Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

KEDUDUKANN IJMA’

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Sekolah

“USHUL FIQH”

Dosen Pengampu :

Adv. JAMAHARI, S.HI., MH., CIM

Disusun Oleh :

NAMA : ERNITA SYAFITRI

NIM : 23.24.559

JURUSAN HUKUM TATA NEGARA

SEMESTER I A

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AN-NADWAH

KUALA TUNGKAL

TAHUN AKADEMIK

2023/2024

i
KATA PENGANTAR

‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬

Pertama-tama marilah kita panjatkan puji dan syukur kita terhadap khadirat
Allah SWT. dimana atas rahmat dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan makalah
ini tepat pada waktunya adapun judul yang saya buat saat ini adalah “Kedudukan
Ijma’ ”.
Saya menyadari makalah yang saya buat masi jauh dari kata sempurna
dikarenakan keterbatasan kemampuan dan pengalaman yang saya miliki saat ini, dan
saya berharap semoga makalah ini dapat memberikan ilmu yang bermanfaat untuk
perkembangan dan peningkatan dalam bidang ilmu pendidikan.
Demikian yang dapat saya sampaikan dan apabila terdapat kesalahan dalam
penulisan makalah ini saya mohon maaf, semoga kita dapat memberikan yang terbaik
di bidang ilmu pendidikan untuk negara Indonesia.

Kuala Tungkal, September 2023

Ernita syafitri

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii

DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ .1

1.1 Latar Belakang ................................................................................ .1

1.2 Rumusan Masalah ........................................................................... 1

1.3 Tujuan .............................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................... 2

2.1 Pengertian ijma' ............................................................................... 3

2.2 Kehujahan Ijma’ .............................................................................. 4

A. Ijma’ Sebagai Hujah ................................................................... 4

B. Ijma’ Bukan Hujah .................................................................... 6

2.3 Rukun-rukun Ijma’ .......................................................................... 8

2.4 Macam-macam Ijma’ ...................................................................... 10

BAB III PENUTUP ............................................................................................ 11

3.1 Kesimpulan ...................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 12

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Syariat Islam yang dianut oleh sekitar lebih dari satu milyar umat dewasa ini,
berawal dari datangnya Nabi Muhammad Saw, beliau adalah pembawa risalah
terakhir dari ajaran Ilahi yang merupakan lanjutan dari risalah yang pernah ada
sebelumnya. Risalah Islam yang diwahyukan Tuhan dibawa oleh beliau menjadi
petunjuk untuk segenap manusia demi mencapai falah atau keberuntungan dunia
dan akhirat. Untuk memahami syariat Islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw itu,
para ulama ushul fiqih mengemukakan dua pendekatan yaitu melalui kaidah-
kaidah kebahasaan dan melalui pendekatan maqashid al Syariah (Harun Nasution,
1997). Teori yang digunakan untuk menyingkap dan menjelaskan hukum dari
berbagai kasus termasuk persoalan-persoalan muamalah dalam hal ini bidang
ekonomi, yang tidak dijelaskan secara rinci oleh nash Al Quran maupun Hadits,
maka sangat dibutuhkan metode-metode seperti Ijma. Hal ini sangat penting
untuk dipahami mengingat persoalan ekonomi Islam berkembang secara
signifikan seiring dengan perkembangan berbagai aspek kehidupan manusia.
Ekonomi Islam sendiri hadir sebagai bagian dari toalitas kesempurnaan Islam.
Islam harus dipeluk secara kaffah oleh umatnya, maka konsekuensinya umat
Islam harus mewujudkannya dalam berbagai aspek kehidupan termasuk
kehidupan ekonomi. Karena itu sumber ekonomi Islam dalam hal ini Al Quran,
Hadits termasuk Ijma kedudukannya sangat diperlukan sebagai pedoman untuk
mencapai falah.

1.2 Rumusan Masalah


a) Apa itu Ijma'?
b) Bagaimana Kehujahan Ijma’?

1
c) Bagaimana Rukun-rukun Ijma’

1.3 Tujuan
a) Memahami Apa itu Ijma'
b) Agar Kita Mengetahui Kehujahan ijma'
c) Untuk Mengetahui Rukun-rukun Ijma’

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Ijma’


Secara bahasa ijma’ berarti ‘kebulatan tekad terhadap suatu persoalan’ .
Secara etimologi ijma’ berasal dari kata Ajma’a, yujmi’u, ijma’atan, yang artinya
“bersetuju, bersatu pendapat, bersepakat”.1 Dalam hal ini dapat di lihat dalam Al-
Qur’an Surat yusuf (12): 15:

‫َفَلَّم ا َذ َهُبْو ا ِبٖه َو َاْج َم ُع ْٓو ا َاْن َّيْج َع ُلْو ُه ِفْي َغ ٰي َبِت اْلُج ِّۚب َو َاْو َح ْيَنٓا ِاَلْيِه َلُتَنِّبَئَّنُهْم‬
‫ِبَاْم ِر ِهْم ٰه َذ ا َو ُهْم اَل َيْش ُعُرْو ن‬

“Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar


sumur (lalu mereka masukkan dia), dan (di waktu dia sudah dalam sumur) kami
wahyukan kepada Yusuf: “Sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada
mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka tiada ingat lagi.”

Adapun pengertian ijma dalam istilah teknis hukum atau istilah Syar’I
terdapat perbedaan rumusan. Perbedaan rumusan itu dapat di lihat dalam beberapa
rumusan atau devinisi ijma sebagai berikut:

Al-Ghazali merumuskan ijma dengan kesepakatan umat Muhammad secara


khusus atas urusan agama.2

Menurut Abu Luwis Ma’luf, ijmak memiliki arti “kehendak” dan


“kesepakatan” (al-‘azm - al-ittifaq).59 Perbedaannya, “kehendak” dapat terlahir
dari satu orang, sedangkan “kesepakatan” memerlukan keterlibatan dua orang
atau lebih. Oleh karena itu, dalam konteks disertasi ini, kata ijmak akan lebih

1
Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997. Hlm. 112.
2
Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997. Hlm.113.
3
tepat jika dimaknai sebagai “kesepakatan”. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia disebutkan bahwa kata ijmak memiliki pengertian “kesesuaian
pendapat (kata sepakat) dari para ulama mengenai suatu hal atau peristiwa”.3

Sedang Ijma menurut pengertian para ahli Ushul Fiqih adalah: kesepakatan
seluruh para mujtahid di kalangan umat islam pada suatu masa ketika Rosululloh
SAW wafat atas hukum Syara mengenai Suatu kejadian.4

2.2 Kehujahan Ijma’

Masalah otoritas atau kehujahan ijmak merupakan isu sentral dalam kajian
konsep atau teori ijmak. Sebab, pokok permasalahan ijmak memang beranjak dari
silang pendapat para ulama mengenai eksistensi ijmak sebagai salah atau dalil
hukum Islam (al-adillah attasyri‘iyyah). Dalam konteks ini, maka muncul
pertanyaan, apakah ijmak dapat dijadikan hujah atau tidak dalam penetapan
hukum Islam. Terkait dengan kehujahan ijmak ini, kemudian muncul juga
pertanyaan, siapakah orang-orang yang memenuhi standar mujtahid dan
berkompeten untuk ikut serta dalam proses ijmak. Berkenaan dengan masalah
kehujahan ijmak, pendapat para ulama secara garis besar dapat diklasifikasi
menjadi dua, sebagaimana akan dikemukakan berikut ini.

1) Ijmak Sebagai Hujah Sebagian ulama berpendapat bahwa ijmak


merupakan hujah. Pendapat ini dianut oleh jumhur ulama82 seperti al-Syafi’i,
Ibnu alHumam, al-Jashshash, al-Gazali, asy-Syathibi, as-Sarakhsi, Ibnu Hazm,
dan para ulama kontemporer lainnya.

3
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Edisi II, cet. ke-1 (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), hlm. 367.
4
Prof. Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: Dina Utama (Toha putra Group),1994. Hlm.
56.

4
Argumentasi yang dikemukakan oleh kelompok ini untuk mendukung
kehujahan ijmak terdiri atas beberapa ayat Alquran dan hadis Nabi saw., antara
lain ialah firman Allah swt. dalam Q.S. anNisa’ [4]: 59:

‫ٰٓيَاُّيَها اَّلِذ ْيَن ٰا َم ُنْٓو ا َاِط ْيُعوا َهّٰللا َو َاِط ْيُعوا الَّر ُسْو َل َو ُاوِلى اَاْلْم ِر ِم ْنُك ْۚم َف ِاْن َتَن اَز ْع ُتْم ِفْي َش ْي ٍء‬
‫ࣖ َفُر ُّد ْو ُه ِاَلى ِهّٰللا َو الَّر ُسْو ِل ِاْن ُكْنُتْم ُتْؤ ِم ُنْو َن ِباِهّٰلل َو اْلَيْو ِم اٰاْل ِخ ِۗر ٰذ ِلَك َخْيٌر َّو َاْح َس ُن َتْأِو ْيًلا‬

Artinya : Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian,
jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah
(Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Wajh al-dilalah kata “al-amr” dalam ayat di atas merupakan sinonim dengan
kata “al-sya’n” yang berarti urusan atau bidang. Ini sifatnya umum, mencakup
bidang keagamaan dan bidang keduniaan. Dalam bidang keduniaan, yang
berwenang mengaturnya adalah kepala pemerintahan seperti raja, kepala negara,
atau pemimpin lainnya yang sejenis. Adapun dalam bidang keagamaan, yang
berwenang mengaturnya adalah para ulama. Dengan demikian, pemahaman
hukum yang dapat diambil dari ayat tersebut adalah bahwa umat Islam wajib taat
kepada ulil amri jika mereka telah menyepakati hukum suatu masalah atau telah
memproduk ijmak berdasarkan nas Alquran dan atau Sunah.5

Kelompok ini mengemukakan bahwa beberapa hadis Nabi saw. yang telah
dikemukakan di atas intinya adalah menekankan infalibilitas ijmak umat Islam.
Hadis-hadis tersebut, meskipun tidak sahih dari segi lafal, matan, dan rangkaian
sanadnya, namun antara hadis yang satu dengan yang lain saling mendukung
sehingga dapat dikatakan sahih dari segi maknanya. Oleh karena itu, hadis-hadis
tersebut menunjang teori ijmak.6 Pengertiannya ialah bahwa umat Islam tidak

5
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh, I: 517; Abd al-Wahab Khallaf, ‘Ilm Ushul, hlm. 47.
6
1Ibnu Hazm, al-Ihkam, IV: 643-644.
5
akan pernah menyepakati kebatilan dan pasti akan selalu ada yang menegakkan
kebenaran. Dengan kata lain, hadis tersebut bukan membolehkan ulama berijmak
tanpa dukungan nas sebagaimana dipahami oleh sebagian ulama ushul yang lain.
Kelompok ini juga menyatakan bahwa ketika para ulama berijmak, ijmak pastilah
disandarkan pada dalil. Jika mereka tak menemukan sandaran dalil pun,
ijtihadnya tetap memperhatikan maqashid al-syari‘ah yang umum. Para ulama
juga menggunakan metode istinbath tertentu seperti kias, istihsan, dan lain
sebagainya. Oleh karena produk istinbath mereka selalu disandarkan pada dalil
syarak, maka kesepakatan para mujtahid dapat di pertanggung jawabkan dan
mempunyai kuatan hukum.7

2) Ijmak Bukanlah Hujah Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa


ijmak itu bukanlah hujah. Pendapat ini dianut oleh an-Nizham (dari golongan
Mu’tazilah) serta sebagian Khawarij dan Syi’ah.93 Kelompok ini berpendapat
bahwa ijmak bukanlah hujah dengan mengemukakan beberapa asalasan dari nas
Alquran, Sunah, dan dalil logika.

Menurut kelompok ini, berdasarkan ayat ini, maka apabila terdapat masalah
yang diperselisihkan, hendaklah dikembalikan kepada kitab Allah dan Sunah
Nabi saw., tidak ada perintah untuk kembali kepada kesepakatan ulama mujtahid.
Ini suatu bukti bahwa ijmak kesepakatan mujtahid itu bukan merupakan hujah.
Demikian juga dialog antara Nabi saw. dengan Mu’adz bin Jabal tentang
dasardasar hukum yang akan dijadikan dipedoman dalam pengambilan keputusan
peradilan, tidak menyebutkan ijmak, dan ini telah disetujui Rasulullah saw.
Andaikan ijmak termasuk hujah dan boleh dipedomani dalam penetapan hukum,
pastilah itu akan disebutkan.8

Mengenai Q.S. an-Nisa’ [4]: 115:

7
Abd al-Wahab Khallaf, ‘Ilm Ushul, hlm. 47-48.
8
Al-Amidi, al-Ihkam, I: 183-203.
6
‫َو َم ْن ُّيَش اِقِق الَّر ُسْو َل ِم ْۢن َبْع ِد َم ا َتَبَّيَن َله اْلُهٰد ى َو َيَّتِبْع َغْيَر َس ِبْيِل اْلُم ْؤ ِمِنْيَن ُنَو ِّلٖه َم ا َتَو ّٰل ى‬
‫َو ُنْص ِلٖه َج َهَّنَۗم َو َس ۤا َء ْت َم ِص ْيًر ُا‬

Artinya : Dan, barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran
baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami
biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami
masukkan ia ke dalam Jahanam. Dan, Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.

Menurut kelompok yang menolak kehujahan ijmak, ancaman dalam ayat


tersebut ditujukan kepada orang yang tidak patuh kepada Nabi saw. dan
mengikuti jalan orang yang tidak beriman. Antara keduanya tidak dapat
dipisahkan satu dengan yang lain. Apabila dikatakan, dilarang pertentangan
setelah terjadi ijmak, maka bagaimana dengan kebolehan setiap ahli hukum untuk
mengikuti pendapatnya masing-masing, berarti memang perbedaan itu tidak
dilarang dan tetap ditolerir.9 Kelompok ini menolak penggunaan beberapa hadis
yang digunakan sebagai argumentasi untuk mendukung kehujahan ijmak, sebab
hadis-hadis tersebut dinyatakan sebagai hadis ahad, sedangkan hadis ahad kualitas
kehujahannya tidak kuat. Andaikan dianggap mutawatir dari segi makna,
tafsirannya yang benar adalah terpeliharanya umat dari kesesatan dan kesalahan,
yakni menyepakati kekufuran atau menyalahi dalil-dalil qath‘i. Dengan kata lain,
hadis-hadis tersebut menurut kelompok ini tidak mengacu pada legimitasi serta
infalibilitas hasil ijmak. Bahkan, Nabi saw. sendiri telah memprediksi bahwa pada
suatu saat masyarakat luas mungkin saja melakukan kesalahan Kelompok ini juga
menolak infalibilitas dan validitas ijmak berdasarkan logika akal sehat. Menurut
kelompok ini, tidak masuk akal bahwa sekelompok orang yang secara perorangan
tidak ma‘shum kemudian akumulasi pendapat orang banyak yang tidak ma‘shum
tersebut menjadi ma‘shum. Atau sebaliknya, mungkin saja karena secara individu
seseorang itu tidak ma‘shum, kemudian akan menyepakati sesuatu yang tidak
benar. Logika yang membenarkan ijmak sama dengan logika yang menyatakan,
9
Ali Hasbullah, Ushul, hlm. 114.
7
“Masing-masing dari individu itu berbaju hitam, tetapi sekelompok orang yang
terdiri atas individu-individu berbaju hitam itu tidaklah hitam.” Dengan demikian,
maka tidak masuk akal pula menganggap ijmak sebagai hujah. Tak ada jalan lain
bagi umat Islam kecuali harus mengikuti Alquran dan Sunah.

Di samping itu, apabila keabsahan ijmak harus disandarkan pada dalil yang
berasal dari Alquran atau Sunah, maka yang menjadi hujah adalah Alquran atau
Sunah itu, bukan dalil ijmak, dan apabila sandaran dalil ijmak itu bersifat zhanni,
maka kecil kemungkinan terjadinya kesepakatan pendapat karena metode
istinbath yang digunakan para ulama berbesa-beda. Lagi pula, sulit untuk
mendeteksi telah terjadinya ijmak karena para ulama tersebar di berbagai penjuru
dunia.10

2.3 Rukun- Rukun Ijma’


Dalam definisi ijma telah disebutkan bahwa ia adalah : kesepakatan para
mujtahid dari umat islam pada suatu masa atas hukum Syara definisi ini dapat di
ambil kesimpulan bahwa rukun ijma dimana menurut Syar’I ia tidak akan terjadi
kecuali dengan keberadaanya, adalah empat, yaitu:

Pertama: adanya sejumlah para mujtahid pada saat terjadinya suatu


peristiwa karena sesungguhnya kesepakatan tidak mungkin dapat tergambar
kecuali pada sejumlah pendapat, dimana masing-masing pendaapat sesuai dengan
pendapat lainya. Maka kalau sekiranya pada suatu waktu tidak terdapat sejumlah
para mujtahid, Misalnya tidak ditemukan seorang mujtahid sama sekali, atau
hanya di temukan seorang mujtahid, maka secara Syara’ tidak akan terjadi ijma’
pada waktu itu. Oleh karena inilah, maka tidak ada ijma’ pada masa Rosululloh
SAW ., karena hanya belio sendirilah mujtahid waktu itu.

Kedua: adanya kesepakatan seluruh mujtahid di kalangan umat islam


terhadap hukum Syara mengenai suatu kasus atau peristiwa pada waktu terjadinya

10
Ali Hasbullah, Ushul al-Fiqh, hlm. 115; Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh, I: 523.
8
tanpa memandang negeri mereka, kebangsaan mereka, ataupun kelompok mereka.
Maka kalau seandainya para mujtahid negeri makkah dan madinah saja ataupun
para mujtahid negri irak saja, atau mujtahid negeri hijaz saja, atau para mujtahid
ahli bait, atau para mujtahid ahli sunah, bukan mujtahid golongan Syi’ah sepakat
atas hukum Syara’ Mengenai suatu peristiwa, maka dengan kesempatan kusus ini
tidaklah sah ijma’ Menurut Syara’. Karena ijma’ itu tidak bisa terjadi kecuali
dengan kesempatan umum dari semua mujtahid dunia islam pada masa suatu
kejadian selain mujtahid tidak masuk penilaian.

Ketiga: Bahwasanya kesepakatan mereka adalah dengan mengemukakan


pendapat masing-masing orang dari para mujtahid itu tentang pendapatnya yang
jelas mengenai suatu peristiwa, baik penyampaian pendapat masing-masing
mujtahid itu berbentuk ucapan, misalnya Ia memberikan fatwa mengenai
peristiwa itu, atau berbentuk perbuatan, misalnya ia memberikan suatu putusan
mengenainya; baik masing-masing dari mereka mengemukakan pendapatnya
pendapat mereka, atau mereka menemukakan pendapat, mereka secara kolektif,
misalnya para mujtahid di dunia islam mengadakan suatu konggres pada suatu
masa terjadinya suatu peristiwa, dan peristiwa itu dihadapkan kepada mereka, dan
setelah mereka bertukar orientasi pandangan, maka mereka seluruhnya sepakat
atau satu hukum mengenainya.

Keempat: bahwa kesepakatan dari seluruh mujtahid atau suatu hukum itu
terealisir. Kalau sekiranya kebanyakan dari mereka sepakat, maka kesepakatan
yang terbanyak iti tidak menjadi ijma’, kendatipun amat sedikit jumlah mujtahid
yang menentang dan besar sekali jumlah mujtahid yang sepakat karena sepanjang
masih dijumpai suatu perbedaan pendapat, maka masih ditemukan kemungkinan
benar pada salah satu pihak dan kekeliruan pada pihak lainya. Oleh karena itu,

9
maka kesepakatan jumlah terbanyak tidak menjadi hujjah Syar’iyah yang pasti
dan meningkat.11

2.4 Macam-macam ijma’


Adapun ijma’ ditinjau dari segi cara menghasilkanya, maka ia ada dua
macam yaitu:

Pertama: Ijma’ Sharih, yaitu: kesepakatan para mujtahid suatu masa atas
hukum suatu kasus, dengan cara masing-masing dari mereka menemukakan
pendapatnya secara jelas melalui fatwa atau putusan hukum. Maksudnya
bahwasanya setiap mujtahid mengeluarkan pernyataan atau tindakan yang
mengungkapkan pendapatnya secara jelas.

Kedua: Ijma’ Sukuti, yaitu: sebagian dari mujtahid suatu masa


mengemukakan pendapat mereka secara jelas mengenai suatu kasus baik melalui
fatwa atau suatu putusan hukum, dan sisa dari mereka tidak memberikan
tanggapan terhadap pendapat tersebut, baik merupakan persetujuan terhadap
pendapat yang telah dikemukakan atau menentang pendapat itu.12

BAB III

11
Prof. Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: Dina Utama (Toha putra Group),1994.
Hlm.57.
12
Prof. Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: Dina Utama (Toha putra Group),1994.
Hlm.64

10
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari keterangan diatas dapat di fahami bahwa ijma harus menyandar kepada dalil
yang ada yaitu kitab, sunah, atau yang mempunyai kaitan kepadanya baik
langsung maupun tidak dan tidak mungkin terlepas sama sekali dari kaitan
tersebut. Dan alasan ijma harus mempunyai sandaran adalah:

Pertama: bahwa bila ijma’ tidak mempunyai dalil tempat sandaranya,


ijma’ tidak akan sampai pada kebenaran.
Kedua: bahwa keadaanya sahabat tidak mungkin lebih baik dari pada nabi,
sebagaimana diketahui, Nabi saja tidak pernah menetapkan suatu hukum kecuali
berdasarkan kepada wahyu.
Ketiga: bahwa pendapat tentang agama tanpa menggunakan dalil adalah
salah. Kalau mereka sepakat berbuat begitu berarti mereka sepakat melakukan
kesalahan;
Keempat: pendapat yang tidak di sandarkan kepada dalil tidak dapat di
ketahui kaitanya kepada hukum Syara’. Kalau tidak dapat dihubungkan dengan
Syara tidak wajib diikuti.13

DAFTAR PUSAKA

13
Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam. Padang: Angkasa
Raya,1993. Hlm.63

11
Al-Amidi. 1967. al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Mesir: Mu’assasah al-Halabi.
Ash Shiddieqy ,Teungku Muhammad Hasbi. 1997. Pengantar Hukum Islam.
Semarang: PT Pustaka Rizki Putra.
Syarifuddin, Amir. 1997. Ushul Fiqh Jilid 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Ibnu Hazm, al-Muhalla, ed. Ahmad Muhammad Syakir, Juz I, Mesir: Maktabah al-
Jumhuriyah al-‘Arabiyyah, 1967.
Khallaf, Abdul Wahab. 1994. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: Dina Utama (Toha putra
Group).
Syarifuddin, Amir. 1993. Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam. Padang:
Angkasa Raya.
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Juz I, cet. ke-16, Damaskus: Dar al-Fikr,
2009 M/ 1430 H.

12

Anda mungkin juga menyukai