Anda di halaman 1dari 9

Ariyah, Ju’alah, Wadiah

Ameralia Bunga Anshari


UIN Sultan Aji Muhammad Idris Samarinda
ameraliabunga21@gmail.com

Rifka Zazkirani Az-Zarah


UIN Sultan Aji Muhammad Idris Samarinda
rifkazazkirania@gmail.com

Abstrak
Artikel ini membahas tentang konsep utama dalam keuangan syariah. Penelitian ini
adalah penelitian pustaka. Data dikumpulkan melalui jurnal dan dokumen, yang
kemudian dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menyimpulkan dalam
Ariyah, peminjam mengembalikan jumlah yang dipinjamkan tanpa membayar
tambahan bunga seperti dalam sistem keuangan konvensional. Konsep ini sesuai
dengan prinsip-prinsip keuangan Islam yang melarang praktik riba (bunga). Jualah,
seseorang bisa mendapatkan komisi sebagai imbalan atas layanan dalam menjual
barang atau jasa untuk orang lain. Konsep ini memastikan kompensasi yang adil
tanpa melibatkan unsur riba (bunga) sesuai dengan prinsip syariah. Wadiah, di
mana nasabah menyimpan uang pada bank syariah yang bertanggung jawab untuk
menjaga uang tersebut. Bank tidak memberikan imbalan berupa bunga atas
simpanan, tetapi bertanggung jawab atas keamanan dana nasabah. Dalam beberapa
kasus, bank bisa memberikan hadiah atas simpanan tersebut sebagai bentuk
apresiasi atas kepercayaan nasabah.

Kata kunci: Ariyah, Ju’alah, Wadiah

A. Pendahuluan
1. Ariyah: Ini adalah pinjaman tanpa bunga. Dalam konsep ini,
peminjam mengembalikan jumlah yang dipinjamkan tanpa
membayar tambahan bunga seperti dalam sistem konvensional.
2. Ju'alah: Merupakan pembayaran imbalan atau komisi dalam
transaksi jual-beli. Contohnya, dalam sebuah transaksi jual-beli,
seseorang bisa mendapatkan komisi sebagai imbalan atas layanan
atau jasanya.
3. Wadiah: Ini merupakan bentuk simpanan di bank syariah. Nasabah
menyimpan uang dan bank bertanggung jawab untuk menjaga uang
tersebut. Dalam Wadiah, bank tidak memberikan imbalan bunga atas
simpanan, namun dalam beberapa kasus, bank bisa memberikan
hadiah atau insentif atas kepercayaan nasabah.

1
Ketiga konsep ini digunakan dalam praktik keuangan syariah untuk
memastikan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip Islam yang melarang riba
(bunga) dan mengatur transaksi keuangan yang adil dan sesuai dengan
hukum Islam.

B. Pembahasan

1. Ariyah
Pengertian ‘Ariyah Untuk membedakan antara pinjam-meminjam yang
diperbolehkan oleh syariat agama dari praktik riba yang dilarang, misalnya,
maka perlu pemahaman yang utuh tentang definisi pinjammeminjam ini.
Pinjaman bisa disebut juga sebagai ‘ariyah. Secara semantik, ‘ariyah berasal
dari akar kata a-‘ara yu’iru i’arah, meminjam sesuatu, mengeluarkan sesuatu
dari tangan pemiliknya kepada tangan orang lain.

Empat mazhab fikih memiliki pengertian yang berbeda namun hampir


sama. Mazhab Hanafiyah memiliki pengertian, yaitu: Memilikkan manfaat
pada orang lain tanpa harus ada ganti rugi. Menurut Malikiyah, ‘ariyah
adalah: suatu benda tanpa harus ada ganti rugi. Sedangkan menurut
Syafi’iyah, ‘ariyah memiliki arti: Mengijinkan mendapat manfaat dari
barang yang memiliki manfaat dengan catatan wujud barang tersebut tetap
demi bisa mengembalikannya. Adapun menurut Hanabilah, ‘ariyah berarti:
Membolehkan mendapat manfaat atas sebuah barang yang termasuk dari
harta kekayaan.

Selain empat imam mazhab, ada juga ulama lain seperti Ibnu Rif’ah yang
berpendapat bahwa ‘ariyah adalah membolehkan seseorang mengambil
manfaat dari suatu barang dengan jalan yang halal, namun wujud barang
tersebut harus utuh dan dapat dikembalikan kepada pemiliknya. Ibnu
Katsir menyebutkan bahwa ‘ariyah bagian dari tolong menolong. Sementara
hukum tolong menolong adalah sunah. Pinjaman adalah bagian dari amal
kebaikan yang merupakan manifestasi konkret dari prinsip tolong-
menolong. Allah swt mencela manusia yang enggan tolong menolong
sesamanya. Sebagaimana Ibnu Katsir, Sayyid Sabiq juga mengatakan bahwa
tolong menolong dalam ‘ariyah adalah amalan sunah. Hal senada
disampaikan oleh ulama lain, seperti al-Ruyani yang dikutip oleh
Taqiyuddin, bahwa hukum ‘ariyah adalah wajib ketika Islam baru bangkit.

2
Adapun Hadits yang berkenaan dengan ‘ariyah atau pinjam-meminjam,
sebagai berikut: (Dari Abi Hurairah r.a. dari Nabi saw. bersabda, ”Siapa
yang meminjam harta manusia dengan kehendak membayarnya maka Allah
akan membayarkannya, barang siapa yang meminjam hendak
melenyapkannya, maka Allah akan melenyapkan hartanya)”. (HR. Bukhari).
Berdasarkan hal tersebut, Islam sesungguhnya sangat menganjurkan untuk
saling tolong menolong pada hambanya.

a. Rukun dan Syarat ‘Ariyah

Sebelumnya telah kita bahas tentang definisi ‘ariyah. Islam dengan ajaran al-
Qur’an maupun hadisnya telah mengijinkan umat Islam untuk melakukan
transaksi pinjam-meminjam, dan hal itu adalah bagian dari amalan sunah
karena ‘ariyah bernuansa tolongmenolong dan tidak untuk membebani
orang lain. Untuk itulah, ilmu fikih kemudian menentukan secara lebih
detail tentang rukun-rukun dan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam
transaksi ‘ariyah. Ilmu fikih secara detail membahas tentang rukun-rukun
‘ariyah. Berikut ini adalah rukun-rukun ‘ariyah.

1). Mu’ir Mu’ir adalah pihak yang meminjamkan atau mengizinkan


penggunaan barang untuk dimanfaatkan oleh orang lain. Beberapa syarat
yang harus ada pada mu’ir yaitu:
a) Ahli al-Tabarru, yakni memiliki hak penuh untuk memberikan izin atas
pemanfaatan barang;
b) Mukhtar, yakni tidak dalam keadaan dipaksa oleh pihak lain. Akad
‘ariyah hanya sah dilakukan jika peminjaman barang itu atas dasar
kehendak atau inisiatif sendiri, bukan atas dasar tekanan atau paksaan.

2). Musta’ir Musta’ir adalah pihak yang meminjam barang atau orang yang
mendapat izin untuk menggunakan barang. Beberapa syarat yang harus ada
pada musta’ir adalah sebagai berikut:
a) Sah mendapat hak penggunaan barang setelah melalui akad tabarru’.
Seseorang yang tidak melewati akad tabarru’, maka tidak dapat dianggap
sebagai musta’ir sehingga ia tidak bisa menggunakan barang untuk diambil
manfaatnya.
b) Mua’yan, yakni jelas dan tertentu. Orang yang meminjam harus jelas
identitasnya, nama dan alamatnya, serta identitas-identitas lain yang
menutup kemungkinan untuk menghilangkan barang atau menghilangkan
kemungkinan pengrusakan atas barang tanpa tanggung jawab.

3). Musta’ar atau mu’ar

3
Musta’ar atau mu’ar adalah barang yang dipinjamkan. Jadi, barang yang
manfaatnya sudah diizinkan untuk dipergunakan oleh musta’ir disebut
sebagai musta’ar. Beberapa syarat yang harus ada dalam musta’ar adalah
sebagai berikut:
a) Berpotensi dimanfaatkan. Jadi, barang yang tidak mengandung nilai guna
atau nilai manfaat maka tidak bisa dipinjamkan;
b) Manfaat barang merupakan milik pihak mu’ir. Jika manfaat barang bukan
milik mu’ir, maka barang tersebut tidak bisa dipinjamkan. Contoh, sepetak
lahan disewakan oleh A kepada B. Sekalipun lahan tersebut berstatus milik
A, tetapi manfaatnya sudah milik pihak B. Jadi, C sudah tidak bisa
mengambil manfaat pada lahan itu.
c) Syar’i, yaitu pemanfaatannya sudah legal secara agama. Jika suatu barang
mengandung nilai guna yang tidak dibenarkan oleh agama, maka tidak
boleh dipinjamkan.
d) Maqsudah, yaitu manfaat barang memiliki nilai ekonomis. Jika ghairu
maqsudah, maka barang tidak bisa dipinjamkan. Misalnya, sebutir debu
atau lainnya.
e) Pemanfaatannya tidak berkonsekuensi mengurangi fisik barang.

4. Shighah Shighah dalam akad ‘ariyah adalah bahasa komunikasi atau


ucapan. Sighah berfungsi sebagai penegas bahwa akad ‘ariyah sudah
dijalankan dengan baik dan benar. Sighah di sini bisa meliputi ijab dan
qabul. Ijab berarti ucapan dari mu’ir bahwa dirinya meminjamkan barang
yang mengandung nilai guna pada musta’ir, sedangkan qabul adalah
pernyataan yang menunjukkan bahwa musta’ir telah mendapatkan izin
untuk mengambil manfaat dari barang milik mu’ir.

b. Macam-macam ‘Ariyah
Terdapat dua macam ‘ariyah yaitu: ‘ariyah muqayyadah dan ‘ariyah
muthlaqah.
1) ‘Ariyah Muqayyadah ‘Ariyah Muqayyadah adalah bentuk pinjam-
meminjam barang yang bersifat terikat dengan batasan-batasan tertentu.
Dengan adanya batasan ini, maka peminjaman barang harus mengikuti
batasan yang telah ditentukan atau disepakati bersama. Pembatasan dapat
berupa apa saja, baik itu pembatasan waktu atau tempat maupun poin-poin
lain yang disepakati bersama sejak awal. Apabila batasan-batasan ini telah
dilanggar, maka pelanggar bisa dijatuhi hukuman, setidaknya dihukumi
bersalah. Dengan demikian, jika pemilik barang mensyaratkan pembatasan
waktu, tempat, atau batasan lain tersebut, maka seseorang tidak memililki
pilihan lain selain mentaatinya. Contoh, mobil hanya boleh dipinjam sehari
dalam radius 100 kilometer. Batasan waktu dan jarak tempuh untuk mobil
ini harus ditaati oleh peminjam barang. ‘Ariyah muqayyadah ini biasanya
berlaku pada objek yang bernilai besar, sehingga mu’ir merasa khawatir atas

4
musta’ir jika tidak diberi batasan semacam itu. Namun, jika pembatasan
dari mu’ir menyebabkan musta’ir tidak dapat mengambil manfaat dari
barang pinjamannya, maka musta’ir boleh melanggarnya. Contoh, mobil
hanya dibolehkan dipakai dalam radius 100 kilometer, sedangkan
kebutuhannya 1.000 km. Pembatasan yang mustahil semacam ini
memembatalkan pembatasan. Dengan demikian, musta’ir boleh melanggar
batasan selama terdapat kesulitan untuk memanfaatkan barang pinjaman.
Contoh, A meminjam mobil pada B selama 24 jam. Tiba-tiba, di sebuah
perjalanan terjadi kecelakaan yang tidak memungkinkan musta’ir (A) untuk
mengembalikan mobil pada mu’ir (B) dalam jangka waktu 24 jam. Sebab,
mobil harus masuk bengkel dan menjalani reparasi dalam durasi waktu
yang lebih lama. Tanpa sepengetahuan dan seizin mu’ir pun, musta’ir boleh
melebihi batas waktu 24 jam. Namun demikian jika ada perbedaan
pendapat antara mu’ir dan musta’ir tentang lamanya waktu meminjam,
berat/nilai barang, tempat, dan jenis barang, maka pendapat yang harus
dimenangkan adalah pendapat mu’ir karena dialah pemberi izin untuk
mengambil manfaat barang pinjaman tersebut sesuai dengan keinginannya.
Menurut jumhur ulama, dalam konteks ‘ariyah muqayyadah, musta’ir
hanya boleh memakai barang sesuai ijin mu’ir. Dengan demikian, musta’ir
pada dasarnya tidak boleh melanggar atau melewati batas waktu, tempat,
jarak, atau ukuran yang ditetapkan oleh mu’ir,, kecuali ada izin atau
kerelaan dari mu’ir untuk melanggarnya.

2) ‘Ariyah Muthlaqah ‘Ariyah muthlaqah adalah bentuk pinjam-meminjam


barang yang tidak dibatasi oleh ketentuan apapun. Melalui akad ‘ariyah ini,
musta’ir diberi kebebasan untuk memanfaatkan barang pinjaman selama
apapun dan dalam ruang seluas apapun. Jika A menyerahkan mobil pada B
tanpa ada kesepakatan berupa pembatasan apapun, maka B berhak
menggunakan mobil berapa hari pun dan sejauh mana pun. Apabila dalam
akad tidak disebutkan hal-hal yang berkaitan dengan penggunaan
kendaraan mobil tersebut, misalnya terkait waktu dan tempat
mengendarainya, maka praktek tersebut dikenal dengan ‘ariyah muthlaqah.
‘Ariyah muthlaqah ini sering terjadi di kalangan mu’ir atau musta’ir yang
sudah saling percaya satu sama lain. Karena itulah, hukum adat menjadi
berlaku. Batas waktu dan batas ruang harus disesuaikan dengan kebiasaan
yang berlaku di masyarakat. Tidak boleh menggunakan kendaraan tersebut
siang malam tanpa henti, dan dalam radius yang sangat jauh tanpa kendali.
Jika penggunaannya tidak sesuai dengan kebiasaan dan barang pinjaman
rusak, maka mu’ir harus bertanggung jawab. Menurut ulama Mazhab
Hanafiyah, dalam status ‘ariyah muthlaqah, musta’ir berperan sepenuhnya
sebagai malik atau pemilik barang.1

1
file:///C:/Users/USER/Downloads/file_06-06-2023_647eaf7313bdb.pdf

5
2. Ju’alah
Ju’alah (‫ )لة الجعا‬artinya janji hadiah atau upah. berarti upah atau hadiah yang
diberikan kepada seseorang karena orang tersebut mengerjakan atau
melaksanakan suatu pekerjaan tertentu. Secara terminologi fiqih berarti
“suatu Iltizam (‫ )الل تزام‬tanggung jawab) dalam bentuk janji memberikan
imbalan upah tertentu secara sukarela terhadap orang yang berhasil
melakukan perbuatan atau memberikan jasa yang belum pasti dapat
dilaksanakan atau dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan”. Jadi Ju'alah
adalah suatu kontrak di mana pihak pertama menjanjikan imbalan tertentu
kepada pihak kedua atas pelaksanaan suatu tugas/ pelayanan yang
dilakukan oleh pihak kedua untuk kepentingan pihak pertama.

Madzhab Maliki mendefinisikan Ju’alah sebagai “Suatu upah yang


dijanjikan sebagai imbalan atas suatu jasa yang belum pasti dapat
dilaksanakan oleh seseorang”. Madzhab Syafi’i mendefinisikannya:
“Seseorang yang menjanjikan suatu upah kepada orang yang mampu
memberikan jasa tertentu kepadanya”. Definisi pertama (Madzhab Maliki)
menekankan segi ketidakpastian berhasilnya perbuatan yang diharapkan.
Sedangkan definisi kedua (Madzhab Syafi’i) menekankan segi
ketidakpastian orang yang melaksanakan pekerjaan yang diharapkan.

a. Rukun Ju’alah
1) Sighot
2) Ja’il adalah pihak yang berjanji akan memberikan imbalan tertentu atas
pencapaian hasil pekerjaan (natijah) yang ditentukan
3) Maj’ul lah adalah pihak yang melaksanakan Ju’alah
4) maj’ul ‘alaih adalah pekerjaan yang ditugaskan
5) Upah / hadiah/ fee

b. Syarat-syarat Ju’alah
1) Orang yang menjanjikan upah atau hadiah harus orang yang cakap untuk
melakukan tindakan hukum, yaitu: baligh, berakal dan cerdas. Dengan
demikian anak-anak, orang gila dan orang yang berada dalam pengampuan
tidak sah melakukan Ju’alah.

6
2) Upah atau hadiah yang dijanjikan harus terdiri dari sesuatu yang
berharga atau bernilai dan jelas juga jumlahnya. Harta yang haram tidak
dipandang sebagai harta yang bernilai (Madzhab Maliki, Syafi’i dan
Hanbali). Tidak boleh ada syarat imbalan diberikan di muka (sebelum
pelaksanaan Ju’alah).
3) Ijab harus disampaikan dengan jelas oleh pihak yang menjanjikan upah
walaupun tanpa ucapan Qabul dari pihak yang melaksanakan pekerjaan.
Antara pekerjaan dan batas waktu yang ditetapkan untuk
menyelesaikannya boleh digabungkan seperti seseorang berkata,
“barangsiapa dapat membuat baju dalam satu hari maka ia dapatkan
bayaran sekian” jika ada orang yang dapat membuat baju dalam satu hari
maka ia berhak mendapatkan komisi/fee.

4) Pekerjaan yang diharapkan hasilnya itu harus mengandung manfaat yang


jelas dan boleh dimanfaatkan menurut hukum syara’.

5) Madzhab Maliki dan Syafi’i menambahkan syarat, bahwa dalam masalah


tertentu, Ju’alah tidak boleh dibatasi dengan waktu tertentu, seperti
mengembalikan (menemukan) orang yang hilang. Sedangkan Madzhab
Hanbali membolehkan pembatasan waktu.

6) Madzhab Hambali menambahkan, bahwa pekerjaan yang diharapkan


hasilnya itu, tidak terlalu berat, meskipun dapat dilakukan berulangkali
seperti mengembalikan binatang ternak yang lepas dalam jumlah yang
banyak.2

3. Wadiah
Dalam Bahasa Indonesia wadi‟ah berarti “titipan”. Akad wadiah
merupakan suatu akad yang bersifat tolong menolong antara sesama
manusia.3 Wadiah dalam bahasa fiqh berarti barang tititpan atau
memberikan, juga diartikani‟tha‟u al-mal liyahfadzahu wa fi qabulihi yaitu
memberikan harta untuk dijaganya dan pada penerimanya. Karena itu.
Istilah wadi‟ah sering disebut sebagai ma wudi‟a „inda ghair malikihi
layahfadzuhu yang artinya sesuatu yang ditempatkan bukan pada
pemiliknya supaya dijaga.4 Seperti dikatakan qabiltu minhudzalika al-mal
liyakuna wadi‟ah „indi yang berarti aku menerima harta tersebutdarinya.
Sedangkan alquran memberikan arti wadiah sebagai amanat bagi orang
yang menerima titipan dan ia wajib mengembalikannya pasa waktu pemilik
meminta kembali.

2
file:///C:/Users/USER/Downloads/57585496-Fiqh-Muamalat-Jualah.pdf
3
Sjahdeini, Perbankan Islam Dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, Jakarta :
Pustaka Utama Grafiti, 2007, h. 55
4
Dwi Suwiknyo, Kompilasi Tafsir Ayat-ayat Ekonomi Islam, Yogjakarta: 2010, h. 295

7
Wadiah dapat diartikan sebagai titipan dari satu pihak ke pihak lain, baik
individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan
saja si penyimpan menghendakinya. Tujuan dari perjanjian tersebut adalah
untuk menjaga keselamatan barang itu dari kehilangan, kemusnahan,
kecurian dan sebagainya. Yang dimaksud dengan “barang” disini adalah
suatu yang berharga seperti uang, dokumen, surat berharga dan barang lain
yang berharga disisi Islam.5

a. Rukun Wadiah
Rukun Wadiah menurut Hanafiah adalah ijab dan qobul dengan ungkapan
“saya titipkan barang ini kepada anda” atau dengan kalimat “saya minta
anda memelihara barang ini”, atau dengan kalimat yang semakna dengan
hal ini kemudian pihak lain menerimanya. Rukun wadiah menurut Jumhur
ada tiga, yaitu dua orang yang ber akad yang terdiri dari penitip dan
penerima titipan (Wadi’ dan Muwadi’) sesuatu yang di titipkan (Wadiah
atau Muwada’), dan shighat (ijab dan qabul).

b. Syarat Wadiah
1) Dua orang yang ber-akad (orang yang menitipkan dan memerima
titipan). Disyaratkan berakal dan muwayiz meskipun ia belum baligh, maka
tidak sah wadiah terhadap anak kecil yang belum berakal dan orang gila.
Menurut Hanafiah terhadap orang yang melakukan akad wadiah tidak
disyaratkan baligh, maka sah wadiah terhadap anak kecil yang di ijinkan
berdagang karena dia telah mampu menjaga harta titipan. Begitu juga
dengan menerima titipan dari anak kecil yang mendapat ijin. Adapun anak
kecil yang di hajru, dia tidak sah menerima titipan karena
ketidakmampuannya untuk memelihara harta titipan. Menurut jumhur, apa
yang disyaratkan dalam wadiah sama dengan apa yang disyaratkan dalam
wakalah berupa baligh, berakal dan cerdas.

2) Wadiah (sesuatu yang dititipkan). Disyaratkan berupa harta yang bisa


diserah terimakan, maka tidak sah menitipkan burung yang ada di udara.
Benda yang dititipkan harus benda yang mempunyai nilai (qimah) dan
dipandang sebagai maal.

3) Shigat (ijab dan qabul), seperti “saya titipkan barang ini kepadamu“.
Jawabannya “saya terima”. Namun, disyaratkan lafal qabul, cukup dengan

5
Wiroso, Penghimpun Dana dan Distribusi Hasil Usaha Bank Syariah, Jakarta: PT Grasindo, 2005, h.
20

8
perbuatan menerima barang titipan, atau diam. Diamnya, sama dengan
qabul sebagaimana dalam mu’athah pada jual beli.6

c. Macam-macam Wadiah

1) Wadi’ah yad al-amanah


Yaitu akad penitipan barang atau uang dimana pihak penerima titipan tidak
diperkenakan menggunakan barang atau uang tersebut. Tapi orang yang
dititipi barang (wadi’) tidak bertanggung jawab atas kehilangan atau
kerusakan yang terjadi barang titipan selama bukan akibat dari kelalaian
atau kecerobohan yang bersangkutan
dalam pemeliharaan barang titipan (karena sebab-sebab factor diluar kema
mpuan)

2) Wadiah yad adh Dhamanah


Yaitu akad penitipan barang atau uang dimana pihak penerima titipan
dengan atau tanpa izin pemilk barang dapat memanfaatkan barang atau
uang yang dititipkan dan harus bertanggungjawab terhadap kehilangan
atau kerusakan barang tersebut. Akad wadi’ah ini
berlaku apabila orang yang dititipi barang (wadi’i) tidak lagi meng-idle-kan
asset
atau barang titipan tersebut. Tetapi penggunaanya dalam perekonomian tert
entu setelahmendapat izin dari orang yang memiliki harta (muwaddi’),
dengan demikian akad wadi’ah yang berlaku adalah wadi’ah yand
dhamanah (tangan penanggung)
yang bertanggungjawab atas segala kerusakan atau kehilangan yang terjadi
pada barang tersebut.7

6
Rozalinda, Fikih Ekonomi Syariah: Prinsip dan Implementasinya pada Sektor Keuangan, Jakarta:
Rajawali Pers 2016, h. 161
7
https://www.academia.edu/36958502/Macam_macam_wadiah

Anda mungkin juga menyukai