Anda di halaman 1dari 11

Manajemen Lembaga Keuangan Syariah Non Bank

“Perusahaan Leasing

Oleh:

Refaldi R. Ihsan Nim: 2130401114

Dosen Pengampu:

Dr. H. Syuksi Iska, M Ag.

Ifelda Nengsih, SEI., MA., CRP.

JURUSAN PERBANKAN SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS MAHMUD YUNUS BATUSANGKAR

2022
BAB I
PEMBAHASAN

A. Manajemen Operasional Pegadaian (Syariah Dan Konvensional)

1. Pengertian
Gadai dalam fiqh disebut rahn, yang menurut bahasa adalah nama barang
yang dijadikan sebagai jaminan kepercayaan. Sedangkan menurut istilah seperti
yang dikemukakan oleh Ulama Hanafiyah bahwa rahn adalah menjadikan
sesuatu (barang) sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan
sebagai pembayar hak (piutang) itu, baik seluruhnya maupun sebagiannya. 1
Menurut kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1150, gadai adalah
suatu hak yang diperoleh seorang yang mempunyai piutang atas suatu barang
bergerak. Barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang
oleh seorang yang mempunyai utang atau oleh orang lain atas nama orang yang
mempunyai utang. Seorang yang berhutang tersebut memberikan kekuasaan
kepada orang yang untuk menggunakan barang bergerak yang telah diserahkan
untuk melunasi utang apabila pihak yang berhutang tidak dapat memenuhi
kewajibannya pada saat jatuh tempo.
Pegadaian menurut syara’ artinya menyendera sejumlah harta yang
diserahkan sebagai jaminan secara hak, tetapi dapat diambil kembali sebagai
tebusan. Dalam definisi rahn adalah barang yang dgadaikan, rahin adalah orang
yang menggadaikan, sedangkan murtahin adalah orang yang memberi pinjaman.

2. Produk dan Prosedur Pemanfaatan Pegadaian (Syariah dan Konvensional)


Pegadaian melalui peraturan pemerintah No.10 tahun 1990 tanggal 10
april 1990 pada waktu pagadaian masih berbentuk perusahaan jawatan misi
1
Syukri Iska. 2005. Lembaga Keuangan Syariah. Batusangkar: STAIN Batusangkar Press. hal.
62

1
sosial dari pegadaian merupakan satu-satunya acuan yang digunakan oeh
manajemennya dalam mengelola pegadaian.
Pada saat ini pegadaian syariah belum terbentuk sebagai sebuah lembaga.
Ide pembentukan pegadaian syariah selain karena tuntutan idealisme juga
dikarenakan keberhasilan terlembaganya bank dan asuransi syariah.setelah
terbentuknya bank, BMT, BPR, dan asuransi syariah maka pegadaian syariah
mendapat perhatian oleh beberapa praktisi dan akademisi untuk dibentuk
dibawah suatu lembaga sendiri. Keberadaan pegadaian syariah atau gadai syariah
atau rahn lebih dikenal sebagai bagian produk yang ditawarkan oleh bank
syariah, dimana bank menawarkan kepada masyarakat untuk penjaminan barang
guna mendapatkan pembiayaan.
Namun trend dari perkembangan rahn sebagai produk perbankkan syariah
belum begitu baik, hal ini disebabkan oleh keberadaan komponen-komponen
pendukung produk rahn yang terbatas: seperti, sumber daya penafsir, alat untuk
menafsir, dan gudang penyimpanan barang jaminan. Oleh karena itu tidak semua
bank mampu menfasilitasi keberadaan ini, tetapi jika keberadaan rahn sangat
dibutuhkan dalam sistem pembiayaan bank, maka bank tersebut memiliki
ketentuan sendiri mengenai rahn, misalnya: dalam hal barang jaminannya
ukurannya dibatasi karena alasan kapasitas gudang penyimpangan barang
jaminan terbatas.
Sebab lain mengapa perkembangan pegadaian syariah kurang baik, sebab
maysrakat belum begitu mengenal produk rahn dengan baik di bank syariah
dibanding produk lain, misalnya mudharabah, musyarakah, murabaah, salam dan
lain sebagainya. apalagi rahn dalam bentuk lembaga sendiri yang benar-benar
terpisah dari sistem perbankkan syariah, sebagai mana pegadaian konvensional
yang masyarakat selama ini kenal. 2
Pada satu sisi gadai tanah mirip dengan jual beli. Dalam hal ini hukum
adat menyebutkan sebagai jual gadai. Pada sisi lain mirip dengan rahn.

2
Heri Sudarsono. 2003. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Yogyakarta: Ekonisia. hal. 142-143

2
Kemiripan dengan jual beli karena berpindahnya hak menguasai harta yang
digadaikan itu sepenuhnya kepeda pemegang gadai, termasuk pemanfaatan dan
mengambil keuntungan dari benda tersebut. Walaupun dalam waktu yang
ditentukan. Sedangkan kemiripannya dengan rahn (jaminan) adalah karena
adanya hak menebus bagi penggadai atas harta yang digadaikan itu. 3

3. Mekanisme Operasional Pegadaian Syariah


Ulama Syafii berpendapat bahwa pegadaian dikatakan sah bila telah
memenuhi paling tidak tiga syarat berikut:
a. Harus berupa barang, karena utang tidak bisa digadaikan
b. Penetapan kepemilikan pegadaian atas barang yang digadaikan tidak
terhalang
c. Barang yang digadaikan bisa dijual manakal sudah habis masa pelunasan
hutang gadai.
Berdasarkan tiga syarat diatas, maka dapat diambil alternative dalam
mekanisme operasional pegadaian syariah yang dilakukan dengan menggunakan
tiga akad yaitu sebagai berikut:
a. Akad al-Qard al-Hasan
Akad ini dilakukan untuk nasabah yang menginginkan menggadaikan
barangnya untuk keperluan konsumtif. Dengan demikian, nasabah (rahin)
akan memberikan biaya upah atau fee kepada pegadaian (murtahin) yang
telah menjaga atau merawat barang gadaian (marhun).
b. Akad al-Mudharabah
Akad ini dilakukan untuk nasabah yang menggadaikan jaminannya
untuk menambah modal usaha (pembiayaan investasi dan modal kerja)
dengan demikian, rahin akan memberikan bagi hasil (berdasarkan
keberuntungan) kepada murtahin sesuai dengan kesepakatan, sampai modal
yang dipinjam terlunasi.

3
Muhammad. 2000. Lembaga-Lembaga Keuangan Umat Kontemporer. Yogyakarta: UII Pres. hal. 90-91

3
c. Akad al-Bai Muqayyadah
Akad ini dapat dilakukan jika rahin menginginkan menggadaikan
barangnya untuk keperluan produktif, artinya dalam menggadaikan rahin
tersebut menginginkan modal kerja berupa pembelian barang. Sedangkan
barang jaminan yang dapat dijaminkan untuk akad ini adalah barang-barang
yang dapat dimanfaatkan atau tidak dapat dimanfaatkan oleh rahin atau
murtahin. Dengan demikian, murtahin akan memerlukan barang yang sesuai
dengan keinginan rahin atau rahin akan memberikan mark-up kepada
murtahin sesuai dengan kesepakatan pada saat akad berlangsung sampai
batas waktu yang telah ditentukan.

4. Persamaan dan Perbedaan Pegadaian Syariah dengan Pegadaian Syariah


Persamaan dan perbedaan pegadaian syariah dan konvensional adalah
sebagai berikut:4
a. Persamaan
1) Hak gadai sama-sama atas pinjaman uang
2) Sama-sama adanya agunan sebagai jaminan utang
3) Sama-sama tidak boleh mengambil manfaat barang gadaian
4) Biaya barang yang digadaikan sama-sama ditanggung oleh para pemberi
gadai
5) Apabila batas waktu pinjaman habis sedangkan hutang belum lunas
dibayar, maka barang yang digadaikan boleh dijual atau dilelang.
b. Perbedaan
1) Rahn dalam hukum isam dilakukan secara suka rela atas dasar tolong
menolong tanpa mencari keuntungan semata sedangkan gadai
konvensional disamping berprinsip tolong menolong juga menarik
keuntungan dengan cara menarik bunga atau sewa modal.

4
Syukri Iska. Op.cit. hal. 64-66

4
2) Dalam gadai konvensional, hak gadai hanya berlaku pada benda yang
tidak bergerak. sedangkan dalam hukum islam, rahn berlaku pada
seluruh benda, baik harta yang bergerak maupun yang tidak bergerak.
3) Dalam rahn tidak ada istilah bunga.
4) Gadai konvensional dilaksanakan melalui suatu lembaga yang di
Indonesia dikenal dengan Perum Pegadaian, rahn menurut islam dapat
dilaksanakan tanpa melalui suatu lembaga.

B. Perkembangan Pegadaian Syariah Di Indonesia


Lembaga pegadaian di Indonesia sudah ada ketika Indonesia belum merdeka.
Pada awalnya lembaga itu merupakan lembaga swasta. Keadaan itu jug berkelanjutan
pada masa-masa awal kemerdekaan. Barulah pada tahun 1961, berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 178 Tahun 1961 lembaga itu berubah menjadi perusahaan Negara
selanjutnya berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 180 tahun 1965 Perusahaan
Negara Pegadaian diintegrasikan ke dalam urusan Bank Sentral. Berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1969 Perusahaan Negara Pegadaian diubah
menjadi Perusahaan Jawatan Pegadaian.
Menurut aturan dasar pegadaian, barang-barang yang dapat digadaikan
dilembaga itu hanyaah berupa barang-barang bergerak (gadai dalam KUH Perdata
hanyalah berbentuk barang-barang bergerak), tentunya dengan beberapa
pengecualian. Adapun barang-barang yang dikecualikan tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Barang milik Negara, seperti sepeda motor dinas, mesin tik kantor.
2. Surat utang, surak aksi, surat efek, dan surat-surat berharga lainnya.
3. Hewan yang hidup dan tanaman.
4. Segala makanan dan benda yang mudah busuk.
5. Benda-benda yang kotor.
6. Barang yang karena ukurannya besar, tidak dapat disimpan dalam gadaian.

5
7. Benda yang hanya berharga sementara atau harganya naik turun dengan cepat
sehingga sulit ditaksir oleh pejabat gadai.
8. Benda yang digadaikan oleh seseorang yang mabuk atau tidak dapat memberikan
keterangan-keterangan tentu barang yang digadaikannya.
Dalam praktek ,barang-baranag yang lazim diterima oleh jawatan pegadaian
adalahbarang-barang seperti emas, permata, jam, atau barang berharga lainnya.
Peminjaman uang pada jawatan pegadaian itu dikenakan bunga. Menyangkut
besarnya suku bunga selalu mengalami perubahan dan disesuaikan dengan kondisi
perekonomian.
Dibandingkan dengan peminjaman uang ke bank, khususnya pinjaman yang
berbentuk kredit kecil, suku bunga pada jawatan pegadaian relative lebih besar.
Sebab perhitungan bunga pada jawatan pegadaian dihitung per 15 hari. Dengan
demikian, apabila pembayaran dilakukan pada akhir hari ke-16, maka bunga yang
harus dibayar sudah dua kali lipat. Demikian seterusnya setiap 15 hari.
Apabila dibandingkan dengan ketentuan gadai yang ada dalam syariat islam
sebagaimana diuraikan diatas, akad dengan jawatan pegadaian (memakai sistem
bunga) ini dipandang tidak sesuai dengan syariat islam. Sebab akad (sealu dalam
bentuk meminjam uang) yang dilaksanakan sejajar dengan qiradh yang melahirkan
kemanfaatan sedangkan qiradh yang melahirkan kemanfaatan dipandang sebagai
perbuatan riba.
Namun demikian, ada yang berpendapat bahwa perjanjian gadai yang
diadakan dengan jawatan pegadaian sama halnya dengan perjanjian pinjam-
meminjamuang (kredit) dengan perbankkan. Sedangkan menyangkut hukum pinjam-
meminjam uang para ahli hukum islam sampai sekarang ini masih berbeda pendapat.
Adapun pendapat para ahli hukum islam tentang hukum bunga yang ada
dalam dunia perbankkan dapat dikategorikan kepada:
1. Sebagian ahli berpendapat bahwa hukum bunga bank adalah haram alasannya,
bunga bank tersebut sama dengan riba.

6
2. Pendapat yang kedua mengatakan bahwa hukum bunga bank tersebut
dibolehkan, sebab menurut pandangan mereka dalam era perekonomian dewasa
ini seseorang tidak bisa dipisahkan dari dunia perbankkan. Adapun yang menjadi
alasan pemboleh menurut pendapat kedua ini, ialah keadaan sekarang ini
dipandang sebagai keadaan terpaksa atau darurat.
3. Menetapkan bahwa bunga bank milik Negara merupakan masalah musytabihat,
sedangkan dana bank milik swasta dipandang sama dengan riba. Pendapat ketiga
itu sesuai dengan keputusan Muktamar Tarjih Muhammadiyah tahun 1968 di
Sidoarjo.
AR Fachrudin mengemukakan, ”Terhadap masalah imusytabihat (yang tidak
dapat dipahami dengan pasti oleh akal ) sedapat mungkin dihindari, kecuali ada alas
an lain yang berkaitan dengan kemaslahatan umum sesuai dengan tuntutan islam.
Bank pemerintah dipandang sebagai lembaga yang dipergunakan untuk memenuhi
kepentingan umum, yang sangat kecil kemungkinannya untuk rugi, berbeda halnya
dengan bank swasta lainnya. Dengan demikian, tidaklah ada alasan untuk tidak
menabung dan meminjam uang pada bank milik pemerintah, jika hal itu dijadikan
untuk memenuhi hajat hidup sejalan dengan ajaran islam.”
Maka apabila jawatan pegadaian itu di samakan kedudukannya dengan
lembaga perbankan, maka status hukum bunga lembaga pagadaian tersebut sama
seperti halnya status hukum Bunga lembaga perbankan sebagaimana diuraikan di
atas. Yaitu ada yang berpendapat sama dengan riba, ada yang berpendapat di
bolehkan karena keadaan darurat, dan karena jawatan pegadaian itu lembaga milik
pemerintah dan sangat kecil kemungkinannya untuk rugi, maka bunga lembaga
jawatan pegadaian ini di pandang sebgai hal yang musytabihat (kedudukan
hukumnya masih meragukan).
Pegadaian melalui peraturan pemerintah No.10 tahun 1990 tanggal 10 april
1990 pada waktu pagadaian masih berbentuk perusahaan jawatan misi sosial dari
pegadaian merupakan satu-satunya acuan yang digunakan oeh manajemennya dalam
mengelola pegadaian.

7
Pada saat ini pegadaian syariah belum terbentuk sebagai sebuah lembaga. Ide
pembentukan pegadaian syariah selain karena tuntutan idealisme juga dikarenakan
keberhasilan terlembaganya bank dan asuransi syariah.setelah terbentuknya bank,
BMT, BPR, dan asuransi syariah maka pegadaian syariah mendapat perhatian oleh
beberapa praktisi dan akademisi untuk dibentuk dibawah suatu lembaga sendiri.
Keberadaan pegadaian syariah atau gadai syariah atau rahn lebih dikenal sebagai
bagian produk yang ditawarkan oleh bank syariah, dimana bank menawarkan kepada
masyarakat untuk penjaminan barang guna mendapatkan pembiayaan.5

5
Suhrawardi K.Lubis. 2000. Hukum Ekonomi Islam. Jakarta: Sinar Grafika. hal.109-112

8
BAB II
PENUTUP

A. Kesimpulan

Pada keterangan diatas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa Gadai adalah suatu
hak yang diperoleh oleh orang yang orang yang berpiutang atas suatu barang yang
bergerak yang diserahkan oleh orang yang berpiutang sebagai jaminan utangnya dan
barang tersebut dapat dijual oleh yang berpiutang bila yang berutang tidak dapat
melunasi kewajibannyapada saat jatuh tempo.
Pegadaian Konvensional dengan pegadaian syari’ah yakni Secara umum tidak
ada perbedaan dari sisi peminjam. Hanya saja, bunga yang dikenakan pada
pegadaian konvensional, diganti dengan biaya penitipan pada pegadaian syariah.
Sedangkan pegadaian syariah mempunyai mekanisme yang sedikit berbeda. Yaitu
yang pertama, apabila ada orang yang membutuhkan uang dan mereka datang ke
pegadaian syariah, maka secara teknis akan dilakukan penaksiran terhadap barang
yang akan digadaikan. Kemudian setelah dilakukan penaksiran terhadap barang yang
digadaikan, orang tersebut akan mendapatkan sejumlah dana sesuai nilai taksiran
tersbut. Sampai sini masih sama dengan pegadaian konvensional, di mana terjadi
proses pinjam-meminjam uang. Bedanya di pegadaian konvensional dikenakan
bunga, yang biasa disebut jasa uang, sedangkan di syariah mereka tidak bisa
mengenakan bunga atau jasa uang.

9
DAFTAR PUSTAKA

Iska, Syukri & Rizal. Lembaga Keuangan Syariah. (Batusangkar: STAIN Batusangkar
Press, 2005)
Lubis, Suhrawardi K. Hukum Ekonomi Islam. (Jakarta:Sinar Grafika,2000)
Muhammad. Lembaga-Lembaga Keuangan Umat Kontemporer. (Yogyakarta: UII Pres,
2000)
Sudarsono, Heri. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. (Yogyakarta: Ekonisia, 2003)

Anda mungkin juga menyukai