Anda di halaman 1dari 8

AKUNTANSI SYARIAH

Diajukan Untuk Memenuhi Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Seminar Akuntansi Syariah

Disusun Oleh:

Fauziyah Azzahro (210820301015)

Dosen Pengampu: Dr. Agung Budi Sulistiyo, S.E., M.SI., Ak., CA., CSRS.

PROGRAM STUDI S2 AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS JEMBER

2022
PEGADAIAN SYARIAH: PENERAPAN AKAD RAHN PADA PEGADAIAN SYARIAH

Abstrak

Lembaga keuangan syariah merupakan lembaga keuangan yang bertujuan untuk


membantu mencapai tujuan sosio-ekonomi masyarakat Islam. Lembaga keuangan syariah di
Indonesia menerapkan berbagai macam produk dan akad dalam menjalankan kegiatan usahanya,
salah satu produknya yaitu ar-rahn. Untuk menghindari hal-hal yang dilarang, pegadaian syariah
melakukan analisis fiqh. Berdasarkan rukun dan akad rahn sudah sesuai dengan teori syariah.
Namun hal tersebut perlu diperjelas untuk mendapatkan praktik yang benar menurut teori syariah.

1. Pendahuluan
Latar Belakang
Lembaga keuangan syariah adalah lembaga keuangan yang bertujuan untuk membantu
mencapai tujuan sosio-ekonomi masyarakat Islam. Didirikannya berbagai lembaga keuangan
syariah dan diterbitkannya berbagai instrument berbasis syariah merupakan bentuk dari
perkembangan system keuangan syariah. Lembaga keuangan syariah berbeda dengan lembaga
keuangan konvensional baik dalam tujuan, mekanisme, kekuasaan, ruang lingkup, serta
tanggung jawabnya.
Lembaga keuangan berperan penting dalam perkembangan dan pertumbuhan
perekonomian di Indonesia. Lembaga keuangan dibagi menjadi dua yaitu lembaga keuangan
bank dan lembaga keuangan bukan bank. Lembaga keuangan bank terdiri dari Bank sentral,
Bank Umum, dan BPR. Sedangkan lembaga keuangan bukan bank terdiri dari asuransi,
leasing,modal ventura, factoring, pegadaian, dana pension, pasar modal, reksa dana, kartu
kredit, dan lembaga pembiayaan konsumen. Pegadaian merupakan salah satu solusi untuk
masyarakat ketika sangat membutuhkan dana dalam kondisi yang mendesak, sedangkan yang
bersangkutan tidak mempunyai dana cash atau tabungan. Pegadaian menjadi solusi yang
terbaik karena jika seseorang tersebut mengakses jasa perbankan maka akan dibutuhkan
banyak persyaratan yang rumit, sehingga sebagaian orang mendatangi rentenir meskipun
bunganya cukup tinggi. Pegadaian berlaku jika seseorang tersebut memiliki barang yang bisa
dijadikan jaminan. Gadai merupakan bentuk perjanjian tambahan yang berupa jaminan dari
suatu perjanjian pokok yaitu hutang-piutang dengan jaminan. Jaminan tersebut bertujuan
untuk memperoleh kepercayaan dari debitur. Barang jaminan tetap milik penggadai, namun
dikuasai penerima gadai karena penerima gadai mempunyai hak kebendaan atas barang
jaminan.
Lembaga pegadaian di Indonesia terdiri dari dua jenis pegadaian yaitu pegadaian
konvensinal dan pegadaian syariah. Transaksi gadai pada pegadaian konvensional
membutuhkan persyaratan, yakni perjanjian hutang piutang sebagai perjanjian pokok dan
ditambah benda bergerak sebagai jaminan hutang. Sedangkan pegadaian syariah tidak jauh
beda dengan pegadaian konvensional, perbedaan yang mendasar yaitu dalam hal pemungutan
biaya dalam bentuk bunga yang bersifat akumulatif dan berlipat ganda pada pegadaian
konvensional. Pegadaian syariah tidak menerapkan system bunga karena gadai menurut Islam
bertujuan untuk menolong orang yang membutuhkan dana bukan untuk kepentingan
komersial dengan mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa menghiraukan
kemampuan orang lain.
2. Kajian Pustaka
2.1 Akad Rahn
Transaksi gadai dalam Fiqh Islam disebut ar-rahn (Zainudin, 2008). Rahn adalah
penguasaan barang milik peminajam oleh pemberi pinjaman sebagai jaminan (Arfan, 2013).
Ar-rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam atas pinjaman yang diterimanya.
Barang yang ditahan harus memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian pihak yang menahan
memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.
Pemilik barang gadai disebut rahin dan orang yang menghutangkan disebut murhatin,
sedangkan barang yang digadaikan disebut rahn.
2.2 Dasar Hukum ar-Rahn
a. Al-Qur’an
Konsep rahn (gadai) dalam Hukum Islam berdasarkan ayat Al-Qur’an yaitu surat Al-
Baqarah ayat 283 yang artinya adalah sebagai berikut:
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah secara tidak tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, maka hendaklan ada barang tanggungan yang dipegang (oleh
yang berpiutang).”
Para ulama fiqh sepakat bahwa ar-rahn boleh dilakukan dalam perjalanan dan dalam
keadaan hadir ditempat, asal barang jaminan itu bisa langsung dipegang/dikuasai secara humu
oleh murhatin.
b. Hadist
Di dalam sebuah Hadist Riwayar Bukhari, kitab Ar-Rahn dikatakan bahwa:
Artinya: “dari Aisyah, sesungguhnya Nabi SAW membeli makanan secara tidak tunai dari
seorang Yahudi dengan menggadaikan baju besinya”. (H.R. Bukhari)
Menurut kesepakatan pakar fiqh, peristiwa Rasulullah SAW menggadaikan baju besinya itu,
adalah kasus ar-rahn pertama dalam Islam dan dilakukan sendiri oleh Rasulullah SAW.
2.3 Rukun dan Syarat ar-Rahn
Dalam melaksanakan suatu perikatan terdapat rukun dan syarat gadai yang harus
dipenuhi. Rukun rahn adalah sebagai berikut:
a. Orang yang berakad, mereka adalah dua orang yang berakad (Rahun) dan murtahin
(pemilik piutang yang menguasai harta gadai sebagai barang jaminan hutangnya).
b. Ma’qud Alahi, yaitu harta benda yang menjadi barang jaminan serta hutang sebagai
pinjaman rahin.
c. Shighat, yaitu lafadz yang terdiri dari ijab dan qabul dari kedua pihak yang mekakukan
transaksi gadai.

Syarat-syarat bagi sahihnya suatu akad gadai adalah sebagai berikut:

a. Syarat ‘Aqid.
Syarat yang harus dipenuhi oleh ‘aqid dalam gadai yaitu rahin dan murtahin adalah
ahliyah (kecakapan). Sahnya gadai, pelaku disyaratkan harus berakal dan mumayyiz.
b. Syarat Shighat
Menurut Hanafiah, shigat gadai tidak boleh digantungkan dengan syarat, dan tidak
disandarkan kepada masa yang akan datang. Hal ini karena akad gadai menyerupai akad
jual beli, dilihat dari aspek pelunasan hutang.
c. Syarat Marhun
Para ulama sepakat bahwa syarat-syarat marhun sama dengan syarat-syarat jual beli.
Artinya, semua batang yang sah diperjualbelikan sah pula digadaikan. Secara rinci
Hanafiah mengemukakan syarat-syarat marhun adalah sebagai berikut:
 Barang yang digadaikan bisa dijual, yakni barang tersebut harus ada pada waktu akad
dan mungkin untuk diserahkan.
 Barang yang digadaikan harus berupa maal (harta)
 Barang yang digadaikan harus haal mutaqawwin, yaitu barang yang boleh diambil
manfaatnya menurut syara’, sehingga memungkinkan dapat digunakan untuk
melunasi utangnya.
 Barang yang digadaikan harus diketahui (jelas).
 Barang tersebut dimiliki oleh rahun. Tidak sah jika menggadaikan barang milik orang
lain tanpa ijin dari pemiliknya.
 Barang yang digadaikan harus kosong, yakni terlepas dari hak rahin. Tidak sah jika
menggadaikan pohon kurma yang ada buahnya tanpa menyertakan buahnya itu.
 Barang yang digadaikan harus sekaligus bersama-sama dengan pokoknya (lainnya).
Tidak sah menggadaikan buah-buahan saja tanpa disertai dengan pohonnya, karena
tidak mungkin menguasai buah-buahan tanpa menguasai pohonnya.
 Barang yang digadaikan harus terpisah dari hak milik orang lain, yakni bukan milik
bersama.
d. Syarat Mahrun Bin
Marhun bih adalah suatu hak yang karenanya barang gadaian diberikan sebagai jaminan
kepada rahin. Menurut Hanafiah, marhun bih harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
 Marhun bih harus berupa hak yang wajib diserahkan kepada pemiliknya, yaitu rahin,
karena tidak perlu memberikan jaminan tanpa ada barang yang dijaminnya.
 Pelunasan utang memungkinkan untuk diambil dari marhun bih. Apabila tidak
memungkinkan pembayaran utang dari marhun bih, maka rahn hukumnya tidak sah.
 Hak marhun bih harus jelas (ma’lum), tidak boleh majhul (samar/tidak jelas).
3. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis data sekunder, data sekunder adalah jenis data yang
diambil seorang peneliti untuk mendukung sebuah penelitian secara ilmiah dengan melakukan
rangkaian studi pustaka melalui beberapa media seperti jurnal, karya ilmiah, artikel, ,majalah,
internet dan sumber lainnya yang diperlukan. Pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian unu menggunakan metode studi pustaka yang digunakan dengan cara menemukan
berbagai dasar-dasar teori yang memiliki hubungan tentang penerapan yang digunakan pada
akad ar-rahn dalam pegadaian syariah. Data yang dihasilkan bersifat deskriptif.
4. Hasil dan Pembahasan
4.1 Penerapan Akad Rahn pada Pegadaian Syariah
Mekanisme operasional Pegadaian Syariah melalui akad rahn yaitu masyarakat
menyerahkan barang bergerak dan pegadaian menyimpan dan merawat barang bergerak
tersebut. Proses penyimpanan ini menimbulkan biaya-biaya yang meliputi nilai dari tempat
penyimpanan, biaya perawatan dan keseluruhan proses kegiatan. Atas dasar tersebut
dibenarkan bagi pegadaian mengenakan biaya sewa bagi nasabah sesuai jumlah yang
disepakati oleh kedua belah pihak. Pegadaian syariah hanya akan mendapatkan keuntungan
dari beasewa tempat, bukan berupa bunga atau sewa modal yang diperhitungkan dari uang
pinjaman.
Transaksi gadai syariah harus memenuhi rikin dan syaratnya. Akad akan
ditandatangani sekaligus pada saat rahin menyerahkan hartanya. Jenis barang yang dapat
diterima sebagai barang jaminan pada prinsipnya adalah barang bergerak, antara lain:
a. Barang-barang perhiasan: emas, perak, platina, intan, dan mutiara.
b. Barang-barang elektronik: TV, kulkas, laptop.
c. Kendaraan: sepeda motor, mobil, sepeda
d. Mesin: mesin jahit, mesin motor kapal
e. Barang-barang lain yang dianggap bernilai seperti surat-surat berharga: akta rumah.

Proses akad ar-rahn hanya memakan waktu 15 menit untuk mencairkan dana dan
penyimpanannya aman. Ini merupakan solusi tepat untuk masyarakat yang membutuhkan
dana yang sesuai dengan syariah. Keunggulan ar-rahn, yaitu:

a. Layanan ar-rah ada di outlet pegadaian syariah di seluruh Indonesia


b. Prosedur pengajuannya sangat mudah
c. Proses peminjamannya sangat cepat
d. Pinjaman mulai dari Rp 50.000 sampai dengan Rp 500.000.000 rupiah atau lebih
e. Jangka waktu pinjaman maksimal 4 bulan atau 120 hari dan dapat diperpanjang berkali-
kali dengan cara membayar ijarah saja atau mengangsur sebagian uang pinjaman
f. Pelunasan dapat dilakukan sewaktu-waktu dengan perhitungan ijarah selama masa
pinjaman.
g. Proses pinjaman tanpa perlu membuka rekening
h. Nasabah menerima pinjaman dalam bentuk tunai atau transfer ke rekening
i. Barang jaminan tersimpan aman di pegadaian

Model bisnis gadai syariah yang mudah dan cepat yaitu nasabah datang dengan
membawa (Marhun) agunan, lalu marhun tersebut ditaksir oleh penaksir Pegadaian
Syariah, setelah kedua belah pihak sepakat, Marhun bih diterima oleh rahin dengan tunai
atau di transfer. Hal ini membutuhkan persyaratan yang sangat mudah, yaitu fotokopi KTP
atau kartu identitas resmi lainnya, memiliki barang jaminan. Untuk kendaraan bermotor
membawa BPKB dan STNK asli, lalu rahin menandatangani Surat Bukti Rahn (SBR).

Pegadaian syariah tidak diperkenankan menghimpun dana secara langsung dari


masyarakat dalam bentuk simpanan. Untuk memenuhi kebutuhan dananya, pegadaian
syariah memiliki sumber dana, yaitu: modal sendiri, penyertaan modal pemerintah,
pinjaman jangka pendek dari perbankan, pinjaman jangka panjang yang berasal dari kredit
lunak Bank Indonesia, san dari masyarakat melalui penerbitan obligasi. Jadi intinya sumber
pegadaian syariah untuk memenuhi kebutuhan dananya harus terbebas dari unsur riba.

4.2 Analisis Akad Rahn


Akad rahn merupakan perjanjian yang menjadikan barang berharga sebagai jaminan
utang hingga rahin bisa mengembalikan utang. Mekanisme akad rahn di pegadaian syariah
yaitu masnyarakat menyerahkan barang bergerak dan kemudian pegadaian menyimpan dan
merawat barang tersebut ditempat yang telah disediakan oleh pegadaian syariah tersebut.
Dari proses penyimpanan tersebut menimbulkan biaya yang meliputi biaya sewa, biaya
perawatan, dan biaya dari keseluruhan proses.
DAFTAR PUSTAKA

Nuroh Yuniwati, Emilia Dwi Lestari, & Anis Alfiqoh. (2021). Pegadaian Syariah : Penerapan
Akad Rahn Pada Pegadaian Syariah. An-Nisbah: Jurnal Perbankan Syariah, 2(2), 189–199.
https://doi.org/10.51339/nisbah.v2i2.253

Purbasari, I., & Rahayu, S. (2017). Analisis Penerapan Akad Rahn (Gadai) dan Pengenaan Biaya
Administrasi Rahn di Pegadaian Syariah (Studi Empiris di Kantor Cabang Pegadaian Syariah
Pamekasan). Jurnal Hukum Ekonomi Islam, 1(1), 144–170.
https://jhei.appheisi.or.id/index.php/jhei/article/view/1

Surahman, M., & Adam, P. (2017). Penarapan Prinsip Syariah Pada Akad. Jurnal Law and Justice,
2, 135–146. http://journals.ums.ac.id/index.php/laj/article/download/3838/3799

Anda mungkin juga menyukai