mencakup berbagai hal yang berkaitan
dengan harta, seperti cara mengatur tirkah (harta waris), sebab masalah ini telah diatur dalam
disiplin ilmu itu sendiri.7
b. Pembagian fiqh Muamalah
Adapun penetapan pembagian fiqh muamlah yang dikemukakan ulama fiqh sangat
berkaitan dengan definisi fiqh muamalah, yaitu sebagai berikut:
1) Muawadhah Maliyah (Hukum Kebendaan)
2) Munakahat (Hukum Perkawinan)
3) Muhasanat (Hukum Acara)
4) Amanat dan Ariyah (Pinjaman)
7
Sri Nurhayati dan Wasilah, Akuntansi Syariah di Indonesia (Jakarta: Salemba
Empat, 2014), 261.
8
5) Tirkah (harta Peninggalan)
Pembagian di atas, ada dua bagian yang merupakan disiplin ilmu itu sendiri ialah
munakahat dan tirkah. Hal ini dapat dimaklumi, karena pembagian fiqh muamalah di atas
merupakan pembagian dari sudut pandang fiqh muamalah dalam pengertian luas.Sedangkan
Al-Fikri, dalam kitab Al-Muamalah Al-Madiyah wa Al-Adabiyah, membagi fiqh muamalah
menjadi dua bagian.8
1) Al-muamalah Al-Madiyah
Al-muamalah Al-Madiyah ialah muamalah yang mengkaji segi objeknya, yaitu benda.
Sebagian ulama berpendapat bahwa muamalah Al-Madiyah bersifat kebendaan, yakni benda
yang halal, haram, dan subhat untuk dimiliki, diperjual belikan atau diusahakan, benda yang
menimbulkan kemudoratan dan mendatangkan kemaslahatan bagi manusia, dan lainnya.
Dengan kata lain Al-muamalah Al-Madiyah adalah aturanaturan yang ditetapkan
syara’ dari segi objek benda. Oleh karena itu, berbagai aktivitas muslim yang berkaitan
dengan benda, seperti al-bai’ (Jual-beli) tidak hanya ditunjukkan untuk memperoleh
keuntungan semata, tetapi lebih jauh dari itu, yakni untuk memperoleh ridha Allah SWT
konsekuensinya harus menuruti tatacara jual beli yang telah ditetapkan syara’.
2) Al-muamalah Al-adabiyah
Al-muamalah Al-adabiyah maksudnya, muamalah ditinjau dari segi cara tukar-
menukar benda, yang sumbernya dari pancaindera manusia, sedangkan unsur-unsur
penegakannya adalah hak dan kewajiban, seperti jujur, hasud, iri, dendam, dan lain
sebagainya. Kalau dalam bahasa yang sederhana Al-muamalah Aladabiyah ialah aturan-
aturan Allah SWT yang berkaitan dengan aktivitas manusia dalam hidup bermasyarakat yang
ditinjau dari segi subjeknya, yaitu manusia sebagai pelakunya. Dengan demikian, maksud
adabiyah ialah berkisar dalam keridhaan dari kedua belah pihak yang melangsungkan akad,
ijab Kabul, dusta, dan lain sebagainya. Dalam sisi prakteknya Al-muamalah al-madiyah dan
Almuamalah Al-adabiyah tidak dapat dipisahkan. Walaupun keduanya ada pembagian itu
hanya sekedar teori saja, agar kita lebih mudah untuk memahaminya.
c. Ruang lingkup Fiqh Muamalah
Adapun runga lingkup fiqh muamalah adalah fokus pada kajian transaksi manusia
yang berkaitan dengan harta atau sejenisnya. Oleh karena itu bahasan dalam fiqh muamalah
di bagi menjadi dua macam yaitu:
1) Ruang lingkup muamalah Adabiyah
Adapun hal-hal yang termasuk dalam ruang lingkup muamalah Adabiyah ialah ijab
dan kabul, saling meridhai, tidak ada keterpaksaan dari salah satu pihak, hak dan kewajiban,
kejujuran pedagang penipuan, pemalsual, penimbunan, dan segala sesuatu yang bersumber
dari indera manusia yang ada kaitannya dengan peredaran harta.
2) Ruang lingkup muamalah Al-Madiyah
8
Abdullah bin Muhammad et al, Ensiklopedi Fikih Muamalah (Yogyakarta: Maktabah
AlHanif, 2017), 159.

9
Adapun ruang lingkup muamalah Madaniya ialah sebagai berikut:
a) Jual beli (al-bai’ at-tiarah)
b) Gadai (rahn)
c) Jaminan dan tanggungan (kafalah dan dhaman)
d) Pemindahan utang (hiwalah)
e) Jatuh bangkit (taffis)
f) Batas bertindak (al-hajru)
g) Perseroan atau perkongsian (asy-syirkah)
h) Perseroan harta dan tenaga (al-mudharabah)
i) Sewa-menyewa tanah (al-musaqah al-mukhabarah)
j) Upah (ujral al-amah)
k) Gugatan (asy-syuf’ah), Sayembara (al-ji’alah)
l) Pembagian kekayaan bersama (al-qismah)
m) Pemberian (al-hibbah)
n) Pembebasan (al-ibra’), damai (ash-shulhu)
o) Beberapa masalah mu’asshirah (muhaditsah) seperti masalah
bunga bank. Asuransi, kredit dan masalah alinnya.
p) Meminjam (ariyah), Utang-piutang (al-Qardh.

Kesimpulan

al-Qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang dalam pengembaliannya
tidak ada tambahan. Memungut tambahan yang disyaratkan dalam akad al-Qardh, maka
hukumnya haram bagi pemberi pinjaman, para ulama telah sepakat bahwa mensyaratkan
tambahan kepada peminjam termasuk dalam perkara riba. Pemberi pinjaman tidak boleh
memungut tambahan yang disyaratkan kepada para peminjam uang, bagaimanapun dan

10
apapun namanya, baik hal itu disebut tambahan, bunga, laba, bagi hasil, bonus, hadiah,
penginapan gratis, tumpangan gratis, dan semisalnya. selama hal tersebut tambahan, jika
hadiah atau manfaat tersebut dipersyaratkan, maka hal tersebut termasuk riba.

DAFTAR PUSTAKA
Khosyi’ah, Siah. 2014. Fiqih Muamalah Perbandingan. Bandung: Pustaka Setia.
Mubarok, Atus Ludin.Praktek Pinjam Meminjam Uang Dalam Perspektif Hukum
Islam, Jurnal Hukum Islam, Tasikmalaya, Islamic institute of latifah
Mubarokiyah.
Muslich, Ahmad Wardi. 2010. Fiqih Muamalah. Jakarta: Amzah.
Nawawi, Slamail. 1997. Fiqh Muamalah, Yogyakarta: Dana Bahakti primayasa.
Rasid, Sulaiman. 2017. Fiqih Islam. Bandung: Sinar Baru algensindo.
Rifa’I, Moh. 1978. Ilmu Fiqih lengkap. Semarang: CV Toha Putra.
Rohmatullah, Ngimaduddin.2017. Kifayatul Ahyar, mengurai fikih madzhab
Syafi’i dalam matan Ghayatul ikhtiyar.Solo: Darul Aqidah, Iskandariyah.
Sabiq, Sayyid. 1996. Sunnah Fiqih, Jilid 12, Depok: Usaha Kami.
Saleh, Hassan. dkk, 2008.Kajian Fiqh Nabawi dan fiqh kontemporer. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Siah. 2014. Fiqih Muamalah Perbandingan. Bandung: Pustaka Setia.

11

Anda mungkin juga menyukai