KEDUDUKANN IJMA’
“USHUL FIQH”
Dosen Pengampu :
Disusun Oleh :
NIM : 23.24.559
SEMESTER I A
KUALA TUNGKAL
TAHUN AKADEMIK
2023/2024
i
KATA PENGANTAR
Pertama-tama marilah kita panjatkan puji dan syukur kita terhadap khadirat
Allah SWT. dimana atas rahmat dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan makalah
ini tepat pada waktunya adapun judul yang saya buat saat ini adalah “Kedudukan
Ijma’ ”.
Saya menyadari makalah yang saya buat masi jauh dari kata sempurna
dikarenakan keterbatasan kemampuan dan pengalaman yang saya miliki saat ini, dan
saya berharap semoga makalah ini dapat memberikan ilmu yang bermanfaat untuk
perkembangan dan peningkatan dalam bidang ilmu pendidikan.
Demikian yang dapat saya sampaikan dan apabila terdapat kesalahan dalam
penulisan makalah ini saya mohon maaf, semoga kita dapat memberikan yang terbaik
di bidang ilmu pendidikan untuk negara Indonesia.
Ernita syafitri
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
c) Bagaimana Rukun-rukun Ijma’
1.3 Tujuan
a) Memahami Apa itu Ijma'
b) Agar Kita Mengetahui Kehujahan ijma'
c) Untuk Mengetahui Rukun-rukun Ijma’
2
BAB II
PEMBAHASAN
َفَلَّم ا َذ َهُبْو ا ِبٖه َو َاْج َم ُع ْٓو ا َاْن َّيْج َع ُلْو ُه ِفْي َغ ٰي َبِت اْلُج ِّۚب َو َاْو َح ْيَنٓا ِاَلْيِه َلُتَنِّبَئَّنُهْم
ِبَاْم ِر ِهْم ٰه َذ ا َو ُهْم اَل َيْش ُعُرْو ن
Adapun pengertian ijma dalam istilah teknis hukum atau istilah Syar’I
terdapat perbedaan rumusan. Perbedaan rumusan itu dapat di lihat dalam beberapa
rumusan atau devinisi ijma sebagai berikut:
1
Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997. Hlm. 112.
2
Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997. Hlm.113.
3
tepat jika dimaknai sebagai “kesepakatan”. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia disebutkan bahwa kata ijmak memiliki pengertian “kesesuaian
pendapat (kata sepakat) dari para ulama mengenai suatu hal atau peristiwa”.3
Sedang Ijma menurut pengertian para ahli Ushul Fiqih adalah: kesepakatan
seluruh para mujtahid di kalangan umat islam pada suatu masa ketika Rosululloh
SAW wafat atas hukum Syara mengenai Suatu kejadian.4
Masalah otoritas atau kehujahan ijmak merupakan isu sentral dalam kajian
konsep atau teori ijmak. Sebab, pokok permasalahan ijmak memang beranjak dari
silang pendapat para ulama mengenai eksistensi ijmak sebagai salah atau dalil
hukum Islam (al-adillah attasyri‘iyyah). Dalam konteks ini, maka muncul
pertanyaan, apakah ijmak dapat dijadikan hujah atau tidak dalam penetapan
hukum Islam. Terkait dengan kehujahan ijmak ini, kemudian muncul juga
pertanyaan, siapakah orang-orang yang memenuhi standar mujtahid dan
berkompeten untuk ikut serta dalam proses ijmak. Berkenaan dengan masalah
kehujahan ijmak, pendapat para ulama secara garis besar dapat diklasifikasi
menjadi dua, sebagaimana akan dikemukakan berikut ini.
3
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Edisi II, cet. ke-1 (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), hlm. 367.
4
Prof. Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: Dina Utama (Toha putra Group),1994. Hlm.
56.
4
Argumentasi yang dikemukakan oleh kelompok ini untuk mendukung
kehujahan ijmak terdiri atas beberapa ayat Alquran dan hadis Nabi saw., antara
lain ialah firman Allah swt. dalam Q.S. anNisa’ [4]: 59:
ٰٓيَاُّيَها اَّلِذ ْيَن ٰا َم ُنْٓو ا َاِط ْيُعوا َهّٰللا َو َاِط ْيُعوا الَّر ُسْو َل َو ُاوِلى اَاْلْم ِر ِم ْنُك ْۚم َف ِاْن َتَن اَز ْع ُتْم ِفْي َش ْي ٍء
ࣖ َفُر ُّد ْو ُه ِاَلى ِهّٰللا َو الَّر ُسْو ِل ِاْن ُكْنُتْم ُتْؤ ِم ُنْو َن ِباِهّٰلل َو اْلَيْو ِم اٰاْل ِخ ِۗر ٰذ ِلَك َخْيٌر َّو َاْح َس ُن َتْأِو ْيًلا
Artinya : Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian,
jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah
(Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Wajh al-dilalah kata “al-amr” dalam ayat di atas merupakan sinonim dengan
kata “al-sya’n” yang berarti urusan atau bidang. Ini sifatnya umum, mencakup
bidang keagamaan dan bidang keduniaan. Dalam bidang keduniaan, yang
berwenang mengaturnya adalah kepala pemerintahan seperti raja, kepala negara,
atau pemimpin lainnya yang sejenis. Adapun dalam bidang keagamaan, yang
berwenang mengaturnya adalah para ulama. Dengan demikian, pemahaman
hukum yang dapat diambil dari ayat tersebut adalah bahwa umat Islam wajib taat
kepada ulil amri jika mereka telah menyepakati hukum suatu masalah atau telah
memproduk ijmak berdasarkan nas Alquran dan atau Sunah.5
Kelompok ini mengemukakan bahwa beberapa hadis Nabi saw. yang telah
dikemukakan di atas intinya adalah menekankan infalibilitas ijmak umat Islam.
Hadis-hadis tersebut, meskipun tidak sahih dari segi lafal, matan, dan rangkaian
sanadnya, namun antara hadis yang satu dengan yang lain saling mendukung
sehingga dapat dikatakan sahih dari segi maknanya. Oleh karena itu, hadis-hadis
tersebut menunjang teori ijmak.6 Pengertiannya ialah bahwa umat Islam tidak
5
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh, I: 517; Abd al-Wahab Khallaf, ‘Ilm Ushul, hlm. 47.
6
1Ibnu Hazm, al-Ihkam, IV: 643-644.
5
akan pernah menyepakati kebatilan dan pasti akan selalu ada yang menegakkan
kebenaran. Dengan kata lain, hadis tersebut bukan membolehkan ulama berijmak
tanpa dukungan nas sebagaimana dipahami oleh sebagian ulama ushul yang lain.
Kelompok ini juga menyatakan bahwa ketika para ulama berijmak, ijmak pastilah
disandarkan pada dalil. Jika mereka tak menemukan sandaran dalil pun,
ijtihadnya tetap memperhatikan maqashid al-syari‘ah yang umum. Para ulama
juga menggunakan metode istinbath tertentu seperti kias, istihsan, dan lain
sebagainya. Oleh karena produk istinbath mereka selalu disandarkan pada dalil
syarak, maka kesepakatan para mujtahid dapat di pertanggung jawabkan dan
mempunyai kuatan hukum.7
Menurut kelompok ini, berdasarkan ayat ini, maka apabila terdapat masalah
yang diperselisihkan, hendaklah dikembalikan kepada kitab Allah dan Sunah
Nabi saw., tidak ada perintah untuk kembali kepada kesepakatan ulama mujtahid.
Ini suatu bukti bahwa ijmak kesepakatan mujtahid itu bukan merupakan hujah.
Demikian juga dialog antara Nabi saw. dengan Mu’adz bin Jabal tentang
dasardasar hukum yang akan dijadikan dipedoman dalam pengambilan keputusan
peradilan, tidak menyebutkan ijmak, dan ini telah disetujui Rasulullah saw.
Andaikan ijmak termasuk hujah dan boleh dipedomani dalam penetapan hukum,
pastilah itu akan disebutkan.8
7
Abd al-Wahab Khallaf, ‘Ilm Ushul, hlm. 47-48.
8
Al-Amidi, al-Ihkam, I: 183-203.
6
َو َم ْن ُّيَش اِقِق الَّر ُسْو َل ِم ْۢن َبْع ِد َم ا َتَبَّيَن َله اْلُهٰد ى َو َيَّتِبْع َغْيَر َس ِبْيِل اْلُم ْؤ ِمِنْيَن ُنَو ِّلٖه َم ا َتَو ّٰل ى
َو ُنْص ِلٖه َج َهَّنَۗم َو َس ۤا َء ْت َم ِص ْيًر ُا
Artinya : Dan, barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran
baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami
biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami
masukkan ia ke dalam Jahanam. Dan, Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.
Di samping itu, apabila keabsahan ijmak harus disandarkan pada dalil yang
berasal dari Alquran atau Sunah, maka yang menjadi hujah adalah Alquran atau
Sunah itu, bukan dalil ijmak, dan apabila sandaran dalil ijmak itu bersifat zhanni,
maka kecil kemungkinan terjadinya kesepakatan pendapat karena metode
istinbath yang digunakan para ulama berbesa-beda. Lagi pula, sulit untuk
mendeteksi telah terjadinya ijmak karena para ulama tersebar di berbagai penjuru
dunia.10
10
Ali Hasbullah, Ushul al-Fiqh, hlm. 115; Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh, I: 523.
8
tanpa memandang negeri mereka, kebangsaan mereka, ataupun kelompok mereka.
Maka kalau seandainya para mujtahid negeri makkah dan madinah saja ataupun
para mujtahid negri irak saja, atau mujtahid negeri hijaz saja, atau para mujtahid
ahli bait, atau para mujtahid ahli sunah, bukan mujtahid golongan Syi’ah sepakat
atas hukum Syara’ Mengenai suatu peristiwa, maka dengan kesempatan kusus ini
tidaklah sah ijma’ Menurut Syara’. Karena ijma’ itu tidak bisa terjadi kecuali
dengan kesempatan umum dari semua mujtahid dunia islam pada masa suatu
kejadian selain mujtahid tidak masuk penilaian.
Keempat: bahwa kesepakatan dari seluruh mujtahid atau suatu hukum itu
terealisir. Kalau sekiranya kebanyakan dari mereka sepakat, maka kesepakatan
yang terbanyak iti tidak menjadi ijma’, kendatipun amat sedikit jumlah mujtahid
yang menentang dan besar sekali jumlah mujtahid yang sepakat karena sepanjang
masih dijumpai suatu perbedaan pendapat, maka masih ditemukan kemungkinan
benar pada salah satu pihak dan kekeliruan pada pihak lainya. Oleh karena itu,
9
maka kesepakatan jumlah terbanyak tidak menjadi hujjah Syar’iyah yang pasti
dan meningkat.11
Pertama: Ijma’ Sharih, yaitu: kesepakatan para mujtahid suatu masa atas
hukum suatu kasus, dengan cara masing-masing dari mereka menemukakan
pendapatnya secara jelas melalui fatwa atau putusan hukum. Maksudnya
bahwasanya setiap mujtahid mengeluarkan pernyataan atau tindakan yang
mengungkapkan pendapatnya secara jelas.
BAB III
11
Prof. Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: Dina Utama (Toha putra Group),1994.
Hlm.57.
12
Prof. Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: Dina Utama (Toha putra Group),1994.
Hlm.64
10
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari keterangan diatas dapat di fahami bahwa ijma harus menyandar kepada dalil
yang ada yaitu kitab, sunah, atau yang mempunyai kaitan kepadanya baik
langsung maupun tidak dan tidak mungkin terlepas sama sekali dari kaitan
tersebut. Dan alasan ijma harus mempunyai sandaran adalah:
DAFTAR PUSAKA
13
Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam. Padang: Angkasa
Raya,1993. Hlm.63
11
Al-Amidi. 1967. al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Mesir: Mu’assasah al-Halabi.
Ash Shiddieqy ,Teungku Muhammad Hasbi. 1997. Pengantar Hukum Islam.
Semarang: PT Pustaka Rizki Putra.
Syarifuddin, Amir. 1997. Ushul Fiqh Jilid 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Ibnu Hazm, al-Muhalla, ed. Ahmad Muhammad Syakir, Juz I, Mesir: Maktabah al-
Jumhuriyah al-‘Arabiyyah, 1967.
Khallaf, Abdul Wahab. 1994. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: Dina Utama (Toha putra
Group).
Syarifuddin, Amir. 1993. Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam. Padang:
Angkasa Raya.
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Juz I, cet. ke-16, Damaskus: Dar al-Fikr,
2009 M/ 1430 H.
12