Anda di halaman 1dari 19

FIKIH KONTEMPORER

“HUKUM GADAI”
JAFAR ASSODIQ
M. HAFIZ ADHA SIREGAR
M. RASYID PERMANA​
GADAI DALAM HUKUM
PRESENTATION TITLE

ISLAM
Dalam Fiqhi Islam lembaga gadai dikenal dengan “rahn”, yaitu perjanjian

menahan sesuatu barang. Barang atau bukti harta tetap milik peminjam yang

ditahan merupakan jaminan atau sebagai tanggungan hutang sehingga barang

jaminan menjadi hak yang diperoleh kreditur yang dijadikan sebagai jaminan

pelunasan hutang.

Rahn adalah menahan salah satu harta milik seorang (peminjam) sebagai

jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki

2 nilai ekonomis. Dengan demikian pihak yang menahan memperoleh jaminan

untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.


GADAI DALAM HUKUM
PRESENTATION TITLE

ISLAM
Sayyid Tsabiq dalam kitabnya fiqh as sunnah menjelaskan bahwa rahn adalah

semacam jaminan utang atau gadai. Dalam praktek rahn terdapat beberapa unsur

yang satu sama lain saling mendukung (mutually inclusive), yaitu nasabah

(rahin), harta sebagai jaminan hutang (marhun) kepala pihak lembaga gadai atau

bank sebagai murtahin (Kamil dan Fauzan, 2006, 550).

Meskipun isltilah lembaga gadai disinonimkan dengan istilah rahn dalam fikih

islam, namun keduanya, disamping memiliki persamaan jika dilihat dari aspek

3 tujuan dan fungsi, juga memiliki perbedaan-perbedaan tertentu.


B E B E R A PA A S P E K P E R S A M A A N A N TA R A L E M B A G A G A D A I
D E N G A N R A H N D A PAT D I L I H AT D A R I B E B E R A PA A S P E K
S E L A I N T U J U A N D A N F U N G S I YA I T U :

1. Hak gadai berlaku atas pinjaman uang

2. Sama-sama mempersyaratkan baang agunan sebagai pinjaman uang

3. Tidak diperkenankan mengambil manfaat atas barang yang digadaikan

4. Biaya barang gadai ditanggung oleh pemberi gadai

5. Apabila pada tanggal jatuh tempo barang yang digadai tidak ditembus atau diperpanjang, maka barang

gadai boleh dijual atau dilelang (Muhammad dan Hadi, 2003, 42)
S E D A N G K A N A S P E K YA N G M E M B E D A K A N N YA T E R L E TA K
PA D A A S P E K - A S P E K :

1. Filosofis antara keduanya. Rahn dilakukan atas dasar motif tolong menolong dan membantu kesulitan

seseorang dengan motif mencari keuntungan dan keridahan Allah

2. Cakupan harta yang bisa digadaikan. Dalam rahn harta yang dapat digadaikan bisa berupa harta yang

bergerak maupun tidak bergerak

3. Sifatnya yang fleksibel. Praktek gadai dalam sistem rahn dapat dilakukan di luar atau tanpa lembaga

pegadaian serta tanpa disertai pembayaran bunga.


PRESENTATION TITLE

• Berbeda dari itu, pegadaian dalam hukum perdata, disamping didasarkan pada prinsip tolong menolong, namun

berakhir pada penetapan suatu keuntungan (profit) melalui mekanisme barang bergerak dan terjadi dalam sebuah

lembaga yang bernama perum pegadaian.

• Dengan mengetahui beberapa aspek yang membedakan dan menyamakan antara rahn dan pegadaian diatas, maka

jelas bahwa rahn sebagai lembaga keuangan non-bank dan non-material, untuk kepentingan komersial dan sosial.

Dalam pelaksanaan akadnya, rahn menerapkan akad utang piutang dengan mempersyaratkan adanya barang (marun)

sebagai jaminan yang diserahkan oleh pihak yang berhutang (rahin) kepada murtahin (lembaga gadai).

• Apabila dalam akad tersebut masyarakat penambahan sejumlah uang atau penentuan presentase tertentu dari pokok

utang, maka hal tersebut dipandang sebagai bentuk praktek pembungaan uang disamakan dengan riba yang dilarang

dalam syari’ah Islam


6
PRESENTATION TITLE • Praktek pembungaan yang demikianlah pada umumnya yang terjadi pada lembaga pegadaian konvensional selama

ini. Bahkan semakin mengarah pada eksploitasi masyarakat yang sangat memerlukan jasa keuangan, yang tidak

berbeda secara diametral dengan praktek-praktek pelepasan uang yang dilakukan oleh para rentenie, ijon, atau money

broker lainnya.

• Dalam praktek pegadaian ini ditetapkan adanya bunga setiap 15 hari sekali yang harus dibayarkan oleh masyarakat

tepat pada waktunya. Hal ini berarti bahwa setiap keterlambatan satu hari, maka pihak penggadai harus membayar

bunga yang jelas-jelas mengeksploitasi penggadai.

• Praktek-praktek yang memberatkan salah satu pihak inilah yang dipandang sebagai sebuah bentuk eksploitasi yang

dilarang dalam hukum Islam. Eksploitasi dianggap sebagai cara singkat untuk menumpuk kekayaan dengan pijak

diatas penderitaan orang lain (the missery of others). Meresponsi kenyataan-kenyataan yang berkembang dalam

lingkup muamalah yang memberatkan satu pihak ini, maka nilai-nilai Islam tentang persaudaraan dan misi Islam
7

sebagai agama rahmatan lil `alamin perlu diterjemahkan seara empiris dan lebih kongkrit dalam kehidupan ekonomi
PRESENTATION TITLE P E N D A PAT ULAMA T E N TA N G KEDUDUKAN DAN

M A N FA AT B A R A N G G A D A I A N

Pada dasarnya barang gadai tidak boleh diambil manfaatnya, baik oleh pemilik

barang maupun oleh penerima gadai, kecuali apabila telah mendapat izin dari

masing-masing pihak yang bersangkutan. Sebab hak pemilik barang tidak

memiliki secara sempurna yang memungkinkan ia melakukan perbuatan hukum,

misalnya mewakafkan, menjual, dan sebagainya sewaktu-waktu atas barang

miliknya itu. Sedangkan hak penerima gadai terhadap barang gadai hanya ada

pada keadaan atau sifat kebendaannya yang mempunyai nilai, tetapi tidak pada

guna dan pemanfaatan/pengambilan hasilnya. Penerima gadai hanya berhak


8
menahan barang gadai, tetapi tidak berhak menggunakan atau
Sementara itu, pemilik barang gadai tidak berhak menggunakan barang tersebut,
PRESENTATION TITLE

namun sebagai pemilik apabila barang yang digadaikan itu mengeluarkan hasil,

maka hasil itu adalah menjadi miliknya.

Jumhur ulama fiqh, selain ulama mazhab Hambali, berpendapat bahwa

pemegang barang gadai tidak boleh memanfaatkan barang tersebut, karena

barang itu bukan miliknya secara penuh. Hak pemegang gadai terhadap barang

itu hanyalah sebagai jaminan piutang yang ia berikan, dan apabila pemberi gadai

tidak mampu melunasi utangnya, barulah ia menjual atau menghargai barang

tersebut untuk melunasi utangnya. Jumhur ulama berpendapat seperti ini didasari

oleh sabda Rasulullah SAW : Artinya : Tidak tertutup gadai demi pemiliknya

9 baik hasil maupun resiko (yang timbul dari barang tersebut) menjadi tanggung

jawabnya. (HR al-Hakim, al-Baihaqi, dan ibnu Hibban).


PRESENTATION TITLE
Akan tetapi, apabila pemilik barang gadaian mengizinkan pemegang agunan

memanfaatkan barang tersebut selama berada di tangannya, maka sebagian

ulama Mazhab Hanafi membolehkannya, karena dengan adanya izin, maka tidak

ada halangan bagi pemegang agunan untuk memanfaatkan barang itu. Namun

sebagian ulama mazhab Hanafi lainnya, selama mazhab Maliki, dan ulama

mazhab Syafi’i berpendapat, sekalipun pemilik barang itu mengizinkannya,

pemegang agunan tidak boleh memanfaatkan barangnya. Karena apabila barang

gadaian itu dimanfaatkan, maka hasil pemanfaatan tersebut merupakan riba yang

dilarang syara’ sekalipun memperoleh izin dari pemiliknya. Bahkan menurut

mereka, rela dan izin dalam hal ini lebih cenderung dalam keterpaksaan, karena

10
tidak akan mendapatkan uang yang akan dipinjam itu bila tidak diizinkan. Selain

itu, dalam masalah riba menurut mereka, rela dan izin tidak ada pengaruh dan
PRESENTATION TITLE Persoalan lain adalah apabila yang dijadikan gadai itu adalah binatang ternak. Menurut

ulama mazhab Hanafi, pemegang gadai boleh memanfaatkan hewan ternak tersebut kalau

mendapat izin dari pemiliknya. Ulama mazhab Maliki dan ulama mazhab Syafi’i

berpendirian bahwa jika hewan tersebut dibiarkan saja, tidak diurus oleh pemiliknya, maka

pemegang gadai boleh memanfaatkanya. Karena membiarkan hewan tersebut tersia-sia,

termasuk yang dilarang dalam Islam.

Ulama mazhab Hambali berpendapat bahwa apabila yang dijadikan barang agunan itu

adalah hewan, maka pemegang agunan berhak mengambil susunya dan memanfaatkannya,

sesuai dengan jumlah biaya pemeliharaan yang dikeluarkannya untuk keperluan itu. Hal ini

sesuai dengan sabda Rasulullah SAW. Artinya : Punggung (boleh) ditunggangi dengan

biayanya (yang dikeluarkan) apabila ia gadaikan, dan susunya (boleh) diminum sesuai
11
dengan biayanya (yang dikeluarkan) apabila ia digadaikan. (HR. al-Bukhari, at- Tirmidzi

dan Abu Daud dari Abu Hurairah)


KONSEP GADAI ANTARA NILAI SOCIAL
PRESENTATION TITLE

DAN KOMERSIL
• Gadai yang dikemukakan ulama fiqh klasik hanya bersifat pribadi. Artinya utang piutang itu hanya
terjadi antara seorang yang membutuhkan dan seseorang yang memiliki kelebihan harta. Di zaman
sekarang, sesuai dengan perkembangan dan kemajuan ekonomi, maka gadai tidak saja berlaku antara
pribadi, melainkan juga antara pribadi dengan lembaga-lembaga keuangan, seperti bank. Untuk
mendapatkan kredit dari lembaga keuangan, pihak bank juga menuntut barang agunan yang bisa
dipegang bank sebagai jaminan atas kredit tersebut. Barang agunan ini dalam istilah bank disebut
dengan collateral. Collateral ini sejalan dengan al-marhun (barang gadai) yang berlaku dalam akad rahn
yang dibicarakan ulama klasik. Perbedaannya hanya terletak pada pembayaran utang yang ditentukan
oleh bank. Kredit di bank biasanya harus dibayar sekaligus dengan bunga uang yang ditentukan oleh
bank. Oleh sebab itu, jumlah uang yang harus dibayar oleh debitor akan lebih besar dari utang yang
12
dipinjam dari bank.
PRESENTATION TITLE

• Berdasarkan ketentuan gadai seperti diatas, maka jika barang gadai itu berupa kendaraan roda dua atau roda

empat atau tanah misalnya, tanpa izin pemilik barang, kedua belah pihak tidak berhak mamnfaatkan barang

gadai itu. Namun ketentuan demikian itu bisa bertentangan dengan salah satu prinsip Islam diantaranya

tentang hak milik, yaitu bahwa hak milik pribadi itu tidak mutlak, tetapi berfungsi sosial, sebab harta benda

itu pada hakekatnya milik Allah SWT, sebagaimana firman Nya: Katakanlah: “Kepunyaan siapakah bumi ini,

dan semua yang ada padanya ? Mereka akan menjawab: Kepunyaan Allah .” (QS. Al-Mukminin: 84-85).

13
PRESENTATION TITLE • Karena itu, diusahakan agar didalam perjanjian gadai itu tercantum jika pemegang minta diizinkan

memanfaatkan barang gadai, maka hasilnya menjadi milik bersama (production sharing). Ketentuan ini

dimaksudkan untuk menghindari harta benda tidak berfungsi (mubazir).

• Berdasarkan ketentuan hukum gadai diatas, maka Islam tidak membenarkan adatistiadat dalam suatu

masyarakat yang memperbolehkan penerima/pemegang gadai menanami tanah gadai dan memanen seluruh

hasilnya, sebab tindakan ini berarti mengekspoloitasi dan sangat merugikan pemilik barang gadai itu sendiri.

• Menurut Mahmud Syaltut, apabila kita menghadapi dua alternatif, yaitu antara utang dengan menggadaikam

barang berupa tanah yang seluruh hasilnya diambil oleh pemegang gadai dengan utang pakai bunga yang

relatif ringan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka kita harus memilih

14 utang dengan sistem bunga, karena resikonya lebih ringan.


PRESENTATION TITLE • Mayoritas ulama tidak membolehkan penerima/pemegang gadai memanfaatkan barang gadai, sekalipun

pemiliknya mengizinkannya sebab termasuk riba yang dilarang oleh Islam berdasarkan hadis Rasulullah

SAW. Artinya : Semua pinjaman yang menarik manfaat adalah riba. (HR al-Haris dari Ali)

• Tetapi menurut ulama Hanafi, pemegang boleh memanfaatkan barang gadai atas izin pemiliknya, sebab

pemilik barang itu boleh mengizinkan kepada siapa saja ia kehendaki termasuk pemegang gadai untuk

mengambil manfaat barang yang telah digadaikannya. Namun itu bukan riba, karena pemanfaatan barang

gadai itu ditarik/diperoleh berdasarkan izin, bukan didasarkan pinjaman.

15
PRESENTATION TITLE • Mahmud Syaltut dapat menyetujui pendapat ulama Hanafi tersebut di atas dengan catatan, izin pemilik itu

bukan sekedar formalitas, tetapi benar-benar tulus ikhlas berdasarkan mutual understanding and mutual help

(saling mengerti dan saling menolong).

• Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa menurut Fathi adDuraini (ahli fiqh dari Universitas

Damaskus, Suriah) kehati-hatian ulama fiqh dalam menetapkan hukum pemanfaatan barang gadai, baik oleh

pemilik barang atau pemegang gadai bertujuan agar kedua belah pihak tidak dikategorikan sebagai pemakan

riba. Karena hakikat rahn dalam Islam adalah akad yang dilaksanakan tanpa imbalan jasa dan tujuannya

adalah untuk tolong-menolong. Oleh sebab itu, ulama fiqh menyatakan bahwa apabila ketika berlangsungnya

akad kedua belah pihak menetapkan syarat bahwa mereka sama-sama boleh memanfaatkan barang

gadai,maka rahn itu tidak sah, karena hal ini dipandang bertentangan dengan tabi’at akad gadai itu sendiri.
16
PRESENTATION TITLE • Di zaman sekarang, sesuai dengan perkembangan dan kemajuan ekonomi, maka gadai tidak saja berlaku

antara pribadi, melainkan juga antara pribadi dengan lembagalembaga keuangan, seperti bank. Untuk

mendapatkan kredit dari lembaga keuangan, pihak bank juga menuntut barang agunan yang bisa dipegang

bank sebagai jaminan atas kredit tersebut.namun biasanya hanya menahan barang jaminan sampai utang

dilunasi sesuai dengan jangka waktu yang diberikan. Bila utang tidak dlunasi, maka pihak bank akan

melelang barang gadai. Jika ada kelebihan dari jumlah utang maka akan dikembalikan ke pihak yang

berutang.

• Menurut Mahmud Syaltut kita menghadapi dua alternatif, yaitu antara utang dengan tanggungan barang

berupa tanah yang seluruh hasilnya diambil oleh pemengang gadai dan utang yang memakai bunga yang

relatif ringan sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Maka kita harus
17

memilih utang dengan bunga, karena resikonya lebih ringan.


KESIMPULAN
PRESENTATION TITLE

Sebagai Umat Islam, kita harus menjujung tinggi yang namanya Dasar Hukum
Praktek Gadai. Agar dalam pelaksanaan pegadaian ini bisa berjalan sesuai dengan
norma-norma agama sehingga kita terhindar dari perbuatan menimbun harta orang
lain (Riba) yang sangat dibenci Allah SWT.

Dan sebagai pemuda-pemudi bangsa patutnya kita memberitahukan kehalayak


luas bahwa sebaik-baiknya menggadaikan Barang, Gadaikanlah Barang di
Pegadaian Syari’ah.

18
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai