Anda di halaman 1dari 9

Mata Kuliah : Fiqih

Program Studi : Kesehatan Masyarakat


Nama : LINDA PUSPITA SARI
NIM : 2207010326

1. Perbankan menurut fiqh islam


a. Pengertian Perbankan menurut fiqh Islam:
Perbankan dalam konteks fiqh Islam adalah sistem keuangan yang beroperasi sesuai dengan
prinsip-prinsip syariah Islam. Perbankan Islam didasarkan pada hukum-hukum yang berasal dari
Al-Quran dan Hadis, serta prinsip-prinsip fiqh Islam yang mengatur bagaimana transaksi
keuangan harus dilakukan tanpa melanggar prinsip syariah.
Prinsip utama dalam perbankan Islam adalah larangan riba (bunga), maisir (judi), dan gharar
(ketidakjelasan atau ketidakpastian). Selain itu, perbankan Islam juga menerapkan prinsip
berbagi risiko dan keuntungan antara bank dan nasabah, serta menghindari investasi dalam
bisnis yang diharamkan oleh syariah, seperti alkohol, babi, dan industri perjudian.

b. Jenis Pelayanan Bank Islam:


Perbankan Islam menawarkan berbagai jenis pelayanan yang sesuai dengan prinsip-prinsip
syariah. Beberapa pelayanan bank Islam yang umum termasuk:
1. Tabungan (Wadiah): Jenis tabungan yang memungkinkan nasabah menyimpan uangnya di
bank dan bank bertanggung jawab untuk menjaganya dengan aman. Nasabah dapat
melakukan penarikan setiap saat.
2. Mudharabah: Bentuk investasi di mana nasabah menyediakan dana (modal) kepada bank,
dan bank bertindak sebagai pengelola investasi. Keuntungan yang dihasilkan dari investasi
tersebut dibagi antara bank dan nasabah sesuai dengan kesepakatan awal.
3. Musyarakah: Bentuk kerjasama antara bank dan nasabah dalam melakukan investasi atau
proyek bisnis tertentu. Keuntungan dan risiko dibagi sesuai dengan kesepakatan, di mana
kedua belah pihak berkontribusi pada modal dan pengelolaan usaha.
4. Murabahah: Layanan pembiayaan yang melibatkan bank sebagai perantara untuk membeli
barang atas nama nasabah dan kemudian menjualnya kepada nasabah dengan markup
harga. Pembayaran bisa dilakukan secara bertahap.
5. Ijarah: Layanan pembiayaan sewa-menyewa, di mana bank membeli aset atas nama nasabah
dan menyewakannya kembali kepada nasabah dengan kesepakatan masa sewa dan biaya
sewa tertentu.
6. Wakalah: Layanan keagenan, di mana nasabah dapat menunjuk bank sebagai wakil untuk
melakukan transaksi tertentu atas nama mereka.

c. Hukum Menggunakan Jasa Bank Islam:


Menurut fiqh Islam, menggunakan jasa bank Islam adalah diperbolehkan karena operasionalnya
didasarkan pada prinsip-prinsip syariah yang menghindari riba dan aktivitas haram lainnya. Oleh
karena itu, penggunaan jasa bank Islam dianggap sesuai dengan nilai-nilai dan ajaran Islam.
Namun, penting bagi individu Muslim untuk memastikan bahwa produk atau layanan yang
mereka gunakan benar-benar sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Selain itu, mereka juga
harus memahami persyaratan dan konsekuensi dari setiap transaksi yang mereka lakukan
dengan bank Islam.
Penting juga untuk dicatat bahwa dalam fiqh Islam, perbankan konvensional yang menggunakan
bunga dianggap haram, karena riba merupakan salah satu larangan utama dalam Islam. Oleh
karena itu, bagi umat Islam yang ingin bertransaksi dengan lembaga keuangan, menggunakan
jasa bank Islam menjadi pilihan yang lebih sesuai dengan prinsip-prinsip agama mereka.

2. Jual Beli Dalam Islam


a. Pengertian Jual Beli
Jual beli dalam Islam merupakan suatu transaksi perdagangan yang dilakukan antara dua pihak,
yaito penjual dan pembeli, dengan mengalihkan kepemilikan suatu barang atau jasa dari penjual
kepada pembeli. Transaksi jual beli ini diatur oleh prinsip-prinsip syariah Islam yang menetapkan
beberapa syarat dan rukun yang harus dipenuhi agar transaksi tersebut sah dan halal.

b. Syarat dan rukun jual beli


Syarat Jual Beli:
1. Pihak yang bertransaksi harus memiliki kemampuan hukum (baligh dan berakal).
2. Barang yang diperjualbelikan harus halal dan dimiliki secara sah oleh penjual.
3. Pembeli dan penjual harus merelakan kepemilikan barang atau jasa yang diperdagangkan.

Rukun Jual Beli:


1. Al-'Aqd (perjanjian): Penjual dan pembeli harus setuju secara jelas tentang harga, barang
atau jasa yang diperdagangkan, serta syarat-syarat lain yang berlaku.
2. Al-Ijab dan Al-Qabul (penawaran dan penerimaan): Ada tawaran dan persetujuan secara
lisan maupun tulisan antara kedua belah pihak.
3. Al-Milkiyyah (kepemilikan): Barang yang diperdagangkan harus dimiliki dengan jelas oleh
penjual pada saat transaksi dilakukan.
4. Al-Thaman (harga): Harus ada kesepakatan tentang harga yang dianggap wajar oleh kedua
belah pihak.

c. Hiyar dalam Jual Beli:


Hiyar adalah suatu kondisi atau pilihan yang diberikan pada pembeli untuk membatalkan atau
melanjutkan jual beli setelah transaksi berlangsung dalam jangka waktu tertentu. Dalam Islam,
hiyar dianggap sebagai hal yang tidak dianjurkan karena dapat menimbulkan ketidakpastian dan
keraguan dalam transaksi jual beli. Nabi Muhammad SAW melarang praktik hiyar dalam hadis
riwayat Muslim.

d. Hukum Jual Beli Secara Online:


Dalam Islam, jual beli secara online dianggap sah selama memenuhi syarat dan rukun yang telah
disebutkan sebelumnya. Prinsip-prinsip syariah seperti kejujuran, keadilan, dan ketepatan dalam
menjalankan transaksi harus tetap dijunjung tinggi, baik dalam transaksi secara fisik maupun
online. Penting untuk memastikan bahwa barang atau jasa yang diperdagangkan halal dan
dimiliki secara sah oleh penjual.
Namun, perlu diingat bahwa hukum dan pandangan terkait masalah agama bisa berbeda-beda
tergantung pada interpretasi mazhab dan ulama. Oleh karena itu, selalu bijaksana untuk
berkonsultasi dengan seorang ulama atau ahli fiqih jika terdapat keraguan atau pertanyaan
terkait hukum jual beli dalam Islam.

3. Perdagangan Saham Menurut fiqh Islam


a. Pengertian Perdagangan Saham
Perdagangan saham adalah kegiatan jual beli saham atau bagian kepemilikan suatu perusahaan
yang tercatat dalam bursa efek. Saham merupakan instrumen keuangan yang mewakili bagian
kepemilikan atau hak atas suatu perusahaan. Dalam konteks fiqh Islam, perdagangan saham
dibahas dalam rangka memastikan bahwa kegiatan tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip
syariah.

b. Hukum Ikut Dalam Perdagangan Saham


Hukum ikut dalam perdagangan saham menurut fiqh Islam menjadi perbincangan yang
kompleks. Ada beragam pandangan dan pendapat di kalangan ulama mengenai hal ini. Di bawah
ini, saya akan mencantumkan beberapa pandangan yang umum ditemui:
1. Saham Syariah: Beberapa perusahaan mematuhi prinsip-prinsip syariah dalam operasional
dan keuangan mereka, sehingga saham dari perusahaan ini dianggap "halal" atau sesuai
dengan hukum Islam untuk diperdagangkan. Saham-saham ini biasanya dikelompokkan
dalam indeks saham syariah yang diawasi oleh lembaga syariah yang kredibel.
2. Saham Non-Syariah: Saham dari perusahaan yang tidak mematuhi prinsip-prinsip syariah
atau terlibat dalam sektor-sektor yang dianggap tidak halal oleh hukum Islam (seperti
alkohol, perjudian, pornografi, dll.) dianggap "haram" atau tidak sesuai dengan hukum Islam
untuk diperdagangkan.
3. Pendekatan Moderat: Beberapa ulama menganggap perdagangan saham diperbolehkan
dengan beberapa syarat. Misalnya, perusahaan yang tidak sepenuhnya sesuai dengan
prinsip-prinsip syariah tetapi memiliki mayoritas bisnis yang halal, saham mereka dianggap
boleh diperdagangkan dengan batasan tertentu.
4. Pendekatan Khusus pada Beberapa Instrumen: Terdapat perbedaan pendapat mengenai
instrumen-instrumen keuangan tertentu seperti opsi (options) atau short selling. Beberapa
ulama menyatakan haram, sementara yang lain mengizinkan dengan syarat-syarat tertentu.
Penting untuk diingat bahwa pandangan mengenai perdagangan saham dalam fiqh Islam dapat
berbeda-beda tergantung pada interpretasi masing-masing ulama dan mazhab. Bagi individu
Muslim yang ingin berinvestasi dalam saham, disarankan untuk mencari nasihat dari ahli fiqh
atau konsultan keuangan yang memiliki pemahaman yang mendalam tentang hukum Islam dan
perdagangan saham.

4. Riba Dalam Islam


a. Pengertian
Riba dalam Islam merujuk pada praktik yang diharamkan dalam transaksi keuangan, di mana
pihak yang memberikan pinjaman atau kredit mengharapkan keuntungan tambahan
(keuntungan berbunga) tanpa adanya pertukaran barang atau jasa yang jelas sebagai imbalan.
Dengan kata lain, riba adalah suatu tambahan atau kelebihan yang diminta atau diterima oleh
pemberi pinjaman sebagai imbalan atas pinjaman uang. Riba dianggap sebagai praktik
eksploitasi dan penindasan ekonomi karena dapat menyebabkan ketidakadilan dan
ketidakstabilan ekonomi.

b. Jenis – Jenis riba


Dalam ajaran Islam, terdapat dua jenis riba yang diharamkan:
1. Riba Al-Nasi'ah: Riba jenis ini terjadi ketika ada penundaan pembayaran pinjaman dengan
persyaratan bahwa peminjam harus membayar tambahan atau bunga atas pinjaman
tersebut. Misalnya, seseorang meminjam uang dan harus membayar lebih dari jumlah yang
dipinjamkan sebagai imbalan atas penundaan pembayarannya.
2. Riba Al-Fadl: Riba jenis ini terkait dengan pertukaran barang secara tidak adil. Contoh paling
umum adalah riba dalam transaksi jual-beli, di mana penjual memberikan barang dengan
tambahan tertentu, tetapi penerimaan tambahan tersebut harus dikembalikan oleh pembeli.
Misalnya, seseorang menjual komoditas tertentu dengan harga dan berat tertentu, tetapi
kemudian menambahkan berat lebih untuk meningkatkan harga, yang dianggap sebagai riba.

c. Hukum memakan uang riba


Dalam Islam, riba diharamkan dengan tegas. Hukum mengenai riba tersebut ditegaskan dalam
Al-Quran, surah Al-Baqarah ayat 275-279:
"Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian
itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan
riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba." (Q.S. Al-Baqarah: 275)
Hukum yang keras terhadap riba dalam Islam juga ditegaskan dalam banyak hadis Nabi
Muhammad SAW. Karena riba dianggap sebagai dosa besar, umat Islam diwajibkan untuk
menjauhkan diri dari transaksi dan praktik yang melibatkan riba.
Penting untuk diingat bahwa pandangan mengenai riba dalam Islam tidak hanya berlaku pada
sistem perbankan dan keuangan, tetapi juga mencakup berbagai aspek kehidupan yang
melibatkan transaksi dan pertukaran nilai ekonomi. Sebagai gantinya, Islam mendorong praktik
transaksi yang adil dan saling menguntungkan antara pihak-pihak yang terlibat.

5. Pernikahan
a. Pengertian nikah menurut islam
Nikah dalam Islam adalah perjanjian sah dan suci antara seorang pria dan seorang wanita
dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan harmonis. Nikah dianggap sebagai bentuk
ibadah dan merupakan salah satu bagian penting dalam ajaran Islam. Perjanjian nikah ini
berdasarkan kesepakatan dan kesediaan kedua belah pihak yang dilakukan secara sah dan
terbuka di hadapan wali, saksi-saksi, dan dengan memenuhi syarat-syarat tertentu.

b. Syarat dan rukun nikah


Syarat-syarat nikah dalam Islam dapat berbeda-beda berdasarkan tradisi dan hukum adat di
berbagai negara, namun beberapa syarat yang umum di antaranya adalah:
1. Kesepakatan (Ijab dan Qabul): Mempertemukan kedua belah pihak yang setuju untuk
menikah dan mengucapkan ijab kabul dengan bahasa yang jelas dan tidak ambigu.
2. Wali Nikah: Wanita yang akan menikah harus memiliki seorang wali (walinya) yang sah dan
berwenang untuk menikahkannya dengan pihak yang bersangkutan.
3. Saksi-saksi: Kehadiran saksi-saksi yang memenuhi kriteria tertentu untuk menyaksikan ijab
kabul.

Rukun nikah dalam Islam mencakup:


1. Ijab: Permintaan atau penawaran pernikahan yang jelas dari pihak pengantin pria kepada
pengantin wanita.
2. Qabul: Penerimaan dari pihak pengantin wanita terhadap tawaran pernikahan.
3. Mahar: Penentuan dan pembayaran mas kawin atau mahar sebagai bentuk tanggung jawab
dan simbol dari ikatan pernikahan.

c. Tujuan pernikahan dalam islam


Tujuan utama pernikahan dalam Islam adalah untuk membentuk keluarga yang sakinah (tenang),
mawaddah (penuh kasih sayang), dan rahmah (penuh belas kasihan). Pernikahan dianggap
sebagai ikatan yang kuat dan suci antara pria dan wanita, yang akan saling melengkapi dan saling
mendukung dalam mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Selain itu, pernikahan juga
dianggap sebagai sarana untuk memperbanyak keturunan dan memperkuat tali persaudaraan
dan kebersamaan antarumat beriman.

d. Pernikahan secara online menurut islam


Tentang pernikahan secara online, belum ada ketentuan khusus yang dinyatakan dalam sumber-
sumber hukum Islam karena merupakan hal yang relatif baru dan tidak ada contoh konkret yang
terjadi pada zaman Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, ada perdebatan di kalangan ulama
mengenai validitas pernikahan secara online.
Namun, umumnya dianggap bahwa pernikahan tetap sah jika memenuhi syarat dan rukun nikah
secara lengkap. Jika ijab dan qabul, wali, serta saksi-saksi dapat hadir dan proses pernikahan
dilakukan dengan cara yang sah dan diakui dalam hukum negara dan tradisi agama, maka
pernikahan secara online dapat dianggap sah dalam pandangan Islam.

e. Hukum nikah berbeda agama menurut islam


Dalam Islam, seorang Muslim laki-laki diizinkan menikahi seorang wanita yang berasal dari ahlul
kitab, yaitu wanita yang mengikuti agama samawi lainnya (Kristen atau Yahudi). Namun, seorang
Muslimah (wanita Muslim) tidak diperbolehkan menikah dengan pria yang bukan Muslim,
kecuali pria tersebut mengikuti agama Islam. Hal ini berdasarkan pada beberapa ayat dalam Al-
Quran dan hadis yang memberikan ketentuan ini.
Adapun hukum mengenai pernikahan antara dua orang yang berasal dari agama yang berbeda
(seperti Islam dengan agama non-samawi, atau agama non-samawi dengan agama non-samawi
lainnya) dianggap tidak sah dalam hukum Islam. Beberapa alasan di balik ketentuan ini adalah
untuk memastikan kelangsungan ajaran dan identitas agama dalam lingkungan keluarga serta
meminimalkan konflik keagamaan yang mungkin timbul akibat perbedaan keyakinan.

6. Talaq dan Ruju` Menurut Fiqh Islam


a. Pengertian
Talaq adalah istilah dalam fiqh Islam yang mengacu pada proses perceraian atau pembatalan
pernikahan antara seorang suami dan istri. Ketika seorang suami menyatakan talaq, maka ikatan
pernikahan menjadi batal dan istri tidak lagi menjadi bagian dari keluarga suami.
Ruju' adalah istilah yang digunakan ketika seorang suami mencabut perceraian yang telah
diajukan (talaq) terhadap istrinya selama masa iddah. Dengan melakukan ruju', ikatan
pernikahan antara suami dan istri kembali terjalin, dan mereka dapat melanjutkan kehidupan
pernikahan mereka seperti semula.

b. Syarat dan rukun talaq dan ruju`


Syarat-syarat talaq:
1. Niat: Talaq harus dikeluarkan dengan niat yang jelas dan sadar untuk menceraikan istri. Talaq
yang diberikan dalam keadaan terpaksa atau tidak sadar tidak dianggap sah.
2. Kewarasan: Talaq harus diberikan oleh suami yang berada dalam keadaan sehat akal.
3. Tidak dalam kondisi menstruasi: Talaq tidak dapat dikeluarkan ketika istri sedang dalam
masa haid (menstruasi) atau dalam keadaan suami telah melakukan hubungan intim dengan
istri setelah talaq sebelumnya.
4. Masa suci: Talaq tidak dapat dikeluarkan ketika istri dalam keadaan suci setelah menstruasi
atau setelah selesai masa nifas (setelah melahirkan).

Rukun talaq (elemen-elemen yang harus ada dalam proses talaq):


1. Ijab (Pengajuan talaq): Suami mengumumkan secara jelas dan tegas bahwa dia menceraikan
istri.
2. Qabul (Penerimaan talaq): Istri menerima dengan sadar pengumuman talaq tersebut.

Syarat-syarat ruju':
1. Ruju' dilakukan selama masa iddah: Ruju' hanya bisa dilakukan selama masa iddah istri
setelah talaq diberikan. Setelah masa iddah berakhir, ruju' tidak lagi bisa dilakukan, dan jika
ingin kembali menikah, istri harus menikah dengan pria lain dan menceraikan pria tersebut
sebelum kembali ke mantan suaminya.
2. Tidak ada talaq ketiga: Jika suami telah memberikan talaq ketiga, maka ruju' tidak lagi
mungkin terjadi. Setelah talaq ketiga, istri harus menikah dengan pria lain, menceraikan pria
tersebut, dan kemudian baru bisa menikah kembali dengan mantan suaminya.

c. Masa iddah
Masa iddah adalah periode tunggu yang harus dilalui oleh seorang istri setelah menerima talaq
sebelum dia bisa menikah dengan pria lain atau kembali ke mantan suaminya melalui ruju'. Masa
iddah ini bertujuan untuk memastikan apakah istri hamil atau tidak dan memberikan
kesempatan bagi perasaan dan pikiran kedua belah pihak untuk tenang dan merenungkan
keputusan mereka. Durasi masa iddah bervariasi tergantung pada kondisi tertentu:
1. Talaq pertama: Masa iddah berlangsung selama tiga bulan atau sampai istri mendapatkan
menstruasi berikutnya, mana yang lebih panjang.
2. Talaq kedua: Masa iddah sama seperti talaq pertama.
3. Talaq ketiga: Masa iddah berlangsung selama tiga bulan atau sampai istri melahirkan, mana
yang lebih lama.
Selama masa iddah, istri tinggal di rumah suami dan diberikan tempat tinggal serta pemenuhan
kebutuhan sehari-hari sesuai dengan kemampuan suami. Masa iddah ini juga memberikan waktu
bagi kedua belah pihak untuk berbicara dan mempertimbangkan kembali keputusan mereka
sebelum perceraian menjadi final. Jika terjadi ruju' selama masa iddah, maka pernikahan
dianggap tetap berlanjut dan tidak perlu pernikahan baru.

7. Operasi Kesehatan dan Kencantikan Menurut Islam


a. Operasi transplantasi ginjal, hati dan operasi plastic
1. Operasi Transplantasi Ginjal dan Hati:
Dalam Islam, operasi transplantasi ginjal atau hati dapat diizinkan jika ada kebutuhan medis
yang mendesak dan merupakan satu-satunya cara untuk menyelamatkan atau meningkatkan
kualitas hidup pasien. Prinsip kesehatan dalam Islam adalah untuk memelihara dan menjaga
kehidupan dengan cara yang sah dan bermanfaat. Oleh karena itu, transplantasi organ dapat
diperbolehkan dalam konteks ini.
Namun, ada beberapa prinsip etika yang harus diikuti dalam transplantasi organ:
Donor harus memberikan persetujuan sukarela dan sepenuh hati untuk menyumbangkan
organnya. Transplantasi organ dari donor yang tidak memberikan izin atau terjadi
perdagangan manusia dianggap haram dalam Islam.
Dokter dan tim medis harus memastikan bahwa prosedur transplantasi dilakukan dengan
penuh pertimbangan etika dan medis yang baik serta dalam ketaatan terhadap hukum Islam.
Semua pihak yang terlibat harus menghormati dan mematuhi hukum dan regulasi yang
berlaku dalam hal transplantasi organ.

2. Operasi Plastik:
Operasi plastik dalam Islam dibenarkan dalam beberapa kondisi tertentu, terutama untuk
tujuan medis atau rekonstruksi. Misalnya, operasi plastik dapat diizinkan untuk memperbaiki
deformitas fisik, mengembalikan fungsi tubuh yang hilang akibat kecelakaan, membantu
korban luka bakar, atau mengoreksi cacat bawaan.
Namun, operasi plastik untuk tujuan kecantikan semata dan tanpa alasan medis yang
mendesak dianggap kontroversial dalam Islam. Beberapa ulama menganggapnya tidak
dianjurkan karena dapat mencerminkan ketidakpuasan terhadap takdir Allah dan
mengarahkan perhatian kepada penampilan fisik yang berlebihan.
Dalam hal operasi plastik, penting bagi seseorang untuk mempertimbangkan niat dan
motivasi di balik tindakan tersebut. Jika tujuan operasi plastik adalah untuk memperbaiki
masalah medis atau kesehatan yang nyata, maka hal itu lebih diterima dalam Islam. Namun,
jika tujuan utamanya adalah semata-mata untuk kecantikan yang bersifat duniawi, maka
perlu diingat untuk tidak berlebihan dan menjaga keseimbangan.

b. Menyambung rambut menurut fiqh islam


Menyambung rambut menggunakan tambahan rambut atau ekstensi rambut secara umum
diizinkan dalam Islam jika tujuannya adalah untuk memperindah penampilan diri, mengubah
gaya rambut, atau menyembunyikan rambut yang telah rontok atau mengalami masalah
kesehatan tertentu.
Namun, ada beberapa pertimbangan etika yang perlu diperhatikan dalam menyambung rambut:
1. Sumber Rambut: Rambut tambahan yang digunakan tidak boleh berasal dari sumber yang
diharamkan, seperti rambut manusia yang diperoleh melalui perdagangan manusia atau
melanggar hak asasi manusia.
2. Kesopanan: Gaya rambut yang dipilih harus sesuai dengan norma-norma kesopanan dalam
masyarakat dan tidak melanggar aturan berpakaian Islam yang berlaku.
3. Niat dan Kepuasan Diri: Penting untuk mengevaluasi niat di balik tindakan ini. Jika tujuan
utamanya adalah untuk memperindah diri dan merasa lebih percaya diri tanpa merasa
berlebihan atau merubah fitrah (ciri-ciri alami yang diberikan Allah), maka biasanya
diperbolehkan.
Sebagai kesimpulan, operasi kesehatan dan perawatan kecantikan dapat diizinkan dalam Islam
jika dilakukan dengan tujuan yang baik, medis atau kesehatan, dan tidak melanggar prinsip-
prinsip etika Islam. Penting untuk selalu berpegang pada niat yang baik, mematuhi hukum dan
peraturan yang berlaku, dan menjaga keseimbangan dalam menjalani perawatan atau operasi
ini.

Anda mungkin juga menyukai