Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

SEJARAH PEMBINAAN DAN PERKEMBANGAN ILMU HADITS

Disusun guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Ulum Al Hadits

Dosen Pengampu : Ma’murotus Sa’adah, M.S.I.

Disusun oleh :

1. Sunarsih (1608056036)
2. Nurul Lailatul Fatimah (1608056062)
3. Ilham Muntaha (1608056063)

PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2017
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Studi tentang perkembangan hadits merupakan suatu hal yang
menarik untuk dikaji seiring dengan perkembangan nalar manusia yang
semakin kritis. Mempelajari sejarah perkembangan hadits merupakan
pengantar untuk mengkaji pokok-pokok dasar yang menjadi pedoman
dalam menghadapi hadits. Sampai saat ini pengkajian hadits bukan hanya
pada kalangan umat Islam saja tetapi juga melibatkan kalangan orientalis.
Pengkajian sejarah ini berarti melakukan upaya mengungkap fakta-fakta
yang sebenarnya sehingga sulit untuk ditolak keberadaanynya.
Usaha mempelajari sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadits
ini diharapkan dapat mengetahui proses pertumbuhan dan
perkembanganya dari masa kemasa sehingga kita mengetahui
perkembangan riwayat-riwayat dan pembukuan hadits karena merupakan
suatu bagian dari pelajaran ilmu hadits yang tidak boleh dipisahkan.
Sehingga kita dapat menentukan sikap dan tindakan yang perlu dilakukan
umat Islam untuk menjaga keshahihan hadits.
B. Rumusan Maslah
1. Bagaimana sejarah perkembangan ilmu Hadits?
2. Bagaimana pembinaan dan periodesasi ilmu Hadits?

C. Tujuan
1. Mengetahui sejarah perkembangan dan pembinaan ilmu Hadits.
2. Mengetahui karakteristik pertumbuhan dan pembinaan ilmu Hadits.
3. Mengetahui perbedaan antara pertumbuhan dan pembinaan Hadits.
4. Mengetahui usaha-usahan penghimpunan ilmu Hadits.
5. Mengetahui karakteristik tahapan sejarah penghimpunan ilmu Hadits
dibandingkan masa sebelumnya.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Perkembangan Hadits

Dengan berkembangnya hadits, ilmu hadits juga mengiringinya sejak masa


rasulullah, sekalipun belum dinyatakan sebagai ilmu secara eksplisit. Pada
masa rasulullah para sahabat tidak mempersoalkan bagaimana menghadapi
suatu masalah karena mereka langsung bertemu dengan beliau untuk mengecek
kebenaranya. Walaupun pada masa rasulullah tidak dinyatakan adanya ilmu
hadits, tetapi para peneliti hadits memperhatikan dasar-dasar dalam al-quran
dan hadits rasulullah.

Tidak semua berita yang disampaikan seseorang dapat diterima sebelum


diperiksa siapa yang memberitakanya dan apa isi berita tersebut. Jika pembawa
berita tersebut orang yang jujur, adil, dan dapat dipercaya akan diterima, tetapi
sebaliknya jika orang tersebut fasik, tidak objektif, pembohong maka tidak
diterima karena dikhawatirkan akan menimbulkan musibah dan menyebabkan
penyesalan seta kerugian.

Setelah rasulullah meninggal sahabat sangat berhati-hati dalam


meriwayatkan hadis karena konsentrasi mereka tertuju pada al-quran yang baru
di kodifikasi. Masa ini dikenal dengan masa taqlil ar-riwayah (pembatasan
periwayatan), tidak ada periwayatan hadits kecuali disertai dengan saksi dan
sumpah bahwa hadits yang diriwayatkan bener-benar dari rasulullah. Pada awal
masa, Islam belum memerlukan sanad dalam periwayatan hadits karena masih
banyaknya orang jujur yang saling percaya satu sama lain. Namun setelah
terjadinya konflik antara pendukung Ali dan Mu’awiyah umat berpecah
menjadi beberapa sekte yaitu syi’ah, khawarij, dan juhur muslimin. Setelah itu
mulai terjadi pemalsuan hadits dari masing-masing sekte dalam rangka mencari
dukungan politik agar mendapat banyak masa.
Perkembangan ilmu hadits pada awalnya hanya secara lisan dari mulut ke
mulut dan tidak tertulis. Pada pertengahan abad kedua sampai ketiga Hijriyah
ilmu hadits mulai ditulis dan dikodifikasikan dalam bentuk sederhana, belum
terpisah dengan ilmu-ilmu yang lain atau masih tercampur. Misalnya ilmu
hadits bercampur dengan ilmu ushul fikih, seperti kitab Ar-Risalah karangan
Asy-Syafi’i. Musthafa As-Siba’I mengatakan orang yang pertama kali menulis
ilmu hadits adalah Ali bin Al-Madani syaikhnya Al-Bukhari, Muslim, dan At-
Tirmidzi.1 Salah satu contoh kitab pada abad ketiga ini adalah kitab Mukhtalif
Al-Hadits karya Ibnu Qutaibah. Berikutnya kitab Al-kifayah fi Quwanin ar-
riwayah karya Khatib al-Bagdad Abu Bakar Ahmad bin Ali, yang berisi
berbagai uraian2 ilmu hadits dan kaidah-kaidah periwayatannya.
Puncak perkembangan dan kematangan ilmu hadits adalah pada abad ke-4
yang merupakan penggabungan penyempurnaan berbagai ilmu yang
berkembang pada abad-abad sebelumnya.3
B. Sejarah Pembinaan dan Periodisasi ilmu hadits
Pengimpunan dan pembinaan hadits mengalami proses yang lamban masa
pembukuanyapun terlambat sampai pada abad ke-2 hijriah karena penulisan
hadits pada masa nabi secara umum justru dilarang. Selanjutnya periodesasi
hadits dibagi menjadi 7 yaitu:
1. Hadits Pada Masa Rasulullah (13 SH-11SH)
Hadits pada masa Rasulullah merupakan awal dari pertumbuhan
hadits. Umat Islam pada masa ini dapat secara langsung memperoleh
hadits dari Rasulullah sebagai sumber utama hadits.
Masa Rasulullah merupakan masa awal dari pertumbuhan hadits.
Umat Islam pada masa ini dapat secara langsung memperoleh hadits dari
Rasulullah yang merupakan sumber utama dan satu-satunya suatu hadits.
Rasulullah yang merupakan figur sentral dijadikan sebagai sasaran
perhatian bagi para sahabat. Para sahabat merasa sangat perlu untuk
mengetahui segala apa yang disabdakan. Seluruh perkataan, perbuatan
rasul diingat dan disampaikan kepada sahabat lain yang tidak dapat
menyaksikan, karena tidak seluruh sahabat dapat hadir di majlis Nabi dan
1
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis. (Jakarta:Amzah, 2009), hlm. 78-81
2
Sohari Sahrani, Ulumul hadis. (Bogor: Ghalia Indonesia.2010), hlm. 82
3
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis… hlm. 82
tidak seluruhnya menemani beliau. Bagi mereka yang hadir dam
mendapatkan hadits berkewajiban menyampaikan apa yang telah
disaksikan serta didengarnya dari Rasulullah. Namun diantara sahabat
yang tidak hadir dalam majlis rasul juga sangat inten untuk mencari
informasi tentang apa yang disampaikan beliau, baik secara langsung
maupun melalui utusan. Para sahabat yang rumahnya jauh dari masjid silih
berganti mendatangi majlis-majlis Nabi, seperti yang dilakukan Umar.
Umar berkata : “Aku bersama tetanggaku sahabat Anshar Bani Umayah
bin Zaid - dia diantara tokoh Madinah – bergantian hadir di majlis
Rasulullah, sehari dia hadir dan hari lain aku yang hadir. Jika aku yang
hadir aku sampaikan padanya berita tentang wahyu dan yang lain
kepadanya, demikian juga jika ia yang hadir.”4
Cara Rasul menyampaikan hadits dilakukan di tempat-tempat terbuka
dalam banyak kesempatan. Seperti di masjid, rumah beliau, pasar, ketika
dalam perjalanan maupun ketika muqim. Para sahabat dalam menerima
hadits ada kalanya secara langsung, yakni langsung mendengar sendiri dari
Nabi, baik karena ada persoalan yang diajukan seseorang lalu Nabi
menjawab ataupun karena Nabi sendiri memulai pembicaraan. Atau secara
tidak langsung yaitu sabdanya disampaikan kepada para sahabat tertentu
melalui musyafahah, dan terkadang melalui perbuatan serta taqrirnya
disaksikan melaui musyahadah yang kemudian disampaikan kepada orang
lain. Melalui para jama’ah pada pusat pembinaannya yang disebut majlis
al-‘il mi. Juga dilakuakan secara terbuka melalui ceramah atu pidato
seperti ketika haji wada’ dan futul Makkah.
Menurut riwayat Bukhari, Ibnu Mas’ud pernah bercerita bahwa untuk
tidak melahirkan rasa jenuh di kalangan sahabat, Rasulullah
menyampaikan haditsnya dengan berbagai cara, sehingga membuat para
sahabat selalu ingin mengikuti majlisnya.5

4
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis… hlm. 42
5
Munzier Suparta, Ilmu Hadis. (Jakarta : PT Rja Grafindo Persada. 2003), hlm. 72
Ada beberapa sahabat yang tercatat sebagai sahabat yang banyak
menerima hadits dari Rasulullah dengan beberapa penyebab . mereka
antara lain :
a. Para sahabat yang tergolong kelompok Al-Sabiqunal Al-Awwalun,
seperti Abu Bakar, Umar ibn Khattab, Utsman ibn Affan, Ali ibn
Abi Thalib karena mereka lebih dulu masuk Islam daripada
sahabat yang lain.
b. Ummahat Al-Mukminin (istri-istri Rasul), seperti Aisyah dan
Ummu salamah. Yang secara pribadi dekat dengan Rasul. Hadits-
hadits yang diterimanya banyak yang berkaitan dengan soal-soal
keluarga dan pergaulan suami istri.
c. Para sahabat yang disamping selalu dekat dengan Rasul, juga
menuliskan hadits-hadits yang diterimanya seperti Abdullah Amr
ibn Al-‘Ash.
d. Sahabat yang meski tidak lama bersama Rasul akan tetapi banyak
bertanya kepada para sahabat lain secara sungguh-sungguh seperti
Abu Hurairah.
e. Para sahabat yang secara sungguh-sungguh mengikuti majlis
Rasul, banyak bertanya kepada sahabat lain.6
Untuk pemeliharaan hadits Rasulullah hanya menyuruh sahabat
untuk menghapalakannya dan melarang menulisnya secara resmi karena
dikhawatirkan akan mencarpuradukkan hadits dengan Al-Qur’an. Izin
hanya diberikan kepada mereka yang kurang kuat hapalannya atau
memiliki kecakapan tulis-menulis atau bagus tulisannya sehingga tidak ada
kekhawatiran akan bercampurnya sabda nabi dengan firman Ilahi.
2. Hadits pada masa sahabat (11 H-40 H)
Priode kedua sejarah perkembangan hadits adalah masa sahabat
khususnya khulafa’ ar-rasidin (Abu Bakar Shiddiq, Umar bin al Khathab,
Usman bin Affan, dan Ali bin Abi thalib).Disebut juga masa sahabat besar.

6
Munzier Suparta, Ilmu Hadis..., hlm. 74
Pada masa ini perhatian mereka terfokus pada pemelhraan dan
penyebaran Al quran, dengan demikian periwayatan hadits belum begitu
berkembang, bahkan berusaha membatasi periwayatan hadits sehingga
diistilahkan masa pembatasan periwayatan (at-tsabut wa al-iqlal ar-
riwayah).
a. Menjaga Amanat Rasul SAW
Para sahabat menerima dan melaksanakan segala amanah
Rasulullah.amanah itu tertuang pada Alquran dan hadits ketika
menjelang akhir kerasulanya yang berbunyi :

Amalan rasulullah tersebut terpelihara dalam kesaharian sahabat


dalam beribadah dan bermuamalah, sehingga segala perhatian mereka
semata-mata untuk melaksanakan dan memelihara pesan-pesan
melebihi menjaga diri, keluarga, dan kekayaanya.
b. Kehatian-hatian para sahabat dalam Menerima dan Meriwayatkan
Hadits
Perhatian para sahabat terfokus untuk usaha menyebarluaskan dan
memelihara Alquran. Terlihat pada alquran yang dibukukan pada masa
Abu Bakarr atas saran Umar bin Khatab.yang diulang pada masa
Utsman bin Affan, sehingga melahirkan Mushaf Usmani yang disimpan
di madinah dinamai mushaf al-imam, dan empat lagi disimpan masing-
masing di makkah, bashrah, syiria, dan kufah.7
Meskipun perhatian terpusat pada upaya pemeliharan dan
penyebaran Alquran, namun tidak melalaikan.apa yang diterima utuh
ketika beliau masih hidup.akan tetapi, dalam meriwayatkanya mereka
sangan berhati-hati dam membatasi diri.
Kehati-hatian ini ditunjukkan oleh Umar dan Abu Bakar yang
meminta diajukansaksi jika ada yang meriwayatkan hadits akan tetapi
untuk masalah tertentu mereka menerima periwayatan tanpa syahid dari

7
Munzier suparta, ilmu hadis. (Jakarta :Raja grafindo persada.1993),hlm 81
orang tertentu, seperti hadits dari aisyah. sikap keduanya juga diikuti
oleh Ustman dan Ali.yang kadang ali juga mengujinya dengan sumpah.
Pada masa ini belum ada usaha resmi untuk menghimnpun
Alquran , antara lain disebabkan: pertama, agar tidak memalingkan
perhatian umat islam untuk mempelajari Alquran. Kedua, bahwa para
sahabat yang banyak menerima hadits dari rasul telah tersebar
diberbagai daerah kekuasaan masing-masing sebagai Pembina
masyarakat, sehingga kesulitan megumulkan mereka secara lengkap.
Ketiga, adanya perselisihan pendapat di kalangan sahabat soal
pembukuan , lafal dan sahihnya.
c. Upaya para Ulama Men-taufiq-kan Hadits tentang Larangan Menulis
Hadits
Perselisihan ulama dalam pembukuan hadts berpangkal pada dua
kelompok hadits ,dari sudut zhahirnya

Selain tiga tersebut, masih ada pendapat-pendapat lain, sebagaimana


yang dilakukan Ajaj al-Khatib ditemukan sekitar 4 pendapat : pertama,
3. Hadits pada masa tabiin (41 H- akhir abad I H)
a. Sikap dan Perhatian tabi’in Terhadap Hadits
Pada masa ini beban para tabi’in tidak terlalu berat karena Alquran
telah dikumpulkan berbentuk mushaf. periode akhir masa khulafa’ar-
rasyidin para sahabat ahli hadits menyebar di beberapa wilayah
kekuasaan islam untuk memudahkan para tabi’in mempelajari hadits-
hadits dari sahabat.wilayah kekuasaaan meliputi: Makkah, Madinah,
Basrah, Syam, Khurasan, Mesir, Persia, Irak, Afrika selatan,Samarkand,
dan Spanyol. Yang berarti meningkatkan penyebaran periwayatan
hadits (intisyar ar-riwayah)
Hadits-hadits yang diterima oleh para tabi’in dalam bentuk catatan atau
tulisan dan ada yang harus dihafal berpolakan dalam bentuk ibadah dan
amaliyah yang mereka tiru dari sahabat rasul.
b. Pusat-pusat Kegiatan Pembinaan Hadits
Kerena tersebarnya para sahabat di berbagai wilayah kekuasaaan
islam. maka beberapa kota sebagai pusat pembinaan dan periwayatan
hadits sebagai tujuan para tabi’in untuk mencari hadits dan pada
giliranya akan meriwayatkan hadits kepada para muridnya.
Ada beberapa orang yang banyak meriwayatkan hadits yang cukup
banyak antara lain Abu hurairah, Abdullah bin Umar, Anas bin Malik,
A’isyah, Abdullah bin Abbas, jabir bin Hisyam, Utsman binThalhah,
dan Salim bin Abdillah bin Umar.
c. Para Penulis Hadits di Kalangan Tabi’in
d. Perpecahan Politik dan Pemalsuan Hadits
4. Hadits pada masa kodifikasi (abad 2 H)
Kodifikasi atau tadwin hadits artinya pencatatan, penulisan, atau
pembukuan hadist.
Kegiatan ini dimulai pada masa pemerintahan Islam dipimpin oeh halifah
Umar bin Abd Al Aziz (khalifah ke8 dari Bani Umayah), melalui
intruksinya kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm (gubernur
madinah) dan para ulama Madinah agar memperlihatkan dan
mengumpulkan hadist.
Intruksi tersebut ialah
‫س ْال ِع ْل ِم‬ ُ ‫صلَي هللاُ َءلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فَ ْقتُبُوْ اهُ فَِإنِّى ِخ ْف‬
َ ْ‫ت ُدرُو‬ َ ِ‫ْث َرسُوْ ُل هللا‬ َ ‫ُأ ْنظُرُوْ ا َح ِدي‬
‫صلَى هللاُ َعلَ ْي ِه‬ َ ‫ب ْالع ُْل َما ِء) والَ تُ ْقبَ ُل ِإالَّ َح ِد ي‬
َ ‫ْث النَّبِ ِّي‬ َ ‫ب اَ ْهلِ ِه‬
ِ ‫(وفِى ِر َوايَ ٍة ِذهَا‬ ِ ‫َو ِذهَا‬
‫َو َسلَّ َم‬
“Perhatikan atau periksalah hadits hadits Rasul SAW., Kemudian
tulislah! Aku khawatir akan lenyapnya ilmu dengan meninggalnya para
ahlinya. (Menurut suatu riwayat disebutkan meninggalnya para
ulama).Dan janganlah kamu terima, kecuali hadits Rasul SAW”.8
Ulama yang diberi mandat selain Abu Bakar ibn Muhammad bin
Hazmi (w.117H) ialah Muhammad bin Syihab az Zuhri (w.124H).
Menurut para ulama, hadist yang dihimpun oleh ibn Syihab Az Zuhri
8
Sohari Sahrani, Ulumul Qur’an. Hal.65-66
dinilai lebih lengkap daripada hadits yang di himpun Abu Bakar ibn
Muhammad bin Hazmi. Akan tetapi sayang, karya kedua Tabi’in ini
lenyap , tidak sampai ke generasi sekarang9.
a. Latar Belakang Munculnya Pemikiran Usaha Tadwin Hadits
Ada 3 Hal pokok mengapa Umar bin Abd Al Aziz mengambil kebijakan
mengumpulkan hadits10.
1. Ia khawatir hilangnya hadist hadits, dengan meninggalnya para
ulama di medan perang
2. Ia khawatir akan tercampurnya antara hadits yang sahih dengan
hadits yang palsu
3. Bahwa dengan semakin meluasnya daerah kekuasaan umat islam,
sementara kemampuan para tabi’in antara satu dengan yang
lainnnya tidak sama.
Dengan melihat berbagai persoaalan yang muncul akhirnya
diambil kebijakaan pengkodifikasian ini, guna menyelamatkan hadits
dari kemusnahan dan pemalsuan.

b. Pembukuuan Hadits pada Kalangan Tabi’in dan Tabia’at Tabi’in setelah


Ibn Syihab Az Zuhri.
Diantara para ulama setelah Az Zuhri, ada ulama ahli hadits yang
berhasil menyusun kitab tadwin, dan bisa diwariskan epada generasi
sekarang, yaitu Malik bin Anas (97-179 H) di Madinah, dengan kitab nya
“ al-muaththa’ ” , kitab ini disebut sebagai kitab tadwin yang pertama.
Para pen-tadwin selain Malik bin Anas di antaranya ialahMuhammad
ibn Ishaq (w.151H) di Madinah, Ibn juraij (80-150H) di Makah, Ibn Abi
Dzi’bin (80-158H) di Madinah, Ar Rabi’ bin Shabih (w.160H) di Basrah,
Hammad bin Salamah (w.176) dii Basrah, Sufyan ats Tsauri (97-161H)
di Kufah, Al Auza’i (88-157H) di Syam, Ma’mar bin Rasyid (93-153 H )
di Yaman, Ibn al Mubbarak (118-181H) di Khurasan, Abdullah bin

9
Munzier Suparta, Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits. Hal.75
10
Sohari Sahrani, Ulumul Qur’an. Hal.66
wahab (123-197H) di Mesir, dan Jarir ibn Abd al-Hamid (110-188H) di
Rei.11
5. Hadits pada masa pemurnian dan penyempurnaan (abad 2 H)
a. Masa seleksi / penyaringan hadits
Masa ini terjadi ketika pemerintahan dipegang oleh dinasti Bani
Abbas (siktar tahun 201-300 H). Munculnya periode seleksi ini, karena
pada periode sebelumnya, yakni periode tadwin, belum berhasil
memisahkan beberapa hadits mauquf dan maqtu’ dari yang ma’ruf,
begitu pula yang dhaif dari yang sahih.12
Pada masa ini para ulama bersungguh sungguh mengadakan
penyaringan hadist yang diterimanya, melalui kaidah kaidah yang
ditetapkannya.
b. Kitab Kitab Induk Yang Enam ( Kutub as-sittah)
Setelah melalui masa seleksi, lahirlah kitab kitab hadits yang
memuat hadits hadits yang sahih, yang kemudian dikenal dengan Kutub
as-Sittah. Ulama yang berhasil menyusun kitab tersebut ialah Abu
Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin al-Mugirah bin al-
Bardizbah al-Bukhori (194-252H) dengan kitabnya al-jami’ as-Sahih.
Kemudian Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Kusairi an-Nasisaburi,
yang dikenal dengan Imam Muslim (204-26 H) dengan kitabnya juga
disebut al-Jami’ as-Sahih.
Setelah itu ada lagi 4 kitab hadits yang disebut as Sunan, yang
menurut para ulama kualitasnya dibawah dua kitab al-Jami’ as-Sahih
tadi13.
Susunan ke enam kitab ialah sebagai berikut
1. Al-Jami’ As-Sahih susunan al-Bukhori
2. Al-Jami’ As-Sahih susunan Muslim
3. As-Sunan susunan Abu Daud
4. As-Sunan susunan Tirmizi
11
Sohari Sahrani, Ulumul Qur’an. Hal.67
12
Munzier Suparta, Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits. Hal.77
13
Munzier Suparta, Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits. Hal.77
5. As-Sunan susunan Nasa’i dan
6. As-Sunan susunan Ibn Majah
Urutan ini menurut para mayoritas ulama sebagai urutan kualitasnya,
meskipun ada juga yang berpendapat lain mengenai urutannya.

c. Masa Pengembangan dan Penyempurnaan Sistem Penyusunan Kitab-


Kitab Hadits
Setelah munculnya al-Muwaththa’ dan Kutub As Sittah, para
ulama mengalihkan perhatiannya untuk menyusun kitab kitab Jamawi’,
kitab syarat mukhtasar, mentakhrij, menyusun kitab Atraf dan jawa’id
serta penyusunan kitab hadits untuk topik topik tertentu14.
Ulama yang melakukan penyusunan pada masa ini diantaranya
ialah Ibn Hibban al-Bisti (w354 H), Ibn Huzaimah (w311 H), dan al-
Hakim an-Naisaburi. Penyusunan kitab pada masa ini lebih mengarah
pada variasi pentadwinan terhadap kitab kitab yang sudah ada seperti,
mengumpulkan isi kitab Bukhori dan Muslim, mengumpulkan isi kitan
yang enam, dan ada yang mengumpulkan hadits mengenai hukum.
Masa ini disebut sebut sebagai masa Masa Perkembangan Hadits
yang Terakhir, dan terbentang cukup panjang dari abad keemapt hijriah
sampai abad kontemporer.

6. Hadits pada masa pemeliharaan dan penertiban (abad 4- pertengahan abad


7 H)

Pada abad III hampir semua hadits telah di bukukan. Sehingga


pada abad 4 tinggal sedikit hadits shahih yang dapat dikumpulkan dan
dibukukan diluar kitab-kitab hadits sebelumnya. Hadits-hadits yang baru
dikumpulkan, misalkan dapat ditemukan dalam kitab al-shahih karya ibn
Khuzaimah, al-Anwawa al-taqsim karya ibn hibban, al-muntaqa’ karya
ibn jarud, al-Musnad karya Awanah, al-Mukharah karya Muhammad bin
‘Abd al-Wahid al-Maqdisi.

14
Sohari Sahrani, Ulumul Qur’an. Hal.67
Pada abad ini juga tidak banyak lagi ulama yang melakukan
perlawatan ke daerah-daerah untuk mencari hadits. Kegiatan yang
menonjol adalah usaha untuk memelihara dan menertiban kitab-kitab
hadits sebelumnya dengan cara mempelajari, menghafal, memeriksa
sanad, dan menyusun kitab-kitab baru yang bertujuan menertibkan semua
sanad dan matan yang saing berhubungan secara terpisah dikitab-kitab
sebelumnya.
7. Hadits pada masa pensyarahan dan pembahasan (petengahan abad 7-
sekarang )
Kegiatan yang banyak dilakukan pada masa ini pada umumnya
adalah mempelajari kitab-kitab hadits yang telah ada kemudian
mengembangkanya. Selain menyusun kitab dengan sistem lama, juga
dikembangkan penulisan dengan cara syarah(kitab yang memuat uraian
dan penjelasan kandungan hadits dari kitab tertentu yang kemudian
dengan dalil yang lain), mukhtashar (kitab yang berisi ringkasan dari suatu
hadits), zawa’id (kitab yang menghimpun hadits-hadits yang terdapat pada
suatu kitab tertentu dan tidak termakrub dalam kitab tertentu), kitab
petunjuk (kitab yang berisi petunjuk-petunjuk praktis, biasanya berupa
kode huruf dan angka terentu untuk memudahkan mencari atau menelusuri
matan hadits pada kitab-kitab tertentu), dan tarjamah (kitab hadits yang
dialihbahasakan dari bahasa arab ke bahasa lain). 15

15
Muhammadiyah Amin, ilmu hadits. (gorontalo: sultan amai press.2008), hlm. 57-61
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadits , tidak dapat
dipisahkan dari ilmu hadist itu dendiri. Karena dengan mengetahui
sejarahnya kita dapat termotivasi dan mengetahui kejadian dan fakta fakta
mengenai hadits itu sendiri. Dalam perjalanannya pertumbuhan dan
perkembangan hadits melalui beberapa periode, sejak zaman Rasulullah,
meskipun pada masa itu belum ditulis karena para sahabat langsung dapat
menanyakannya kepada Rasulullah langsung dan juga dikhawatirkan dapat
tercampur dengan al qur’an, kemudian pada masa sahabat , masa tabi’in,
masa pengkodifikasi, masa pemurnian danpenyempurnaan, masa
pemelihraan dan penertiban , hingga pada masa pensyarahan dan
pembahasan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa mempelajari sejarah dari
hadits akan menumbuhkan rasa yakin dan menambah keimanan kita
kepada rasulullah yang tidak lain adalah cerminan dari hadits. Dengan
mengetahui sejarahnya pula kita dapat kita ketahui fakta fakta dan
kebenaran dari hadts yang kita jadikan sebagai pedoman kedua setelah al
qur’an.

B. Kritik dan saran


Demikianlah makalah yang dapat kami paparkan, kami berharap
dengan adanya makalah ini dapat menambah pengetahuan dan ilmu
pembaca mengenai sejarah pembukuan hadits. Kami menyadari bahwa
makalah yang kami buat jauh dari kata sempurna, banyak kekurangan dan
bahkan kesalahan yang tidak disengaja, karena itu, kritik dan saran yang
membangun dari pembaca sangat kami butuhkan untuk menyempurnakan
makalah ini dan memperbaikinya agar menjadi lebih baik dan bermanfaat
untuk selanjutnya. Aamiin.
DAFTAR PUSTAKA

Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadis.2009. Jakarta: Amzah

Sahrani, Sohari. Ulumul hadis. 2010. Bogor: Ghalia Indonesia.

Suparta, Munzier. Ilmu Hadits. 2003. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Ash-Shiddiqieqy, Teuku Muhammad Hasbi. Ilmu Hadits. Semarang: PT.


Pustaka Rizki Putra.

Amin, Muhammadiyah. Ilmu hadits. 2008. Gorontalo: Sultan Amai Press.

Al-Maliki, Muhammad Alawi. Ilmu Ushul Hadis. 2009. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar.

Anda mungkin juga menyukai