Anda di halaman 1dari 4

Perbedaan Gadai Syariah dan Konvensional

Oleh: Ade Parid

Gadai syariah berkembang pasca keluarnya Fatwa DSN MUI No


25/DSN-MUI/III/2002 tentang rahn, Fatwa DSN MUI No 26 /DSN-MUI/III/2002 tentang
rahn emas, dan Fatwa DSN MUI No 68 /DSN-MUI/III/2008 tentang rahn tasjily, Sejak itu
marak berbagai jasa gadai syariah, baik di pegadaian syariah maupun di berbagai bank
syariah. Gadai Syari'ah dalam persfektif islam gadai disebut dengan istilah Rahn, kata Rahn
secara etimologi berarti "Tetap, Berlangsung, Menahan". Adapun gadai secara istilah
(terminologi) adalah menahan sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak,
dan dapat diambil kembali sejumlah harta dimaksud sesudah ditebus. Menurut Ulama
Mazhab Maliki Rahn sebagai "Harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan hutang yang
bersifat mengikat". Ulama Hanafiyah mendefinisikan rahn sebagai suatu barang yang di
jadikan jaminan terhadap hak yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak itu, baik
seluruhnya maupun sebagian. Sedangkan ulama Syafi'iyah dan Hanabilah mendefinisikan ar-
rahn sebagai suatu barang yang di jadikan jaminan hutang, yang dapat dijadikan pembayar
hutang apabila orang yang berhutang tidak bisa membayar hutangnya itu.

Gadai Konvensional adalah suatu hak yang diperoleh oleh orang yang berpiutang atas
suatu barang yang bergerak yang diserahkan oleh orang yang berpiutang sebagai jaminan
utangnya dan barang tersebut dapat dijual oleh yang berpiutang bila yang berutang tidak
dapat melunasi pada saat jatuh tempo.

 Perbedaan gadai syariah dan konvensional dalam persfektif hukum islam

Jika sistem syari’ah dianggap lebih menguntungkan dari pada konvensional pasti
orang berbondong-bondong memindahkan rekening mereka dari bank konvensional ke bank
syari’ah, tapi faktanya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan saat ini Nasabah Bank
Syari’ah hanya 18,75 Persen dari Total Konvensional. Berarti minat masyarakat lebih banyak
menggunakan sistem Konvensional daripada Syari’ah, padahal Syari’ah tidak memakai
sistem bunga yang dilarang dalam agama. Mengapa demikian?? Konsep pegadaian syari’ah
didasarkan ketentuan syariat islam yang terkait dengan masalah gadai itu sendiri. Adapun
ketentuan yang mengatur tentang gadai misalnya dalam (H.R Muslim) Dari Aisyah yang
mengatakan bahwa Rasulullah pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan
memberikan baju besi sebagai jaminannya. Sementara konsep pegadaian konvensional
berdasarkan dari hukum positif yang sudah diberlakukan di indonesia.

Jika sitem Syari’ah bebas dari praktik riba, apa itu berarti jika kita meminjam uang 10jt
lalu dikembalikan pula 10jt?. Seperti yang kita ketahui Bank Syari’ah atau Pegadaian
Syari’ah tentu saja memakai sistem syariat islam yang berdasarkan dari Al-Qur’an dan
Hadist. Artinya sistem bunga uang tentu diharamkan oleh agama “Allah telah menghalalkan
jual beli dan mengharamkan riba”(Q.S. Al-Baqarah:275). Saya yakin banyak orang sudah
paham apa itu riba. Misalnya anda menggadaikan Rumah beserta sertifikatnya Rp.100jt
kepada seseorang pada jangka waktu yang sudah ditetapkan, kemudian orang tersebut
mewajibkan anda mengembalikannya sebesar Rp.101jt, berapapun kelebihannya itu adalah
riba. “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman” (Q.S Al-Baqarah:278).

Lalu jika pegadaian syari’ah tidak menggunakan sistem bunga, bagaimana mereka
mendapatkan keuntungan? Perbedaan dalam sistem pegadaian syari’ah dan konvensional
adalah akadnya, jika gadai konvensional menggunakan akad bunga uang lain dengan gadai
syari’ah yang menggunakan akad ijarah, al-ijarah berasal dari kata al-ajr yang berarti balasan
atau ganjaran ke atas sesuatu pekerjaan sendiri (Sabri dan Mumin, 2006:2). Dengan demikian
ijarah adalah biaya perawatan atas barang yang di gadai tersebut. Jangka waktu pinjaman
untuk satu periode ditetapkan maksimum selama 120 hari atau Empat Bulan. Nasabah
dibebani untuk membayar ijarah sebesar Rp.80 untuk setiap kelipatan taksiran Rp.10.000
persepuluh hari. Nasabah juga diharuskan membayar biaya administrasi yang jumlahnya
sudah ditetapkan oleh pihak pegadaian biasanya Rp.1.000 s/d Rp.60.000.

Saya bertanya-tanya lalu apa bedanya pegadaian syari’ah dan konvensional?? Toh
hanya istilah akadnya saja yang berbeda. Ada beberapa alasan mengapa pegadaian syariah
maupun konvensional merupakan akad yang batil ( tidak sah ) dan haram hukumnya, dengan
alasan sebagai berikut :

1. Dalam pegadaian syariah terdapat penggabungan dua akad ( multi akad ) dalam satu
transaksi, yang dilarang dalam pegadaian syariah yaitu akad gadai ( akad qardh) dan
akad ijarah(biaya simpan), Diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud RA bahwasannya nabi
SAW melarang dua kesepakatan dalam satu kesepakatan. ( HR Ahmad, hadish sahih).
berbeda dengan konvensional yang menggunakan bunga pada setiap transaksi,
pegadaian syariah menggunakan ijarah sebagai istilah pengganti bunga, tetapi pada
kenyataannya beban biaya ijarah yang di tanggung nasabah hampir sama dengan
bunga yang ada di pegadaiaan konvensional.

2. Dalam pegadaian syariah terdapat riba walaupun disebut dengan istilah “Ijarah” ada
biaya ijarah yang harus di bayar oleh nasabah kepada pegadaian syariah atas barang
gadai dalam akad qardh ( utang). Padahal qardh yang menarik manfaat, baik berupa
hadiah, barang, uang atau manfaat lainnya, adalah riba yang hukumnya haram. Sabda
rasulullah SAW, “Jika seseorang memberi pinjaman (qardh) janganlah dia mengambil
hadiah.” ( HR Bukhar, dalam kitabnya At Tarikh Al Kabir).

3. Terjadi kekeliruan pembebanan biaya ijarah (biaya simpan), seharusnya yang


berkepentingan terhadap barang gadai (sebagai jaminan atas utang yang di berikan)
adalah murtahin, dalam hal ini adalah pegadaian syariah bukan kewajiban rahin
(nasabah), Sabda rasulullah SAW,” Jika hewan tunggangan di gadaikan, maka
murtahin harus menanggung makanannya, dan jika susu hewan itu di minum, maka
atas yang meminum harus menanggung biayanya.( HR Ahmad Al-Musnad, 2/4720).

Jika hanya sekedar menyimpan sejumlah uang di Bank Syari’ah tidak masalah (menurut
saya) saya sangat setuju dengan proses bagi hasil seperti itu, jika pihak bank mendapatkan
keuntungan besar, otomatis pihak nasabah juga mendapatkan keuntungan lebih, tapi jika
pihak bank mengalami penurunan, otomatis sistem bagi hasil yang dikeluarkan oleh pihak
bank kepada nasabah juga berkurang. istilahnya "Berat Sama Dipikul Ringan Sama
Dijinjing". Kalau meminjam sejumlah uang dengan sistem syari'ah saya rasa sama saja
dengan meminjam di sistem konvensional, karena faktanya meminjam di sistem syari'ah ada
pengembalian lebihnya walaupun istilahnya berbeda tetapi tetap sama saja mengandung
unsur riba.

Menurut saya, di indonesia saat ini tidak ada pegadaian atau perbankan yang benar-benar
menggunakan sistem syari’at islam. Pegadaian atau perbankan yang katanya menerapkan
syariat islam ternyata tidak berdampak pada jumlah kelebihan yang harus dibayar oleh pihak
yang meminjam, maka unsur syari’ah tersebut tidak terpenuhi. Hal ini sangat tidak sesuai
dengan ajaran yang berasal dari Allah. jadi pegadaian syari’ah maupun pegadaian
konvensional sama saja 100% haram hukumnya. Padahal kehalalan pegadaian syari’ah
dijamin oleh Dewan Syari’ah Nasional (DSN), seperti yang kita ketahui Dewan Syari’ah
Nasional adalah orang yang pakar, orang yang paling tahu tentang masalah perbankan
syari’ah dalam menentukan halal atau haram dalam fiqh muamalat.

Anda mungkin juga menyukai