PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kita ketahui bahwasanya hadist merupakan sumber sumber ajaran Islam yang kedua
setelah al-Qur’an. Keberadaan hadist disamping telah mewarnai masyarakat dalam kehidupan
juga telah menjadi bahasan kajian yang menarik. Hadist mengandung makna dan ajaran serta
memperjelas kandungan al-Qur’an dan lain sebagainya. Para peneliti dan ahli hadist telah
berhasil mendokumentasikan hadist baik kepada kalangan masyarakat, akademis, penelitian
hadist tersebut telah membuka peluang untuk mewujudkannya suatu kajian disiplin Islam,
yaitu bidang study Ulumul Hadist.
Maka dalam makalah ini, penulis menyajikan tentang “ULUMUL HADIST DAN”, semoga
makalah sederhana ini dapat bermanfaat bagi semuanya, terutama bagi penulis. Amin.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
3
telah berlaku pada masa itu sebagai acuan untuk menyikapi suatu informasi
yang telah ada.
Pada dasarnya ulumul hadist telah lahir sejak dimulainya periwayatan hadist di
dalam Islam, terutama setelah Rasul Saw wafat, ketika umat merasakan perlunya
menghimpun hadist-hadist Rasul Saw dikarenakan adanya kekhawatiran hadist-hadist
tersebut akan hilang atau lenyap. Para sahabat mulai giat melakukan pencatatan dan
periwayatan hadist.mereka telah mulai mempergunakan kaidah-kaidah dan metode-
metode tertentu ddalam menerima hadist, namun mereka belumlah menuliskan kaidah-
kaidah tersebut.
Dasar dan landasan periwayatan hadist di dalam Islam dijumpai di dalam Al-
Qur’an dan hadist Rasul Saw.
Di dalam surah al-Hujurat ayat 6, Allah SWT memerintahkan orang-orang yang
beriman untuk meneliti dan mempertanyakan berita-berita yang datang dari orang-orang
yang fasik :
Artinya :
“Hai orang-orang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita
maka periksalah berita tersebut dengan teliti agar kamu tidak menimpakan musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaan ( yang sebenarnya) yang menyebabkan
kamu menyesal atas perbuatanmu” (QS. Al-Hujurat [49] : 6)
Di samping itu, Rasul Saw juga mendorong serta menganjurkan para sahabat ddan yang
lainnya yang mendengar atau menerima hadist-hadist beliau untuk menyampaikan atau
meriwayatkannya kepada mereka yang tidak mendengar atau mengetahuinya. Di dalam
sebuah hadistnya Rasul Saw bersabda :
(Semoga) Allah membaguskan rupa seseorang yang mendengar dari kami sesuatu (hadist),
lantas dia menyampaikannya (hadist tersebut) sebagaimana dia dengar, kadang-kadang
orang yang menyampaikan lebih hafal daripada orang yang mendengar. (HR. Al-Tirmidzi)
Apabila dicermati sikap dan aktifitas para sahabat terhadap hadist Nabi Saw dan
periwayatannya, maka dapat disimpulkan beberapa ketentuan umum yang diberlakukan
dan dipatuhi oleh para sahabat, yaitu :
3
4
Siapa yang berbohong atas namaku dengan sengaja, maka ia telah menyediakan
tempatnya di dalam neraka.
Selain itu, alasan lain dan bahkan lebih penting adalah pemeliharaan agar jangan terjadi
pencampurbauran antara hadist dengan Al-Qur’an, karena Al-Qur’an pada masa itu,
terutama pada masa Abu Bakar dan ‘Umar, belum dikodifikasi secara resmi.
Ketelitian dan sikap hati-hati para sahabat diikuti pula oleh para ulama hadist yang
datang sesudah mereka, dan sikap tersebut semakin ditingkatkan terutama setelah
munculnya hadist-hadist palsu, yaitu sekitar tahun 41 H, setelah masa pemerintahan
Khalifah Ali ra. Semenjak saat itu mulailah dilakukan penelitian terhadap sanad hadist
dengan mempraktikan ilmu al-Jarrah wa al-Ta’dil, dan sekaligus mulai pulalah al-Jarrah
wa al-Ta’dil ini tumbuh dan berkembang.
4
5
Pada abad ke-2 H, ketika hadist telah di bukukan secara resmi atas prakarsa Khalifah ‘Umar
bin Abdul Aziz dan dimotori oleh Muhammad bin Muslim bin Syihab al-Zuhri, para ulama
yang bertugas dalam menghimpun dan membukukan hadist tersebut menerapkan
ketentuan-ketentuan ilmu hadist yang sudah ada dan berkembang sampai pada masa
mereka. Mereka memperhatikan ketentuan-ketentuan hadist Shahih, demikian juga
keadaan para perawinya. Hal ini terutama karena telah menjadi perubahan yang besar
didalam kehidupan umat Islam, yaitu para penghapal hadist sudah mulai berkurang dan
kualitas serta tingkat kekuatan hapalan terhadap hadist pun sudah semakin menurun
karena telah menjadi percampuran dan akulturasi antara masyarakat Arab dengan non-
Arab menyusul perkembangan dan perluasan daerah kekuasaan Islam. Kondisi yang
demikian memaksa para ulama hadist untuk semakin berhati-hati dalam menerima dan
menyampaikan riwayat, dan mereka pun telah merumuskan kaidah-kaidah dalam
menentukan kualitas dan macam-macam hadist. Hanya saja pada masa ini kaidah-kaidah
tersebut masih bersifat rumusan yang tidak tertulis dan hanya disepakati dan diingat oleh
para ulama hadist di dalam hati mereka masing-masing, namun mereka telah
menerapkannya ketika melakukan kegiatan perhimpunan dan pembukuan hadist.
Pada abad ke-3 H yang dikenal dengan masa keemasan dalam sejarah perkembangan
hadist, mulailah ketentuan-ketentuan dan rumusan kaidah-kaidah hadist ditulis dan
dibukukan, namun masih bersifat parsial. Yahya bin Ma’in (w. 234 H/848 M) menulis
tentang tarikh al-Rijal, (sejarah dan riwayat para perawi hadist), Muhammad bin Sa’ad (w.
230 H/844 M) menulis al-Thabaqat (tingkatan para perawi hadist ), Ahmad bin Hanbal (241
H/855 M) menulis al-An’Ilal (beberapa ketentuan tentang cacat atau kelemahan suatu
hadist atau perawinya), dan lain-lain.
Pada abad ke-4 dan ke-5 Hijriah mulailah ditulis secara khusus kitab-kitab yang membahas
tentang ilmu hadist yang bersifat komprehensif, seperti kitab al-Muhaddits al Fashil byn al-
Rawi wa al-Wa’i oleh al-Qadhi Abu Muhammad al-Hasan ibn ‘Abd al-Rahman ibn al-Khallad
al-Ramuharmuzi (w.360 H/971 M), Ma’rifat ‘Ulum al-Hadist oleh Abu ‘Abd Allah
Muhammad ibn ‘Abd Allah al-Hakim al-Naisaburi (w.405 H/1014 M), al-Mustakhraj ‘ala
Ma’rifat ‘Ulum al-Hadist oleh Abu Nu’aim Ahmad bin ‘Abd Allah al-Ashbahani (w.430
H/1038 M), al-Kifayah fi ‘Ulum al-Riwayah oleh Abu Bakar Muhammad ibn ‘Ali ibn Tsabit al-
Khathib al-Baghdadi (w.463 H/1071 M), al-Jami’ li Akhlaq wa adab al-Sami’ oleh al-
Baghdadi (463 H/1071 M). dan lain-lain.
Pada abad-abad berikutnya bermunculanlah karya-karya di bidang ilmu hadist ini, yang
sampai saat sekarang masih menjadi referensi utama dalam membicarakan ilmu hadist,
5
6
yang di antaranya adalah: ‘Ulum al-Hadistoleh Abu ‘Amr ‘Utsman ibn ‘Abd al-Rahman yang
lebih dikenal dengan Ibn al-Shalah (w.643 H/ 1245 M), Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-
Nawaei oleh Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman ibn Abu Bakar al-Suyuthi (w.911 H/ 1505 M).
a. Shohih Lizatihi, yakni hadits yang shohih dengan sendirinya tanpa diperkuat dengan
keterangan lainnya. Contohnya adalah sabda Nabi Muhammad saw., ``Tangan di atas
(yang memberi) lebih baik dari tangan di baivah (yang menerima). `` (HR. Bukhori dan
Muslim)
b. Shohih Lighoirihi, yakni hadits yang keshohihannya diperkuat dengan keterangan
lainnya. Contohnya sabda Nabi Muhammad saw., ``Kalau sekiranya tidak terlalu
menyusahkan umatku untuk mengerjakannya, maka aku perintahkan bersiwak
(gosok gigi) setiap akan sholat.`` (HR. Hasan)
Dilihat dari sanadnya, semata-mata hadits Hasan Lizatihi, namun karena dikuatkan
dengan riwayat Bukhori, maka jadilah ia shohih lighoirihi.
2. Hadist Hasan
Hadits Hasan, adalah hadits yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi
yang adil, namun tidak sempurna hafalannya. Hadits hasan dibagi dua:
1. Hasan Lizatihi, yakni hadits yang dengan sendirinya dikatakan hasan. Hadits ini
ada yang sampai ke tingkat lighoirihi;
6
7
2. Hasan Lighoirihi, yakni hadits yang derajat hasannya dibantu dengan keterangan
lainnya. Contohnya sabda Nabi
Muhammad saw., ``Sembelihan bagi bayi hezvan yang berada dalam perut ibunya,
cukuplah dengan sembelihan ibunya saja.`` (HR. Tirmidzi, Hakim, dan Darimi)
Hadits di atas jika kita ambil sanad dari Imam Darimi, adalah Darimi menerima dari 1)
Ishak bin Ibrohim, dari 2) Itab bin Bashir, dari 3) Ubaidillah bin Abu Ziyad, dari 4) Abu
Zubair, dari 5) Jabir, dari Nabi Muhammad saw. Nama yang tercela dalam sanad di
atas adalah nomor 3 (Ubaidillah bin Abu Ziyad). Sebab menurut Abu Yatim ia
bukanlah seorang yang kuat hafalannya dan tidak teguh pendiriannya.:
Ditinjau dari segi lain-lainnya, hadits dhoif terbagi dalam enam macam:
a. hadits mudhthorib, yaitu hadits yang kemampuan ingatan dan pemahaman
periwayatnya kurang;
7
8
b. hadits maqluub, yaitu hadits yang terjadi pembalikan di dalamnya, baik pada sanad,
nama periwayat, maupun matannya;
c. hadits mudho`af, yaitu hadits yang lemah matan dan sanadnya sehingga
diperselisihkan oleh para `ulama. Contohnya, ``asal segala penyakit adalah dingin.``
(HR. Anas dengan sanad yang lemah)
d. hadits syaaz, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang shiqoh,namun
menyalahi riwayat orang banyak yang shiqoh juga;
e. hadits mungkar, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang lemah dan
riwayatnya berbeda dengan riwayat yang shiqoh;
f. hadits matruuk, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seseorang yang dituduh
suka berdusta, nyata kefasikannya, ragu dalam periwayatan, atau pelupa.
C. Cabang-Cabang Ulumul Hadits
Diantara cabang-cabang besar yang tumbuh dari Ilmu Hadis Riwayah dan Dirayah ialah:
1. Ilmu Rijal al-Hadis
Yaitu ilmu yang membahas para perawi hadits, baik dari sahabat, dari tabi`in, mupun
dari angkatan-angkatan sesudahnya. Hal yang terpenting di dalam ilmu Rijal al-Hadits
adalah sejarah kehidupan para tokoh tersebut, meliputi masa kelahiran dan wafat
mereka, negeri asal, negeri mana saja tokoh-tokoh itu mengembara dan dalam jangka
berapa lama, kepada siapa saja mereka memperoleh hadis dan kepada siapa saja
mereka menyampaikan Hadis. Ada beberapa istilah untuk menyebut ilmu yang
mempelajari persoalan ini. Ada yang menyebut Ilmut Tarikh, ada yang menyebut
Tarikh al-Ruwat, ada juga yang menyebutnya Ilmu Tarikh al-Ruwat.
2. Ilmu al-Jarh wa al-Ta`dil
Yaitu Ilmu yang menerangkan tentang hal cacat-cacat yang dihadapkan kepada para
perawi dan tentang penta`dilannya (memandang adil para perawi) dengan memakai
kata-kata yang khusus dan tentang martabat-martabat kata-kata itu. Maksudnya al-
Jarh (cacat) yaitu istilah yang digunakan untuk menunjukkan “sifat jelek” yang
melekat pada periwayat hadis seperti, pelupa, pembohong, dan sebagainya. Apabila
sifat itu dapat dikemukakan maka dikatakan bahwa periwayat tesebut cacat. Hadis
yang dibawa oleh periwayat seperti ini ditolak, dan hadisnya di nilai lemah (dha`if).
Maksudnya al-Ta`dil (menilai adil kepada orang lain) yaitu istilah yang digunakan
untuk menunjukkan sifat baik yang melekat pada periwayat, seperti, kuat hafalan,
terpercaya, cermat, dan lain sebagainya. Orang yang mendapat penilaian seperti ini
disebut `adil, sehingga hadis yang di bawanya dapat di terima sebagai dalil agama.
Hadisnya dinilai shahih. Sesuai dengan fungsinya sebagai suber ajaran Islam, maka
yang diambil adalah hadis shahih.
8
9
9
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ulumul Hadits adalah istilah ilmu hadits didalam tradisi hadits. ( ‘ulum al-hadits) ‘ulum
al-hadits terdiri atas dua kata yaitu ‘ulum dan al-hadits. Kata ‘ulum dalam bahasa Arab
adalah bentuk jamak dari ‘ilm yang berarti “ilmu”, sedangkan hadits berarti: “segala
sesuatu yang taqrir atau sifat”. Dengan demikian gabungan antara ‘ulum dan al-hadits
mengandung pengertian “Ilmu yang membahas atau yang berkaitan dengan hadits
Nabi Saw”.
Pada dasarnya ulumul hadist telah lahir sejak dimulainya periwayatan hadist di
dalam Islam, terutama setelah Rasul Saw wafat, ketika umat merasakan perlunya
menghimpun hadist-hadist Rasul Saw dikarenakan adanya kekhawatiran hadist-hadist
tersebut akan hilang atau lenyap. Para sahabat mulai giat melakukan pencatatan dan
periwayatan hadist.mereka telah mulai mempergunakan kaidah-kaidah dan metode-
metode tertentu ddalam menerima hadist, namun mereka belumlah menuliskan
kaidah-kaidah tersebut.
Pada abad ke-2 H, ketika hadist telah di bukukan secara resmi atas prakarsa
Khalifah ‘Umar bin Abdul Aziz dan dimotori oleh Muhammad bin Muslim bin Syihab al-
Zuhri, para ulama yang bertugas dalam menghimpun dan membukukan hadist
tersebut menerapkan ketentuan-ketentuan ilmu hadist yang sudah ada dan
berkembang sampai pada masa mereka.
Pada abad ke-3 H yang dikenal dengan masa keemasan dalam sejarah perkembangan
hadist, mulailah ketentuan-ketentuan dan rumusan kaidah-kaidah hadist ditulis dan
dibukukan, namun masih bersifat parsial. Pada abad ke-4 dan ke-5 Hijriah mulailah
ditulis secara khusus kitab-kitab yang membahas tentang ilmu hadist yang bersifat
komprehensif.
Pada abad-abad berikutnya bermunculanlah karya-karya di bidang ilmu hadist
ini, yang sampai saat sekarang masih menjadi referensi utama dalam membicarakan
ilmu hadist.
Ditinjau dari segi nilai sanad, hadits dikelompokkan dalam tiga macam, shohih,
hasan, dan dhoif.
Cabang-cabang ulumul hadits antara lain Ilmu Rijal al-Hadis, Ilmu al-Jarh wa al-
Ta`dil, Ilmu Fannil Mubhamat, Ilmu Mukhtalif al-Hadis,l Ilmu `Ilalil Hadits, Ilmu
Gharibul-Hadits, Ilmu Nasikh dan Mansukh Hadis, Ilmu Asbab Wurud al-Hadits (sebab-
sebab munculnya Hadis), dan Ilmu Mushthalah Ahli Hadits.
10
11
B. Saran
Semoga sebagai muslim kita dapat terus mengamalkan Al-Qur’an dan Hadist.
Sehingga Rahmat Allah selalu menyertai kita semua. Sekian makalah dari kami, kami
menyadari banyaknya kekurangan pada makalah ini. Oleh karena itu, kritik dan saran
sangat kami harapkan demi perbaikan makalah ini. Semoga isi dari makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua khususnya untuk penulis. Amiinn.
11