Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kita ketahui bahwasanya hadist merupakan sumber sumber ajaran Islam yang kedua
setelah al-Qur’an. Keberadaan hadist disamping telah mewarnai masyarakat dalam kehidupan
juga telah menjadi bahasan kajian yang menarik. Hadist mengandung makna dan ajaran serta
memperjelas kandungan al-Qur’an dan lain sebagainya. Para peneliti dan ahli hadist telah
berhasil mendokumentasikan hadist baik kepada kalangan masyarakat, akademis, penelitian
hadist tersebut telah membuka peluang untuk mewujudkannya suatu kajian disiplin Islam,
yaitu bidang study Ulumul Hadist.

Maka dalam makalah ini, penulis menyajikan tentang “ULUMUL HADIST DAN”, semoga
makalah sederhana ini dapat bermanfaat bagi semuanya, terutama bagi penulis. Amin.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian ulumul hadist dan Sejarah Perkembangannya?


2. Apa Macam – Macam Hadist?
3. Apa Cabang-cabang Ulumul Hadist

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui pengertian ulumul hadist dan Sejarah Perkembangannya


2. Untuk mengetahui Macam – Macam Hadist?
3. Untuk mengetahui Cabang-cabang Ulumul Hadist

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ulumul Hadits dan Sejarah Perkembangannya


Ulumul Hadits adalah istilah ilmu hadits didalam tradisi hadits. ( ‘ulum al-hadits)
‘ulum al-hadits terdiri atas dua kata yaitu ‘ulum dan al-hadits. Kata ‘ulum dalam bahasa
Arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm yang berarti “ilmu”, sedangkan hadits berarti: “segala
sesuatu yang taqrir atau sifat”. Dengan demikian gabungan antara ‘ulum dan al-hadits
mengandung pengertian “Ilmu yang membahas atau yang berkaitan dengan hadits Nabi
Saw”.
Ulumul Hadis adalah istilah ilmu hadis di dalam tradisi ulama hadits. (Arabnya:
‘ulumul al-hadist). ‘ulum al-hadist terdiri dari atas 2 kata, yaitu ‘ulum dan Al-hadist. Kata
‘ulum dalam bahasa arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm, jadi berarti “ilmu-ilmu”;
sedangkan al-hadist di kalangan Ulama Hadis berarti “segala sesuatu yang disandarkan
kepada nabi SAW dari perbuatan, perkataan, taqir, atau sifat.” Dengan demikian,
gabungan kata ‘ulumul-hadist mengandung pengertian “ilmu-ilmu yang membahas atau
berkaitan Hadis nabi SAW”.
Pada mulanya, Ilmu hadist memang merupakan beberapa ilmu yang masing-
masing berdiri sendiri, yang berbicara tentang Hadist Nabi Saw dan para perawinya,
seperti Ilmu al-Hadist al-Shahih, Ilmu al-Mursal, Ilmu al-Asma wa al-kuna, dan lain-lain.
Penulisan ilmu-ilmu hadist secara parsial dilakukan, khususnya, oleh para ulama abad ke-3
H.
Ilmu-ilmu yang terpisah dan bersifat persial tersebut disebut dengan Ulumul
Hadist, karena masing-masing membicarakan tentang Hadist dan para perawinya. Akan
tetapi, pada masa berikutnya, ilmu-ilmu yang terpisah itu mulai digabungkan dan dijadikan
satu, serta selanjutnya, dipandang sebagai satu disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Terhadap
ilmu yang sudah digabungkan dan menjadi satu kesatuan tersebut tetap dipergunakan
nama Ulumul Hadist, sebagaimana halnya sebelum disatukan. Jadi, penggunaan lafaz
jamak Ulumul Hadist, setelah mengandung makna mufrad atau tunggal, yaitu ilmu hadist,
karena telah terjadi perubahan makna lafaz tersebut dari maknanya yang pertama –
beberapa ilmu yang terpisah – menjadi nama dari suatu disiplin ilmu yang khusus, yang
nama lainnya adalah Mushthalah al-Hadist.
Hadist sebagai suatu informasi, memiliki metodoliogi untuk menentukan
keotentikan periwayatannya yang dikenal dengan Ulum al- Hadist, yang merupakan bentuk
manajemen infomasi. Hanya saja, pada masa Rasulullah SAW sampai sebelum pembukuan
Ulumul Al-hadist istilah Ulum al-hadist, jelas belum ada. Akan tetapi prinsip-prinsip yang

2
3

telah berlaku pada masa itu sebagai acuan untuk menyikapi suatu informasi
yang telah ada.
Pada dasarnya ulumul hadist telah lahir sejak dimulainya periwayatan hadist di
dalam Islam, terutama setelah Rasul Saw wafat, ketika umat merasakan perlunya
menghimpun hadist-hadist Rasul Saw dikarenakan adanya kekhawatiran hadist-hadist
tersebut akan hilang atau lenyap. Para sahabat mulai giat melakukan pencatatan dan
periwayatan hadist.mereka telah mulai mempergunakan kaidah-kaidah dan metode-
metode tertentu ddalam menerima hadist, namun mereka belumlah menuliskan kaidah-
kaidah tersebut.
Dasar dan landasan periwayatan hadist di dalam Islam dijumpai di dalam Al-
Qur’an dan hadist Rasul Saw.
Di dalam surah al-Hujurat ayat 6, Allah SWT memerintahkan orang-orang yang
beriman untuk meneliti dan mempertanyakan berita-berita yang datang dari orang-orang
yang fasik :

Artinya :

“Hai orang-orang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita
maka periksalah berita tersebut dengan teliti agar kamu tidak menimpakan musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaan ( yang sebenarnya) yang menyebabkan
kamu menyesal atas perbuatanmu” (QS. Al-Hujurat [49] : 6)

Di samping itu, Rasul Saw juga mendorong serta menganjurkan para sahabat ddan yang
lainnya yang mendengar atau menerima hadist-hadist beliau untuk menyampaikan atau
meriwayatkannya kepada mereka yang tidak mendengar atau mengetahuinya. Di dalam
sebuah hadistnya Rasul Saw bersabda :

(Semoga) Allah membaguskan rupa seseorang yang mendengar dari kami sesuatu (hadist),
lantas dia menyampaikannya (hadist tersebut) sebagaimana dia dengar, kadang-kadang
orang yang menyampaikan lebih hafal daripada orang yang mendengar. (HR. Al-Tirmidzi)

Apabila dicermati sikap dan aktifitas para sahabat terhadap hadist Nabi Saw dan
periwayatannya, maka dapat disimpulkan beberapa ketentuan umum yang diberlakukan
dan dipatuhi oleh para sahabat, yaitu :

1. Penyelidikan periwayatan hadist (taqlil al-riwayat) dan pembatasannya untuk hal-hal


yang diperlukan saja. Sikap ini dilaksanakan terutama dalam rangka memelihara
kemurnian hadist dari kekeliruan dan kesalahan. Sebagaimana sabda Rasul SAW :

3
4

Siapa yang berbohong atas namaku dengan sengaja, maka ia telah menyediakan
tempatnya di dalam neraka.

Selain itu, alasan lain dan bahkan lebih penting adalah pemeliharaan agar jangan terjadi
pencampurbauran antara hadist dengan Al-Qur’an, karena Al-Qur’an pada masa itu,
terutama pada masa Abu Bakar dan ‘Umar, belum dikodifikasi secara resmi.

2. Ketelitian dalam periwayatan, baik ketika menerima atau menyampaikan riwayat.


3. Kritik terhadap matan hadist (naqd al-riwayat). Kritik terhadap matan hadist ini
dilakukan oleh para sahabat dengan cara membandingkannya dengan nashAl-Qur’an
atau kaidah-kaidah dasar agama. Apabila terdapat pertentangan dengan nash Al-
Qur’an, maka sahabat menolak dan meninggalkan riwayat tersebut.

Ketelitian dan sikap hati-hati para sahabat diikuti pula oleh para ulama hadist yang
datang sesudah mereka, dan sikap tersebut semakin ditingkatkan terutama setelah
munculnya hadist-hadist palsu, yaitu sekitar tahun 41 H, setelah masa pemerintahan
Khalifah Ali ra. Semenjak saat itu mulailah dilakukan penelitian terhadap sanad hadist
dengan mempraktikan ilmu al-Jarrah wa al-Ta’dil, dan sekaligus mulai pulalah al-Jarrah
wa al-Ta’dil ini tumbuh dan berkembang.

Setelah munculnya kegiatan pemalsuaan hadist dari pihak-pihak yang tidak


bertanggung jawab, maka beberapa akktifitas tertentu dilakukan oleh para ulama
hadist dalam rangka memelihara kemurnian hadist, yaitu seperti :

1. Melakukan pembahasan terhadap sanad hadist serta penelitian terhadap keadaan


setiap para perawi hadist, hal yang sebelumnya belum pernah mereka lakukan.
2. Melakukan perjalanan (rihlah) dalam mencari sumber hadist agar dapat mendengar
langsung dari perawi asalnya dan meneliti kebenaran riwayat tersebut.
3. Melakukan perbandingan antara riwayat seorang perawi dengan riwayat perawi lain
yang lebih tsiqat dan terpercaya dalam rangka untuk mengetahui ke-dha’if-an atau
kepalsuan suatu hadist. Hal tersebut dilakukan apabila ditemukan suatu hadist yang
kandungan maknanya ganjil dan bertentangan dengan akal atau dengan ketentuan
dasar agama secara umum. Apabila telah dilakukan perbandingan dan terjadi
pertentangan antara riwayat perawi itu dengan riwayat perawi yang lebih tsiqat dan
terpercaya, maka para ulama hadist umumnya bersikap meninggalkan dan menolak
riwayat tersebut, yaitu riwayat dari perawi yang lebih lemah itu.

4
5

Pada abad ke-2 H, ketika hadist telah di bukukan secara resmi atas prakarsa Khalifah ‘Umar
bin Abdul Aziz dan dimotori oleh Muhammad bin Muslim bin Syihab al-Zuhri, para ulama
yang bertugas dalam menghimpun dan membukukan hadist tersebut menerapkan
ketentuan-ketentuan ilmu hadist yang sudah ada dan berkembang sampai pada masa
mereka. Mereka memperhatikan ketentuan-ketentuan hadist Shahih, demikian juga
keadaan para perawinya. Hal ini terutama karena telah menjadi perubahan yang besar
didalam kehidupan umat Islam, yaitu para penghapal hadist sudah mulai berkurang dan
kualitas serta tingkat kekuatan hapalan terhadap hadist pun sudah semakin menurun
karena telah menjadi percampuran dan akulturasi antara masyarakat Arab dengan non-
Arab menyusul perkembangan dan perluasan daerah kekuasaan Islam. Kondisi yang
demikian memaksa para ulama hadist untuk semakin berhati-hati dalam menerima dan
menyampaikan riwayat, dan mereka pun telah merumuskan kaidah-kaidah dalam
menentukan kualitas dan macam-macam hadist. Hanya saja pada masa ini kaidah-kaidah
tersebut masih bersifat rumusan yang tidak tertulis dan hanya disepakati dan diingat oleh
para ulama hadist di dalam hati mereka masing-masing, namun mereka telah
menerapkannya ketika melakukan kegiatan perhimpunan dan pembukuan hadist.

Pada abad ke-3 H yang dikenal dengan masa keemasan dalam sejarah perkembangan
hadist, mulailah ketentuan-ketentuan dan rumusan kaidah-kaidah hadist ditulis dan
dibukukan, namun masih bersifat parsial. Yahya bin Ma’in (w. 234 H/848 M) menulis
tentang tarikh al-Rijal, (sejarah dan riwayat para perawi hadist), Muhammad bin Sa’ad (w.
230 H/844 M) menulis al-Thabaqat (tingkatan para perawi hadist ), Ahmad bin Hanbal (241
H/855 M) menulis al-An’Ilal (beberapa ketentuan tentang cacat atau kelemahan suatu
hadist atau perawinya), dan lain-lain.

Pada abad ke-4 dan ke-5 Hijriah mulailah ditulis secara khusus kitab-kitab yang membahas
tentang ilmu hadist yang bersifat komprehensif, seperti kitab al-Muhaddits al Fashil byn al-
Rawi wa al-Wa’i oleh al-Qadhi Abu Muhammad al-Hasan ibn ‘Abd al-Rahman ibn al-Khallad
al-Ramuharmuzi (w.360 H/971 M), Ma’rifat ‘Ulum al-Hadist oleh Abu ‘Abd Allah
Muhammad ibn ‘Abd Allah al-Hakim al-Naisaburi (w.405 H/1014 M), al-Mustakhraj ‘ala
Ma’rifat ‘Ulum al-Hadist oleh Abu Nu’aim Ahmad bin ‘Abd Allah al-Ashbahani (w.430
H/1038 M), al-Kifayah fi ‘Ulum al-Riwayah oleh Abu Bakar Muhammad ibn ‘Ali ibn Tsabit al-
Khathib al-Baghdadi (w.463 H/1071 M), al-Jami’ li Akhlaq wa adab al-Sami’ oleh al-
Baghdadi (463 H/1071 M). dan lain-lain.

Pada abad-abad berikutnya bermunculanlah karya-karya di bidang ilmu hadist ini, yang
sampai saat sekarang masih menjadi referensi utama dalam membicarakan ilmu hadist,

5
6

yang di antaranya adalah: ‘Ulum al-Hadistoleh Abu ‘Amr ‘Utsman ibn ‘Abd al-Rahman yang
lebih dikenal dengan Ibn al-Shalah (w.643 H/ 1245 M), Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-
Nawaei oleh Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman ibn Abu Bakar al-Suyuthi (w.911 H/ 1505 M).

B. Macam – Macam Hadits


Ditinjau dari segi nilai sanad, hadits dikelompokkan dalam tiga macam, shohih, hasan,
dan dhoif.
1. Hadits Shohih
Hadits Shohih, yaitu hadits yang cukup sanadnya dari awal sampai akhir dan
oleh orang-orang yang sempurna hafalannya. Syarat hadits shohih adalah:
a. Sanadnya bersambung;
b. Perawinya adil, memiliki sifat istiqomah, berakhlak baik, tidak fasik, terjaga
kehormatan dirinya (muruah);
c. Dhobit, yakni memiliki ingatan dan hafalan yang sempurna serta mampu
menyampaikan hafalan itu kapan saja dikehendaki; dan
d. Hadits yang diriwayatkannya tidak bertentangan dengan hadits mutawatir atau
dengan ayat al-Qur`an.

Hadits shohih dibagi dua:

a. Shohih Lizatihi, yakni hadits yang shohih dengan sendirinya tanpa diperkuat dengan
keterangan lainnya. Contohnya adalah sabda Nabi Muhammad saw., ``Tangan di atas
(yang memberi) lebih baik dari tangan di baivah (yang menerima). `` (HR. Bukhori dan
Muslim)
b. Shohih Lighoirihi, yakni hadits yang keshohihannya diperkuat dengan keterangan
lainnya. Contohnya sabda Nabi Muhammad saw., ``Kalau sekiranya tidak terlalu
menyusahkan umatku untuk mengerjakannya, maka aku perintahkan bersiwak
(gosok gigi) setiap akan sholat.`` (HR. Hasan)

Dilihat dari sanadnya, semata-mata hadits Hasan Lizatihi, namun karena dikuatkan
dengan riwayat Bukhori, maka jadilah ia shohih lighoirihi.

2. Hadist Hasan
Hadits Hasan, adalah hadits yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi
yang adil, namun tidak sempurna hafalannya. Hadits hasan dibagi dua:
1. Hasan Lizatihi, yakni hadits yang dengan sendirinya dikatakan hasan. Hadits ini
ada yang sampai ke tingkat lighoirihi;

6
7

2. Hasan Lighoirihi, yakni hadits yang derajat hasannya dibantu dengan keterangan
lainnya. Contohnya sabda Nabi
Muhammad saw., ``Sembelihan bagi bayi hezvan yang berada dalam perut ibunya,
cukuplah dengan sembelihan ibunya saja.`` (HR. Tirmidzi, Hakim, dan Darimi)

Hadits di atas jika kita ambil sanad dari Imam Darimi, adalah Darimi menerima dari 1)
Ishak bin Ibrohim, dari 2) Itab bin Bashir, dari 3) Ubaidillah bin Abu Ziyad, dari 4) Abu
Zubair, dari 5) Jabir, dari Nabi Muhammad saw. Nama yang tercela dalam sanad di
atas adalah nomor 3 (Ubaidillah bin Abu Ziyad). Sebab menurut Abu Yatim ia
bukanlah seorang yang kuat hafalannya dan tidak teguh pendiriannya.:

3. Hadits Dhoif (lemah)


Hadits Dhoif (lemah) adalah hadits yang tidak memenuhi syarat shohih dan hasan.
Contohnya, ``Barangsiapa berkata kepada orang miskin: `bergembiralah`, maka
luajib baginya surga``. (HR. Ibnu A`di) Di antara perawi hadits tersebut ialah Abdul
Mali bin Harun. Menurut Imam Yahya, ia seorang pendusta. Sedangkan Ibnu Hiban
memvonisnya sebagai pemalsu hadits.
Dari segi keterputusan sanad, hadits dhoif terbagi menjadi lima macam:
a. hadits mursal, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh tabi`in dengan menyebutkan ia
menerimanya langsung dari Nabi Muhammad saw., padahal tabi`in (generasi setelah
sahabat) tidaklah mungkin bertemu dengan nabi.
b. Hadits munqothi` yaitu hadits yang salah seorang rawinya gugur (tidak disebutkan
namanya) tidak saja pada sahabat, namun bisa terjadi pada rawi yang di tengah atau
di akhir;
c. Hadits al-mu`adhdhol, yaitu hadits yang dua orang atau lebih dari perawinya setelah
sahabat secara berurutan tidak disebutkan dalam rangkaian sanad;
d. Hadits mudallas, yaitu hadits yang rawinya meriwayatkan hadits tersebut dari orang
yang sezaman dengannya, tetapi tidak menerimanya secara langsung dari yang
bersangkutan;
e. Hadits mu`allal, yaitu hadits yang kelihatannya selamat, tetapi sesungguhnya
memiliki cacat yang tersembunyi, baik pada sanad maupun pada matannya.

Ditinjau dari segi lain-lainnya, hadits dhoif terbagi dalam enam macam:
a. hadits mudhthorib, yaitu hadits yang kemampuan ingatan dan pemahaman
periwayatnya kurang;

7
8

b. hadits maqluub, yaitu hadits yang terjadi pembalikan di dalamnya, baik pada sanad,
nama periwayat, maupun matannya;
c. hadits mudho`af, yaitu hadits yang lemah matan dan sanadnya sehingga
diperselisihkan oleh para `ulama. Contohnya, ``asal segala penyakit adalah dingin.``
(HR. Anas dengan sanad yang lemah)
d. hadits syaaz, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang shiqoh,namun
menyalahi riwayat orang banyak yang shiqoh juga;
e. hadits mungkar, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang lemah dan
riwayatnya berbeda dengan riwayat yang shiqoh;
f. hadits matruuk, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seseorang yang dituduh
suka berdusta, nyata kefasikannya, ragu dalam periwayatan, atau pelupa.
C. Cabang-Cabang Ulumul Hadits
Diantara cabang-cabang besar yang tumbuh dari Ilmu Hadis Riwayah dan Dirayah ialah:
1. Ilmu Rijal al-Hadis
Yaitu ilmu yang membahas para perawi hadits, baik dari sahabat, dari tabi`in, mupun
dari angkatan-angkatan sesudahnya. Hal yang terpenting di dalam ilmu Rijal al-Hadits
adalah sejarah kehidupan para tokoh tersebut, meliputi masa kelahiran dan wafat
mereka, negeri asal, negeri mana saja tokoh-tokoh itu mengembara dan dalam jangka
berapa lama, kepada siapa saja mereka memperoleh hadis dan kepada siapa saja
mereka menyampaikan Hadis. Ada beberapa istilah untuk menyebut ilmu yang
mempelajari persoalan ini. Ada yang menyebut Ilmut Tarikh, ada yang menyebut
Tarikh al-Ruwat, ada juga yang menyebutnya Ilmu Tarikh al-Ruwat.
2. Ilmu al-Jarh wa al-Ta`dil
Yaitu Ilmu yang menerangkan tentang hal cacat-cacat yang dihadapkan kepada para
perawi dan tentang penta`dilannya (memandang adil para perawi) dengan memakai
kata-kata yang khusus dan tentang martabat-martabat kata-kata itu. Maksudnya al-
Jarh (cacat) yaitu istilah yang digunakan untuk menunjukkan “sifat jelek” yang
melekat pada periwayat hadis seperti, pelupa, pembohong, dan sebagainya. Apabila
sifat itu dapat dikemukakan maka dikatakan bahwa periwayat tesebut cacat. Hadis
yang dibawa oleh periwayat seperti ini ditolak, dan hadisnya di nilai lemah (dha`if).
Maksudnya al-Ta`dil (menilai adil kepada orang lain) yaitu istilah yang digunakan
untuk menunjukkan sifat baik yang melekat pada periwayat, seperti, kuat hafalan,
terpercaya, cermat, dan lain sebagainya. Orang yang mendapat penilaian seperti ini
disebut `adil, sehingga hadis yang di bawanya dapat di terima sebagai dalil agama.
Hadisnya dinilai shahih. Sesuai dengan fungsinya sebagai suber ajaran Islam, maka
yang diambil adalah hadis shahih.

8
9

3. Ilmu Fannil Mubhamat


Yaitu ilmu untuk mengetahui nama orang-orang yang tidak disebut di dalam matan
atau di dalam sanad. Misalnya perawi-perawi yang tidak tersebut namanya dalam
shahih Bukhory diterangkan selengkapnya oleh Ibnu Hajar Al `Asqollany dalam
Hidayatus Sari Muqaddamah Fathul Bari.
4. Ilmu Mukhtalif al-Hadis
Yaitu ilmu yang membahas Hadis-hadis secara lahiriah bertentangan, namun ada
kemungkinan dapat diterima dengan syarat. Mungkin dengan cara membatasi
kemutlakan atau keumumannya dan lainnya, yang bisa disebut sebagai ilmu Talfiq al-
Hadits.
5. Ilmu `Ilalil Hadits
Yaitu ilmu yang membahas tentang sebab-sebab tersembunyi yang dapat merusak
keabsahan suatu Hadis. Misalnya memuttasilkan Hadis yang munqathi`, memarfu`kan
Hadis yang mauquf, memasukkan suatu Hadis ke Hadis yang lain, dan sebagainya.
Ilmu yang satu ini menentukan apakah suatu Hadis termasuk Hadis dla`if, bahkan
mampu berperan amat penting yang dapat melemahkan suatu Hadis, sekalipun
lahirnya Hadis tersebut seperti luput dari segala illat.
6. Ilmu Gharibul-Hadits
Yaitu ilmu yang membahas dan menjelaskan Hadis Rasulullah SAW yang sukar di
ketahui dan di pahami orang banyak karena telah berbaur dengan bahasa lisan atau
bahasa Arab pasar. Atau ilmu yang menerangkan makna kalimat yang terdapat dalam
matan hadis yang sukar diketahui maknanya dan yang kurang terpakai oleh umum.
7. Ilmu Nasikh dan Mansukh Hadis
Yaitu ilmu yang membahas Hadis-hadis yang bertentangan dan tidak mungkin di
ambil jalan tengah. Hukum hadis yang satu menghapus (menasikh) hukum Hadis yang
lain (mansukh). Yang datang dahulu disebut mansukh, dan yang muncul belakangan
dinamakan nasikh. Nasikh inilah yang berlaku selanjutnya.
8. Ilmu Asbab Wurud al-Hadits (sebab-sebab munculnya Hadis)
Yaitu ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi menuturkan sabdanya dan masa-
masanya Nabi menuturkan itu. Seperti di dalam Al Qur`an dikenal adalah Ilmu Asbab
al-nuzul, di dalam Ilmu hadis ada Ilmu Asbab wurud al-Hadits. Terkadang ada hadis
yang apabila tidak di ketahui sebab turunnya, akan menimbulkan dampak yang tidak
baik ketika hendak di amalkan.
9. Ilmu Mushthalah Ahli Hadits
Yaitu ilmu yang menerangkan pengertian-pengertian (istilah-istilah yang di pakai oleh
ahli-ahli Hadis.

9
10

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Ulumul Hadits adalah istilah ilmu hadits didalam tradisi hadits. ( ‘ulum al-hadits) ‘ulum
al-hadits terdiri atas dua kata yaitu ‘ulum dan al-hadits. Kata ‘ulum dalam bahasa Arab
adalah bentuk jamak dari ‘ilm yang berarti “ilmu”, sedangkan hadits berarti: “segala
sesuatu yang taqrir atau sifat”. Dengan demikian gabungan antara ‘ulum dan al-hadits
mengandung pengertian “Ilmu yang membahas atau yang berkaitan dengan hadits
Nabi Saw”.
Pada dasarnya ulumul hadist telah lahir sejak dimulainya periwayatan hadist di
dalam Islam, terutama setelah Rasul Saw wafat, ketika umat merasakan perlunya
menghimpun hadist-hadist Rasul Saw dikarenakan adanya kekhawatiran hadist-hadist
tersebut akan hilang atau lenyap. Para sahabat mulai giat melakukan pencatatan dan
periwayatan hadist.mereka telah mulai mempergunakan kaidah-kaidah dan metode-
metode tertentu ddalam menerima hadist, namun mereka belumlah menuliskan
kaidah-kaidah tersebut.
Pada abad ke-2 H, ketika hadist telah di bukukan secara resmi atas prakarsa
Khalifah ‘Umar bin Abdul Aziz dan dimotori oleh Muhammad bin Muslim bin Syihab al-
Zuhri, para ulama yang bertugas dalam menghimpun dan membukukan hadist
tersebut menerapkan ketentuan-ketentuan ilmu hadist yang sudah ada dan
berkembang sampai pada masa mereka.
Pada abad ke-3 H yang dikenal dengan masa keemasan dalam sejarah perkembangan
hadist, mulailah ketentuan-ketentuan dan rumusan kaidah-kaidah hadist ditulis dan
dibukukan, namun masih bersifat parsial. Pada abad ke-4 dan ke-5 Hijriah mulailah
ditulis secara khusus kitab-kitab yang membahas tentang ilmu hadist yang bersifat
komprehensif.
Pada abad-abad berikutnya bermunculanlah karya-karya di bidang ilmu hadist
ini, yang sampai saat sekarang masih menjadi referensi utama dalam membicarakan
ilmu hadist.
Ditinjau dari segi nilai sanad, hadits dikelompokkan dalam tiga macam, shohih,
hasan, dan dhoif.
Cabang-cabang ulumul hadits antara lain Ilmu Rijal al-Hadis, Ilmu al-Jarh wa al-
Ta`dil, Ilmu Fannil Mubhamat, Ilmu Mukhtalif al-Hadis,l Ilmu `Ilalil Hadits, Ilmu
Gharibul-Hadits, Ilmu Nasikh dan Mansukh Hadis, Ilmu Asbab Wurud al-Hadits (sebab-
sebab munculnya Hadis), dan Ilmu Mushthalah Ahli Hadits.

10
11

B. Saran
Semoga sebagai muslim kita dapat terus mengamalkan Al-Qur’an dan Hadist.
Sehingga Rahmat Allah selalu menyertai kita semua. Sekian makalah dari kami, kami
menyadari banyaknya kekurangan pada makalah ini. Oleh karena itu, kritik dan saran
sangat kami harapkan demi perbaikan makalah ini. Semoga isi dari makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua khususnya untuk penulis. Amiinn.

11

Anda mungkin juga menyukai