Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia merupakan makhluk sosial yang saling membutuhkan,

menerima dan memberikan peran masing-masing, saling bermuamalah untuk

memenuhi kebutuhan dan mencapai kemajuan dalam hidupnya. Islam

merupakan ajaran sempurna yang mengajarkan berbagai aspek, termasuk

hubungan antara sesama manusia dalam bentuk muamalah sehingga

memberikan dampak kemaslahatan bagi umat manusia. Dengan sistem

muamalah kebutuhan tiap-tiap individu yang berbeda antara satu dengan

lainnya dapat terpenuhi dengan baik dan benar sesuai dengan ajaran Islam.

Perkembangan perekonomian dan dunia bisnis selalu diikuti oleh

perkembangan kebutuhan akan modal usaha dan pemberian fasilitas

tambahan modal usaha yang selalu memerlukan jaminan. Hal ini dilakukan

demi keamanan pemberian penambahan modal tersebut dalam arti piutang

yang terjamin dengan adanya jaminan, Inilah yang mendasari pentingnya

lembaga jaminan. Bentuk lembaga jaminan, sebagian besar mempunyai ciri-

ciri internasional yang dikenal hampir di semua negara dan perundang-

undangan modern, yaitu bersifat menunjang perkembangan ekonomi dan

perkreditan serta memenuhi kebutuhan masyarakat akan fasilitas modal.

Agama Islam mengajarkan kepada umatnya untuk hidup saling

tolong-menolong yang mampu harus menolong yang tidak mampu. Bentuk

1
2

dari tolong menolong ini bisa berupa pemberian dan bisa berupa pinjaman.

Oleh karena itu dalam agama Islam menganjurkan kepada makhluk-Nya

untuk saling tolong-menolong.

Islam hadir dengan mengajarkan kepada umatnya agar saling

tolong menolong antar sesama. Orang kaya harus memberikan pertolongan

terhadap orang miskin, yang mampu harus bisa menolong yang tidak mampu.

Sedangkan bentuk tolong menolong sangat beragam adanya, di antaranya

berupa pemberian dan bisa juga berbentuk pinjaman. Dalam bentuk pinjaman

ini, hukum Islam menjaga kepentingan kreditur agar tidak mengalami

kerugian. Oleh sebab itu, ia diperbolehkan meminta barang dari debitur

sebagai jaminan utangnya. Sehingga apabila debitur itu tidak mampu

melunasi pinjamannya, maka barang jaminan boleh dijual oleh kreditur

konsep tersebut dalam fikih Islam dikenal dengan istilah rahn atau gadai.

Bentuk muamalah semacam ini melibatkan dua belah pihak yaitu

pemilik barang gadai (rahin) dan penerima barang gadai (murtahin) antara

keduanya terikat hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Dalam bidang

muamalah gadai terdapat dalam al-Qur'an dan Hadis.

َ ‫ َّم ۡقبُو‬ٞ‫وا َكاتِبٗا فَ ِر ٰهَن‬


ٞۖ‫ضة‬ ْ ‫۞وِإن ُكنتُمۡ َعلَ ٰى َسفَرٖ َولَمۡ تَ ِج ُد‬
َ
Artinya : “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara
tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka
hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang
berpiutang).”. (Q.S. Al-Baqarah:283)

Sesuai dengan ayat di atas, manusia dianjurkan untuk saling tolong-

menolong, seperti halnya dengan utang-piutang maupun gadai. Sejak dulu


3

setiap orang dalam kehidupannya selalu menghadapi berbagai masalah

diantaranya adalah kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup.1

Hukum Islam adalah hukum yang mengatur segala perbuatan

manusia, baik itu badan maupun sosial. Kegiatan sosial merupakan salah satu

aspek muamalah dari sistem Islam, sehingga kaidah fikih yang digunakan

dalam mengidentifikasikan dan transaksi-transaksi sosial juga menggunakan

kaidah fikih muamalah.

Masalah ekonomi adalah suatu masalah yang sangat penting dalam

setiap kehidupan manusia, maka tak heran perjanjian hutang dengan suatu

jaminan sering terjadi di tengah-tengah masyarakat seperti halnya utang

piutang dengan jaminan yang biasa disebut dengan gadai (Rahn).

Gadai merupakan salah satu katagori dari perjanjian utang piutang

untuk suatu kepercayaan dari orang yang berpiutang, maka orang yang

berutang menggadaikan barangnya sebagai jaminan terhadap utangnya itu.

Sedangkan status barang tersebut masih merupakan milik dari orang yang

berhutang atau orang yang menggadaikan. Praktek gadai seperti ini telah ada

sejak zaman Rasulullah Saw, dan beliau sendiri pun pernah melakukannya,

sebagaimana yang diterangkan dalam hadis di bawah ini:

^‫س^^^ لَّ^ َم‬


^َ ^‫ص^^^ لَّ^ى^ هَّللا ُ^ َع^ لَ^ ي^ْ^^^ ه^ِ َ^و‬ َّ ِ^‫ي^ هَّللا ُ^ َع^ ْن^ هَ^ ا^ َأ َّن^ ا^ل^نَّ^ب‬
^َ ^‫ي‬ َ ^^^‫ض‬ ِ ^‫ش^^^ ةَ^ َر‬ ^َ ‫َع^ ْ^ن^ َع^ ا^ِئ‬
^‫ي^ ِإ لَ^ ى^ َأ َ^ج^ ٍل^ َو^ َر^ هَ^ ن^َ^^ هُ^ ِد^ ْ^ر^ ًع^ ا^ ِم^ ْ^ن^ َح^ د^ِي^^ ٍد^ (ر^و^ا^ه‬ َ ^‫ا^ ْش^ تَ^ َر^ ى‬
ٍّ ^‫ط^ َع^ ا^ ًم^ ا^ ِم^ ْ^ن^ يَ^ هُ^و^ ِد‬
)^‫ا^ل^ب^خ^ا^ر^ى‬
Artinya: “Dari 'Aisyah radliallahu 'anha bahwa Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam pernah membeli makanan dari orang Yahudi yang akan
dibayar Beliau pada waktu tertentu di kemudian hari dan Beliau

1
Nasrun Harun, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h. 251
4

menjaminkannya (gadai) dengan baju besi”. (Hadis riwayat Imam


al Bukhori No: 1926).

Praktik Gadai-menggadai sudah merupakan kebiasaan sejak zaman

dahulu dan tidak hanya ketika zaman Rasulullah saja, tetapi gadai juga masih

berlaku hingga sekarang. Terbukti dengan banyaknya lembaga-lembaga yang

menaungi masalah dalam gadai itu sendiri, seperti Pegadaian dan sekarang

muncul pula Pegadaian Syariah. Di dalam Islam, pegadaian itu tidak dilarang,

namun harus sesuai dengan Syariát Islam, seperti tidak memungut bunga

dalam praktik yang dijalankan dll.

Sedangkan fenomena di lapangan praktik gadai yang terjadi di Kp.

Pacet Babakan menggunakan barang kreditan yang dijadikan jaminan karena

masyarakat beranggapan bahwa barang tersebut memiliki nilai ekonomis

yang tinggi dan mudah untuk menggadaikanya. Dalam transaksi seperti ini

biasanya tidak menggunakan surat perjanjian seperti pada penggadaian

konvensional maupun yang berbasis syariah lainya, baik dalam jumlah besar

maupun kecil karena kedua belah pihak sudah saling percaya.

Akibatnya jika terjadi perselisihan terhadap utang-piutang tersebut

maka tidak ada bukti tertulis yang mengikat perjanjian tersebut, sehingga

susah untuk dapat diselesaikan dengan hukum yang berlaku di Indonesia.

Dengan demikian sengketa tersebut tidak ditemukan jalan keluarnya kecuali

secara kekeluargaan, Pada posisi inilah sering terjadi salah-satu pihak yang

dirugikan.

Gadai memiliki permasalahan kalau tidak dilaksanakan tanpa aturan

hukum Islam, karena akan menimbulkan bencana dan kerusakan dalam


5

bermasyarakat. Persoalan ini sangat penting sekali, sebab status hukum gadai

telah disepakati oleh para ulama bahwa hukumnya boleh.

Ulama Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hambali

mengatakan bahwa apabila syarat itu adalah syarat yang mendukung

kelancaran akad tersebut, maka syarat tersebut diperbolehkan, tetapi apabila

syarat itu bertentangan dengan tabiat akad rahn, maka syarat yang demikian

itu batal. Kedua syarat dalam contoh di atas (perpanjangan rahn satu bulan

dan agunan boleh dimanfaatkan), termasuk syarat yang tidak sesuai dengan

tabiat rahn, sehingga syarat tersebut dinyatakan batal. Syarat yang

diperbolehkan adalah, misalnya untuk sahnya rahn tersebut pihak kreditur

meminta agar dalam pembuatan akad itu hendaknya disaksikan oleh dua

orang saksi. Sedangkan syarat yang batal, misalnya apabila diisyaratkan

bahwa agunan tersebut tidak boleh dijual ketika rahn tersebut jatuh tempo,

padahal debitur tidak mampu membayar utangnya.2

Bertitik tolak dari uraian di atas tersebut kiranya perlu dilakukan

penelitian mengenai Analisis Kaidah Fikih Akad Rahn menurut Mazhab

Syafi’i terhadap Status Barang Kreditan yang dijadikan Jaminan

(Penelitian di Kp. Pacet Babakan Desa Cipendawa Kecamatan Pacet

Kabupaten Cianjur).

B. Fokus Penelitian

2
Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam, (Jakarta: Yayasan Adikarya IKAPI, 2007), h.76
6

Penulis untuk mempermudah dalam pembahasan skripsi ini dan

karena terbatasnya waktu, tenaga serta sarana yang tersedia, penulis

memfokuskan permasalahannya sebagai berikut:

1. Analisis Kaidah Fikih Akad Rahn menurut Mazhab Syafi’i terhadap

Status Barang Kreditan yang dijadikan Jaminan.

2. Praktik Gadai yang dimaksud yaitu pelaksanaan gadai yang difokuskan

di Kp. Pacet Babakan Desa Cipendawa Kecamatan Pacet Cianjur.

3. Barang yang digadaikan yang dimaksud yaitu adalah gadai barang yang

masih dalam status kredit yakni sepeda motor.

C. Rumusan Masalah

Berangkat dari latar belakang yang telah dikemukakan di atas, penulis

membuat rumusan masalah yaitu:

1. Bagaimana praktik gadai terhadap status barang kreditan yang dijadikan

jaminan di Kp. Pacet Babakan Desa Cipendawa Kec. Pacet?

2. Bagaimana analisis kaidah fikih akad rahn menurut mazhab syafi’i

terhadap status barang kreditan yang dijadikan jaminan di Kp. Pacet

Babakan Desa Cipendawa Kec. Pacet?

D. Tujuan Penelitian

Dengan memperhatikan pokok masalah tersebut di atas, maka

pembahasan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui:


7

1. Untuk mengetahui praktik gadai terhadap status barang kreditan yang

dijadikan jaminan di Kp. Pacet Babakan Desa Cipendawa Kec. Pacet.

2. Untuk mengetahui Analisis kaidah fikih akad rahn terhadap status barang

kreditan yang dijadikan jaminan di Kp. Pacet Babakan Desa Cipendawa

Kec. Pacet.

E. Manfaat Penelitian

Adapun penelitian ini diharapkan dapat mempunyai manfaat antara

lain:

1. Menambah wawasan dan pengetahuan bagi peneliti mengenai hukum

Islam terhadap praktik gadai.

2. Memenuhi salah satu syarat dalam mencapai gelar Sarjana Hukum islam

jurusan Hukum Ekonomi Syariah program strata Satu (S1) Sekolah

Tinggi Ilmu Syariah Nahdlatul Ulama (STISNU) Cianjur.

3. Adanya penelitian ini, penulis dapat lebih menambah wawasan dan

pengalaman untuk mencari kebenarannya berdasarkan ilmu fikih

muamalah.

F. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pembahasan, skripsi ini dibagi menjadi 5 BAB

yang merupakan satuan yang saling mendukung dan terkait antara satu

dengan yang lainnya:


8

BAB I Pendahuluan yang mengemukakan latar belakang masalah, fokus

penelitian, rumusan masalah, Tujuan Penelitian, manfaat

penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II Kajian Teoriti membahas Analisis Kaidah Fikih Akad Rahn

menurut Mazhab Syafi’i

BAB III Metodologi Penelitian membahas tentang pendekatan penelitian,

lokasi penelitian, deskripsi posisi peneliti, jenis dan sumber data,

teknik pengumpulan data, teknik analisi data, dan validasi data.

BAB IV Membahas Gambaran lokasi dan pembahasan hasil penelitian.

BAB V Meliputi Kesimpulan dan saran yang merupakan akhir

pembahasan skripsi.

Anda mungkin juga menyukai